Harap-Harap Cemas Ekosistem Industri Kreatif dan Ekonomi Digital Pasca Pengumuman Kabinet Indonesia Maju

Kemarin (23/10) Presiden Joko Widodo telah memilih dan mengumumkan daftar menteri dan pejabat untuk kabinet barunya. Kendati selama masa kampanye jargon “ekonomi digital” disampaikan, namun daftar kementerian yang diumumkan cukup mengejutkan pelaku di ekosistem startup, sebagai salah satu ujung tombak dari ekonomi digital nasional.

Ada dua hal yang cukup mengganjal, pertama dileburnya Bekraf ke dalam Kemenpar, menjadi Kemenparekraf. Peleburan menjadi istilah untuk tidak menyebutnya sebagai peniadaan. Kendati dipimpin sosok yang digadang-gadang identik muda dan kreatif, namun ini mengindikasikan turunnya prioritas untuk pengembangan industri kreatif, termasuk startup digital. Bagaimana tidak, sejauh ini peran Bekraf cukup signifikan dirasakan para pelaku industri.

Program-programnya secara spesifik menyasar kebutuhan insan kreatif, terlihat dari susunan deputi yang ada, meliputi riset, permodalan, infrastruktur, pemasaran, hak kekayaan intelektual, dan hubungan antarlembaga. Sementara idealnya dengan potensi yang ada, pariwisata memang menjadi fokus tersendiri.

Ekonomi kreatif tidak bisa dipandang sebelah mata

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Bekraf pada tahun 2016, sektor ekonomi kreatif berkontribusi pada 7,35% GDP nasional, menyumbangkan nilai lebih dari 922 triliun rupiah. Secara kontinu, angka tersebut beranjak naik hingga diproyeksikan bertumbuh 4,13% hingga akhir tahun ini. Ekonomi kreatif telah menopang hampir 17 juta pekerja, dari berbagai bidang termasuk startup digital.

Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf
Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf

Mengacu pada sumber lain, misalnya hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, tahun ini ekonomi digital Indonesia telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan meningkat tajam hingga $133 miliar di tahun 2025 mendatang. Sektor e-commerce, ride-hailing, travel, dan media menjadi pendorong utamanya. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi yang terdepan di Asia Tenggara.

Hal-hal yang disayangkan

Selain Bekraf, pengayom industri digital nasional adalah Kemkominfo. Sejauh ini, Rudiantara cukup aktif melakukan advokasi pelaku startup, dengan target ambisius melahirkan unicorn baru. Untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan berbagai upaya, termasuk mengakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai. Kini Johnny Gerald Plate terpilih menjadi Mekominfo. Nama tersebut tergolong sangat baru bagi sebagian besar pelaku industri kreatif dan digital – mungkin tidak demikian di politik. Ini menjadi poin kedua.

Langkah tangkas dibutuhkan untuk mengayomi ekosistem kreatif dan digital yang saat ini bertumbuh sangat cepat. Disrupsi yang dihadirkan sangat nyata mengubah cara-cara baru di masyarakat. Ekosistem bukan lagi di usia “early-stage”, sebaliknya sudah masuk ke “scale-up”, sehingga dibutuhkan rekam jejak yang relevan dari pemangku kebijakan yang menaunginya. Saat pengumuman menteri kemarin, Johnny didaulat presiden untuk mengurus hal berkaitan dengan keamanan siber, kedaulatan data, dan industri TIK domestik. Tugas yang sangat berat dan serius.

Hari Senin (22/10) lalu, kehadiran Nadiem Makarim ke istana cukup memberikan angin segar bagi industri. Banyak yang berharap pembentukan kementerian baru yang khusus menaungi ekonomi kreatif dan digital. Nyatanya, ia diposisikan pada Kementerian Pendidikan. Memang, SDM menjadi isu krusial yang harus direvolusi dengan pendekatan yang lebih berdampak. Namun rekam jejak Nadiem untuk menangani penyelarasan bisnis disruptif menjadi hal yang disayangkan untuk tidak dioptimalkan.

Berat untuk tidak pesimis

Startup digital telah melahirkan sektor fintech, mereka mampu memfasilitasi berbagai kalangan yang sebelumnya tidak tersentuk layanan perbankan pada produk-produk keuangan, dengan konektivitas teknologi. Startup digital telah melahirkan sektor ride-hailing dan online marketplace, membuka ribuan peluang bisnis sekaligus mentransformasi UKM melalui internet. Belum lagi berbicara soal sektor new retail, healthtech, edutech, dan lain-lain yang mulai memberikan dampak berarti bagi Indonesia.

Berat untuk memberikan pemakluman, kendati tahu bahwa ada kalkulasi politik yang harus dipertimbangkan Presiden.  Semoga ini bukan proses untuk mengorbankan industri kreatif dan digital untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih besar.

Mengenal Lebih Jauh Gamification di Toyota Fun/Code 2019 Roadshow Bandung

Masih dalam acara Toyota Fun/Code Roadshow Bandung, melanjutkan artikel sebelumnya kali ini giliran CTO Agate, Teguh Budi Wicaksono membagikan insight tentang bagaimana industri game yang saat ini meningkat sangat pesat juga dapat memberikan impact yang baik bagi masyarakat.

Indonesia memang salah satu gudang gamer terbesar di dunia. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia juga melahirkan sejumlah pengembang game terkemuka dengan game buatan lokal yang tak kalah saing dari luar.

Sebagai salah satu game studio lokal, Agate melihat peluang pengembang game di tanah air masih sangat menjanjikan, dengan menyasar berbagai segmentasi pasar, bukan hanya B2C tapi juga B2B.

