Kenali 16 Startup Social Commerce Indonesia 

Dilansir oleh Data Reportal, jumlah pengguna media sosial di Indonesia tiap tahunnya meningkat. Pada Januari 2020 tercatat 160 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial dan tren ini akan terus meningkat. Pertumbuhan ini pun  dipandang menjadi kesempatan tersendiri bagi pelaku social commerce.

Sederhananya sebuah platform social commerce memanfaatkan jejaring yang dimiliki oleh pengguna akhir untuk melakukan transaksi jual-beli barang. Bisa melalui media sosial, aplikasi pesan, bahkan word of mouth. Laporan Mckinsey, juga menyebutkan sekitar 40% dari pasar e-commerce di Indonesia merupakan social commerce

Platform social commerce juga menjembatani mitra pedagang dengan brand principal yang membutuhkan sistem distribusi yang lebih efisien. Berikut ini daftar startup social commerce yang saat ini beroperasi di Indonesia:

Berkahi

Berkahi adalah platform untuk menjual produk-produk UMKM yang halal, aman, dan berkualitas, dengan visi dan tujuan untuk membantu pelaku-pelaku bisnis kecil dan perorangan untuk bersaing dengan perusahaan besar dan yang sudah maju.

Startup social commerce satu ini memungkinkan pelaku bisnis dapat akses ke ribuan produk halal dari dalam dan luar negeri. Proses pengemasan dan pengiriman dilakukan langsung dari gudang yang tersebar di berbagai wilayah, sehingga lebih efisien. Bagi pelaku UMKM sendiri biaya operasional dan fasilitas gudang tidak dikenankan biaya.

Ide perkembangan bisnis berkahi ini rampung pada November 2021 didirikan oleh tiga co-founder yaitu Rowdy Fatha (CEO), Turina Farouk (CTO), dan Andre Raditya Makmur (CMO). 

Saat ini berkahi masih mengandalkan pendanaan dari angel investor untuk menjalankan bisnisnya. Saat ini, Berkahi juga sedang mencari pendanaan tahap awal venture capital.

Chilibeli

Chilibeli adalah aplikasi belanja online kebutuhan sehari-hari yang berkualitas. Mengambil langsung dari petani, Chilibeli menjamin harga terbaik untuk semua. Memiliki visi untuk menyediakan produk dengan kualitas terbaik, segar dan langsung dari sumbernya ke setiap rumah dengan harga murah.

Alex Feng mendirikan perusahaan ni pada tahun 2019, Chilibeli terakhir kali mendapatkan pendanaan seri A dari Lightspeed Ventures senilai 160 Miliar Rupiah untuk mengekspansi bisnis yang lebih banyak lagi. Dikabarkan Chilibeli telah diakuisisi WeBuy untuk selanjutnya menjadi kendaraan mereka memasuki pasar Indonesia.

Credimart

CrediMart adalah startup social commerce berupa layanan grosir online yang menjual berbagai kebutuhan pokok. Mulai dari kopi, sabun, snack, hingga alat tulis dan obat-obatan — tersedia dalam bentuk potongan hingga karton. CrediMart akan mengantarkan pesanan ke lokasi bisnis dalam waktu 1 x 24 jam.

Salah satu fitur Credimart adalah Credistore, yang memudahkan penjual warung untuk melakukan stock lebih banyak dan praktis. Startup social commece yang ini didirikan oleh Gabriel Fans (CEO), Christian Lie (COO), Dekha Anggareska (CTO) pada tahun 2021.

Pendanaan seri A Credimart didapat melalui perusahaan induknya Credibook senilai 116 miliar Rupiah diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Insigna Ventures Partners, Wavemmaker Partners, Alpha JWC Ventures, dan lain-lain.

Dagangan

Dagangan ini lebih mengarah belanja sembako online grosir atau eceran. Menyediakan berbagai kebutuhan pokok seperti sembako, produk segar juga kebutuhan harian lainnya. Dagangan ini didirikan oleh Wilson Yanapresetya dan Ryan Manafe pada tahun 2016.

Fitur yang dimiliki dagangan sangat menarik. Mereka ini startup social commerce dengan model hub-and-spoke dalam operasionalnya. Dalam artian, membangun pusat pengadaan kebutuhan pokok atau micro fulfillment center (hub) ke kota lapis dua dan tiga dan pedesaan.

Pada bulan Apri 2022, Dagangan mendapatkan pra-seri B senilai 95 miliar Rupiah dari BTPN Syariah Ventura beserta Monk’s Hill Ventures dan Hendra Kwik yang turut serta melakukan penggalangan dana.

Dusdusan

Dusdusan adalah pemasok produk rumah tangga eksklusif yang memiliki komunitas reseller terbesar di Indonesia, lengkap dengan dukungan pelatihan dan materi promosi online dan offline. Visi dari dusdusan adalah menjadi komunitas reseller produk rumah tangga terbesar di Asia Tenggara.

Startup social commerce yang satu ini didirikan oleh Christian Kustedi dan Ellies Kiswoto pada tahun 2014.

