Visinema Terima Pendanaan Seri A Rp45,5 Miliar Dipimpin Intudo Ventures

Hari ini (26/2) Visinema mengumumkan pendanaan seri A senilai US$3,25 juta atau setara Rp45,5 miliar. Putaran ini dipimpin oleh Intudo Ventures, didukung investor sebelumnya yakni GDP Venture dan Ancora Capital. Di tahap awal, perusahaan telah mendapatkan investasi dari GDP senilai US$2 juta.

Modal tambahan yang didapat akan difokuskan untuk membangun kapasitas dalam produksi konten animasi, akuisisi talenta dan ekspansi internasional.

“Industri film Indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat selama beberapa tahun terakhir, baik dalam film panjang maupun format konten unik lainnya, dan terus ada permintaan yang signifikan untuk konten lokal bermutu tinggi. Dengan konten ‘Hollywood-caliber’ yang diproduksi sendiri, kami percaya bahwa Visinema memiliki posisi yang baik untuk menyampaikan lebih banyak cerita Indonesia kepada audiens, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia,” ujar Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip.

Di sebuah kesempatan Bekraf menyampaikan, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan jumlah penonton bisokop Indonesia capai 230%. Bahkan jumlah layar lebar bertumbuh cepat dalam tiga tahun terakhir, dari 800 menjadi 1800 layar. Sementara mengutip data MPAA, Indonesia kini berada di peringkat ke 16 untuk pangsa pasar Box Office dunia. Nilai pasar yang dihasilkan mencapai $345 juta.

Pun demikian dengan karya sineas lokal, beberapa film berhasil menyita perhatian jutaan penonton. Pada tahun 2016 contohnya, dari 15 film teratas penonton yang dirangkul capai 30 juta orang. Data yang dihimpun Ideosource memaparkan bahwa sebenarnya value chain dalam industri perfilman Indonesia sudah terisi dengan baik. Baik dari sisi produksi hingga distribusi.

Jajaran perusahaan yang mengisi value chain industri perfilman nasional / Ideosource
Jajaran perusahaan yang mengisi value chain industri perfilman nasional / Ideosource

Dalam laporan yang diterbitkan tahun 2017 tersebut juga dirinci besaran alokasi pendanaan yang diterima industri. Disebutkan 50% investasi menyasar beragam perusahaan yang bermain dalam ekosistem perfilman, tidak hanya pemegang IP (intellectual property), tapi juga kanal distribusi dan pemasaran. Sementara 30% fokus pada investasi perusahaan produksi film, lalu sisanya 20% dikucurkan pada filmaker atau produser independen.

Visinema ingin bangun ekosistem produksi secara menyeluruh

Geliat pasar yang ada cukup membuat para pemain di industri optimis. Taruh visi ambisius, berbekal sumber daya yang ada, Visinema ingin kembangkan ekosistem studio yang komprehensif. Tujuannya untuk membantu proses film secara end-to-end, mulai dari pematangan konsep, pengembangan bakat, produksi, distribusi hingga monetisasi.

Saat ini perusahaan telah memiliki sub-organisasi seperti Visinema Music yang memproduksi musik untuk film; Visinema Campus untuk perekrutan dan lab kreatif; dan Skriptura yang menjadi ruang bagi penulis. Tidak hanya tampil di bioskop atau televisi, konten film dan serial yang diproduksi juga mulai didistribusikan melalui kanal digital seperti Netflix, iflix dan Goplay.

Selain digemari konsumen karena kemudahan yang diberikan, platform video on-demand nyata-nyata memberikan manfaat lebih baik kreator film sebagai kanal distribusi yang cukup efisien. Terlebih di tengah persaingan antar-platform yang kini jumlahnya sudah mencapai belasan, salah satu strateginya masing-masing pemain ingin sajikan serial orisinal mereka. Melalui karyanya, seperti Filosofi Kopi The Series, Visinema pun ikut dapat untung darinya.

Nilai ekonomi yang dihasilkan dari film juga sangat besar – sejalan dengan kualitas yang makin meningkat. Berikut ini catatan capaian terbesar film yang diproduksi studio lokal berdasarkan revenue:

Capaian revenue tertinggi dari film lokal selama dua dekade terakhir / Statista
Capaian revenue tertinggi dari film lokal selama dua dekade terakhir / Statista

Founder & CEO Visinema Angga Dwimas Sasongko mendirikan perusahaannya pada tahun 2008. Melalui kesuksesan film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Keluarga Cemara membuat studio ini main dikenal kalangan masyarakat.

