Amartha Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B yang Dipimpin Line Ventures

Layanan p2p lending Amartha mengumumkan perolehan dana seri B yang dipimpin Line Ventures dengan nominal yang tidak disebutkan. Investor lain yang turut berpartisipasi diantaranya Bamboo Capital Partners, UOB Ventures Management, PT Teladan Utama, dan PT Medco Intidinamika.

Line Ventures, punya beberapa portofolio startup di Indonesia, di antaranya HappyFresh, IDN Media, dan Warung Pintar.

Sementara, UOB Ventures sebelumnya masuk ke Amartha lewat entitasnya, Asia Impact Investment Fund I. Pendanaan yang khusus dibentuk untuk growth startup di Asia Tenggara dan Tiongkok. Sejauh ini ada sembilan startup yang masuk ke dalam portofolionya, termasuk Halodoc dan Ruangguru.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan, pendanaan akan digunakan untuk ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia, agar dapat memberdayakan lebih banyak lagi perempuan dan keluarga di pedesaan.

“Dengan memperluas jangkauan ke seluruh pelosok negeri, Amartha juga berharap dapat mempercepat inklusi keuangan melalui inovasi keuangan digital dan mewujudkan visi kami yaitu kesejahteraan merata bagi Indonesia,” kata Taufan dalam keterangan resmi.

Direktur Investasi Line Ventures James Lim menambahkan, pihaknya bersemangat untuk bergabung dengan misi Amartha dalam membawa dampak sosial dan inklusi keuangan di seluruh Indonesia.

“Dengan tim manajemen Amartha yang solid dan selalu berusaha keras untuk memenuhi standar tertinggi peraturan otoritas, ditambah dengan kekuatannya dalam teknologi dan operasional, Amartha berada dalam posisi yang baik untuk memelihara dan mempromosikan kesejahteraan sosial ekonomi yang lebih sehat,” kata Lim.

Saat ini Amartha telah menyalurkan pendanaan Rp1,6 triliun kepada lebih dari 343 ribu mitra di 5.200 desa di Jawa dan Sulawesi. Perusahaan mengembangkan platform teknologi dan algoritma untuk mengotomatiskan aspek operasional, layanan, dan sistem penilaian kredit yang akurat dan aman.

Perusahaan juga mengimplementasikan sistem tanggung renteng kepada para mitra guna membangun kohesi sosial dan menekan angka gagal bayar. Seluruh metode yang dipakai Amartha, disebutkan terbukti mengurangi tingkat kemiskinan mitranya, bahkan dalam laporan CFDS tahun 2019, berhasil meningkatkan pendapatan perempuan pengusaha mikro secara signifikan.

Amartha terakhir kali mengumumkan pendanaan Seri A pada 2017 yang dipimpin oleh Mandiri Capital Indonesia senilai $2 juta (lebih dari 26 miliar Rupiah). Di dalam putaran ini juga diikuti oleh Lynx Asia Partners, Beenext dan Midplaza Holding.

Application Information Will Show Up Here

CCO Amartha Hadi Wenas Umumkan Empat Inisiatif Baru Pengembangan Bisnis

Startup P2P Lending Amartha mengumumkan segera mendapat pendanaan baru. Terakhir, Amartha telah mengantongi pendanaan seri A senilai $2 juta atau sekitar Rp26 miliar dari Mandiri Capital Indonesia (MCI) di 2017.

“Saat ini, kami belum bisa sebutkan serinya apa. Tapi, kami akan umumkan dalam waktu dekat,” ungkap Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas saat ditemui di acara Editor Luncheon Amartha, Rabu (23/10).

Pria yang karib disapa Wenas ini menyebutkan pendanaan baru ini akan dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan bisnis di 2020, termasuk rencana ekspansi Amartha ke beberapa wilayah di Indonesia.

Saat ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman kepada 311 ribu pemilik usaha mikro dan kecil di Pulau Jawa. Total penyaluran dana hingga saat ini tercatat sebesar Rp1,47 triliun dengan NPL sekitar 0,83 persen.

Sejak 30 September, ujar Wenas, Amartha sudah mulai menyalurkan pinjaman ke Sulawesi Selatan. Kemudian, ekspansi ini dilanjutkan secara bertahap ke Sumatera pada November mendatang.

“Selain pendanaan baru, kami juga akan mengumumkan kerja sama dengan beberapa bank daerah dan nasional untuk penyaluran pinjaman di awal 2020,” tambah Wenas.

Empat inisiatif baru Amartha

Setelah mengecap pertumbuhan berkali lipat dalam beberapa tahun terakhir, Amartha berupaya untuk melahirkan sejumlah inisiatif baru untuk pengembangan bisnis selanjutnya.

Ada empat strategi yang tengah disiapkan Amartha. Wenas mengatakan keempat strategi tersebut saat ini masih dalam tahap pengembangan dan direncanakan hadir dalam waktu dekat.

