Alpha JWC Ventures Announces Third Fund of 6.1 Trillion Rupiah

Alpha JWC Ventures today (09/11) announced its third managed fund (Fund III) worth $433 million or equivalent to 6.1 trillion rupiah; bringing its Assets Under Management (AUM) to $630 million. In the press conference, Jefrey Joe as Co-Founder & General Partner said that this number has exceeded the initial target of $300 million. Several regional and global LPs are involved, including the International Finance Corporation (part of the World Bank Group) and Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

In general note, Alpha JWC Ventures was founded in 2015 by Jefrey, Will Ongkowidjaja, and Chandra Tjan; focuses on providing early-stage funding for startups in Indonesia and Southeast Asia.

Fund journey

Their journey began with the first Fund I amounting to USD 50 million in 2016. It has been distributed to 23 startup companies in Southeast Asia, the majority have operational in Indonesia. More than 90 percent of the companies have now received follow-up funding.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Fund II closed in 2019 oversubscribed with a nominal value of $143 million; and has invested in 30 companies. To date, Fund I has generated 37% IRR (Internal Rate of Return) and Fund II has generated 87% IRR.

They have also produced 9 exits, including the acquisition of DealStreetAsia by Nikkei, the acquisition of Spacemob by WeWork, and the acquisition of Base.vn by Vietnam’s largest technology company FPT Corporation.

Since its launching this year, Alpha JWC Ventures’ Fund III has invested in seven startups in the financial technology, B2B SaaS, and MSME business solutions sectors in Indonesia, Singapore and Vietnam. Some of them are Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, and others.

Jeffrey in his presentation also said that the fund’s ticket size has ranged from hundreds of thousands to millions of dollars. The largest can reach $60 million in several phases. He clearly emphasizes that Alpha JWC Ventures’ principle is to be the number-one supporter of a startup (early stage investor).

Furthermore, along with the new managed funds in quantity, the number of startups invested may remain the same. Which means, they will increase the ticket size and focus more on follow-on funding for its portfolio startups.

“Since the debut in 2015, we have had a clear mission of bringing Indonesia and Southeast Asia into the center of the new global digital economy. Our journey and the Alpha JWC Ventures portfolio have proven that Indonesian and Southeast Asian startups can compete globally. We will continue to be at the forefront to create change and will not stop here,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & General Partner, Chandra Tjan said.

3 unicorns, 11 centaur

Alpha JWC Ventures through its fund has took three portfolio companies to the unicorn status, Kredivo, Carro, and Ajaib. It is also said that they have 11 centaurs, including Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, and others.

Jeffrey said, one of the centaurs will soon to become a unicorn in the near future.

“As a VC originating, founded and operated by Indonesians, we are working to increase the positive impact of the digital economy in the country through our investments and portfolio companies. Together with them, we have reached nearly 1 million MSMEs through financial and market access, created more than 12 thousand jobs, empowered more than 200 thousand women through various business opportunities, inspired more than 1 million people to become retail investors, and much more,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Erika Go said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

Esensi Solusi Buana Peroleh Tambahan Dana Seri A+ 110 Miliar Rupiah, Perluas Solusi SaaS untuk F&B

Esensi Solusi Buana (ESB) hari ini (12/10) mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ senilai $7,6 juta (senilai 110 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Beenext, Vulcan Capital, AC Ventures, dan Skystar Capital. Beberapa investor tersebut merupakan investor sebelumnya di putaran seri A pada Maret 2021.

Dana yang didapat akan difokuskan untuk memperluas produknya, termasuk dengan fitur upselling, peningkatan intelegensi bisnis (BI), solusi pengiriman, pembiayaan, finansial, dan sistem informasi sumber daya manusia (HRIS). Perluasan ini dalam rangka mewujudkan misi ESB menjadi penyedia operasional bisnis end-to-end di industri F&B yang terdepan.

Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengatakan, F&B adalah industri yang terus berkembang dengan hadirnya pendatang baru secara terus menerus setiap bulannya. Namun selama pandemi, sebagian besar mengalami titik kesulitan yang sama dalam beradaptasi dengan perilaku konsumen masa kini dan perubahan struktur operasional restoran.

Menurutnya, pemain industri F&B saat ini perlu menawarkan pengalaman pemesanan touchless, mengelola inventaris mereka dengan lebih baik, dan mengurangi biaya operasional secara signifikan, demi menjaga bisnis mereka tetap utuh. ESB ingin menyelesaikan semua masalah tersebut dengan solusi secara keseluruhan, terlepas dari seberapa rumitnya operasional.

“Banyaknya merek F&B terkemuka yang menggunakan produk ESB membuktikan manfaat nyata ESB bagi para pebisnis F&B. Sebagai mitra, kami yakin bahwa ESB dapat memainkan peran penting dalam transformasi digital,” ucap Eko dalam keterangan resmi.

Co-founder & CEO ESB Gunawan Woen menambahkan, “Kami bangga menyambut Alpha JWC Ventures dan Vulcan Capital sebagai pendukung kami dan berterima kasih atas kepercayaan investor yang terus berlanjut.”

ESB adalah penyedia software sistem operasional bisnis kuliner all-in-one yang menghubungkan front-end, back-end, konsumen, dan mitra rantai pasokan untuk restoran. Startup ini didirikan pada 2014 dengan misi membantu bisnis F&B untuk meningkatkan keuntungan dengan menggunakan teknologi, guna memperbaiki hasil penjualan dan efisiensi operasional.

