Konvergen AI Hadirkan Platform “Data Capture”, Mudahkan Proses Transkripsi Informasi dari Foto

Digitalisasi layanan sudah makin masif dilakukan sektor publik dan privat di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk menjadikan proses bisnis yang ada lebih efisien dan cepat. Namun dalam praktiknya, beberapa proses digital belum sepenuhnya terautomasi. Misalnya dengan adanya aplikasi digital, suatu perusahaan masih harus memvalidasi hasil masukan formulir online secara manual, untuk memastikan berkas yang dilampirkan sesuai.

Permasalahan tersebut yang membuat Lintang Sutawika, Roan Gylberth, dan Timotius Devin menginisiasi Konvergen AI. Yakni startup yang fokus mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk kebutuhan penangkapan data (data capture) – merujuk pada proses koleksi data dari dokumen kertas atau digital dengan menggunakan komponen optical character recognition (OCR). OCR berfungsi menghasilkan transkripsi teks dalam format digital dari foto, gambar, atau hasil scan.

Begini gambaran cara kerjanya. Misalnya ada sebuah aplikasi catatan pengeluaran belanja, pengembang bisa memanfaatkan layanan Konvergen AI untuk menghadirkan fitur pemindai kuitansi belanja dengan kamera ponsel. Memungkinkan aplikasi mencatat produk dan nominal yang tertera, pengguna tidak perlu menuliskan secara manual.

“Secara singkat, produk dan layanan Konvergen AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi kinerja yang melibatkan proses manual dan repetitif, yaitu input data. Saat ini sistem Konvergen AI dapat memproses berbagai dokumen mulai dari dokumen identitas seperti eKTP atau Kartu Keluarga, hingga dokumen perdagangan seperti invoice,” ujar Co-Founder Lintang Sutawika.

Konvergen AI sajikan layanan ekstraksi data untuk berbagai keperluan / Konvergen AI
Konvergen AI sajikan layanan ekstraksi data untuk berbagai keperluan / Konvergen AI

Lintang melanjutkan, sebagai permulaan produk Konvergen AI ditujukan untuk perusahaan finansial yang meliputi perbankan, asuransi, maupun pembiayaan; namun bisa juga diadaptasikan ke industri lain seperti pemrosesan ekspor/impor dan legal. Sebagai SaaS, produk dikomersialkan melalui lisensi berlangganan.

“Saat ini, kami membantu sebuah bank swasta dalam melakukan registrasi nasabah baru. Dalam kasus ini, sistem kami membantu meng-input data identitas nasabah yang tertera pada dokumen seperti eKTP dan NPWP. Dengan sistem data capture ini, proses registrasi dan pengecekan oleh pihak bank menjadi lebih cepat,” lanjutnya.

Mendapatkan pendanaan awal dari GDP Venture

Konvergen AI resmi berdiri sejak akhir 2018 dan telah memproses lebih dari satu juta dokumen dari puluhan pelanggan. Mereka juga sudah membukukan pendanaan awal (seed funding) dari GDP Venture, perusahaan modal ventura yang cukup aktif berinvestasi ke startup kecerdasan buatan. Selain Konvergen AI, GDP juga berinvestasi ke Datasaur, Prosa.ai, 6Estates, Qlue, dan Glair.

Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI
Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI

Terkait founder Lintang juga bercerita, ketiganya bertemu ketika menjalankan program magister di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

“Pada awalnya kami bertiga menjalankan beberapa proyek computer vision dan image processing. Hal yang sederhana untuk kita seperti membaca dan meng-input data menjadi hal yang overwhelming apabila dilakukan secara repetitif dan skala besar. Kami menilai bahwa perkembangan kecerdasan buatan saat ini dapat di-engineer untuk mengurangi kerja manual.”

Sebenarnya layanan data caputure juga sudah dijajakan banyak vendor, misalnya oleh penyedia komputasi awan, mereka punya varian layanan kognitif salah satunya sistem berbasis OCR. Konvergen AI pun melihat kondisi tersebut, sehingga mereka juga berupaya hadirkan diferensiasi.

“Sistem yang kami kembangkan bersifat end-to-end. Sebagai contoh, beberapa vendor layanan cloud computing memiliki layanan API OCR, namun dalam praktik sehari-hari, OCR ini masih harus diproses sebelum output-nya dapat dinilai layak pakai. Sistem yang kami kembangkan telah disesuaikan untuk kondisi-kondisi yang bersifat non-ideal,” terang Lintang.

Menutup wawancara, ia menyampaikan rencananya di tahun 2020, “Kami berencana untuk menambah jumlah dokumen yang siap ekstrak serta menambah jenis bahasa yang mampu dibaca sehingga Konvergen AI dapat melayani lebih banyak industri dan pelanggan khususnya di Indonesia.”

