Fokus Investasi “Iterative” di Indonesia Lewat Dana Kelolaan Kedua

Di balik isu tech winter dan resesi global yang membayangi, industri teknologi di wilayah Asia Tenggara masih bertumbuh dengan pesat. Hal ini terlihat dari kehadiran banyak program akselerator seperti Y Combinator, Google Accelerator, dan Surge milik Sequoia yang menunjukkan peluang besar perusahaan rintisan di kawasan ini

Terinspirasi dari perusahaan global Y Combinator, Brian Ma dan Hsu Ken Ooi mendirikan Iterative untuk mendukung para founder mencapai mimpi mereka. Brian sebelumnya adalah Co-Founder dan CEO Divvy Homes, dan Hsu Ken Ooi pernah mendirikan platform Decide.com yang diakuisisi eBay di 2013. Keduanya pernah menjalani inkubasi di Y Combinator.

Co-Founder dan Managing Partner Iterative Hsu Ken Ooi mengungkapkan ada banyak program akselerator yang ingin mengikuti jejak Y Combinator. Namun, ada dua hal penting untuk diperhatikan. Pertama, para investor di Y Combinator adalah pendiri startup, jadi mereka punya pengalaman langsung dalam mengembangkan perusahaan rintisan. Kedua, Y Combinator tidak memiliki kurikulum mengingat setiap perusahaan rintisan punya model bisnis dan vertikal berbeda. Kedua hal ini yang mendorong lahirnya Iterative.

Iterative memiliki jargon “Founders support founders” yang berarti pendiri mendukung pendiri. Nilai ini yang ingin diangkat oleh perusahaan, bahwa melalui iterative, para pendiri akan didukung penuh oleh investor yang juga memiliki pengalaman dan latar belakang kuat dalam mengembangkan perusahaan rintisan.

Fund II

Iterative mengumumkan dana kelolaan kedua (Fund II) pada 29 November 2022 senilai $55 miliar atau 856 triliun Rupiah, dipimpin oleh Cendana, K5 Global, Village Global, dan Goodwater Capital. Turut berpartisipasi jaringan besar pendiri dan eksekutif Silicon Valley, termasuk Arash Ferdowsi (Dropbox), Achmad Zaky (Bukalapak), Andrew Chen (Mitra umum a16z, Uber), Qasar Younis (Mantan COO YC, Intuisi Terapan), David Shim (Foursquare), Kum Hong Siew (Kepala Airbnb Asia), dan Moses Lo (Pendiri Xendit).

Rencananya, setengah dari pendanaan baru ini akan ditujukan untuk pendanaan lanjutan. Selain itu, dana segar ini juga mendorong Iterative untuk meningkatkan ukuran ceknya menjadi $500.000 dan menambahkan lebih banyak program untuk para pendiri di berbagai tahap, termasuk program untuk pendiri tahap awal yang belum matang dan pendiri tahap lanjut yang sudah mendapatkan traksi yang cukup besar.

Melalui Fund II ini, Iterative berambisi untuk mengembangkan wadah perkumpulan startup yang lebih besar, masing-masing sekitar 30. Tujuannya adalah untuk berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan di berbagai tahap, termasuk startup pra-seed, seed, dan seri A.

Sejak mulai beroperasi pada Maret 2020, modal ventura asal Singapura ini telah mengumpulkan $65 juta dalam dua dana kelolaan, berinvestasi di lebih dari 65 perusahaan, serta 120 pendiri, dan nilai total perusahaan sekarang mencapai $1,2 miliar.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial, Hsu juga mengungkapkan bahwa, “perusahaan telah berinvestasi ke lebih dari 65 perusahaan dalam waktu dua tahun, dan akan segera menambah 25 portfolio dalam dua bulan ke depan.”

Fokus investasi di Indonesia

Terkait sektor yang disasar, Hsu mengungkapkan terative tidak memiliki kecenderungan untuk berinvestasi di sektor spesifik. Hanya saja, ia percaya untuk menjangkau pasar yang besar, sebuah perusahaan juga harus mengembangkan solusi untuk masalah yang besar. Di Indonesia, Iterative telah berinvestasi di beberapa perusahaan, yakni Yippy, Kipin, Qalbu, dan Zi.Care.

