Apex Legends Tembus 10 Juta Pemain, Lebih Cepat dari Fortnite dan PUBG

“Apex Legends keren sih, tapi apa bisa mengalahkan dominasi Fortnite?” Demikian pertanyaan yang muncul di benak banyak orang ketika melihat game ini dirilis tiga hari lalu. Sekarang Respawn Entertainment punya jawabannya. Ya, Apex Legends bisa mengalahkan Fortnite, setidaknya dalam hal kecepatan meraih angka 10 juta pemain unik.

Walau masih seumur jagung, Apex Legends telah berhasil mencatatkan milestone yang luar biasa:

  • 1 juta pengguna unik dalam 8 jam
  • 2,5 juta pengguna unik dalam 24 jam
  • 10 juta pengguna unik dalam 72 jam

Apex Legends telah menjadi game battle royale tercepat yang sampai di angka 10 juta pemain! Sebagai perbandingan, Fortnite: Battle Royale butuh waktu dua minggu untuk meraih angka yang sama, sementara PlayerUnknown’s Battlegrounds butuh enam bulan. Perbandingan lain yaitu Overwatch perlu tiga minggu, masih jauh dibandingkan Apex Legends yang hanya butuh tiga hari.

Apex Legends - 10 Million Players
10 juta pemain dalam 3 hari! | Sumber: Respawn Entertainment

Pada saat yang bersamaan, jumlah concurrent player (banyaknya pemain yang online bersamaan) Apex Legends telah mencapai angka 1 juta pemain. Bila kita bandingkan denga kondisi sekarang, Fortnite memang masih memimpin jauh dengan lebih dari 200 juta pemain dan 10 juta conccurrent player. Tapi setidaknya dengan membandingkan rentang waktu awal, Apex Legends telah menunjukkan taring mereka sebagai rival yang patut diperhitungkan.

Untuk menjaga momentum tersebut, Respawn Entertainment telah mengumumkan rencana mereka untuk mendukung game ini selama satu tahun ke depan. Respawn menerapkan sistem “Season”, yaitu periode tiga bulanan yang menjadi milestone pengadaan konten baru. Di setiap Season, akan ada Battle Pass yang berisi berbagai macam imbalan, termasuk kosmetik eksklusif dan Apex Pack.

Apex Legends - Year 1 Roadmap

Perlu diingat bahwa Respawn memiliki prinsip bahwa tidak boleh ada kosmetik yang hanya bisa didapat dengan cara membayar. Artinya, semua item dalam Battle Pass juga bisa didapatkan dengan cara biasa (membeli dengan Legend Tokens, atau lewat Apex Pack). Tetapi pemilik Battle Pass bisa langsung mendapatkan semua imbalan tersebut, jumlahnya kurang lebih sekitar 100 item.

Battle Pass pertama akan diluncurkan pada bulan Maret, kemudian Juni, September, dan Desember. Tentu saja, Respawn juga berencana merilis karakter baru, senjata baru, serta loot baru. Mereka ingin mendukung game ini untuk waktu yang lama, bahkan dalam situsnya mereka mengaku ingin mengerjakan konten hingga tahun 2027. Melihat tingginya minat gamer terhadap Apex Legends, dan potensi esports yang dimilikinya, rasanya impian itu tidak mustahil, asalkan Respawn dapat konsisten menjaga mutu game ini agar tetap memuaskan penggemar.

Sumber: Respawn Entertainment, PC Gamer, Dexerto

4 Headphone Baru Logitech G Siap Jadi Rekan Anda Dalam Menikmati Game Battle Royale

Hingga 2019, demam battle royale yang dicetus oleh PUBG tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Sebaliknya, setiap developer berloma-lomba untuk merangkul sebanyak-banyaknya khalayak. Kini, hampir semua franchise game action menawarkan mode populer itu, dari mulai Battlefield, Call of Duty, Red Dead Redemption, hingga Titanfall lewat spin-off free-to-play Apex Legends.

Begitu besarnya battle royale, Logitech pun terdorong untuk melakukan sesuatu demi merespons tren ini. Tepat di hari Tahun Baru Imlek 2019, perusahaan periferal PC asal Swiss itu meluncurkan deretan headset Gaming G baru yang dispesialisasikan untuk jadi rekan Anda dalam menikmati permainan-permainan berformula last man standing atau minimal bisa ‘memeriahkan’ ruang gaming Anda.

Ada empat model headset anyar yang Logitech perkenalkan, yaitu G935 7.1 Lightsync wireless, G635 7.1 Lightsync, G432 7.1 Surround, dan G332 Stereo. Sesuai namanya, dua varian di sana mengedepankan fitur RGB Lightsync, memungkinkan sistem pencahayaan di headset tersinkronisasi ke perangkat Logitech lain. Namun mereka semua punya tugas utama yang sama: memudahkan pengguna melacak posisi lawan dan membuat pengalaman gaming jadi lebih baik.