Penetrasi Teknologi di Proses Rekrutmen Indonesia

Sekitar satu dekade yang lalu, ketika akses terhadap internet masih terbatas dan media sosial belum begitu menjamur seperti sekarang, perusahaan masih menempuh cara manual untuk bisa menjangkau talenta-talenta bersinar. Saat ini, teknologi telah berhasil merevolusi sistem perekrutan dengan mengubah cara perusahaan dalam menemukan kandidat yang sesuai dan profesional. Mulai dari lembaran surat lamaran menjadi aplikasi lamaran online, hingga proses wawancara yang bisa dilakukan jarak jauh.

Menurut data BPS per Agustus 2019, terdapat total 7,05 juta jiwa yang tidak memiliki pekerjaan di Indonesia. Hal ini berarti, sejumlah 7,05 juta jiwa sedang berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai.

Berbagai tools diciptakan untuk bisa membantu mempermudah proses perekrutan karyawan, mulai dari platform job aggregator hingga memanfaatkan media sosial untuk bisa mengakuisisi talenta. Tidak hanya untuk penyedia lapangan kerja, hal ini juga berdampak pada para talenta. Di sini, proses kreativitas bekerja tatkala mereka menggunakan berbagai platform untuk “menjajakan” kemampuan.

“Dulu saya hanya melihat resume dan dilanjutkan dengan wawancara. Ternyata [hal itu] tidak berhasil. Resume dapat mengelabui. Wawancara bersifat subyektif. Tanpa pengalaman yang cukup untuk membaca orang, dan tidak memiliki pewawancara berbakat dari sisi SDM, maka rentan untuk melewatkan detail penting,” ujar Head of Product eFishery Ivan Nashara dalam salah satu tulisan lepasnya.

Berbagai platform penunjang

Ada banyak platform yang menawarkan solusi dalam  mempermudah proses perekrutan karyawan, baik untuk korporasi besar maupun perusahaan teknologi dalam berbagai skala. Mencari talenta mulai dari profesi yang paling umun hingga kebutuhan akan talenta spesifik atau niche.

Dalam wawancara lanjutan DailySocial dengan Ivan Nashara, ia menyampaikan, “Dalam konteks menemukan talenta (outbound), LinkedIn sangat powerful. Dalam hal memasang iklan dan membangun awareness (inbound), portal seperti jobstreet, Glints, Kalibrr, juga berperan penting. Sementara, untuk manajemen rekrutmen atau funnelling, kita cukup pakai Trello.”

LinkedIn adalah salah satu platform yang menjadi primadona dalam industri rekrutmen. Sebagai jejaring sosial profesional terpopuler, ragam talenta dan perusahaan dapat ditemukan dalam platform ini. Contoh lainnya adalah Kalibrr, sebuah platform yang juga menyediakan uji kemampuan online untuk membantu seleksi talenta.

Implementasi AI

Meningkatnya penggunaan platform teknologi dalam proses rekrutment menjadi potensi tersendiri dalam ranah kecerdasan buatan. Sebuah robot bahkan pernah dikembangkan dengan objektif menyamarkan bias serta sugarcoating dalam proses interview.

Menanggapi potensi pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dalam proses rekrutmen, CEO Kata.ai Irzan Raditya menilai, proses rekrutmen yang masih manual terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal administratif, sementara peran tim HR harusnya bisa lebih fokus dalam mengembangkan potensi talenta.

Teknologi AI diklaim bisa membantu mengoptimalkan pekerjaan tim HR mulai dari proses seleksi CV, wawancara, sehingga terbentuk candidate scoring. Hal ini bisa memangkas beberapa fase yang selama ini dilakukan secara manual sehingga mempersingkat proses perekrutan karyawan.

“Jadi, peran teknologi AI di sini bukan untuk mengambil keputusan, melainkan lebih kepada augmentasi. Sementara penilaian tetap menjadi core dari tim HR,” ujar Irzan.

Salah satu perusahaan yang juga menawarkan solusi teknologi AI dalam industri rekrutmen adalah Glints. Platform ini menawarkan full-stack recruitment dengan kombinasi teknologi dan konsultasi. Menurut wawancara DailySocial dengan seorang senior konsultan Glints, perusahaan yang sudah memanfaatkan teknologi mereka sebagai solusi proses rekrutmen pun beragam, mulai dari startup hingga korporasi.

Dari sisi perusahaan, kebutuhan akan pemanfaatan teknologi dalam proses rekrutmen masih beragam. “Semua tergantung stage perusahaan, hal ini juga bisa dihitung dari ROI perusahaan. Pada dasarnya, tujuan dari pemanfaatan teknologi adalah untuk memperkecil kemungkinan kehilangan kandidat yang punya potensi dan menghindari bias.”

