Init-6 Invests in the “Showwcase” Community Platform fo Developers

After channeling investment in local cloud service provider IDCloudHost, in early 2022, Init-6 announced another funding to Showwcase.

Showwcase is a US based startup that specifically provides a professional network designed to connect developers, build communities, and discover new opportunities. Due to the increasing number of developers today, making platforms like Showwcase is considered very relevant.

This is a seed round funding and the value is undisclosed. In total, Init-6 has currently invested in 15 portfolios. Most of them are startups from Indonesia. Showwcase, in fact, has plans to expand in Indonesia.

Init-6’s Partner, Nugroho Herucahyono revealed to DailySocial that they invested in Showwcase because of the lack digital talents. There is an imbalance between supply and demand for tech talents.

“One of the problems that we observe is the lack of solutions that can accommodate the needs of tech talent to connect, share knowledge, showcase technology skills, and find opportunities in the technology community. Seeing that problem, we believe Showwcase can be the answer to represent the needs of technology talent in the market. We believe that the Showwcase platform can bridge the supply and demand gap for technology talent.”

Launched in 2020, Init-6 was founded with focus on investing in early-stage startups. Init-6 made its first investment into the edtech platform Eduka. Throughout 2022, they plan to invest in more startups in Indonesia.

Platfotm for developers

The increasing number of training platforms, such as coding classes and coding bootcamps, has generate more developers in Indonesia. However, there are not many platforms that provide opportunities for them to create networks and broaden their insights. In the future, Showwcase wants to be a forum for developers in Indonesia to establish online connection.

A local platform that prior to offer a similar concept was Dicoding. Since the beginning, Dicoding has utilized its website platform to reach developers and potential developers in Indonesia. There are several activities that can be followed through the website, ranging from developer competitions, developer events, and learning channels with programming topics.

Another platform that offers a similar concept is Kotakode. the platform also functions as a channel for Q&A for programmers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Init-6 Berikan Pendanaan Kepada Platform Komunitas Developer “Showwcase”

Setelah sebelumnya berinvestasi di penyedia layanan cloud lokal IDCloudHost, awal tahun 2022 ini Init-6 kembali mengumumkan pendanaan kepada Showwcase.

Showwcase adalah startup asal Amerika Serikat yang secara khusus menghadirkan jaringan profesional yang dibangun untuk developer agar saling terhubung, membangun komunitas, dan menemukan peluang baru. Karena semakin banyak jumlah developer yang hadir secara online saat ini, menjadikan platform seperti Showwcase dinilai sangat relevan untuk mereka.

Putaran pendanaan kali ini adalah pendanaan tahap awal yang diterima oleh Showwcase. Tidak disebutkan lebih lanjut nilai investasi yang diberikan. Secara total saat ini Init-6 telah memiliki sekitar 15 portofolio. Sebagian besar adalah startup asal Indonesia. Saat ini Showwcase memiliki rencana untuk melakukan ekspansi di Indonesia.

Kepada DailySocial.id, Partner of Init-6 Nugroho Herucahyono mengungkapkan alasan mereka memberikan pendanaan kepada Showwcase adalah masih sedikitnya talenta digital saat ini. Ada ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan untuk talenta teknologi.

“Salah satu masalah yang kami amati adalah kurangnya solusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan talenta teknologi untuk terhubung, berbagi pengetahuan, menunjukkan keterampilan teknologi, dan menemukan peluang di komunitas teknologi. Melihat masalah itu, kami yakin Showwcase bisa menjadi jawaban untuk mewakili kebutuhan talenta teknologi di pasar. Kami yakin bahwa platform Showwcase dapat menjembatani kesenjangan penawaran dan permintaan untuk talenta teknologi.”

Diluncurkan pada tahun 2020 lalu Init-6 didirikan dengan fokus mereka yaitu berinvestasi ke startup tahap awal. Init-6 memberikan investasi perdananya ke platform edtech Eduka. Rencananya sepanjang tahun 2022 ini, akan ada lagi rencana investasi Init-6 untuk startup di Indonesia.

Pertumbuhan platform untuk developer

Makin bertambahnya platform pelatihan seperti coding class hingga coding bootcamp, telah melahirkan developer baru di Indonesia. Namun demikian belum banyak platform yang memberikan peluang untuk mereka membuka jaringan dan memperluas wawasan. Showwcase ke depannya ingin menjadi wadah bagi para developer di Indonesia untuk menjalin relasi secara online.