Pertama, Amartha akan menyiapkan fitur yang akan membantu para peminjam untuk mengoptimalkan investasinya. Dalam hal ini, Amartha akan berkolaborasi dengan pihak ketiga, seperti asset management, untuk membantu pengelolaan dana lebih cepat.

“Selama ini sejumlah investor harus menunggu investasinya diambil. Daripada uangnya menganggur, lebih baik ditaruh dulu ke reksa dana. Kami kerja sama dengan asset management, jadi tidak masalah dengan OJK karena tidak kelola langsung,” tuturnya.

Kedua, Amartha akan menyiapkan aplikasi untuk peminjam (borrower) untuk mengatur pengeluaran mereka. Wenas meyakini bahwa layanan ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan pemilik usaha mikro, tak cuma bisnis yang dikelolanya saja.

“Contoh use case-nya, mereka bisa beli kebutuhan sehari-hari secara borongan lewat aplikasi ini sehingga lebih murah. Pembelian ini akan digerakkan oleh semacam Ketua Majelis. Tentu kami akan bicara dengan prinsipal dan ritel untuk menyediakan barang sesuai kebutuhan di pedesaan,” jelasnya.

Ketiga, Amartha akan menghadirkan fitur donasi otomatis yang diperuntukkan bagi peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan. Menurut Wenas, fitur ini tidak seperti platform donasi di pasaran karena berbasis kebutuhan wilayah/desa para peminjam.

Donasi ini akan dikonversi langsung dalam bentuk program atau beasiswa. Misalnya, program sanitasi dan air bersih. Donasi ini akan hadir dalam bentuk pengadaan WC umum.

Terakhir, startup yang berawal dari koperasi ini mengembangkan sejumlah fitur aplikasi untuk memudahkan para petugas Amartha di lapangan menjalankan kegiatan dengan Majelis Amartha, seperti image recognition dan fingerprint.

Application Information Will Show Up Here

Amartha dalam Upaya Memupuk Kesejahteraan Wirausaha Kaum Ibu

Mata Sri Wahyuni berbinar-binar saat bercerita tentang bagaimana ia menjalankan kerajinan anyaman dan tali pramuka di rumahnya. Demikian juga Pariyah yang memproduksi camilan unik dari buah sukun bersama para tetangganya.

Kami juga menyaksikan ekspresi serupa saat menengok usaha batik tulis milik Titik Supartina. Di usia hampir separuh abad–atau bahkan lebih–baik Sri, Pariyah, dan Titik sama-sama menuai hasil manis dari bisnis berskala rumahan berbekal pinjaman.

Sri misalnya, setelah jatuh-bangun menjalankan bisnis kerajinan anyaman yang sebelumnya dijalankan sang suami, ia kini telah mengantongi omzet sebesar Rp6 juta per bulan dari modal awal Rp2 juta yang diperoleh dari Amartha sejak 2014.

Sementara Pariyah telah meraup omzet Rp9 juta-Rp17 juta dari penjualan keripik dan stik sukun. Bahkan hasil produksinya telah sampai hingga ke Negeri Sakura. Pencapaian ini berbekal pinjaman Amartha sebesar Rp3 juta di 2014.

“Stik sukun ini kami jual seharga Rp35 ribu. Kalau di Jepang, kami jual putus. Harganya bisa melonjak tinggi di sana sampai Rp250 ribu per kantong,” ujar Pariyah.

Cerita ini kami dapatkan saat diajak menyambangi keberadaan usaha mereka di Yogyakarta. Kami melihat langsung bagaimana ketiganya berkontribusi terhadap kemajuan usaha mikro dan pemberdayaan ibu-ibu di Yogyakarta.

Kami juga sempat menyaksikan kegiatan pendampingan Majelis usaha batik tulis yang diketuai oleh Titik. Pendampingan ini tak lain untuk memupuk literasi keuangan dan mendorong semangat gotong-royong pada setiap anggota. Perkembangan usaha mereka akan disoroti setiap minggunya oleh petugas lapangan resmi Amartha.

Di tempat usaha ini, setiap anggota ditawarkan menjadi mitra Titik dengan imbal jasa Rp200 ribu per kain batik tulis. Pinjaman awal Rp1 juta yang diperolehnya dari Amartha digunakan untuk membeli bahan kain dan peralatan batik tulis.

Sedikit penyegaran, Amartha menggunakan metode tanggung-renteng dalam menyalurkan pinjaman kepada kaum ibu. Sistem tanggung renteng dibuat berkelompok (majelis) yang terdiri dari 15-20 orang. Tujuannya untuk menekan kemungkinan gagal bayar dari salah satu anggota.