Ketika Tokopedia Proklamirkan Budaya Berbagi Ilmu

Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Filosofi tersebut mungkin yang menginspirasi Tokopedia memasuki usia satu dekadenya untuk memperkenalkan Tokopedia Academy, sebuah wadah untuk menelurkan talenta digital baru khusus teknologi, manajemen produk, desain produk dan data.

Ada empat pilar yang ingin ditekankan di Tokopedia Academy, yakni konferensi, workshop, kemitraan bersama universitas dan pemerintah. Inisiasi dalam masing-masing pilar secara bertahap sudah diperkenalkan sejak tahun lalu.

Misalnya, kemitraan dengan Universitas Indonesia untuk AI Center of Excellence. Lalu, konferensi teknologi START 2020 yang diselenggarakan perdana pada Sabtu, (22/2) di Jakarta.

Sejumlah petinggi Tokopedia dalam acara temu media untuk konferensi START 2020

Senior VP of Engineering Tokopedia Herman Widjaja menjelaskan, Tokopedia Academy adalah wujud perusahaan untuk kembali berkontribusi ke komunitas. Selama ini komunitas punya peranan yang sangat penting dalam pengembangan perusahaan.

“Tokopedia Academy seperti umbrella dari seluruh inisiasi, di mana kami bisa give back untuk talenta digital di Indonesia. Untuk konferensi START, kami ingin rutin setiap bulan dengan skala lebih kecil. Kami juga akan minta praktisi infrastruktur teknologi untuk berbagi,” ujarnya.

Di dalam workshop, secara rutin akan diisi dengan berbagai kelas pelatihan intensif yang diisi oleh orang-orang Tokopedia untuk kalangan umum secara gratis. Durasi pelatihan akan fleksibel tergantung kebutuhan masing-masing topik.

“Setelah selesai dari pelatihan kami harapkan peserta enggak hanya dapat knowledge dari tim kita, juga saat on job training,” imbuh VP of Engineering Tokopedia Aswin Tanu Utomo.

Minim konferensi khusus teknologi

Co-Founder & CEO Tokopedia William Tanuwijaya menjelaskan, selama satu dekade ini startup digital yang tumbuh di Indonesia semakin banyak. Akan tetapi, acara konferensi yang ada saat ini lebih menitikberatkan pada potensi bisnis.

Padahal, bagi perusahaan teknologi yang paling dibutuhkan adalah kekuatan inovasi oleh manusianya itu sendiri. Tulang punggung tersebut ada di tim teknologi yang perlu dieskalasi kemampuannya.

“Tokopedia bisa berkembang karena ada guru. Kesalahan-kesalahan yang kita lakukan menjadi pengalaman terbaik. Pengetahuan ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang sedang buat startup atau korporasi yang sedang menuju transformasi, dengan mengambil intisari dari pengalaman kami sehingga tidak perlu melakukan kesalahan sama,” terang William.

Dia mencontohkan, saat situs Tokopedia down sebelum investor global masuk dan memberikan transfer ilmu, solusi yang diambil sangat konvensional dan sering mengandalkan informasi yang didapat dari Google. Ketika solusi tersebut dicoba, sering kali gagal sampai mencari solusi-solusi berikutnya.

Beberapa investor di balik Tokopedia ada Sequoia yang merupakan investor awal dari Google; dan Softbank adalah investor awal dari Alibaba. Begitu investor global masuk, bala bantuan datang dengan membawa best practices dari portofolio mereka. Transfer ilmu tersebut begitu terasa, hingga mampu membuat Tokopedia ada di posisi sekarang.

Co-Founder & Vice Chairman Tokopedia Leontinus Alpha Edison menambahkan, konferensi teknologi masih menjadi barang langka di Indonesia. Di luar negeri, kegiatan seperti ini sering digelar oleh perusahaan teknologi ternama, seperti Google dengan Google I/O dan Facebook dengan F8-nya.

Di dalamnya berisi sesi berbagi yang sangat bermanfaat untuk eskalasi kemampuan dan bisa diterapkan langsung dalam pekerjaan. Para pembicaranya kebanyakan punya banyak pengalaman dan bersedia membagikan kesalahan-kesalahannya kepada semua orang di seluruh dunia.

Budaya tersebut perlu digalakkan di Indonesia agar makin banyak perusahaan teknologi yang bermunculan ke depannya. Menurutnya, dalam mengembangkan ekonomi digital tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan sendirian, butuh talenta-talenta berbakat.

“Sekarang sudah zamannya kolaborasi. Akademi ini buat sesi kita berbagi buat Tokopedia, dampak dari melakukan ini pasti jangka panjang dan tidak berdampak langsung. Itu tidak masalah. Menurut saya, masalah teknologi di tiap perusahaan itu beda-beda, jadi enggak bisa main copy,” ujar Leon.