Platform lokal yang sebelumnya juga menawarkan konsep serupa adalah Dicoding. Sejak awal, Dicoding memanfaatkan platform website yang dimiliki untuk menjangkau pengembang dan calon pengembang di Indonesia. Ada beberapa kegiatan yang bisa diikuti melalui web Dicoding, mulai dari kompetisi developer, acara developer, hingga kanal pembelajaran dengan topik pemrograman.

Platform lain yang menawarkan konsep serupa adalah Kotakode. Kotakode juga berfungsi sebagai kanal tanya jawab dan diskusi para programmer.

Tantangan Membangun Komunitas dalam “Social Commerce”

Komunitas menjadi sebuah elemen penting dalam membangun dan menjalankan bisnis. Layaknya supporting system, sebuah komunitas merupakan tempat untuk orang-orang dengan pemikiran yang sama berkumpul dan menjalin relasi.

Dalam dunia bisnis, utamanya online, komunitas dapat memberikan pengaruh besar karena bisa menambah koneksi, berbagi wawasan, meningkatkan kepercayaan diri dalam berbisnis, dan tentunya memperluas jangkauan pasar. Hal ini berlaku pada berbagai jenis layanan atau bisnis, tidak terkecuali social commerce.

Sebagai layanan yang mengandalkan interaksi sosial untuk menjangkau pasar, tentunya komunitas menjadi salah satu ujung tombak bisnis social commerce. Hal ini turut diamini oleh Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq yang mengisi sesi diskusi #SelasaStartup di hari Selasa (24/8) lalu.

Dalam diskusi ini, para Co-Founder berbagi pengalaman mengenai peran komunitas dalam keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, mereka juga turut mengungkapkan betapa pandemi memiliki efek samping yang luar biasa terhadap para partner/agen maupun perusahaan. Berikut beberapa poin yang dapat diambil dari acara #SelasaStartup yang bekerja sama dengan Endeavor Indonesia dengan topik Scale up 101: Building the Community.

Sesi #SelasaStartup bersama Meyer Food, Evermos, dan Endeavor

Menumbuhkan rasa percaya dan dampak positif

Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi masih ada saja masyarakat yang masih belum mau berbelanja menggunakan platform daring. Mereka lebih memilih untuk datang ke tempat dan menilai secara langsung produk-produk yang ingin mereka beli. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah rasa tidak percaya.

Ilham mengaku bahwa salah satu alasan Evermos dibentuk adalah untuk menjangkau konsumen yang masih enggan berbelanja disebabkan kurangnya rasa percaya terhadap platform-platform online. Lalu mereka mencoba masuk ke pasar yang lebih konvensional dengan perpanjangan tangan reseller. Dengan begitu, rasa percaya akan mulai tumbuh seiring konsumen menikmati pengalaman berbelanja yang lebih modern.

Sedikit berbeda dengan layanan Meyer Food yang dilatarbelakangi oleh keluarga salah satu Co-Founder Renny Lim yang merupakan pemilik bisnis supplier daging ayam. Perusahaan memiliki jajaran Co-Founder para wanita, salah satu misi mereka adalah untuk memberdayakan ibu rumah tangga yang juga punya keinginan untuk mandiri secara finansial agar bisa memanfaatkan waktu luang untuk menjadi reseller daging ayam.

Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari turut mengungkapkan,”Kita percaya wanita bisa jadi penopang ekonomi di masa yang akan datang. Jadi, kita fokus untuk menciptakan cerita sukses yang lain, bukan semata-mata mendapat penghasilan. Kami ingin platform ini benar-benar bisa berdampak bagi orang banyak.”

Athalia juga mengungkapkan, “Selama dua tahun terakhir, hal yang sangat rewarding bagi Meyer Food adalah ketika bisnis yang dijalankan ibu rumah tangga yang pada awalnya tidak disetujui suami, bisa memberi hasil yang luar biasa hingga akhirnya meraih pendapatan berkali lipat lalu ikut didukung oleh suaminya.”

