Microsoft Perkenalkan Platform Mixed Reality Berbasis Cloud, Microsoft Mesh

Bukan rahasia apabila Microsoft begitu antusias terhadap teknologi mixed reality. Anggapan tersebut mereka buktikan lagi baru-baru ini. Di event Microsoft Ignite semalam, mereka memperkenalkan sebuah platform mixed reality baru yang sangat menarik bernama Microsoft Mesh.

Dari kacamata sederhana, Mesh merupakan sebuah platform kolaboratif yang memungkinkan lebih dari satu orang untuk menikmati pengalaman virtual yang sama, entah ketika orang-orangnya berada di dalam satu ruangan, atau tinggal di berbeda negara sekalipun. Menurut Microsoft, ini sebenarnya sudah menjadi gagasan awal mereka semenjak menyeriusi ranah mixed reality.

Untuk mencontohkan kapabilitas Mesh, Microsoft memakai istilah holoportation, yang memungkinkan orang untuk tampil sebagai hologram di sebuah virtual space. Jadi ketika Anda memakai headset HoloLens 2, Anda akan melihat saya muncul di sebelah Anda sebagai hologram, demikian pula sebaliknya, meski pada kenyataannya kita tinggal di beda negara, misalnya.

Untuk sekarang, holoportation masih belum sepenuhnya tersedia buat konsumsi publik. Sebagai gantinya, versi awal Microsoft Mesh akan menggunakan virtual avatar dari platform AltspaceVR yang Microsoft akuisisi di tahun 2017.

Namun premis utama Mesh tidak berubah. Meski Anda cuma melihat saya hadir sebagai avatar, kita berdua masih bisa berinteraksi dengan objek-objek virtual (hologram) yang sama, seakan-akan kita benar-benar bersebelahan. Anggap saja ini sebagai versi yang jauh lebih advanced dari fitur share screen di banyak aplikasi video conference.

Mesh dibangun di atas arsitektur cloud Microsoft Azure. Artinya, konten hologram yang kita lihat sebenarnya bukan berasal dari perangkat yang kita gunakan, melainkan di-stream dari cloud. Karena berbasis cloud, Mesh pun dirancang agar dapat diakses dari banyak perangkat sekaligus, mulai dari VR headset sampai smartphone. meski memang yang bakal terasa paling immersive adalah ketika menggunakan mixed reality headset seperti HoloLens 2 tadi.

Kalau Anda mengira Mesh hanya cocok untuk konteks bekerja, Anda salah besar. Di acara pengumumannya, Microsoft juga sempat mengundang orang-orang dari Niantic Labs untuk mendemonstrasikan pengalaman bermain Pokemon GO menggunakan HoloLens 2 dan platform Mesh. Demonstrasinya memang tidak lebih dari sebatas proof-of-concept, tapi tetap bisa menunjukkan potensi pengaplikasian Mesh yang begitu luas.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Microsoft Tak Lagi Anggap Sony dan Nintendo Sebagai Kompetitor Utama?

Ranah console gaming selalu diasosiasikan dengan tiga brand besar yang sejak dulu berkompetisi ketat: Microsoft Xbox, Sony PlayStation, dan Nintendo. Namun industri gaming terus berubah. Kehadiran sejumlah teknologi baru mentransformasi metode penyajian konten, dan kita tahu bukan hanya nama-nama itu yang menunjukkan ketertarikannya terhadap gaming. Raksasa seperti Google dan Apple juga sudah lama berupaya mempenetrasinya.

Peluncuran PlayStation 5 dan Xbox next-gen yang rencananya dilangsungkan di akhir tahun ini diestimasi akan kembali memperpanas ‘perang console‘ – yang telah berlansung selama beberapa dekade. Namun menariknya, Microsoft mengaku bahwa mereka tak lagi melihat Sony Interactive Entertainment serta Nintendo sebagai kompetitor. Bagi perusahaan asal Redmond itu, Amazon dan Google lebih memberi ‘ancaman’ ketimbang rival-rival lamanya.

Via Protocol.com, bos Xbox Phil Spencer menjelaskan alasan mengapa Sony dan Nintendo bukan lagi rival mereka ialah karena kedua brand tersebut tidak memiliki infrastruktur cloud top-end yang dapat menyaingi platform Microsoft Azure. Dalam menyajikan console baru nanti, Sony diestimasi masih mengandalkan konten eksklusif – begitu pula Nintendo. Sedangkan Xbox generasi keempat akan terintegrasi dengan teknologi xCloud.

