CVC Milik BCA Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup “Open Banking” Railsbank

Central Capital Ventura (CCV), perusahaan investasi (corporate venture capital — CVC) dari Bank Central Asia (BCA) terlibat dalam pendanaan $70 juta platform fintech API asal London, Railsbank. Dalam putaran seri B tersebut sejumlah investor turut terlibat termasuk Anthos Capital (memimpin), Outrun Ventures, dan angel investor.

Railsbank menghadirkan layanan open banking menyeluruh, termasuk di dalamnya banking as a service, cards as a service, dan credit as a service. Memungkinkan penyedia platform digital menyediakan layanan pembuatan kartu kredit [Visa dan Mastercard], pembayaran berlangganan untuk SaaS, dan hal-hal lain terkait transaksi finansial.

Dana segar juga akan digunakan oleh perusahaan untuk menggencarkan ekspansi, termasuk menjelajahi pasar di Asia Pasifik. Menyasar perusahaan fintech, telekomunikasi, hingga ritel untuk mengelola transaksi finansial mereka secara lebih solid.

“CCV percaya pada pendiri Railsbank. Mereka telah berhasil membuktikan model mereka di Eropa dan sekarang berekspansi ke SEA dan Amerika Serikat. BaaS relatif baru di pasar Indonesia dan Asia Tenggara, dan kami yakin Railsbank akan membawa model bisnis mereka yang sukses ke kawasan ini. Di CCV, kami juga percaya bahwa open banking masih dalam tahap awal dan potensi pertumbuhannya sangat besar,” ujar Anthony Adiputra, salah satu tim investasi di CCV.

Ia juga mengatakan, bahwa CCV percaya koneksi berbasis API akan memiliki masa depan cerah karena memungkinkan sebuah platform melakukan integrasi secara sederhana dengan pihak ketiga. Pihaknya juga melihat dorongan dari regulator bagi institusi finansial untuk menciptakan inisiatif perbankan yang lebih terbuka.

Layanan open finance [open banking adalah salah satu turunan layanan dari open finance] berbasis API memang tengah menjadi sorotan menarik di ekosistem fintech, baik di kancah global maupun nasional. Berdasarkan laporan Bain Capital, nilai pasar platform tersebut diproyeksikan mencapai $7,2 triliun pada 2030 mendatang.

Selain di Railsbank, CCV juga telah berinvestasi ke layanan fintech API lainnya, termasuk Oy! Indonesia, Bambu, dan Wallex. Bagi para startup, CCV dapat menjadi mitra strategis mengingat mereka di bawah naungan salah satu perbankan terbesar di Asia Tenggara.

Di sisi lain, regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI), juga tengah mematangkan beleid terkait standar Open API. Salah satu misinya untuk mendorong kolaborasi antara perbankan dan perusahaan teknologi finansial demi terciptanya ekosistem layanan yang inklusif.

Dengan spesialisasinya masing-masing, peta pemain open finance di Indonesia mulai ramai terisi. Daftar pemainnya meliputi Brankas, Brick, Finatier, Ayoconnect, Xendit/Instamoney, Oy!, dan lain-lain. Di antara beberapa pemain tersebut, Bricks yang lebih mendekati Railsbank — untuk memaksimalkan layanannya saat ini Brankas telah bekerja sama dengan 14 bank lokal, termasuk BCA.

BCA Digital Perkenalkan Aplikasi Mobile Banking “blu”, Perluas Pangsa Pasar Induk Usaha

PT Bank Digital BCA (BCA Digital) resmi memperkenalkan aplikasi mobile banking “blu” yang mengusung konsep branchless banking dan merangkul ekosistem digital. Di tahap awal, blu baru akan hadir pada 2 Juli 2021 untuk pengguna Android, dan menyusul dalam waktu dekat untuk perangkat iOS.

CEO BCA Digital Lanny Budiati mengatakan, BCA Digital memiliki tiga fokus utama, yakni menjadi customer base generator bagi BCA Group, nurturing nasabah baru dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki induk usaha, serta menjadi tech incubator dengan mencoba cara kerja baru yang dapat dimanfaatkan induk usaha dalam dalam skala besar.

“Segmen pengguna, strategi, dan model bisnis blu berbeda dengan BCA Group. blu diharapkan dapat menjaring nasabah baru yang belum terlayani sebelumnya sehingga dapat memperbesar pangsa pasar secara grup,” ungkapnya dalam Media Gathering BCA Digital yang digelar secara virtual (30/6).

BCA Digital melalui blu akan membidik kalangan anak muda serta kalangan berbagai usia yang tech savvy. Lanny mengungkap, blu diposisikan sebagai “the next generation bank” yang dapat memberikan kebebasan kepada pengguna untuk mengatur dan mengelola keuangannya.

“Target utama kami adalah memberikan pengalaman bertransaksi yang nyaman dan aman kepada pengguna. Salah satu benchmark kami, sebagai contoh, adalah memberikan kenyamanan transaksi, seperti tanda hijau pada aplikasi mBCA. Kami harap tahun ini bisa mengantongi ratusan ribu pengguna blu,” tambahnya.

Fitur blu

Sesuai konsep branchless banking yang diusungnya, BCA Digital hanya memiliki satu kantor pusat tanpa kantor cabang. Pembukaan rekening blu juga sepenuhnya dilakukan secara online dengan dukungan call center “haloblu” yang beroperasi selama 24 jam setiap hari.

Ada beberapa fitur dan produk unggulan blu yang ditawarkan. Pertama, blu Account atau rekening untuk bertransaksi. Kedua, blu Saving atau rekening tabungan yang dapat dibuka hingga sepuluh tabungan dalam satu rekening tanpa nomor.

“Mengapa nasabah tidak cukup punya satu rekening saja? Dari hasil riset kami, ternyata mereka membagi rekening untuk tujuan masing-masing. Misal, rekening untuk pendidikan dan kebutuhan belanja sehari-hari,” tutur Lanny.

Selanjutnya, ada fitur blu-gether yang memungkinkan pengguna untuk membuka satu rekening bersama. Pemegang rekening dapat mengundang hingga sepuluh pengguna lain ke dalam rekening ini, di mana mereka dapat melihat mutasi dan saldo. Sebagai contoh, apabila ada penarikan uang, seluruh anggota yang tergabung di rekening tersebut akan mendapatkan notifikasi.

Terakhir, blu Deposito yang diklaim perusahaan sebagai satu-satunya deposito yang dapat ditambahkan saldonya (top up). Dengan catatan, top ini hanya dapat dilakukan hingga H+6 pasca-pembukaan rekening. Lanny menambahkan, deposito ini dapat dicairkan sebelum jatuh tempo

Jaringan BCA Group dan ekosistem digital

Pengguna blu dapat melakukan tarik tunai tanpa kartu di seluruh jaringan ATM BCA di Indonesia. Maksimal penarikan sebesar Rp1.250.000 per transaksi dan Rp7.000.000 per harinya. Menurut Lanny, proses penarikan uang tunai dari aplikasi blu akan serupa dengan cara penarikan lewat aplikasi mBCA.

“Kami juga akan siapkan penarikan tunai di jaringan convenience store. Untuk saat ini, kami sedang eksplorasi apakah blu butuh kartu fisik atau virtual card saja. Kami mau lihat respons dari customer dulu, tapi semua kemungkinan bisa terjadi,” ujarnya.