Hsu memaparkan tesis investasi yang harus dipenuhi untuk berinvestasi. Iterative mengincar startup yang menciptakan solusi untuk masalah besar sehingga menciptakan pasar yang besar juga. Lalu, startup harus bisa mengubah mindset. Contohnya, Uber. Dulu kita diberitahu untuk tidak naik mobil dengan orang asing. Kini, orang merasa aman menggunakan jasa transportasi online yang dikendarai orang asing.

Satu yang tidak kalah penting, perusahaan melihat pendiri yang berkualitas dan bisa mengarahkan jalannya sebuah bisnis. Menurut Hsu, kualitas seorang founder dapat dilihat dari tiga kualitas. Pertama, apakah mereka benar-benar melakukan apa yang mereka katakan? Seseorang yang konsisten dengan pencapaiannya adalah pribadi yang ‘mengerikan’. Kedua, seorang founder harus bisa meyakinkan dan memiliki kemampuan eksekusi yang baik.

Ketiga, perusahaan mencari orang-orang dengan motivasi yang datang dari dalam, bukan dari luar. Artinya, mereka melakukan sesuatu yang benar-benar mereka peduli, bukan hanya ingin ketenaran atau keuntungan. Kombinasi dari ketiga hal ini akan menciptakan seorang founder yang memiliki ketahanan dan dedikasi tinggi.

Menyinggung fokus Iterative di Indonesia, Hsu mengatakan, “saya melihat Indonesia sebagai peluang. Tidak hanya pencetak unicorn terbanyak,  Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara dimana seorang founder bisa membangun perusahaan rintisan dan menjadi unicorn tanpa harus ekspansi ke pasar lainnya. Contohnya, Bukalapak dan Tokopedia.”

Ia juga menggambarkan ekosistem di Indonesia terbilang ‘quite expensive‘. Hal ini dapat dinilai dari jumlah founder yang ada, termasuk dari startup unicorn. Selain itu, beberapa modal ventura hanya fokus di pasar Indonesia. “Tidak semua negara di Asia Tenggara memiliki hal ini,” tambahnya.

Resesi memiliki dampak yang berbeda bagi masing-masing kalangan. Hsu menilai bahwa perusahaan rintisan yang masih dalam tahap early stage tidak akan merasakan dampak yang sangat signifikan. Sementara, investor di tahap later stage merasakan dampak yang lebih besar. Secara pribadi, Hsu melihat proyeksi adanya peningkatan angka investasi di tahun depan dari tahun ini.

“Saya percaya bahwa investasi akan semakin meningkat karena banyak modal ventura yang meluncurkan fund baru seperti Sequoia dan Jungle Ventures. Ketika investor menaruh dana, mereka berharap dana itu diinvestasikan sehingga menghasilkan return. Maka dari itu, kami harus tetap berinvestasi, begitu pula dana kelolaan lain.” Tutupnya.

BRI Ventures Bidik Penggalangan Putaran Akhir “Sembrani Kiqani” Sebesar 784 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) membidik penggalangan putaran akhir dana kelolaan Sembrani Kiqani dengan target sebesar $50 juta atau sekitar 784 miliar Rupiah. Dilansir dari DealStreetAsia, BVI sebelumnya telah menutup putaran pertama Sembrani Kiqani pada Juni 2022.

Melalui unggahan di laman LinkedInFounding CEO BVI Nicko Widjaja bercerita perjalanan dana kelolaan Sembrani Nusantara yang dibentuk pada Juni 2020 di puncak ketidakpastian situasi global, dan dimulai dengan ekspektasi rendah. Sembrani Nusantara merupakan dana kelolaan ventura pertama di Indonesia yang berizin dan diawasi OJK. Dana kelolaan yang diperoleh melampaui target awal yang sebesar Rp300 miliar pada awal 2021. 

