Facebook Kembangkan Gelang Pintar untuk Menerjemahkan Gerakan Tangan Menjadi Input dalam AR

Augmented reality (AR) itu bukan sebatas menampilkan objek digital di atas objek nyata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita bisa berinteraksi dengan objek-objek digital tersebut secara intuitif, dan kalau menurut Facebook, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan sebuah gelang pintar berteknologi electromyography (EMG).

Dari perspektif yang paling sederhana, teknologi EMG ini melibatkan sensor yang dapat menerjemahkan aktivitas listrik dari saraf motorik menjadi input untuk sebuah perangkat. Jadi selagi tangan dan jari-jari kita bergerak, sensor akan menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh otak menuju otot.

Salah satu gesture yang paling gampang dibaca dan diterjemahkan menjadi input adalah gerakan mengklik sesuatu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jadi tanpa perlu memegang apa-apa, pengguna kacamata AR dapat mengoperasikan perangkatnya hanya dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya. Seperti Jedi yang mampu mengontrol Force kalau kata Facebook.

Tentu saja ini baru satu contoh yang teramat simpel. Potensi EMG sejatinya sangatlah luas, dan video di bawah ini paling tidak bisa menjadi gambaran apa saja hal-hal yang dimungkinkan ke depannya.

EMG sendiri bukanlah suatu hal yang benar-benar baru di tahun 2021 ini. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2015 pernah ada sebuah perangkat bernama Myo yang mengusung teknologi yang sama persis. Pada kenyataannya, Facebook baru mendapatkan akses ke teknologi ini setelah mengakuisisi startup bernama CTRL-labs di tahun 2019, dan CTRL-labs sendiri mendapatkannya dengan cara membeli paten teknologinya dari pengembang Myo.

Pastinya sudah ada sejumlah penyempurnaan yang diterapkan yang dapat membedakan antara EMG versi sekarang dan versi sebelumnya. Ke depannya, Facebook malah memprediksi bahwa EMG dapat membaca keinginan kita untuk menggerakkan jari sebelum kita betul-betul menggerakkannya.

Selain itu, Facebook juga tertarik untuk menandemkan EMG dengan sistem AI yang sangat advanced yang dapat memahami konteks secara real-time sekaligus interface yang adaptif. Jadi ketimbang harus menavigasikan menu demi menu untuk mengaktifkan fungsi tertentu, seperti misalnya memutar playlist musik ketika hendak berolahraga, AI akan secara proaktif menyuguhkan interface-nya, dan pengguna pun hanya perlu melakukan gesture klik itu tadi sebanyak satu kali.

Facebook neural wristband

Juga tidak kalah penting adalah haptic feedback, sebab ini yang bisa membedakan antara menekan tombol betulan atau bohongan. Perpaduan EMG dan haptic feedback dinilai mampu membuat interaksi-interaksi kita dengan objek digital jadi terasa nyata, dan ini akan terkesan lebih krusial lagi di saat kita menerapkan gesturegesture yang lebih kompleks, seperti misalnya mengetik di atas keyboard virtual.

Perjalanan yang harus ditempuh Facebook untuk mewujudkan visinya masih sangat panjang. Facebook sepertinya tidak mau terburu-buru karena dalam pengembangannya mereka juga harus memperhatikan faktor privasi dan etika. Salah langkah bisa-bisa perangkatnya gagal sebelum dirilis seperti Google Glass.

Sumber: Facebook.

Usung Dashboard Canggih, Audi Q4 e-tron Turut Dilengkapi Augmented Reality Heads-up Display

Petunjuk navigasi berbasis augmented reality (AR) adalah masa depan dunia otomotif. Tidak percaya? Silakan lihat salah satu fitur opsional yang diunggulkan oleh mobil listrik terbaru Audi, Q4 e-tron. Dashboard bernuansa futuristisnya tidak hanya dilengkapi heads-up display (HUD), melainkan yang bekerja sesuai dengan prinsip AR.

HUD sendiri bukanlah barang baru di industri otomotif, sebab sudah banyak mobil di jalanan yang menggunakan teknologi. Umumnya, HUD di mobil melibatkan sebuah panel kaca kecil yang berada persis di belakang kaca depan, lalu ada proyektor yang ‘menembakkan’ informasi ke panel tersebut.

Lain halnya dengan augmented reality heads-up display (AR HUD) seperti yang Audi kembangkan ini. Ketimbang memproyeksikan informasi ke sebuah panel kecil, justru kaca depan Q4 e-tron yang dijadikan bidangnya secara langsung. Menurut Audi, sistem AR HUD ciptaannya mampu meng-cover porsi kaca depan seluas 70 inci secara diagonal.