Cetak generasi “PayPal Mafia”

Pernyataan William dan Leon cukup dimaklumi. Konferensi yang digelar khusus untuk engineer di Indonesia belum pernah diadakan secara mandiri oleh satu perusahaan teknologi lokal dalam skala besar. Kegiatan sejenis, selama ini digelar oleh komunitas dan asosiasi yang berkaitan dalam scoop lebih kecil.

Di luar negeri, kegiatan ini sekaligus menjadi ajang showcase teknologi teranyar yang berhasil dikembangkan oleh tim teknologi. Sementara itu, kegiatan pelatihan engineer sebetulnya juga sudah dilakukan oleh berbagai perusahaan global, seperti Google dan Apple.

Startup edtech seperti Dicoding bahkan mendedikasikan dirinya untuk menciptakan ekosistem IT dengan pilar-pilar pendukungnya. Perusahaan lainnya ada Gojek lewat Go-Academy. Konsepnya kurang lebih mirip dengan Tokopedia, hanya saja belum mengadakan konferensi skala besar.

Leon melanjutkan, turut sertanya Tokopedia untuk berkontribusi ke komunitas teknologi, adalah bentuk keinginannya menciptakan generasi “PayPal Mafia” berikutnya yang bisa memberikan signifikan buat negara.

PayPal Mafia adalah julukan untuk mantan para karyawan dan founder PayPal yang mendirikan dan mendanai sejumlah perusahaan teknologi seperti Tesla Motors, LinkedIn, YouTube, Facebook, Airbnb, Uber, Pinterest dan SpaceX. Mereka memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan digital secara global.

Salah satu acara berbagi ilmu yang diadakan di kantor Tokopedia

William juga menambahkan, dirinya menginginkan seluruh karyawan Tokopedia yang berhasil di internal diberi kesempatan untuk naik jabatan atau bangun startup lain yang sedang kesulitan mencari talenta digital. Menurutnya, Indonesia butuh lebih banyak perusahaan teknologi dan mengadaptasikan lebih banyak teknologi baru. Sejalan dengan fokus berikutnya Tokopedia setelah melewati dekade pertama.

Saat ini Tokopedia memiliki lebih dari 7,2 juta merchant sekitar 86% di antaranya adalah pengusaha baru. Lalu 250 juta produk yang dijual, lebih dari 90 juta pengguna aktif bulanan (MAU) atau setara sepertiga dari penduduk Indonesia setidaknya mengunjungi Tokopedia satu kali dalam sebulan.

Aplikasi Tokopedia telah didukung oleh lebih dari 12 ribu jenis perangkat. Dilengkapi dengan fitur dinamis agar semua perangkat bisa mengunduhnya. Fitur ini berisi fungsi dasar dari Tokopedia, besaran kapasitas akan bertambah menyesuaikan dengan tambahan fungsi yang mereka pakai. Tidak hanya marketplace, Tokopedia punya vertikal lainnya yakni produk digital, fintech, travel dan hiburan.

Disebutkan juga, perusahaan menampung lebih dari 1 petabyte data, setara 1 juta gigabyte. Ada lebih dari seribu engineer yang bergabung di Tokopedia, jumlahnya berlipat-lipat ganda dari 1,5 tahun sebelumnya hanya ratusan saja. Pada tiga tahun lalu, jumlahnya baru puluhan orang saja.

Seluruh tim teknologi di Tokopedia kini bekerja dengan konsep microservice. Ada lebih dari 300 microservices di sini. Microservice adalah jenis arsitektur dalam membangun aplikasi oleh tim developer yang membagi layanan-layanan yang ada menjadi bagian lebih kecil dan saling terhubung satu sama lain.

Application Information Will Show Up Here

JD.id Konfirmasi Sandang Status “Unicorn” (UPDATED)

Platform e-commerce JD.id mengonfirmasi kepada DailySocial bahwa valuasi perusahaan sudah melebihi US$1 miliar. Dengan demikian JD.id menambah jajaran unicorn Indonesia menjadi 6 perusahaan. Termasuk dalam daftar “elit” ini adalah Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan Ovo. Tiga startup di jajaran ini beroperasi di vertikal e-commerce.

Pihak JD.id enggan merinci berapa dana yang diperoleh dan nilai valuasi saat ini. Mereka juga tidak mengonfirmasi rumor pendanaan dari Gojek yang santer terdengar dari tahun lalu. Menurut sumber kami, ada beberapa pihak yang terlibat dalam pendanaan terakhirnya.