Project xCloud ialah layanan cloud gaming yang tengah Microsoft godok, telah memasuki tahap uji coba ‘rumahan’ sejak bulan Mei 2019 lalu. Layanan ini ditunjang oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di 140 negara, dirancang agar dapat diakses secara optimal dari smartphone. Game-game-nya bisa dikendalikan langsung via layar sentuh maupun controller Xbox lewat Bluetooth. Dan dibandingkan Stadia, xCloud juga memiliki koleksi permainan lebih banyak.

“Ketika membahas Sony dan Nintendo, kami sangat menghormati brand-brand ini, namun buat sekarang kami melihat Amazon dan Google sebagai kompetitor utama,” tutur Spencer. “Tanpa mengurangi hormat kepada Nintendo serta Sony, perusahaan-perusahaan gaming tradisional berada di posisi yang kurang menguntungkan. Mereka bisa saja mencoba membangun infrastruktur seperti Azure, tetapi selama beberapa tahun ini kami telah berinvestasi miliaran dolar di cloud.”

Selain itu, Microsoft menyadari bahwa ketika perusahaan seperti Nintendo dan Sony memfokuskan produk mereka untuk gamer dan fans, Amazon serta Google berupaya menggaet tujuh miliar di dunia buat jadi gamer. Menurut Microsoft, inilah tujuan sesungguhnya dari layanan gaming.

Mungkin Anda juga tahu, Microsoft tak lagi berupaya menyuguhkan game atau konten eksklusif. Kini hampir seluruh permainan Xbox One juga tersedia di Windows 10, dan Microsoft merupakan salah satu produsen console pertama yang mengusahakan agar agar gamer di sistem berbeda bisa bermain bersama melalui cross-platform play. Sedangkan Sony awalnya malah enggan mengadopsi fitur ini.

Bos Xbox: Cloud Gaming Tak Bisa Dihindari, Tapi Belum Dapat Menggantikan Console

Secara teori, metode streaming yang diusung cloud gaming memungkinkan orang menikmati permainan kapan pun menggunakan perangkat apapun yang bisa mengakses internet. Inilah penawaran utama layanan-layanan seperti Google Stadia dan Shadow, hingga platform-platform lokal semisal Skyegrid dan gameQoo. Terkait hal ini, seorang petinggi Microsoft mengungkap pandangan menarik.

Sudah cukup lama Microsoft mengumbar agenda penggarapan xCloud. Waktu itu, eksistensinya membuat orang bertanya-tanya apakah xCloud akan jadi bagian dari ekosistem Xbox atau disajikan terpisah. Lewat Xbox Wire di bulan Mei kemarin, Microsoft menyingkap secara lebih rinci bagaimana mereka akan menyajikan xCloud – termasuk kesiapannya menyajikan seluruh game Xbox di tiap generasi.

Berbicara pada GameSpot, bos Xbox Phil Spencer mengakui bagaimana industri gaming bergerak ke solusi cloud dan hal tersebut tidak terelakkan. Namun transisi ke arah itu pada dasarnya dipengaruhi oleh gamer, dan Spencer menekankan bahwa hardware khusus gaming kemungkinan tetap masih dibutuhkan di masa depan. Buat sekarang saja, ada begitu banyak perangkat komputasi, dari mulai smartphone, Surface Hub ataupun Xbox; dan mereka diperlukan untuk menikmati cloud gaming.

Spencer juga mencoba mengklarifikasi satu hal: terlepas dari pengembangan xCloud, Microsoft tidak punya niatan untuk menyediakan console/set-top box khusus streaming. Yang mereka lakukan adalah menggarap home console baru ‘secara tradisional’. Dengan menyiapkan dua solusi berbeda itu, konsumen dipersilakan memilih, apakah mereka ingin mengakses game secara streaming via smartphone atau secara lokal/langsung di console.

Arahan gaming on demand sebetulnya merupakan kelanjutan dari strategi baru Microsoft. Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan memutuskan agar game Xbox juga bisa dimainkan dari PC ber-Windows 10. Eksklusivitas tampaknya tak lagi jadi prioritas. Spencer menjelaskan bagaimana timnya berupaya buat menghadirkan game di perangkat apapun yang Anda pilih, baik itu PC, Xbox bahkan termasuk produk kompetitor seperti PlayStation.