Ada dua macam informasi yang dapat ditampilkan. Yang pertama adalah indikator umum seperti kecepatan mobil maupun batas kecepatan untuk ruas jalan yang tengah dilalui. Pengemudi akan melihat informasi statis ini seperti sedang berada sekitar 3 meter di depannya.

Yang kedua adalah informasi dinamis yang bisa muncul di mana saja dalam cakupan 70 inci secara diagonal itu tadi. Yang paling relevan tentu adalah petunjuk arah, dan pengemudi bakal melihatnya seperti berada sekitar 10 meter di depan hidung mobil. Selain petunjuk arah, sistemnya juga dapat menampilkan indikator untuk memperjelas marka jalan.

Rahasia dari teknologi AR HUD ini terletak pada sebuah komponen bernama picture generation unit (PGU) yang Audi tanamkan ke dashboard Q4 e-tron. Hardware khusus tersebut juga hadir bersama software spesifik bernama AR Creator yang bertugas me-render semua informasi digital tersebut dalam kecepatan 60 fps, sekaligus memastikan posisinya tetap sinkron selagi mobil bergerak.

Dari kacamata sederhana, AR Creator bekerja dengan mengalkulasikan pergerakan mobil sekaligus memprediksi di mana letak objek-objek di sekitar mobil secara terus menerus berdasarkan informasi yang diterima dari beragam sensor eksternal. Informasi ini kemudian dipakai untuk mengubah peletakan grafik AR secara dinamis, mencegahnya agar tidak lompat ke sana-sini selagi posisi mobil berubah setiap sepersekian detik.

Kalau ditanya apa tujuan dari penerapan AR HUD, jawabannya sudah pasti adalah untuk membantu pengemudi tetap fokus ke jalanan. Agar misi ini lebih mudah tercapai, Audi pun tidak lupa melengkapi sistem infotainment Q4 e-tron dengan dukungan perintah suara sehingga kedua tangan pengemudi bisa terus berada di setir.

Audi bukan satu-satunya produsen mobil yang menerapkan teknologi AR HUD ini. Pertengahan 2020 kemarin, Mercedes-Benz juga sempat mendemonstrasikan beragam inovasi digital yang dimiliki seri S-Class generasi terbaru, salah satunya juga merupakan AR HUD.

Sumber: Engadget dan Audi.

Qualcomm Ungkap Reference Design Kacamata Augmented Reality, XR1 AR Smart Viewer

Kacamata augmented reality (AR) di titik ini mungkin masih terdengar terlalu gimmicky buat sebagian besar orang. Apakah fungsinya hanya untuk hiburan? Adakah nilai ekstra yang diberikan ketimbang mengonsumsi konten AR lewat smartphone? Kalau menurut Qualcomm, AR glasses malah sebenarnya cocok untuk dipakai bekerja.

Mereka baru saja merilis reference design dari XR1 AR Smart Viewer. Wujudnya sepintas kelihatan seperti kacamata hitam dengan frame yang agak lebih tebal dari biasanya, dan ia mengemas sepasang display OLED yang mempunyai resolusi 1080p dan refresh rate 90 Hz, dengan field of view seluas 45 derajat. Memang tergolong sempit, tapi ini memang merupakan salah satu kelemahan kacamata AR sejauh ini.

XR1 juga dilengkapi sejumlah kamera yang mendukung teknologi hand tracking sekaligus 6DoF head tracking. Menariknya, ketimbang merancang XR1 sebagai perangkat yang dapat beroperasi secara mandiri, Qualcomm justru memosisikannya sebagai aksesori untuk smartphone dan PC. Dengan bantuan sebuah kabel, XR1 bisa menjadi semacam layar tambahan untuk masing-masing perangkat.

Qualcomm XR1 AR Smart Viewer

Ketika dihubungkan ke PC misalnya, XR1 dapat menggantikan peran beberapa monitor sekaligus, dan ini tentu saja merupakan cara yang ideal untuk meningkatkan produktivitas. Ketika sudah selesai bekerja, tinggal lepas kacamatanya dan kembali ke aktivitas lain tanpa harus diganggu oleh kacamata aneh yang berbingkai tebal.