Bagi Amartha, metode tanggung renteng terbilang berhasil dalam mengurangi potensi gagal bayar. Rasio kredit macet atau Non-Performing-Loan (NPL) Amartha sampai saat ini masih di bawah 1 persen.

Malahan, menurut data perusahaan, metode ini juga telah meningkatkan pendapatan dan menurunkan tingkat kemiskinan mitra Amartha lainnya–seperti Sri, Pariyah, dan Titik–masing-masing hingga 60 persen dan 22 persen.

Ditemui saat mengunjungi mitra Amartha di Yogyakarta, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menyebutkan pihaknya telah memiliki mekanisme sendiri dalam menyelesaikan masalah, seperti gagal bayar, di lingkup majelis.

“Biasanya kredit macet itu terjadi karena masalah keluarga atau bisnisnya gagal. Tapi kami punya code of conduct sendiri, yaitu penyelesaian masalah dilakukan di lingkup majelis. Kalau berkali-kali masih gagal bayar juga, Amartha baru akan turun tangan,” ungkap Hadi.

Kesejahteraan tak terbatas pada peningkatan pendapatan

Memasuki paruh kedua 2019, perusahaan masih enggan mengungkap rencana bisnisnya di tahun depan. Namun, ada beberapa strategi yang tengah dipersiapkan Amartha untuk memperkuat pasar yang menurutnya telah dikuasai selama sembilan tahun terakhir.

Hadi mengungkap bahwa definisi sejahtera tidak terbatas pada kemampuan meningkatkan pendapatan. Keberhasilan menyekolahkan anak melalui sebuah usaha adalah salah satu pencapaian untuk menuju level tersebut.

Ia menggambarkan bagaimana para mitra Amartha nantinya tak hanya cerdas dalam mengelola pinjaman untuk menjalankan usaha, tetapi juga mengelola keuangan untuk keluarga. Gambaran barusan adalah contoh use case yang akan menjadi rencana pengembangan Amartha selanjutnya.

“Kami sedang menyiapkan aplikasi untuk borrower. Tapi belum bisa kami ceritakan. Kami kan sudah punya basis komunitas dari mitra-mitra kami. Harapannya [lewat aplikasi ini], kami bisa menutup poverty gap mereka. Sejahtera lewat pendapatan saja kan tidak cukup,” ungkapnya.

Amartha juga tengah melakukan piloting untuk pendaftaran online dan penambahan fitur-fitur baru untuk peminjam dalam beberapa bulan ke depan. Untuk saat ini, seluruh pinjaman disalurkan secara tunai kepada para mitra.

“Kompetitor kami memang banyak, tetapi segmentasi kami unik karena membidik usaha mikro dari ibu-ibu. Bahkan kami ada value added dengan pembinaan majelis. Secara bisnis juga efisien karena agen dan investor punya aplikasi sendiri. Dan investor kami berbeda, tidak cuan based,” jelas Hadi.

“Sementara, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto menambahkan bahwa Amartha siap memperluas pasarnya ke luar Pulau Jawa. Ia menyebutkan ekspansi ke Sulawesi Selatan akan dimulai bulan depan.

“Kami lihat pasar [usaha mikro] di sana sangat potensial. Kami sudah siapkan tim sendiri untuk ekspansi ke Sulawesi Selatan,” ujar Aria yang ditemui pada kesempatan sama.

Sampai Juli 2019, Amartha yang awalnya dibangun sebagai koperasi, telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp1,2 triliun ke 270 ribu pengusaha perempuan di 4.100 desa seluruh Indonesia.

Berkat tingginya antusiasme pasar, Amartha memperkirakan sampai akhir tahun penyaluran pinjaman dapat mencapai Rp1,5 triliun ke 300 ribu pengusaha perempuan. Amartha membidik pertumbuhan bisnisnya dapat naik dua sampai tiga kali lipat tahun depan.

Application Information Will Show Up Here

Four Fintech Lending Startup Acquired License from OJK

Indonesian Fintech Lenders Association (AFPI) announces its four members, Investree, Amartha, Dompet Kilat, and Kimo to acquire license from OJK as fintech lending. In total, with Danamas, there are only five out of 113 AFPI members listed in OJK.

“We appreciate our four members to acquire OJK’s license after the long process to make sure the fintech lending industry was build upon a strong infrastructure,” AFPI’s Head of Institutions and Public Relation, Tumbur Pardede said.

He continued, the four startups reflect all fintech lending’s business models. Investree with the SME’s productive sector and supply chain, Amartha focused on women’s micro businesses. Dompet kilat aims for consumptive sector with quick loan, and Kimo runs payment for balance top-up sellers.

In order to fasten the other members to acquire business license, AFPI is to build a special working group for license. Therefore, all startups which already listed are encouraged to share insights for members that suits their respective segments.

Therefore, they should be faster in completing requirements from OJK, the positive image will built among society.