Kemudian, Kiqani juga dibentuk pada tahun berikutnya, serupa dengan situasi global saat ini. Namun, pihaknya mampu mengamankan dana putaran pertama dari berbagai LP dengan pencapaian lebih tinggi dari target.

“Mengelola dua dana kelolaan di Indonesia bukanlah hal yang mudah, terutama ketika dana kelolaan ini adalah pionir—dan diluncurkan pada situasi yang penuh ketidakpastian. Meski banyak rintangan, hambatan, (dan hal-hal negatif), Sembrani dan Kiqani dapat bertahan menghadapi segala rintangan,” tulis Nicko.

Fokus BVI

BVI dibentuk pada tahun 2019 dengan debut dana kelolaan senilai $250 juta atau setara dengan Rp3,5 triliun. Nicko Widjaja ditunjuk sebagai CEO BVI pada Juli 2019, meninggalkan posisinya sebagai CEO MDI Ventures yang telah dijalani selama lebih dari 4 tahun.

Dengan dana awal disokong oleh induk perusahaan, BVI telah menyalurkan investasi ke perusahaan-perusahaan yang fokus di industri fintech seperti Investree, Modalku, Payfazz, Tanihub, dan juga Nium.

Sembrani Nusantara diluncurkan sebagai medium perusahaan untuk mengecap pendanaan eksternal. Strukturnya sendiri terbilang baru karena berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Dana kelolaan ini menyalurkan investasi pada startup tahap awal di sektor seperti pendidikan, agro-maritim, retail, logistik, dan kesehatan.

Belum lama ini, Sembrani Nusantara juga disinyalir telah menyuntikkan investasi putaran seed pada pemain e-commerce B2B, Belanjaparts, dengan ticket size senilai $2 juta-$3 juta. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Nicko Widjaja seperti yang diberitakan oleh DealStreetAsia.

Masih dengan misi yang sama, Sembrani Kiqani menargetkan startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C) dan inisiatif di bidang web3. Melalui medium ini, perusahaan telah mengucurkan dana untuk perusahaan game berbasis blockchain Yield Guild Games SEA dan startup pengembang kemasan ramah lingkungan, Plepah.

Pada Maret 2022, CVC yang terlibat dalam Merah Putih Fund (MPF) ini juga telah menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund yang menargetkan investasi sebesar $50 juta atau lebih dari Rp780 miliar di awal tahun 2023.

Pendanaan semester I 2022

DailySocial.id kembali merekap transaksi pendanaan startup digital sepanjang paruh pertama 2022. Terdapat beberapa tren menarik yang dapat dicermati, di tengah isu miring yang tengah menjadi sorotan di ekosistem—salah satunya tentang koreksi pasar akibat krisis ekonomi global—yang berdampak langsung dengan cara investor menilai sebuah startup.

Memasuki kuartal II 2022 sejumlah gejolak muncul, turut berdampak langsung pada iklim investasi startup. Di permukaan, kabar seperti startup melakukan layoff, pivot bisnis, sampai dengan penutupan usaha santer terdengar. Namun kondisi goncangan tersebut ternyata tidak menyurutkan kucuran pendanaan ke startup Indonesia.

Tren pendanaan sepanjang H1 2022

Dari grafik di atas, ada pertumbuhan nilai pada pendanaan lanjutan di sepanjang kuartal II 2022, khususnya seri B ke atas. Jumlah transaksi pendanaan awal dan pra-awal masih mendominasi. Hal ini menunjukkan kehadiran beberapa model bisnis baru yang mencuri perhatian investor.

Salah satu sektor yang juga cukup dilirik adalah D2C. Sektor ini dilihat sebagai peluang untuk menurunkan biaya dan memaksimalkan keuntungan dengan menghilangkan jalur rantai pasokan.