Saya membayangkan skenario multiple display ini juga berguna dalam konteks hiburan. Anggap Anda sedang menonton menggunakan smartphone. Kacamata XR1 yang tersambung dapat dipakai untuk, misalnya, membuka timeline Twitter. Kalau mau dibalik pun juga bisa; jadi kacamata dipakai untuk menonton, lalu smartphone untuk sesekali mengecek media sosial.

Sejauh ini sudah ada satu produk yang menggunakan XR1 sebagai basisnya: Lenovo ThinkReality A3. Perangkat tersebut sudah Lenovo perkenalkan pada ajang CES 2021 di bulan Januari kemarin, akan tetapi perilisannya diperkirakan baru akan berlangsung di pertengahan tahun.

Sumber: The Verge.

Lego Vidiyo Adalah Sistem Permainan AR yang Terinspirasi TikTok

Akhir Januari kemarin, Lego mengumumkan Vidiyo, sejenis permainan berbasis augmented reality (AR) yang sedikit banyak terinspirasi oleh TikTok. Premisnya cukup simpel: letakkan minifigure di atas meja, pilih lagu di aplikasi, lalu rekam video musik yang menarik dengan bantuan efek AR.

Namun tidak seperti set Lego standar, Vidiyo mempunyai set minifigure-nya sendiri. Juga sangat esensial adalah kotak kecil pipih yang Lego namai BeatBits. Setiap BeatBits mengemas gambar yang berbeda, dan gambar-gambar itulah yang pada akhirnya diterjemahkan oleh smartphone menjadi efek AR-nya (animasi minifigure, special effect, dan lain sebagainya).

Minifigure dan BeatBits ini Lego bundel dalam satu paket bernama BeatBox. Satu BeatBox dihargai $20, dan isinya mencakup satu minifigure dan 16 BeatBits. Kemasannya sendiri berperan sebagai panggung mini buat sang minifigure sekaligus wadah untuk menempatkan BeatBits. Urutan efek AR yang ditampilkan bakal bergantung pada urutan BeatBits-nya.

Alternatifnya, Lego juga menjual minifigure Vidiyo secara terpisah seharga $5, plus tiga BeatBit sebagai bonus. Sayangnya mengoleksi minifigure sekaligus BeatBits Vidiyo sampai lengkap tidak sekadar membutuhkan uang, tapi juga keberuntungan, sebab paket minifigure terpisah ini dikemas dalam wujud blind bag.

Untuk konten musiknya, Lego bekerja sama langsung dengan Universal Music Group. Sejauh ini katalognya baru mencakup sekitar 30 lagu, akan tetapi jumlahnya dipastikan bakal terus bertambah ke depannya. Juga akan ditambah jumlahnya seiring waktu adalah minifigure dan BeatBits. Untuk BeatBits, Lego punya target merilis setidaknya 130 BeatBits di tahun 2021 ini saja.

Selain membagikan hasil rekaman video musiknya ke media sosial, kita juga bisa memanfaatkan platform sosial milik Vidiyo sendiri. Lego memastikan bahwa timnya akan selalu memoderasi konten yang bersirkulasi di platform Vidiyo demi memastikan semuanya tetap family-friendly. Sekadar informasi, permainan ini ditujukan untuk anak-anak berusia 7 tahun atau lebih.

Di Amerika Serikat, Lego Vidiyo BeatBox kabarnya akan dijual mulai tanggal 1 Maret mendatang. Aplikasinya sendiri tersedia gratis untuk perangkat Android dan iOS, tanpa opsi in-app purchase sama sekali.

Sumber: SlashGear dan Wired.

JD.id Sematkan Teknologi AR untuk Produk Kecantikan

Industri kecantikan menjadi salah satu pasar yang paling menarik dieksplorasi, apalagi jika disinergikan dengan perkembangan teknologi. Melihat potensi tersebut, platform e-commerce JD.id meluncurkan fitur “AR Make-up Try-On” memanfaatkan teknologi augmented reality (AR) yang memungkinkan para pelanggan mencoba berbagai produk make-up dari berbagai macam brand secara virtual di dalam aplikasi mobile.

Dalam melancarkan idenya, JD.id menggandeng sejumlah brand kosmetik dan kecantikan ternama di Indonesia, termasuk Wardah, Emina, Make Over, Maybelline, Loreal, Nacific Cosmetic, I’m Meme, Somethinc, Pixy, Safi, dan Marina Glow Ready.

“Melalui fitur ‘AR Make-up Try-On’, kami berupaya untuk memudahkan proses belanja para pelanggan serta menawarkan pengalaman yang baru dalam membeli produk make-up secara online di JD.id,” kata Head of Beauty Retail JD.id Liana Heryono.

