Google Akuisisi Produsen Kacamata Pintar North

Terakhir diberitakan setahun lalu, Google Glass meluncur sebagai produk enterprise generasi kedua. Publik mungkin sudah lupa bahwa ia sempat eksis sebagai produk consumer (meski tidak secara luas), namun sebagian lainnya mungkin juga masih mempertanyakan kapan Glass dapat terealisasi kembali sebagai produk yang dapat digunakan oleh konsumen secara umum.

Google memang tidak punya jawabannya, akan tetapi akuisisi terbaru mereka setidaknya mengindikasikan secuil harapan terkait masa depan Glass ke depannya. Melalui blog resminya, Google mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi North, perusahaan asal Kanada yang sempat mencuri perhatian di tahun 2018 lewat produk debutannya, Focals.

Focals merupakan kacamata pintar yang cukup istimewa. Bentuknya hampir menyerupai kacamata biasa, dan kita tak akan menyadari bahwa ia merupakan sebuah gadget kalau bukan karena bagian tangkainya yang sedikit lebih gemuk dari biasanya. Teknologi display-nya pun unik, memanfaatkan retinal projection berbasis laser sehingga konten yang tampil pada lensa transparannya cuma bisa dilihat oleh si pengguna itu sendiri.

Sayangnya kekurangan terbesar Focals juga diakibatkan oleh teknologi display-nya tersebut. Karena menyangkut mata pengguna secara langsung, konsumen yang hendak membelinya diwajibkan untuk datang ke showroom North untuk menjalani proses 3D scanning kepala terlebih dulu, sehingga pada akhirnya ukuran dan bentuk kacamatanya bisa benar-benar sesuai dengan tiap-tiap pengguna, dan proyeksinya tidak ada yang meleset.

Teaser gambar sekuel Focals yang batal dirilis / North
Teaser gambar sekuel Focals yang batal dirilis / North

Menjelang akhir tahun lalu, North sempat diberitakan sedang menyiapkan penerus Focals yang diklaim lebih ringkas dan mengemas display yang lebih tajam. Sayang produk generasi kedua yang semestinya dijadwalkan hadir tahun ini tersebut tidak akan terwujud karena North memutuskan untuk membatalkan pengembangannya seiring bergabungnya mereka dengan Google.

Mungkinkah teknologi-teknologinya bakal ditransfer ke Google Glass sehingga kita pada akhirnya dapat berjumpa lagi dengan Glass versi consumer? Mungkin saja, tapi Google menolak untuk mendiskusikannya secara detail. Mereka hanya bilang bahwa kedatangan tim North dapat membantu mereka mewujudkan visinya di bidang ambient computing.

Perlu dicatat juga bahwa Focals bukanlah produk pertama North. Mereka juga merupakan pencipta Myo Armband, sebuah perangkat inovatif yang mampu menerjemahkan gerakan otot-otot di pergelangan tangan menjadi input untuk mengontrol berbagai macam perangkat. Google sudah pasti tidak akan menyia-nyiakan teknologinya dan bakal bereksperimen lebih lanjut dengannya.

Sumber: Google dan TechCrunch.

Menilik Merger dan Akuisisi Startup Indonesia Sepanjang 2019

Selain melakukan initial public offering (IPO), salah satu cara exit yang cukup populer untuk dilakukan oleh startup dalam melakukan pengembangan skala bisnisnya adalah melalui merger dan akuisisi (M&A). Dengan melakukan merger dan akuisisi, masing-masing startup dapat saling mengintegrasikan produk maupun operasional perusahaan untuk mencapai keuntungan dan menciptakan produk-produk baru.

Aksi Merger dan Akuisisi Sepanjang 2019

Banyak hal yang menjadi alasan sebuah startup melakukan merger dan akuisisi, mulai dari memaksimalkan efisiensi, meredam potensi disrupsi bisnis, hingga mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan dari perusahaan lain yang diakuisisi. Menurut catatan DailySocial Startup Report 2019, di Indonesia sendiri sudah mulai banyak startup yang memilih M&A sebagai cara exit mereka. Berikut beberapa startup yang tercatat melakukan merger dan akuisisi sepanjang tahun 2019 lalu.