Sang bos Xbox juga memaparkan singkat kekurangan dan kelebihan dari solusi game stream. Karena mengandalkan koneksi internet, kita tidak mungkin mendapatkan konten 8K 120Hz, namun kualitas xCloud tetap nyaman dan memuaskan. Lalu bahkan jika layanan gaming on demand nantinya dibekali fitur-fitur semisal multiplayer coop dan voice chat, pengalamannya sudah pasti berbeda dari seperti ketika Anda duduk di atas sofa di depan TV.

Tentu saja Phil Spencer sangat percaya diri pada apa yang xCloud bisa sajikan. Layanan ini ditopang oleh data center Azure yang tersebar secara global. Kondisi ini memastikan Microsoft dapat lebih mudah menjangkau konsumen serta mempercepat proses pematangannya.

Konsumen Habiskan $ 387 Juta Demi Menikmati Cloud Gaming di Tahun 2018

Seberapa pun revolusionernya premis cloud gaming, banyak orang masih belum yakin layanan ini akan benar-benar menggantikan platform permainan video konvensional. Keraguan itu tentu punya alasan jelas. Streaming game pada dasarnya membutuhkan dukungan internet yang cepat dan stabil. Lalu hingga saat ini, jasa gaming on demand (termasuk buatan para raksasa hiburan) juga baru bisa diakses secara terbatas.

Kepercayaan terhadap cloud gaming berpeluang meningkat begitu layanan Google, Microsoft dan Amazon tersedia global nanti. Untuk sekarang, sebagian besar pemain menyediakan jasa on demand secara domestik, termasuk milik developer-developer lokal seperti gameQoo dan Skyegrid. Namun satu hal menggembirakan yang kita tak sadari ialah, platform game streaming ternyata berhasil menciptakan keuntungan cukup besar di tahun lalu.

Minggu ini, IHS Markit menyingkap hasil studi mereka terhadap industri cloud gaming di 2018. Tahun lalu, konsumen mengeluarkan jumlah uang yang tidak sedikit demi mengakses konten-konten on demand, yakni sebesar US$ 387 juta. Angka tersebut diprediksi meningkat berkali-kali lipat dalam lima tahun ke depan, berpotensi menyentuh US$ 2,5 miliar di tahun 2023.

IHS Markit Cloud Gaming 2018

IHS Markit menjelaskan bahwa pengumuman serta pengambil alihan strategis yang dilakukan oleh raksasa-raksasa teknologi seperti Microsoft, Amazon, Google serta Tencent mengindikasikan bagaimana cloud akan jadi medium persaingan berikutnya. Sebelumnya, cloud gaming sempat memberi dampak bagi sektor gaming high-end, tapi baru di masa-masa ini ia akan mendisrupsi industri secara masif.

Tim analis menilai, kondisi ini akan menguntungkan nama-nama yang memiliki akses ke infrastruktur cloud serta perusahaan yang mampu menyuguhkan layanan secara efisien. Begitu besar potensi ranah ini dan efeknya pada industri hiburan, Sony terdorong untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi cloud Azure. Sementara itu, pemilik platform game stream yang ada sekarang berupaya terus memperluas strategi, kemudian para publisher permainan juga mulai berani menantang pemegang platform tradisional.

IHS Markit mencatat ada 16 platform cloud gaming di PC yang aktif beroperasi di level global hingga akhir 2018 dan Sony PlayStation Now merupakan pemimpin pasar dengan mengusai 36 persen. Menariknya, selama ini Sony terlihat menahan diri dan baru mulai bermanuver agresif dalam waktu 12 bulan ke belakang. Koleksi konten eksklusif masih menjadi senjata andalan mereka.

Dilihat dari perspektif wilayah, gamer Jepang ternyata yang mengeluarkan uang paling banyak demi menikmati game secara on demand di tahun 2018, yaitu sebesar US$ 178 juta. Di posisi kedua adalah konsumen di Amerika, mayoritas didorong oleh ketersediaan PlayStation Now. Lalu di tempat ketiga ada Perancis yang menjadi tempat inkubasi subur startup-startup cloud gaming.

Analisis terhadap status dan dampak cloud gaming bagi industri dapat Anda simak di sini.