Evermos sebagai social commerce yang fokus pada nilai-nilai syariah turut mengungkapkan strateginya untuk bisa menjadi bisnis yang berdampak dengan 2R, yaitu Rupiah dan Ruhiyah. Ilham mengaku bahwa ia tidak hanya fokus dengan hal-hal pragmatis, namun ingin lebih serius untuk bisa mencapai inklusivitas. “Kalau sekedar aspek uang, kita semua tau dunia startup seperti apa,” tambahnya.

Menemukan rekanan yang memiliki integritas

Dalam sebuah komunitas, meskipun memiliki satu kesamaan, tentunya ada berbagai macam karakter individu. Ada yang benar-benar sepenuh hati ingin berperan membangun komunitas, ada yang hanya ikut-ikutan atau berpartisipasi hanya jika ada waktu luang. Tidak ada yang salah, namun ketika masuk ke ranah bisnis, hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Dalam menjalankan bisnisnya, Meyer Food menerapkan kemitraan dengan sistem sharing profit untuk setiap item yang dijual. Sebagai partner/mitra bertanggung jawab sebagai distribution point serta menerima pembayaran COD. Tantangan muncul ketika ada partner yang tidak bisa mengelola pengeluaran dengan baik sehingga uang hasil penjualan terpakai untuk hal-hal lain.

Belajar dari pengalaman, Meyer Food kemudian memperketat proses kurasi bagi para mitra. Athalia mengungkapkan bahwa timnya ingin memiliki partner yang bukan hanya sekadar mau berjualan tetapi juga memiliki integritas serta komitmen jangka panjang dalam menjalani bisnis. Saat ini, layanan telah memfasilitasi sebanyak 100 mitra di area Jabodetabek. Mungkin bukan angka yang besar namun timnya memastikan bahwa mereka adalah mitra yang berkualitas.

Sementara di Evermos, pada awalnya layanan yang ditawarkan sepenuhnya gratis. Namun setelah beberapa lama, akhirnya mereka menerapkan proses kurasi dengan metode berbayar untuk melihat keseriusan mitra untuk berjualan. Namun selama pandemi, dua opsi ini tersedia agar tidak mempersulit mitra untuk berjualan.

Ketika membangun sebuah komunitas, sering kali kita memulai dari inner circle atau lingkungan terdekat. Di Meyer Food, pelanggan pertama mereka adalah salah seorang tetangga dari Athalia. Timnya mengaku ada banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran untuk bisnis ini bisa berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, maka satu per satu tantangan bisa dihadapi.

Mempertahankan keterikatan yang kuat

Jalannya sebuah komunitas juga bergantung dengan komunikasi serta interaksi yang baik antar sesama anggotanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada banyak pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini sedikit banyak berpengaruh dengan keberlangsungan komunitas, dan juga bisnis.

Ketika sebuah bisnis telah memiliki engagement atau keterikatan yang kuat ke sebuah komunitas, maka komunitas tersebut bisa menjadi sumber umpan balik yang terpercaya. Evermos, sebagai social commerce mengaku sering terjun ke lapangan serta berinteraksi secara langsung untuk membangun keterikatan yang kuat dengan para reseller.

Menurut Ilham, banyak partner yang sedang terdampak dari sisi psikologi. “Dalam hal engagement kita harus bisa mengerti kebutuhan partner, termasuk menjadi tempat curhat mereka. Di situ kita belajar lagi untuk bisa jadi pendengar yang lebih baik dan mencoba mengerti kondisi partner. Ada baiknya untuk mendahulukan empati. Ini menjadi salah satu poin penting bagaimana membuat mereka nyaman dan loyal,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Understanding Strategy and Function of Community-Based Marketing

The tribal marketing approach is likely to be art than a science. Tribal is from the word tribe that means community. The community-based marketing strategy is getting popular for companies due to its focus on maintaining existing customers.

In fact, the company with a good retention rate is more profitable than the ones that only focused on acquisition. Therefore, what a startup should do to implement this marketing strategy?

In order to get further, #SelasaStartup has invited Tribelio’s Founder and CEO Denny Santoso. Tribelio is a startup that provides a one-stop management platform to help people who want to build a community and earn income from the community’s presence in their business.

This community marketing is increasingly popular in Indonesia because it is currently entering the product era. Selling is easier on any platform, but it leaves a new issue of price wars as more and more people sell the same product. The impact is consumers are no longer loyal because they choose the profit-press strategy.