Meningkatnya minat masyarakat untuk berbelanja online saat pandemi, juga menjadi pendorong JD.id merilis teknologi AR ini. Tanpa harus datang ke toko, pengalaman pengguna yang lebih baik bisa didapatkan.

JD.id mencatat di masa pandemi pihaknya mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Mereka mengklaim nilai penjualan mengalami kenaikan hingga 40%.

Telah diterapkan di Tiongkok

Meskipun baru resmi meluncur di Indonesia tahun ini, teknologi AR sudah hadir di Tiongkok sejak tahun 2018, tempat induk perusahaan JD.id beroperasi, untuk meningkatkan pengalaman pengguna saat membeli produk kecantikan. Di blog JD disebutkan, Fitur “AR Styling Station” JD memungkinkan pengguna secara virtual mencoba berbagai produk, termasuk lipstik, blush, lensa kontak berwarna, dan pensil alis.

AR Styling Station diluncurkan sebagai bagian upaya JD menciptakan fungsi belanja mutakhir dan dipersonalisasi bagi konsumen yang melek digital.

Beautytech di Indonesia

Di artikel DailySocial sebelumnya disebutkan, industri kecantikan yang mengedepankan teknologi atau beautytech, diprediksi bakal menjadi primadona di pasar ekonomi digital Indonesia. Platform seperti Sociolla telah melakukan ekspansi ke Vietnam setelah mengantongi penggalangan dana senilai $58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) pada bulan Juli lalu. Platform yang mengusung konsep direct-to-consumer seperti Base dan Callista makin agresif memproduksi dan menjual produk kecantikan mereka.

Menurut Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Application Information Will Show Up Here

Dari Virtualisasi Sampai AR, LaLiga Terapkan Segudang Teknologi untuk Penayangan Musim 2020-21

24 Oktober nanti, El Clásico pertama di musim 2020-21 akan berlangsung di Camp Nou berdasarkan pengumuman resmi dari LaLiga. Para pendukung setia Barcelona dan Real Madrid pastinya sudah menanti-nanti momen ini, terutama suporter Barcelona mengingat laga terakhir di musim sebelumnya dimenangkan oleh Real Madrid dengan skor 2-0 pada bulan Maret lalu.

Namun ketimbang membahas pertandingannya, saya justru lebih tertarik membahas mengenai bagaimana pihak LaLiga memanfaatkan beragam teknologi untuk menyempurnakan tayangannya selama musim berlangsung secara tidak umum di tengah pandemi.

Buat yang sempat menonton salah satu pertandingan LaLiga di musim 2020-21 ini, Anda mungkin sempat heran atau takjub melihat area tribun yang dipenuhi penonton, sebab itu jelas bertentangan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan selama pandemi.

Pada kenyataannya, kursi-kursi penonton tersebut kosong melompong. Yang kita lihat adalah hasil penerapan teknologi virtualisasi, dan LaLiga menganggap ini sebagai aspek yang sangat penting karena mereka ingin penonton di rumah bisa tetap berfokus pada pertandingan tanpa teralihkan perhatiannya oleh tribun kosong.

Misi memanjakan penonton di rumah ini krusial mengingat data internal LaLiga menunjukkan ada peningkatan jumlah penonton sekitar 20-30% selama musim berjalan di tengah pandemi. Selain menampilkan penonton virtual di area tribun, LaLiga juga memanfaatkan porsi lain di tribun untuk menampilkan berbagai konten lain, seperti misalnya pesan kepada penonton di rumah, atau pesan dari sponsor.

LaLiga menyebut inovasi ini dengan istilah virtual stands, dan menariknya, mereka berencana untuk tetap menggunakannya meski pandemi sudah berakhir nantinya. Dalam acara media briefing yang saya ikuti via Zoom, saya sempat menanyakan tentang teknologi-teknologi baru yang dipakai oleh tim produksi LaLiga selama pandemi, yang rencananya masih akan terus diterapkan ke depannya, dan virtual stands ini adalah salah satunya.

Head of Content and Programming di LaLiga, Roger Brosel, menjelaskan bahwa meski awalnya virtual stands ini hanya digunakan untuk mengisi kekosongan di stadion, tim produksi LaLiga sekarang sudah mengeksplorasi berbagai cara untuk tetap mengimplementasikannya ketika semuanya sudah kembali berjalan normal.

