Traveloka Terus Perluas Kerja Sama dengan Perbankan

Traveloka semakin intensif menjalin kerja sama dengan perbankan lokal. Pekan lalu, mereka baru saja mempererat hubungan dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kali ini kesepakatan tersebut berhasil membawa layanan OTA milik Traveloka masuk di aplikasi mobile banking BRImo.

Pengguna BRImo kini bisa memesan berbagai jenis akomodasi, mulai dari Pesawat, Hotel, sampai dengan Bus/Shuttle tanpa harus berpindah aplikasi lewat menu “Travel”. BRImo sendiri juga memiliki misi untuk menjadi financial super apps agar bisa melayani berbagai kebutuhan nasabah dalam satu aplikasi saja.

Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengungkapkan, kerja sama strategis bersama Traveloka diharapkan bisa menjadi solusi bagi nasabah yang ingin merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman.

“Dengan adanya kerja sama strategis dengan Traveloka, kami harapkan dapat memberikan value tambahan kepada nasabah dan hal ini merupakan bagian dari transformasi BRI untuk memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi melalui BRImo SuperApps yang sudah terintegrasi dengan Traveloka, sehingga nasabah tidak perlu lagi berpindah-pindah aplikasi untuk melakukan pembelian tiket,” ujar Handayani.

Sebelumnya kerja sama Traveloka dan BRI sudah terjalin sejak tahun 2019 lalu, ketika keduanya bersama-sama meluncurkan kartu kredit Paylater Card. BRI juga sempat dikabarkan tengah menjajaki investasi strategis ke Traveloka — namun ketika kami coba konfirmasi ke pihak terkait, mereka menolak untuk memberikan komentar.

Kerja sama dengan Bank Jago

Selang sepekan, Traveloka kembali mengumumkan kerja samanya dengan Bank Jago. Tujuannya untuk memperluas penyaluran kredit lewat Traveloka Paylater. Hal ini dilakukan di tengah pertumbuhan pesat layanan pembiayaan tersebut. Diklaim Traveloka Paylater telah tumbuh hingga 10x lipat sejak pertama diluncurkan tahun 2018 dan menyasar masyarakat underbanked yang terkendala masalah finansial.

“Kemitraan dengan Bank Jago telah memperluas peluang penyaluran kredit kepada masyarakat underbanked di Indonesia, khususnya pengguna Traveloka Paylater yang kerap kali mengalami kesulitan akses finansial untuk memenuhi kebutuhan perjalanan dan gaya hidup mereka […] Melalui kerja sama ini kami optimis untuk dapat memberikan kontribusi terhadap inklusi keuangan serta berharap dapat meningkatkan nilai bisnis kedua belah pihak,” ujar CFO Traveloka & Presiden PT Caturnusa Sejahtera Finance Doan Lingga.

PT Caturnusa Sejahtera Finance adalah perusahaan pembiayaan di bawah Traveloka yang memiliki lisensi untuk memberikan layanan pinjaman berbasis teknologi.

Dukung debut digital Allo Bank

Allo Bank awal tahun ini mendapatkan dukungan strategis dari berbagai pebisnis digital, termasuk Bukalapak, Carro, dan Grab. Tak mau ketinggalan, Traveloka pun turut terlibat mendukung debut produk bank digital yang akan segera diluncurkan ke publik oleh Allo. Dukungannya tidak berbentuk kapital seperti dari yang lain, namun ada kemungkinan integrasi dengan superapp lifestyle di ekosistem Traveloka.

Dalam sambutannya mengenai kerja sama dengan Allo Bank, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi berujar, “Saya antusias untuk menyambut Allo di Traveloka. Sebagai superapp lifestyle, kami adalah platform independen dengan beragam penyedia kredit di Indonesia dan kami akan bekerja sama dengan Allo untuk menyesuaikan produk-produk pinjaman ini dengan kebutuhan gaya hidup dan aspirasi para pengguna kami.”

Lini fintech berpotensi jadi bisnis besar

Lebih dari sekadar OTA, ambisi Traveloka untuk membangun aplikasi gaya hidup yang menyeluruh terus diperlihatkan. Tak terkecuali melalui inovasi fintech yang terus diperkuat untuk mendukung sistem transaksi. Selain tiga bank di atas, sebenarnya ada pihak lain yang sebelumnya turut memberikan dukungan khusus ke lini finansial Traveloka ini, sebut saja BNI yang turut mendukung produk paylater mereka.

Dalam sebuah kesempatan di akhir 2019, bahkan salah satu eksekutif Traveloka sempat sesumbar bahwa lini fintech Traveloka —termasuk di dalamnya paylater— telah mendekati menjadi bisnis bernilai $1 miliar.

Lewat PT Caturnusa Sejahtera Finance, Traveloka juga cukup leluasa berinovasi dengan layanan pembiayaan dan turunannya. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna. Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Dukungan lembaga finansial seperti bank jelas dapat memberikan kekuatan lebih bagi Traveloka untuk mengoptimalkan potensi bisnis fintech-nya. Karena kolaborasinya dengan perbankan juga bisa direalisasikan dalam berbagai bentuk, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya termasuk perluasan akses kredit dan loan channeling.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Jadi Pengendali Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia memantapkan langkahnya untuk masuk ke bank digital di tahun ini. Usai menambah kepemilikan sahamnya, induk usaha Kredivo dan Kredifazz ini resmi menjadi pengendali Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI).

Berdasarkan keterbukaan di Bursa Efek Indonesia pada 14 Februari 2022, FinAccel menambah kepemilikan saham di Bank Bisnis sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara dengan 35% saham.