Berkembangnya Gamification

Bagi Teguh, industri game dapat diibaratkan sebagai industri dopamin atau industri yang produknya dapat dinikmati orang. Industri film dan musik juga termasuk di dalamnya. Bicara skala, Teguh menilai industri game sudah melampaui produk hiburan lain, seperti industri film. Sebagai perbandingan, nilai industri game di 2017 telah mencapai $108,9 miliar, hampir tiga kali lipat dari industri film yang sebesar $40,6 miliar.

Diskusi panel Funcode Bandung

Apalagi, industri game telah berevolusi sejak 2015. Industri game tidak lagi melulu pada produk konsol dan PC yang cenderung tak praktis dan lebih mahal. Kehadiran smartphone memunculkan potensi lebih besar terhadap pertumbuhan industri game.

Selain itu, lanjutnya, definisi game kini telah berkembang luas dan telah diadopsi lintas industri, mulai dari militer hingga kesehatan. Ada banyak kasus pemanfaatan game untuk kebutuhan simulasi, seperti operasi jantung dan latihan menembak.

Teguh menekankan pentingnya mengejar kualitas di industri ini. Menurutnya, industri game berbeda dengan perusahaan teknologi atau startup.

Karena dalam hal ini, game tidak lagi dilihat oleh konsumen sebagai produk lokal atau global. Namun, lebih kepada game apa yang disukai dan berkualitas. Dengan kata lain, pengembang lokal harus bisa mengejar kualitas dari pemain global.

Ada banyak elemen dalam dunia game yang dapat membuat orang terikat atau menjadi ketergantungan dengan sebuah game. Dengan adanya fenomena tersebut, membuat banyak praktisi maupun developer di belahan bumi ini yang mencoba memanfaatkan peluang tersebut dengan mempelajari elemen-elemen dari game, lalu menerapkannya dalam suatu bidang keilmuan yang kini dikenal dengan istilah gamification. Di mana elemen-elemen yang ada di dalam suatu game, kini diterapkan untuk keperluan di luar game yang salah satunya adalah sebagai metode pelatihan karyawan.

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa gamification adalah menyatukan suatu masalah dalam aplikasi non-game menjadi memiliki unsur game, sehingga dapat mengikat penggunanya. Dalam hal ini, gamification juga bisa diterapkan dalam sebuah hackathon.

Contoh yang paling mudah adalah membuat simulator mengemudi (driving simulator) yang dapat menampilkan nilai jika kamu mengemudi dengan baik. Atau membuat sebuah aplikasi yang menilai cara kamu mengemudi secara efisien. Dari beberapa contoh tersebut tentunya dapat disimpulkan bahwa gamification juga dapat membantu membantu industri otomotif.

Pertanyaannya, mampukah Anda mengimplementasi konsep gamification dalam sebuah MVP? Buktikan bahwa Anda dapat menyelesaikan tantangan product development dalam 24 jam untuk dunia otomotif dari Toyota, dan layak mendapatkan total hadiah senilai 100 juta rupiah.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan TOYOTA sebagai bagian rangkaian kegiatan TOYOTA Fun/Code 2019

Belajar Mengembangkan Produk yang Menjadi Solusi di Roadshow Toyota Fun/Code Bandung

Setelah beberapa waktu lalu sukses di Yogyakarta, rangkaian roadshow Toyota Fun/Code terus berlanjut. Kali ini giliran Bandung mendapat kesempatan mengikuti rangkaian roadshow Toyota Fun/Code 2019. Bertempat di Prime Park Hotel Bandung, kali ini giliran CTO Nodeflux Faris Rahman dan CTO Agate Teguh Budi Wicaksono.

Seperti di Yogyakarta, Roadshow Toyota Fun/Code Bandung diisi dengan pemaparan pengalaman dari pembicara dalam proses pengembangan produk dan inovasi korporasi. Beda lingkup bisnis, beda kisah juga tentang bagaimana para pemimpin lini teknologi ini mengatasi setiap permasalahan. Inilah yang menjadikan tiap pemaparan dari pembicara sebuah referensi yang layak bagi mereka yang ingin masuk di dunia startup atau yang tengah mengembangkan produk.

Roadshow Bandung

Sesi presentasi dibuka oleh Faris yang menyampaikan bahwa implementasi yang pas dari teknologi mampu menghasilkan sebuah pemrosesan baru yang lebih pintar, cepat dan efisien. Salah satunya seperti yang diupayakan oleh Nodeflux, startup yang mengembangkan produk berbasis distributed-computation platform.

Pentingnya menjadi adaptif
Riset pasar adalah salah satu tahap krusial dalam alur implementasi pengembangan produk, sebelum akhirnya Minimum Viable Product (MVP) siap untuk diuji secara praktis baik oleh pasar yang disasar maupun tim internal. Riset perlu dilakukan secara mendalam. Di sisi lain, product owner atau bahkan CEO ingin segera produknya rilis agar kompetitor tidak mengambil alih ide.

“Kuncinya adalah adaptiveness ya. Memang di startup itu dituntut untuk agile,” ujar Faris menanggapi hal tersebut, khususnya berkaitan dengan produknya yang berkenaan dengan bisnis B2B. “Pertama kita lihat, fiturnya seperti apa? Apakah ini bisa berlaku general untuk klien yang lain? Kalau misalnya iya, berarti impact-nya tinggi. Tapi kalau enggak, kita lihat lagi, effort yang kita bikin harus sejauh apa?”