Investree’s Co-Founder and CEO, Adrian A Gunadi said, the company needs two years to complete the requirements, as for Amartha. In the process, there are series of agreements in terms of administration or risk management that is completely essential.

One of those is to comply with ISO 27001, it doesn’t apply to every tech-based startup. The license isn’t simple and requires so things, particularly for startup working in financial service. Confidentiality is one of the example.

Furthermore, the integration system must adapt per OJK request, devices to monitor in order to run along the APU PPT (anti money laundering) it should be perfect, the auditor must be included in OJK.

“Any [requirements] to be integrated with system must be prioritized and meet the OJK standard. Some product development plans should be ‘hold’ for it,” he added.

After acquiring license, the company’s build up its confidence for partnership with all classes, either the government or private company. Also, there are companies and financial industries in need for partner with official license from regulator to guarantee their users.

“I think what we’ve been planning this year should worked. Starting to expand agressively with new partners is to be realized next year for we’ve grown confident through license,” Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said.

In terms of industry, fintech lending has distributed Rp33 trillion loans per April. For further detail, Amartha is claimed to distribute more than Rp 1 trillion for 230 thousand entrepreneurs with 98,26% payment success rate (TKB).

While, Dompet Kilat has distributed more than Rp10 billion loans for 20 thousand active consumers, the payment success rate has reached 97%. Investree has distributed over Rp2 trillion for 4 thousand borrowers. There are 66 thousand lenders with payment success rate up to 90,99%.

Lastly, Kimo has distributed Rp1 trillion loans since founded in 2016 with 10 thousand balance top-up partners.

Success payment rate is OJK’s requirement for all p2p lending entities with license to display success rate in the 90th day of its operation. It intends to improve transparency and help the lenders to know the risk of its funding placement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Empat Startup Fintech Lending Terima Izin Usaha dari OJK

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengumumkan empat anggotanya, yakni Investree, Amartha, Dompet Kilat, dan Kimo telah mengantongi izin usaha dari OJK sebagai perusahaan fintech lending. Bila ditotal, ditambah Danamas, baru ada lima startup sudah berizin dari total 113 anggota AFPI yang sudah berstatus terdaftar.

“Kami mengapresiasi kepada empat anggota kami yang berhasil memperoleh izin OJK setelah melalui serangkaian proses panjang demi memastikan industri fintech lending dibangun dengan infrastruktur yang kuat,” terang Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede, Kamis (16/5).

Dia melanjutkan, keempat startup ini mencerminkan semua bisnis model yang diterapkan oleh fintech lending. Investree bergerak di sektor produktif UKM dan supply chain, Amartha fokus untuk pembiayaan mikro usaha perempuan. Dompet Kilat menyasar sektor konsumtif dengan layanan pinjaman kilat, dan Kimo bergerak pembiayaan untuk penjual pulsa.

Untuk mempercepat anggota AFPI lainnya memperoleh izin usaha, asosiasi akan membuat working group khusus mengenai perizinan. Jadi setiap startup yang sudah berizin didorong untuk berbagi catatan apa saja yang harus dipenuhi anggota, sesuai dengan segmen usahanya masing-masing.

Dengan demikian, mereka akan semakin cepat memenuhi ketentuan dari OJK, citra positif industri pun lambat laun akan semakin positif di mata masyarakat.

Co-Founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi menerangkan, perusahaan butuh waktu dua tahun untuk memenuhi ketentuan dari OJK, sama seperti Amartha. Dalam prosesnya, ada serangkaian ketentuan baik dari tata kelola dan manajemen risiko yang harus betul-betul dijaga perusahaan.

Di antaranya adalah memenuhi ISO 27001, aturan ini belum tentu diberlakukan buat startup berbasis teknologi lainnya. Lisensi ini tidak sederhana dan mencakup banyak hal yang harus dipatuhi perusahaan, apalagi buat startup yang bergerak di jasa keuangan, misalnya tentang kerahasiaan data pengguna.

Kemudian, dari sisi integrasi sistem harus menyesuaikan dengan apa yang OJK minta, perangkat untuk monitor agar sejalan dengan APU PPT (anti pencucian uang) harus sempurna, auditor pun harus masuk ke dalam daftar rekanan OJK saat audit.

“Apapun [ketentuan] yang harus integrasi ke sistem itu harus didahulukan dan harus memenuhi aturan OJK. Bahkan ada beberapa rencana pengembangan produk harus di-hold demi OJK,” terangnya.

Dari sisi perusahaan, pasca memperoleh izin usaha tentunya menambah kepercayaan diri untuk lebih gencar melakukan kemitraan dari berbagai kalangan baik dari pemerintah maupun swasta. Pasalnya, banyak perusahaan dari industri keuangan yang butuh mitra dengan status izin resmi dari regulator demi meyakini para konsumennya.