Sebelumnya, FinAccel mencaplok 24% saham Bank Bisnis pada Mei 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi 40% pada Oktober 2021. Dengan demikian, FinAccel kini menguasai 75% saham Bank Bisnis.

Struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

“Pengajuan pengmbilalihan saham ini sudah disampaikan ke OJK pada 10 Februari 2022 dan telah disetujui oleh OJK,” demikian disampaikan dalam keterangan resmi Bank Bisnis.

Babak lanjutan kompetisi bank digital

Sebelumnya, strategi pengendali saham bank telah dilakukan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia terhadap PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB). Secara bertahap, Akulaku resmi menguasai kepemilikan saham BNC pada Juli 2021.

Akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia, seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Bhinneka, hingga Sociolla. Pencapaian di atas mengukuhkan posisi Kredivo sebagai penguasa pangsa pasar kartu kredit yang selama ini penetrasinya masih rendah di Indonesia.

Dalam rangkuman DailySocial.id, pertarungan bank digital telah dimulai sejak tahun lalu, setidaknya dimulai dari komersialisasi layanan dari Bank Neo Commerce (Neo+), Bank Jago (Jago App), Bank Seabank Indonesia (SeaBank), dan BCA Digital (blu). Untuk tahap awal, bank digital masuk lewat produk saving dan fitur pengaturan keuangan dengan target pasar rata-rata di segmen ritel, milenial, dan mass market.

Jelang akhir 2021, persaingan bank digital semakin kencang dengan semakin banyaknya aksi akuisisi bank mini untuk memenuhi kewajiban modal minimum bank dan transformasi anak usaha. Beberapa di antaranya adalah Bank BRI lewat anak usaha BRI Agro (sekarang Bank Raya), BNI mencaplok Bank Mayora, dan aksi right issue Allo Bank.

Dengan dinamika yang terjadi di sepanjang 2021, bisa jadi bank digital akan memulai babak baru dengan masuk ke produk pinjaman (lending). Tahun lalu, bank digital melakukan penetrasi pasar dengan produk saving sebagai upaya eksplorasi tahap awal untuk membangun basis pelanggan.

Salah satunya adalah Bank Jago yang berencana mendorong kemitraan layanan dan ekosistem produk, termasuk produk lending di tahun ini. Terakhir, Bank Jago tercatat telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.

Bank Jago Umumkan Integrasi Fitur Pembukaan Rekening Melalui Aplikasi Gojek

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) kembali mengumumkan integrasi layanan bersama Gojek. Kali ini, pengguna dapat membuka rekening Bank Jago langsung dari aplikasi Gojek dengan klaim waktu kurang dari lima menit. Pembukaan rekening tidak dikenakan biaya administrasi atau saldo minimal.

Sebelum integrasi ini, Bank Jago sudah lebih dulu menghubungkan Kantong (Pocket) sebagai salah satu opsi pembayaran aplikasi Gojek. Pengguna dapat membayar berbagai layanan, seperti makanan, transportasi, dan tagihan dengan Kantong Bank Jago yang di dalam aplikasi.

Kini pengguna juga dapat melakukan top up Gopay dari Bank Jago bebas biaya. Perusahaan mengklaim bahwa integrasi platform on-demand dengan bank digital merupakan yang pertama di Indonesia.

Dalam acara peluncuran yang digelar virtual, Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar mengatakan bahwa sinergi ini dapat membantu pengguna untuk mengelola keuangan mereka. Pasalnya, pengguna dapat memonitor keuangan pada fitur-fitur Kantong Bank Jago di aplikasi Gojek.

“Dengan jangkauan Gopay, kami ingin memberikan manfaat dan pengalaman sehingga mereka bisa bertransaksi dengan cepat, mudah, dan aman di dalam ekosistem Gojek. Kami berinisiatif meningkatkan financial maturity di kalangan masyarakat dengan fitur-fitur yang kami tawarkan sehingga mereka tidak overspending,”

Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago
Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago

Sementara, CEO Gopay Hans Patuwo mengatakan bahwa kolaborasi Bank Jago dan GoTo sejalan dengan misi untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Bank Jago memiliki kapabilitas teknologi di sektor perbankan yang dinilai sesuai dengan misi yang ingin dicapai GoTo.

“Kami bisa bergandeng tangan untuk saling memanfaatkan keahlian tech satu sama lain untuk dapat menghasilkan value proposition layanan yang unik di pasar,” ujar Hans.

Integrasi ini merupakan sinergi lanjutan antara Gojek Group (saat itu belum merger dengan Tokopedia) dan Bank Jago ketika meresmikan masuknya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) sebagai pemegang saham sebesar 22% pada Desember 2020.

Saat itu, dalam pengumumannya, kedua belah pihak menyepakati tujuan utama kolaborasi strategisnya, yakni mengakselerasi inklusi keuangan. Salah satu inisiatifnya adalah menghadirkan layanan perbankan di aplikasi Gojek sehingga jutaan pelanggannya dapat membuka rekening langsung di Bank Jago.

Gopay buka akses ke layanan perbankan dan keuangan

Lebih lanjut, integrasi layanan Bank Jago dan GoTo diharapkan dapat mendukung misi pemerintah untuk mencapai target tingkat inklusi keuangan sebesar 90% pada 2024. Terlebih, Gojek baru saja merger dengan Tokopedia, yang mana keduanya sama-sama memiliki ekosistem layanan dan proposisi yang kuat di segmen UMKM.

Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, saat ini baru terdapat 61,7% masyarakat Indonesia yang memiliki akun bank. Sementara, mengacu hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, GoTo Financial dikatakan telah membantu masyarakat unbanked dan underbanked mengakses layanan keuangan formal.