Awalnya, ESB memulai usaha dengan menciptakan solusi cloud perencanaan sumber daya perusahaan (ERP) yang dapat disesuaikan untuk mengganti sistem hardware-based yang tradisional dan kurang terjangkau. ESB kemudian memperluas produknya dengan sistem operasional restoran all-in-one yang mencakup sistem Point-of-Sale (POS) dan teknologi Mobile Ordering (ESB Order).

Dengan pendekatan all-in-one, para pendiri ESB bercita-cita untuk memudahkan dan memperpendek proses operasional, terutama bagi pengusaha bisnis F&B yang memiliki banyak cabang dan yang berhubungan langsung dengan konsumen. ESB bercita-cita untuk mengikuti kesuksesan Toast di Amerika Serikat yang baru-baru ini sukses dalam Initial Public Offering (IPO).

ESB telah melayani lebih dari 500 merek F&B, termasuk group besar seperti MAP Boga Adiperkasa, Boga Group, Ismaya Group, Sour Sally Group, dan Marugame Udon, dalam memroses lebih dari 40 juta pesanan tiap tahun.

Dampak pandemi

Gunawan melanjutkan, selama pandemi “berhasil” memaksa bisnis F&B untuk semakin mengoptimalkan operasional, baik dengan membuatnya jadi lebih ramping atau menemukan cara baru untuk meningkatkan penjualan. Hal tersebut terlihat dari upaya digitalisasi besar-besaran di semua stakeholder di industri F&B, mulai dari restoran hingga pemasok, dalam menggunakan teknologi restoran.

Diklaim ESB tumbuh tiga kali lipat dari tahun sebelumnya selama pandemi karena permintaan pemesanan dengan sistem touchless yang disediakan oleh ESB melalui layanan ESB Order. Saat ini, ESB telah memroses Nilai Transaksi Bruto dengan total lebih dari $500 juta dan diperkirakan akan tumbuh 10 kali dalam dua tahun ke depan. Ia pun meyakini bahwa bisnis kuliner akan kembali bangkit setelah terkena dampak pandemi.

Selain memungkinkan pemesanan melalui ponsel, produk ERP dan POS ESB terbukti menjadi penyelamat bagi banyak bisnis F&B dengan meminimalisir terjadinya kebocoran maupun human error. Lebih dari 95% pengguna ESB menggunakan seluruh sistem software front-end dan back-end, membuktikan adanya kebutuhan untuk optimalisasi secara holistik.

“Bisnis restoran merupakan perpaduan antara manufaktur, perdagangan, dan ritel. Kami berusaha meringankan beban dan mengatasi masalah pelaku bisnis restoran yang menggunakan platform terpisah untuk memenuhi aspek yang berbeda. Pada saat yang sama, ESB juga membantu bisnis F&B dalam mengoptimalkan consumer engagement, sistem operasional, dan pada akhirnya untuk meningkatkan keuntungan mereka.”

Co-founder dan COO ESB Eka Prasetya menambahkan, selain keunggulan produk, misi perusahaan lainnya adalah menyediakan akses. Perusahaan percaya bahwa semua skala bisnis layak mendapatkan dukungan yang baik.

“Itulah sebabnya kami memperluas layanan agar tidak hanya diperuntukkan bagi industri F&B yang sudah memiliki nama besar, tetapi juga bisnis kecil dan menengah dengan biaya yang dapat disesuaikan dengan anggaran mereka. Kami ingin tumbuh bersama dengan seluruh industri bisnis dan meraih kesuksesan bersama-sama,” tutup Eka.

Selain ESB, ada beberapa platform digital lain yang juga melayani pangsa pasar serupa. Misalnya DigiResto yang dikembangkan MCAS, yang juga telah menerima investasi dari perusahaan logistik SiCepat. Dengan konsep yang lebih terintegrasi dengan cloud kitchen, decacorn Gojek dan Grab juga memiliki layanan khusus untuk mendemokratisasi proses bisnis merchant kuliner, yakni lewat aplikasi GoBiz dan GrabMerchant.

Application Information Will Show Up Here

Payable Software Startup Spenmo Obtains 484 Billion Rupiah Series A Funding

Spenmo fintech startup, a payment-for-business (payable software) SaaS solution provider, announced series A funding round of $34 million (over 484 billion Rupiah) led by Insight Partners, a VC from the United States. Other investors participating in this round include Addition, Salesforce Ventures, Alpha JWC Ventures, Global Founders’ Capital, Broadhaven, Operator Partners and Commerce Ventures.

Apart from institutional investors, several angel investors also participated. They are William Hockey (Plaid’s founder), Andy Cohen (Ex-SVP of Sales Bill.com), Ongki Kurniawan (Head of Stripe Indonesia), Kunal Bahl & Rohit Bansal (Snapdeal’s founder), Matt Doka (Fivestars’ founder), and John Kim (Sendbird’s founder).

It is said that this funding is one of the largest series A rounds that the Y Combinator-backed company has successfully closed in Southeast Asia.

The fresh funds will be used to build market penetration and access to more than 20 million SMEs and mid-sized markets in Southeast Asia. Most of the segment doesn’t use any software to manage their debts, previously using spreadsheets or human labor.

Spenmo is a fintech company that provides SaaS solutions for managing business payments through corporate credit card products aimed at SMEs and medium-sized enterprises as the target users. This credit card is intended to help businesses manage finances when paying bills, tracking, categorizing purchases, and bookkeeping on autopilot in 90% less time.