Logi 1

Keempat headphone ini mempunyai penampilan yang sedikit berbeda, tapi masih mengusung identitas gaming Logitech G. Lekukan-lekukan di G635 mirip seperti G935, sedangkan G432 tak begitu berbeda dari G332. GM Logitech Gaming Ujesh Desai menuturkan, ” Entah apakah Anda punya keinginan untuk memodifikasi ‘stasiun perang’ di rumah atau agar lebih unggul ketika beraksi dalam permainan battle royale, kami berkomitmen buat menghadirkan kualitas audio serta kenyamanan penggunaan yang superior.”

Logi 2

Sebagai tipe paling high-end, Logitech mencantumkan sejumlah teknologi canggih di G935 7.1 Lightsync. Untuk pertama kalinya mereka menanamkan driver Pro-G 50mm di sana. Driver tersebut mempunyai struktur mirip jala, dimaksudkan buat memaksimalkan output bass serta memastikan profil suara yang well-rounded. Produk turut ditunjang fitur DTS Headphone X 2.0 untuk mensimulasikan penyajian bunyi di ruang tiga dimensi. Lalu di bagian eksterior, G935 dilengkapi earpad kulit sintetis prremium, microphone model baru, serta unit pengendali volume.

Logi 3

Segela macam fungsi di keempat headphone tersebut dapat dikustomisasi melalui Logitech G Hub. Disajikan dengan user interface yang ‘bersih’ dan simpel, software ini memperkenankan gamer melakukan konfigurasi pada periferal gaming mereka untuk tiap judul permainan berbeda, serta memudahkan kita menyimpan ataupun berbagi profil.

Logi 4

Rencananya, keempat produk akan mulai dipasarkan mulai bulan Februari ini. Berikut adalah daftar harganya:

  • G935 7.1 Lightsync Wireless Gaming Headset – US$ 170
  • G635 7.1 RGB – $140
  • G432 7.1 – $80
  • G332 Stereo – $60

Sumber: Logitech.

Apex Legends Raih 1 Juta Pengguna Unik dalam 8 Jam, Akankah Jadi Esports Baru?

Ada yang unik dari peluncuran game terbaru Respawn Entertainment, Apex Legends. Beda dari perusahaan lain yang biasanya membangun hype dengan segudang trailer dan pengumuman, Respawn justru diam-diam saja dan tiba-tiba langsung merilisnya ke pasaran. Sebuah keputusan yang sebetulnya nekat, karena di era modern ini game AAA tanpa marketing apalah jadinya.

Alasan di balik keputusan itu adalah karena Respawn tidak ingin game ini meluncur dengan dibebani citra negatif free-to-play dan loot box. Sejak perusahaan ini dibeli oleh Electronic Arts (EA) di akhir tahun 2017, kasus loot box dalam Star Wars: Battlefront II telah meledak sehingga membuat kepercayaan masyarakat terhadap EA menurun. Respawn ingin agar para pemain langsung mencoba Apex Legends sendiri, baru menilai apakah game ini layak diterima secara positif atau tidak.

“Kami membuat game free-to-play, yang pada dasarnya mengandung loot box, setelah kami dibeli oleh EA, dan game-nya bukan Titanfall 3. Ini adalah resep sempurna untuk rencana marketing yang runyam, jadi untuk apa melakukannya? Ayo kita luncurkan saja game-nya dan biar para pemain memainkannya,” kata Lead Producer Apex Legends, Drew McCoy, kepada Eurogamer.

Rencana tersebut rupanya berhasil. Tanpa marketing besar yang mengumbar janji-janji manis, reputasi Respawn serta kualitas Apex Legends itu sendiri sudah cukup untuk menarik minat gamer dari seluruh dunia. Bahkan game ini telah mencatatkan pencapaian yang cukup luar biasa, yaitu menggaet 1 juta pemain unik dalam waktu delapan jam saja sejak dirilis. CEO Respawn Entertainment, Vince Zampella, bahkan berkata dalam cuitannya di Twitter, bahwa angka tersebut telah meningkat dua kali lipat hanya sehari setelahnya!

Laporan dari VP Esports juga memberi tahu kita bahwa Apex Legends sangat meroket di dunia streaming. Sebagai game yang sangat baru, dan tanpa hype apa pun, Apex Legends sanggup mencapai jumlah viewer puncak sekitar 495.000 orang di Twitch. Ini angka yang sangat bagus, bahkan dibandingkan dengan sesama game battle royale lainnya. Call of Duty: Black Ops 4 misalnya, hanya mencapai jumlah viewer 449.000 orang, bahkan PlayerUnknown’s Battlegrounds saja butuh waktu berbulan-bulan untuk mendekati angka 500.000 viewer.