Evermos

Evermos adalah sebuah platform social commerce reseller yang menjual berbagai macam produk-produk Muslim Indonesia. Startup social commerce Indonesia ini didirikan oleh Ghufron Mustaqim dan sejumlah rekannya pada tahun 2018.

Evermos ini menawarkan fitur yang menarik bagi pelaku ukm bisnis kecil yang belum memiliki modal, Bisa menggunakan platform yang satu ini.

Pada awal september 2021, Evermos mendapatkan pendanaan seri B dengan perolehan 427 miliar rupiah yang dilibatkan oleh UOB Venture Management dengan MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Future Shape, Jungle Ventures dan Shunwei Capital.

Grupin

Grupin merupakan startup social commerce Indonesia yang didirikan oleh Kevin dan rekannya Ricky Christie pada 2021. Layaknya aplikasi social commerce yang sudah ada, Grupin menawarkan pengalaman belanja berbasis komunitas kepada konsumen secara kolektif, tujuannya untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. 

Barang yang disediakan seputar kebutuhan sehari-hari seperti sembako, perlengkapan dapur, produk bayi, sampai elektronik. Untuk saat ini layanan tersebut baru tersedia untuk area Jabodetabek dan Bandung.

Dipimpin oleh Surge, Grupin mendapatkan pendanaan 42 miliar Rupiah untuk mengekspansi bisnis dan meningkatkan penjualannya.

Ibusibuk

IbuSibuk merupakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat ibu dengan membuka peluang bagi ibu-ibu untuk menambah penghasilan sebagai brand ambassador, KOL/Influencer (Momfluencer) untuk berbagai brand. Ini merupakan bagian dari Orami yang kini ada di bawah Sirclo Group.

Startup social commerce yang satu ini didirikan oleh Ferry Tenka pada tahun 2022. Investor saat ini digelontorkan oleh Sirclo.

Kitabeli

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

Pada tahun 2021 silam, Kitabeli mendapatkan seri A sebesar 144 miliar Rupiah, Hal tersebut ditunjukan untuk melakukan ekspansi bisnis beserta menggunakan program tersebut untuk mengeksplorasi persaingan bisnis social commerce di Indonesia.

Mapan

Startup social commerce ini awalnya adalah salah satu pionir agen layanan pulsadan PPOB (payment point online bank) yang beroperasi di pulau Jawa dan Bali. Setelah diakuisisi oleh Gojek pada tahun 2017, Founder Mapan yaitu Aldi Haroyopratomo mengaskan Mapan akan menjadi salah satu social commerce Indonesia yang mensejahterahkan masyarakat Indonesia dengan Go-Mapan.

Go-Mapan sendiri dinilai sangat efektif untuk masyarakat di Indonesia terutama pada kalangan keluarga driver dari Gojek dan sebagainya.

Otozilla

Otozilla Bertujuan untuk memperluas edukasi dan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya perawatan kendaraan pribadi yang digunakan sehari-hari, platform social commerce yang fokus kepada otomotif Otozilla diluncurkan. Salah satu fokusnya ialah mefasilitasi komunitas.

Startup social commerce yang satu ini didirikan pada tahun 2020 oleh Kenny Joseph. Sampai saat ini otozilla mendapatkan pendanaan pree-seed dari Angel Investor.

RateS

Rate adalah startup social commerce, meluncurkan aplikasi mobile terbaru mereka yang bernama RateS. Aplikasi yang berbasis social commerce ini memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk memulai bisnis online mereka dan menjual berbagai barang tanpa memerlukan modal awal.

RateS ini didirikan pada tahun 2018. RateS ini berbentuk social commerce yang memudahkan penggunaannya melakukan bisnis tanpa modal awal. Pada awal Januari 2022, RateS ini menutup pendanaannya yang dipimpin oleh KVision dari Kasikon Bank menjadi investor baru di putaran ini; turut andil juga investor sebelumnya yakni Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, dan Genesis Ventures senilai 85,8 miliar Rupiah. 

Selleri

Selleri adalah sebuah social commerce yang dimana untuk reseller ataupun dropshiper tanpa modal untuk berjualan.  Didirikan oleh Jayant Kumar (CEO), Najmudin Husein (COO), dan Firman Hasan (CCO). Selleri ingin memberdayakan masyarakat Indonesia dengan sistem reseller dan dropshipper agar mudah untuk berjualan tanpa ada modal sepersenpun,

Tahun lalu, Selleri berhasil mengantongi pre-seed sebesar $610.000 dari investor, atau setara dengan 8,7 miliar Rupiah. Venture Capital yang terlibat adalah Orbit Kejora-SBI.

Shox

Shox didirikan pada tahun 2013 oleh Sonat Yalcinkaya dan Rayi Pasca Febriani. Shox adalah platform berbasis komunitas untuk memenuhi kebutuhan rumah secara online yang dapat diakses hanya dari rumah dan dilengkapi dengan sistem pembayaran.