What is a community based marketing?

Danny said before explaining the community marketing, that this one is part of digital marketing. Many people are usually mistaken the digital marketing as online advertising. Advertise for the sake of getting financial coffers.

In fact, it’s really not at all. First, you must understand the management of the consumer cycle, from not knowing a brand, to use the brand, until finally becoming a loyal consumer.

In attracting consumers, utilizing social media platforms from Facebook and Google is the biggest source of traffic. But if you only get the traffic, how do you want to make a sale. The thing is to obtain data from these visitors.

The strategy is usually to offer discounts for first purchases, at the registration step. Next, consumers will be given a loyalty program in the form of discounts, the latest product information, up-sell or cross-sell.

“To have loyal consumers, up-sell cannot be the only way. The key is to build a relationship. From the time they were not aware, then they bought it, and finally all of the consumers were gathered into a community. This, what business players can use,” Danny said.

However, the database remains passive, it means no sale if you do not know how to use it. As a result, the company will not be profitable by relying only on advertising. This is where community presence is needed.

This community, according to Danny, has a clear definition, that he is a group of people in a group who have one big idea and a clear line of communication.

“For example, a company has one million customer databases, members will not aware if not from the information by the leader. Because only leaders know this information. This community will not work if the communication between members and leaders does not work vice versa. The community must also be able to invite people.”

Determining a clear goal and consumer target

After the database, it must be sharply defined who is the target consumer, who is willing to buy the product. Danny pointed out that many people were still ambiguous or could not specify who the target users. If only to categorize the target consumers based on gender, age group, and location, surely no one will want to buy.

“If you set your target customers that way, you can immediately test and see that no one will buy it. Finding that ideal customer needs a process called mindset shift.”

In general, a mindset shift is a process of changing the mindset that occurs in the consumer’s brain because it is exposed by various content, whatever its form, which eventually becomes an acceptable knowledge. This process does not happen instantly.

The knowledge process is delivered in stages. The earliest is content through social media platforms to be accessed for free. Once the content has been received, consumers will extent to the next product, from books, 30 days challenges, workshops, to mastermind.

Community is not a space for sales

Another misconception is to make the community as a gathering place and the next alternative for selling. It’s not like that. People will instead turn to the marketplace platform to shop.

Danny said you have to determine what dreams each community member will definitely get if you join? Is it knowledge, network, or status? This determination is like religion, there is a faith that is attached so that members can taste the benefits when joining.

In setting this dream, one must know what the person’s dream is, then the challenges such as what prevents people from chasing the dream. This is what will make an active community, therefore, its role is crucial.

“Most people start a community with a business mindset. That must be changed by using a market mindset. A good community is one that offers future hope. The member’s dream must be resolved through the community, that’s the content, not necessarily discussing the product.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mendalami Strategi dan Fungsi Pemasaran Berbasis Komunitas

Pendekatan tribal marketing lebih merupakan seni daripada sains. Tribal berasal dari kata tribe yang berarti komunitas. Strategi pemasaran dengan basis komunitas menjadi sesuatu yang sedang digiatkan oleh perusahaan karena tergolong strategi yang fokus pada mempertahankan konsumen yang sudah ada (existing consumer).

Sebab pada dasarnya, perusahaan yang punya tingkat retensi pelanggan yang baik ternyata lebih menguntungkan daripada hanya fokus pada akuisisi saja. Lalu apa yang harus dilakukan oleh startup apabila ingin terjun ke strategi pemasaran seperti ini?.

Untuk membahas lebih dalam, #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO Tribelio Denny Santoso. Tribelio adalah startup yang menyediakan platform manajemen satu pintu untuk membantu orang-orang yang ingin membangun komunitas dan memperoleh pendapatan dari keberadaan komunitas di dalam bisnis mereka.

Pemasaran komunitas ini semakin tenar di Indonesia lantaran saat ini sedang masuk ke era produk. Berjualan semakin mudah di platform manapun, tapi menyisakan isu baru yakni perang harga karena semakin banyak orang jual produk yang sama. Dampaknya adalah konsumen tidak lagi loyal karena memilih strategi tekan untung.

Apa itu pemasaran berbasis komunitas?