Ide cemerlang tidak cukup sebagai bekal untuk membawa suatu produk bisa rilis dengan fitur optimal. Perlu validasi reguler dan juga memahami betul peran dari setiap lini operasional dalam kegiatan pengembangan produk. Di Nodeflux, Faris paling tidak mempertimbangkan tiga faktor yang harus ada dalam adopsi produk: kesiapan klien, kemampuan tim internal, dan biaya.

Kembali ke prinsip umum: Amati, Tiru, Modifikasi
Sebesar apa pun skala perusahaannya, implementasi inovasi perlu berangkat dari pembenahan kultur secara internal. Alur kerja dan penentuan skala prioritas menentukan apakah inovasi di perusahaan terkait dapat bertahan di tengah lanskap kompetisi pasar.

Untuk yang satu ini, Nodeflux sudah memiliki kerangka kerjanya, yakni dengan memetakan kebutuhan pasar, kelayakan, keuntungan proyek, dan keberlanjutan hidup produk. Jika itu merupakan bagian dari proses pengembangan, bagaimana dengan proses penemuan ide produk?

Faris Nodeflux

“Kembali lagi ke ATM: Amati, Tiru, Modifikasi,” ujar Faris yang beranggapan bahwa prinsip tersebut menjadi salah satu caranya dalam penemuan ide produk yang menjadi solusi.

Cara tersebut pada dasarnya dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks pengembangan. Misalnya dalam hackathon. Dalam proses penemuan ide yang feasible, orang yang mengikuti hackathon sejatinya dapat menemukan titik tengah antara solusi yang aplikatif sekaligus tantangan yang diberikan. Tertarik ingin mengimplementasi ATM dalam hackathon? Coba saja ikuti tantangan product development untuk dunia otomotif dari Toyota. Ada total hadiah senilai 100 juta rupiah menantimu di sana.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan TOYOTA sebagai bagian rangkaian kegiatan TOYOTA Fun/Code 2019

Jalan Kelam Menuju Ekosistem Startup Indonesia Yang Responsible dan Sustainable

Sejak mulai booming awal tahun 2010, industri startup dan e-commerce telah menjadi salah satu vertikal bisnis primadona di mata investor, founder bahkan ke talenta-talenta teknologi. Dimulai dari Rocket Internet yang memulai Zalora dan Lazada yang mengklaim akan merevolusi online shopping menjadi pengalaman berbelanja model baru, hingga e-commerce niche seperti Tororo dan SaleStock (kini Sorabel) yang menyasar market khusus.

Namun sejak beberapa tahun silam, banyak pemain industri yang sudah mencari jalan pintas untuk menjustifikasi “growth”. Sayapun sempat mengeluhkan praktik bisnis e-commerce yang kurang bertanggung jawab dan tidak sustainable. Mulai dari terlalu fokus kepada metrik-metrik kosmetik seperti Gross Merchandise Value yang sama sekali tidak mencerminkan kesehatan maupun pencapaian sebuah perusahaan e-commerce.

Di kalangan pemain industri e-commerce, praktik “membeli GMV” merupakan rahasia umum yang dilakukan mayoritas (kalau tidak semua) pemain e-commerce. Ingin membukukan GMV Rp. 1 triliun bulan ini? Tinggal pilih “konsultan” yang siap membantu mencapainya, cukup dengan komisi sebesar 2-5%. Kenapa hal ini dilakukan? Untuk memberikan ilusi pertumbuhan cepat (hypergrowth) yang dibayangkan investor, calon investor, calon karyawan, market dan sebagainya.

Ilusi “growth” untuk kebanyakan perusahaan teknologi belakangan ini sedikit berubah ke omset/GMV dan jumlah karyawan, yang akan selalu terdengar manis di media-media mainstream. Jarang sekali yang menyinggung profitability, revenue per employee, net profit per customer, EBITDA, Customer Acquisition Cost (CAC) dan Customer Lifetime Value (LTV). Kenapa?

Semua pendanaan yang didapatkan oleh startup didasarkan pada valuasi, dan valuasi ini hampir mutlak menjadi patokan kesuksesan sebuah startup. Semakin tinggi valuasi, semakin banyak modal yang bisa didapatkan. Namun ketika pendanaan didapatkan, founder seringkali justru fokus ke hal-hal seperti GMV dan jumlah karyawan yang nantinya akan menjadi justifikasi untuk pendanaan lanjutan dengan valuasi yang pastinya lebih besar. Untuk investor, permainannya sederhana. Siapapun yang masuk terlebih dahulu, menang. Siapa yang masuk belakangan, kalah. Siapapun yang masuk terakhir, biggest loser. Ini dengan asumsi, startup-nya tidak memiliki bisnis yang sustainable.

Memang industri ini masih dalam tahap remaja, tahap pencarian jati diri dan eksperimental, tidak hanya di Indonesia tapi secara global. Saya setuju. Dan kasus PHK di Bukalapak merupakan salah satu bentuk koreksi market yang menurut saya cenderung positif untuk industri di Indonesia. Investor sudah harus mulai lebih hati-hati, lebih pintar melihat peluang dan valuasi. Founder juga mulai harus fokus ke metrik-metrik yang memang responsible dan sustainable baik untuk perusahaan, untuk shareholder, untuk konsumen dan tentunya untuk industri secara keseluruhan.

Kasus Bukalapak ini baru ronde pembuka dari koreksi pasar di industri teknologi di Indonesia. Ke depannya proses ini akan terus berlanjut, dan meskipun terdengar cenderung negatif, namun sebenarnya proses ini diperlukan bagi Indonesia untuk bisa menelurkan unicorn-unicorn yang responsible dan sustainable.