Selain memudahkan berbelanja kebutuhan rumah tangga, Shox telah membantu ratusan ibu untuk meningkatkan pendapatan hanya dari rumah dengan membuka peluang berwirausaha melalui komunitas Mitra Shox.

Shox sendiri mendapatkan pendanaan untuk pengembangan yang dipimpin oleh AC Ventures, Teja Ventures, dan sejumlah investor lainnya senilai 79 miliar Rupiah.

Super

Startup social commerce Indonesia yang satu ini mendapatkan pendanaan seri C senilai 1,5 triliun Rupiah pendanaan ini dipimpin New Enterprise Associates. Super merupakan platform social commerce pertama di Indonesia. Ini juga merupakan perusahaan teknologi konsumen Indonesia pertama yang didukung oleh Y Combinator, yang membawahi fitur utama, Superagent, Fitur tersebut adalah perdagangan yang dipimpin oleh agen yang memungkinkan para pemimpin komunitas menjadi pengecer di dalam komunitas mereka.

Super dirintis sejak 2018 oleh Steven Wongsoredjo, membawa diferensiasi yang memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mengirimkan barang-barang konsumen ke ribuan agen dalam waktu 24 jam dari waktu pemesanan. Super bermitra dengan ribuan agen komunitas seperti individu dan warung untuk mengumpulkan dan mendistribusikan barang bernilai jutaan dolar AS ke komunitas mereka setiap bulan.

Woobiz

Woobiz adalah social commerce yang mampu untuk memberdayakan perempuan di Indonesia untuk tertarik berbisnis atau usaha mikro. Woobiz sendiri didirikan pada tahun 2018 oleh  Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018.

Startup social commerce Indonesia yang satu ini memiliki fitur yang memudahkan para penggunanya untuk melacak atau mendukung bermitra lebih terjangkau melalui channel social neighbourhood community dan social sharing secara online.

WeBuy Mengonfirmasi Telah Akuisisi Chilibeli, Akan Jadi “WeBuy Indonesia”

Startup social commerce asal Singapura resmi mengakuisisi Chilibeli dengan nilai pembelian yang dirahasiakan. Mengutip DealStreetAsia, CEO WeBuy Vincent Xue menyebutkan akuisisi ini menjadi momentum yang tepat karena sejalan dengan upaya ekspansi WeBuy ke pasar Indonesia.

“Sumber daya yang dimiliki Chilibeli saat ini, baik dari group leader, warehousing, dan para stafnya itu sinergis dengan bisnis kami. Dengan kekuatan supply chain WeBuy di global, teknologi, fitur produk, kami akan menjadi platform social e-commerce terdepan di Asia Tenggara,” ungkap Xue.

Dikonfirmasi secara terpisah, Partner di Centauri MDI-KB Kenneth Li menambahkan pihak terkait belum menentukan rencana lebih lanjut terkait langkah Chilibeli ke depan.

Next phase belum diputuskan karena proses [akuisisi] baru selesai. Chilibeli memang diakuisisi WeBuy, tetapi tidak stop beroperasi. Nanti operasionalnya akan menjadi WeBuy Indonesia,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.id.

Pada pemberitaan kami sebelumnya, WeBuy sempat dikabarkan menjadi kandidat kuat untuk mencaplok Chilibeli. Kabar ini berhembus kala Chilibeli diterpa masalah pada operasionalnya yang dihentikan sementara pada Februari lalu. Alasan yang disampaikan ke publik adalah pemindahan server dan deep cleaning resource. Chilibeli juga merumahkan sejumlah pegawai.

WeBuy diketahui tengah memperluas pasarnya ke Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia. WeBuy membidik Indonesia karena penetrasi media sosial dan pasar ekonomi digitalnya sangat besar. Adapun, WeBuy beroperasi di Indonesia sejak September 2021.

Sekadar informasi, WeBuy merupakan portofolio MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, dan Rocket Internet. Saat ini WeBuy melayani sebanyak 3000 group leader dan 100.000 konsumen dari Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Sementara, Chilibeli didirikan oleh Alex Feng, Damon Yue, dan Matt Li di 2019. Chilibeli mengantongi pendanaan seri A senilai $10 juta pada Maret 2020 yang dipimpin oleh Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Perusahaan mengandalkan konsep bisnis C2M (customer to manufacturer) dalam menjembatani produk segar dari petani ke konsumen akhir dalam jumlah komunitas. Konsep tersebut hadir untuk mendorong efisiensi logistik dan memastikan kesegaran produk hingga di tangan konsumen.

Tantangan online grocery

Tren layanan online grocery yang memakai model social commerce maupun quick commerce tengah tumbuh di Indonesia. Hal ini sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar di masa pandemi Covid-19.

Di tengah popularitas layanannya, online grocery masih akan menemui berbagai kerikil untuk meningkatkan penetrasinya di pasar. Salah satunya adalah tantangan untuk mengubah perilaku belanja ke online, terutama bagi kalangan ibu rumah tangga yang masih terbiasa berbelanja di pasar tradisional

Sejauh ini, model yang cukup banyak diadopsi adalah B2C dan B2B. Di segmen B2B, model ini dinilai lebih stabil karena ada kepastian demand dan supply dengan pesanan dalam jumlah besar dan permintaan secara berkala. Contohnya permintaan bahan pokok segar ke industri restoran atau perhotelan.