Danny menjelaskan sebelum memahami apa itu pemasaran komunitas, bahwa ini adalah salah satu bagian dari pemasaran digital. Masih banyak orang yang salah kaprah, bahwa pemasaran digital itu sama artinya dengan berjualan online. Beriklan demi mendapat pundi-pundi keuangan.

Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Terlebih dulu harus memahami manajemen siklus konsumen dari awalnya tidak tahu tentang suatu brand, hingga menggunakan brand tersebut sampai akhirnya menjadi konsumen loyal.

Dalam menjaring konsumen, memanfaatkan platform media sosial dari Facebook dan Google adalah sumber traffic terbesar. Namun kalau hanya sekadar traffic yang didapat, bagaimana mau melakukan penjualan. Caranya harus dengan mendapatkan data-data dari para pengunjung tersebut.

Strategi yang dilakukan biasanya menawarkan diskon untuk pembelian pertama, apabila melakukan registrasi. Berikutnya, konsumen akan diberi program loyalitas berupa diskon, informasi produk terbaru, up sell atau cross sell.

“Untuk membuat konsumen loyal, tidak bisa diberi up sell saja. Kuncinya adalah harus mantain relationship. Dari awalnya mereka belum aware, sampai akhirnya beli, lalu seluruh konsumen tersebut dikumpulkan menjadi komunitas. Ini yang bisa dimanfaatkan pelaku bisnis,” kata Danny.

Namun database itu bersifat pasif, alias tidak bisa menjadi penjualan bila tidak tahu cara memanfaatkannya. Alhasil perusahaan tidak akan cetak untung kalau hanya mengandalkan dari iklan saja. Di sinilah dibutuhkan kehadiran komunitas.

Tapi komunitas ini, menurut Danny punya definisi yang jelas, bahwa ia adalah sekumpulan orang dalam satu grup yang punya satu ide besar dan jalur komunikasi yang jelas.

“Misal perusahaan punya satu juta database konsumen, member enggak akan tahu angka ini kalau tidak diberi tahu leader-nya. Sebab info ini yang tahu hanya leader. Komunitas ini enggak akan jadi kalau komunikasinya antara member dan leader tidak berjalan vice versa. Komunitas juga harus bisa ajak orang untuk masuk.”

Menetapkan gol yang jelas dan target konsumen

Setelah memiliki database, harus bisa didefinisikan lebih tajam siapa target konsumen yang bersedia membeli produk. Danny menekankan, masih banyak orang yang ambigu atau tidak bisa merinci siapa target penggunanya. Kalau hanya menetapkan, target konsumennya berdasarkan jenis kelamin, golongan usia, dan lokasi, niscaya tidak akan ada yang mau beli.

“Kalau menetapkan target konsumennya seperti itu, bisa langsung diuji dan dilihat pasti tidak akan ada orang yang mau beli. Mencari konsumen ideal itu butuh proses yang disebut mindset shift.”

Mindset shift, secara ringkas adalah proses perubahan pola pikir yang terjadi di dalam otak konsumen karena terekspos oleh berbagai konten, apapun bentuknya, yang akhirnya menjadi suatu knowledge yang bisa diterima. Proses ini tidak terjadi secara instan.

Proses knowledge yang disampaikan bertahap. Paling awal adalah konten lewat platform media sosial yang bisa diakses secara gratis. Begitu konten sudah diterima, konsumen akan naik tingkat ke produk berikutnya, mulai dari buku, 30 days challenge, workshop, sampai mastermind.

Komunitas bukan tempat berjualan

Salah kaprah lainnya yang masih terjadi adalah menjadikan komunitas sebagai tempat berkumpul dan alternatif berikutnya untuk berjualan. Padahal bukan seperti itu. Orang justru akan beralih ke platform marketplace untuk berbelanja.

Menurut Danny, Anda harus menetapkan mimpi apa yang pasti bakal didapat setiap member komunitas kalau bergabung? Apakah pengetahuan, jaringan, atau status? Penetapan ini seperti agama, ada iman yang dilekatkan agar member tetap merasakan manfaatnya ketika bergabung.

Dalam menetapkan mimpi ini, harus tahu apa mimpi orang, lalu tantangannya seperti apa yang menghalangi orang untuk bisa sampai ke mimpi tersebut. Hal inilah yang akan membuat suatu komunitas menjadi aktif, makanya perannya sangat krusial.