“Buat kami apa yang sudah direncanakan tahun ini tetap akan dijalankan. Mulai melebarkan sayap lebih agresif dengan cari mitra baru akan dilakukan pada tahun depan karena kami sudah percaya diri lewat izin resmi,” tambah Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra.

Secara industri, fintech lending per April telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp33 triliun. Dirinci lebih dalam, Amartha diklaim telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun untuk 230 ribu pengusaha dengan tingkat keberhasilan bayar (TKB) 98,26%.

Sementara, Dompet Kilat menyalurkan lebih dari Rp10 miliar pinjaman untuk 20 ribu konsumen aktif, TKB-nya 97%. Investree menyalurkan lebih dari Rp2 triliun untuk 4 ribu peminjam. Terdapat 66 ribu pemberi pinjaman dengan TKB 90,99%.

Terakhir, Kimo telah menyalurkan pinjaman Rp1 triliun sejak berdiri di 2016 dan memiliki 10 ribu mitra penjual pulsa.

TKB adalah kewajiban dari OJK untuk seluruh entitas p2p lending yang terdaftar untuk menampilkan tingkat keberhasilan pengembalian pada hari ke-90 di situsnya. Maksudnya untuk meningkatkan transparansi sekaligus membantu calon pemberi pinjaman untuk mengetahui risiko penempatan dananya.

Strategi Pengembangan Bisnis Amartha di Tahun 2019

Amartha pemain p2p micro-lending menyampaikan strateginya untuk menggenjot performa bisnis tahun depanAda serangkaian kegiatan yang akan dilakukan, di antaranya penambahan mitra peminjam dan mitra pendana.

Brand Manager Amartha Lydia M Kusnadi tidak merinci inovasi (produk) seperti apa yang tengah disiapkan perusahaan. Ia memastikan bahwa perusahaan tak hanya fokus ke angka saja, tapi juga meningkatkan pelayanan dari segala sisi.

Disampaikan juga bahwa respons yang diterima sejauh ini cukup positif, karena akses pendanaan khususnya untuk masyarakat pedesaan menjadi terbuka lebih luas. Pada akhirnya berdampak pada semakin banyak desa yang terberdayakan.

“Dari sisi pendana, mereka memiliki opsi penanaman modal baru, sangat baik untuk portfolio investasi mereka,” terangnya kepada DailySocial.

Di satu sisi, perusahaan juga terus menambah porsi pendana dari segmen ritel dan institusi. Kendati dari sisi jumlahnya ritel tetap diutamakan memegang porsi mayoritas. Lydia menyebut, pendana dari institusi yang berpartisipasi di perusahaan berasal dari perbankan dan BPR.

“Untuk proporsi lenders ritel masih akan ditingkatkan, tentunya tanpa menutup kolaborasi dengan korporasi dan perbankan. Sebagai wujud komitmen kami dalam membuka akses keuangan dan mewujudkan inklusi keuangan.”

Dalam setahun ini, Amartha telah menyalurkan sekitar Rp719 miliar kepada lebih dari 170 ribu mitra peminjam yang berasal dari kalangan perempuan. Jumlah mitra menanjak cukup tajam dibandingkan tahun lalu, yakni sekitar 70 ribu mitra. Adapun dilihat dari jumlah dana yang disalurkan meningkat lebih dari 200% atau sebesar Rp200 miliar dibandingkan tahun lalu.

Perusahaan bekerja sama dengan perbankan untuk memberikan rekomendasi mitra peminjam yang sesuai dengan profil UKM masing-masing. Dua bank yang sudah melakukan kerja sama diantaranya adalah Bank Mandiri dan Bank Permata. Melalui proses scoring dari Amartha, diharapkan dapat membantu bank dalam meminimalisir peluang NPL (Non-Performing Loan) di kemudian hari.

Amartha juga mengklaim telah berhasil menekan risiko gagal bayar hingga 0%. Salah satu manajemen risiko yang dilakukan dengan menerapkan pinjaman kelompok yang memiliki mekanisme “tanggung renteng”. Setiap peminjam akan dikelompokkan ke dalam satu kumpulan yang disebut “Majelis” berisi 15-25 orang yang tinggal berdekatan.

Sistem ini akan mendorong setiap anggota untuk bertanggung jawab untuk melakukan tanggung renteng atau menanggung risiko secara kelompok, apabila salah satu anggota mengalami kredit macet.

Pinjaman mikro di Amartha dimulai dari Rp3 juta sampai Rp15 juta dengan tenor 3 sampai 12 bulan. Imbal hasil yang ditawarkan mulai dari 10% sampai 15% per tahun.

Application Information Will Show Up Here

Bank Mandiri Utilizes KoinWorks and Amartha System for SME Credit Distribution

Bank Mandiri is officially partnering with Amartha and KoinWorks for the use of borrowers profiling to receive SME’s credit in order to avoid the potential NPL in the future. It’s also Bank Mandiri’s attempt to improve the performance of productive credit distribution.