Sementara di B2C, Managing Partner Tunnelerate Ivan Arie Sustiawan menilai bahwa model ini akan sulit dijalankan bagi platform yang punya modal terbatas untuk subsidi di perang harga dan logistik. Kedua hal tersebut menjadi elemen penting untuk mempertahankan loyalitas pelanggan mengingat konsumen Indonesia cenderung menyukai promo/diskon.

Menurutnya, untuk memenangkan pasaronline grocery/agritech di B2C, startup perlu membangun dan menerapkan model supply chain yang paling sustainable dan efisien dari hulu ke hilir. Mereka juga perlu memikirkan profitable assortment strategy bagi bisnisnya. “Don’t sell everything to everyone for the instant or quick commerce where you do the self-fulfillment,” tuturnya kepada DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Behind the Rumors around “Chilibeli” Social Commerce

Social commerce startup Chilibeli is temporarily closing its operations, at least until the end of this month. Public’s been told that the reason is server relocation and deep cleaning of resources. The employees are getting laid off and promised that this month’s salary will be disbursed soon.

The management is said to have conveyed the employees that they had tried their best to save the company. According to reliable sources, Chilibeli is still having difficulty on securing the Series B fundraising since last year.

The company is reportedly considering to sell the business. Two unicorn startups are said to have explored potential acquisitions, however, the strongest candidate is rising. WeBuy, a similar startup from Singapore, is highly rumored to be taking over Chilibeli’s business.

WeBuy has been available in Indonesia since September 2021. This company is a portfolio of MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, and Rocket Internet.

We haven’t received a confirmation from Chilibeli’s management and its investors regarding this matter.

Chilibeli was founded by Alex Feng, Damon Yue, and Matt Li in 2019. They announced a Series A funding round of $10 million in March 2020. The round was led by Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, and Alto Partners.

The company relies on the C2M (customer to manufacturer) business concept in bridging fresh products from farmers to final consumers in a number of communities. The concept exists to encourage logistics efficiency and ensure product freshness to reach consumers’ hands.

Chilibeli was participated in Surge’s Accelerator Program batch 2.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gonjang Ganjing Startup “Social Commerce” Chilibeli

Startup social commerce Chilibeli saat ini sedang menutup operasional secara sementara, setidaknya sampai akhir bulan ini. Alasan yang disampaikan ke publik adalah pemindahan server dan deep cleaning resource. Para pegawainya sudah mulai dirumahkan dengan janji gaji bulan ini masih bakal cair.

Disebutkan manajemen menyampaikan ke para pegawai bahwa mereka sudah berusaha maksimal untuk menyelamatkan perusahaan. Menurut sumber terpercaya, Chilibeli masih kesulitan mendapatkan pendanaan Seri B yang digalang sejak tahun lalu.

Perusahaan dikabarkan sudah menjajaki potensi menjual bisnis. Ada dua startup unicorn yang sempat menjajaki potensi akuisisi, namun kini muncul kandidat kuat WeBuy, startup sejenis asal Singapura, sebagai pihak yang dikabarkan bakal mengambil alih bisnis Chilibeli.

WeBuy sudah beroperasi di Indonesia sejak September 2021. Perusahaan ini merupakan portofolio MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, dan Rocket Internet.

Kami belum mendapatkan jawaban dari manajemen Chilibeli dan investornya terkait hal ini.

Chilibeli didirikan oleh Alex Feng, Damon Yue, dan Matt Li di tahun 2019. Mereka mengumumkan perolehan pendanaan Seri A sebesar $10 juta pada Maret 2020. Putaran tersebut dipimpin Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Perusahaan mengandalkan konsep bisnis C2M (customer to manufacturer) dalam menjembatani produk segar dari petani ke konsumen akhir dalam jumlah komunitas. Konsep tersebut hadir untuk mendorong efisiensi logistik dan memastikan kesegaran produk hingga di tangan konsumen.

Chilibeli mengikuti program akselerasi Surge batch kedua.

Application Information Will Show Up Here

Lightspeed Venture Partners Ekspansi ke Asia Tenggara, Indonesia Jadi Target Utamanya


Dalam startup report yang dirilis oleh DailySocial awal tahun 2020 lalu terungkap, pada 2019 ada 113 pengumuman pendanaan startup. Dari 59 transaksi dengan nilai yang diungkapkan, dana yang terkumpul mencapai $2,9 miliar. Gojek mendominasi dengan investasi $ 2 miliar.

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah transaksi terpantau meningkat meski nilainya cukup dinamis.Tercatat sedikitnya terdapat 11 venture capital yang cukup aktif melakukan investasi. Mulai dari East Ventures, Alpha JWC Ventures, Skystar Capital, hingga Intudo Ventures.