1. Warung Pintar

Di awal tahun 2019 lalu, startup yang menyediakan solusi transformasi digital terhadap operasional toko kelontong, Warung Pintar, resmi melakukan akuisisi terhadap Limakilo dengan nilai yang tidak disebutkan. Kedua startup ini merupakan startup yang sama-sama dibawah naungan portofolio East Ventures. Melalui akuisisi ini, Warung Pintar akan memanfaatkan platform Limakilo untuk memperoleh suplai produk makanan pokok kepada mitra mereka langsung dari para petani.

warung pintar

Selain bisa mendapatkan harganya yang lebih murah, para mitra Warung Pintar juga dapat melakukan pemantauan inventori makanan pokok melalui solusi teknologi yang diberikan oleh Limakilo. Bagi Limakilo sendiri, hal ini dapat membantu mereka untuk mencapai target peningkatan pasokan beras dari petani yang terdaftar di platform mereka serta menambah jangkauan distribusi yang dapat dilakukan.

2. CT Corp

 

20111202121024871

Aksi akuisisi juga dilakukan oleh CT Corp dalam mengakuisisi Female Daily Network tahun lalu. Layanan yang  fokus untuk memberikan informasi seputar dunia kecantikan ini tetap akan beroperasi secara independen, para pendiri pun masih akan tetap memiliki kendali terhadap perusahaan. Akuisisi ini sendiri sejalan dengan kebutuhan Female Daily Network yang mencari mitra strategis dalam mendukung rencana perusahaan yang salah satunya adalah memasuki industri e-commerce yang sesuai dengan audience mereka.

3. Tokopedia

Salah satu startup unicorn Indonesia, Tokopedia, juga melakukan aksi akuisisi pada bulan Juni tahun lalu. Mereka melakukan akuisisi terhadap platform Bridestory dan Parentstory. Melalui aksi ini, Tokopedia akan mengambil alih seluruh aset yang dimiliki oleh kedua platform tersebut, termasuk sumber daya manusianya. Founder & CEO Bridestory, Kevin Mintaraga, sendiri saat ini sudah menjabat sebagai Vice President dari Tokopedia.

tokopedia

Meski begitu, Bridestory dan Parentstory sendiri tetap akan beroperasi dan menciptakan produk secara independen walau telah mengintegrasikan platformnya dengan Tokopedia untuk memperluas jangkauan. Bagi Tokopedia, kehadiran Bridestory sendiri dapat membantu mereka dalam menciptakan kemitraan strategis untuk merangkul bisnis offline dalam mengoptimalkan bisnisnya dengan bantuan inovasi teknologi.

4. Carro

Setelah mendapatkan pendanaan lanjutan dari penggalangan seri B, penyedia layanan marketplace otomotif, Carro, turut melakukan kegiatan akuisisinya terhadap Jualo. Akuisisi ini dilakukan sebagai bagian dari strategi mereka dalam melakukan ekspansi di Asia Tenggara khususnya terhadap pasar otomotif di Indonesia.

1491cc4c99894b5066a7cf793761f52d_Carro-Team-Picture

Setelah diakuisisi, Jualo sendiri saat ini tengah fokus dalam menambah jumlah tim dan mempercepat pertumbuhan bisnis di sektor otomotif. Selain itu, akuisisi ini juga mendatangkan pertumbuhan positif dan terus inovasi-inovasi baru di platform Jualo.

5. Ovo

Perusahaan layanan keuangan digital yang juga saat ini telah berstatus unicorn, Ovo, juga turut meramaikan aksi akuisisi tahun lalu. Tidak tanggung-tanggung, Ovo langsung melakukan akuisisi terhadap dua platform, Bareksa dan Taralite. Akuisisi ini dilakukan untuk memperluas jangkauan dan penggunaan layanan Ovo pada kedua platform tersebut.

1589527498722

Ovo sendiri juga merupakan investor tunggal di Bareksa pada pendanaan seri B mereka dengan nilai yang dirahasiakan. Kolaborasi yang dilakukan oleh Bareksa dan Ovo hadir dalam bentuk produk reksadana yang saat ini bisa dibeli melalui aplikasi Ovo.