Sumber: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Sumber: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Riset menunjukkan 1 dari 5 pengguna Gopay tidak memiliki rekening bank. Temuan lain juga mengungkap responden melihat Gopay sebagai sarana pengaturan keuangan dan jembatan terhadap layanan keuangan, tidak hanya sebagai alat pembayaran semata. Bahkan, 1 dari 4 pengguna Gopay mengaku tertarik membuka rekening bank melalui Gopay.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bank Digital 101: Ecosystem and Future Prospect

In the last three years, the Indonesian banking industry has been stirred with the rise of digital banks, both in the form of new banks and conversions from existing banks. As a first step, the Government released a new regulation that is expected to accommodate the needs of digital bank players through the Financial Services Authority (OJK).

POJK Number 12/POJK.03/2021 contains various provisions related to the establishment of banks and capital. Among those are the provisions for the establishment of two types of digital banks. First, the establishment of a new bank as a digital bank and second, the transformation of existing commercial banks into digital banks

In addition, the new rules are also to provide clear boundaries regarding the digital banking business considering that this trend is still relatively new in the Indonesian banking industry.

In its efforts, digital banks continue to provide literacy, therefore, people understand the business and services they run. It is while taking advantage of digital finance rapid acceleration during the Covid-19 pandemic. Based on the FICO survey in 2020, 54% of Indonesian consumers prefer to use digital channels to interact with banks, 3% mobile banking, 7% internet banking, and 14% through telephone banking.

However, we cannot forget the large groups of Indonesian people who are more comfortable with financial transactions by visiting ATMs or branch offices.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) held a journalistic training to provide an in-depth understanding of digital banking. DailySocial had the opportunity to participate in the training held in Bali.

Several prominent observers participated, including the Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor Poltak Hotradero, and the Director of the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Digital bank perception

Many Indonesian people recognize digital banks as digital banking services. Also, considering it is still a brand-new business model, the understanding of digital banking is still considered blurry among the public.

Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mentions a definition to significantly distinguish digital and conventional banks. He said, a digital bank is defined as a bank along with its services where we no longer need to think about where the head office, branch offices, the number of ATMs, including the number of employee.

Similar to the GoPay and OVO digital wallet platforms, we have no idea where the money stored. With a decade of internet and smartphone adoption phenomenon, he considered the banking business would remain the same, but the delivery is started shifting.

In his opinion, this perception is reasonable considering that people are used to transacting at banks. Bank is identified as financial institution with branch offices and head office. Unlike the pre-digital era, banking competition is clear from the bank efforts to build an ecosystem. In the context of conventional banks, its ecosystem is branch offices and ATMs.

To date, the use of ATM started to be irrelevant. People are getting used to making financial transactions through mobile banking platforms and digital wallets. The banking industry has experienced massive adoption during the pandemic.

Based on OJK data, a total of 2,593 branch office networks were closed from 2017 to August 2021. These branch offices are closed in line with the bank’s digital transformation as seen from the increasing volume of digital transactions.

Piter said, whether conventional banks have not transformed into digital banks today, it does not mean they have failed to digitize. It’s more of a competition failure. It should be noted, the banking advantage factor has changed, things excelled in the past, could be a burden in the era of the digital ecosystem.

“This is not a sprint, but a marathon, determined by resilience. Moreover, digital banking is still a brand-new trend in Indonesia. Therefore, this is the reason for established banks to be prepared, not directly face-to-face but through proxies or subsidiary,” said Piter.

The above explanation is a reminiscent of Bank Jago’s Founder Jerry Ng hypothesis when he decided to acquire Artos Bank and change its name. Jerry considered Bank Artos have quite small legacies (branch offices, ATMs, and HR). In this case, his team can develop technology from scratch instead of taking a bank with thousands of branch offices.

Digital bank study case

Moreover, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor, Poltak Hotradero highlighted the digital ecosystem as one of the key factors in digital banks. He took several examples of successful digital banks in the world that apply a similar model, for example KakaoBank from South Korea.

KakaoBank was founded in 2016 and is owned by internet giant Kakao Corp. In its early days, KakaoBank recorded extraordinary achievements. Within five days, KakaoBank reached 1 million users.

KakaoBank also recorded financial performance above the industry average. For example, deposit growth was at 13.65% from the industry average at 11.98%. Also, KakaoBank’s NPL was at 0.26% where the industry reached 1.78%. Meanwhile, income fee reached 30.16% of the industry’s 28.02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Source: Boston Consulting Group

For Poltak, KakaoBank’s success also influenced by the large digital ecosystem owned by its parent company. Kakao has a diverse service portfolios, such as chat services, fintech, e-commerce, and games.

“The internet evolution has brought changes in people and money. Machines are integrated with each other thanks to the internet. This is the foundation for the development of digital banks where payments, liquidity, and analytics will be in the cloud. In other words, technology enables banks [digital] to be able to scale up faster,” he said.

In the future, Poltak mentioned the competition of three types of banks, conventional banks, digital banks, and embedded banks. He defines embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) as a service that has been operating digitally since day one and has entered the (native) ecosystem. He also said that embedded banks would become part of the plumbing system for corporate or individual financial services.

Source: FT Partners Research

“Digital platforms will facilitate synergies with other digital financial services, such as investment and insurance services. However, it is important to note that the biggest cost and risk of the digital transition is failure to maintain market share and segments. These factors can turn banks irrelevant,” he added.

Therefore, he highlighted that digitalization is a competitive necessity. We should not let the financial sector only delegate its role through banks, given the huge business potential and services. He believes market expansion is important for developing digital banks considering a large number of unexplored market segments in Indonesia and can only be served through digital.

Digital bank projection

According to his study, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira divides digital banks into three models, direct banks, neobanks, and challenger banks.