Virtualisasi ini tidak akan lengkap tanpa optimasi penempatan kamera. Yang tadinya di pinggir lapangan, sekarang sudah dipindah ke area tribun supaya tayangan replay tidak terlalu banyak menampilkan kursi kosong. Selain itu, Roger mengatakan bahwa di akhir 2020 nanti, bakal ada 16 stadion yang sudah dipasangi dengan sistem aerial camera yang lengkap. Stadion yang dilengkapi sistem Replay360° juga bertambah jumlahnya menjadi 8.

Di samping memberikan ilusi visual, LaLiga rupanya juga menyajikan ilusi aural. Riuh penonton akan selalu terdengar di sepanjang pertandingan, persis seperti ketika stadion memang terisi penuh di kondisi normal. Padahal, sorakan demi sorakan penonton ini sebenarnya adalah hasil rekaman dari pertandingan yang dijalani oleh masing-masing klub.

Lucunya, rekaman audio ini pada awalnya dibuat untuk dipakai oleh EA di game FIFA. Sekarang, semuanya sudah di-remaster untuk dipakai di tayangan LaLiga. Sejumlah sound engineer bertugas layaknya DJ, memutar audio yang tepat dan menyesuaikannya dengan momen yang terjadi. Jadi saat sebuah tim berhasil mencetakkan gol, kita pun juga akan mendengarkan sorakan gembira dari para suporternya.

Roger sempat bercerita sedikit mengenai seorang komentator yang secara tidak sadar sempat mengomentari tentang betapa meriahnya dukungan suporter, sebelum akhirnya ia sadar bahwa semua itu cuma sebatas ilusi.

Namun dari sekian banyak teknologi yang diterapkan, mungkin yang paling menarik adalah implementasi grafik augmented reality (AR). Dari yang sesimpel menampilkan formasi tim langsung di atas lapangan, sampai yang lebih kompleks yang grafiknya benar-benar bisa mengikuti pergerakan pemain, semuanya merupakan inisiatif yang baru diterapkan pada musim 2020-21 ini.

Grafik AR bahkan juga LaLiga tandemkan dengan teknologi prediksi data berbasis AI. Jadi semisal seorang pemain sedang bersiap melakukan tendangan pojok, kamera akan berganti ke tampilan yang lebar, dan grafik AR akan muncul menunjukkan persentase kemungkinan arah tendangan pojok dari sang pemain; apakah melambung ke depan gawang, ke dekat titik penalti, atau operan pendek ke pemain lain yang biasanya bakal dilanjutkan dengan crossing.

Semua ini membuat pertandingan terasa sedikit seperti menonton pertandingan esports FIFA, apalagi ketika melihat indikator nama pemain yang bergerak mengikuti ke mana saja pemain tersebut pergi. Meski demikian, Roger mengaku bahwa penerapannya tidaklah mudah.

Salah satu tantangan terbesar LaLiga adalah bagaimana mereka bisa menyajikan data dalam bentuk grafik AR tersebut secara intuitif. Terlalu banyak data berpotensi mengganggu konsentrasi penonton, jadi LaLiga harus benar-benar mengemasnya dalam bentuk visual yang mudah dimengerti oleh penonton, sebab grafik tersebut mungkin hanya akan muncul dalam hitungan detik saja.

Idenya adalah supaya data dan grafik AR bisa melengkapi siaran pertandingan, bukan malah mengambil alih perhatian penonton. Itulah mengapa LaLiga harus benar-benar menyeimbangkan penyajiannya, sekaligus memikirkan cara yang terbaik untuk menyuguhkan datanya.

LaLiga mengaku menghabiskan waktu sekitar dua bulan dari April hingga Juni untuk mengembangkan teknologi-teknologi yang dapat membantu menyempurnakan tayangannya selama musim pandemi. Tanpa ada keinginan untuk membanding-bandingkan dengan liga sepak bola di negara lain, LaLiga juga optimis bisa menjadi semacam trendsetter terkait penayangan pertandingan sepak bola di masa pandemi ini.

Web AR Bantu Pastikan Konten Augmented Reality Lebih Bisa Dijangkau oleh Konsumen

Pandemi COVID-19 mengajarkan kita bahwa industri harus bisa beradaptasi dengan kondisi baru yang jauh dari kata ideal demi bertahan hidup. Sebuah brand alat kecantikan misalnya, ketimbang hanya sekadar mengandalkan penjualan secara online, mereka bisa memanfaatkan teknologi virtual try-on untuk tetap bisa menarik perhatian konsumen dari kediaman masing-masing.