Dilema Kepemimpinan dan Visi Internasional MDI Ventures

MDI Ventures belum lama ini kehilangan sosok pemimpin. Pada akhir Juli 2019, Nicko Widjaja resmi ditunjuk sebagai CEO BRI Ventures, sebuah perusahaan modal ventura (PMV) yang dikelola oleh bank pelat merah, BRI.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa pengganti Nicko akan segera diumumkan pada pertemuan pemegang saham berikutnya. Namun sampai saat ini, belum juga ada nama yang ditetapkan sebagai penerus dari perpanjangan tangan Telkom di sektor investasi itu.

Selama menjabat sebagai CEO, sosok Nicko Widjaja terbilang sangat erat melekat dalam tubuh MDI Ventures. Selama kurang lebih 4 tahun berkarya, ia berhasil membukukan 35 portfolio dengan total 5 exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, yaitu Geenie di TSE dan Whispir di ASX.

Sejak berdiri pada tahun 2015, MDI Ventures termasuk salah satu yang pertama menerapkan model Corporate Venture Capital (CVC) didukung Telkom Indonesia. Setelah itu, banyak sektor mulai mengikuti jejak mereka salah satunya adalah Mandiri Capital yang kemudian berkolaborasi meluncurkan Mandiri Digital Incubator di tahun 2016.

Dalam sebuah perusahaan, peran CEO menjadi vital ketika menentukan strategi bisnis serta visi dan misi perusahaan. Selama rezimnya, Nicko Widjaja membawa visi untuk menciptakan inovasi terbaik dalam industri startup yang tengah berkembang. Ia beserta tim MDI Ventures mengedepankan strategi kolaborasi pada startup demi kelangsungan bisnis perusahaan.

Memanfaatkan momentum

MDI Ventures memang sedang dalam posisi yang relatif klimaks, dengan beberapa pemain VC menyebutnya sebagai Corporate Venture Capital dengan performa terbaik. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan yang menurut kabar sedang mengeksekusi rencana ekspansi internasional melalui joint-venture dengan korporat dari negara lain untuk mendirikan CVC/investment arm.

Skenario terburuk yang bisa terjadi bagi MDI Ventures adalah ketika menunda rencana suksesi terlalu lama dan kehilangan dealdeal bagus karena absensi kepemimpinan.

Menurut data Indonesia Insights 2019 yang dikompilasi Ravenry dan Innovation Factory, 29% investasi startup di Indonesia didorong oleh CVC, lebih tinggi dari 20% yang menjadi rataan global. Pesaing terdekat MDI Ventures, dalam hal portofolio, adalah Prasetia Dwidharma dengan 20 portofolio.

Top CVCs in Indonesia - 2019

Telkom harus segera menunjuk pemimpin baru secepat mungkin, terutama di saat banyak korporat swasta dan BUMN lain mulai menjalankan strategi inovasi serupa, termasuk Mandiri Capital dan BRI Ventures, meskipun akan hanya fokus di fintech.

Dengan adanya case study yang bagus dari Telkom dan MDI Ventures, tidak mengagetkan kalau strategi yang sama akan segera direplikasi banyak pemain inovasi korporat baik dalam dan luar negeri.

Mencari pengganti melalui visi

Siapapun calon pemimpin baru dari MDI Ventures, sepertinya akan sangat kecil kemungkinan datang dari internal Telkom Group sendiri. Nicko Widjaja sendiri direkrut secara pro-hire (non-internal grup Telkom) untuk mendirikan MDI Ventures; mengabaikan narasi negatif dan skeptis dari para pemain inovasi korporat dan terbukti berhasil memberikan return yang melebihi ekspektasi.

Beberapa skenario bagi Telkom untuk mencari pemimpin baru MDI Ventures, antara lain dengan melihat ke dalam. Ada beberapa nama seperti Joshua Agusta (VP of Investment), Kenneth Li (Principal of Investor Relations) dan Aldi Adrian (GM of Investments) yang mungkin akan diangkat untuk mengisi kekosongan kursi kepemimpinan perusahaan. Namun kemungkinan terbesar, Telkom akan mencari pengganti dari luar dan bukan tidak mungkin Telkom bersedia mengakuisisi fund yang lebih kecil guna mendukung sinergi dengan kepemimpinan baru.

Dengan mulainya eksekusi rencana ekspansi internasional dari MDI Ventures, Telkom membutuhkan seseorang yang memiliki eksposure ke kalangan korporat internasional (atau minimal di Asia Pasifik) dan juga familiar dengan pergerakan investasi teknologi dunia dan tentunya internal Telkom.

Beberapa nama sempat berhembus di kalangan investor sebagai calon pemimpin baru perusahaan. Nama seperti Arya Setiadharma dari Prasetia Dwidharma dan Irwan Liem dari Gunung Sewu Group yang beberapa kali melakukan co-investment bersama dengan MDI Ventures. Keduanya juga diketahui memiliki exposure yang cukup tinggi di kalangan korporat dan konglomerasi di Indonesia.

Nama lain seperti Arip Tirta (ex CEO UrbanIndo yang pernah menjadi investor di Silicon Valley) juga sempat dihembuskan untuk muncul sebagai nama yang akan diajukan sebagai calon pemimpin MDI Ventures.

Siapapun nama yang akan diusung oleh Telkom Grup untuk mengisi posisi tertinggi di MDI Ventures, harus bisa membawa MDI Ventures ke level internasional dan menjalin JV dengan korporat-korporat dari negara lain; namun juga memiliki kapabilitas risk-taking dan risk management yang mumpuni; sembari membangun portfolio yang menguntungkan.