Amartha and KoinWorks will refer SME partners suitable with Bank Mandiri’s criteria. Amartha will be focused on giving recommendations from conventional SMEs while KoinWorks focused on online sellers.

Furthermore, Bank Mandiri will determine which SME partners can obtain the credit facility. The selection by Amartha and KoinWorks is expected to help Bank Mandiri to minimize NPL in the future.

Donsuwan Simatupang, Bank Mandiri’s Retail Banking Director, said the synergy between conventional banking and fintech company is very strategic in giving payment access to all SMEs for the better development.

“Bank Mandiri will use the synergy with Amartha and KoinWorks to secure the payment penetration to the unreachable or unbanked enterprises due to business structure and cash flows which haven’t meet the conventional bank standard,” he said, Mon (8/27).

He added, by using both companies recommendation, they assure to reach a broader range of SMEs. It can also accommodate the limit of SME partners. As of July 2018, Bank Mandiri’s productive micro-credit distribution has reached IDR 35 trillion while SME loans reached IDR 52 trillion.

Aria Widyanto, Amartha’s Director, and Benedicto Haryono, KoinWorks Co-Founder & CEO, also participated in the occasion, said that Bank Mandiri could be an additional financing capacity for potential borrowers in the future SME segment.

“Bank Mandiri is expected to be the institutional investor which capable to expand seed funding for online SMEs rising in Indonesia’s economy,” Haryono added.

Both Amartha and KoinWorks have joined portfolio of Mandiri Capital Indonesia (MCI), Bank Mandiri’s investment arm. KoinWorks recently announced IDR 230 billion Series A funding led by MCI. Amartha, on the other hand, has already received a Series A funding worth over IDR 40 billion which was also led by MCI last year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Mandiri Manfaatkan Sistem Amartha dan KoinWorks Untuk Penyaluran Kredit UMKM

Bank Mandiri meresmikan kerja sama dengan Amartha dan KoinWorks untuk pemanfaatan profiling calon debitur potensial yang bisa menerima kredit UMKM, demi mencegah potensi terjadinya NPL di kemudian hari. Hal ini sekaligus jadi upaya Bank Mandiri dalam meningkatkan kinerja penyaluran kredit produktif dan UKM.

Amartha dan KoinWorks akan mereferensikan mitra UMKM yang yang sesuai dengan kriteria Bank Mandiri. Amartha akan fokus memberikan rekomendasi nasabah dari kalangan UMKM konvensional, sementara KoinWorks khusus untuk penjual online.

Selanjutnya, Bank Mandiri akan menentukan mitra UMKM mana yang dapat memperoleh fasilitas kredit. Seleksi Amartha dan KoinWorks diharapkan dapat membantu Bank Mandiri meminimalisir peluang terjadinya NPL di kemudian hari.

Direktur Retail Banking Bank Mandiri Donsuwan Simatupang mengatakan sinergi perbankan konvensional dan perusahaan fintech sangat strategis untuk memberikan akses pembiayaan ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah agar mereka mampu berkembang.

“Bank Mandiri akan memanfaatkan sinergi dengan Amartha dan KoinWorks untuk memperkuat penetrasi pembiayaan hingga ke kelompok-kelompok usaha yang masih belum bisa dijangkau atau unbanked karena struktur usaha dan arus kas yang masih belum memenuhi syarat bank konvensional,” terangnya, Senin (27/8).

Dengan memanfaatkan rekomendasi dari kedua fintech ini, sambungnya, perseroan memastikan dapat menjangkau rentang nasabah UMKM lebih luas. Sehingga dapat mengakomodasi keterbatasan dari mitra UMKM. Hingga Juli 2018, penyaluran kredit mikro produktif Bank Mandiri telah mencapai Rp35 triliun, sedangkan kredit UKM sebesar Rp52 triliun.

Direktur Amartha Aria Widyanto dan Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono yang turut hadir dalam kesempatan tersebut mengatakan Bank Mandiri dapat menjadi tambahan kapasitas pembiayaan yang lebih besar untuk para calon debitur di segmen UMKM ke depannya.

“Bank Mandiri diharapkan dapat menjadi institutional investor yang dapat memperluas pemberian modal kerja bagi UMKM yang berjualan secara online yang semakin primadona dalam perkembangan ekonomi di Indonesia,” pungkas Benedicto.

Baik Amartha dan KoinWorks tergabung sebagai portofolio di Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha khusus investasi Bank Mandiri. KoinWorks baru-baru ini mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai Rp230 miliar yang dipimpin oleh MCI. Sedangkan Amartha, sudah lebih dahulu menerima pendanaan seri A yang juga dipimpin oleh MCI pada tahun lalu dengan nilai lebih dari 40 miliar Rupiah.