Awal tahun lalu Gojek dan JD mengumumkan pembentukan joint venture.

Situs e-commerce yang miliki jargon “menjual barang dengan jaminan asli” tersebut hadir ke Indonesia sebagai hasil kerja sama strategis antara raksasa e-commerce Tiongkok JD.com dan private equity Provident Capital. Provident sendiri adalah investor Gojek dan bersama JD.com juga membangun joint venture JD di Thailand.

Menurut laporan e-Conomy SEA, pangsa pasar e-commerce di Indonesia telah mencapai $US21 miliar pada tahun 2019 dan diproyeksikan bertumbuh pesat jadi US$82 miliar pada 2025 mendatang. Tak ayal para raksasa e-commerce terus kuatkan strategi bisnis.

Lanskap persaingan di vertikal bisnis tersebut juga sangat ketat, karena JD.id berhadapan dengan unicorn lainnya yakni Shopee, Tokopedia, Bukalapak dan Lazada.

Tahun 2019, Tokopedia catatkan Gross Merchandise Value (GMV) mencapai 222 triliun Rupiah. Sementara pada paruh pertama tahun 2019, Bukalapak umumkan GMV capai 70 triliun Rupiah, sementara untuk periode yang sama Shopee catatkan GMV di angka 20,1 triliun Rupiah.

Sementara itu, jika ditinjau dari statistik kunjungan platform pada kuartal ketiga tahun 2019, riset iPrice mengemukakan data sebagai berikut:

Peta persaingan bisnis e-commerce Indonesia ditinjau dari trafik platform / iPrice
Peta persaingan bisnis e-commerce Indonesia ditinjau dari trafik platform / iPrice

Ada banyak pendekatan yang dilakukan oleh pemain e-commerce untuk memenangkan pasar. Jika platform seperti Bukalapak dan Tokopedia gencarkan program kemitraan, JD.id dalam beberapa kesempatan selalu menyampaikan fokusnya untuk perkuat logistik, khususnya fitur same-day delivery.

Application Information Will Show Up Here

Masalah yang Coba Diselesaikan Fintech untuk Kalangan “Unbankable” di Pedesaan

Masih besarnya jumlah masyarakat di pedesaan yang belum tersentuh oleh layanan finansial perbankan dan institusi keuangan lainnya, menjadi salah satu alasan mengapa fintech hadirkan solusi. Mereka debut menawarkan produk yang cukup mendasar, seperti voucher pulsa, pembayaran PPOB, layanan transfer dana hingga pinjaman uang. Beda dengan perbankan, mereka jadikan pebisnis mikro seperti pemilik warung sebagai agen untuk menjembatani transaksi.

Sebagai salah satu startup Indonesia yang menyadari benar peluang tersebut, Payfazz ingin menjadi layanan finansial yang hampir serupa dengan perbankan. Namun tanpa memiliki kantor cabang dan hanya mengandalkan teknologi, konsep tersebut diklaim paling ampuh untuk masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Dalam sesi #Selasastartup kali ini, Co-founder & CEO Payfazz Hendra Kwik menjabarkan beberapa fakta menarik dan alasan mengapa saat ini masih banyak masyarakat Indonesia di luar pulau Jawa yang belum memiliki akun rekening, simpanan hingga kesempatan untuk mendapatkan modal untuk usaha kecil mereka.

“Dengan layanan yang kami miliki harapannya bisa lebih banyak lagi UKM di pedesaan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan usaha mereka yang akan berimbas kepada masyarakat sekitar dan secara langsung meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan.”

Akses terbatas

Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial (unbankable).

Masyarakat di perkotaan bisa dengan mudah datang ke bank atau lembaga finansial lainnya. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di pelosok kesulitan untuk mendapatkan akses finansial tersebut. Dari sisi lembaga penyedia layanan pun kadang alami kendala, misal harus keluarkan modal besar untuk mendirikan kantor cabang di daerah tersebut.

Dengan alasan itulah Payfazz yakin teknologi dapat mengatasi kesenjangan tersebut. Dengan menggandeng agen yang kebanyakan adalah pemilik toko kelontong, bisa mempermudah semua proses memanfaatkan aplikasi. Bukan hanya pembelian pulsa, melalui teknologi yang dimiliki kini masyarakat yang tinggal di pedesaan juga bisa mendapatkan kesempatan untuk meminjam modal, menyimpan uang dan lainnya.

“Untuk produk keuangan dibutuhkan data yang sangat akurat, untuk itu melalui agen kami terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar bisa memberikan data yang tepat dan terbiasa mengakses teknologi memanfaatkan aplikasi di smartphone,” kata Hendra.