Hal ini dapat mempermudah investor untuk melakukan pembelian melalui layanan keuangan digital. Untuk Taralite sendiri, akuisisi ini membantu mereka untuk meningkatkan pemerataan akses dalam penggunaan platform pinjaman online mereka. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan tahun lalu adalah hadirnya produk Ovo Pay Later sebagai salah satu bentuk metode pembayaran di Tokopedia pada tahun lalu.

Masih banyak lagi kegiatan akuisisi yang melibatkan startup-startup Indonesia pada tahun lalu seperti yang dilakukan oleh Yummy Corp, iCarAsia, hingga CekAja. Menurut DailySocial Startup Report 2019, terdapat 11 kegiatan merger dan akuisisi sepanjang tahun lalu. Jumlah ini hampir menyamai catatan pada tahun sebelumnya yang menurut Startup Report 2018 mencatatkan sebanyak 12 perusahaan.

Meski begitu, aksi perusahan ini juga mendatangkan tantangan tersendiri dalam proses melakukannya, mulai dari proses menggabungkan dua budaya perusahaan hingga membutuhkan proses yang tidak sebentar. Untuk mengetahui lebih lanjut seputar kegiatan merger dan akuisisi serta catatan industri startup Indonesia sepanjang tahun 2019 lalu, silahkan download DailySocial Startup Report 2019 melalui link berikut ini.

Facebook Akuisisi Platform Berbagi GIF, Giphy

Salah satu situs berbagi GIF paling populer, Giphy, baru saja diakuisisi oleh Facebook. Meski kedua belah pihak enggan mengonfirmasi, nilai akuisisinya disebut berada di kisaran $400 juta.

Menurut laporan Axios, kedua pihak sudah sempat berdiskusi sejak sebelum pandemi melanda. Yang didiskusikan kala itu cuma sekadar kemitraan saja, namun ternyata seperti yang kita tahu sekarang, malah berujung pada akuisisi. Pasca akuisisi, Facebook berniat untuk semakin memperdalam integrasi koleksi masif Giphy pada aplikasi-aplikasi bikinannya, termasuk halnya Instagram.

Kalau melihat statistiknya, akuisisi ini terdengar sangat masuk akal. Facebook bilang 50% traffic Giphy berasal dari deretan aplikasi Facebook, dan separuh dari 50% itu datang dari Instagram semata. Instagram, seperti yang kita tahu, sudah cukup lama menyediakan integrasi Giphy sehingga pengguna dapat menyematkan GIF ke Story dengan mudah.

Itulah mengapa Facebook berniat menjadikan Giphy sebagai bagian dari tim Instagram. Kendati demikian, Giphy disebut masih akan mempertahankan branding-nya sendiri. Integrasi Giphy di layanan maupun platform lain seperti Slack, Reddit, atau Twitter juga disebut tidak akan terpengaruh oleh akuisisi ini.

Meski begitu, saya tidak akan terkejut kalau seandainya Twitter maupun layanan lain yang bersaing langsung dengan Facebook pada akhirnya melepas integrasi Giphy dan beralih sepenuhnya ke platform GIF serupa macam Tenor. Sebagai informasi, Tenor sendiri sudah diakuisisi oleh Google sejak tahun 2018.

Sumber: Facebook.

Epic Games Akuisisi Cubic Motion

Epic Games mengakuisisi Cubic Motion, startup asal Inggris yang mengembangkan platform untuk membuat animasi wajah yang lebih kompleks dengan seperangkat kamera dan software. Salah satu produk Cubic bernama Persona. Produk yang diluncurkan pada tahun lalu tersebut berupa seperangkat hardware dan software. Teknologi Cubic pernah digunakan dalam beberapa game AAA seperti God of War dari Sony Interactive Entertainment dan Spider-Man buatan Insomniac.