In Indonesia, Spenmo already has a local team and is actively recruiting new talents. The Spenmo website is available in Indonesian to target new users.

In an official statement, Spenmo’s Co-founder & CEO, Mohandass Kalaichelvan explained, Spenmo’s services were previously considered a back-office function, but finance and debt are an important part of running a business.

“The finance team that implemented our service got their hours back. On average, they save over 50 hours and $10K each month. Our goal is to return 10 billion man-hours every year to finance teams across the region,” he said.

Insight Partners’ Principal, Rebecca Liu-Doyle has joined the board of directors at Spenmo after this round. She said that the payment industry would be disrupted, especially in Southeast Asia, which Spenmo’s solution had not yet explored. “We are delighted to be able to play a part in Spenmo’s journey to continue to innovate and develop,” Rebecca said.

Since its launching in Singapore last year, Spenmo has expanded across Southeast Asia, bringing in several thousand customers representing a wide range of sectors, from high-growth startups to SMEs, mid-market companies and accounting firms.

Corporate credit card

Corporate credit card is an expensive item for SMEs in Indonesia as banks have a number of strict requirements for the application process. Almost all banks issue corporate credit card products as their target users, in addition to credit cards for retail.

Due to the gap, it finally opens up opportunities for fintech lending players exposed to finance business capital or KTA. At Spenmo, the physical and virtual credit cards they present allows companies to easily manage team expenses and lot of bills by providing invoice payment features and automatic bank transfers.

Spenmo provides virtual and physical credit cards to pay rent, invoices, and employee salaries on a scheduled basis in the dashboard. Also, you can easily integrate the API with accounting software (such as Xero, SAP, and myob) already used by the company.

It is claimed that SMEs can apply for a Spenmo account with a 30 minute process, control (freeze and cash out) spending with just one click, and prioritize security by setting pre-approved funds to avoid overspending.

B2B paylater trend

In addition to corporate credit cards or productive capital loans, B2B paylater services has been intensively implemented. According to a research publication released by DSInnovate entitled “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021”, currently there are several startup collaborations that offer these services.

Indonesia’s B2B paylater service provider / DSInnovate

The concept is that the fintech lending service acts as a partner in providing financing, synergizing with the owner of the procurement service — both goods and services. In contrast to lending services that provide cash capital loans, B2B paylater focuses on financing or purchasing business equipment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup “Payable Software” Spenmo Terima Pendanaan Seri A 484 Miliar Rupiah (UPDATED)

Startup fintech penyedia solusi SaaS pembayaran untuk bisnis (payable software) Spenmo mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $34 juta (lebih dari 484 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Insight Partners, VC asal Amerika Serikat. Investor lainnya yang turut serta dalam putaran tersebut adalah Addition, Salesforce Ventures, Alpha JWC Ventures, Global Founders’ Capital, Broadhaven, Operator Partners, dan Commerce Ventures.

Selain investor institusi, beberapa angel investor ikut berpartisipasi. Mereka adalah William Hockey (founder Plaid), Andy Cohen (Ex-SVP of Sales Bill.com), Ongki Kurniawan (Head of Stripe Indonesia), Kunal Bahl & Rohit Bansal (founder Snapdeal), Matt Doka (founder Fivestars), dan John Kim (founder Sendbird).

Diklaim pendanaan ini merupakan salah satu putaran seri A terbesar yang berhasil ditutup oleh perusahaan yang didukung Y Combinator di Asia Tenggara.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk membangun penetrasi pasar dan mengakses ke lebih dari 20 juta UKM dan pasar menengah di Asia Tenggara. Segmen tersebut sebagian besar tidak menggunakan perangkat lunak apa pun untuk mengelola hutang mereka, yang sebelumnya menggunakan spreadsheet atau tenaga kerja manusia.

Spenmo adalah perusahaan fintech yang menyediakan solusi SaaS untuk mengelola pembayaran bisnis melalui produk kartu kredit perusahaan yang ditujukan buat UKM dan perusahaan menengah sebagai target penggunanya. Kartu kredit ini diperuntukkan untuk membantu bisnis dalam mengelola keuangan saat pembayaran tagihan, melacak, mengkategorikan pembelanjaan, dan pembukuan secara autopilot dalam waktu 90% lebih singkat.

Di Indonesia, Spenmo sudah memiliki tim lokal dan mulai aktif merekrut talenta baru. Situs Spenmo telah tersedia dalam bahasa Indonesia untuk menyasar pengguna baru.

Dalam keterangan resmi, Co-founder & CEO Spenmo Mohandass Kalaichelvan menerangkan, layanan Spenmo sebelumnya dianggap sebagai fungsi back-office, tetapi keuangan dan hutang adalah bagian penting dalam menjalankan bisnis.

“Tim keuangan yang mengimplementasikan layanan kami mendapatkan kembali jam kerja mereka. Rata-rata, mereka menghemat lebih dari 50 jam dan $10 ribu setiap bulannya. Tujuan kami adalah mengembalikan 10 miliar jam kerja setiap tahun untuk membiayai tim di seluruh wilayah,” kata dia.

Principal Insight Partners Rebecca Liu-Doyle kini bergabung sebagai dewan direksi di Spenmo pasca putaran ini. Dia menuturkan, industri pembayaran akan terdisrupsi, terutama di Asia Tenggara yang belum tergarap oleh solusi Spenmo. “Kami senang dapat berperan dalam bagian perjalanan Spenmo yang ingin terus berinovasi dan berkembang,” ujar Rebecca.