“Kebanyakan orang mulai komunitas dengan mindset bisnis. Itu harus diubah dengan memakai mindset market. Komunitas yang baik adalah yang menawarkan future hope ketika join. Mimpi member itu harus bisa diselesaikan lewat komunitas, di situ kontennya, tidak harus bahas produknya.”

Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

ABP Incubator Sukses Adakan “Jogja Startup Sprint”, Bina Komunitas Startup di Yogyakarta Kembangkan Produk

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan ekosistem startup di suatu wilayah. Salah satunya dengan banyak melakukan pembinaan melalui kanal komunitas. Hal ini yang coba dilakukan oleh inkubator Amikom Business Park (ABP) Incubator berkolaborasi dengan Amikom Computer Club dengan mengadakan rangkaian acara bertajuk “Jogja Startup Sprint“.

Jogja Startup Sprint terdiri dari tiga jenis acara, yakni Kickoff, Founders Dating, dan Design Sprint. Menurut pemaparan VP Business & Partnership ABP Donni Prabowo acara ini bertujuan untuk membangun ekosistem secara berkelanjutan di Yogyakarta.

Rangkaian acara pertama, yakni Kickoff diadakan pada Sabtu, 8 Desember 2018 bertempat di Ruang Cinema Universitas Amikom. Berisi talkshow mengenai startup, melibatkan kalangan pemain dan investor. Hadir dalam sesi ini Fathin Naufal (Founder Gifood), Adjie Purbojati (Founder Lunasbos), Gisneo Pratala Putra (CEO Wideboard) dan Budi Wasito (angel investor).

Salah satu hal yang ditekankan dalam sesi ini bahwa membangun startup perlu kolaborasi antar bidang. Tidak hanya memprioritaskan pada talenta teknis saja, karena di beberapa startup ada yang dimulai dari founder non-teknis.

Acara berikutnya adalah Founders Dating, diadakan pada Sabtu, 22 Desember 2018 bertempat di kantor PrivyID di Yogyakarta. Acara ini berupa kegiatan speed dating yang dilakukan untuk mendapatkan anggota baru untuk tim startupnya. Dalam acara ini turut ada sesi diskusi seputar pengembangan talenta di startup, diisi oleh Guritno Adi Saputro (CTO & Co-Founder PrivyID), Donni Prabowo (ABP), dan Anggoro (Staf Ahli MIKTI).

Terakhir ada acara Design Sprint yang diadakan pada tanggal 29-30 Desember 2018 di Universitas Amikom. Ada 16 tim startup yang diajak untuk memahami masalah, memberikan solusi, dan membuat purwarupa produknya. Acara ini dipandu oleh Korniawan Prabowo (Founder Jerseybali.com) dan Fathin Naufal.

Amikom Business Park adalah inkubator dan pembangun ekosistem startup yang bertempat di Yogyakarta. ABP dimiliki oleh Universitas Amikom Yogyakarta. Saat ini, ABP sudah memiliki 15 startup yang telah diinkubasi dengan total pendanaan sebesar $206,000 serta 18 mitra strategis di Indonesia maupun luar negeri.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara Jogja Startup Sprint yang diadakan Amikom Business Park.

Asosiasi IoT Indonesia Segera Diresmikan

Indonesia akhirnya memiliki asosiasi yang mewadahi penggiat Internet of Things (IoT). Asosiasi merupakan transformasi dari Indonesia IoT Forum, kini menjadi Asosiasi IoT Indonesia (ASIoTI). Rencananya ASIoTI akan menyelenggarakan musyawarah nasional (Munas) pertama tanggal 13 Desember mendatang, sekaligus meresmikan struktur organisasi dan rancangan program kerja untuk satu tahun mendatang.

CEO Dycode Andri Yadi yang turut andil dalam lahirnya ASIoTI ini menyebutkan bahwa asosiasi ini merupakan wadah resmi bagi setiap insan yang memiliki visi untuk mengembangkan ekosistem IoT di Indonesia. Tidak hanya praktisi tetapi juga penggiat lain seperti akademisi, regulator, dan pihak lainnya; yang ingin bersama-sama membawa ekosistem IoT Indonesia lebih baik lagi.