Drew McCoy juga mengatakan bahwa ia ingin Apex Legends menjadi game yang “mendalam, strategis, serta dapat dikuasai”. Karena itulah Respawn tidak memasukkan kemampuan wall-run meskipun Apex Legends memiliki latar dunia yang sama dengan Titanfall 2. Robot-robot yang disebut Titan pun tidak muncul, karena semua itu akan membuat pertarungan memiliki terlalu banyak aspek yang tak dapat diprediksi.

Dengan sistem permainan yang begitu seimbang, taktis, serta berbasis tim, Apex Legends seolah dirancang dengan formula untuk menjadi salah satu cabang esports. EA dan Respawn memang belum mengumumkan apakah mereka berencana membawa game ini ke ranah esports atau tidak. Tapi melihat besarnya antusiasme pemain sejauh ini, serta desain game itu sendiri, rasanya sayang sekali bila potensi tersebut tidak dicapai. Di Twitter dan Discord saja sudah muncul komunitas tak resmi yang menamakan diri mereka Apex Legends Pro League (ALPL), jadi minat ke arah esports dari penggemar bisa dibilang memang ada.

Saya pribadi sudah mencoba Apex Legends di PS4, dan hasilnya, game ini sukses membuat saya melek semalam suntuk. Padahal saya biasanya bukan penggemar first-person shooter, apalagi battle royale. Ada sesuatu yang unik dari game ini, yang membuatnya ini terasa begitu seru dan adiktif, apalagi bila mendapat squad yang kompak. Dari sekian banyak game yang sudah terbit di pasaran, Apex Legends adalah game battle royale pertama yang saya sukai, dan saya harap game ini bisa terus sukses dalam waktu yang lama.

Sumber: VP Esports, Esports Observer, Eurogamer, Apex Legends

Game Battle Royale Baru Respawn Akan Jadi Hidangan Pembuka Sebelum Titanfall 3 Meluncur?

Sejak E3 2018 berlangsung, studio pencipta Titanfall tak malu-malu lagi mengungkap apa yang tengah mereka kerjakan. Sang CEO Vince Zampella telah mengonfirmasi eksistensi dari Star Wars Jedi: Fallen Order. Kemudian di bulan Desember kemarin, mereka membuka lowongan pekerjaan di posisi Senior Technical Animator untuk proyek yang berkaitan dengan franchise Titanfall.

Ketika itu, saya sempat mempertanyakan apakah dalam menggarap sekuelnya, Respawn akan mempertahankan tradisi game shooter tersebut atau mereka malah bereksperiman dengan mode multiplayer populer – misalnya battle royale. Jawabannya ternyata adalah iya dan tidak. Di akhir minggu kemarin, mulai beredar rumor di Twitter mengenai permainan anyar Respawn yang akan tersedia sebelum Titanfall 3 tiba. Tak lama, Zampella dan Geoff Keighley (host sekaligus produser acara The Game Awards) mengumumkan judulnya: Apex Legends.

Berdasarkan info dari bocoran-bocoran itu, Apex Legends merupakan game battle royale free-to-play yang menyajikan arena tempur untuk 60 pemain. Aspek unik dari Apex Legends adalah, kemungkinan game akan mengusung latar belakang dunia Titanfall tanpa menyertai robot-robot mecha Titan. Langkah tersebut tampaknya ialah realisasi dari keinginan Respawn buat memperluas jagat Titanfall (meski kita belum mendengar soal kelanjutan pengembangan serial TV-nya).

Kepada Kotaku, seorang informan menyampaikan bahwa gameplay Apex Legends bisa diibaratkan seperti perpaduan antara Titanfall, Overwatch dan mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4. Pemain disodorkan pilihan karakter berbeda, masing-masing memiliki kemampuan ‘super. Anda dapat berpartisipasi di medan tempur seorang diri, atau dalam tim berisi tiga pemain.

Developer berencana untuk melepas Apex Legends di tiga platform, yaitu PC, Xbox One dan PlayStation. Segala detail mengenainya akan disingkap dalam acara live stream via channel Play Apex di Twitch setelah Super Bowl berakhir, tepatnya pada tanggal 4 Februari jam 8:00 pagi waktu Pasifik, atau pukul 23:00 malam WIB. Channel Play Apex sendiri baru Respawn luncurkan, dan walaupun saat artikel ini ditulis statusnya masih offline, belasan ribu gamer sudah mulai mengawasinya.

Tingginya minat terhadap Apex Legends terbilang menarik. Titanfall 2 memang berhasil memenangkan sejumlah penghargaan di 2016 berkat kombinasi aspek  multiplayer adiktif dan single-player unik, tapi karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualannya tidak setinggi harapan Respawn. Update buat permainan berakhir pada Desember 2017, sebulan sesudah developer diketahui diakuisisi oleh Electronic Arts.