Sementara itu, CTO & COO BCA Digital Iman Sentosa mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan pengembangan infrastruktur sekaligus ekosistem digital bagi BCA Digital. Salah satunya adalah ekosistem e-commerce. Dengan kolaborasi ini, BCA Digital diharapkan dapat berfungsi seperti Bank-as-a-Service (BaaS) di mana blu bisa terintegrasi di dalam platform digital ini.

BCA Digital Siap Beroperasi Juni 2021, Fokus ke Kemudahan Pembayaran dan Pinjaman

PT Bank Digital BCA (BCA Digital) ditargetkan beroperasi pada Juni 2021. Selama satu setengah tahun lebih, anak usaha PT Bank BCA Tbk (BBCA) ini menyiapkan sejumlah produk dan layanan yang akan menyasar segmen pengguna melek digital atau digital savvy.

DailySocial berkesempatan mewawancarai CEO BCA Digital Lanny Budiati untuk mengetahui gambaran lebih dalam mengenai strategi dan roadmap perusahaan di tahap awal ini.

Membentuk entitas baru

BCA Digital merupakan hasil branding nama sebelumnya, yakni PT Bank Royal Indonesia. Untuk bertransformasi menjadi bank digital, BCA selaku induk usaha mencaplok Bank Royal Indonesia senilai Rp1 triliun pada 2019. Per 31 Desember 2020, BCA Digital telah memiliki modal inti sebesar Rp2,9 triliun.

CEO Bank BCA Digital Lanny Budiati mengatakan, pihaknya mendirikan entitas baru untuk menjadi bank digital agar layanan perbankan digitalnya tidak bertabrakan dengan produk dan layanan yang sudah lama dioperasikan induk usaha, seperti BCA Mobile dan internet banking.

Menurut Lanny, layanan existing milik BCA sudah lebih dulu memiliki basis pengguna yang besar dari rentang usia dan segmen yang lebih luas. Dengan situasi tersebut, mayoritas nasabah BCA sudah merasa cukup nyaman menggunakan layanan perbankan digital existing.

Di samping itu, BCA Digital juga dapat berperan sebagai “ladang” inkubasi bagi induk usaha untuk bereksperimen dengan teknologi baru, model bisnis, dan cara bekerja yang berbeda. BCA Digital dapat membuka kesempatan untuk menjadi bagian dari perkembangan teknologi yang dinamis.

“Apabila implementasinya berhasil dan memberikan dampak signifikan, model bisnis tersebut dapat kami adopsi dan sinergikan ke induk usaha BCA,” ungkap Lanny.

BCA Digital diharapkan dapat lebih cepat dan fleksibel dalam mengembangkan layanan perbankan digital yang inovatif dan mengutamakan pengalaman bagi para nasabahnya.

Membidik digital savvy

Lebih lanjut, ada sejumlah faktor yang mendorong induk usaha untuk mendirikan bank digital. Lanny mengatakan, penetrasi pengguna internet dan smartphone terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan “Digital 2021: Indonesia” yang dirilis We Are Social dan HootSuite, lebih dari 59% masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan internet, sedangkan sebanyak 66% aktif menggunakan smartphone.

Kemudian, perkembangan teknologi di Indonesia dinilai memunculkan permintaan yang lebih besar sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran kebiasaan (behavioral shift) konsumen. Hal ini terutama dialami pada segmen pengguna digital savvy yang dinilai memiliki kebutuhan dan ekspektasi tinggi terhadap cara bertransaksi perbankan dengan model berbeda.

Faktor lainnya adalah pandemi Covid-19 menjadi faktor pemicu meningkatnya aktivitas melalui digital, termasuk transaksi perbankan. Selain itu, sejumlah hasil riset lain menunjukkan ada kenaikan luar biasa pada jumlah transaksi layanan perbankan digital dan nontunai selama beberapa tahun terakhir.

Mengacu data Bank Indonesia (BI), volume transaksi digital banking di sepanjang 2020 saja mencapai 513,7 juta transaksi atau naik 41,5% secara tahunan. Sementara, nilai transaksinya tercatat sebesar Rp2.774,5 triliun atau tumbuh 13,91% dari tahun sebelumnya.

“Kami harap BCA Digital dapat mengakomodasi kebutuhan generasi muda dan para digital savvy, menjadi pemimpin pasar di segmen digital banking, dan memperbesar pangsa pasar yang sudah dimiliki BCA,” tambahnya.

Fokus pada payment dan funding

BCA Digital mengusung konsep branchless banking, ketika seluruh produk dan layanan dapat diakses melalui aplikasi. Pihaknya membidik segmen pasar digital savvy yang terbiasa atau memilih bertransaksi secara digital. Namun, segmen ini tidak terbatas pada kaum muda.

Menurut Lanny, ada sejumlah produk dan layanan yang tengah dipersiapkan, termasuk kemudahan dalam melakukan pembukaan rekening (onboarding). Selain itu, BCA Digital juga akan bersinergi dengan seluruh channel yang dimiliki induk usaha, jaringan ATM BCA dan Halo BCA.

Untuk tahap awal, BCA akan fokus pada produk pembayaran (payment) untuk memfasilitasi berbagai transaksi lewat aplikasi dan meningkatkan basis pengguna. Selain itu, BCA Digital akan menyalurkan pinjaman (funding) ke masyarakat, khususnya segmen individual, individual bisnis, UMKM, dan retail.

“BCA Digital akan hadir dengan tampilan lebih fresh untuk mengakomodasi kebutuhan para digital savvy dalam melakukan aktivitas perbankan yang menyenangkan dan optimal. Dengan begitu, kami dapat memberikan nilai tambah dalam menjawab kebutuhan finansial masyarakat modern,” ungkapnya.

Tak banyak yang disebutkan lebih lanjut mengenai strategi dan model bisnis dari BCA Digital. Namun, Lanny mengungkap bahwa perusahaan akan berkolaborasi dengan berbagai pihak eksternal yang memiliki visi dan target pasar yang sama. Saat ini, BCA Digital tengah menyiapkan infrastruktur untuk mempermudah integrasi dengan ekosistem layanan.

“Kami juga terus-menerus melakukan pengembangan di aspek keamanan pada seluruh infrastruktur dan support system. Pembaharuan sistem teknologi secara berkala itu penting untuk menyeimbangi penggunaan tools sekaligus mencegah potensi ancaman bahaya seperti serangan siber.”

Aturan bank digital

Dengan semakin banyaknya transformasi bank ke digital di tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan aturan terkait bank umum akan dirilis di semester I 2021. POJK tersebut juga akan mengatur tentang bank digital.

Dalam webinar bertajuk “OJK Siapkan Aturan Bank Digital Tanpa Cabang Fisik” beberapa hari lalu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan bahwa pendirian bank baru harus memiliki modal minimum sebesar Rp10 triliun, jika bukan merupakan bagian dari ekosistem perbankan yang lebih besar. Menurutnya, kebijakan ini bukan tanpa alasan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan OJK, bank dapat dikatakan beroperasi secara efisien, menghasilkan laba, dan berkontribusi ke perekonomian nasional apabila memiliki modal Rp10-11 triliun. Sementara pada POJK sebelumnya yang mengatur  modal pendirian Rp3-4 triliun dinilai hanya menghasilkan laba saja, tetapi tidak efisien dan berkontribusi ke perekonomian.

Tak hanya modal, POJK baru ini juga akan mengatur digital banking, mulai dari aspek tata kelola teknologi, perlindungan data, hingga kolaborasi platform. Dari hasil penelitian OJK lainnya, sekitar 56% diketahui telah siap bertransformasi ke digital banking. Kemudian, sebanyak 56% dari 107 bank umum sudah memiliki teknologi untuk go digital.