Sony Gandeng Microsoft Demi Menyongsong Era Cloud Gaming

Masa-masa transisi ke console next-gen akan sangat menarik karena para pemain lama di ranah ini, terutama Sony dan Microsoft, mendapatkan kompetisi yang tak terduga. Google resmi menyingkap layanan on demand Stadia di GDC 2019, dan sejak awal tahun ini, ada laporan yang menyatakan bahwa e-commerce raksasa Amazon juga tengah mengembangkan platform cloud gaming-nya sendiri.

Sistem cloud sudah lama menjadi bagian dari layanan PlayStation maupun Xbox, namun Sony dan Microsoft mengambil arahan berbeda dalam menyajikannya. Kita tahu, rivalitas antar kedua perusahaan telah berlangsung selama hampir dua dekade, tapi ada sesuatu yang berubah di era naik daunnya gagasan cloud gaming. Minggu lalu, secara mendadak Sony dan Microsoft mengumumkan kerja sama demi mengembangkan dan menyajikan layanan game streaming.

Melalui kemitraan strategis ini, Sony Interactive Entertainment mendapatkan akses ke teknologi cloud Microsoft Azure. Langkah tersebut boleh jadi diambil setelah Sony bersusah payah menggarap sistem game stream-nya selama tujuh tahun. Meski sudah tersedia, minat gamer untuk menggunakan PlayStation Now tidak begitu besar, lalu jangkauannya juga cukup terbatas – hanya tersedia di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa.

Yang mengejutkan lagi ialah, berdasarkan laporan sejumlah informan, negosiasi antar kedua perusahaan telah dilakukan sejak tahun lalu dan ditangani langsung oleh petinggi Sony di Tokyo tanpa sepengetahuan divisi PlayStation (Sony Interactive Entertainment). Akibatnya, unit gaming mereka juga kaget mendengar berita ini. Kabarnya, para manager harus turun tangan buat menenangkan stafnya dan meyakinkan mereka bahwa rencana pengembangan console next-gen tidak terpengaruh.

Sedikit penjelasan bagi Anda yang masih awam terhadap konsep cloud gaming (disebut juga layanan game streaming atau on demand): cloud gaming memungkinkan kita menikmati permainan video dari perangkat apapun (misalnya smartphone atau PC low-end) yang memiliki akses internet memadai. Seluruh proses pengolahan data dilakukan di sisi server, maka dari itu platform ini tidak menuntut spesifikasi hardware tinggi.

Satu hal yang menjadi rintangan terbesar bagi platform game streaming ialah aspek dukungan infrastruktur internet. Idealnya, permainan harus berjalan lancar di setting grafis ‘memuaskan’ (resolusi 1080p dan 60fps adalah standar paling rendah) serta mampu merespons input layaknya dimainkan dari console atau PC. Rangkuman lengkap dari status cloud gaming saat ini bisa Anda simak di sini.

Memang perlu waktu cukup lama bagi layanan game stream untuk benar-benar matang, namun melihat kondisi sekarang, ke sanalah tren gaming bergerak. Dari perspektif kesiapan dalam menyongsongnya, Sony sejujurnya terlihat tertinggal. Microsoft sendiri berada di posisi yang cukup aman mengingat mereka ialah penyedia layanan cloud terbesar kedua di dunia.

Sumber Bloomberg.

Microsoft Ingin Game Xbox Bisa Dimainkan di Semua Platform, Termasuk PlayStation?

Hingga di fase akhir siklus hidupnya, PlayStation 4 terus menikmati gelar sebagai console current-gen terlaris. Penjualan Xbox One sendiri tidak setinggi sang rival dan Microsoft sudah lama tidak mengungkap angkanya. Menariknya, bisnis tampak terjalan lancar bagi mereka sejak raksasa teknologi asal Redmond itu menerapkan strategi penyajian ‘game sebagai layanan’ yang diujungtombaki Xbox Live.

Microsoft juga mengambil arahan berbeda dalam menyongsong kehadiran console next-gen. Sebelumnya Anda mungkin telah mendengar kabar soal pengembangan Project xCloud, yaitu platform gaming on demand yang ditopang teknologi cloud Azure. xCloud menawarkan kita kesempatan untuk menikmati game-game kelas blockbuster – yang tadinya hanya bisa ditangani oleh hardwarehardware berkinerja tinggi – cuma berbekal perangkat bergerak dan koneksi internet.