Tahun 2020 lanskap startup di Indonesia juga diwarnai dengan berbagai pendanaan. Meskipun diganggu pandemi, namun tidak menyurutkan niat investor untuk memberikan dana segar kepada startup logistik, edutech, aquaculture, agriculture, hingga healthtech. Kondisi tersebut membuktikan adanya potensi besar di pasar Indonesia. Tak heran investor dari berbagai negara berbondong-bondong mencoba peruntungan di ekosistem ini.

Salah satu venture capital global yang berencana melakukan ekspansi di Asia Tenggara saat ini adalah Lightspeed Venture Partners. Indonesia menjadi pasar terbesar yang kemudian diincar oleh mereka.

“Indonesia, secara khusus, adalah populasi internet terbesar ke-4 di dunia dan merupakan pasar yang bagus untuk pendekatan investasi kami karena banyaknya perusahaan rintisan teknologi yang menarik. Wilayah ini memiliki populasi muda yang paham digital, ekosistem startup yang tumbuh cepat, serta kebijakan dan platform yang mengutamakan digital yang hanya akan mempercepat digitalisasi dan inovasi,” kata Partner & Regional Head Lightspeed Venture Partners Akshay Bhushan kepada DailySocial.

Kategori startup dan rencana ekspansi

Chilibeli salah satu portofolio milik Lightspeed
Chilibeli salah satu portofolio milik Lightspeed

Sebelumnya Lightspeed telah berinvestasi pada beberapa startup asal Indonesia, di antaranya startup penyedia platform social commerce Chilibeli, aplikasi B2B marketplace Ula, serta perusahaan penyedia solusi pemenuhan gudang dan pengiriman barang Shipper.

Perusahaan yang berkantor pusat di Silicon Valley ini juga telah menanamkan modalnya pada Grab dan penyedia software kecerdasan buatan bagi sektor enterprise NextBillion.ai.

Bersifat agnostik, Lightspeed ingin memberi dukungan kepada para founder yang bisa memecahkan persoalan unik di Asia. Mulai dari sektor transformatif seperti perdagangan, fintech, edtech, dan SaaS. Lightspeed telah menyiapkan dana sebesar $4 miliar yang baru saja diraih dari pendanaan global.

“Kami terus fokus pada misi inti kami dalam membantu wirausahawan yang berani membangun perusahaan yang mendistrupt masa depan. Melalui semua siklus, naik dan turun, kami tetap setia pada misi ini dan ini adalah fokus kami. Kami tidak berkomentar tentang penggalangan dana sebagai kebijakan kami,” kata Akshay.

Saat pandemi tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pendiri startup untuk tetap bisa bertahan menjalankan bisnisnya. Menurut Akshay belajar dari pengalamannya, idealnya semua startup harus kembali fokus kepada misi awal perusahaan. Kegiatan pivoting hingga diversifikasi lebih baik dihindari. Di Indonesia sendiri saat ini sudah banyak startup yang menghadirkan layanan baru hingga melakukan pivoting, agar tetap bisa bertahan menjalankan bisnis dan menjaga kesejahteraan pegawai.

“Selama periode ketidakpastian ini, bisnis perlu kembali ke dasar dalam hal kecintaan pelanggan dan pengelolaan arus kas. Perusahaan portofolio kami berfokus pada disiplin keuangan dan memperkuat bisnis inti mereka dan sebagai hasilnya, sebagian besar dari mereka menjadi lebih kuat. Byju adalah contoh bagus yang telah tumbuh secara signifikan selama beberapa bulan terakhir. Covid-19 telah mempercepat kebutuhan digitalisasi dan inovasi untuk memastikan kesinambungan bisnis, sehingga para pendiri harus bertujuan untuk beralih ke pergeseran digital di pasar mereka.” tutup Akshay.

Chilibeli Introduces Chilimart, to Start Exploring B2B Model

Chilibeli introduces a special B2B platform called Chilimart targeting micro-entrepreneurs. Chilibeli was previously known as a community-based social commerce platform.

Chilibeli’s B2B Sales Manager Novel Leonardo explained that Chilimart has actually been operating since December last year. Chilimart was first designed to reach SMEs.

“The point is, we want to help MSMEs with Chilimart in terms of supply chain process and availability,” Novel said in a virtual press conference (26/8).

Based on the data collected by Chilibeli , there are nearly 65 million SMEs existed in Indonesia. Of this number, 63 million of those are called micro-enterprises. In other words, this micro-business has a central role in the domestic economy.

Entering the B2B segment

Through Chilimart, they are targeting micro-businesses such as vegetable shops, food stalls, grocery stores as their markets. They claim the products sold on the platform are very affordable because they go through a more efficient process including getting first hand supplies.

“Chilimart can directly take from the first hand, with the farmers or the main supplier so that we can get cheaper prices,” added Novel.

Chilibeli’s entrance into the B2B platform means to stir up the fierce battle in the online grocery vertical. Several other players have already implemented this model, including TaniHub and Kedai Sayur.

Novel explained the differentiation of Chilimart from its competitors is that its products are multi-segmented. That means Chilimart does not only provide food such as vegetables and meat but also fruits, instant food and drinks, spices, staples, to health and hygiene products.