Datasaur Receives More Funding, to Optimize Data Labeling Platform

The data labeling platform developer startup, Datasaur, has announced new funding worth $1 million or equivalent to 14.2 billion Rupiah. This is a same round with the last one with GDP Venture. There are some angel investors involved, one is Calvin French-Owen as Segment’s Co-Founder & CTO.

The fresh money will be used for platform capability, including minimizing bias on text labeling. As we all know, data labeling become one of the most crucial processes in the development of artificial intelligence (AI) based services, particularly in the natural language process (NLP).

Datasaur developed tools to support data labeling workers to be more productive and efficient. It includes to improve data privacy and security – in fact, most data labeling is done by outsourcing.

“Basically, we are now handling all kinds of NLP, including entity recognition, parts of speech, document labeling, coreference resolution, and dependency parsing. We’re to build intelligence into the system to make labeling process more efficient and accurate and allow the company to manage the data labeling team through a simple platform,” Datasaur’s Founder & CEO, Ivan Lee told DailySocial

Ivan Lee (middle) and Datasaur team / Datasaur
Ivan Lee (middle) and Datasaur team / Datasaur

Currently, the Datasaur team is participating in the Y Combinator acceleration program for the Winter 2020 batch in San Francisco. The company’s based in California and Indonesia.

NLP become the most AI technology-based implementation in Indonesia

AI is getting more popular as services that can automate several business processes emerged. One of the most widely used products is a chatbot, the corporation is busy using the platform to provide automatic replies to every message given by a customer. Some of them are BCA (chatbot name: Vira), Telkomsel (Veronika), BNI (Love) and others.

Behind the chatbot technology, there are a variety of AI tools applied, one of the most significant is NLP. Its function is to make the computer system understand t0ahe language and context written by the user. In fact, there are still many shortcomings in the current chatbot product, including the most fundamental which is the lack of vocabulary understanding. The impact on services that still feels very rigid, is as natural as the conversation between humans.

Advantages and challenges for chatbot implementation for business
Advantages and challenges for chatbot implementation for business

One of the results of labeling the data is used to train the machine (known as the concept of machine learning) in order to have a better understanding of language, by classifying certain words into groups that have been defined. Some of the scenarios carried out, for example, are continuously learning new words conveyed by the user.

“Despite all the hype, AI is a technology that is still being developed. Many companies are looking for best practices in their labeling process. The first generation solution is to outsource all the labeling work. Many companies are building ‘Mechanical Turk’, but for AI, ” Ivan explained.

He continued, “We now see companies identify that high-quality data is one of the most valuable assets to build and improve AI models. Datasaur is present as the next generation solution, we build software to improve best practices in data labeling, to help develop AI workflows company.”

Along with its development, the market share of AI-based products will continue to increase. Research projects that the global value will reach US$ 390 billion in 2025. For data labeling itself, on the global scene, there are several other services besides Datasaur that can help such as Labelbox, Cloudfactory, and even Google Cloud products are also releasing beta versions for AI Data Labeling Services.

Data labeling implementation scheme

Example of data labeling process in Datasaur
Example of data labeling process in Datasaur / Datasaur

By understanding the input data, there are many things that can be done. From the existing case studies, Datasaur helps companies to do various things, such as understanding contract documents, transcribing customer service conversations, analyzing product reviews, and detecting false news.

“Our software has been used to detect and mark suspicious fake news articles by the Indonesian government. A case study with one of our clients shows a 70% increase in labeling efficiency after adopting the Datasaur platform, and we still have more room to improve,” Ivan said.

Currently, the data labeling platform has been used by various business verticals, from the financial technology industry, health, customer service, social media to chatbot.

Revision from the previous article: this is not a follow on funding, still in a seed round similar with the last one from GDP Venture


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Datasaur Dapatkan Pendanaan Lanjutan, Kuatkan Platform Pelabelan Data

Startup pengembang platform pelabelan data Datasaur baru saja membukukan investasi baru senilai $1 juta atau setara 14,2 miliar Rupiah. Putaran ini masih sama dengan pendanaan awal yang sebelumnya didapat dari GDP Venture. Terdapat beberapa angel investor yang terlibat, salah satunya Calvin French-Owen selaku Co-Founder & CTO Segment.

Pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat kapabilitas platform, termasuk meminimalisir terjadinya bias dalam pelabelan teks. Seperti diketahui, proses pelabelan data jadi salah satu aspek krusial dalam pengembangan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam pemodelan natural language processing (NLP).

Datasaur mengembangkan alat untuk membantu pemberi label data bekerja secara lebih produktif dan efisien. Termasuk meningkatkan privasi dan keamanan data – terlebih sering kali pekerjaan pelabelan data dilakukan secara outsource.