Sayangnya, tidak diketahui nilai akuisisi Cubic oleh Epic. Satu hal yang pasti, Cubic pernah mendapatkan pendanaan sebesar £20 juta (sekitar Rp369 miliar) pada 2017. Ketika itu, ronde pendanaan untuk Cubic dipimpin oleh NorthEdge Capital. Hanya saja, setelah Cubic diakuisisi oleh Epic, NorthEdge tak lagi menjadi investor dari Cubic. Dengan akuisisi ini, semua tim Cubic akan menjadi bagian dari Epic Games. Selain itu, Cubic juga masih akan melayani semua klien mereka, menurut laporan TechCrunch.

epic akuisisi cubic
Hardware yang digunakan oleh Cubic. | Sumber: TechCrunch

“Membuat manusia digital yang realistis adalah tantangan berikutnya yang harus dilewati dalam pembuatan konten, walau merealisasikan hal ini dengan grafik komputer adalah sesuatu yang sangat rumit,” kata CEO dan pendiri Epic Games, Tim Sweeney dikutip dari The Esports Observer. “Menggabungkan teknologi Cubic Motion dalam computer vision dan animasi dengan usaha kami untuk membuat manusia digital, ini akan membawa kami satu langkah lebih dekat dalam mendemokrasikan teknologi tersebut ke semua kreator di dunia.”

Sebelum akuisisi ini, Epic Games telah bekerja sama dengan Cubic untuk membuat sejumlah demo yang menunjukkan bagaimana ekspresi aktor bisa langsung terlihat pada karakter digital secara real-time. Akuisisi ini akan membantu game studio yang memiliki dana besar dalam membuat cut scene yang semakin realistis. Pada saat yang sama, teknologi ini juga pasti akan menarik bagi studio film. Tidak tertutup kemungkinan, keputusan Epic untuk mengakuisisi Cubic akan dapat mendorong semakin banyak studio film untuk menggunakan game engine.

“Animasi wajah yang bisa menampilkan detail dalam ekspresi manusia adalah langkah berikutnya untuk membuat grafik yang realistis,” kata CTO Epic Games, Kim Libreri, menurut laporan Games Industry. “Kami percaya, menggabungkan Unreal Engine milik Epic dengan teknologi 3Lateral dan Cubic Motion adalah cara yang tepat untuk merealisasikan hal itu. Pada akhirnya, ini akan memungkinkan kami untuk membuat mahakarya dengan Unreal Engine.”

Twitter Akuisisi Developer Aplikasi Chroma Stories

Berawal dari Instagram, lalu berlanjut ke Facebook dan WhatsApp, hampir semua platform sosial sekarang dibekali fitur Stories – termasuk halnya YouTube. Secara teknis, konsep feed khusus konten ephemeral ini pertama diciptakan oleh Snapchat, akan tetapi Instagram-lah yang membuatnya jadi sepopuler sekarang.

Twitter, di sisi lain, belum punya fitur serupa. Namun ada kemungkinan mereka bakal menggarapnya, atau setidaknya menyediakan fitur lain yang bertujuan untuk membuat platform-nya terkesan lebih visual. Anggapan ini berdasar pada akuisisi terbaru Twitter, yakni Chroma Labs.

Chroma Labs merupakan pengembang aplikasi iPhone bernama Chroma Stories. Aplikasi ini dirancang untuk membantu penggunanya menciptakan konten Stories yang menarik. Deretan template, filter, dan segudang tool kreatif lainnya disiapkan supaya pengguna dapat mendesain konten Stories yang lebih mengesankan ketimbang jika menggunakan fitur bawaan Instagram atau Snapchat.

Chroma Stories

Aplikasi ini dibuat oleh orang-orang yang sangat berpengalaman di bidangnya. Salah satu cofounder-nya, John Barnett, merupakan sosok yang bertanggung jawab atas lahirnya fitur Boomerang di Instagram, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan perusahaannya sendiri.

Pada kenyataannya, personil Chroma Labs inilah yang membuat Twitter terpikat. Pasca akuisisi, kru Chroma Labs bakal dialihtugaskan ke divisi produk, desain dan engineering milik Twitter, berdasarkan keterangan Kayvon Beykpour selaku Product Lead di Twitter. Aplikasi Chroma Stories sendiri tak akan lagi menerima update, namun tetap bisa digunakan sampai akhirnya ‘dirusak’ oleh update iOS versi baru.