Tujuan utama dari pendirian ASIoTI adalah membantu pemerintah dengan memberikan masukan-masukan terkait kebijakan IoT, termasuk membantu memberikan standardisasi dan sertifikasi untuk ekosistem IoT yang ke depan akan semakin banyak dibutuhkan.

“IoT ini kan baru, government juga masih meraba-raba, jadi tidak ada yang lebih tepat kecuali pemerintah ngobrol dengan industri. Nah untuk memudahkan makanya dibentuk sebuah wadah untuk memudahkan,” terang Andri.

Beberapa pihak yang nantinya bergabung di ASIoTI ini antara lain CEO Dycode Andri Yadi, Direktur & Chief Innovation Regulation Office Indosat Ooredoo Arief Musta’in, Direktur Network Telkomsel Bob Apriawan, CEO Prasimax Didi Setiadi, Bussiness Development Polytron Joegianto, Ketua Umum Mastel Kristiono, Managing Director Cisco Indonesia, Founder Indonesia IoT Forum Teguh Prasetya, dan lain-lain.

“Sebagai Project Coordinator untuk kampanye IoT Goes to Market yang diadakan di lima kota oleh Indonesia IoT Forum, saya merasa sudah waktunya forum ini untuk berkembang agar dapat memberikan lebih banyak manfaat,” ungkap perwakilan Indonesia IoT Forum (yang sekarang menjadi ASIoTI) Fita Indah Mulani.

Mengenai rencana asosiasi ke depan Fita menjelaskan beberapa sedang dimatangkan, baru akan diresmikan ketika munas dilangsungkan. Salah satu yang akan dilakukan adalah fokus pengembangan makers, transfer pengetahuan ke kampus dan SMK, dan beberapa program lainnya.

“Ada beberapa lagi godog [rencana ASIoTI], baru diketok palu di munas nanti. Tapi yang pasti kita mau fokus mengembangkan makers dan transfer knowledge ke kampus dan SMK. Terus ada sertifikasi juga. Ada program business matching dan support keluarnya regulasi terkait IoT,” imbuh Fita.

Estubizi Rilis Platform Komunitas Berbasis Cloud “Estubizi Network”

Estubizi, pemain coworking space lokal, mulai melirik potensi bisnis komunitas online lewat peluncuran platform Estubizi Network. Peluncuran platform tersebut ditujukan untuk membantu startup mengembangkan usahanya dengan konsep kolaborasi.

Kepada DailySocial, Chief Entrepreneur Officer Estubizi, Benyamin Ruslan Naba menuturkan, platform ini diluncurkan karena merujuk dari data yang dimiliki perusahaan yang menyatakan tingkat keberhasilan pebisnis pemula untuk bertahan dan berhasil ialah 50%.

Angka tersebut diklaim lebih baik ketimbang yang ditulis berbagai media bahwa tingkat kegagalan pebisnis pemula bisa mencapai 90%. Kegagalan ini, menurutnya, disebabkan karena kondisi bisnis menurun, jumlah pelanggan/proyek berkurang, dan semakin banyak persaingan.

Apalagi bagi pebisnis di luar Jakarta, punya banyak keterbatasan dalam hal menjangkau mentor bisnis, akses terhadap pengetahuan yang memadai soal startup dan kewirausahaan, dan hubungan ke investor.

“Kehadiran Estubizi Network, kami harapkan dapat mengurangi tingkat kegagalan. Karena member akan dibantu oleh lebih dari 50 partner Estubizi dan 50 mentor,” terangnya.

Platform Estubizi Network

Dengan konsep kolaborasi, atau lebih dikenal dengan istilah gotong royong, Estubizi Network dapat menjadi cara yang bisa dipilih para pebisnis dalam meningkatkan bisnisnya. Estubizi Network merupakan platform komunitas online berbasis cloud yang didukung oleh Salesforce, salah satu pemain CRM terbaik. Didukung pula perusahaan implementor PT Langit Kreasi Solusindo.

Di dalamnya, Estubizi berkolaborasi dengan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti konsultan legal, akuntansi, email marketing, digital marketing, logistik, jasa keuangan, media dan masih banyak lagi. Kemudian ada juga mentor yang terdiri dari pengusaha, praktisi profesional, dan eksekutif di berbagai profesi.