Sejak diluncurkan di Singapura tahun lalu, Spenmo telah berkembang di seluruh Asia Tenggara, membawa beberapa ribu pelanggan yang mewakili berbagai sektor, mulai dari perusahaan rintisan dengan pertumbuhan tinggi, hingga UKM, perusahaan pasar menengah, dan firma akuntansi.

Kartu kredit korporat

Memiliki kartu kredit korporat di Indonesia adalah barang mahal bagi UKM di Indonesia karena bank memiliki sejumlah persyaratan yang ketat untuk proses pengajuannya. Hampir semua bank mengeluarkan produk kartu kredit korporat sebagai target penggunanya, selain kartu kredit untuk ritel.

Karena ada gap tersebut, akhirnya membuka kesempatan bagi pemain fintech lending yang selama ini ditawarkan untuk membiayai modal usaha atau KTA. Di Spenmo sendiri, dengan kartu kredit fisik dan virtual yang mereka hadirkan, memungkinkan perusahaan yang ingin mengelola pengeluaran tim dengan mudah dan memiliki banyak tagihan dengan menyediakan fitur pembayaran invoice dan transfer bank otomatis.

Spenmo menyediakan kartu kredit virtual dan fisik yang dapat digunakan untuk membayar sewa, invoice, dan gaji karyawan secara terjadwal dalam dasbor. Serta, dapat dengan mudah integrasi API dengan software akuntansi (seperti Xero, SAP, dan myob) yang sudah digunakan perusahaan.

Diklaim, UKM dapat mengajukan akun Spenmo dengan proses 30 menit selesai, mengontrol (membekukan dan mencairkan) pengeluaran hanya dengan satu klik, dan mengutamakan keamanan dengan menetapkan dana yang telah disetujui sebelumnya untuk menghindari pengeluaran berlebih.

Mulai ada tren paylater B2B

Selain kartu kredit korporat atau pinjaman modal produktif, opsi lain yang mulai gencar diadakan adalah layanan paylater B2B. Menurut publikasi riset yang dirilis DSInnovate bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, saat ini sudah ada beberapa kolaborasi startup yang menawarkan layanan tersebut.

Penyedia layanan B2B paylater di Indonesia / DSInnovate

Konsepnya, layanan fintech lending bertindak sebagai mitra penyedia pembiayaan, bersinergi dengan pemilik layanan pengadaan — baik barang ataupun jasa. Berbeda dengan layanan lending yang memberikan pinjama modal tunai, paylater B2B fokusnya pada pembiayaan atau pembelian perlengkapan bisnis.

*Kami mengubah judul berita dengan menambahkan terminologi bisnis Spenmo yang lebih tepat

VIDA Kantongi Pendanaan Pra-Seri A, Fokus Perluas Ekosistem Indentitas Digital

VIDA, platform pengembang solusi verifikasi identitas, tanda tangan elektronik, dan kredensial digital mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dari investor yang dipimpin oleh Jungle Ventures, Alpha JWC Ventures, dan Monk’s Hill Ventures. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan.

Dengan dana segar ini, perusahaan akan fokus pada perekrutan, pengembangan teknologi, dan pemasaran; serta memperluas kehadirannya di sektor fintech, perbankan, asuransi, dan perawatan kesehatan. Tercatat saat ini teknologi VIDA telah digunakan oleh startup hingga perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, Ajaib, Sicepat, Trevo, LINE, hingga HappyFresh.

“Kami percaya bahwa kemitraan adalah kunci untuk meningkatkan dan memberdayakan ekosistem, serta membangun kolaborasi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan dalam dalam ketahanan jaringan terpercaya,” kata Founder & Executive Chairman VIDA Niki Luhur.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengungkapkan, VIDA menawarkan solusi mutakhir yang akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi digital Asia Tenggara. “Kami telah melihat bagaimana solusi serupa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di pasar Amerika Serikat dan Eropa, tetapi tidak sebanyak di Indonesia di mana tidak ada pemain dominan di sektor ini.”

Terdaftar di otoritas

Didirikan pada tahun 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy, VIDA menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE) pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi WebTrust dan terdaftar dalam Adobe Approved Trust List (AATL). Selain itu mereka telah meraih sertifikasi ISO 27001. Sehingga tanda tangan digital VIDA adalah dapat dikenali di lebih dari 40 negara.

Saat ini VIDA juga terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK di klaster e-KYC.  Selain itu, kini mereka telah terdaftar dan berinduk di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebagai PSrE atau Certification Authority (CA).

“Verifikasi identitas mendasari setiap transaksi digital. Kami memanfaatkan keahlian kami dalam keamanan siber untuk membangun produk yang secara mendasar mengubah pengalaman pengguna di berbagai platform dan produk digital. Sebagai penyedia kepercayaan digital, kami memberikan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh keamanan siber saat ini,” kata Niki.

Industri tanda tangan digital

Urgensi penerapan tanda tangan digital atau sistem verifikasi pendukung makin krusial di tengah lahirnya layanan digital yang membutuhkan keamanan ekstra — seperti layanan finansial. Perannya juga makin dominan kala pandemi memaksa setiap aktivitas untuk bertransformasi secara digital, proses persetujuan untuk mengesahkan sebuah dokumen legal pun kini dituntut untuk bisa dilakukan secara daring.

Melihat potensi tersebut, beberapa startup kemudian menggarap layanan sebagai pendukung. Di klaster e-KYC IKD OJK sendiri saat ini tercatat ada empat pemain terdaftar, termasuk PrivyID, Digisign, dan ASLI RI.