Virtual try-on tentu saja merupakan salah satu perwujudan teknologi augmented reality (AR), dan kalau kita melakukan pencarian di internet, kita bisa menemukan banyak testimoni mengenai bagaimana AR terbukti mampu membantu meningkatkan brand awareness atau mendorong penjualan di berbagai area industri.

Yang mungkin menjadi problem adalah, tidak semua konsumen paham cara mengakses konten AR. Kebanyakan membutuhkan aplikasi tersendiri, dan terkadang konsumen bakal merasa malas kalau harus mengunduh dan meng-install sesuatu terlebih dulu. Andai konten AR bisa dinikmati langsung dari browser, seharusnya akan ada lebih banyak lagi konsumen yang bisa dijangkau.

Itulah premis yang ditawarkan oleh Web AR, salah satu layanan baru dari AR&Co. Jadi daripada harus mengunduh aplikasi, konsumen cukup mengklik tautan yang dijumpainya di media sosial, maka mereka akan langsung dihadapkan dengan konten AR interaktif melalui browser. Lalu ketika mereka sudah mulai membagikan tautan tersebut ke teman-teman atau keluarganya, otomatis penyebarannya pun bisa berlangsung secara organik.

Singkat cerita, Web AR memastikan bahwa konten AR yang disiapkan bisa lebih viral daripada kalau cuma mengandalkan aplikasi saja, sebab tautannya tentu bisa disebar di banyak medium. Kalau perlu, tautannya juga bisa dikemas sebagai kode QR agar bisa di-scan dengan mudah oleh konsumen.

Selain untuk meningkatkan brand awareness atau kebutuhan mengiklan lainnya, AR juga sangat ideal dimanfaatkan di bidang seperti pendidikan, terlebih di saat seperti sekarang di mana prosesnya harus dilancarkan secara online. Dengan menggunakan Web AR, pihak pengajar bisa memastikan materinya tersampaikan dengan baik ke semua pelajar.

Buat para pelaku bisnis yang selama ini sudah memanfaatkan AR, Web AR tentu bisa jadi alternatif yang menarik untuk melengkapi inisiatif AR maupun program promosi mereka.

Gambar header: Depositphotos.com

Modular Kembangkan Platform Acara Online Menggunakan Augmented Reality

Pandemi Covid-19 memaksa hampir semua konser musik ditunda, dibatalkan, atau dialihkan ke panggung virtual. Belum lama ini, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan anjuran tentang protokol kesehatan bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum, namun pengalaman yang ditawarkan sangatlah terbatas. Untuk mengisi keterbatasan ini, Modular dikembangkan sebagai inovasi online event berbasis augmented reality (AR).

Ide pembuatan Modular muncul dari CEO Modular Hendra Araji yang mendapat inspirasi setelah melihat beberapa referensi penggunaan teknologi AR di luar negeri.

“Kami melihat ini peluang di mana sudah banyak ide-ide kreatif implementasi AR di industri hiburan di luar negeri. Kami ingin mengajak user untuk bisa menikmati pengalaman berinteraksi dengan musisi atau karya dengan cara yang baru, di mana pun.” tambahnya.

Penerapan augmented reality

Modular menggunakan teknologi AR untuk memungkinkan pengguna menambahkan objek virtual ke dunia nyata. Pemanfaatan teknologi AR sendiri masih terhitung jarang di Indonesia. Pihaknya mengaku, aplikasi ini diciptakan sebagai bentuk adaptasi akan perubahan kondisi dunia saat ini dan sebagai gerbang pemasukan baru bagi industri musik.

Dalam prosesnya, untuk setiap musisi atau seniman lain yang melakukan pertunjukkan di Modular, sebelumnya mereka akan melakukan shooting untuk kemudian ditambahkan ke 3D stage yang sudah didesain. Nantinya artis dan 3D stage itu bisa muncul dan dilihat dengan cara user mengarahkan gawai mereka sampai muncul marker penanda di dalam aplikasi Modular.

Dari sisi pengguna, setelah mengunduh dan menginstal aplikasi Modular, mereka bisa memilih menonton konser musisi yang diinginkan beserta lagunya. Setelah itu, akan muncul tampilan menggunakan kamera belakang dan akan diminta untuk menempatkan 3D Stage yang sudah dibuat. Lalu, akan terlihat musisi beserta 3D stage-nya. Fitur ini juga dilengkapi dengan kapabilitas untuk merekam layar dan langsung berbagi ke media sosial.

Aplikasi Modular sendiri sudah diluncurkan sejak bulan Maret 2020. Namun, saat ini pengguna aplikasi Modular masih terbatas untuk perangkat flagship di platform iOS dan Android.