“Pada dasarnya saat ini kami menangani semua bentuk NLP, termasuk entity recognition, parts of speech, document labeling, coreference resolution dan dependency parsing. Kami telah membangun kecerdasan ke dalam sistem untuk membantu membuat pelabelan lebih efisien dan akurat, memungkinkan perusahaan mengatur seluruh tim pelabelan mereka pada platform manajemen yang mudah,” terang Founder & CEO Datasaur Ivan Lee kepada DailySocial.

Ivan Lee dan tim Datasaur
Ivan Lee (tengah) dan tim Datasaur / Datasaur

Saat ini tim Datasaur juga tengah mengikuti program akselerasi Y Combinator untuk batch Winter 2020 di San Francisco. Basis perusahaan sendiri ada di California dan Indonesia.

NLP jadi implementasi AI paling populer di Indonesia

AI menjadi makin populer seiring munculnya layanan yang mampu mengotomatiskan beberapa proses bisnis. Salah satu produk yang paling banyak digunakan adalah chatbot, korporasi ramai-ramai gunakan platform tersebut untuk sajikan balasan otomatis pada setiap pesan yang diberikan oleh pelanggan. Beberapa di antaranya BCA (nama chatbot: Vira), Telkomsel (Veronika), BNI (Cinta) dan lain sebagainya.

Di balik teknologi chatbot, ada ragam alat AI yang diaplikasikan, salah satu yang paling signifikan adalah NLP. Fungsinya untuk membuat sistem komputer memahami bahasa dan konteks yang dituliskan oleh pengguna. Nyatanya produk chatbot yang ada saat ini masih miliki banyak kekurangan, termasuk yang paling fundamental yakni pemahaman kosa kata yang masih kurang. Dampaknya pada layanan yang masih terasa sangat kaku, belum natural layaknya perbincangan antar-manusia.

Keuntungan dan tantangan implementasi chatbot untuk bisnis / DailySocial
Keuntungan dan tantangan implementasi chatbot untuk bisnis / DailySocial

Hasil pelabelan data salah satunya digunakan untuk melatih mesin (dikenal dengan konsep machine learning) agar memiliki pemahaman bahasa yang lebih baik, dengan cara mengklasifikasikan kata-kata tertentu ke dalam kelompok yang telah didefinisikan. Beberapa skenario yang dilakukan misalnya, secara berkelanjutan mempelajari kata-kata baru yang disampaikan oleh pengguna.

“Terlepas dari semua hype, AI jadi teknologi yang masih terus dikembangkan. Banyak perusahaan yang tengah mencari praktik terbaik dalam proses pelabelan mereka. Solusi generasi pertama yang dilakukan adalah melakukan outsourcing seluruh pekerjaan pelabelan. Banyak perusahaan yang membangun ‘Mechanical Turk’, tapi untuk AI,” jelas Ivan.

Ia melanjutkan, “Sekarang kami melihat perusahaan mengidentifikasi bahwa data berkualitas adalah salah satu aset paling berharga untuk membangun dan meningkatkan model AI. Datasaur hadir sebagai solusi generasi berikutnya, kami membangun perangkat lunak untuk meningkatkan praktik terbaik dalam pelabelan data, untuk membantu mengembangkan alur kerja AI perusahaan.”

Seiring dengan perkembangannya, pangsa pasar produk berbasis AI akan terus meningkat. Riset memproyeksikan nilainya secara global akan capai US$390 miliar pada 2025 mendatang. Untuk pelabelan data sendiri, selain Datasaur, di kancah global ada beberapa layanan lain yang dapat membantu seperti Labelbox, Cloudfactory, bahkan produk Google Cloud juga tengah merilis versi beta untuk AI Data Lebeling Services.

Skenario implementasi pelabelan data

Contoh proses pelabelan data yang dilakukan di aplikasi Datasaur / Datasaur
Contoh proses pelabelan data yang dilakukan di aplikasi Datasaur / Datasaur

Dengan memahami data masukan, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Dari studi kasus yang ada, Datasaur banyak membantu perusahaan untuk melakukan berbagai hal, seperti memahami dokumen kontrak, membuat transkrip percakapan layanan pelanggan, membuat analisis ulasan produk, hingga mendeteksi berita palsu.

“Perangkat lunak kami telah digunakan untuk mendeteksi dan menandai artikel berita palsu yang mencurigakan oleh pemerintah Indonesia. Sebuah studi kasus dengan salah satu klien kami menunjukkan 70% peningkatan efisiensi pelabelan setelah mengadopsi platform Datasaur, dan kami masih memiliki lebih banyak ruang untuk diperbaiki,” ujar Ivan.

Saat ini platform pelabelan data tersebut sudah digunakan oleh beragam vertikal bisnis, mulai dari industri teknologi finansial, kesehatan, layanan pelanggan, media sosial hingga chatbot.