He explained that direct banks enlarge opportunities for banking services, such as savings and digital loan channeling. Furthermore, neobank operates as a fully digital bank, without branch offices, but with a mobile application. Meanwhile, challenger banks are said to be revolutionizing the way transactions, new loan models, and personal finance.

Bhima said the global potential accumulation of challenger bank and neobank markets could reach $578 billion in 2027, according to a Medici Research report.

We try to take other sources to provide a thorough definition, especially on neobanks and challenger banks. Citing from FinTech Magazine, neobank offers flexibility to various services, including payroll and expense management. In addition, neobank also offers corporate financial solutions to address the challenges of MSMEs.

The API presence helps to integrate business flows with banking requirements. However, neobanks do not have a banking license as they operate by relying on partner banks. Therefore, they cannot offer traditional banking services.

Meanwhile, challenger banks use technology to streamline the banking process. However, challenger banks also maintain a physical presence to operate fintech services. The challenger banks scope is generally much smaller than the mainstream banking sector. It is estimated that there are currently 100 challenger banks globally.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Unlike neobank, challenger bank has a bank license and can offer customers a wide range of traditional and digital banking services. These traditional banking services can be accessed and utilized more accommodatively than commercial banks.

Furthermore, Bhima considered that digital banks offer a number of advantages, both for individuals and business players. At the individual level, digital banks increase customer literacy in other financial products, such as investments. According to World Bank data in 2020, the share of stock market capitalization to GDP is still relatively small. The emergence of digital banks is projected to encourage investment interest.

In addition, digital banks can encourage financial control efforts in the MSME sector with financial transparency and efficiency. Moreover, business players can get access to financing channeled by digital banks through channeling schemes.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
Neobank evolution . Source: PwC

“To date, banks do not compete with technology, but with high interest rates. Moreover, digital bank suddenly appeared, offering easy services and access to capital. Currently, Indonesia has 65 million MSMEs and some of them are yet to receive loans. Digital banks can add to that financing capacity. If Indonesia wants to restore the economy to the level of 5%, its credit growth must triple,” he explained.

Based on data-driven credit scoring, digital banks can continue to grow by extending credit to unbankable segments. In the future, this loan disbursement can use the customer transaction rating indicator on e-commerce, food delivery, or ride-hailing platforms.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Belajar Bank Digital, Ekosistem, dan Prospek di Masa Depan

Dalam tiga tahun terakhir, industri perbankan Indonesia diramaikan dengan geliat pendirian bank digital, baik berbentuk bank baru maupun konversi dari bank yang sudah ada (existing). Sebagai langkah awal, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku-pelaku bank digital.

POJK Nomor 12/POJK.03/2021 memuat berbagai ketentuan terkait pendirian bank dan modal. Di antaranya adalah ketentuan pendirian dua jenis bank digital. Pertama, pendirian bank baru sebagai bank digital dan kedua, transformasi bank existing umum menjadi bank digital

Di samping itu, aturan baru juga untuk memberikan batasan yang jelas terkait bisnis bank digital mengingat tren ini masih terbilang baru di industri perbankan Indonesia.

Dalam upayanya, bank digital terus melakukan literasi agar masyarakat memahami bisnis dan layanan yang mereka jalankan. Ini sembari memanfatkan momentum akselerasi keuangan digital yang pesat saat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei FICO di 2020, 54% konsumen Indonesia lebih suka memakai kanal digital untuk berinteraksi dengan bank, 3% mobile banking, 7% internet banking, dan 14% lewat telepon banking.

Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa masih besar kelompok masyarakat di Indonesia yang lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan mendatangi ATM maupun ke kantor cabang bank.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) menggelar pelatihan jurnalistik demi memberikan pemahaman mendalam perihal bank digital. DailySocial berkesempatan mengikuti pelatihan yang digelar di Bali ini.

Beberapa pengamat terkemuka turut berpartisipasi, antara lain Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero, dan Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Persepsi bank digital

Tak sedikit masyarakat di Indonesia yang mengenali bank digital sebagai layanan digital banking. Lagi-lagi mengingat model bisnisnya masih baru, pemahaman terhadap bank digital pun dinilai masih kabur di kalangan masyarakat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memberikan satu definisi yang sekiranya mampu membedakan bank digital dan bank konvensional secara signifikan. Menurutnya, bank digital didefinisikan sebagai bank beserta layanan yang mana kita tidak perlu lagi memikirkan di mana kantor pusat, kantor cabang, jumlah ATM, termasuk jumlah orang yang mengoperasikan.

Sama seperti platform dompet digital GoPay dan OVO, kita tak perlu tahu di mana uangnya disimpan. Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, ia menilai bahwa bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda.

Menurutnya, persepsi ini wajar mengingat masyarakat terbiasa bertransaksi di bank. Bank diidentikkan sebagai lembaga keuangan dengan kantor cabang dan kantor pusat. Berbeda dengan era sebelum digital, persaingan perbankan dapat terlihat dari upaya bank membangun ekosistem. Dalam konteks bank konvensional, ekosistem mereka adalah kantor cabang dan ATM.

Kini perlahan-lahan keberadaan mesin ATM mulai tidak relevan. Orang-orang mulai terbiasa bertransaksi keuangan melalui platform mobile banking maupun dompet digital. Adopsi besar-besaran ini dinikmati industri perbankan selama masa pandemi.

Berdasarkan data OJK, sebanyak 2.593 jaringan kantor cabang ditutup dari 2017 hingga Agustus 2021. Penutupan kantor cabang ini selaras dengan transformasi digital bank yang terlihat dari meningkatnya volume transaksi secara digital.