Daftar penyelenggara e-KYC yang tercatat di klaster IKD OJK

Platform e-KYC membantu sebuah layanan digital untuk memverifikasi keabsahan identitas calon pengguna. Biasanya mereka juga menghubungkan sistem verifikasi dengan data yang dimiliki Dukcapil.

Sementara itu untuk penyelenggara sertifikasi elektronik atau digital signature, regulasinya melalui Kementerian Kominfo. Setiap pemain yang mendaftarkan diri akan mendapat peringkat mulai dari terdaftar, tersertifikasi, dan yang tertinggi berinduk. Untuk mencapai berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara sertifikasi elektronik dari Kominfo

Noice Tutup Putaran Pendanaan Pra-Seri A, Dipimpin Alpha JWC Ventures dan Go Ventures

Platform audio on-demand Noice resmi menutup putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures dengan nominal yang dirahasiakan. Beberapa investor lainnya kembali berpartisipasi pada putaran ini, yakni Kinesys Group dan Kenangan Kapital.

Sebelumnya, baik Alpha JWC Ventures, Kenangan Kapital, dan Kinesys Group sudah lebih dulu berpartisipasi pada pendanaan tahap awal Noice yang diumumkan Maret lalu.

Disampaikan dalam siaran persnya, Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengatakan berkomitmen mendukung pertumbuhan bisnis Noice ke depan. Menurutnya, platform Noice telah menunjukkan perkembangan signifikan berkat konsep all-in-one yang diusung, strategi hyperlocal, serta ekspansi tim dan komunitasnya.

“Visi Noice untuk menciptakan ekosistem konten audio menjadi alasan kuat yang meyakinkan kami terhadap potensi Noice sebagai yang terbaik di ranah lokal. Apa yang ditawarkan Noice ke depan sangat menarik dan ini akan membawa perubahan besar bagi industri konten di Indonesia,” ujarnya.

Sementara bagi SVP of Investments Go Ventures Aditya Kumar, kenaikan konsumsi konten digital di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan cukup signifikan dari segmen konten audio. “Kebutuhan konten hiburan berkualitas meningkt karena semakin banyak kegiatan kerja dan belajar yang dilakukan dari rumah. Noice hadir untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” tuturnya.

Noice berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Gencar kembangkan produk dan tim

Putaran pendanaan ini cukup menjelaskan langkah agresif yang diambil Noice sejak awal 2021 untuk merealisasikan targetnya sebagai platform konten audio lokal terbaik di Indonesia. Pihaknya berupaya memperkuat tiga aspek lewat pendanaan baru ini, yaitu produk, program, dan ekspansi.

“Kami terus mengembangkan teknologi, konten original dan menambah jumlah tim kami dari berbagai latar belakang terbaik. Kami juga tengah menggabungkan fitur-fitur baru untuk memperluas distribusi konten, membangun sistem untuk kreator, monetisasi, serta meningkatkan interaksi antara kreator dan pendengar di aplikasi NOICE,” papar CEO Rado Ardian.

Dalam artikel sebelumnya, Noice mulai menambah jumlah timnya, terutama untuk memperkuat divisi teknologi. Perusahaan juga menunjuk dua pimpinan baru, yakni Rado Ardian sebagai Chief Executive Officer dan Niken Sasmaya sebagai Chief Business Officer. Keduanya sama-sama veteran dari raksasa teknologi Google dengan berbagai pengalaman kerja di kawasan Asia Pasifik.

Per kuartal ketiga 2021, Noice telah mengantongi sebesar lebih dari 1 miliar menit konten yang telah diputar oleh pengguna. Jumlah penggunanya juga meningkat 144% dalam satu tahun terakhir dengan 800 ribu registered listener. Dari sisi konten, Noice telah memiliki lebih dari 3.100 episode podcast, dan 200 katalog podcast, baik konten orisinal maupun eksklusif. Noice juga telah bekerja sama dengan lebih dari 100 podcaster.

Salah satunya adalah Noice Live, fitur pelengkap pada konten podcast, audiobook, dan radio streaming. Rado berujar, Noice Live akan menawarkan pengalaman social networking yang berbeda dalam format audio, di mana akan ada interaksi real-time antara para kreator, pendengar, musisi, fans, dan bahkan para ahli.

Sementara Niken menambahkan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan konten pengguna yang berada di luar Jakarta. Dengan strategi hyperlocal, Noice akan menggandeng berbagai macam kreator lokal yang menciptakan konten yang relevan sesuai daerahnya masing-masing. “Visi kami adalah menciptakan ekosistem kreator konten audio sehingga kreator dapat berkembang dan terhubung dengan para pendengarnya.”

Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Application Information Will Show Up Here

Noice Succession and Ambition to be the Best Local Audio Content Platform

After securing seed funding in the first quarter of 2021, audio content platform Noice has officially welcomed two new executives to its board of directors. They are Rado Ardian as Chief Executive Officer (CEO) and Niken Sasmaya as Chief Business Officer (CBO).

Both of the Google veterans’ involvement is in line with Noice’s efforts to become the best local audio platform in Indonesia. Moreover, public has been lingering to the growth of audio content, such as podcasts.

In an interview with DailySocial, Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie, who at that time was in charge with Noice, said that his team had difficulty developing this platform business. The thing is, Mahaka Radio’s parent company was not a technology company since the very beginning, therefore, there are such limitations in its development.