Erdy Suryadarma selaku Creative Product Manager Modular turut menyampaikan, “Terkait hal ini, kami terus melakukan edukasi kepada user kami terkait keterbatasan perangkat yang ada agar tidak terjadi miskomunikasi di kalangan user.”

Model bisnis dan rencana ke depan

Dalam hal model bisnis, Modular sendiri memiliki beberapa skema. Selain ticket management fee untuk konser berbayar, pihaknya juga menawarkan skema sponsorship untuk rekanan yang mau melakukan brand placement pada acara yang digelar dalam platform Modular.

Dalam beberapa bulan ke depan, Modular berinisiatif untuk menyelenggarakan konser sendiri termasuk manajemen tiket, juga manajemen konten. Terkait bentuk online event, pihaknya mengakui mulai terbuka dengan opsi lain, tidak hanya konser musik saja.

Mengenai pendanaan, Erdy mengungkapkan, “Saat ini kami masih bootstraping, tapi sedang membuka kesempatan untuk seed funding.”

Application Information Will Show Up Here

Mercedes-Benz Pamerkan Beragam Inovasi Digital pada S-Class Generasi Terbaru

Keberadaan touchscreen pada dashboard mobil sudah tidak bisa dibilang barang baru lagi. Kendati demikian, saya kira belum ada pabrikan yang seberani Tesla, yang sejak Model 3 sudah sepenuhnya mengandalkan layar sentuh untuk mengendalikan beragam fungsi mobil.

Arahan yang diambil Tesla mungkin agak kelewat ekstrem. Kalau untuk keperluan seperti mengecek tekanan ban, touchscreen mungkin merupakan medium interaksi yang sangat pas. Namun kalau untuk mengatur arah semburan AC atau membuka jendela mobil, saya rasa reflek manusia akan lebih nyaman dengan kehadiran tuas fisik.

Sayang sepertinya trennya lebih condong ke visi Tesla. Mercedes-Benz baru-baru ini menjabarkan secara detail mengenai pembaruan yang mereka terapkan pada sistem infotainment MBUX-nya, yang siap menjalani debutnya bersama S-Class generasi terbaru. Kalau mau penjelasan sederhananya, versi baru MBUX ini melibatkan touchscreen berukuran besar sebagai panel kontrol utamanya.

Layar sentuh OLED sebesar 12,8 inci dengan orientasi vertikal ini langsung mengingatkan saya pada touchscreen milik Tesla Model S. Menurut Mercy, kehadiran layar sentuh ini membantu mereka mengeliminasi 27 tombol yang biasanya terdapat dalam kabin S-Class. Seketika itu juga saya berpikir: “Apakah ini berarti S-Class generasi terbaru tidak dilengkapi tombol power window?”

Untungnya tidak demikian. Mercy memastikan bahwa tombol power window, tuas wiper dan lampu, serta sejumlah tombol fisik lain yang sudah sangat familier masih ada di tempat aslinya. Namun untuk kenop-kenop pengaturan sistem climate control, Mercy sudah memindahnya ke layar sentuh, meski untungnya Mercy juga merancangnya agar menghuni porsi bawah layar secara permanen.

MBUX

Tepat di balik lingkar kemudinya, tentu saja panel instrumennya juga sudah sepenuhnya digital. Satu hal baru yang Mercy perkenalkan di sini adalah semacam teknologi 3D display yang glasses-free. Pastinya untuk apa fitur ini Mercy buat belum dijelaskan, dan yang menurut saya lebih menarik adalah teknologi AR-HUD alias augmented reality heads-up display.

Penerapan AR di bidang otomotif bukanlah hal baru, akan tetapi Mercy berhasil mengintegrasikan teknologinya dengan HUD, yang berarti konten AR bisa diproyeksikan langsung ke jendela depan mobil. Hasil proyeksinya pun cukup luas, setara layar 77 inci kalau kata Mercy.

Tentu saja implementasi AR di sini bukan sebatas untuk keren-kerenan saja. Salah satu fungsinya adalah sebagai format baru untuk menampilkan panduan navigasi. Dan karena tampilannya sekarang bisa diproyeksikan ke jendela depan, maka pengemudi bisa melihat arah panah petunjuk navigasi yang seakan-akan berada tepat di atas jalanan.

Berhubung S-Class identik dengan mobil para bos yang pasti punya sopir pribadi, tentu saja kabin belakangnya turut dibanjiri layar sentuh. Maksimal hingga tiga buah, satu di konsol pembatas dan dua sisanya di belakang jok depan.