In addition, Novel guarantees that their platform can deliver early in the morning as long as confirmation of orders can be made before three in the afternoon. “We invest in our logistics team, therefore, we can run at such hours,” he explained.

Side to side operation

Chilibeli claims Chilimart currently has 10,000 users from all of their operational areas, from Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, and Bandung. Especially in Jabodetabek, users are claimed to be around 6,000 users.

Nevertheless, Novel highlighted the fact that Chilimart complements the Chilibeli ecosystem. It means, they still maintain the concept of community-based social commerce.

“We are still social commerce after all. You could say we are still going both ways. There is a special team dedicated to the two businesses,” concluded Novel.

In addition, Chilibeli also collaborates with Lazada. It has been ongoing since last June. Through this collaboration, Chilibeli can distribute their food ingredients on the Lazada platform. The available food ingredients include vegetables, fruits, meat, eggs, and salted fish.

“Chilibeli is collaborating with Lazada to provide easier access for our customers. Since joining Lazada, Chilibeli has served hundreds of new customers with an increase of more than 1,500 orders in the last 3 months,” Chilibeli’s B2C Commercial Manager, Fintia said in a written statement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perkenalkan Chilimart, Chilibeli Kini Selami Model B2B [UPDATED]

Chilibeli memperkenalkan platform khusus B2B bernama Chilimart. Chilimart ini memilih pengusaha mikro sebagai target pasar mereka. Chilibeli sebelumnya lebih dulu dikenal sebagai platform social commerce berbasis komunitas.

Sales Manager B2B Chilibeli Novel Leonardo menjelaskan bahwa Chilimart sejatinya sudah mulai digulirkan sejak Desember tahun lalu. Chilimart didesain dari awal untuk menjangkau UKM.

“Intinya dengan Chilimart ini kita ingin membantu UMKM dalam segi supply chain process dan ketersediaannya,” ucap Novel dalam konferensi pers virtual (26/8).

Berdasarkan data yang Chilibeli kumpulkan, UKM di Indonesia berjumlah hampir 65 juta unit. Dari angka tersebut, 63 juta di antaranya mereka sebut merupakan usaha mikro. Dengan kata lain usaha mikro ini punya peran sentral terhadap perputaran ekonomi di dalam negeri.

Merambah B2B

Melalui Chilimart, mereka mengincar usaha mikro seperti toko sayur, warung makan, toko kelontong sebagai pasar mereka. Mereka mengklaim produk yang dijual di platform lebih terjangkau karena melalui proses yang lebih efisien termasuk memperoleh pasokan dari tangan pertama.

“Chilimart bisa langsung mengambil dari tangan pertama yakni petani atau supplier utama sehingga kita bisa mendapatkan harga lebih murah,” imbuh Novel.

Masuknya Chilibeli ke platform B2B berarti menambah sengit pertarungan di vertikal online grocery. Beberapa pemain lain yang sudah lebih dulu bermain dengan model ini di antaranya adalah TaniHub dan Kedai Sayur.

Novel menjelaskan yang membedakan Chilimart dengan kompetitor adalah produk mereka multi-segmen. Itu artinya Chilimart tidak hanya sekadar menyediakan pangan seperti sayur mayur dan daging, tapi juga buah-buahan, makanan dan minuman instan, bumbu, bahan pokok, hingga produk kesehatan dan kebersihan.

Di samping itu Novel menjamin bahwa platform mereka dapat melakukan pengantaran pada pagi dini hari asal konfirmasi pesanan dapat dibuat sebelum pukul tiga sore. “Kami investasi di tim logistik kami agar bisa masuk di jam-jam seperti itu,” terangnya.

Berjalan beriringan

Chilibeli mengklaim Chilimart saat ini sudah memiliki 10 ribu pengguna dari semua wilayah operasional mereka yakni Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Bandung. Khusus di Jabodetabek, penggunanya diklaim sekitar 6.000 pengguna.

Kendati demikian, Novel menekankan bahwa Chilimart ini melengkapi ekosistem Chilibeli. Itu artinya, mereka tetap mempertahankan konsep social commerce berdasarkan komunitas.

“Kita tetap social commerce. Bisa dibilang kita tetap jalan dua-duanya. Ada tim khusus yang didedikasikan ke dua bisnis tersebut,” pungkas Novel.

Di samping memperkenalkan platform Chilimart, Chilibeli juga menjalin kerja sama dengan Lazada. Kerja sama keduanya sudah terwujud sejak Juni kemarin. Melalui kolaborasi ini, Chilibeli dapat menyalurkan bahan pangan mereka di platform Lazada. Adapun bahan pangan yang tersedia meliputi sayur-mayur, buah-buahan, daging, telur, hingga ikan asin.

“Chilibeli bergabung dengan Lazada untuk memberikan akses lebih mudah bagi pelanggan kami. Sejak bergabung dengan Lazada, Chilibeli telah melayani ratusan konsumen baru dengan peningkatan hingga lebih dari 1,500 order dalam 3 bulan terakhir,” ucap Commercial Manager B2C Chilibeli Fintia lewat pernyataan tertulis.