“We are aware that we cannot solely develop content in the future, we have to use technology. Therefore, we are trying to find investors who can provide support on the technology side,” Ardian said to DailySocial.id.

In his recent official statement, Ardian admitted that he would continue to play an active role in supporting the future development of Noice under Rado and Niken.

To begin with, Noice was developed as a streaming radio platform. However, he said, this service is considered insufficient to meet the needs of a growing market. Meanwhile on-demand content is rapidly growing in some countries, including Indonesia.

Originally designed as a streaming radio platform, Noice began to expand its service segment by venturing into on-demand audio content. Noice was established under PT Mahaka Radio Digital in 2018 which is a joint venture company owned by PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) and PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro is the consortium of some record companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

Based on the latest data, Noice has secured as many as 800 thousand registered listeners throughout Indonesia with more than 3,100 podcast episodes, and 200 podcast catalogs, both original and exclusive content. Noice has also worked with more than 100 podcasters.

The ex-Google influence

Prior to the appointment of Rado and Niken, Noice had actually started to address the current limitations. First, Noice started looking for investors who Eventually, Noice found investors from a number of well-known VCs with strong portfolios in technology. Those are Kenangan Kapital, Alpha JWC Ventures, and Kinesys Group.

Furthermore, the company is starting to add new talents from India specifically placed for the development of the Noice technology and platform in the future. This is enough to explain the company’s roadmap in the first half of 2021, Noice launched a beta version with UI/UX followed by version 2.X with excellent features of personalized content.

In the official statement, it is said that Rado and Niken have worked for almost ten years at Google and YouTube for the Asia Pacific region. Rado has various experiences at Google from developing the Google Ads business in the FMCG industry to handle customer experience strategies for Google Maps and the Google Store with product and engineering teams in India, Japan, Indonesia, Singapore, and Australia.

While Niken has held a number of important positions on Google and YouTube. It includes working with sales, partnerships, and program development team in Singapore and Japan, she also used to be a Global Program Manager at YouTube which focuses on developing its global creator ecosystem. Niken became the first person to run this position in Southeast Asia/Australia and New Zealand.

“Learning from our experience at Google and YouTube, we want to build Noice to be able to support audio content creators in Indonesia and build their own community through the technology and features we launch. We also facilitate creators to produce original and exclusive content in recording studio facilities by Noice’s production team,” Niken said.

Noice Roadmap

Rado said, his team will continue the first development plan in order to realize its vision as the best local audio platform and build an audio content ecosystem in Indonesia. Apart from platform development and content localization, Rado and Niken also focus on three main areas.

First, Noice will focus on prioritizing features that can allow creators/podcasters to interact two-way with their listeners. Niken said, Noice has built a recording studio and production team to facilitate the production of original and exclusive content on Noice. Currently, Noice presents a number of audio content, ranging from podcasts, live audio, streaming radio, audiobooks, and music.

Second, Noice will strengthen the audio content creators ecosystem in Indonesia. Rado said, although there are many successful content creators in Indonesia, most of them are still running on video platforms. Meanwhile, the audio-based platforms options that focus on the local market is quite limited.

“Therefore, we want to create an ecosystem of audio content creators in Indonesia for them to be successful, to perform, and connect with their listeners. We also want to provide variety of content and acquire big creators by opening the Noice platform for non-original content. In addition, we want to facilitate brands to be able to build and find their community on our platform,” he explained.

Also, Noice continues searching to fill the required positions. Currently, Noice’s product and engineering teams are based in India. Meanwhile, the Indonesian team is dedicated to business development, such as content, production, marketing, partnership & sales, and PR.

“We will start focusing on monetization when our user base, Monthly Active Users (MAU), and time spend on our platform increase significantly. We have prepared several monetization schemes to test for selected creators before fully rolling out to other creators,” he added.

Audio content market growth

Currently, Indonesia is harvesting the growth of increasing audio-based digital content. Based on Spotify’s data, Indonesia dominates the most podcast consumption in Southeast Asia in 2020. As many as 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.

It is undeniable that the Covid-19 pandemic is one of the big factors behind the consumption of podcast content. Digital consumers are getting attached to this specific content, especially in the season of working and studying from home.

In Indonesia, the average user spends 8 hours online. However, as many as 56% dominated by Gen Z and millennials complain of screen fatigue due to being exposed to too much visual content. Therefore, audio content is considered the right escape for Indonesian internet users.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Suksesi Noice dan Ambisinya Jadi Platform Konten Audio Lokal Terbaik

Usai mengamankan pendanaan tahap awal pada kuartal pertama 2021, platform konten audio Noice resmi menyambut dua petinggi baru dalam jajaran direksinya. Mereka adalah Rado Ardian sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Niken Sasmaya sebagai Chief Business Officer (CBO).

Keterlibatan kedua veteran Google tersebut sejalan dengan upaya Noice untuk menjadi platform audio lokal terbaik di Indonesia. Apalagi, pertumbuhan konten audio, seperti podcast, saat ini tengah digandrungi oleh masyarakat.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie yang kala itu masih menangani langsung Noice berujar bahwa pihaknya sempat kesulitan mengembangkan bisnis platform ini. Pasalnya, sejak awal perusahaan induk Mahaka Radio bukanlah perusahaan teknologi sehingga pasti ada keterbatasan dalam pengembangannya.

“Kami sadar ke depannya tidak bisa berkembang dari konten saja, tetapi juga teknologi. Maka itu, kami coba cari investor yang dapat memberikan support dari sisi teknologi,” ujar Ardian saat itu kepada DailySocial.id.