Via GamesRadar & PC Gamer.

Akan Ada Versi Baru Nintendo Switch yang Lebih Mungil dan Ekonomis?

Hampir menginjak usia dua tahun, Nintendo Switch saat ini sedang menikmati masa kejayaannya. Terhitung hingga bulan Desember kemarin, sang produsen berhasil memasarkan lebih dari 32 juta console hybrid tersebut. Penjualannya kuat berkat kombinasi dari konten-konten first-party eksklusif berkualitas serta melimpahnya permainan-permainan kreasi developer third-party.

Karena muncul lebih lambat dari platform game generasi kedelapan lain, siklus hidup Switch boleh dikatakan masih cukup panjang. Meski demikian, Nintendo tidak berdiam diri ketika kompetitornya sibuk dengan pengembangan produk next-gen. Di bulan Oktober kemarin, mungkin Anda sudah mendengar kabar dari The Wall Street Journal mengenai niatan Nintendo meluncurkan versi anyar dari Switch di paruh kedua 2019.

Kali ini muncul update informasi dari situs Nikkei (Nihon Keizai Shimbun) tentang bagaimana produsen akan menyajikannya. Diterjemahkan oleh Nintendo Everything, produsen dikabarkan tengah menggarap versi ‘mungil’ dan terjangkau dari console Switch. Dan sesuai seperti berita sebelumnya, mereka berencana untuk menyediakan perangkat di tahun ini juga. Tentu saja sejauh ini, belum ada detail mengenai produk tersebut selain dari yang telah terungkap.

The Wall Street Journal sempat mengabarkan bahwa Nintendo mempertimbangkan buat memperbaiki bagian layar Switch. Komponen itu menyimpan sejumlah kelemahan, lalu kualitasnya juga boleh dikatakan masih berada di bawah display smartphone kelas menengah. Mempunyai luas 6,2-inci, panel LCD tersebut cuma menyuguhkan resolusi 720p dengan kepadatan 237ppi.

The Verge sendiri berpendapat, jika memang benar Nintendo sedang mempersiapkan versi ekonomis dari Switch, ada peluang bagian dock yang akan dikorbankan karena ada lebih banyak orang menikmati Switch sebagai perangkat game portable. Komponen kedua yang boleh jadi dihilangkan adalah slot kartu/cartridge, karena belakangan Nintendo tampak lebih gencar dalam menawarkan layanan online serta menyajikan DLC. Tapi perlu diingat bahwa semua ini masih spekulasi.

Revisi hardware sendiri bukanlah hal asing bagi Nintendo. Console handheld seperti 3DS telah mendapatkan beberapa kali update sejak meluncur di 2011. Beberapa variannya meliputi 3DS XL, 2DS, serta tipe bertajuk ‘New’, termasuk New 2DS XL.

Selain hardware, Nintendo juga disebutkan memiliki agenda untuk ‘memperkuat’ layanan online berbayarnya, yaitu Nintendo Switch Online yang meluncur pada bulan September lalu. Produsen sendiri tidak menjelaskan apakah mereka akan mengeksekusinya lewat update atau memperkenalkan platform/layanan terpisah. Nintendo mencoba menjajakannya ke kalangan gamer antusias yang ‘bersedia membayar lebih’…

ASUS Update Lini Laptop ROG Mereka dengan Grafis RTX

Pada 29 Januari kemarin, Asus meluncurkan tiga laptop ROG terbarunya yang mengusung teknologi kartu grafis GeForce RTX. 

GeForce RTX merupakan kartu grafis gaming terbaru besutan NVIDIA. Kartu grafis ini menggunakan teknologi terbaru berupa arsitektur turing dan RT Core yang diklaim mampu menghadirkan kualitas visual luar biasa pada game yang Anda mainkan. Salah satu fitur yang diunggulkan dari seri ini adalah teknologi Ray Tracing.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Apa itu teknologi Ray Tracing? Intinya, teknologi ini memungkinkan memberi efek visual pantulan cahaya di dalam suatu game menjadi sangat realistik, layaknya di dunia nyata. Jimmy Lin selaku Regional Director Asus South East Asia mengatakan, “berkat teknologi baru dari NVIDIA, tiga laptop baru ROG kali ini menawarkan performa yang sangat tinggi dan belum pernah ada pada sebuah laptop gaming sebelumnya. Tidak ada game yang tidak bisa dijalankan dengan mulus di laptop baru ROG ini”.