Mendorong Implementasi “Open API” Perbankan di Indonesia

Dengan semakin maraknya saluran dan aplikasi digital di sektor finansial, generasi modern sekarang sudah jarang mengunjungi cabang bank lokal untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka. Masyarakat ingin mengakses layanan perbankan bukan di mana bank berada, tetapi di mana mereka berada. Perbankan kini berinovasi dengan customer journey dan multi-channel yang semakin modern.

Kemunculan permintaan baru ini, dikombinasikan dengan kemunculan teknologi perangkat lunak yang semakin inovatif, menciptakan bentuk keuangan baru yang disematkan melalui application programming interfaces (API) yang memungkinkan layanan bank dan data konsumen terintegrasi pada aplikasi pihak ketiga.

Pengamat ekonomi INDEF Nailul Huda menyampaikan bahwa open API sebenarnya bukan barang baru dalam ekosistem keuangan global namun masih baru di ekosistem keuangan di Indonesia. Lalu, mengapa open API menjadi penting dalam evolusi sektor perbankan?

Implementasi open API perbankan

Pada tahun 2010, pembuat kebijakan Inggris dan Eropa membuat peraturan yang mewajibkan bank untuk membuka data dan layanan kepada pihak ketiga secara aman untuk mendorong inovasi yang akan mengubah dan menciptakan produk keuangan yang lebih baik bagi konsumen. Hal ini menghasilkan investasi yang lebih besar di ekosistem fintech, karena banyak pengusaha dan investor mengambil kesempatan untuk melakukan revolusi perbankan dengan dukungan infrastruktur yang ada.

Inisiatif ini juga disebut open banking atau perbankan terbuka, yang dikeluarkan di Inggris dengan peraturan Perbankan Terbuka Inggris dan di benua Eropa dengan Petunjuk Layanan Pembayaran 2 (PSD2). Beberapa pemimpin industri memahami potensi bisnis yang menarik, tetapi tidak sedikit yang memilih untuk mempertahankan status quo.

Source: BLUEPRINT SISTEM PEMBAYARAN INDONESIA 2025
Source: Blueprint sistem pembayaran Indonesia 2025

Di Indonesia sendiri, pengembangan open banking melalui API telah diimplementasi oleh beberapa bank, termasuk BCA, BRI, Permata Bank, BNI, CIMB Niaga, dan Mandiri.

Tahun 2016 menjadi momen awal perbankan membuka diri ke ekosistem dalam bentuk API. Saat itu, BCA, melalui Finhacks 2016, sebuah upaya percepatan inovasi digital Indonesia di bidang financial technology (fintech). Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan ketersediaan API ke komunitas pengembang di Indonesia.

Selanjutnya, BRIAPI memungkinkan konsumen bisnis melakukan transaksi dan mengakses informasi mengenai produk-produk BRI langsung dari aplikasi, mulai dari fitur pembayaran lewat virtual account dan Direct Debit, fitur isi ulang saldo BRIZZI, hingga fitur pengecekan lokasi Kantor Cabang dan lokasi E-Channel BRI. Di sisi internal perusahaan, open API BRI juga memudahkan proses pengecekan saldo dan mutasi rekening bisnis, hingga melakukan transfer baik menuju rekening BRI maupun bank lainnya.

Salah satu BUMN yaitu Bank Mandiri belum lama ini juga mengenalkan layanan Mandiri Application Programming Interface (API) yang menyasar pasar pelaku bisnis digital, seperti financial technology (fintech) dan e-commerce, yang sedang tumbuh di Indonesia. Mandiri API memiliki 13 fitur sandboxing serta 3 fitur by call untuk top up e-money, direct debit, dan seller financing. Platform ini dapat diakses oleh pelaku bisnis digital untuk mencari informasi produk, melakukan pengembangan dan uji coba, serta integrasi produk dan layanan perbankan Bank Mandiri langsung melalui situs ataupun aplikasi mereka.

Selain itu, open API juga bisa mempecepat proses interlink antar perbankan dan layanan jasa keuangan lainnya seperti fintech pembayaran, fintech p2p lending, ataupun jenis fintech lainnya.

Sejumlah bank juga secara progresif menjalin kolaborasi dengan fintech. Sejak tahun 2018, BRI sudah memulai kerjasama dengan menyalurkan pendanaan melalui platform fintech Investree dan Modal Rakyat. Startup fintech Modalku juga telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai bank kustodian yang akan berwenang untuk menampung dana pemberi pinjaman untuk bisa meningkatkan keamanan dan transparansi dana.

Pada dasarnya, implementasi open API di Indonesia bertujuan sama. Menyongsong era ekonomi digital dan inklusi finansial. Diharapkan dengan tersedianya berbagai fitur ini akan mendorong terjadinya perubahan besar di ekosistem perbankan nasional.

Pandemi picu akselerasi digital dan keterbukaan

Menurut survei yang diadakan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, tertera data-data tentang jumlah pengguna internet yang semakin meningkat di masa pandemi. Masyarakat mulai mengurangi interaksi dan transaksi langsung, serta lebih memilih untuk mencukupi segala kebutuhan secara daring.

Semakin berkembangnya sektor e-commerce yang menjadi lokomotif industri digital di Indonesia telah memicu perbankan untuk mendorong adopsi Open API yang lebih masif.

Dengan adanya API, nantinya konsumen yang melakukan pembelian produk di market place dapat memilih opsi kanal pembayaran dari transfer virtual account. Market place yang bekerja sama dengan payment gateway menyediakan opsi pembayaran, yang nantinya akan terjadi pertukaran data dari kedua belah pihak dan terhubung ke bank sebagai penyedia uang elektronik.

Dengan masa depan indah yang diproyeksikan melalui implementasi open API, kenyataannya masih banyak perbankan yang belum berbenah menghadapi era digitalisasi dan adanya disrupsi yang ditimbulkan oleh pelaku layanan jasa keuangan innovative seperti fintech. Akibatnya proses perkembangan open API masih terhambat.

Tantangan yang dihadapi

Dalam pengembangannya, teknologi open banking di Indonesia kerap mendapat pandangan pesimis dari beberapa pihak. Pasalnya teknologi ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini merupakan pedoman yang harus diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Sudah sewajarnya perbankan sangat berhati-hati dalam masalah tata kelola data, hal ini kerap menjadi alasan mereka belum siap untuk menghadapi perbankan era digital dan keterbukaan informasi. Salah satu alasannya memang sistem keamanan data yang dimiliki perbankan [terutama bank kecil dan bank daerah] yang belum memadai. Ada rasa khawatir yang besar akan terjadinya penyalahgunaan data.

Dalam hal ini, regulator memiliki peran kunci yang harus segera dipentaskan –  standardisasi API kemungkinan akan menjadi syarat utama kesuksesan. Sebaliknya, kurangnya standar umum akan menghambat kemajuan dan menambah beban.

Anton Himawan, Head of Digital Business Development Bank CIMB Niaga, mengatakan, “Di antara tantangan yang dihadapi perbankan yaitu belum adanya aturan baku tentang implementasi Open Banking, sehingga membuat Bank wajib mengacu pada aturan-aturan yang sudah diterapkan sebelumnya yang mungkin tidak lagi cocok.”

Maka diperlukan sebuah peraturan yang setara undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi. Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi yang bisa menjadi pedoman.

“Apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan maka saya yakin perbankan nasional akan menuju sebuah era baru keterbukaan informasi. Saya rasa peluang penerapan open banking akan semakin kajadian apabila UU Perlindungan Data Pribadi disahkan,” tambah Nailul.

Masa depan open API

Pada akhir bulan Juli lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan akan mengeluarkan standar Open Application Programming Interface (API) untuk mendorong kolaborasi perbankan, dan perusahaan teknologi finansial (fintech). Kolaborasi perbankan dan fintech melalui standar Open API diharapkan dapat mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif.

Standar Open API dibutuhkan untuk mendorong adopsi open banking yang mendukung tercapainya layanan pembayaran yang efisien, aman, dan handal;  meningkatkan inovasi dan kompetisi; mendorong inklusi keuangan termasuk pembiayaan kepada UMKM; mengurangi risiko shadow banking; serta mendorong terciptanya ekosistem Open API yang berintegritas.

Penerapan standar open API ini akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut disebutkan akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

“Kami melihat pada akhirnya Open Banking akan menjadi sebuah keharusan bagi industri perbankan. Ke depan, kompetisi terkait Open Banking tidak hanya terkait fitur dan ketersediaan teknologi, yang lebih penting adalah bagaimana pihak-pihak yang berkolaborasi dapat memanfaatkan Open Banking secara maksimal baik dari sisi layanan maupun model bisnis yang tepat bagi masyarakat,” ujar Anton.

 

Gojek dan BCA Rilis Perangkat POS GoBiz Plus, Mudahkan Merchant Terima Pembayaran Nontunai

Gojek mengumumkan kolaborasi bersama BCA untuk peluncuran perangkat POS GoBiz Plus guna permudah merchant menerima semua opsi pembayaran nontunai; mulai dari kartu debit, kredit, uang elektronik, dan QRIS. GoBiz Plus merupakan kelanjutan pengembangan dari superapp GoBiz, aplikasi Gojek untuk mitra bisnis sejak 2018.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menjelaskan, UMKM merupakan tulang punggung ekonomi negara. Oleh karenanya, Gojek punya peranan untuk mendukung mitra UMKM agar terus memperoleh akses untuk go digital. Terlebih di masa pandemi ini, masyarakat semakin mengedepankan transaksi non tunai untuk meminimalisir kontak fisik langsung.

“Untuk mewujudkan visi tersebut, kami selalu melakukan kolaborasi yang telah menjadi DNA kami. Dalam peluncuran GoBiz Plus ini, kami bersama BCA. BCA sudah menjadi big supporter kami sejak lima tahun lalu,” ucapnya dalam konferensi pers yang secara virtual, Selasa (15/12).’=

Perangkat GoBiz Plus / GoBiz
Perangkat GoBiz Plus / GoBiz

Baik Gojek maupun Gojek sama-sama terafiliasi dengan induk yang sama yakni Djarum Group. Melalui Blibli, Djarum menyuntik Gojek dengan nominal dirahasiakan pada 2018.

Direktur BCA Santoso Liem turut menyampaikan, kedua perusahaan punya visi yang sama dalam memajukan sektor UMKM dengan digitalisasi. BCA mengimplementasikan teknologi yang memungkinkan pengguna untuk memilih berbagai opsi pembayaran. Lewat kesempatan ini pula, BCA ingin masuk ke kota lapis dua dan tiga karena ia sadar bahwa BCA selama ini kuat di daerah perkotaan saja.

“GoBiz Plus menggunakan standar-standar pembayaran yang diakui oleh Bank Indonesia, baik itu dari teknologi chip dan QRIS. Ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah yang dapat mendorong UMKM kita,” kata Santoso.

Lebih jauh dijelaskan oleh Head of Merchant Platform Business Gojek Novi Tandjung, GoBiz Plus adalah perangkat keras serba bisa yang mendukung mitra bisnis dapat beroperasi lebih efisien dan mendukung pertumbuhan usaha mereka. Beberapa kemampuannya adalah menerima pembayaran berbagai kartu, berkat kerja sama dengan BCA.

Lalu, menerima pembayaran berbasis kode QR dan berbagai dompet digital; mencetak resi secara instan karena sudah dilengkapi dengan ‘built-in’ printer; dan layanan POS untuk permudah pencatatan pesanan, memperbarui menu dan harga.

Novi melanjutkan, GoBiz Plus sebenarnya sudah dirilis sejak awal tahun ini, namun perilisan baru dilakukan menjelang akhir tahun karena ada banyak pertimbangan akibat pandemi. GoBiz sendiri diklaim sudah memiliki lebih dari 900 ribu merchant di seluruh Asia Tenggara. Tidak disebutkan sudah berapa banyak mitra yang sudah upgrade ke GoBiz Plus.

Novi hanya bilang, GoBiz Plus secara terbatas baru ditawarkan untuk mitra yang memiliki ambang batas transaksi sesuai dengan kriteria. Biaya yang dibayarkan mitra untuk menggunakan GoBiz Plus adalah Rp4.900 per harinya. “GoBiz memiliki merchant yang tersebar di 19 kota di Indonesia. Namun untuk menggunakan GoBiz Plus harus memenuhi syarat tertentu,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

10 Startup Ikuti “Demo Day” dalam Program Synrgy Accelerator Milik BCA

Synrgy Accelerator telah masuk memasuki batch ketiga. Total ada 10 startup yang sudah lolos seleksi. Semuanya telah mengikuti serangkaian kegiatan yang dilakukan selama tiga bulan terakhir. Kemarin (30/9) mempresentasikan diri dalam gelaran Demo Day.

“Selama program Synrgy Accelerator batch ketiga, kami bersama-sama mengeksplorasi kebutuhan setiap startup, setelah itu kami melengkapinya dengan sesi mentoring 1-on-1, workshop untuk mendukung pengetahuan mereka, dan sharing dengan ahli di berbagai bidang. Hingga akhirnya para startup mempersiapkan diri dengan baik untuk Synrgy Accelerator Demo Day,” terang SVP Digital Innovation Solution BCA Adi Prasetyo Susilo dalam pembukaannya.

Sementara itu Director GK-Plug and Play Aaron Nio memaparkan bahwa selama 3 bulan terakhir meski semua dilakukan secara virtual semangat para peserta tidak surut, sehingga semua program bisa berjalan dengan baik.

“Salah satu tujuan utama dari program ini adalah untuk memperkuat komitmen BCA dalam giving back untuk ekosistem teknologi di Indonesia, dan kami yakin startup dan solusi yang mereka kerjakan akan menjadi contoh tersebut,” terang Arron.

Berikut adalah 10 startup yang turut serta:

  • Aman: Aman merupakan sebuah platform digital yang memberikan pelayanan bagi individual maupun perusahaan untuk mencari dan mengelola asuransi yang tepat dan sesuai kebutuhan.
  • Bangku: Bangku merupakan startup yang memudahkan UKM dalam mencari pinjaman usaha. Mereka bekerja sama dengan berbagai institusi finansial untuk menghadirkan berbagai macam produk pinjaman melalui platformnya.
  • Katalis: menawarkan solusi pembayaran berbasis kartu yang bisa diimplementasikan di berbagai sektor. Solusi yang ditawarkan antara lain close-loop transaction, akses pintu, parkir, vending machine, dan lainnya.
  • Moodah: solusi yang ditawarkan adalah pencatatan keuangan berbasis digital. Targetnya para UKM yang membutuhkan pencatatan keuangan yang lebih baik agar bisa memperbaiki arus kas.
  • Nimbly: solusi yang ditawarkan adalah kemudahan pengelolaan bisnis dan automasi proses untuk perusahaan.
  • Sales1: Merupakan sebuah platform yang menawarkan solusi CRM bagi perusahaan di berbagai sektor.
  • Shortlyst: sebuah perusahaan data analitik yang menerapkan teknologi machine learning dan big data untuk menghadirkan solusi pengelolaan sumber daya manusia.
  • SmartEye: mengembangkan solusi AR dan VR untuk sektor pemasaran dan pelatihan.
  • Taphomes: startup ini bergerak di bidang properti dengan konsep Rent To Own (Sewa untuk Beli).
  • Vexanium: startup dengan keahlian di bidang blockchain dengan menawarkan solusi smart contract untuk bisnis atau perusahaan.