Twitter memang tidak bilang mereka berniat meluncurkan fitur Stories, dan mereka belakangan ini justru sibuk menyempurnakan fitur percakapan di platform-nya. Namun seperti yang sudah Instagram buktikan, Stories tidak selamanya ditujukan untuk visual storytelling, tapi terkadang juga bisa menjadi conversation starter.

Sumber: TechCrunch.

Tencent Mau Akuisisi Funcom, Developer Conan Exiles

Pada Oktober 2019, Tencent membeli 29 persen saham dari Funcom, developer asal Oslo, Norwegia yang membuat Conan Exiles dan Age of Conan. Sekarang, perusahaan asal Tiongkok itu menawarkan untuk membeli semua saham Funcom senilai US$148 juta. Mengingat Funcom sudah menjadi perusahaan terbuka, Tencent siap untuk membeli semua saham dari pemegang saham lainnya. Para pemegang saham bebas untuk menerima atau menolak tawaran ini, tapi dewan manajemen dan pengawas Funcom menyarankan agar mereka menerima tawaran Tencent.

Sementara itu, CEO Funcom, Rui Casais menyambut tawaran Tencent dengan antusias. Dia merasa, Tencent memiliki reputasi yang baik sebagai investor yang bertanggung jawab dalam jangka panjang. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki kemampuan yang baik untuk menangani game-game online. Memang, Tencent dikenal sebagai perusahaan game terbesar di dunia. Saat ini, mereka memiliki saham dari berbagai developer game besar, seperti Riot Games, Epic, Supercell, Ubisoft, Paradox, dan Frontier. Pada awal bulan ini, Tencent juga membeli saham dari Universal Music Group.

Conan Exiles. | Sumber: Steam
Conan Exiles. | Sumber: Steam

“Kami memiliki hubungan dekat dengan Tencent, yang merupakan pemegang saham mayoritas kami dan kami senang dengan penawaran ini,” kata Casais, dikutip dari VentureBeat. “Kami akan terus membuat game-game hebat yang akan dimainkan oleh semua orang di dunia, dan kami percaya, dukungan dari Tencent akan membuat Funcom naik ke level berikutnya. Tencent dapat membantu operasional Funcom dan memberikan insight dari pengalaman mereka sebagai perusahaan besar di industri game.”

Tencent menawarkan untuk membeli saham Funcom seharga 17 krone Norwegia per lembar, 27,3 persen lebih tinggi dari harga saham Funcom pada 21 Januari 2020. Mereka mengatakan, mereka tidak berencana untuk mengubah bisnis Funcom dan akan terus mendukung game online buatan Funcom, seperti Conan Exiles, Secret World Legends, Age of Conan, dan Anarchy Online.

Funcom didirikan pada 1993. Beberapa tahun belakangan adalah tahun paling sukses mereka setelah mereka meluncurkan game survival online, Conan Exiles. Saat ini, mereka memiliki beberapa proyek game. Salah satu yang paling ditunggu adalah game multiplayer survival yang didasarkan pada cerita science-fiction buatan Frank Herbert, Dune.

“Kami kagum dengan kekuatan Funcom sebagai developer dari game multiplayer, action, dan survival. Funcom memiliki rekam jejak dalam membuat game baru yang berumur panjang,” kata Senior Vice President of Tenent, Steven Ma. “Kami senang karena kami bisa mendekatkan diri dengan Funcom dan tidak sabar untuk berkolaborasi dengan Funcom untuk membuat game yang lebih menyenangkan untuk semua gamer di dunia.”

Facebook Akuisisi PlayGiga, Indikasikan Ketertarikannya Terhadap Cloud Gaming

Cloud gaming, istilah ini sebenarnya sudah kita kenal sejak cukup lama, akan tetapi hype-nya baru naik belakangan ini berkat Google Stadia. Tahun depan, persaingan di industri ini bakal semakin ketat dengan meluncurnya layanan serupa dari Microsoft yang bernama xCloud, belum lagi rumor bahwa Amazon juga akan turut serta.