Kesadaran menabung

Masih banyaknya masyarakat di pedesaan yang tidak terbiasa menyimpan hasil usaha mereka, dan menghabiskan semua hasil panen atau usaha secara langsung, kerap menjadi persoalan dan sering ditemui di pedesaan. Melalui inovasi teknologi yang dimiliki, diharapkan bisa mengajarkan lebih banyak lagi kebiasaan menabung di kalangan masyarakat pedesaan, dengan memanfaatkan agen-agen yang tersebar.

Saat ini masih banyak masyarakat pedesaan yang menyimpan uang mereka di dalam rumah dan enggan untuk menyimpan di bank karena terbatasnya layanan perbankan yang tersedia di pelosok desa. Memanfaatkan agen yang dimiliki, tentunya bisa mempermudah proses tersebut, sekaligus membantu mereka untuk terbiasa menyimpan uang dan tidak melakukan cara-cara lama dalam hal perencanaan keuangan.

“Saat ini sekitar 64% masyarakat di Indonesia tidak pernah menyimpan uang, akibatnya ketika ada bencana uang mereka hilang karena mereka hanya menyimpan di kaleng di rumah mereka. Melihat fenomena tersebut kami melihat ada suatu urgensi dengan menyediakan akses perbankan yang sama dengan di kota-kota besar untuk kemudian diterapkan di daerah,” imbuh Hendra.

Inovasi teknologi

Berawal dari hanya menyediakan produk dalam jumlah terbatas, Payfazz kini menghadirkan berbagai layanan finansial untuk masyarakat di pedesaan. Mencoba menggantikan posisi kantor cabang bank yang masih sangat minim jumlahnya.

Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun.

“Fokus kami sejak awal hingga saat ini adalah meng-cater masyarakat di pedesaan yang masih underprivileged dan terkucilkan dari layanan perbankan. Harapannya kami bisa menyediakan layanan kepada lebih banyak lagi masyarakat di pedesaan bukan hanya untuk keperluan finansial pribadi namun juga untuk mengembangkan usaha mereka lebih besar lagi,” terang Hendra.

Cashlez Rencanakan IPO di Maret 2020, Targetkan Dana 100 Miliar Rupiah

Cashlez, yang terkenal sebagai perusahaan payment gateway, tahun 2019 mengklaim mencatat pertumbuhan bisnis yang cukup signifikan. Makin agresif, mereka segera merealisasikan rencana IPO, tepatnya pada Maret 2020 mendatang. Akhir bulan ini juga sudah diagendakan untuk acara public expose.

Dikutip dari Investor Daily, Cashlez berencana melepas 20% saham ke publik dengan target dana yang diinginkan didapat Rp100 miliar. Salah satu rencana pasca-IPO, perusahaan akan mengaikuisi perusahaan fintech yang bergerak di bidang transaksi tol non-tunai dan aplikasi pengelolaan parkir.

“Perusahaan yang akan kami akuisisi bergerak di bidang yang sama, tapi mereka lebih spesifik membuat transaksi tol non-tunai atau aplikasi untuk perparkiran. Mereka juga membuat vending machine,” terang CEO Cashlez Teddy Setiawan.

Kerja sama dengan mitra bank dan lembaga finansial non-bank juga akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan. Saat ini Cashlez sudah memiliki sekitar 6 ribu mitra. Targetnya tahun ini bisa merangkul 4 ribu  merchant baru.

Kinerja 2019 yang membuat optimis

Sepanjang tahun 2019 kemarin merchant Cashlez disebut meningkat dua kali lipat. Jumlah transaksi juga tumbuh 200% dan GTV naik 180% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pencapaian tersebut lebih tinggi dari target yang ditetapkan.

Rinciannya, metode pembayaran menggunakan kartu naik 182%, pembayaran e-commerce 180%, pembayaran digital termasuk dompet elektronik naik sebanyak 60%.

Di tahun 2019 kemarin perusahaan mendapat pendanaan seri A dari Sumitomo Corporation. Jangkauan layanan juga meluas, hingga 2019 akhir kemarin mereka sudah hadir di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Bali, Medan, hingga Makassar. Cashlez juga tampak serius dalam hal kerja sama. Tak hanya bank, mereka juga menggandeng perusahaan e-money seperti LinkAja, Ovo dan GoPay.

IPO saat ini menjadi salah satu pilihan bagi startup untuk menggalang dana. Tercatat sudah ada beberapa startup lokal yang sudah dan berencana untuk melakukan IPO. Di fintechKinerjaPay sudah lebih dulu melakukan IPO, Netzme sedang berencana menuju ke sana.