GoPay Launches Cash Withdrawal Feature Through BCA Outlets

GoPay develops a cash withdrawal feature through BCA ATM outlets all over Indonesia. GoPay is the second e-money player, after LinkAja, to develop this feature as a subsidiary of Himbara.

In the official statement, cash withdrawals only require five easy processes. Users only need to select the Cash Withdrawal feature, enter the nominal GoPay balance to withdraw, and authenticate with a PIN. Next, the user will receive a six-digit transaction code to be used directly at BCA ATMs.

This transaction code is confidential and is only valid for one hour from the time the code is given. In order to withdraw cash at an ATM BCA, the user can select the “Cardless transaction” option and enters the virtual account code (70008 + cellphone number), then the transaction code. The ATM will issue cash according to the amount requested.

This feature is beneficial for GoPay users, especially the driver-partners in case of sudden necessity. BCA alone has released the “Cardless transaction” feature since 2017 via the mobile banking application. BCA has 17,067 ATMs as of March 2020.

“[..] This feature is also very helpful for GoPay users who are accustomed to everyday cashless but need cash on several occasions,” GoPay’s VP Business Development Imam Akbar Hadikusumo said, Tuesday (11/8).

He said the two companies have collaborated through the BCA Virtual Account feature and OneKlik. This cash withdrawal feature will be available progressively for all Gojek users. However, in order to use this feature, users need to upgrade their account to GoPay Plus.

BCA’s EVP of Transaction Banking Business Development. I Ketut Alam Wangsawijaya added, “BCA as a part of the national financial system is committed to open opportunities for collaboration with e-wallet developer partners in providing a seamless financial experience for BCA customers and GoPay users.”

Imam continued, by upgrading his account to GoPay Plus, users can take advantage of the cash withdrawal feature, also use the transfer feature to fellow GoPay users, transfers to other banks, bigger GoPay limits, and an extra guarantee of GoPay Balance Protection.

LinkAja’s cash withdrawal

Neither Ovo nor Dana, GoPay’s closest competitors are yet to develop a cash withdrawal feature. It’s different with LinkAja because it is a subsidiary of Himbara, LinkAja users can withdraw their cash balance using the ATM Link network.

The withdrawal method is not much different from GoPay. LinkAja users only need to make a request via the LinkAja application, by going to the “Withdraw Balance” menu then selecting “Withdraw Cash at an ATM”. Then select the Balance Withdrawal Nominal in cash via an ATM and select Create Withdrawal Code for confirmation.

The code will be entered into the ATM machine to continue the transaction. When withdrawing cash at a Bank Mandiri ATM, for example, the user simply presses the soft key (green button on the bottom right next to the ATM screen. Then select “LinkAja Cash Withdrawal” and “Cash Withdrawal.” After users input the registered mobile number, enter the withdrawal code at the end-process.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GoPay Rilis Fitur Tarik Tunai Melalui ATM BCA

GoPay mengembangkan fitur tarik tunai melalui gerai ATM BCA yang tersebar di seluruh Indonesia. GoPay menjadi pemain uang elektronik kedua, setelah LinkAja yang mengembangkan fitur tersebut karena menjadi anak usaha Himbara.

Dalam keterangan resmi, untuk tarik tunai hanya membutuhkan lima proses mudah. Pengguna cukup pilih fitur Tarik Tunai, lalu memasukkan nominal saldo GoPay yang ingin ditarik dan lakukan otentikasi dengan PIN. Setelah itu, pengguna akan menerima enam digit kode transaksi yang dapat langsung digunakan di ATM BCA.

Kode transaksi ini bersifat rahasia dan hanya berlaku selama satu jam dari waktu kode tersebut diberikan. Cara tarik tunai di ATM BCA, pengguna pilih menu “Transaksi tanpa kartu” dan memasukkan kode virtual account (70008 + nomor HP), kemudian kode transaksi. ATM nanti akan mengeluarkan uang tunai sesuai jumlah yang diminta.

Pengembangan ini tak hanya menguntungkan buat pengguna GoPay, termasuk mitra pengemudi itu sendiri apabila mereka butuh membeli sesuatu secara mendadak. BCA sendiri sudah merilis fitur “Transaksi tanpa kartu” ini sejak 2017 dengan kontrol melalui aplikasi mobile banking. Adapun BCA memiliki 17.067 ATM per Maret 2020.

“[..] Fitur ini juga sangat membantu pengguna GoPay yang sehari-hari terbiasa cashless namun di beberapa kesempatan perlu tunai,” terang VP Business Development GoPay Imam Akbar Hadikusumo, Selasa (11/8).

Dia menuturkan, sebelumnya kedua perusahaan telah bekerja sama melalui fitur Virtual Account BCA dan OneKlik. Fitur tarik tunai GoPay ini akan tersedia secara bertahap untuk semua pengguna Gojek. Hanya saja untuk bisa menikmati fitur ini, pengguna perlu upgrade akunnya ke GoPay Plus.

EVP of Transaction Banking Business Development BCA I Ketut Alam Wangsawijaya menambahkan “BCA sebagai salah satu bagian dari sistem keuangan nasional berkomitmen untuk terbuka dalam peluang kerja sama dengan mitra developer e-wallet dalam memberikan financial experience yang seamless bagi nasabah BCA dan pengguna GoPay.”

Imam melanjutkan dengan upgrade akun ke GoPay Plus, pengguna tak hanya dapat memanfaatkan fitur tarik tunai, juga menggunakan fitur transfer ke sesama pengguna GoPay, transfer ke bank lain, limit GoPay lebih besar, serta ekstra proteksi Jaminan Saldo GoPay Kembali.

Tarik Tunai di LinkAja

Baik Ovo maupun Dana, kompetitor terdekat GoPay belum memiliki fitur tarik tunai. Beda halnya dengan LinkAja, karena menjadi anak usaha dari Himbara para pengguna LinkAja dapat tarik tunai saldonya dengan jaringan ATM Link.

Metode penarikannya juga tidak jauh berbeda dengan GoPay. Pengguna LinkAja cukup melakukan permintaan lewat aplikasi LinkAja, dengan masuk ke menu “Tarik Saldo” kemudian pilih “Tarik Tunai di ATM”. Lalu pilih Nominal Penarikan saldo yang akan ditarik tunai melalui ATM dan pilih Buat Kode Penarikan untuk konfirmasinya.

Kode tersebut akan dimasukkan ke mesin ATM untuk melanjutkan transaksi. Apabila tarik tunai di ATM Bank Mandiri misalnya, pengguna cukup tekan soft key (tombol warna hijau yang ada di kanan bawah di sebelah layar ATM. Kemudian pilih “Tarik Tunai LinkAja” dan “Cash withdrawal”. Setelah pengguna memasukkan nomor handphone yang terdaftar dan masukkan kode penarikan untuk tahap akhirnya.