2019 belum berakhir, kini giliran Facebook yang dispekulasikan juga tertarik mencicipi peruntungan di ranah cloud gaming. Indikasinya adalah akuisisi yang mereka lakukan atas PlayGiga, sebuah startup asal Spanyol yang bergerak di bidang cloud gaming. Pertama kali diberitakan oleh media setempat CincoDias, akuisisi ini telah dikonfirmasi langsung oleh Facebook kepada CNBC.

CincoDias melaporkan bahwa Facebook membayar sekitar 70 juta euro untuk meminang PlayGiga, akan tetapi Facebook rupanya enggan berkomentar soal nominalnya. Nilainya memang kecil jika dibandingkan dengan akuisisi lain Facebook di sektor gaming, spesifiknya Oculus yang melibatkan mahar sebesar $2 miliar di tahun 2014, namun tetap saja akuisisi ini memicu spekulasi bahwa Facebook juga tertarik menjadi salah satu pemain di bidang cloud gaming.

Di situs PlayGiga sendiri, mereka bilang bahwa mereka masih akan terus melanjutkan kiprahnya di ranah cloud gaming, tapi sekarang dengan sebuah misi baru. Sebelum ini, layanan cloud gaming PlayGiga sudah beroperasi di Itali, Argentina, Chili dan Spanyol dengan katalog berisikan lebih dari 300 game berdasarkan info yang didapat Variety.

Sekali lagi semuanya masih berupa spekulasi, apalagi mengingat divisi gaming milik Facebook sejauh ini baru menawarkan koleksi Instant Games dan platform live streaming ala Twitch. Kita tunggu saja bagaimana perkembangan industri cloud gaming tahun depan.

Sumber: CNBC.

Typhoon Studios Adalah Akuisisi Pertama Tim Developer Mandiri Google Stadia

Salah satu alasan mengapa publik menaruh harapan besar pada Stadia adalah fakta bahwa Google berada di baliknya. Sumber daya yang begitu melimpah pada dasarnya merupakan jaminan atas keberhasilan Stadia, terutama terkait rencananya untuk menelurkan sejumlah game eksklusif.

Seperti yang kita tahu, Stadia punya tim developer sendiri bernama Stadia Games and Entertainment yang dipimpin oleh eks veteran Ubisoft, Sebastien Puel. Studio yang berumur masih sangat muda ini belum menghasilkan karya apapun, dan mereka rupanya masih sibuk mengembangkan timnya.

Tidak mengejutkan dari anak perusahaan Google, rute yang diambil adalah rute akuisisi. Stadia baru saja mengumumkan akuisisinya atas Typhoon Studios. Tidak pernah dengar namanya? Wajar, mengingat Typhoon merupakan studio baru beranggotakan sekitar dua lusin orang, dan game pertama bikinannya, Journey to the Savage Planet, baru akan dirilis Januari mendatang di console dan PC.

Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios
Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios

Tentunya ada alasan tersendiri di balik pemilihan Typhoon sebagai akuisisi perdana Stadia. Typhoon memang masih seumur jagung, akan tetapi personil-personilnya merupakan senior di industri game. Duo pendirinya, Reid Schneider dan Alex Hutchinson, punya portofolio panjang yang berkesan sebelum membentuk Typhoon.

Alex Hutchinson misalnya, memulai karirnya di Maxis sebagai Lead Designer atas The Sims 2 dan Spore, sebelum akhirnya hijrah ke Ubisoft dan ditunjuk sebagai Creative Director atas Assassin’s Creed III dan Far Cry 4. Di sisi lain, Reid Schneider bertanggung jawab atas pengembangan seri Batman Arkham sekaligus Splinter Cell orisinal sebelum memutuskan untuk mengambil jalur indie.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Stadia cukup selektif dalam hal akuisisi, dan ini tentunya baru awal dari upaya mereka membesarkan tim developer mandirinya. Tim Typhoon sendiri masih akan berfokus pada game pertama sekaligus terakhirnya tersebut, sebelum akhirnya dilebur dengan tim Stadia Games and Entertainment.