Saat ini, MDI Ventures bisa dibilang sebagai salah satu CVC dengan performa likuiditas terbaik, namun kekosongan di posisi CEO yang terlalu lama bisa memberikan ruang bagi CVC lain untuk membangun momentum dan merebut portfolio-portfolio apik selagi mereka sibuk mencari pemimpin.


Kristin Siagian dan Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel opini ini.

Menilik ASUS ZenBook S13 UX392 dan Flip 13 UX362, Meluncur Bulan Depan

Pada pertengahan bulan September mendatang, ASUS berencana merilis dua laptop ZenBook terbaru mereka ke Indonesia yaitu ZenBook S13 UX392 dan ZenBook Flip 13 UX362. Di acara sneak preview yang diadakan oleh ASUS (27/8/2019), saya berkesempatan mengenal lebih dekat kedua laptop premium ini dan siapa target marketnya.

Sebelum lanjut membahas perangkatnya, ASUS juga mengungkap sejumlah update strategi bisnis mereka. Berdiri pada tahun 1889 dengan produk motherboard waktu itu, tahun ini ASUS genap berusia 30 tahun.

Pada tahun 2019 ini, ASUS menargetkan menguasai pasar laptop consumer dengan pangsa pasar 50 persen, demikian juga di segmen laptop thin/light yang dibanderol Rp10 juta ke atas, dan 40 persen di pasar modern PC. Sementara, di segmen goverment/education – ASUS menyadari mereka sedikit tertinggal dengan para kompetitornya dan menyupayakan 30 persen.

Pada pasar laptop gaming, tak perlu diragukan lagi bahwa produk ROG mereka memang laris manis. Mereka ingin menjadi nomor satu dengan pangsa pasar 60 persen dan mendominasi segmen graphic card RTX. Sementara untuk smartphone, ASUS mulai meninggalkan smartphone mainstream dan memfokuskan diri di segmen gaming dan power user dengan perangkat seperti ROG Phone 2 dan Zenfone 6.

ASUS ZenBook S13 UX392

Laptop ini merupakan penerus dari ZenBook S UX391, dengan target market para pebisnis yang berada di level executive atau manager, sering bepergian bisnis, dan menggunakan laptop ini untuk menunjang pekerjaan mereka kapan saja di mana saja. Lalu, apa bedanya dengan pendahulunya?

Dalam form factor yang identik, layar ZenBook S13 UX392 sedikit lebih besar yakni 13,9 inci dengan bezel samping 2,5mm dan screen-to-body ratio-nya mencapai 97 persen. Daya tahan baterainya sendiri meningkat menjadi 15 jam sekali charge.

S di sini berarti tiga hal, yakni slim dengan ketebalan body 12,9mm dan bobot 1,1kg. Kemudian, supreme dengan performa powerful, ASUS bilang ZenBook S13 UX392 merupakan laptop dengan discrete graphic NVIDIA GeForce MX150 paling tipis. Prosesor yang digunakan ialah Intel Core i7-8565U dengan besaran RAM 16GB, dan penyimpanan SSD 1TB. Lalu, sophisticated, di mana body-nya dibekali standar militray-grade MIL-STD-810G dan telah mengusung desain ErgoLift.

ASUS ZenBook Flip UX362FA

Beralih ke ZenBook Flip UX362FA, laptop convertible berlayar sentuh 13 inci dengan engsel ErgoLift 360 derajat dan juga dibekali pena ini menyasar kalangan urban trendsetter dan profashionist seperti young professional, traveling photographer, dan content creator.

Engsel putar 360 derajat miliknya menyuguhkan banyak mode pemakaian, mulai dari mode laptop classic, mode tenda, mode display terbaik, dan mode tablet. Uniknya, ZenBook Flip UX362FA juga memiliki touchpad dengan desain NumberPad.

Daya tahan baterainya diklaim mampu bertahan hingga 13 jam sekali charge, lengkap dengan teknologi fast-charge – di mana baterai dapat terisi 60 persen dalam waktu 49 menit. Varian dasarnya datang dengan Intel Core i5-8265U, RAM 8GB, dan penyimpanan SSD 512GB.

Bagian yang paling menarik ialah harganya yang menurut bocoran dimulai Rp15 jutaan. Harga pastinya kita tunggu sampai laptop ini dirilis pada pertengahan bulan depan, kabar baiknya unit review ASUS ZenBook Flip UX362FA sudah saya dapatkan dan saya cukup excited me-reviewnya.

Sulitnya Pemain Baru Masuki Pasar Transportasi “On Demand”

Layanan transportasi on demand di Indonesia sudah berkembang. Belakangan ini ramai diperbincangkan bahwa ada beberapa nama baru yang bakal mengaspal di Indonesia.

Pemain baru yang memulai debutnya di Indonesia adalah BitCar. Layanan yang berasal dari Malaysia ini masuk ke Indonesia di bawah naungan PT Bitokenpay Digital Indonesia. Perusahaan tersebut mengelola merk BitCar di Indonesia.

Bitcar Indonesia saat ini berkantor di kawasan Ruko Garden Shooping Arcade, Central Park, Grogol Jakarta Barat. Layanan yang mulai beroperasi Agustus 2019 ini menawarkan jasa taksi online. Mitra pengemudinya disebut sudah mencapai 1.000 pengemudi.

“Kami ini bukan anak perusahaan, kami kerja sama. Kami pernah ketemu dengan mereka di Malaysia, saya bicarakan beliau setuju. Kami kerja sama menggunakan mereknya,” ungkap COO Bitcar Indonesia Christian Wagey.