Di segmen payment gateway Cashlez saat ini bersaing dengan beberapa nama seperti Midtrans, Doku, Xendit, Duitku dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Alibaba Cloud Membangun Ekosistem Digital dengan Menggelar Pelatihan Talenta

Lihat artikel ini dalam tampilan baru DailySocial.id

Cloud, big data, machine learning adalah jenis teknologi paling sering disebut di era serba digital seperti sekarang. Dapat dikatakan menguasai ketiga teknologi tersebut, merupakan modal mutlak untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini.

Dari ketiga jenis teknologi di atas, cloud merupakan salah satu yang paling krusial. Ia memudahkan konsumen, baik individu maupun korporasi, untuk menganalisis data dari mana pun dan kapan pun. Khusus untuk korporasi, mereka tidak perlu repot-repot membangun sendiri infrastruktur penyimpanan yang rumit dan mahal.

Alibaba Cloud adalah salah satu penyedia layanan cloud terbesar di dunia dengan sekitar 61 availability zone di 20 kawasan yang tersebar di seluruh dunia. Mereka mendirikan pusat data pertamanya di Indonesia pada Maret 2018, disusul yang kedua pada Januari 2019, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar terpenting bagi Alibaba Cloud di Asia Pasifik.

Dari beberapa tonggak-tonggak penting tersebut, cukup membuat Alibaba Cloud memahami bahwa Indonesia sedang bergerak menuju (sepenuhnya) digital. Menjamurnya startup dan transformasi digital oleh banyak korporasi, menciptakan permintaan layanan digital, seperti cloud, lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun apa yang dilakukan oleh Alibaba Cloud untuk mendukung transformasi digital di Indonesia lebih mengedepankan pendekatan yang holistik.

Salah satunya dengan menggelar “Digital Talent Empowerment Program” dengan menggandeng perguruan tinggi dan institusi. Tujuan dari program tersebut adalah melatih 2.000 mahasiswa dalam bidang teknologi digital, khususnya teknologi cloud dan intelijen.

Empowerment partnership ini merupakan bagian dari komitmen Alibaba Cloud untuk pemberdayaan talenta. Selain itu yang dilatih juga tidak hanya mahasiswa, tapi juga para trainer, agar mereka dapat memberdayakan teknologi Alibaba Cloud yang terbaru,” jelas Head of Alibaba Cloud Indonesia, Leon Chen.

Leon menjelaskan keinginan Alibaba Cloud menggelar program ini bukan tanpa alasan. Ia melihat sumber daya manusia di Indonesia punya potensi dan keinginan belajar yang besar. Potensi tersebut dapat dimaksimalkan apabila didukung dengan akses pengetahuan yang memadai untuk masyarakat luas.

Alibaba Cloud memandang ini sebagai kesempatan untuk berbagi pengetahuan. Sebagai pihak yang memiliki teknologi, Alibaba Cloud membantu publik menjembatani mereka untuk dapat memiliki akses terhadap pengetahuan teknologi teranyar.

“Sebenarnya tidak ada isu SDM di Indonesia, tapi saya rasa mereka hanya belum menemukan caranya mencari pengetahuan tersebut. Dan itu yang mendorong Alibaba Cloud membuat startup program, pelatihan, karena yang terlihat SDM di sini sangat mau belajar, berpotensi besar, serta menyerap pengetahuan dengan cepat,” imbuh Leon.

Inisiatif Alibaba Cloud ini melibatkan beberapa universitas terkemuka seperti Universitas Bina Nusantara dan Universitas Prasetia Mulya, Di sisi lain Alibaba Cloud juga menggandeng Trainocate, PT Inovasi Informatika, dan BLOCK71 Jakarta untuk melengkapi rangkaian inisiatif pengembangan bakat digital ini. Diah Wihardini, Direktur BINUS Global di Universitas Bina Nusantara, mengatakan kolaborasi dengan Alibaba Cloud ini menguntungkan para mahasiswanya. Dengan kemitraan seperti ini maka kesempatan mereka untuk mengakses pengetahuan teknologi teranyar dari pelaku industrinya langsung.

“Kami berharap mahasiswa yang belajar di Binus ini bisa terserap, cepat mendapat pekerjaan, cepat tanggap, sehingga mereka dapat bekerja untuk kemajuan bangsa. Melalui kerja sama ini, Binus terbantu dengan resources dari Alibaba Cloud dengan materi pengajaran yang up-to-date,” sambung Diah.