Amartha Catat Penyaluran Pinjaman Rp402,8 Miliar Selama Delapan Tahun Berdiri

Startup fintech p2p lending Amartha mencatatkan realisasi penyaluran pinjaman sebesar Rp402,8 miliar secara akumulatif sejak delapan tahun berdiri hingga kini, dengan total peminjam 104.537 orang yang seluruhnya adalah pengusaha mikro perempuan.

Bila dilihat kinerja Amartha pada tahun lalu, perusahaan telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp200 miliar dengan total peminjam sekitar 80 ribu pengusaha mikro.

“Setelah delapan tahun, Amartha berhasil memperoleh capaian yang membanggakan dalam menjembatani pendana di perkotaan dan perempuan di pedesaan yang ingin meningkatkan taraf hidup mereka dan keluarganya,” ucap CEO dan Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra, kemarin (22/5).

Amartha juga mengklaim berkat kajian dan pendekatan yang tepat, para mitra usaha mikro yang didukung Amartha mampu membangun reputasi mereka sebagai peminjam yang terpercaya bagi para investor. Oleh karenanya, mitra mampu memberikan ketepatan waktu pembayaran mereka yang berada di atas 99,84%.

Perusahaan melakukan sistem tanggung renteng dalam setiap pengelompokan yang biasanya terdiri atas 10-20 orang untuk mencegah terjadinya kredit macet. Sehingga apabila ada salah satu anggota yang belum bisa membayar tagihannya, di dalam kelompoknya akan menanggungnya secara bersama.

Besaran bunga untuk para peminjam biasanya dilihat dari credit scoring, besaran angkanya berada di kisaran 10%-20% per tahun.

“Kami masih berani klaim NPL-nya 0% karena model tanggung renteng itu proven di lapangan dan cocok untuk segmen perempuan.”

Rencana berikutnya

Kendati Taufan enggan menyebutkan target realisasi yang ingin dicapai Amartha tahun ini, namun dia menuturkan bahwa Amartha sedang mempersiapkan aplikasi dan memperbaiki situs mobile yang ramah agar para investor dapat lebih mudah melakukan aktivitas investasi.

Berikutnya, Amartha bakal perbanyak kemitraan dengan berbagai institusi dari jasa keuangan untuk menjadi pendana. Tercatat Amartha baru memiliki dua kemitraan sebagai pendana, yakni Bank Permata dan Mandiri Tunas Finance. Juga Jamkrindo untuk penjamin kreditnya.

“Dengan Bank Permata ini masih baru, belum bisa disebutkan bagaimana kontribusinya dalam realisasi penyaluran. Sekarang yang terbanyak [sumber dana penyaluran] itu masih dari investor individu.”

Tak hanya menggandeng institusi untuk menjadi pendana, Amartha juga bakal perbanyak kemitraan dengan LSM dan perusahaan untuk kebutuhan CSR. Tujuannya untuk memberikan nilai tambah bagi para peminjam, tak hanya memberikan material saja. Beberapa nama yang sudah bekerja sama diantaranya Pulse Lab Jakarta, Oxford Microfinance Initiative, dan Melbourne Microfinance Initiative.

“Harapannya kami bisa lebih banyak menyalurkan pinjaman berkali-kali lipat dibandingkan tahun lalu.”

Taufan juga menuturkan pihaknya saat ini belum ada rencana melakukan pendanaan tahap lanjutan untuk eskalasi bisnis. Terakhir perusahaan mendapatkan investasi seri A yang dipimpin oleh Mandiri Capital senilai US$2 juta.

Klaim SROI lebih tinggi dari rata-rata dunia

Dalam kesempatan yang sama, Taufan juga mengumumkan pencapaian SROI (Social Return on Investment) atau dampak sosial dari pembiayaan yang tinggi. Di dalam Amartha, SROI yang diberikan kepada pengusaha mikro mencapai 98% per tahun diharapkan dapat memberikan kepercayaan investor maupun calon investor yang dikelola Amartha. Angka ini diklaim melampaui rata-rata SROI dunia yang tercatat sebesar 72,5%.

SROI adalah studi analisa yang mengubah nilai beragam dampak sosial yang telah timbul berdasarkan indikator terpilih untuk menentukan kesejahteraan ekonomi, sosial, lingkungan, menjadi nilai mata uang. Hasil analisa SROI adalah rasio yang menunjukkan hubungan antara biaya investasi dengan dampak yang terhasilkan.

Makna SROI 98% adalah setiap rata-rata pinjaman sebesar Rp3 juta dari Amartha, secara langsung akan menciptakan dampak sosial senilai Rp5,94 juta. Imbasnya adalah peningkatan kesejahteraan yang lebih baik, terindikasi dari kepemilikan aset mereka yang berkembang, tingkat pendidikan anak yang lebih baik, kesehatan yang lebih baik, kepemimpinan dalam keluarga, hingga hubungan antar individu lebih berkualitas.