Dalam keterangan resminya baru-baru ini, Ardian mengaku akan tetap berperan aktif dalam mendukung pengembangan Noice ke depan di bawah nakhoda Rado dan Niken.

Semula Noice dikembangkan sebagai platform radio streaming. Namun, menurutnya, layanan ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kian berkembang. Sementara konten on-demand tumbuh pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, Noice mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. Noice berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Berdasarkan data terakhir, Noice telah mengantongi sebanyak 800 ribu registered listener di seluruh Indonesia dengan lebih dari 3.100 episode podcast, dan 200 katalog podcast, baik konten orisinal maupun eksklusif. Noice juga telah bekerja sama dengan lebih dari 100 podcaster.

Kiprah eks petinggi Google

Sebelum penunjukan Rado dan Niken, Noice sebetulnya sudah mulai melakukan sejumlah upaya untuk menangani keterbatasan ini. Pertama, Noice mulai mencari investor yang dapat memberikan guidance, baik dari sisi teknologi maupun kolaborasi bisnis. Hingga akhirnya, Noice pun mendapatkan investor dari sejumlah VC ternama yang memiliki portofolio kuat di teknologi. Mereka adalah Kenangan Kapital, Alpha JWC Ventures, dan Kinesys Group.

Kedua, perusahaan juga mulai memperbanyak talent baru dari India yang ditempatkan khusus untuk pengembangan teknologi dan platform Noice ke depan. Ini cukup menjelaskan roadmap perusahaan di paruh pertama 2021, Noice meluncurkan versi beta dengan UI/UX yang berlanjut pada versi 2.X dengan fitur unggulan personalized content.

Dalam keterangan resminya disebutkan, Rado dan Niken telah berkarir selama hampir sepuluh tahun di Google dan YouTube untuk kawasan Asia Pasifik. Rado memiliki berbagai pengalaman di Google mulai dari mengembangkan bisnis Google Ads di industri FMCG hingga menangani strategi customer experience untuk Google Maps dan Google Store bersama tim product dan engineering di India, Jepang, Indonesia, Singapura, dan Australia.

Sementara Niken telah mengemban sejumlah posisi penting di Google dan YouTube. Di antaranya sales, partnership, dan program development di Singapura dan Jepang serta menjabat sebagai Global Program Manager di YouTube yang fokus untuk mengembangkan ekosistem kreatornya di global. Niken menjadi orang pertama yang mengemban tanggung jawab posisi ini di Asia Tenggara/Australia dan Selandia Baru.

“Belajar dari pengalaman kami di Google dan YouTube, kami ingin membangun Noice agar dapat mendukung kreator konten audio di Indonesia dan membangun komunitasnya sendiri lewat teknologi dan fitur yang kami luncurkan. Kami juga memfasilitasi para kreator untuk memproduksi konten orisinal dan eksklusif di fasilitas studio rekaman dengan tim produksi milik Noice,” ujar Niken.

Roadmap Noice

Menurut Rado, pihaknya masih akan terus melanjutkan rencana pengembangan Noice yang sudah ditetapkan sejak awal demi mewujudkan visinya sebagai platform audio lokal terbaik an membangun ekosistem konten audio di Indonesia. Selain pengembangan platform dan lokalisasi konten, ada tiga hal yang menjadi fokus utama Rado dan Niken

Pertama, Noice akan fokus mengutamakan fitur yang dapat memungkinkan kreator/podcaster untuk berinteraksi dua arah dengan pendengarnya. Sebagaimana disampaikan Niken sebelumnya, Noice juga membangun studio rekaman beserta tim produksi untuk memfasilitasi produksi konten orisinal dan eksklusif di Noice. Saat ini, Noice menghadirkan sejumlah konten audio, mulai dari podcast, live audio, radio streaming, audiobook, dan musik.

Kedua, Noice akan memperkuat ekosistem kreator konten audio di Indonesia. Menurut Rado, meski sudah banyak kreator konten yang sukses di Indonesia, tetapi kebanyakan masih bermain di platform video. Sementara, pilihan platform berbasis audio yang berfokus pada pasar lokal dirasa masih terbatas.

“Maka itu, kami ingin menciptakan ekosistem kreator konten audio di Indonesia agar mereka bisa sukses, tampil, dan terkoneksi dengan para pendengarnya. Kami juga ingin memberikan variasi konten dan mengakuisisi kreator besar dengan membuka platform Noice untuk konten non-orisinal. Selain itu, kami ingin memfasilitasi brand-brand agar dapat membangun dan menemukan komunitasnya di platform kami,” jelasnya.

Terakhir, Noice terus melanjutkan perekrutan untuk mengisi posisi yang dibutuhkan. Saat ini, tim product dan engineering Noice masih berlokasi di India. Sementara, tim di Indonesia diperuntukkan bagi pengembangan bisnis, seperti konten, produksi, marketing, partnership & sales, dan PR.

“Kami akan mulai fokus monetitasi apabila user base, Monthly Active Users (MAU), dan time spend di platform kami meningkat cukup besar. Kami sudah menyiapkan beberapa skema monetisasi yang rencananya kami uji untuk beberapa kreator pilihan sebelum diluncurkan sepenuhnya ke kreator lain,” tambahnya.