Facebook Kini Dapat Menyulap Foto Biasa Menjadi Foto 3D

Facebook meluncurkan fitur 3D Photos di tahun 2018. Memanfaatkan data kedalaman (depth) yang direkam oleh smartphone berkamera ganda, aplikasi Facebook dapat menciptakan foto dengan efek tiga dimensi, memberikan kesan seolah-olah kita sedang mengintip sesuatu dari balik jendela.

Sekarang, berkat kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), Facebook mampu mewujudkan fitur 3D Photos tanpa mengandalkan data depth dari ponsel. Sederet teknik machine learning yang kompleks memungkinkan Facebook untuk mengestimasikan data depth dari suatu gambar 2D, lalu menyulapnya menjadi gambar 3D.

Ini berarti sekarang ponsel berkamera tunggal pun dapat dipakai untuk mengambil foto 3D, demikian pula selfie 3D. Kalau perlu, foto lawas yang Anda ambil beberapa tahun lalu pun juga dapat direkonstruksi menjadi foto 3D oleh aplikasi Facebook. Syaratnya cuma satu: perangkat yang digunakan minimal adalah iPhone 7 atau smartphone Android kelas menengah.

Lewat sebuah blog post, tim engineer Facebook menjelaskan tekniknya secara mendetail, namun yang pasti beberapa contoh yang diberikan terbilang mengesankan. Foto yang tadinya biasa saja jadi bisa bereaksi terhadap gesture seperti pan atau tilt. Bukan cuma foto, bahkan lukisan Monalisa pun juga berhasil mereka bubuhi efek 3D.

Facebook bilang mereka akan terus menyempurnakan algoritma depth estimation-nya. Namun yang lebih menarik adalah, mereka juga berniat menerapkan teknik yang sama pada konten video.

Sumber: Facebook via PetaPixel.

Snafu Records Gunakan AI untuk Temukan Musisi-Musisi Berbakat

Suka atau tidak, popularitas platform streaming seperti Spotify telah mengubah kondisi industri musik. Statistik dan data kini jadi semakin berarti, dan software macam Chartmetric eksis untuk membantu label rekaman menemukan artis-artis berbakat.

Masalahnya, kalau menurut Ankit Desai yang pernah bekerja di Universal Music Group, mayoritas label masih menganut cara lama. Cara lama yang dimaksud adalah mencari artis berdasarkan rekomendasi manusia, bukan rekomendasi mesin seperti yang ditawarkan Chartmetric.

Alhasil, seandainya ada musisi berbakat dari Indonesia, kecil kemungkinan dunia bisa mengenalnya karena ia tidak terikat dengan label manapun, demikian Ankit mencontohkan. Dari situ dia memutuskan untuk mendirikan labelnya sendiri, Snafu Records. Apa yang membuat Snafu Records berbeda? Mereka memadukan kecanggihan mesin dan sumber daya manusia sekaligus.

Senjata utama Snafu pada dasarnya merupakan algoritma berbasis AI. Setiap minggunya, algoritma tersebut menganalisis sekitar 150.000 lagu dari artis-artis tak berlabel di platform seperti SoundCloud, YouTube dan Instagram. Lagu-lagu tersebut kemudian dievaluasi berdasarkan engagement dan sentimen para pendengarnya, serta kemiripannya dengan lagu-lagu yang populer di Spotify.

Hasil analisisnya kemudian dikerucutkan lagi menjadi 15 – 20 lagu setiap minggunya. Di titik itu, giliran tim manusia yang turun tangan langsung. Artis-artis yang terpilih pada akhirnya akan dihubungi dan ditawari kontrak yang durasinya lebih singkat ketimbang kontrak label rekaman pada umumnya.

Snafu memang baru saja diresmikan, namun mereka sejauh ini sudah mengamankan total pendanaan sebesar $2,9 juta dari sejumlah investor. Snafu juga sudah menggaet 16 musisi; salah satunya Mishcatt, musisi jazz yang salah satu lagunya yang berjudul “Fades Away” telah di-stream sebanyak 5 juta kali hanya dalam kurun waktu lima minggu sejak dirilis.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Fixelgraphy via Unsplash.

Bagaimana Microsoft Membantu Penderita Gangguan Penglihatan Lewat Project Tokyo

Berdasarkan data WHO di bulan Oktober 2019, ada sekitar 2,2 miliar orang di dunia yang mengidap gangguan penglihatan, termasuk kebutaan. Bagi separuh dari angka tersebut (kurang lebih satu miliar jiwa), masalah penglihatan sebetulnya masih bisa diobati, sayangnya mereka belum mendapatkan penanganan yang tepat. Kabar baiknya, sejumlah raksasa teknologi menaruh perhatian besar pada kondisi ini, salah satunya ialah Microsoft.