Tiga laptop baru ROG ini sendiri adalah ROG G703GX, ROG Strix GL504GW, dan ROG Strix GL704GV. Ketiganya punya spesialisasi mereka sendiri-sendiri. ROG G703GX punya spesialisasi sebagai laptop gaming super kencang pengganti PC Desktop High-End. Maka dari itu, tak aneh jika laptop yang satu ini sudah dipersenjatai dengan prosesor Intel terbaru yaitu Intel Core i9 dan tentunya kartu grafis NVIDIA GeForce RTX 2080.

Lalu ROG Strix GL504GW kini hadir dengan pembaruan kartu grafis. Terakhir adal ROG Strix GL704GW yang juga mendapatkan pembaruan kartu grafis.

Sumber: Press Release Asus
Sumber: Press Release Asus

Teknologi RTX dari NVIDIA merupakan teknologi terbaru dalam soal kartu grafis. Teknologi yang pertama kali rilis pada Oktober 2018 lalu ini menjanjikan performa yang lebih kencang, sehingga diklaim mampu memproses efek visual paling rumit sekalipun. 

Ketiga laptop baru ROG ini sudah dijual di berbagai laman belanja online Indonesia dengan harga masing masing: ROG Strix GL704GV Scar II Rp36.999.000, ROG Strix GL504GW Scar II Rp40.999.000 dan, ROG G703GX Rp80.999.000.

Gamepad SteelSeries Stratus Duo Siap Temani Anda Nikmati Game PC, Android dan VR

Terkenal akan headset, keyboard dan mouse-nya, debut SteelSeries di segmen gamepad boleh dikatakan kurang mulus. Varian Stratus dianggap terlalu mungil dan terlampau mahal, lalu meski Stratus XL disajikan buat menjawab keluhan tersebut, saat itu produk belum didukung aspek software yang memadai. Namun tentu saja, sang perusahaan gaming gear asal Denmark itu sudah belajar banyak.

Minggu ini, SteelSeries kembali memperkenalkan controller game baru, kali ini disediakan untuk menunjang tiga platform hiburan yang punya karakteristik serta khalayak berbeda: PC berbasis Windows, perangkat Android, dan virtual reality. SteelSeries menamainya Stratus Duo. Fleksibilitas menjadi keunggulan utama yang produsen tawarkan, tapi dalam proses peracikannya, SteelSeries masih berkiblat pada arahan desain produk terdahulu.

Seperti Stratus XL, desain Stratus Duo merupakan perpaduan antara controller Xbox dengan DualShock. Tubuhnya ‘berisi’ layaknya gamepad buatan Microsoft itu plus penempatan tombol XYAB yang identik. Namun SteelSeries memposisikan dua thumb stick-nya secara sejajar ala DualShock. Selain D-Pad dan kumpulan action button, saya melihat ada tiga tombol navigasi di sisi muka, rangkaian tombol untuk mengakses fitur-gitur berbeda di atas, serta dua pasang trigger.

Stratus Duo 5

Bagian tombol pelatuk di sana dibekali oleh sensor magnet Hall Effect yang diklaim lebih tahan lama dibanding varian biasa. Sensor ini dipilih demi memastikan input berupa tarikan jari tetap konsisten serta akurat. Lalu tombol analog pada thumb stick juga dibuat agar mampu merespons tekanan secara sigap di mana pun posisi tangkai berada – entah apakah Anda sedang membidik dengan hati-hati ataupun sekadar ‘button mashing‘.

Stratus Duo 1

Nama Duo sendiri diambil dari dukungan konektivitas nirkabel ganda, yaitu lewat Bluetooth dan Wi-Fi 2,4Ghz. Bluetooth 4.1 mempersilakan gamepad tersambung ke perangkat Android dan VR, sedangkan koneksi Wi-Fi di frekuensi 2,4GHz plus bantuan dongle USB memungkinkan controller kompatibel ke PC di jarak maksimal 12-meter. Stratus Duo sendiri akan dibaca oleh sistem sebagai gamepad Xbox (memakai X-input). Itu artinya ia mendukung lebih dari 5.000 permainan di Steam. Tentu saja, Anda dipersilakan menyambungkannya ke PC via kabel.

Stratus Duo 4

Di dalam, SteelSeries Stratus Duo dilengkapi baterai lithium-ion yang menjanjikan sesi gaming hingga 20 jam sekali isi ulang. Kapabilitasnya mirip DualShock 4: gamepad bisa tetap bisa digunakan bermain ketika sedang di-charge.

Stratus Duo 3

Stratus Duo sudah mulai dipasarkan, dijual seharga US$ 60, tapi saat ini produk masih belum tersedia di Indonesia. SteelSeries juga berencana untuk menyediakan SmartGrip, yaitu aksesori tambahan buat mencantumkan smartphone di controller – kabarnya akan ‘segera tersedia’.

Via PC Gamer.