Menurut Piter, di situasi sekarang apabila bank konvensional belum bertransormasi ke arah bank digital, tidak berarti mereka gagal melakukan digitalisasi. Ini lebih kepada kegagalan kompetisi. Perlu dicatat, faktor keunggulan perbankan sudah berubah, yang unggul di masa lalu, bisa jadi beban di era ekosistem digital.

“Ini bukan lomba lari cepat, tetapi maraton, ketahanan yang menentukan. Lagipula, bank digital masih jadi tren baru di Indonesia. Makanya, ini alasan bank-bank yang sudah mapan mempersiapkan diri, tapi tidak langsung face-to-face melainkan lewat proxy atau anak usahanya,” papar Piter.

Paparan di atas sedikit mengingatkan pada hipotesis Pendiri Bank Jago Jerry Ng ketika memutuskan mencaplok Bank Artos dan mengganti namanya. Jerry menilai Bank Artos tidak memiliki banyak legacy (kantor cabang, ATM, dan SDM). Dengan kondisi ini, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari awal ketimbang mengambil bank yang sudah punya ribuan kantor cabang.

Studi kasus bank digital

Pada paparan berikutnya, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyoroti ekosistem digital sebagai salah satu faktor kunci pada bank digital. Ia mengambil beberapa contoh bank digital sukses di dunia yang menerapkan model serupa, misalnya KakaoBank asal Korea Selatan.

KakaoBank berdiri di 2016 dan dimiliki oleh perusahaan raksasa internet Kakao Corp. Pada awal kemunculannya, KakaoBank mencatatkan pencapaian yang luar biasa. Dalam lima hari, KakaoBank mengantongi 1 juta pengguna.

KakaoBank juga mencatat kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Misalnya, pertumbuhan deposit sebesar 13,65% dari rerata industri 11,98%. Kemudian, NPL KakaoBank juga sebesar 0,26% di mana industri mencapai 1,78%. Sementara, pendapatan fee mencapai 30,16% dari industri 28,02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Sumber: Boston Consulting Group

Menurut Poltak, keberhasilan KakaoBank tak lepas dari ekosistem digital besar yang dimiliki perusahaan induknya. Kakao memiliki portofolio layanan beragam, seperti layanan chat, fintech, e-commerce, dan game.

“Evolusi internet membawa dampak perubahan pada manusia dan uang. Mesin-mesin juga saling berinteraksi berkat internet. Ini menjadi pondasi perkembangan bank digital di mana nantinya pembayaran, liquidity, dan analytics berada di awan (cloud). Dengan kata lain, teknologi memampukan bank [digital] untuk bisa scale up lebih cepat,” tuturnya.

Di masa depan, Poltak menyebutkan tiga jenis bank yang bakal berkompetisi antara lain bank konvensional, bank digital, dan embedded bank. Poltak mendefinisikan embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) sebagai layanan yang sejak awal sudah beroperasi secara digital dan masuk ke ekosistem (native). Ia juga menilai embedded bank akan menjadi bagian dari plumbing system jasa keuangan korporasi atau individu.

Sumber: FT Partners Research

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.

Maka itu, ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Jangan sampai sektor keuangan hanya diserahkan perannya lewat bank saja mengingat potensi bisnis dan layanannya begitu besar. Ia meyakini perluasan pasar penting untuk mengembangkan bank digital mengingat masih ada segmen pasar yang belum tergarap di Indonesia dan hanya bisa dilayani lewat digital.

Proyeksi bank digital

Menurut studinya, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membagi bank digital ke dalam tiga model, yakni direct bank, neobank, dan challenger bank.

Ia memaparkan, direct bank memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Kemudian, neobank beroperasi sebagai bank yang full digital, tanpa kantor cabang, dan memiliki aplikasi mobile. Sementara, challenger bank dikatakan merevolusi cara transaksi, model pinjaman baru, dan personal finance.

Bhima mengungkap, potensi akumulasi pasar challenger bank dan neobank secara global dapat mencapai $578 miliar di 2027 menurut laporan Medici Research.

Kami mencoba mengambil sumber lain untuk memberikan definisi lebih dalam, terutama pada neobank dan challenger bank. Mengutip FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional.

Sementara challenger bank memanfaatkan teknologi untuk merampingkan proses perbankan. Namun, challenger bank juga mempertahankan kehadiran fisik untuk mengoperasikan layanan fintech. Sekop challenger bank umumnya jauh lebih kecil dibandingkan pada sektor perbankan mainstream. Diperkirakan ada 100 challenger bank secara global saat ini.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Berbeda dengan neobank, challenger bank memiliki lisensi bank dan dapat menawarkan nasabah terhadap berbagai macam layanan perbankan tradisional dan digital. Layanan perbankan tradisional ini juga dapat diakses dan dimanfaatkan lebih akomodatif dibandingkan bank umum.

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa bank digital menawarkan sejumlah keunggulan, baik untuk individu maupun pelaku usaha. Di level individu, bank digital meningkatkan literasi nasabah terhadap produk keuangan lainnya, misalnya investasi. Menurut data World Bank di 2020, porsi kapitalisasi pasar saham terhadap PDB masih relatif kecil. Kemunculan bank digital diproyeksi dapat mendorong minat investasi.

Selain itu, bank digital dapat mendorong upaya pengendalian keuangan di sektor UMKM dengan transparansi dan efisiensi keuangan. Apalagi, pelaku usaha juga bisa mendapatkan akses terhadap pembiayaan yang disalurkan bank digital melalui skema channeling.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
The evolution of neobank / Sumber: PwC

“Selama ini bank tidak bersaing dengan teknologi, tapi dengan gede-gedean bunga. Lalu, tiba-tiba muncul bank digital yang menawarkan kemudahan layanan dan akses permodalan. Saat ini Indonesia punya 65 juta UMKM dan sebagian dari mereka belum dapat pinjaman. Bank digital dapat menambah kapasitas pembiayaan itu. Apabila Indonesia ingin memulihkan perekonomian ke level 5%, pertumbuhan kreditnya harus naik tiga kali lipat,” jelasnya.