 

*Update: Kami menambahkan informasi kerja sama Chilibeli dengan Lazada.

Application Information Will Show Up Here

Indonesian Agritech’s Top Three Bucket List for The First Quarter of 2020

Agritech has become one of the essential segments in the industry for its representation of Indonesian culture. Agriculture held one-third of Indonesian land and workers. Technology has a crucial role to increase productivity in this industry due to the decreasing talent for the last decade.

Otherwise, the country should import more in order to feed its citizen. In 2025, Indonesian population is predicted to increase by 11 million from the current position at 270 million people.

Quoted from CompassList research project report titled “Indonesia Agritech Report 2020” released in March, the world is currently struggling with food supply crisis due to the Covid-19 pandemic. The global food supply chain is tightening for some countries are lockdown and stop exporting.

Most businesses are getting suspended as life continues, amid efforts to curb the spread of the virus. These conditions show the importance of maintaining food security – and national agriculture.

The report shows high optimism for agritech, given the sector is relatively new in Indonesia. As Chilibeli secured series A funding in March 2020, it shows a bright future in this sector. Chilibeli has just launched in less than a year.

“More efficient and equitable agricultural practices will pave the way for sustainable agriculture in Indonesia, benefiting farmers, resources and the community. This helps create a stronger agricultural sector, which in turn will support Indonesia’s food security and economic growth,” the report stated.

Require more deep-tech innovation

CompassList listed four categories for the current operational agritech. It’s based on funding, e-commerce, education and assistance, also technology development. In structural, it shows the highest concentration of agritech startups.

UMG Idealab‘s Investment & Venture Partner, Jefry Pratama said, the act of selling agriculture commodities is the simplest and most certain way for agritech startup to gain profit. Of all the highlighted startups, they utilize the e-commerce sector or market the products offline.

To date, the deep-tech startup in this industry only works with AI, data analytics, and robotics. There is no further deep-tech (a new technology that offers significant improvement of the current issue), such as genetical manipulation.

Source: CompassList
Source: CompassList

Startups took part in this sector includes Habibi Garden, BIOPS, HARA, and JALA. Each startup has a certain tech specialization in data collecting, farmers can translate daily and take action instantly.

JALA, for example, has been using series of sensors to detect water quality in shrimp ponds, salinity, and pH rate to oxygen. The data is to be sent to the cloud-based media analytics for further diagnosed options to improve water quality.

Shrimp farmers can eventually distribute less feed for exceeding feed can impact on the final quality. It should reduce shrimp waste and loss, also increasing yields.

The lack of deep tech innovation might occurs due to various factors. Starting from the lack of available talent, campus support, research institutions, large corporations. These entities have an important role in carrying the development costs (R&D) for certain sectors. This is where most likely the first time innovation has been found.

However, these issues are not impossible to overcome, as UMG Idealab did, the incubator and CVC from the conglomerate from Myanmar UMG. They invested in PT Mitra Sejahtera Pembangunan Bangsa (MSMB), an agritech startup focused on creating sensors, drones, and mobile applications for farmers.

Uniquely, the MSMB was founded by lecturers and students from UGM. The staff consists of students, recent graduates, and lecturers from local campuses in Yogyakarta and surrounding areas.

Other factors are also reflected in supporting infrastructure such as logistics and supply chain. India is more or less the same as Indonesia, although it cannot be generalized. Both are countries with large areas with infrastructure development that are still late in the countryside.

R&D becomes essential

The existence of an R&D center for a business is important, not just for agritech. To encourage more local farmers to increase their crop yields and reduce potential losses, more high-quality seed production is needed, developing better disease diagnosis tools, and new hardware.

Startups are yet to have the resources to create their own R&D, therefore, they become obstacles to entering “deep biotech” in seed development. They will take advantage of collaboration with local universities, such as IPB and UGM. The campus is equipped with expertise and facilities to pursue cross-marriages, genetic engineering and other basic science projects.

Unfortunately, this country still lacks funds to build R&D center. In 2018, the overall R&D budget will be Rp. 25.8 trillion or 0.2% of total GDP.

Source: CompassList
Source: CompassList

This condition encourages each stakeholder to collaborate to create superior seed varieties. Many multinational companies are financially supported through collaboration with local players and the central government, as well as with their own budgets. Collaboration like this can accelerate the discovery of seed development that suits local needs and conditions, such as varieties that are more resistant to drought.

“The government can play a more active role in developing Indonesian agriculture to be more resilient. We need to fund R&D in Indonesia, “added Pamitra Wineka’s Co-Founder & President TaniGroup.

Initiatives to accelerate logistics

The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) estimates as much as 120 kg to 170 kg of food per capita is lost or wasted every year in South and Southeast Asia. This is homework for Indonesia to improve logistics and supply chain infrastructure to prevent the loss of food.

ADB statistics link 25% -45% of the results of this decay due to poor packaging, inadequate cooling systems, and long delivery times.