Anggota komunitas Estubizi Network dapat memanfaatkan lebih dari 50 jaringan coworking space di seluruh Indonesia, berisi ruang kantor privat, virtual office, ruang rapat, dan ruang seminar/pelatihan berkapasitas 100 orang. Anggota dapat mengikuti beragam acara yang diadakan coworking tersebut.

“Tersedia pengetahuan berupa artikel dan video tentang bisnis startup dan enterpreneurship, kelompok percakapan menurut lini bisnis dan kategori anggota, online mentoring, dan informasi kegiatan di berbagai coworking space.”

Tak sekadar menyediakan platform komunitas online saja, Estubizi menerapkan konsep keanggotaan dengan tiga jenis, biayanya mulai dari Rp100 ribu sampai Rp250 ribu per bulannya.

“Kelak para member dapat saling berkolaborasi antar startup dan entrepreneur, antar daerah, dan kita semua dapat maju bersama berkat perpaduan antara gotong royong dan platform berbasis cloud ini.”

Estubizi sendiri sudah lebih dulu hadir sejak sembilan tahun lalu, membantu lebih dari 800 freelancer, startup, entrepreneur dan UKM. Diharapkan Estubizi Network dapat menjangkau lebih banyak pelaku hingga 10 ribu UKM dan startup sampai akhir 2019 mendatang.

Memilih Platform yang Tepat untuk Validasi Produk Startup

Salah satu yang dapat dilakukan startup untuk memvalidasi produknya ialah dengan menghadirkan platformnya sedini mungkin. Dalam dunia produk, proses tersebut disebut dengan Minimum Viable Product (MVP) atau produk inisial yang perlu diluncurkan startup secepat mungkin untuk mengetahui bagaimana respons pasar terhadap solusi yang ditawarkan.

Ini menjadi langkah awal yang penting, sebab proses ini juga menjadi dasar yang memberikan keyakinan produk tersebut akan dilanjutkan atau tidak. Karena jika memang tidak memiliki traksi yang mencukupi, lebih baik startup segera melakukan pivot untuk menghadirkan produk berikutnya.

Berbicara seputar produk, saat ini terdapat opsi yang dapat dikembangkan oleh startup sesuai dengan minatnya masing-masing. Setelah memahami spesialisasinya, maka selanjutnya startup perlu memikirkan platform seperti apa yang layak dikembangkan. Faktanya ada banyak sekali jenis platform yang bisa dikembangkan, namun demikian beberapa jenis platform sangat lekat dengan kebutuhan pengguna saat ini.

Khususnya di Indonesia, masih banyak edukasi yang perlu dilakukan di tingkat pengguna akhir. Jika ingin berakselerasi cepat, ide startup perlu dioptimasi dengan tipikal paltform yang lebih “merakyat”. Berikut beberapa jenis platform yang menurut penulis sangat akrab dengan pengguna teknologi di Indonesia saat ini.

Marketplace

Platform ini memiliki tujuan sebagai media transaksi jual beli oleh masyarakat. Bentuknya sangat efisien, karena pengguna dapat berlaku sebagai penyedia produk ataupun pembeli produk. Ini cocok dikembangkan untuk bisnis yang berorientasi pada produk.

Dari sudut pandang MVP, marketplace turut menjadi wadah yang pas untuk memahami ketertarikan pengguna. Bisnis memberikan jalan yang mudah bagi pengguna untuk menjangkau produk yang hendak dijual atau didistribusikan.

Komunitas

Layanan berbasis komunitas atau forum juga dapat menjadi pilihan. Selain meningkatkan traksi dalam model membership, model ini juga memungkinkan pengguna berinteraksi langsung. Bisnis yang cocok menggunakan tipikal platform ini ialah layanan yang berorientasi pada komunikasi konsumen.

Untuk kebutuhan MVP juga cocok karena dari sana interaksi dapat terjadi lebih mendalam. Baik sebagai masukan terkait produk, ataupun testimoni atas penggunaan produk.

Chatbot

Menjadi salah satu platform yang paling populer, chatbot memberikan kemudahan bagi bisnis untuk mengotomatisasi berbagai proses. Platform ini dipilih dengan harapan dapat meningkatkan intensitas penggunaan suatu layanan. Cocok digunakan untuk bisnis berbasis pelayanan.