Dengan berbasiskan data-driven credit scoring, bank digital dapat terus berkembang dengan menyalurkan kredit ke segmen yang belum terjamah. Di masa depan, penyaluran kredit ini dapat memakai indikator rating transaksi nasabah di platform e-commerce, food delivery, atau ride hailing.

Bank Jago to Expand Business in 2022, Advancing Integration with Gojek

Following its strategic partnership with Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) will continue the integration of its second service ecosystem in 2022. A series of use cases have been prepared, such as the GoPay and Jago e-KYC processes and payment for merchant transactions from Kantong Jago via GoPay.

As stated by Bank Jago’s President Director, Karim Siregar, currently his team is preparing to launch GoPay integration as one of the Kantong in the Jago application. Kantong GoPay is estimated to be coming soon.

Karim is reluctant to elaborate on this integration plan with Gojek after the merger with Tokopedia (GoTo). However, he ensured that he would continue to develop the Jago application in order to serve the retail, MSME, and mass market segments.

Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago
Synergy plans with Gojek / Bank Jago

“This year we are focusing on strengthening the product and user foundations. The number of Bank Jago users is now close to 700 thousand,” he said during Bank Jago’s business presentation, Thursday (28/10). The Bank Jago application has been downloaded more than 1 million on Android devices.

In general note, Gojek Group through GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) grabs 22% of Bank Jago’s shares. After the GoTo merger, Bank Jago is exploring wider synergies as it enters the large ecosystem of services owned by Gojek and Tokopedia.

Digital sharia and payment partnership

In other plans, Bank Jago also targets digital sharia services to be available in the Jago application in the first quarter of 2022. Currently, the Sharia Business Unit has started its operation, just waiting for the realization of digital services. His team is waiting for permission from the Financial Services Authority (OJK).

“Sharia and conventional [financial] services are always identified differently, even though they are not. Moreover, there are no fully digital Islamic financial services in Indonesia,” he added.

Jago Syariah will offer digital financial solutions that focus on customer life (life centric) by optimizing the latest technology, equivalent to conventional Jago applications.

Referring to data from the Financial Services Authority (OJK), the market share of Islamic banks was only 6.33% as of October 2020. The increase was not too significant compared to the market share in 2017 which was only 5%.

Furthermore, Bank Jago also plans to strengthen the digital ecosystem by encouraging service partnerships, especially for lending. In total, Bank Jago has collaborated with 19 partners from various verticals, ranging from e-commerce, lending, and investment.

Currently, all of Bank Jago’s financing is being channeled through a loan channeling model with third parties, either through financial service companies or P2P lending platforms.

Bank Jago service ecosystem / Source: Bank Jago

“Banks live on interest, therefore, we should not focus on transactional [products], but also on credit or financing,” he said.

Based on the third quarter 2021 financial report, Bank Jago has disbursed Rp3,727 trillion, an increase of 502% from the same period last year which amounted to Rp619 billion. Most of these loans are distributed through loan channeling.

In a previous interview, Karim had revealed that he would target MSMEs as the target market for financing. In 2020, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million which recorded to contribute more than 50% of Indonesia’s GDP, and absorb 97% of the active work budget in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Siap Ekspansi Bisnis di 2022, Lanjutkan Integrasi dengan Gojek

Menyusul kemitraan strategisnya dengan Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) akan melanjutkan integrasi ekosistem layanan keduanya di 2022. Sejumlah use case telah dipersiapkan, seperti proses e-KYC GoPay dan Jago hingga pembayaran transaksi merchant dari Kantong Jago melalui GoPay.

Disampaikan Presiden Direktur Bank Jago Karim Siregar, saat ini pihaknya tengah menyiapkan peluncuran integrasi GoPay sebagai salah satu Kantong di aplikasi Jago. Kantong GoPay diestimasi segera hadir dalam waktu dekat.

Karim enggan mengelaborasi terkait rencana integrasinya dengan Gojek pasca-merger dengan Tokopedia (GoTo). Kendati begitu, ia memastikan terus akan melanjutkan pengembangan aplikasi Jago agar dapat melayani segmen ritel, UMKM, dan mass market.

Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago
Rencana sinergi dengan Gojek / Bank Jago

“Tahun ini kami fokus memperkuat fondasi produk dan pengguna. Jumlah pengguna Bank Jago sekarang close to 700 ribu,” ungkapnya saat paparan bisnis Bank Jago, Kamis (28/10). Aplikasi Bank Jago tercatat telah diunduh lebih dari 1 juta di perangkat Android.

Sebagaimana diketahui, Gojek Group melalui GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) mencaplok 22% saham Bank Jago. Setelah aksi merger GoTo, Bank Jago tengah mengeksplorasi sinerginya lebih luas karena masuk ke ekosistem besar layanan milik Gojek dan Tokopedia.

Syariah digital dan kemitraan pembiayaan

Pada rencana lainnya, Bank Jago juga menargetkan layanan syariah digital tersedia di dalam aplikasi Jago pada kuartal pertama 2022. Saat ini, Unit Usaha Syariah sudah beroperasi, tinggal menunggu realisasi layanan digitalnya saja. Pihaknya tengah menanti izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Layanan [keuangan] syariah dan konvensional selalu diidentikkan berbeda, padahal sebetulnya tidak. Lagi pula, belum ada layanan keuangan syariah yang sudah fully digital di Indonesia,” tambahnya.