Empat tahun silam, Microsoft memulai sebuah inisiatif bertajuk Project Tokyo. Dilakukan bersama tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan Jepang, perusahaan asal Redmond itu bermaksud untuk mengkaji serta menemukan jalan keluar terbaik demi membantu kaum difabel berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Dan di bulan Januari ini, Microsoft akhirnya menyingkap buah dari proyek ambisius tersebut. Solusinya hadir lewat kombinasi hardware dan AI.

Project Tokyo 2

Basis dari Project Tokyo adalah headset mixed reality HoloLens. Microsoft dan para peneliti memodifikasi perangkat tersebut, melepas bagian lensa, menyambungkannya ke PC dengan unit proses grafis, kemudian pakar machine learning menanamkan algoritma istimewa di sana. Selanjutnya, tim Project Tokyo mengundang orang-orang yang menyandang masalah penglihatan dan kaum tunanetra buat mencobanya serta memberikan masukan.

Microsoft HoloLens versi Project Tokyo memiliki LED strip di bagian atas rangkaian kamera, berfungsi untuk melacak individu yang berada paling dekat dengan pengguna. LED akan menyala hijau ketika berhasil mengidentifikasi orang tersebut, sebagai tanda bahwa ia telah dikenali. Project Tokyo juga ditunjang sistem computer vision yang mampu membaca gerak-gerik orang-orang di sekitar, sehingga pengguna (secara kasar) bisa tahu di mana mereka berada dan seberapa jauh posisinya.

Project Tokyo 1

Seluruh informasi tersebut disampaikan ke user lewat suara. Misalnya, ketika HoloLens Project Tokyo mendeteksi seseorang di sebelah kiri dengan jarak satu meter, headset akan mengeluarkan bunyi klik yang seolah-olah muncul dari area kiri. Jika ia mengenal wajah orang itu, headset segera menghasilkan efek suara seperti benturan. Lalu seandainya individu itu terdaftar di sistem (seperti anggota keluarga atau sahabat), HoloLens akan menyebut namanya.

Tim juga tengah bereksperimen dengan sejumlah fitur notifikasi lain via bunyi-bunyian, contohnya saat seseorang melihat/menatap pengguna HoloLens Project Tokyo. Alasan mengapa fungsi ini cukup krusial ialah, mayoritas orang (yang tidak punya masalah penglihatan) biasanya akan melakukan kontak mata terlebih dahulu sebelum memulai percakapan. Selain itu, Project Tokyo memperkenankan pihak non-user memilih agar identitasnya tidak masuk ke dalam sistem.

Project Tokyo 3

Selain diracang untuk memudahkan interaksi bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan, Microsoft dan tim ilmuwan juga berharap Project Tokyo dapat membantu anak-anak dengan problem serupa mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasinya. Sebanyak dua pertiga anak yang tak bisa melihat normal atau menderita kebutaan umumnya terlihat malu dan menahan diri saat berdialog.

Via VentureBeat.

Ketika Teknologi Mengambil Alih Peran Manusia di Dunia Medis

Pemanfaatan teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan telah berhasil menyederhanakan pekerjaan manusia di berbagai bidang industri, salah satunya dalam dunia medis. Cara kerja mesin AI tidak jauh berbeda dengan manusia, karena pada dasarnya AI adalah sebuah simulasi otak manusia dalam bentuk digital yang sudah diprogram untuk belajar dan (akhirnya) berfikir layaknya manusia.

Ada beberapa fungsi teknologi AI yang populer di negara maju yang kini sudah bisa dinikmati juga di negara berkembang, yaitu untuk diagnosa patologi, operasi robotik, perawat virtual serta berbagai inovasi lainnya dalam dunia medis. Pemantauan kesehatan juga dapat dilakukan dengan teknologi AI yang terdapat pada smartwatch.

Belum lama ini Google AI dinyatakan sudah jauh lebih akurat dibandingkan dokter dalam mendeteksi kanker payudara. Sebuah studi tim internasional, termasuk peneliti dari Google Health dan Imperial College London, telah merancang dan melatih model komputer dengan hasil rontgen dari sekitar 29.000 wanita. Algoritma ini dinilai dapat mengungguli enam ahli radiologi dalam membaca mammogram.

Mekanisme AI pada tubuh manusia

Pada dasarnya, tubuh manusia itu adalah carbon-based computer, ia mengikuti input dan output yang standar dan tertentu. Prosesnya dimulai ketika dokter melakukan analisa sebagai input, lalu melakukan tindakan yang relevan, seperti memberi obat-obatan, dengan harapan output yang dihasilkan sesuai.

Namun, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan input dari dokter tidak tersampaikan dengan sempurna, seperti pada saat pasien ditanya tentang gejala yang terjadi pada tubuhnya. Banyak yang masih belum bisa menyimpulkan secara detail, bahkan sulit menjelaskan apa yang terjadi dalam tubuh mereka.