Here the role of government and private sector is needed to reduce post-harvest losses. You do this by building a warehouse, a packing place, a cooling place close to agricultural land and fisheries. Food delivery vehicles must also be improved through better road conditions and vehicles that can adjust the temperature.

TaniGroup created a logistics subsidiary, TaniSupply, in September 2019 to address imbalances in the supply chain. Then, 8villages worked with agricultural intermediaries to create VLOGS, gathering data on logistics providers in a platform to help farmers find logistical partners.

If small farmers from neighboring villages can agree to the same logistics provider, for example, they can increase their bargaining power by collectively asking for lower shipping rates.

Tokopedia also made a similar initiation by making a branch store, a smart warehouse that can predict which items sell best in the nearest city. All traders, even micro, can place their stock in warehouses based on predicted purchasing trends.

This model can be adopted for agricultural products because farmers and fishermen have more or less the same challenges as online traders in Tokopedia.

Simplifying modes of transportation and supply chains undoubtedly results in reduced post-harvest losses. There is a need for intensive initiatives from startups and the government to strengthen local food, allowing fresh products to be easily accessible to consumers without any middlemen who bother.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga Catatan Agritech Indonesia Sepanjang Kuartal Pertama 2020

Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.

Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.

Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.

Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.

Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.

“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.

Butuh lebih banyak inovasi deep-tech

CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.

Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.

Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.

JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.

Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.

Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.

Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.

Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.

Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.

Keberadaan R&D semakin dibutuhkan

Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.

Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.

Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.

“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.

Inisiatif percepat logistik kian beragam

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.

Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.

Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.

TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.

Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.

Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.

Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.

Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.

Chilibeli Kantongi Pendanaan Seri A 160 Miliar Rupiah yang Dipimpin Lightspeed Ventures

Lightspeed Ventures memimpin pendanaan seri A senilai US$10 juta (sekitar 160 miliar Rupiah) untuk layanan social commerce Chilibeli. Di pendanaan ini juga berpartisipasi sejumlah investor lain, termasuk Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Penutupan pendanaan ini disampaikan ke publik hari ini. CEO Chilibeli Alex Feng sudah mengabarkan kepastian pendanaan ini sejak awal Maret ini.

Alex mengatakan dana tersebut akan digunakan memperkuat sejumlah lini bisnis mereka. Salah satu prioritas mereka adalah memperkuat jaringan komunitas mereka, yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, dan Depok, serta memperluas jaringan mereka di Bekasi dan Bogor.

Alex juga menambahkan bahwa dana tersebut juga akan dipakai untuk mempercanggih user interface dan user experience aplikasi mobile mereka, serta meningkatkan fasilitas gudang mereka yang terletak di Depok.

“Dukungan yang kuat dari investor ternama ini krusial dalam memperkuat dan meningkatkan skala pertumbuhan kami di masa depan serta terus memberikan dampak yang berarti untuk masyarakat,” imbuh Alex.

Model bisnis Chilibeli mengandalkan jejaring komunitas, khususnya ibu rumah tangga. Melalui jaringan ini, Chilibeli menjajakan produk sembako mereka, khususnya sayur-mayur dan aneka buah, langsung ke tangan konsumen.

Model ini mengakali tantangan yang kerap dihadapi pelaku agritech dalam mendistribusikan bahan pangan segar. Chilibeli mengklaim hingga saat ini hanya mereka agritech yang memakai model tersebut di Indonesia.

Akshay Bhushan, Partner Lightspeed Ventures, menyebut upaya Chilibeli akan menjadi skala baru bagi platform social commerce di Indonesia dan Asia Tenggara. Keyakinan Lighstpeed memimpin babak pendanaan ini ia sebut datang dari pengalaman mereka berinvestasi di sejumlah startup ternama, seperti Pinduoduo, Snapchat, Udaan, dan Sharechat.

“Kekuatan platform social commerce Chilibeli berasal dari pemberdayaan komunitas lokal di kelas menengah Indonesia melalui akses ke produk yang bernilai dan terjangkau sembari memajukan mata pencaharian petani, ibu rumah tangga, dan UMKM yang ada di ekosistem Chilibeli,” imbuhnya.

Social commerce diyakini banyak pihak sebagai subsektor yang belum banyak dijamah pelaku bisnis. Chilibeli mencatat sekitar 20% penghasilan rumah tanggal habis untuk kebutuhan bahan makan pokok. Itu sebabnya mereka yakin ruang tumbuh mereka masih cukup besar.

Dalam wawancara dengan DailySocial sebelumnya, Alex Feng percaya diri timnya bisa terus mengantongi profit. Alex menargetkan tahun ini Chilibeli mendapat pemasukan hingga Rp1,6 triliun. Selain itu ia juga berniat membuka putaran pendanaan seri B pada kuartal kedua atau ketiga tahun ini. Tahun ini juga mereka berencana melebarkan layanannya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Babak pendanaan ini resmi menjadikan Chilibeli sebagai perusahaan seri A hanya dalam kurun 7 bulan sejak berdiri. Salah satu startup dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here