Ikuti Jejak The Division 2, Metro Exodus Tersedia ‘Eksklusif’ di Epic Games Store

Walaupun Epic Games sempat menjelaskan bahwa platform distribusi digital barunya bukan dibuat sebagai pesaing Steam, persentase pembagian keuntungan yang besar untuk developer  mendorong mereka berbondong-bondong pindah ke layanan itu. Awalnya studio yang bermigrasi merupakan para pengembang independen, namun belakangan diikuti oleh publisher seperti Ubisoft.

Beberapa minggu lalu, perusahaan game Perancis itu mengumumkan keputusannya untuk memasarkan Tom Clancy’s The Division 2 secara eksklusif di Epic Games Store. Langkah ini ternyata diikuti pula oleh Deep Silver dalam memublikasikan sekuel kedua seri Metro garapan 4A Games, Metro Exodus. Peralihan storefront dilakukan secara mendadak oleh publisher Deep Silver, dan bisa kita pahami jika gamer meresponsnya secara negatif.

Usia Epic Games Store masih sangat belia (kurang dari dua bulan), dan berbicara soal fitur, layanan ini masih berada jauh di belakang Steam. Yang lebih membuat konsumen kesal adalah, awalnya Metro Exodus ditawarkan lewat Steam dan gerbang pre-order telah dibuka cukup lama. Tiba-tiba, game tidak lagi bisa dipesan di platform punya Valve itu, dan hanya dapat dibeli di Epic Games Store.

Di laman Steam Metro Exodus, Valve menjelaskan bahwa pemindahan game ke layanan lain ‘tidak adil’ buat konsumen. Namun di sisi positifnya, harga game mengalami penurunan dari US$ 60 di Steam menjadi US$ 50. Tapi jangan terlalu senang dulu. Steam sudah lama mendukung mata uang rupiah dan user di Indonesia dimanjakan oleh penyesuaian harga. Dengan mengusung dolar, harga game di Epic Games Store masih tergolong tinggi dan fluktuatif.

Metro Exodus ialah permainan shooter ketiga di seri Metro yang diadaptasi dari novel Dmitry Glukhovsky. Kisahnya kembali difokuskan pada petualangan Artyom di dunia pasca bencana, dengan gameplay yang lagi-lagi mengedepankan formula stealth, horor serta survival. Berbeda dari dua game sebelumnya, Anda tak cuma bisa menjelajahi lorong-lorong bawah tanah, tapi dipersilakan pula buat mengeksplorasi area permukaan secara lebih leluasa. Selain elemen sandbox, tim 4A Games turut menerapkan sejumlah fitur baru seperti sistem cuaca dinamis, perputaran siang dan malam, serta perubahan musim.

Waktu peluncuran Metro Exodus sendiri tidak berubah, yaitu tanggal 15 Februari 2019. Selain di PC via Epic Games Store, game tersedia pula buat PlayStation 4 dan Xbox One. Kabar gembiranya, kesepakatan ‘eksklusif di Epic Store’ antara Deep Silver dan pemilik layanan tidak berlangsung selamanya. Metro Exodus nantinya juga akan meluncur di Steam, pada tanggal 15 Februari 2020.

Uniknya lagi, mereka yang sudah melakukan pre-order di Steam tetap bisa menikmati permainan via platform itu…

Via PC Gamer.

Lenovo Ungkap Arahan Serta Strategi yang Diterapkan di Lini Legion Buat Bermanuver di 2019

CES 2019 merupakan babak baru bagi para produsen hardware gaming. Di pameran teknologi terbesar dunia itu, kita menyaksikan kelahiran laptop-laptop berteknologi real-time ray tracing dan berlayar HDR. 2019 sendiri ialah tahun krusial bagi Lenovo. Brand Legion mereka terbilang masih sangat muda, dan sang perusahaan harus menyusul ketinggalannya dari kompetitor yang telah lebih dulu berkecimpung.

Meski Legion baru berusia dua tahun, lincahnya manuver Lenovo membuat namanya pelan-pelan terdengar akrab di telinga para gamer. Momentumnya dipercepat dengan pelaksanaan turnamen Legion of Champions, yang dikelola Lenovo secara kolaboratif bersama Intel. Legion of Champions Series III 2019 berakhir minggu lalu, dan sebelum acara dimulai, Lenovo terlebih dulu mempresentasikan perangkat-perangkat yang jadi andalan di tahun ini.

Ada sepasang varian PC laptop serta dua desktop yang jadi formasi utama lini Legion di 2019, namun sang produsen tampaknya mencoba memasarkan perangkat gaming portable secara lebih agresif. Model notebook terdiri atas tipe Y740 dan Y540, masing-masing menyajikan opsi layar 15- dan 17-inci. Lalu di kelas desktop tersedia PC mid-tower T730 dan T530, serta tipe small form C530 dan C730 – yang meluncur di Indonesia pada bulan Desember lalu.