Dalam acara tur di markas utama Microsoft yang diikuti oleh Geekwire beberapa hari lalu, perusahaan mengungkap lebih banyak detail mengenai siasat tersebut. Di sana, beberapa kali para eksekutifnya menyebutkan bahwa mereka ingin menghadirkan kemudahan bermain ke dua miliar gamer di seluruh dunia. Microsoft mengekstimasi, ada banyak dari mereka yang tidak mendapatkan akses mudah ke console.

Microsoft menyadari bahwa mereka tidak akan sanggup menjual dua miliar unit console. Kareem Choudhry selaku corporate vice president of gaming cloud mengungkapkan, ada beberapa wilayah di mana console bukanlah bagian dari gaya hidup. Di bawah kepemimpinan CEO Satya Nadella, Microsoft berambisi untuk menyodorkan segala layanan dan aplikasi ke sebanyak-banyak orang apapun perangkat yang mereka gunakan.

Kondisi ini memberikan tantangan tersendiri buat Microsoft. Demi menjalankan misinya, tak jarang sang perusahaan harus bekerja sama dengan kompetitor. Sudah ada desas-desus yang menyebutkan bagaimana tim punya agenda untuk memperluas jangkauan Xbox Live ke iOS, Android sampai Nintendo Switch.

Selain itu, perusahaan punya niatan buat mengekspansi keanggotaan Game Pass ke plaform non-Microsoft. Dengan jadi pelanggannya, pengguna bisa menikmati segala koleksi game yang ada di sana serta memperoleh akses prioritas ke judul-judul eksklusif Xbox. Jika semuanya berjalan mulus, jangan kanget seandainya layanan Game Pass tiba-tiba muncul di sistem PlayStation.

Buat sekarang, Microsoft masih enggan menjelaskan bagaimana mereka akan mengeksekusi ambisi cross-platform tersebut. Yang jelas, segala detailnya akan disingkap di Game Developers Conference 2019 pada tanggal 18 Maret nanti. Semuanya akan jadi semakin menarik karena ke depannya persaingan yang dihadapi Microsoft tak hanya datang dari nama-nama familier semisal Sony dan Nintendo. Kita tahu Google juga tengah menggodok layanan cloud  Project Stream.

Menjelma Jadi Perangkat Bertenaga Cloud, Microsoft Singkap Azure Kinect di MWC 2019

Kehadiran Kinect boleh dikatakan sebagai respons Microsoft terhadap tren pemanfaatan input motion sensing di ranah gaming yang sebelumnya dipopulerkan oleh Wii (via remote dan Nunchuk-nya). Kinect meluncur di era Xbox 360 dan awalnya dibundel dalam paket penjualan Xbox One. Tak semua orang setuju dengan langkah ini, namun dukungan dari sisi konten malah berkurang signifikan begitu Kinect dijual terpisah.

Tanpa konten mencukupi, Microsoft akhirnya memutuskan buat menghentikan produksi Kinect versi konsumen di bulan Oktotober 2017. Meski demikian, sang produsen menekankan bahwa mereka akan terus mengembangkan teknologi di belakang produk ini. Lalu pada bulan Mei 2018, perusahaan mengungkap rencana untuk mengadopsi Kinect ke ranah cloud computing. Dan bersamaan dengan pengumuman HoloLens baru di MWC 2019, Microsoft memamerkan reinkarnasi dari Kinect.

Dalam pameran teknologi di kota Barcelona itu, Microsoft memperkenalkan periferal Azure Kinect versi development kit untuk PC. Hilang sudah wujud balok memanjangnya, Azure Kinect mempunyai ukuran sebesar telapak tangan. Di sana produsen membekalinya bersama kamera RGB 12MP, sebuah kamera depth 1MP (beresolusi 1024x1024p yang juga dikembangkan buat HoloLens 2), serta tujuh buah microphone sehingga memungkinkannya mendengar input suara.

Di presentasinya, Julia White selaku corporate vice president Microsoft Azure menjelaskan bahwa Azure Kinect merupakan perangkat intelligent edge yang tak hanya dapat mendengar dan melihat, tetapi juga bisa memahami tingkah laku manusia, serta keadaan lingkungan danobjek-objek di sana dengan tingkat akurasi sangat tinggi. Versi anyar ini ditenagai oleh teknologi cloud dan dapat dimanfaatkan buat kebutuhan terkait penerapan kecerdasan buatan.