Masih dari sumber yang sama, Wagey menjelaskan bahwa mereka tidak memosisikan diri sebagai pesaing, tapi sebagai alternatif mereka bagi masyarakat Indonesia. Bitcar cukup optimis bisa sukses di Indonesia karena strategi pendekatan terhadap komunitas sopir taksi online yang ada.

Ada pula Maxim, aplikasi transportasi online yang sudah beroperasi di sejumlah kota di Indonesia, bahkan sempat terjadi penolakan di beberapa daerah karena menyalahi aturan tarif yang sudah ditetapkan pemerintah. Kemudian FastGo, perusahaan asal Vietnam ini dikabarkan juga menyasar Indonesia sebagai target ekspansi.

Sayangnya, saat ini adalah waktu yang tidak tepat.

Variabel pengganjal

Untuk menarik perhatian pengguna, biasanya layanan akan menggunakan strategi promosi dengan menawarkan potongan harga. Meskipun demikian, strategi memangkas tarif mungkin tak lagi efektif.

Harga masih jadi acuan banyak pengguna sebelum memutuskan untuk mencari tumpangan, tetapi kenyamanan dan kemudahan pembayaran ada dalam variabel-variabel perhitungan. Seiring berjalannya waktu, masyarakat paham bahwa kredibilitas dan keamanan menjadi faktor utama dalam melakukan perjalanan, itu sebabnya potongan tarif tidak lagi efektif.

Tantangan selanjutnya di bagian regulasi. Tak hanya soal izin tetapi juga regulasi yang menata tarif atas dan tarif bawah transportasi online. Regulasi ini cukup lama disiapkan dan baru-baru ini sudah disahkan untuk segera diterapkan sebagai acuan.

Belum lagi, para raksasa perusahaan teknologi transportasi punya segudang promosi setiap harinya.

Loyalitas

Di Indonesia, pengguna ada di ambang loyal dan tak loyal. Saya pribadi dan beberapa orang yang saya temui memiliki lebih dari satu aplikasi dengan fungsionalitas yang sama untuk transportasi online dan belanja. Namun aplikasi-aplikasi tersebut jarang ada lebih dari tiga. Alasannya beragam, mulai dari promo yang ditawarkan cukup menggiurkan atau bahkan aplikasinya ringan sehingga dianggap tidak membebani kinerja smartphone.

Gojek dan Grab menjelma menjadi sebuah aplikasi yang multifungsi. Mereka menyebutnya sebagai “super app”, satu aplikasi dengan segudang layanan di dalamnya. Ini adalah konsep yang sempurna untuk menjaga pelanggan “tak kemana-mana”. Hanya di satu aplikasi. Tak hanya transportasi, keduanya juga menawarkan fitur isi pulsa, pesan makanan, pesan hotel, berbelanja, pesan tiket cinema, hingga bahkan isi pulsa. Keduanya juga memperluas fungsionalitas dengan menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan digital lainnya.

Satu fitur yang menurut saya berperan penting dalam hal menjaga pengguna adalah pilihan metode pembayaran. Integrasi dengan dua platform e-money terbesar di Indonesia, Go-Pay dan Ovo, membuat perjuangan para pemain baru semakin berat.

Gojek dan Grab tak hanya lengkap dari segi layanan, tapi juga jangkauan. Keduanya sama-sama sudah memperluaskan jaringan di hampir seluruh penjuru Indonesia. Kota-kota dengan permasalahan kepadatan lalu lintas sudah mereka singgahi.

 

Dewasa bersama pengguna

Gojek dan Grab saat ini sudah masuk pada fase memperkaya inovasi dan variasi layanan. Masa-masa mencari mitra driver dan pengguna, mengedukasi pasar, dan penolakan-penolakan sudah mereka lewati beberapa tahun lalu. Mereka sudah berkembang dan dewasa bersama pasar. Sebaliknya, para pemain baru di Indonesia, meski sudah beroperasi di negara asalnya, tetaplah pemain baru. Mereka harus mulai dari awal mengenali keunikan pasar Indonesia.

Dari sudut pandang pengguna sulit untuk berpaling dari kedua aplikasi ini. Butuh strategi “pelokalan” bagi para pemain baru dari luar negeri untuk bisa mendapat tempat di Indonesia.

Kesimpulan

Gojek dan Grab ada di mana-mana. Di berbagai kota dan berbagai jenis layanan. Mereka tak hanya berhasil mengakuisisi pengguna di Indonesia tetapi juga berhasil tumbuh dan berkembang bersama pasar yang ada. Gojek dan Grab telah melalui serangkaian penolakan, memaksa regulator menelurkan regulasi, hingga berhasil mengubah keseharian masyarakat.

Saat ini hampir tidak ada celah untuk para pemain baru untuk bisa menggeser dominasi keduanya. Sekedar jadi alternatif cukup berat, promo saja juga tak cukup. Butuh sesuatu yang benar-benar inovatif dan berguna–yang belum ada di keduanya.

Akuisisi Moka oleh Gojek, Jika Benar, adalah Langkah Logis

Kabar burung Gojek akuisisi Moka pertama kali dibawa oleh KrAsia, kemudian diperkuat DealStreetAsia selang sehari kemudian. Representatif Gojek maupun Moka kompak mengeluarkan pernyataan tidak berkomentar terhadap rumor pasar.

Semua ini bisa jadi hanya strategi atau memang benar-benar sedang berproses. Masih ingat hal yang sama juga terjadi di Tokopedia dan Bridestory? Awalnya sama-sama tegas menolak komentar, meski akhirnya dikonfirmasi langsung oleh CEO Tokopedia William Tanuwijaya.