Application Information Will Show Up Here

Indonesia to Realize Digital Bank Initiative in 2020

We have witnessed various digital banking innovations in the last decade. Mobile and internet banking can be examples of banking digitalization that is most related to daily life. Thanks to this innovation, it is easier for customers to perform financial transactions.

Indonesian banks have also begun to explore service connectivity through the Open API strategy. The digital business growth in this country driven by e-commerce and fintech platforms and to be said as a driven factor for banks to develop these innovations. Currently, cross-platform transactions are very possible.

In recent years, fintech has played a significant role in providing access to efficient and practical financial services. Fintech managed to disrupt the traditional banking business model with a fast onboarding process.

Based on the 2019 Fintech Report, 79.9% of 747 respondents in Indonesia used digital wallet services, followed by investment (31.5%), paylater (30.9%), online multifinance (12%), insurtech (11, 8%), crowdfunding (8.2%), P2P lending (6.2%), and remittance (2.4%).

The role of fintech in the financial ecosystem has become a momentum for banks to innovate. Beyond its mobile banking services, a number of banks in Indonesia are very eager in developing digital financial products, both independent and through collaboration. Also, customers can now open savings accounts through mobile banking applications and digital platforms.

In the context of digitalization, the above efforts are certainly relevant to the demand of today’s users. However, these are not enough in order to reach broader financial inclusion. The population of people who don’t have access to financial services (unbanked) is quite large. The limited number of ATMs and branch offices are an obstacle for banks.

Google, Temasek, Bain & Company report in October 2019 noted that there were 92 million Indonesians in the unbanked segment (50.83%), followed by the banked segment at 42 million people (23.20%), and the underbanked segment 47 million (25.97%).

The Indonesian banking industry is aware of this phenomenon that today’s financial products are not only monopolized by banks. This situation also indicates that banks have not been able to close the gap between the ones with financial literacy and those who are yet to aware of this, with the traditional business model.

Digital bank in Indonesia

After banking digitization, digital bank concept is currently trending in Indonesia. The effort shows banking digital transformation is no longer depend on service digitization, but also to become a separate entity.

In definite, digital banks are different from banking digitalization. Borrowing the current popular term,  the concept of digital banks is generally referred to as neobank, which is popular since 2017. Also, quoting the words “Neo Bank and the Future of Retail Banking in Indonesia“, the term digital bank is often defined as a challenger bank.

Challenger banks in the world have even acquired millions of customers. Some of them are Nubank (Brazil), Monzo (United Kingdom), N26 (Germany), and Chime (United States).

Back to the origin, digital bank or neobank is defined as a bank that operates online-based services without a physical branch office. Digital Bank offers easy access with a user-friendly UI/UX. With an internet connection and smartphone, anyone can open an account and access other financial services.

Digital banks also have the opportunity to be able to leverage the customer’s journey through the development of financial support services and make their products a daily product for customers.

Of course the above concept is inversely proportional to traditional banks where financial services — even though there is already internet and mobile banking — still require face-to-face and physical branch offices. This is understandable considering that banks are a business of trust so physical contact is still needed.

In Indonesia, digital banks are mostly linked to Jenius services (2016) and Digibank (2017). Both are often referred to as the pioneers of the first digital bank. However, there are also those who call it a spin-off product since both are still operating under BTPN and DBS Bank as its main entity.

Jenius and Digibank are examples of application-based services that offer basic banking products, namely savings, online account opening. Both also offer other supporting services, such as financial regulators.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Jenius and digibank table / DailySocial

If the root is on the expansion of financial inclusion, Jenius and his staff are considered not a digital bank. This is because both are targeting segments of society that already achieve digital literacy (digital savvy). Meanwhile, the unbanked segment tends not to understand financial literacy.

The next step for digital bank

As the ecosystem and technology is getting mature, 2020 would likely to be the year of the digital banks realization in Indonesia. Some of the plans we have summarized, including Bank Digital BCA, Bank Jago, and Bank Yudha Bakti (BYB). Efforts to become a digital bank as a new entity have all been passed through the acquisition process.

Quoting Kontan, BCA has acquired Bank Royal worth Rp988 billion in 2019. Bank Royal will change its name to Bank Digital BCA targeting some realizations in the second-semester, 2020. The target market is retail and SME segments, different from the main portfolio of its parent company which mostly engaged to corporate. Bank Digital BCA already has a permit from OJK and is ready in infrastructure.

It is known, the company is currently preparing the P2P lending initiative for BCA Digital Bank. However, BCA’s President Director, Jahja Setiaatmadja revealed that he is not to launch the service in the near future. “We wouldn’t dare to enter P2P for the risks are enormous, we are still preparing,” he said as quoted by Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Digital bank table / DailySocial

Furthermore, Bank Artos officially changed its name to Bank Jago after acquired by its seniors, Jerry Ng and Patrick Walujo. According to Bank Jago’s Managing Director, Kharim Siregar, his office is finalizing a business model and perfecting applications targeting to launch before the fourth quarter of 2020. Quoting Bisnis.com, Bank Jago will target the middle segment and mass-market. In addition, Bank Jago will also collaborate with digital platforms in various business verticals, such as e-commerce, ride-hailing, and P2P lending.

DailySocial has in touch with BCA and Bank Jago representations regarding the realization of this digital bank, but their team sre still reluctant to disclose any information. “Our directors are yet to confirm any information to the media because they are currently focusing on preparing applications and everything,” Bank Jago’s Senior Manager Nurul Kolbi said in a short message to DailySocial.

Unlike the two, Bank Yudha Bakti (BYB) started to be controlled by PT Akulaku Silvrr Indonesia which runs Akulaku’s fintech services in 2019. Akulaku’s entrance is expected to accelerate the digital transformation process of BYB, which is to become a digital bank without branch offices and develop mobile applications to increase market penetration.

DailySocial also reached BRI’s Indra Utoyo, Digital Director, Information Technology, and Operations regarding this matter. He commented, BRI did not perform a similar strategy with the above banks. However, BRI is considered to have made a major transformation to become a digital bank.

In order to become a digital bank, Indra ensured that BRI must maximize excellence in physical networks. “The winner is the one who can combine physical and digital excellence. Whatever the entity, both BRI, and its subsidiaries, must be a digital company. There is no need for a dichotomy between digital banks and non-digital banks,” he said.

Without this dichotomy, he said, BRI has provided value from the concept of digital banks with digital-based banking services. BRI became the first bank to launch PINANG and Ceria digital lending products. Then, the first bank to provide account opening services with the entirely digital-based KYC process.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
BRI’s digital product table / DailySocial

Indra emphasized that digital cannot replace trust, service, and brand. However, without digital, we cannot get all three. It means those with the ‘digital’ label do not necessarily translate into trusted banks than large banks that have transformed digitally.

“To date, I have not seen a successful digital bank or neobank in the world. For me, the winner is the one that combines physical superiority or human touch and digital. The term is phygital,” he said.

Separately contacted, BTPN’s Head of Digital Banking, Irwan Sutjipto Tisnabudi admitted that the emergence of a new digital bank would help create a digital financial ecosystem and encourage education for better financial literacy. In fact, this trend will bring many collaboration opportunities.