Laptop gamin Lenovo Legion Y740.

 

 

Proses pencarian desain ideal

Legion bukanlah produk gaming pertama buatan Lenovo. Dahulu, perangkat-perangkat tersebut dipasarkan di bawah nama Y series. Dan ketika brand Legion diumumkan di CES 2017, desain Y series masih melekat erat di sana. Identitas Legion baru mulai matang setahun sesudahnya, bisa kita lihat dari transformasi pada wujud produk anyar mereka. Tentu saja, Lenovo tetap mempertahankan logo Y ala visor Clone Trooper di Star Wars.

LOC 1 15

Mengusung konsep ‘stylish on the outside, savage on the inside‘, deretan laptop anyar Legion lebih menyerupai ThinkPad ketimbang perangkat gaming portable standar. Wujudnya tak lagi mencolok, tapi lebih minimalis dan elegan. Arahan baru tersebut diambil karena produsen meyakini bahwa hobi gaming bisa muncul dari semua kalangan – misalnya pekerja kantoran, kalangan pengajar atau pelajar, desainer, arsitek dan lain-lain.

LOC 1 5

Banyak di antara para profesional menginginkan perangkat berperforma tinggi tanpa perlu menonjolkan identitasnya sebagai gamer. Terlebih lagi, data terakhir menunjukkan populasi gamer perempuan yang terus meningkat secara stabil, dan kini proporsinya telah mencapai 41 persen. Itulah hal yang mendorong Lenovo buat meracik laptop-laptop seperti Y740 dan Y540 agar penampilannya tetap netral dan siap menjadi solusi menyeluruh untuk bekerja maupun bermain.

LOC 1 11

Dijelaskan oleh senior product manager Teddy Lee dalam wawancara di Bangkok minggu lalu, proses perancangan produk Legion baru ternyata cukup kompleks. Pertama, mereka melakukan diskusi secara internal dan memberikan kesempatan bagi tim untuk mengajukan segala macam ide, dari mulai penempatan touchpad, sampai pemilihan warna LED yang aman bagi mata. Pencahayaan RGB memang menarik dilihat, tetapi beberapa warna tertentu ternyata bisa membahayakan penglihatan.

LOC 1 7

Setelah itu, barulah Lenovo mengajak gamer buat berpartisipasi dalam pengembangannya. Ada lebih dari 700 gamer turut serta dalam program riset untuk membantu produsen menentukan aspek-aspek penting di PC, misalnya implementasi sistem pendingin, pengelolaan kabel, penempatan port fisik hingga mempelajari kebiasaan gamer saat membersihkan PC. Selain itu, Lenovo turut melakukan survei ke gaming room sejumlah partisipan – sebuah lokasi yang dianggap sangat pribadi dan ‘keramat’.

LOC 1 14

 

GeForce RTX mobile dan fleksibilitas untuk konsumen

Laptop Legion merupakan salah satu perangkat gaming portable yang sudah dibekali teknologi real-rime ray tracing Nvidia lewat dukungan kartu grafis GeForce RTX versi mobile. Legion Y740 17-inci punya ruang cukup besar untuk menjadi rumah bagi GeForce RTX 2080 Max-Q; lalu varian berpanel 15-incinya menyajikan dua pilihan GPU, yakni RTX 2070 Max-Q dan RTX 2060. Sedangkan kedua tipe Legion Y540 sendiri ditopang oleh kartu grafis RTX 2060.

LOC 1 13

 

Awalnya, variasi model notebook Legion sedikit membingungkan. Saya sempat bingung membedakan antara Y740 15-inci dan Y540 (yang ternyata tidak dipamerkan). Tapi beragamnya pilihan notebook sebetulnya merupakan realisasi dari komitmen Lenovo buat mengedepankan fleksibilitas, yaitu dengan mempersilakan konsumen memilih perangkat yang sesuai kebutuhan dan modal. Kedua model dipasarkan di kisaran US$ 1.100 sampai US$ 2.700. Saya pribadi berharap agar harganya di Indonesia tidak terlalu berada jauh di atas angka ini.

LOC 1 10

 

Soal populernya mobile gaming…

Meledaknya kepopuleran aktivitas gaming di mobile direspons secara berbeda oleh produsen PC. Tentu saja, naik daunnya segmen itu memengaruhi permintaan konsumen akan ‘produk niche‘ seperti laptop gaming. Sebagai efeknya, Asus mengikuti jejak Razer dalam menyediakan smartphone gaming, sedangkan MSI menawarkan alternatif lewat software MSI Gaming App. Namun Lenovo sendiri tidak ambil pusing soal ini.