Mengapa Gojek mengakuisisi Moka? Alasan paling logis adalah sebagai salah satu pemimpin pasar, Moka memiliki akses yang luas ke UKM yang menjadi segmen fokus Gojek, melalui GoBiz.

Ketimbang diakuisisi kompetitor, jelas Gojek berharap Moka menjadi bagian ekosistemnya untuk mendominasi pasar, apalagi Moka baru saja mengakomodasi GoPay sebagai salah satu alat pembayarannya. Gojek dan Moka sama-sama menjadi portofolio investor ternama Sequoia (melalui cabangnya di India).

Yang menarik, sesungguhnya Gojek sejak tahun lalu, menurut sumber terpercaya, telah mengelola layanan POS sendiri melalui akuisisi terhadap Nadipos. Saat ini produk mPOS yang beredar di merchant GoFood itu adalah produk Nadipos, di bawah kelolaan Spots, dengan branding “Powered by Gojek.”

Keunggulan Moka

Moka sendiri bisa dikatakan sebagai pemain mPOS terdepan di Indonesia. Ekosistemnya sudah luas, menerima berbagai opsi pembayaran dari pemain uang elektronik (Ovo, Dana, dan LinkAja) dan bisa mencicil lewat Akulaku dan Kredivo, atau lewat kartu kredit dan debit.

VP Marketing and Brand Moka Bayu Ramadhan sempat mengatakan kerja sama lebih lanjut kemungkinan akan membawa perusahaan masuk dan terhubung dengan merchant GoFood yang selama ini belum menjadi merchant Moka. Ketika semua sistem pembayaran terjadi di dalam Moka, bagi sisi merchant tentunya pembukuan akan jauh lebih mudah memantaunya.

Buat Moka, jika benar terjadi proses akuisisi, keuntungan yang bisa didapat adalah lebih tingginya brand awareness mereka di kalangan UMKM. Dengan nama besar Gojek, GoPay dan luasnya merchant GoFood lebih dari 400 ribu, Moka akan lebih mudah mengembangkan bisnisnya dan terintegrasi dengan berbagai ekosistem Gojek.

Sementara buat Gojek, mereka ingin sebanyak-banyaknya memberikan nilai tambah buat para merchant dan memperkuat eksistensi perusahaan lewat ekosistemnya yang sudah melebar ke berbagai elemen bisnis. Kompetitor terdekatnya bisa dianggap belum sampai ke tahap ini.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Hegemoni GoPay-Ovo dan Potensi Duopoli Pembayaran Digital di Indonesia

Kondisi pasar pembayaran digital di Indonesia semakin terlihat bentuknya. Kita bisa lihat dari banyaknya papan promosi dari tiap aplikasi pembayaran digital di pusat-pusat perbelanjaan yang gambarnya sudah itu-itu saja. Hampir bisa dipastikan papan diskon GoPay dan Ovo ada di sana menghiasi wajah gerai tersebut.

Memang kedua entitas itulah yang punya riwayat rajin “bakar uang” dengan menerbitkan diskon-diskon atraktif di berbagai tempat. Di mana ada Ovo, di sana ada GoPay. Meski tak bisa dikesampingkan juga di luar dua jenama itu ada pemain lain seperti Dana atau LinkAja, namun merujuk dari sejumlah riset, keduanya masih sulit menandingi keperkasaan GoPay dan Ovo.

Cerita dari sejumlah kawan yang bekerja di berbagai daerah jadi sekelumit contoh hegemoni GoPay dan Ovo di Indonesia. Seorang kawan di Pekanbaru, Riau, misalnya, bercerita bagaimana popularitas GoFood di sana mendorong orang-orang menggunakan GoPay, sementara Ovo jadi pilihan warga ketika mereka berbelanja di gerai Matahari.

Seorang kolega yang bermukim di Rembang, Jawa Tengah, menuturkan keberadaan Grab sebagai satu-satunya layanan ride hailing di sana efektif mendorong Ovo sebagai digital payment, baik untuk transportasi maupun pengantaran makanan, GrabFood. Sementara penerimaan GoPay masih terbatas di gerai-gerai Alfamart.

Riset Alvara yang dipublikasikan pada 9 Juli 2019 memvalidasi cerita-cerita di atas. GoPay dipilih mayoritas responden dengan skor 67,9 persen, disusul oleh Ovo sebesar 33,8 persen. Sementara temuan DSResearch dalam Fintech Report 2018 menunjukkan GoPay dipakai oleh 79,3 persen responden, disusul oleh Ovo yang dipilih 58,42 persen responden. Teranyar, dalam survei lembaga riset berbasis aplikasi Snapcart yang dipublikasikan pada 15 Juli 2019, giliran Ovo yang disebut menguasai pasar. Perusahaan pembayaran digital milik Lippo itu dipakai 58 persen total responden, disusul oleh GoPay  sebanyak 23 persen.

Ketiga riset ini menjustifikasi bahwa saat ini GoPay dan Ovo merupakan pemain paling dominan dalam pasar pembayaran digital. Paduan antara ekosistem layanan yang dibangun kedua pihak, diskon yang menggiurkan, hingga agresivitas menggandeng mitra merchant, membuat GoPay dan Ovo merajai bisnis ini. Jika kondisi demikian terus berlanjut, maka pasar pembayaran digital di Indonesia akan mengalami sistem duopoli.

Lalu apakah keperkasaan Gopay dan Ovo sebagai alat pembayaran digital tak akan terbendung di masa depan? Jawabannya belum tentu.