Regarding the possibility of Jenius becoming a separate entity, Irwan assured that Jenius currently still supports the BTPN business to expand the current market segments. He also emphasized the main strategy through co-creation and collaboration with like-minded partners to develop products that are relevant to customers.

“In carrying out digital transformation, BTPN believes that digital is the core of the business and value proposition, not an additional channel. Our priority is to build an ecosystem that supports life finance with a broader scope so that the benefits can reach the digital literacy people,” he explained.

Jenius became the result of BTPN transformation which was developed through the process of creation and collaboration with thousands of digital-savvy for 18 months. As of March 2020, Jenius has secured more than 2.5 million users. The company has also just introduced the Bisniskit feature for new business owners and Moneytory to help with financial management.

Regulation and challenges

To date, digital banks still operate under the law of conventional banks. This is regulated in OJK Regulation Number 12 concerning Digital Banking Services Provided by Commercial Banks. There is no separate law to regulate the virtual account opening.

The regulation clearly states that digital banks are different from digital banking services (m-banking, SMS banking, e-banking, etc.). The difference is clear that all digital banking services can be accessed via smartphones.

Beyond that, digital banks cover all banking services from account administration, transaction authorization, financial management, and / or account opening/closing, digital transactions, and other financial product services based on OJK approval.

According to Bhima Yudistira, Institute for Development of Economics (Indef) observer, there is no need yet to draft new regulations to accommodate the law of digital banks. Moreover, existing regulations were only issued in 2018. However, Bhima highlighted that the government needs to pay attention to the high-security aspects and data utilization for third parties.

On the other hand, he also sees that the trend of digital banks is driving a new landscape of banking in the banking sector. According to him, banks that invest in digitalization will obtain a greater market share than banks that continue to operate conventionally.

“The demand for digital banking is greater along with the growth in the number of active internet users in 2020 reaching 175.4 million people. This means that banks are expected to provide faster services at affordable costs, and access anywhere, anytime,” he said.

If a digital bank is realized, the impact will be very large, especially for millennials. However, it is not without obstacles that banks are also deemed necessary to conduct education for other market segments, such as SMEs and rural areas. “The important thing here is developing digital banks must run along with the penetration of internet network access to remote and outermost areas,” Bhima said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

2020 Jadi Tahun Realisasi Bank Digital Indonesia

Kita telah menyaksikan berbagai inovasi digital perbankan dalam hampir satu dekade terakhir. Mobile dan internet banking dapat menjadi contoh digitalisasi perbankan yang paling lekat dalam keseharian. Berkat inovasi ini, nasabah semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan.

Perbankan Indonesia juga mulai merangkul keterhubungan layanan melalui pengembangan Open API. Pertumbuhan bisnis digital di Tanah Air yang dimotori platform e-commerce dan fintech dapat dikatakan sebagai driven factor bagi perbankan untuk mengembangkan inovasi tersebut. Kini, transaksi lintas platform menjadi sangat memungkinkan dilakukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech mengambil peran cukup besar dalam memberikan akses layanan keuangan yang efisien dan praktis. Fintech berhasil mendisrupsi model bisnis perbankan tradisional dengan proses onboarding yang cepat.

Berdasarkan Fintech Report 2019, tercatat sebanyak 79,9% dari 747 responden di Indonesia menggunakan layanan digital wallet, diikuti oleh investment (31,5%), paylater (30,9%), online multifinance (12%), insurtech (11,8%), crowdfunding (8,2%), P2P lending (6,2%), dan remittance (2,4%).

Peran fintech dalam ekosistem keuangan ini justru menjadi momentum bagi perbankan untuk berinovasi. Di luar layanan mobile banking yang dimiliki, sejumlah bank di Indonesia semakin agresif mengembangkan produk keuangan digital, baik sendiri maupun berkolaborasi. Bahkan nasabah kini bisa membuka rekening tabungan melalui aplikasi mobile banking dan platform digital.

Dalam konteks digitalisasi, upaya di atas tentu relevan dengan kebutuhan pengguna saat ini. Namun, upaya tersebut belum cukup jika ingin mencapai inklusi keuangan yang lebih luas. Populasi masyarakat yang tidak tersentuh layanan keuangan (unbanked) masih besar. Keterbatasan ATM dan kantor cabang menjadi salah satu kendala bagi perbankan.

Laporan Google, Temasek, Bain & Company pada Oktober 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta masyarakat Indonesia masuk ke dalam segmen unbanked (50,83%), diikuti dengan segmen banked sebanyak 42 juta jiwa (23,20%), dan segmen underbanked 47 juta (25,97%).

Industri perbankan di Indonesia menyadari fenomena ini bahwa produk keuangan kini tak hanya dimonopoli oleh bank saja. Situasi ini juga menandakan perbankan belum mampu menutup gap antara masyarakat melek keuangan dan tidak, dengan model bisnis tradisional.

Bank digital di Indonesia

Setelah digitalisasi perbankan, kini tren bank digital di Indonesia secara perlahan mulai bertumbuh. Upaya ini memperlihatkan bagaimana transformasi bank tak lagi bertumpu pada digitalisasi layanan, tetapi juga menjadi sebuah institusi terpisah.

Secara definitif, bank digital berbeda dengan digitalisasi perbankan. Meminjam istilah populer, konsep bank digital umumnya disebut sebagai neobank yang populer sejak 2017. Sementara mengutip tulisan Neo Bank dan Masa Depan Retail Banking di Indonesia“, istilah bank digital sering didefinisikan sebagai challenger bank.

Challenger bank di dunia bahkan sudah mengantongi jutaan nasabah. Beberapa di antaranya adalah Nubank (Brasil), Monzo (Inggris), N26 (Jerman), dan Chime (Amerika Serikat).

Kembali pada definisi awal, bank digital atau neobank diartikan sebagai bank yang beroperasi berbasis online tanpa ada kantor cabang fisik. Bank digital menawarkan kemudahan akses dengan UI/UX yang ramah pemakaian. Dengan koneksi internet dan smartphone, siapa saja dapat membuka rekening dan mengakses layanan keuangan lainnya.

Bank digital juga memiliki peluang untuk dapat me-leverage journey pelanggan melalui pengembangan layanan keuangan penunjang dan menjadikan produknya sebagai produk keseharian nasabah.

Tentu konsep di atas berbanding terbalik dengan bank tradisional di mana layanan keuangan—meski sudah ada internet dan mobile banking—masih membutuhkan tatap muka dan kantor cabang fisik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bank adalah bisnis kepercayaan sehingga kontak fisik masih diperlukan.

Di Indonesia, bank digital kebanyakan dikaitkan pada layanan Jenius (2016) dan digibank (2017). Keduanya sering disebut sebagai pelopor bank digital pertama. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai produk spin off mengingat keduanya masih berada dalam naungan BTPN dan Bank DBS sebagai entitas utama.

Jenius dan digibank merupakan layanan berbasis aplikasi yang menawarkan produk dasar perbankan, yakni tabungan, pembukaan rekening online. Keduanya juga menawarkan layanan penunjang lain, seperti pengatur keuangan.

Tabel Jenius dan digibank / DailySocial
Tabel Jenius dan digibank / DailySocial

Jika akarnya adalah perluasan inklusi keuangan, Jenius dan digibank dapat dikatakan belum bisa dilabeli demikian. Hal ini karena keduanya mengincar segmen masyarakat yang sudah melek digital (digital savvy). Sementara, segmen unbanked cenderung belum memahami literasi keuangan.