Dengan Azure Kinect, kebutuhan terhadap dukungan hardware berperforma tinggi jadi lebih kecil. Kemudian developer akan jadi lebih mudah mengimplementasikan algoritma artificial intelligence dalam jaringan berskala kecil. Satu unit Azure Kinect bisa bekerja secara mandiri atau dipasangkan ke unit untuk memetakan ruang secara tiga dimensi. Beberapa partner Microsoft yang sudah menggunakannya meliputi Datamesh, Ocuvera serta Ava.

Pada dasarnya, Azure Kinect sendiri merupakan hardware pelengkap untuk headset mixed reality HoloLens 2. Dibanding pendahulunya, versi kedua tersebut lebih canggih di hampir segala hal. Ia lebih nyaman saat dikenakan, punya field of view lebih luas dan lebih baik dalam mengidentifikasi objek di dunia nyata.

Microsoft sudah membuka gerbang pre-order Azure Kinect DK mulai hari ini melalui website resminya. Perangkat dibenderol seharga US$ 400, disediakan terlebih dahulu di kawasan Amerika dan Tiongkok.

Via TechCrunch.

Alasan Mengapa Microsoft Begitu Percaya Diri Dengan Project xCloud, Yaitu Netflix-nya Video Game

Fase akhir siklus hidup console game current-gen sudah dimulai, dan dalam waktu dekat, kita dipastikan akan menyaksikan penyingkapan produk-produk generasi selanjutnya. Baik Sony dan Microsoft sudah mengonfirmasi bahwa mereka tengah menggodok hardware gaming baru, namun penyajian konten-kontennya nanti boleh jadi sedikit berbeda dari sistem lawas.

Fenomena ini bisa kita lihat dari awal penyediaan PlayStation Now dan Xbox Play Anywhere. Melalui fitur-fitur ini, para produsen mulai menawarkan game sebagai layanan – bukan sekadar produk. Dan ke depannya, kemungkinan akan ada lebih banyak platform cloud gaming bertebaran, apalagi setelah para raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft diketahui begitu serius menggarapnya.

Di bulan Oktober 2018 silam, Microsft resmi mengumumkan pengembangan layanan gaming on demand bernama Project xCloud. Seperti platform cloud gaming sekelasnya, xCloud memperkenankan pelanggan bermain game tanpa dibatasi oleh spesifikasi perangkat yang mereka miliki. Dan dalam sebuah acara yang dilakukan di markas utama Microsoft hari Senin kemarin, CEO Satya Nadella mendeskrpsikan xCloud sebagai Netflix-nya video game.

Visi di belakang pembuatan xCloud sebetulnya cukup simpel, yaitu menyuguhkan gamer permainan-permainan blockbuster berkualitas tinggi. Namun proses penyajian tidak sesederhana teorinya. Berbeda dari streaming film atau musik, video game menuntut sistem input dengan responsitivitas tinggi/seketika secara konsisten. Hal ini jadi sulit ketika data dan informasi disalurkan lewat internet.

Namun Nadella tidak khawatir. Berbeda dari Google dan Amazon (sang eCommerce juga sedang menggodok layanan gaming on demand-nya sendiri), Microsoft punya pengalaman lebih lama di ranah gaming, bahkan jauh sebelum mereka memasarkan console. Dengan Xbox, Microsoft punya keunggulan strategis, termasuk di sisi teknologi maupun konten. Sang CEO sendiri sangat membanggakan katalog permainan Xbox, terutama pada franchise-franchise besar eksklusif seperti Halo dan Forza.

Kita perlu ingat bahwa Microsoft sudah menghimpun banyak sekali pelanggan Xbox Live. Kemudian, cengkeraman Microsoft di gaming bukan hanya melalui Xbox, tapi juga PC. Seperti yang terungkap oleh survei hardware Steam, mayoritas penikmat permainan di komputer personal memanfaatkan OS Windows.

Nadella sempat bilang bahwa komunitas gamer saat ini mencapai dua miliar jiwa, namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki televisi, console serta PC sendiri. Yang mereka punyai hanyalah smartphone. xCloud adalah cara Microsoft menggapai mereka semua.

Buat sekarang, status Project xCloud masih berada di tahap pengembangan. Microsoft berencana buat melangsungkan sesi tes publik di tahun ini.

Sumber: Business Insider.