MBUX

Teknologi keamanan biometrik juga menjadi salah satu fitur yang diunggulkan MBUX versi terbaru. Dari yang sederhana seperti memindai kode QR untuk mengaktifkan profil pengemudi (yang menyimpan informasi-informasi seperti posisi jok, pengaturan climate control, dan lain sebagainya), sampai yang lebih kompleks seperti fingerprint scanning dan facial recognition.

Pada S-Class terbaru nanti, facial recognition tak hanya dipakai untuk memantau apakah pengemudi mulai mengantuk, melainkan juga untuk mengaktifkan beragam fungsi-fungsi cerdas, seperti misalnya menyesuaikan posisi kaca spion secara otomatis (dengan memperhatikan posisi kepala dan mata pengemudi relatif terhadap sandaran jok dan parameter-parameter lainnya).

Mercy juga tak mau melupakan sistem voice recognition. Pada MBUX versi terbaru, perintah suara dapat diberikan tanpa harus menyebutkan “Hey Mercedes” setiap kali. Mercy mengklaim sistemnya telah mendukung 27 bahasa yang berbeda, serta mampu memahami instruksi-instruksi yang implisit seperti misalnya “Saya kepanasan” daripada yang terang-terangan seperti “Turunkan suhu AC ke 20 derajat”.

Sejauh ini penawaran Mercy terdengar lebih menarik daripada Tesla kalau buat saya. Digitalisasi itu penting, dan kita tentu ingin bisa mengakses beragam fitur mobil semudah menavigasikan smartphone. Kendati demikian, beberapa hal tetap lebih mudah dikendalikan via tombol atau tuas fisik. Anda tentunya bakal keberatan kalau tombol volume pada ponsel Anda dihilangkan, bukan?

Sumber: CNET dan Daimler.

Bose Tinggalkan Bisnis Augmented Reality

Bose telah meninggalkan bisnis augmented reality (AR), hanya dua tahun sesudah memperkenalkan inisiatifnya pertama kali di ajang SXSW 2018. Keputusan ini dibuat bukan akibat pandemi COVID-19, tapi karena komersialisasinya tidak berjalan sesuai rencana awal Bose.

Sekadar mengingatkan, teknologi AR yang Bose kembangkan ini hanya berfokus pada aspek audio saja. Kalau biasanya AR disajikan lewat gambar hologram yang tampil bersamaan dengan lingkungan sekitar, AR versi Bose sama sekali tidak melibatkan itu. Sebagai gantinya, konten audio akan diputar ketika pengguna berada dalam skenario tertentu, seperti misalnya saat melewati sebuah restoran, atau saat berdiri di depan patung tokoh ternama.

Bose bahkan sempat memasarkan kacamata AR bikinannya sendiri yang dinamai Bose Frames, meski pada akhirnya teknologi AR tersebut juga diintegrasikan ke sejumlah headphone-nya. Namun harus diakui, sulit melihat potensi pengaplikasian teknologi AR audio-only dalam rutinitas sehari-hari. Manfaatnya tentu ada, tapi mungkin hanya untuk beberapa keperluan spesifik saja.

Bahkan AR headset yang mengombinasikan elemen audio dan visual pun masih terkesan eksperimental, bukan sesuatu yang bisa dikategorikan esensial oleh konsumen secara umum. Magic Leap adalah bukti nyatanya. Startup yang dulunya digadang-gadang bakal merevolusi AR tersebut memutuskan untuk meninggalkan ranah consumer mengalihkan fokusnya ke segmen enterprise pada bulan April lalu.

Ketimbang integrasi teknologi AR, saya yakin sebagian besar konsumen headphone akan lebih memilih integrasi noise cancelling. Mengeliminasi suara luar yang mengganggu selagi berada di transportasi umum atau di kabin pesawat tentu lebih diprioritaskan daripada mendapat informasi tambahan selagi mengunjungi museum (salah satu kegunaan yang ditawarkan teknologi AR milik Bose).

Belum diketahui bagaimana nasib perangkat Bose Frames ke depannya, namun saya menebak Bose akan segera (atau malah sudah) berhenti memasarkannya. Platform AR yang mereka sediakan untuk developer aplikasi pihak ketiga juga akan ditutup pada pertengahan Juli mendatang. Cukup disayangkan mengingat Bose sempat mengucurkan pendanaan sebesar $50 juta untuk deretan startup yang tertarik mengembangkan aplikasi buat platform AR-nya.

Sumber: Protocol.