Beruntung, saat ini telah tercipta teknologi rontgen, di mana mesin bisa menggunakan radiasi untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang untuk mendiagnosa masalah kesehatan dan lain-lain. Saat sudah didapat input yang standar, saat itu lah mesin bisa mengambil alih. Dari setiap gambar yang dipindai, mesin AI akan menyimpan data, melakukan analisis, lalu menghasilkan diagnosis. Semakin banyak data yang dimasukkan, maka semakin akurat diagnosa yang dihasilkan. Hal ini sangat membantu dokter untuk bisa melakukan analisis tanpa harus mempertanyakan gejala pasien. Satu proses berhasil diminimalisasi.

Masa depan dunia medis di tangan teknologi

Saat ini, Google AI sudah bisa mendeteksi kanker payudara melalui hasil rontgen dari sekitar 29,000 wanita. Bukan tidak mungkin, di masa yang akan datang, mesin ini bisa mendeteksi berbagai penyakit lainnya, ketika diperbarui dengan teknologi yang lebih canggih serta dibekali dengan data yang lebih lengkap. Dan akhirnya pada satu titik, ilmu kedokteran radiologi ini niscaya akan dikuasai mesin.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang radiolog mengenai topik ini, ia memiliki pandangan bahwa komputer akan sulit melakukan analisa rontgen dengan banyak sekali kemungkinan. Harusnya tidak. Mesin dan teknologi AI dengan sistem pembelajarannya bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan manusia – mereka cerdas memahami data dalam jumlah besar dan kompleks.

Jika ditarik lebih jauh, dengan dinamika pertumbuhan yang cepat, dibutuhkan sensor-sensor baru di bidang medis untuk membuat semua pengobatan menjadi otomatis. Bukan tidak mungkin, akan tercipta teknologi sensor tubuh selain rontgen. Sebuah mekanisme yang bisa membuat input menjadi tiga dimensi, dimana proses pemindaian seluruh tubuh dapat dilakukan secara akurat, mulai dari tulang, otot, serta organ tubuh lainnya.

Dari sini, AI akan butuh pembelajaran ke dimensi yang lebih tinggi dan jauh lebih kompleks untuk bisa mengenali semua penyakit dan anomali yang terpapar dari model 3D tersebut. Hal ini sangat mungkin terjadi dengan perkembangan teknologi yang exponensial. Pada saat itu, fungsi dokter umum akan semakin tergerus oleh automasi.

Hari ini, kita sudah bisa menerima argumen bahwa mesin bisa menyetir lebih baik daripada manusia. Suatu hari, saya yakin manusia juga percaya bahwa mesin akan lebih pintar mengobati kita daripada dokter. Saya percaya hal-hal tersebut akan terjadi, semua hanya menunggu waktu.


Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital, CTO KREN dan Co-Founder MCAS Group.

LG Singkap Lini Soundbar Baru yang Dibekali Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan merupakan salah satu istilah terpopuler di industri teknologi saat ini, meski banyak orang mungkin tak benar-benar memahami maksudnya. Di bayangan khalayak awam, AI memungkinkan perangkat/layanan berpikir layaknya manusia. Tapi secara teknis, ia hanyalah hasil dari pemrograman yang kompleks. AI kini jadi daya tarik utama di berbagai produk, termasuk sistem audio baru LG.

Di penghujung bulan Desember 2019 kemarin, LG sempat menyingkap lini soundbar anyar yang mengusung ‘AI Room Calibration’. Waktu itu, produsen belum menjelaskan secara rinci fitur tersebut, hanya bilang bahwa mereka berupaya menerapkan kemampuan machine learning dan sejumlah sistem terkait ke beragam produk audionya. Selain kecerdasan buatan, soundbar lagi-lagi turut menjagokan teknologi Dolby Atmos serta DTS:X.

Soundbar LG SN11RG.

Barulah di ajang CES 2020 LG mengungkap lebih detail apa itu AI Room Calibration. Sederhananya, AI Room Calibration ialah sistem yang mampu menyesuaikan karakteristik suara soundbar LG secara otomatis agar pas dengan tipe lingkungan ia berada. Berbekal kecerdasan buatan, soundbar bisa mengenal dan menganalisis nada, kemudian menilai dimensi ruangan dan melakukan penyesuaian secara akurat.

Melengkapi AI Room Calibration, LG tak lupa mencantumkan beragam kemampuan esensial, misalnya: Konektivitas dengan dukungan Dolby TrueHD dan audio beresolusi tinggi, Google Assistant yang memungkinkan kita melakukan perintah suara, dan kompatibilitas ke sistem rumah pintar serta produk-produk berkapabilitas LG ThinQ. LG juga menyediakan rangkaian speaker surround wireless opsional jika Anda menginginkan output suara lebih menyeluruh.