Dalam program ini Alibaba Cloud akan turut memberi pelatihan bagi 60 pengajar dari Binus dan Prasetia Mulya. Dari pengajar ini nantinya ilmu yang diperoleh akan disebarluaskan kembali ke 2.000 mahasiswa dari kedua kampus. Leon menambahkan, Alibaba Cloud tak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi lainnya di masa mendatang.

Keberlangsungan industri akan lebih baik ketika ekosistemnya sudah terbentuk. Membangun jaringan sumber daya manusia yang unggul merupakan langkah yang tepat untuk menciptakan ekosistem yang baik.

Namun Alibaba Cloud menganggap inisiatif mereka tak hanya akan menguntungkan industrinya sendiri. Bakat-bakat yang mengikuti pelatihan mereka nantinya akan tersebar luas ke banyak tempat dan mengimplementasikan ilmu yang diperoleh dari Alibaba Cloud. Apalagi sudah umum diketahui, penggunaan cloud computing sudah merentang luas ke berbagai sektor, seiring dengan menjamurnya bisnis digital.

“Dari program empowerment ini, yang terbantu bukan Alibaba Cloud sendiri, dampaknya bahkan bisa dirasakan seluruh negeri ini. Cloud sangat cocok, terutama untuk market seperti Indonesia yang populasinya banyak, sehingga butuh solusi teknologi yang dapat cepat beradaptasi,” pungkas Leon.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.

TIX ID Terlibat dalam Putaran Pendanaan Seri B PouchNATION

Hari ini (13/2), pengembang platform digital untuk pembelian tiket bioskop TIX ID mengumumkan keterlibatannya dalam putaran pendanaan seri B PouchNATION. Tidak diinfokan mengenai besaran investasi, yang jelas aksi korporasi ini menjadi pembuka kerja sama strategis kedua perusahaan. Nantinya teknologi yang dikembangkan startup berbasis di Singapura tersebut akan digunakan TIX ID untuk mendukung kegiatan off-air.

Salah satu produk unggulan PouchNATION adalah perangkat berbasis NFC (Near-field Communication) yang diaplikasikan untuk memudahkan penyelenggara acara mengelola mobilitas peserta. Penerapan paling umum, ketika mengikuti sebuah acara peserta akan mendapatkan gelang yang dilengkapi dengan sensor NFC. Panitia dapat mendata dengan menempel gelang tersebut ke alat scanner atau ponsel, saat peserta masuk atau keluar dari venue.

Pelaporan dilakukan secara otomatis, karena data yang berhasil terekam akan tersinkronisasi ke server dan dianalisis melalui dasbor yang disediakan. Selain untuk akses keluar-masuk acara, produk tersebut juga bisa didesain sebagai sistem pembayaran cashless menunjang transaksi di acara.

“Kolaborasi ini akan memudahkan pengelolaan sebuah acara menjadi sangat efektif, dimulai dari pembelian tiket secara online melalui platform TIX ID, hingga pengelolaan massa, kontrol akses dan kegiatan aktivasi sebuah brand melalui platform PouchNATION,” terang Managing Director TIX ID Sean Kim.

Sementara itu CEO PouchNATION Ilya Kravtsov mengatakan, “Investasi ini sesuai dengan tujuan PouchNATION untuk menajamkan posisi bisnis, bukan hanya di area acara, namun juga di area bisnis lokasi pelaksanaan acara. Kami melihat TIX ID yang memiliki jangkauan lebih dari 80% bisnis bioskop di Indonesia sebagai partner strategis yang tepat untuk visi PouchNATION.”

TIX ID terasosiasi dengan grup korporasi EMTEK, dengan kepemilikan saham 30%. Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki sekitar 5 juta pengguna aktif. Di bulan Maret 2020, cakupan platform akan diperluas, tidak hanya jual tiket bioskop, namun juga tiket ke berbagai acara. Selain itu akan turut membantu promotor melakukan pengelolaan acara off-air secara lebih efektif dengan teknologi.

Di Indonesia, TIX ID bersaing langsung dengan beberapa perusahaan. Misalnya dengan decacorn Gojek yang telah miliki layanan pemesanan tiket bioskop GoTix dan platform penjualan tiket acara Loket. Selain itu ada beberapa pemain seperti Goers yang juga berada di lini bisnis serupa.

Putaran pendanaan dipimpin Traveloka

Putaran pendanaan seri B PouchNATION telah dimulai sejak Juni 2019, waktu itu Traveloka membuka sekaligus memimpin pendanaan, didukung SPH Ventures. Investasi tersebut diberikan setelah Traveloka mulai fokus kembangan lini bisnis Xperience, diharapkan teknologi NFC yang dikembangkan dapat mendukung posisi perusahaan sebagai “discovery platform”.