LOC 1 6

Chief marketing officer Lenovo Asia Pasifik Bhaskar Choudhuri menyampaikan pada saya bahwa sejatinya, smartphone punya peran besar di gaming: sebagai pintu gerbang ke jagat video game yang begitu luas. Ia mempertemukan pemain dengan komunitas serta memudahkan gamer menemukan minatnya. Begitu mereka mulai serius bermain, standar terhadap perangkat pendukung pun pelan-pelan meningkat. Pada akhirnya, sang gamer sadar ia membutuhkan hardware ideal serta bertenaga demi menunjang hobinya.

LOC 1 12

Dan sekali lagi, laptop Legion bukan hanya diramu untuk ber-gaming, tapi juga buat menangani proses-proses komputasi berat. Hardware-nya dikemas dalam desain minimalis yang dapat mudah beradaptasi dengan kepribadian Anda, sehingga ia cocok pula jadi rekan kerja sehari-hari.

LOC 1 8

Agate Akuisisi Ekuator Games, Jamin Masa Depan Seri Celestian Tales

Agate yang merupakan perusahaan developer dan penerbit game terbesar di Indonesia baru saja mengumumkan langkah akuisisi terhadap sebuah perusahaan game lain, yaitu Ekuator Games. Menurut siaran pers yang dirilis Agate, bergabungnya dua perusahaan yang sama-sama bermarkas di Bandung ini telah resmi berlaku sejak tanggal 5 Januari 2019, dengan total nilai akuisisi senilai Rp5 miliar.

Akuisisi ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi talenta-talenta game developer lokal, juga usaha untuk meningkatkan kualitas karya anak bangsa. CEO Agate, Arief Widhiyasa, mengatakan bahwa ia ingin mempersatukan kekuatan milik Agate dengan talenta para kru Ekuator Games, dengan harapan mereka bisa bersama-sama mendorong perkembangan industri game Indonesia ke ranah global.

Celestian Tales: Old North | Screenshot 1
Celestian Tales: Old North | Sumber: Steam

Rumor tentang bergabungnya kedua perusahaan ini sudah beredar sejak sekitar perempat akhir 2018, namun pengumuman resminya baru diluncurkan sekarang. Ekuator Games pun sebenarnya telah bekerja sama dengan Agate sejak lama sebelum terjadinya akuisisi. Penggabungan ini bisa dibilang sebuah acara “pulang kampung”, karena Ekuator Games sendiri sebenarnya didirikan oleh kru yang sebagian besar adalah mantan karyawan Agate.

“Sebelum merger Ekuator udah co-dev sama Agate buat project baru. Di project ini Ekuator practically bergerak sebagai divisi sendiri yang terpisah dari Agate. Setelah merger kita masih jadi divisi sendiri, tapi integrated dengan Agate,” jelas Cipto Adiguno, eks-CEO Ekuator Games yang kini menjabat sebagai Vice President of Consumer Games di Agate.

Selain proyek baru yang belum bisa diumumkan tersebut, sebagian kru Ekuator Games juga sempat terlibat dalam pembuatan Valthirian Arc: Hero School Story. Sementara dalam game bikinan Ekuator Games, yaitu Celestian Tales: Old North, pengerjaan soundtrack digarap oleh para komponis dari divisi musik Agate yang dulunya disebut sebagai Agate Simfonia.

Salah satu manfaat langsung yang muncul dari merger antara Agate dan Ekuator Games ini adalah jaminan atas masa depan franchise Celestian Tales. Ketika proyek Celestian Tales dimulai, Ekuator Games merencanakan agar game tersebut menjadi sebuah trilogi. Celestian Tales: Old North merupakan bagian pertama, dan Ekuator telah merilis DLC cerita tambahan berjudul Howl of the Ravager. Akan tetapi game keduanya, yaitu Celestian Tales: Realms Beyond, mengalami hambatan sehingga belum bisa diselesaikan.

“Sebagai bagian deal merger Agate akan funding sisa development Celestian Tales sampai memenuhi semua kewajiban Kickstarter-nya. IP-nya jadi milik Agate,” demikian ungkap Cipto kepada Hybrid. Menurut jadwal yang mereka cantumkan di situs Kickstarter, Celestian Tales: Realms Beyond seharusnya dirilis pada bulan Desember 2017. Dengan adanya merger ini para penggemar Celestian Tales bisa tenang karena petualangan Lucienne, Reynard, dan kawan-kawan pasti akan diceritakan sampai selesai.

Selain merger dengan Ekuator Games, Agate juga tengah mempersiapkan diri untuk melakukan relokasi markas. Saat ini kru Agate sudah mencapai 170 orang, dan kantor Agate yang berada di Bandung wilayah Gegerkalong kurang memadai untuk jumlah tersebut. Semoga saja semua perubahan ini dapat terus membawa dampak positif, dan Agate bisa menciptakan produk yang melampaui kesuksesan Valthirian Arc: Hero School Story nantinya.