Soundbar LG 2

Dalam menggarap soundbar-soundbar premium ini, LG kembali berkolaborasi bersama Meridian Audio demi menghadirkan teknologi seperti Bass and Space – gunanya adalah mendongkrak suara-suara berfrekuensi rendah sembari memperlebar jangkauan audio (soundstage). Kemudian ada pula Image Elevation, yang diklaim dapat membuat output terdengar lebih nyata dengan cara ‘mengangkat’ suara vokal dan instrumen-instrumen utama.

LG soundbar juga menyimpan sistem onboard yang berfungsi untuk meningkatkan mutu audio terkompresi berkualitas rendah (via metode upscale) seperti MP3 atau dari layanan streaming dengan bit-rate rendah hingga ‘mendekati level studio’.

Soundbar LG 3

Perlu diketahui bahwa tak semua fitur di atas hadir di seluruh lini produk LG soundbar 2020. Meski demikian, dukungan Dolby Atmos and DTS:X bisa ditemukan di hampir seluruh model. Sejauh ini LG belum mengumumkan anggota keluarga soundbar 2020 secara lengkap, baru memperkenalkan SN11RG sebagai varian flagship serta SN9YG. Selain itu, belum ada pula konfirmasi soal waktu ketersediaan dan harga.

Via Digital Trends.

Samsung Akan Perkenalkan ‘Manusia Buatan’ Bernama Neon di CES 2020

Siap digelar pada tanggal 7 sampai 10 Januari besok, CES 2020 rencananya akan mengangkat sejumlah topik besar: 5G, perangkat-perangkat pendukungnya, kendaraan terkoneksi atau tanpa pengemudi, munculnya lebih banyak headset VR dan AR, dan persaingan layanan streaming yang semakin memanas. Seperti biasa, event ini kembali akan dimeriahkan oleh nama-nama raksasa di ranah teknologi.

Kurang dari dua minggu sebelum CES 2020 berlangsung, Samsung menyingkap agenda untuk memperkenalkan produk berbasis kecerdasan buatan baru bernama Neon. Pengumuman dilakukan lewat akun Twitter resmi Neon, dan hingga saat artikel ini ditulis, detail mengenainya masih sangat minim. Di Twitter, Samsung hanya menuliskan bahwa Neon adalah ‘manusia buatan’. Satu hal yang jelas, Neon akan sangat berbeda dari Bixby – asisten virtual yang Samsung luncurkan di tahun 2017.

Di tweet sebelumnya, Samsung beberapa kali mem-posting poster dengan kalimat tanya serupa dan diterjemahkan ke sejumlah bahasa: Pernahkah Anda bertemu dengan ‘artificial‘? Perusahaan mendeskripsikan Neon sebagai ‘makhluk kecerdasan buatan’ yang dapat menjadi ‘teman baik’ Anda. PC Mag mengungkapkan, kalimat di poster-poster tersebut menyerupai tagline dari serial televisi AMC berjudul Humans – yang mengangkat tema soal android.

Tapi apakah itu berarti Samsung akan memamerkan robot berwujud manusia di CES 2020? Sempat ada spekulasi yang menyebutkan bahwa Neon merupakan versi lebih canggih dari Bixby, namun Samsung segera menampiknya dan bilang Neon serta Bixby tak punya hubungan sama sekali. Ia diklaim berbeda dari apa yang pernah kita temui sebelumnya.

Neon dikembangkan oleh divisi Samsung Technology and Advanced Research Labs (disingkat STAR Labs). Unit ini dipimpin oleh Pranav Mistry selaku presiden sekaligus CEO yang sempat pula berpartisipasi dalam penggarapan teknologi augmented reality Sixth Sense dan smartwatch Galaxy Watch. Berdasarkan keterangan Mistry, pengerjaan Neon telah berlangsung selama beberapa tahun dan ia bahkan tidak menutupi rasa gembiranya terkait penyingkapan Neon minggu depan.

Sedikit membahas soal Bixby, berbeda dari Siri dan Google Assistant, asisten pribadi ini terdiri dari tiga pilar utama: Bixby Home, Bixby Vision serta Bixby Voice. Voice ialah metode menagktifkan Bixby lewat suara, Vision adalah fitur kamera augmented reality yang mampu mengidentifikasi objek secara real-time, sedangkan lewat Home, Bixby dipersilakan berinteraksi dengan aplikasi dan sejumlah informasi.

Pertanyaan terbesarnya kini adalah, apa yang membedakan Neon dengan Bixby? Selanjutnya, apakah ia bisa diakses di perangkat Samsung dalam waktu dekat atau Neon baru akan diperkenalkan di CES 2020 sebagai konsep saja? Lalu apakah Neon pada akhirnya akan menggantikan Bixby? Semuanya akan dijelaskan di tanggal 7 Januari nanti.

Sumber: Digital Trends.