Jago Syariah akan menawarkan solusi keuangan digital yang berfokus pada kehidupan nasabah (life centric) dengan mengoptimalkan teknologi terkini, setara dengan aplikasi Jago konvensional.

Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.

Lebih lanjut, Bank Jago juga berencana memperkuat ekosistem digital dengan mendorong kemitraan layanan, terutama untuk pembiayaan (lending). Secara total, Bank Jago telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.

Saat ini, seluruh pembiayaan Bank Jago masih disalurkan melalui model loan channeling dengan pihak ketiga, baik melalui perusahaan jasa keuangan maupun platform P2P lending.

Ekosistem layanan Bank Jago / Sumber: Bank Jago

“Bank itu hidupnya dari pendapatan bunga, maka itu kita jangan fokus ke [produk] yang sifatnya transaksional saja, tetapi juga ke kredit atau pembiayaan,” tuturnya.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga 2021, Bank Jago telah menyalurkan sebesar Rp3.727 triliun atau naik 502% dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp619 miliar. Sebagian besar kredit ini disalurkan lewat skema loan channeling

Dalam wawancara terdahulu, Karim sempat mengungkap akan membidik UMKM sebagai target pasar pembiayaan. Di 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontribusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Ribbit Capital to Support Bank Jago Expanding Its Ecosystem

Earlier this week (04/10), Bank Jago officially announced Ribbit Capital’s arrival into the ranks of its investors. There’s no further details regarding the nominal funding provided, in an IDX disclosure, it was stated that Ribbit Capital’s ownership of Bank Jago does not exceed 5%.

The company’s representative said that Ribbit’s arrival was considered strategic because they were previously known as venture capitalists that oversee top-notch fintech applications in the global arena. Services such as Robinhood, Revolut, Affirm, Nubank, Coinbase, and Credit Karma are included in the portfolio.

Ribbit is also a shareholder in an investment app developer startup Ajaib — they recently achieved ‘unicorn’ status through a new funding round with Ribbit Capital.

Validating future prospect

Digital banks are mushrooming amidst the rapidly accelerating financial technology ecosystem. It forces every service provider to present an added valuein their application. Bank Jago himself said that the formation of an ecosystem is one of its main strategies. In the last 12 months, for example, they have intensively collaborated with several fintech lending and wealth management platforms. Finally, they integrated the service into Gojek and the Bibit application.

Application Google Play Rank (Finance) Download Rating
Neobank 1 10 million+ 3,8
Seabank 19 100 thousand+ 3,8
Jago 21 1 million+ 3,8
New Livin’ 28 100 thousand+ 3,9
blu 43 100 thousand+ 4,0
Jenius 54 5 million+ 4,0
TMRW 80 500 thousand+ 4,0
LINE Bank 81 500 thousand+ 3,9

(Ranks based on data per October 8th, 2021 on 4PM)

According to Bank Jago’s President Director, Kharim Siregar, Ribbit’s presence in the ranks of strategic investors shows two things. First, validation regarding the prospects for digital banks in Indonesia, especially for the future of Bank Jago products. Second, their interest in participating in increasing financial inclusion in this country.

“This is a form of investor appreciation for Bank Jago’s business model as a digital bank that serves the mass market, is embedded in the ecosystem and uses the latest technology. We are on the right track to take Bank Jago to a higher level,” he said.

Looking at the prospects for integration with portfolios, the situation is quite the opposite. In the wealthtech segment, currently Bank Jago has collaborated with Bibit – Ajaib’s direct competitor. Meanwhile, another shareholder, Gojek, through its venture unit also invested in Pluang.

However, in general, Ribbit’s experience with the world’s top fintech applications is expected to provide support for achieving a broad financial services ecosystem.

Enhancing integration

Kharim also said that his company’s focus this year was to develop strategic partnerships to expand the scope of its service ecosystem. The use case to do is, Bank Jago users are expected to be able to use various types of financial services without having to switch applications. In choosing a strategic partner, common vision and passion are the main consideration.

Bank Jago business model / Bank Jago

Going forward, Bank Jago will continue to improve application capabilities with various services that focus on lifestyle and financial management.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ribbit Capital Diharapkan Bisa Membantu Bank Jago Perluas Ekosistem Layanan

Awal minggu ini (04/10), Bank Jago secara resmi mengumumkan masuknya Ribbit Capital ke jajaran investornya. Kendati belum disebutkan detail mengenai nominal pendanaan yang diberikan, dalam keterbukaan di BEI disampaikan bahwa kepemilikan Ribbit Capital atas Bank Jago tidak melebihi 5%.

Disampaikan oleh perwakilan perseroan, masuknya Ribbit dianggap strategis karena sebelumnya mereka dikenal sebagai pemodal ventura yang menaungi aplikasi fintech jempolan di kancah global. Layanan seperti Robinhood, Revolut, Affirm, Nubank, Coinbase, dan Credit Karma masuk ke dalam jajaran portofolionya.

Ribbit juga menjadi pemegang saham di startup pengembang aplikasi investasi Ajaib — baru-baru ini mereka berhasil mencapai status ‘unicorn’ lewat pendanaan baru yang juga diikuti Ribbit Capital.

Memvalidasi prospek ke depan

Bank digital menjamur kehadirannya di tengah ekosistem teknologi finansial yang terakselerasi kencang. Hal ini memaksa setiap penyedia layanan untuk menghadirkan nilai plus di aplikasinya. Bank Jago sendiri mengatakan bahwa pembentukan ekosistem menjadi salah satu strategi utamanya. Dalam 12 bulan terakhir contohnya, mereka gencar menggandeng beberapa platform fintech lending dan wealth management. Terakhir, mereka mengintegrasikan layanan ke Gojek dan aplikasi Bibit.