Realisasi bank digital selanjutnya

Seiring semakin matangnya ekosistem dan teknologi, tahun 2020 tampaknya bakal menjadi tahun realisasi peluncuran bank digital di Indonesia. Beberapa rencana yang kami rangkum antara lain Bank Digital BCA, Bank Jago, dan Bank Yudha Bakti (BYB). Upaya untuk menjadi bank digital sebagai entitas baru ini semuanya dilalui lewat proses akuisisi.

Mengutip Kontan, BCA mencaplok Bank Royal senilai Rp988 miliar pada 2019. Bank Royal akan berganti nama menjadi Bank Digital BCA dengan target realisasi semester II 2020. Target pasarnya adalah segmen retail dan UMKM, berbeda dari portofolio utama induknya yang bermain di korporat. Bank Digital BCA sudah mengantongi izin dari OJK dan siap secara infrastruktur.

Diketahui, perusahaan juga disebut sedang menyiapkan P2P lending untuk Bank Digital BCA. Namun, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkap urung untuk meluncurkan layanan tersebut dalam waktu dekat. “Belum berani masuk P2P karena risikonya besar sekali, kami sedang persiapan dulu,” ujarnya seperti dikutip dari Katadata.

Tabel Bank Digital / DailySocial
Tabel bank digital / DailySocial

Selanjutnya, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago setelah diakuisisi bankir senior Jerry Ng dan Patrick Walujo. Menurut Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, pihaknya sedang merampungkan model bisnis dan menyempurnakan aplikasi yang ditarget meluncur sebelum kuartal IV 2020.
Mengutip Bisnis.com, Bank Jago bakal membidik segmen menengah dan mass market sebagai target utama. Selain itu, Bank Jago juga bakal berkolaborasi dengan platform digital di berbagai vertikal bisnis, seperti e-commerce, ride hailing, dan P2P lending.

DailySocial telah menghubungi reprenstasi BCA dan Bank Jago terkait realisasi bank digital ini, namun pihaknya masih enggan membuka informasi. “Direksi kami belum dapat menyampaikan informasi ke media karena saat ini sedang fokus menyiapkan aplikasi dan segala sesuatunya,” ungkap Senior Manager Bank Jago Nurul Kolbi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Berbeda dengan keduanya, Bank Yudha Bakti (BYB) mulai dikendalikan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menaungi layanan fintech Akulaku pada 2019. Masuknya Akulaku diharapkan dapat mempercepat proses transformasi digital BYB, yakni menjadi bank digital tanpa kantor cabang dan mengembangkan aplikasi mobile untuk meningkatkan penetrasi pasar.

DailySocial menghubungi Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo terkait hal ini. Menurut Indra, BRI memang tidak melakukan strategi serupa dengan bank di atas. Akan tetapi, BRI dinilai sudah melakukan transformasi besar untuk mejadi bank digital.

Untuk menjadi bank digital, Indra menilai BRI harus memaksimalkan keunggulan pada jaringan fisik. “Pemenangnya adalah yang dapat memadukan keunggulan fisik dan digital. Apapun entitasnya, baik BRI dan anak usaha, harus digital company. Tidak perlu ada dikotomi bank digital dan bank non-digital,” ungkapnya.

Tanpa dikotomi tersebut, ujarnya, BRI sudah memberikan sebuah value dari konsep bank digital dengan layanan perbankan berbasis digital. BRI menjadi bank pertama yang meluncurkan produk digital lending PINANG dan Ceria. Kemudian, bank pertama yang menyediakan layanan pembukaan rekening dengan proses KYC sepenuhnya berbasis digital.

Tabel Produk Digital BRI / DailySocial
Tabel Produk Digital BRI / DailySocial

Indra menekankan bahwa digital tidak bisa menggantikan kepercayaan, layanan, dan brand. Akan tetapi, tanpa digital, kita tidak bisa mendapatkan ketiganya. Artinya, bank dengan label ‘digital’ tidak serta-merta menjadi lebih terpercaya dibanding perbankan besar yang sudah bertransformasi digital.

“Sampai saat ini saya belum lihat ada bank digital atau neobank yang sukses di dunia. Bagi saya, pemenangnya adalah yang memadukan keunggulan fisik atau human touch dan digital. Istilahnya phygital,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Head of Digital Banking BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi mengaku bahwa kemunculan bank digital baru akan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital dan mendorong edukasi terhadap literasi finansial lebih baik. Bahkan, tren ini akan memunculkan peluang kolaborasi.

Terkait kemungkinan Jenius menjadi entitas terpisah, Irwan menegaskan bahwa Jenius saat ini tetap mendukung bisnis BTPN untuk memperluas segmen pasar yang telah dimiliki sebelumnya. Ia juga menekankan pada strategi utama melalui kokreasi dan kolaborasi dengan like-minded partner untuk mengembangkan produk yang relevan bagi customer.

“Dalam melakukan transformasi digital, BTPN meyakini digital menjadi inti bisnis dan value proposition, bukan saluran tambahan. Prioritas kami membangun ekosistem yang mendukung life finance dengan cakupan lebih luas sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat melek digital,” jelasnya.

Jenius menjadi hasil transformasi BTPN yang dikembangkan lewat proses kokreasi dan kolaborasi dengan ribuan digital savvy selama 18 bulan. Per Maret 2020, Jenius telah mengantongi lebih dari 2,5 juta pengguna. Perusahaan juga baru saja memperkenalkan fitur Bisniskit untuk pembilik bisnis baru dan Moneytory untuk membantu pengelolaan keuangan.

Regulasi dan tantangan

Saat ini penyelenggaraan bank digital masih berada dalam payung hukum bank konvensional. Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 12 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Belum ada payung hukum tersendiri untuk mengatur pembukaan rekening virtual.

Dalam regulasinya jelas dikatakan bahwa bank digital memiliki perbedaan dengan layanan digital perbankan (m-banking, SMS banking, e-banking, etc). Perbedaannya jelas bahwa seluruh layanan digital perbankan dapat diakses melalui smartphone.

Sementara di luar daripada itu, bank digital mencakup keseluruhan layanan perbankan dari administrasi rekening, otorisasi transaksi, pengelolaan keuangan, dan/atau pembukaan/penutupan rekening, tranksaksi digital, dan pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Menurut pengamat Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudistira, belum ada kebutuhan untuk merancang regulasi baru untuk mengakomodasi payung hukum bank digital. Terlebih, regulasi yang sudah ada baru diterbitkan pada 2018. Akan tetapi, Bhima menggarisbawahi bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek keamanan dan pemanfaatan data untuk pihak ketiga agar dapat diatur lebih ketat.

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa tren bank digital mendorong lanskap persiangan baru di sektor perbankan. Menurutnya, bank yang berinvestasi terhadap digitalisasi akan memperoleh pangsa pasar lebih besar dibandingkan bank yang tetap beroperasi secara konvensional.

“Kebutuhan terhadap digital banking semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet aktif di 2020 yang mencapai 175,4 juta orang. Artinya perbankan diharapkan memberikan layanan yang lebih cepat dengan biaya terjangkau, dan akses di manapun dan kapanpun,” ujarnya.

Jika bank digital terealisasi, dampaknya akan sangat besar, khususnya bagi kalangan milenial. Namun, bukan tanpa halangan bahwa perbankan juga dinilai perlu untuk melakukan edukasi untuk segmen pasar lain, seperti UMKM dan pedesaan. “Di sini pentingnya pengembangan bank digital harus diiringi oleh penambahan akses jaringan internet ke daerah terpencil dan terluar,” tutur Bhima.