Sumber: Google dan VentureBeat.

Corsair Akuisisi Produsen Controller High-End Scuf Gaming

Dua tahun terakhir ini Corsair cukup agresif memperluas portofolio produknya. Rute yang mereka ambil rupanya adalah rute instan, yakni dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang di luar spesialisasinya.

Total sudah dua akuisisi yang mereka lancarkan; Origin PC di kategori custom PC, dan Elgato Gaming di ranah streaming video. Di penghujung tahun 2019 ini, akuisisi mereka bertambah satu lagi, yakni Scuf Gaming, yang dikenal lewat deretan gamepad high-end sekaligus modularnya.

Tidak disebutkan berapa mahar yang Corsair sediakan untuk menjadi pemilik baru Scuf. Scuf sendiri sudah berkiprah sejak tahun 2011, menciptakan berbagai controller untuk PlayStation, Xbox maupun PC, sekaligus membangun reputasi yang baik di kalangan komunitas esport.

Dibandingkan controller bawaan PS atau Xbox, controller bikinan Scuf banyak dicari karena menawarkan sejumlah keunggulan yang spesifik, macam back paddle yang dapat dilepas-pasang sesuai kebutuhan, atau fitur remapping tombol secara instan tanpa harus mengandalkan bantuan software.

Satu kekurangan produk-produk Scuf kalau menurut saya adalah ketersediaannya. Mencari produk Scuf di Indonesia sangatlah sulit, dan itu wajar mengingat mereka hanya memasarkan produknya secara resmi di Amerika Serikat dan Kanada. Kendala ini semestinya dapat diatasi oleh Corsair, yang skala operasionalnya memang sudah masuk skala global.

Corsair bilang bahwa ke depannya Scuf tetap akan beroperasi sebagai merek terpisah, yang berarti statusnya bakal menjadi anak perusahaan Corsair. Semoga saja akuisisi ini bakal berujung pada ketersediaan controller Scuf secara resmi di lebih banyak negara, termasuk Indonesia.

Sumber: Corsair.

Apple Akuisisi Startup AI Spectral Edge untuk Tingkatkan Kualitas Kamera iPhone

Perkembangan kualitas kamera smartphone dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa software tidak kalah penting dari hardware. Dua ponsel dengan merek yang berbeda boleh mengemas sensor bikinan Sony yang sama persis beserta spesifikasi lensa yang identik, akan tetapi hasil foto Portrait Mode-nya bisa berbeda drastis, dan ini banyak dipengaruhi oleh kinerja software masing-masing perangkat.

Singkat cerita, investasi ekstra di bidang software kamera atau fotografi merupakan salah satu cara bijak untuk meningkatkan kualitas kamera smartphone, dan perusahaan sekelas Apple pun tidak luput dari tren ini. Dilaporkan oleh Bloomberg, Apple kabarnya telah mengakuisisi startup asal Inggris bernama Spectral Edge.

Produk yang digarap Spectral Edge adalah teknologi machine learning yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hasil jepretan kamera smartphone, baik dari sisi ketajaman gambar ataupun akurasi warnanya. Caranya adalah dengan menggabungkan foto inframerah dengan foto standar.

Foto yang diambil menggunakan gelombang inframerah memiliki tingkat kontras yang amat tinggi. Detail-detail yang sebelumnya tidak kelihatan pada foto standar jadi bisa terlihat menggunakan filter inframerah. Contoh yang paling gampang adalah bagaimana foto inframerah dapat menunjukkan detail di balik kacamata hitam.

Sejauh ini belum ada yang tahu rencana spesifik Apple terkait teknologi bikinan Spectral Edge, tapi besar kemungkinan Apple akan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas jepretan iPhone di kondisi low-light. Akuisisinya pun juga mereka lakukan secara diam-diam, tanpa ada kabar mengenai mahar yang dibayarkan. Sekadar informasi, Spectral Edge sendiri tahun lalu berhasil memperoleh pendanaan senilai lebih dari $5 juta.

Sumber: Bloomberg.