PouchNATION telah menangani rata-rata $5 juta nilai transaksi bulanan dari beragam jenis acara. Persebaran produknya sudah meliputi pasar Singapura, Filipina, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Di Indonesia, mereka bernaung di bawah PT Easy Touch Group yang belokasi di Jakarta.

Application Information Will Show Up Here

Alamat.com Dikabarkan Telah Diakuisisi Wahyoo

Alamat.com yang selama ini dikenal sebagai platform online yang menyediakan solusi untuk membantu para konsumen menemukan toko-toko jasa dan gaya hidup dikabarkan telah diakuisisi Wahyoo. Situs web dan aplikasi Alamat.com pun sudah tidak bisa diakses.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi hal tersebut, hanya saja pihak Wahyoo masih enggan memberikan komentar. Yang menguatkan kabar ini adalah, dua pendiri Alamat.com Daniel Cahyadi dan Michael Diharja per September 2019 menjadi COO dan CTO dari Wahyoo, sesuai dengan profil masing-masing di LinkedIn.

Kali terakhir pemberitaan DailySocial mereka menyebutkan sudah membantu sekitar 35 ribu pemilik bisnis offline untuk mengadopsi pendekatan online. Serupa visinya dengan apa yang sedang diupayakan Wahyoo melalui konsep “new retail” untuk memberikan sentuhan digital kepada warung-warung makan.

Wahyoo hingga akhir tahun 2019 kemarin berhasil mengajak 13.050 warung untuk bergabung. Warung-warung tersebut akan mendapatkan solusi-solusi dari Wahyoo, termasuk mendapat kemudahan akses untuk barang-barang dari merek FMCG.

“Karena ini di tahun 2020, fokus kami lebih ke inovasi produk, memperkaya fitur yang ada di dalam aplikasi sesuai dengan kebutuhan mereka [pemilik warung], memperkuat partnership dengan mitra yang strategis seperti perusahaan telekomunikasi, institusi finansial, transportasi online, startup penyuplai bahan baku dan lain-lain,” terang CEO Wahyoo Peter Shearer kepada DailySocial ketika ditanya tentang rencana di 2020 beberapa waktu lalu.

Bergabungnya dua pendiri Alamat.com di Wahyoo bisa jadi karena kesamaan visi mereka soal pebisnis offline. Baik Alamat.com dan Wahyoo sama-sama berangkat dari kepedulian untuk memajukan para pebisnis offline di Indonesia dengan segenap solusi berbasis teknologi yang dihadirkan. Mengingat potensi untuk inovasi warung di 2020 cukup tinggi.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Umumkan Triawan Munaf sebagai “Venture Advisor”

Hari ini (04/2) East Ventures umumkan bergabungnya Triawan Munaf di jajaran kepemimpinan sebagai Venture Advisor. Dalam tugasnya, ia akan membantu perusahaan menggali potensi terbaik dari startup Indonesia dan membantu mereka untuk mengembangkan bisnisnya ke tingkat regional.

“Pak Triawan berbagi nilai yang sama dengan East Ventures. Dengan pengalaman dan kemampuannya, kami berharap dapat mengembangkan ekonomi digital ekonomi Indonesia lebih cepat,” ujar Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Memasuki dekade kedua dalam perjalanannya, East Ventures berencana untuk terus menggandeng lebih banyak perusahaan ke dalam portofolionya dan berupaya untuk memberikan dampak lebih besar di ekosistem startup Indonesia yang saat ini berkembang pesat.

Dana kelolaan East Ventures, yang terdiri dari early stage fund dan growth fund, kini telah tumbuh menjadi aset senilai US$1,2 miliar. Perusahaan turut berpartisipasi dalam 20 exit selama satu dekade terakhir.

“Saya senang dapat bergabung dengan perusahaan modal ventura terdepan yang memiliki visi yang sama dengan saya, yaitu membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan menciptakan ekonomi digital yang lebih inklusif untuk kebaikan bersama,” sambut Triawan.

Selain di East Vetnures, mantan Kepala Bekraf tersebut kini juga menjabat sebagai Komisaris Utama Garuda Indonesia. Ia juga dipercaya menjadi Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam proses peleburan Kementerian Pariwisata dan Bekraf.

Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.

Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.

Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.

Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures
Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures

Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.

Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.

Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.

Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures
Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures

Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.

Langkah selanjutnya untuk stakeholder

Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.

Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.

“Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya,” terangnya.

Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.

Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. “Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil.”

Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.

“Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta.”

Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.

Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.

Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.

“Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi,” pungkasnya.