Duopoli di Tiongkok

Kita bisa sedikit menyingkap potensi duopoli GoPay-Ovo ini dengan menengok riwayat persaingan pembayaran digital di Tiongkok antara AliPay milik Alibaba dan WeChat Pay milik Tencent. Pada 2004, Alibaba menciptakan Alipay untuk memecahkan isu kepercayaan antara penjual dan pembeli di Taobao. Tak hanya alat pembayaran di marketplace, Alibaba kemudian mengadopsi kesuksesan AliPay ini ke jenis transaksi lain di luar Taobao sehingga menjadi alat pembayaran terpopuler di Tiongkok seperti sekarang.

Selama bertahun-tahun, Alipay otomatis nyaris tak memiliki pesaing, sampai akhirnya WeChat memperkenalkan fitur pembayaran WeChat Pay. Kondisinya saat itu WeChat merupakan aplikasi messenger terpopuler di Tiongkok. Integrasi sistem pembayaran itu sukses menjadikan WeChat sebagai super app, memudahkan pengguna melakukan hampir segala jenis transaksi lewat satu aplikasi. Terobosan teknologi  dan didukung basis pengguna yang masif mengantar WeChat ke peta persaingan teratas di Tiongkok.

Meski WeChat muncul jauh belakangan, pasar yang mereka kuasai langsung menempel ketat AliPay. Pada laporan keuangan Q4 2018, pangsa pasar AliPay sebesar 53,8 persen, sementara Wechat memiliki 38,9 persen. Besaran ini juga menasbihkan bahwa pasar pembayaran digital di Tiongkok bersifat duopoli.

Meski secara teknis ada lebih dari dua perusahaan pembayaran digital di Tiongkok, tak berlebihan mengatakan bahwa hanya AliPay dan WeChat Pay yang mengendalikan pasar di sana. Meski sulit, kondisi ini memaksa pemain lain memutar otak dalam berinovasi seperti halnya WeChat Pay saat berhasil merusak hegemoni tunggal AliPay.

Apa yang terjadi di Tiongkok itu berpotensi terulang di Indonesia. GoPay dapat dikatakan sukses memfasilitasi ekosistem layanan Gojek yang besar dengan pembayaran digital yang andal. GoRide dan GoFood adalah pendorong utama lakunya GoPay. Hasilnya, transaksi menggunakan GoPay sepanjang 2018 diklaim mencapai $6,3 miliar, penyumbang terbesar dari total transaksi Gojek senilai $9 miliar.

Modal serupa juga dikantongi Ovo yang dapat diakses melalui layanan Grab dan jaringan komersial Lippo Group. Dengan 60 juta pengguna saat ini, angka tersebut masih bisa bertambah signifikan setelah Ovo menjalin kerja sama dengan Tokopedia yang mempunyai hampir 80 juta pengguna aktif dan 4 juta penjual.

Namun, GoPay dan Ovo belum tentu tidak tersentuh sama sekali.

Belum tentu duopoli

Ada kemungkinan situasi persaingan di Tiongkok antara AliPay-WeChat Pay tak akan terulang di Indonesia. Menilik pemain lain seperti Dana dan LinkAja, modal dan strategi yang mereka miliki saat ini sama sekali tidak buruk. Dana bisa jadi contoh. Kerja sama strategis dengan Bukalapak mendekatkan mereka langsung ke 50 juta pengguna aktif bulanan dan 4 juta pelapak di sana. Untuk saat ini, Dana menyebut jumlah pengguna layanannya sudah mencapai 15 juta orang dengan 1,5 juta transaksi per hari. Mereka juga rajin menebar promo untuk merebut pengguna baru.

Sementara LinkAja sudah memiliki basis pengguna yang cukup besar sejak masih berwujud TCash. Fintech Report 2018 yang dipublikasi DSResearch mencatat TCash menjadi pilihan 55 persen dari 825 pengguna fintech e-money, hanya kalah dari GoPay dan Ovo. LinkAja mengklaim sudah mengantongi 26 juta pengguna sejak diperkenalkan ke publik pada 30 Juni lalu.

Menjadi alat pembayaran di moda transportasi umum seperti MRT, LRT, dan Commuter Line, serta opsi pembayaran di platform Gojek jadi dua rencana yang cukup strategis untuk mendongkrak jumlah pengguna LinkAja.

GoPay dan Ovo saat ini boleh berstatus sebagai dua kuda pacuan tercepat di arena. Diskon besar-besaran, kecepatan penetrasi ke daerah-daerah, serta ekosistem layanan yang luas merupakan atribut utama mereka dalam mendominasi pasar.

Namun, hal ini tak berarti dominasi GoPay dan Ovo akan bersifat absolut. Modal serta manuver dari Dana dan LinkAja cukup membuktikan bahwa persaingan masih jauh dari usai. Perlu diingat ruang persaingan dalam pasar pembayaran digital di Indonesia masih terbuka lebar. Laporan Morgan Stanley memprediksi jumlah transaksi pembayaran digital di Indonesia akan mencapai $50 miliar atau sekitar Rp700 triliun pada 2027 nanti. Sementara data Bank Indonesia menunjukkan jumlah transaksi yang terjadi sepanjang 2018 masih di kisaran Rp47 triliun.

Konsumen sesungguhnya menjadi pihak paling diuntungkan dalam kondisi pasar seperti ini. Kehadiran Dana, LinkAja, dan platform pembayaran digital lain akan memaksa GoPay dan Ovo sebagai pemimpin pasar untuk tetap berinovasi dan memberikan penawaran yang terbaik. Selama mereka dapat menawarkan layanan yang berkualitas ke konsumen, akan selalu ada kesempatan bagi platform lain untuk merusak duopoli GoPay dan Ovo.