Aplikasi Peringkat Google Play (Finance) Unduhan Penilaian
Neobank 1 10 juta+ 3,8
Seabank 19 100 ribu+ 3,8
Jago 21 1 juta+ 3,8
New Livin’ 28 100 ribu+ 3,9
blu 43 100 ribu+ 4,0
Jenius 54 5 juta+ 4,0
TMRW 80 500 ribu+ 4,0
LINE Bank 81 500 ribu+ 3,9

(peringkat didasarkan pada data per 8 Oktober 2021, pukul 16.00 WIB)

Hadirnya Ribbit ke dalam jajaran investor strategis menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar menunjukkan dua hal. Pertama, validasi terkait prospek bank digital di Indonesia, khususnya untuk masa depan produk Bank Jago. Kedua, minat mereka untuk turut serta meningkatkan inklusi keuangan di negeri ini.

“Hal ini merupakan bentuk apresiasi investor terhadap bisnis model Bank Jago sebagai bank digital yang melayani mass market, tertanam dalam ekosistem dan menggunakan teknologi terkini. Kami merasa sudah berada di jalur yang tepat untuk membawa Bank Jago ke level yang lebih tinggi lagi,” ujarnya.

Jika meninjau prospek integrasi dengan portofolio, kondisinya cukup berlawanan. Di segmen wealthtech, saat ini Bank Jago sudah bekerja sama dengan Bibit – kompetitor langsung Ajaib. Sementara pemegang saham lainnya, yakni Gojek, melalui unit venturanya juga berinvestasi ke Pluang.

Namun demikian, secara umum pengalaman Ribbit membersamai berbagai aplikasi fintech top dunia diharapkan dapat menghadirkan dukungan untuk mencapai ekosistem layanan finansial yang luas.

Terus meningkatkan integrasi

Kharim juga mengatakan, fokus perusahaannya tahun ini memang mengembangkan kemitraan strategis untuk memperluas cakupan ekosistem layanan. Use case yang ingin dibangun, nantinya pengguna Bank Jago diharapkan bisa menggunakan  berbagai jenis layanan finansial tanpa harus berpindah-pindah aplikasi.  Dalam memilih rekanan strategis, kesamaan visi dan passion menjadi hal pertama dilihat.

Model bisnis Bank Jago / Bank Jago

Ke depannya, Bank Jago masih akan terus meningkatkan kapabilitas aplikasi dengan berbagai layanan yang berfokus pada gaya hidup dan pengelolaan finansial.

Paper.id to Complete Series B Funding Round, Launching a B2B Paylater Service

The B2B invoicing and payment platform “Paper.id” is currently fundraising for series B round and to be announced in early 2022. Paper.id’s Co-Founder & CEO, Jeremy Limman said to DailySocial that the company is currently in the process of finalizing and plan to use the fresh funds to support product developments that have proven to be growing rapidly during this pandemic.

Paper.id’s latest funding was in 2019 for the series A round from Modalku fintech and Golden Gate Ventures. In early 2018, they also received seed funding from Golden Gate Ventures.

Pandemic elevating business

The number of Paper.id users has grown almost 3 times since the beginning of the pandemic last year. The invoices that have been processed has reached the highest level over Rp9 trillion, this number is claimed to have increased by 2 times from the same period last year. ​Currently, Paper.id has 300 thousand users and is spread across more than 300 cities and regencies in Indonesia.

“In general, the pandemic has negatively impacted the MSMEs, especially the tourism and retail sectors. However, Paper.id users belong to the sector-agnostic segment, therefore, several industries can still survive and continue to grow, such as logistics, FMCG and online sellers,” Jeremy said.

In order to increase financing options for users, Paper.id collaborates with a strategic investor, Buana Sejahtera Group, a group of companies engaged in finance, logistics, and hospitality to expand Paper.id’s capabilities in business funding and penetration into the conventional supply chain.

“Later on, we will ask our strategic investors about what business sector they want. Then Paper.id will recommend businesses that are eligible to get financing from the multifinance,” Jeremy said.

Launching a B2B Paylater

Aiming to help SMEs make their business easier, Paper.id launched its latest product, the B2B Paylater or Buy Now, Pay Later (BNPL). For buyers, they can get benefits in the form of an extension of time. Suppliers can also experience other benefits from this product through a new feature called “Get Paid Faster”.

Prioritizing the aggregator concept, Paper.id will later recommend business owners who want to use BNPL for fintech lending services to banks that have become strategic partners. Currently, there are 10 fintech service and banking partners, including Modalku, Bank Jago, and Pinjam Modal.

“In terms of financing, we cannot provide services for all. Thus, we have good partnerships with P2P, multi-finance and banking services. Everything will be tailored to the needs of the business,” Jeremy added.

In ensuring the business to run good track record, Paper.id conducts a curation process for businesses with intention to use BNPL through data invoicing on Paper.id. Therefore, banking partners and fintech services are guaranteed to get business recommendations with the best quality. Since the launching, Paper.id has validated more than 3000 invoices for BNPL products.

“With our experience that has channeled productive funding of more than Rp. 175 billion for MSMEs, BNPL is a feature that is much requested by our users and is expected to drive the MSME business development and help them manage cash flow better,” Jeremy said.

B2B Paylater in Indonesia

In a report titled “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” published by DSInnovate, the paylater services that focus on business consumers is said to start mushrooming. The scheme is in the form of collaboration, between fintech lending and business service providers.

Indonesia’s B2B Paylater players

In contrast to productive loan products in the style of P2P Lending, B2B paylaters do not provide cash to improve business operations. They finance the expenditure of goods or services that are channeled directly to the provider.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here