Amartha mencatat dari hasil analisa di tahun lalu, terjadi peningkatan penghasilan dari 45% mitra pengusaha di atas Rp1,5 juta. Berikutnya, untuk menandakan peningkatan kesejahteraan sebanyak 31% mitra melakukan renovasi rumah mereka mulai dari lantai, dinding, dan atap.

Sebanyak 68% mitra kini memiliki pompa air dan aliran PAM (19%) sebagai sumber air bersihnya. Kini hanya 2% mitra yang tidak memiliki toilet di rumahnya, berkurang dari tahun sebelumnya 4%.

Fokus Menjangkau Kalangan Millennial Melalui “BTN Mortgtech”

Acara Meet-Up Jakarta yang mengusung tema “BTN Mortgtech”, Selasa (27/2), menghadirkan sejumlah panelis terkait untuk mendukung event hackathon BTN yang bakal diadakan akhir Maret mendatang. Termasuk di jajaran pembicara adalah Kepala Divisi Digital Banking Bank BTN Dopo Lastyomo, IT Strategic & Planning Division Head Bank BTN Purwa Riadi, Sony Sudaryana (Direktorat e-Business Kominfo), Adi Purwanto Sujarwadi (Product Management Lead GO-LIFE), dan Ari Lumbantobing (Chief Business Officer Amartha).

Memanfaatkan teknologi baru melalui kegiatan Hackthon Mortgtech

Dalam sesi diskusi yang dihadiri para pengembang lokal tersebut terungkap beberapa kendala yang selama ini masih terjadi di sektor kredit perumahan (mortgage) di Indonesia. Mulai dari masih banyaknya proses pembelian rumah secara manual hingga rencana BTN untuk menjangkau generasi millennial sebagai konsumen baru.

“Saat ini generasi millennial secara perlahan sudah mulai mendominasi pasar terutama untuk semua layanan dan produk berbasis teknologi. Kami dari BTN pun ingin menjangkau lebih banyak generasi millennial sebagai nasabah,” kata Dopo.

Acara hackathon yang baru pertama kalinya digelar BTN ini diharapkan bisa menghadirkan teknologi baru yang mempermudah sekaligus mempercepat proses yang ada di BTN saat ini.

“Kami akan menyediakan 14 API dari function yang ada di BTN, termasuk payment, product, dan data consumer untuk kemudian dimanfaatkan oleh pengembang saat acara hackathon nanti,” kata Purwa.

Meskipun saat ini BTN cukup mampu menciptakan teknologi dari awal, namun untuk mempermudah sekaligus menciptakan inovasi yang relevan dengan memanfaatkan pengembang lokal di Indonesia, kegiatan hackathon ini digelar. Nantinya hadiah tidak hanya dalam bentuk uang, namun juga berupa networking dan kemitraan.

“Bisa jadi nanti produk yang diciptakan jika relevan dengan BTN bisa langsung live di sistem kami, tentunya menyesuaikan kondisi yang ada,” kata Purwa.

Mencermati target pasar dan masalah

Adi Purwanto Sujarwadi dari Go-Life mengajak para pengembang menemukan solusi terbaik untuk meningkatkan animo di sektor kredit perumahan. Jika target utama BTN adalah menjangkau generasi millennial, lakukan cara tepat dengan memanfaatkan riset dan uji coba.

“Saya lihat selama ini millennial enggan untuk direpotkan dengan proses yang panjang dan cara yang konvensional. Jika produk tersebut nantinya bisa memotong kegiatan yang merepotkan seperti harus datang ke bank namun bisa melalui aplikasi, pastinya akan menarik perhatian mereka sekaligus mempercepat proses BTN,” kata Adi.

Hal senada diungkapkan Ari Lumbantobing dari Amartha yang melihat selama ini generasi millennial termasuk digital native dan mengerti benar fungsi serta kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi. Untuk itu ciptakan produk yang user friendly sekaligus sarat dengan teknologi.

Sementara itu perwakilan Kominfo, Sony Sudaryana, menambahkan, selama ini Kominfo berupaya untuk memberikan dukungan kepada pelaku startup. Untuk itu jangan pernah ragu menciptakan berbagai inovasi yang ada, demi memberikan solusi terbaik untuk masyarakat.

“Manfaatkan dengan baik minat dari perusahaan besar seperti BTN yang ingin mengadopsi teknologi untuk menjangkau lebih banyak calon nasabah. Artinya peranan teknologi saat ini sudah semakin dibutuhkan terutama sektor perbankan,” kata Sony.


Disclosure: DailySocial adalah pendukung event hackathon “BTN Mortgtech”