Grab Secures Investment from Microsoft, Create Synergy to Develop Smart Technology

Microsoft announces an investment to Grab with an undisclosed value. It opens up partnership opportunities for both companies, particularly to maximize Azure platform to Grab’s business system. Both are said to collaborate in the technology project development involving big data and artificial intelligence.

Grab and Microsoft will explore the image recognition technology with computer vision to improve the app experience. The implementation works as users can take a picture of their current location, and the application will automatically translate into the pick-up address.

Previously, Grab was reportedly targeting up to $3 billion investment this year. The latest news, Softbank’s existing investors agreed to make an additional investment of $500 million. They also had raised a $2 billion investment led by Toyota, including from Microsoft’s Co-Founder, Paul Allen.

The use of funding will be to realize Grab’s ambition as “super app”, not only for transportation service but also to optimize the ecosystem in many areas. Some innovations being mentioned are the food delivery service, e-money optimization, microlending, and more lifestyle features.

In Microsoft’s perspective, this investment was to improve its platform penetration for the major technology business in Southeast Asia. To date, Microsoft’s biggest competitor in the cloud computing platform is Amazon Web Services (AWS). In the ride-hailing sector, AWS has made a strategic partnership with Didi Chuxing for the latest technology exploration.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Microsoft Umumkan Pengembangan Teknologi Game Streaming Project xCloud

Sejak tersedianya internet, para console maker berupaya mengintegrasikan akses ke platform mereka demi menyajikan multiplayer online. Sega melakukannya di tahun 1990 lewat Meganet untuk Mega Drive, lalu Sony memperkenalkan mode online di PlayStation 2 pada tahun 2000. Dan belakangan, internet kembali merombak cara konsumen menikmati video game.

Setelah dicetus OnLive beberapa tahun silam, layanan cloud gaming mulai bermunculan. Beberapa nama populer yang sering kita dengar antara lain adalah PlayStation Now dan GeForce Now, lalu di Indonesia, kita bisa menemukan Skyegrid serta Emago. Selanjutnya, raksasa internet Google diketahui tengah menguji Project Stream, dan kali ini, Microsoft mengabarkan penggarapan platform gaming on demand yang mereka namai Project xCloud.

Premis Project xCloud hampir sama seperti layanan game stream lain, yakni mempersilakan kita bermain tanpa dibatasi perangkat yang dimiliki, memungkinkan pengguna menikmati konten dari mana saja. Menariknya, Microsoft tidak bermaksud menciptakan xCloud untuk menggantikan perangkat gaming konvensional seperti PC atau console, melainkan menyiapkannya sebagai alternatif mengakses permainan.

Karena Microsoft sendiri merupakan penyedia platform gaming terbesar di Bumi (mereka punya Xbox dan mayoritas gamer PC bermain di Windows), sang produsen memiliki basis yang kuat dalam membangun layanan on demand. Ketika Project xCloud tersedia nanti, ia rencananya akan dibekali lebih dari 3.000 permainan Xbox One. Microsoft juga berjanji untuk memudahkan developer menyajikan kreasi mereka di sana.

Modal krusial lain yang Microsoft miliki adalah data center Azure. Data center ini tersebar di 54 lokasi di dunia dengan layanan mencakup 140 negara. Berbekal hal tersebut, perusahaan merasa percaya diri mampu mengatasi tantangan kompleks yang menghadang dalam penyediaan layanan game streaming.

Melalui Project xCloud, Microsoft berkeinginan untuk menghidangkan pengalaman gaming berkualitas secara konsisten, terlepas dari perangkat yang konsumen gunakan. Buat melakukannya, Microsoft membangun hardware khusus di data center mereka agar sistemnya kompatibel baik ke permainan Xbox yang ada sekarang serta judul-judul yang akan dirilis di masa depan.

Proses pengujian Project xCloud tengah Microsoft lakukan. Tes dilakukan lewat perangkat berbeda seperti smartphone dan tablet yang dipasangkan ke controller Xbox via Bluetooth. Sebagai alternatifnya, game tetap dapat dikendalikan lewat layar sentuh. Microsoft sadar bahwa agar permainan tersaji intuitif, beberapa input harus diposisikan secara pas, baik pada tombol tertentu atau stik. Untuk itu, produsen mengembangkan overlay input yang mampu membaca sentuhan secara responsif – jika gamer bermain tanpa controller.

Rencananya, Microsoft akan memperkenankan publik berpartisipasi dalam sesi uji coba Project xCloud di tahun depan.