Pertumbuhan pasar konten audio

Saat ini, Indonesia tengah mengecap pertumbuhan manis dari meningkatnya konten digital berbasis audio. Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Tak dimungkiri, pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor besar di balik konsumsi konten-konten podcast. Konten ini menjadi buruan konsumen digital, terutama ketika dihadapkan pada situasi bekerja dan sekolah dari rumah.

Di Indonesia, rerata pengguna menghabiskan 8 jam untuk online. Namun, sebanyak 56% yang didominasi gen Z dan milenial mengeluhkan screen fatigue akibat terlalu banyak terpapar konten visual. Maka itu, konten audio dinilai menjadi nice escape bagi sebagai pengguna internet Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Pimpin Investasi ke Venti, Paparkan Hipotesisnya di Teknologi Otonomos

Startup pengembang teknologi otonomos untuk logistik Venti Technologies memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $8 juta atau sekitar 115,9 miliar rupiah. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh dua VC terkemuka, yakni LDV Partners dan Alpha JWC Ventures.

Tak hanya itu, pihaknya juga mengumumkan bergabungnya Partner di LDV Partners Lake Dai dan Co-founder &General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan ke dalam dewan direksi yang kini totalnya berjumlah lima orang.

Founder & CEO Venti Heidi Wyle mengatakan, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan sistem kendaraan otonomos logistik berbasis AI. Termasuk juga memperkuat kesepakatan dengan klien pelanggan baru dan lama. Salah satunya dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited yang saat ini mengelola sebanyak 60 pelabuhan.

“Melalui investasi ini, kami ingin meningkatkan skala operasi dan bisnis secara global, yang mana kami mengincar peluang pertumbuhan di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat,” ujar Wyle dalam keterangan resminya.

Berdiri di 2018, Venti Technologies mengembangkan teknologi otonomos untuk transportasi, pergudangan, hingga hub logistik. Saat ini, produk otonomos Venti telah digunakan di berbagai lintas sektor di Asia, mulai dari kawasan industri, logistik, residensial, kawasan wisata, hingga pasar logistik global.

Chandra Tjan mengatakan, Venti menjadi portofolio investasi pertama pada kendaraan otonomos di Alpha JWC Ventures. Pihaknya berkomitmen untuk terus menemukan founder hebat dalam membangun perusahaan. Maka itu, iya meyakini Venti akan menjadi game changer sekaligus yang pertama di Asia.

Founder, visi, produk, dan rekam jejak Venti sejauh ini sangat baik. Kami bersemangat bekerja sama dengan Venti untuk merevolusi industri kendaraan otonom dan mencapai kesuksesan di skala global,” ujar Chandra.

Hipotesis investasi

Investasi Alpha JWC ke Venti menandai langkah awal untuk masuk ke teknologi otonomos. Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengungkapkan, Venti menjadi satu dari sedikit pemain yang teknologinya digunakan secara komersial di Asia, serta yang pertama di Asia Tenggara.

Alasan lain yang mendorong Alpha JWC untuk berinvestasi adalah rekam jejak gemilang para founder Venti, yaitu Heidi Wyle yang dikenal sebagai pemimpin di industri teknologi dan AI serta Daniela Rus yang merupakan pionir teknologi otonomos dan AI di global.

Lebih lanjut, Eko menilai penggunaan kendaraan otonomos dinilai dapat memberikan nilai tambah bagi industri logistik, seperti menghemat biaya transportasi, meningkatkan penggunaan kendaraan, dan mendorong tingkat keselamatan bagi pengendara. Maka itu, kendaraan otonomos dianggap cocok dipasarkan ke industri yang biaya logistiknya tinggi.

“Apalagi, pasar mobility autonomous untuk industri logistik, supply chain, dan transportasi barang bergerak sangat menjanjikan dengan potensi nilai pasar sebesar $200 miliar di dunia,” paparnya dalam keterangan terpisah kepada DailySocial.

Ambil contoh Singapura yang memiliki regulasi ketat pada penggunaan alat berat. Kondisi ini membuat biaya tenaga kerja di sana sangat tinggi. Penggunaan kendaraan otonomos memungkinkan pelaku industri di Singapura untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja.

Venti bermitra dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited untuk menyediakan kendaraan pemindah otonomos (prime mover) untuk mengotomatisasi pengangkutan distribusi kontainer.

Eko mengungkap, saat ini Singapura menjadi pasar utama Venti di Asia Tenggara, dan juga Tiongkok. Namun, pihaknya tak menutup mata terhadap peluang dan kemungkinan ekspansi ke Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan biaya logistik tinggi, Indonesia turut diperhitungkan sebagai pasar potensial untuk barang bergerak.

Ekspansi ke Indonesia memungkinkan pelaku di logistik, pergudangan, dan industri terkait yang menggunakan alat berat untuk memperoleh manfaat signifikan dari penggunaan kendaraan otonom. “Kami percaya Indonesia akan menjadi pasar yang besar bagi Venti karena solusi teknologi mereka dapat diterapkan di banyak industri.”

Ukuran pasar mencapai $3,39 miliar

Di Asia Pasifik, ukuran pasar kendaraan otonomos di tahun 2020 diperkirakan telah mencapai $3,39 miliar dan akan bertumbuh (CAGR) 13% dari 2021 sampai 2028 nanti. Dalam laporan riset yang dipublikasi Grand View Research ini juga menyoroti tentang pemanfaatan mesin-mesin otonomos untuk menunjang bisnis logistik dan manufaktur. Dengan efektivitas fungsi pengangkutan yang dimiliki, penggunaan mesin otomatis dinilai dapat mengurangi biaya dan risiko kerusakan produk.