Menurut McKinsey, D2C mengacu pada praktik penjualan produk langsung ke konsumen melalui situs milik perusahaan sendiri, tanpa melalui pengecer atau grosir pihak ketiga. Konsep ini akan menghilangkan penghalang antara produsen dan konsumen, memberikan produsen lebih besar kendali atas merek, reputasi, pemasaran, dan taktik penjualannya.

Startup D2C di Indonesia / Sumber: Startup Report 2021 & Q1 2022 oleh DSInnovate

Konsep D2C juga disebut bisa membantu merek membangun hubungan mereka dengan pelanggan mereka, dengan memberi mereka pengalaman unik dan proposisi nilai sebagai pembeda.

BRI Ventures and Fundnel to Form a 727 Billion Rupiah Fund

BRI Ventures (BVI) and Fundnel Group (Fundnel) signed an agreement to establish a new fund named the Fundnel Secondaries Fund. This managed fund will support the acceleration of startup growth in Southeast Asia, especially Indonesia.

In an official statement, BVI and Fundnel are to collect $50 million or equivalent to Rp727 billion in this managed fund. Meanwhile, the MoU signing between both entities took place on Monday (09/5).

BRI Ventures’ CEO, Nicko Widjaja revealed that the “exit” trend is very difficult to follow these days due to various macro factors. Therefore, BRI Ventures is very enthusiastic about investing in late-stage startups by helping to provide liquidity in the market. “This collaboration will be a refreshing entry point for foreign investors who want to invest heavily in Indonesia’s developing startups,” he said.

Meanwhile, Fundnel’s Co-Founder and CEO, Kelvin Lee said, this collaboration can create access to a global network of investors to invest in high-growth startups in Indonesia. With BVI and Fundnel track records, he believes to be able to form a strong investment deal.

“We are optimistic that we can achieve the desired growth potential, this also marks our commitment to provide access and liquidity to the startup ecosystem in Indonesia,” Kevin said.

In the e-Conomy SEA report by Google, Temasek, and Bain & Company, the value of the digital economy in Indonesia is projected to grow by 18.9% from $44 billion in 2020 to $124 billion in 2025. This growth is also driven by increased penetration of the internet, smartphones, and internet. and telecommunications infrastructure in rural areas.

In fact, the Fund targets a portfolio with high growth through non-traditional investment channels that are considered to be able to support shareholders, both early backers, founders, and employees.

This strategy is also considered to increase the enthusiasm of investors to develop startups. Meanwhile, existing investors can reinvest their capital into new business opportunities.

Expanding liquidity

On a general note, Fundnel Group is the largest alternative asset marketplace in Southeast Asia. In the last three years, the company has managed more than $12 billion in secondary deals (conditions in which an investor buys stock from an seed investor, founder, or employee in a company).

With Fundnel’s license and involvement in the fundraising ecosystem in Southeast Asia, they are in a strong position to open access and exert greater price influence in regionally acquiring unicorn shares.

Along with its mission, Fundnel is exploring tokenization options for Funds on the Hg Exchange (HGX) to provide liquidity for investors. This option can allow new investors to take advantage of the liquidity in HGX as well as invest in high growth companies with a ticket size of at least $10,000.

Through HGX, Fundnel Group can also support tokenization and digital ownership of alternative assets, such as private security, managed funds, and asset-backed security (ABS) as an end-to-end solution to trade them in small quantities at lower prices so that they can accommodate liquidity needs in the private market.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures dan Fundnel Bentuk Dana Kelolaan Bernilai 727 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) dan Fundnel Group (Fundnel) menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund. Dana kelolaan ini akan mendukung akselerasi pertumbuhan startup di Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Dalam keterangan resminya, BVI dan Fundnel menargetkan dapat mengumpulkan investasi sebesar $50 juta atau setara Rp727 miliar pada dana kelolaan ini. Adapun, penandatanganan MoU keduanya dilakukan pada Senin (09/5).

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkap bahwa tren “exit sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini dikarenakan berbagai faktor makro. Maka itu, BRI Ventures sangat antusias untuk berinvestasi di startup tahap akhir dengan membantu menyediakan likuiditas di pasar. “Kolaborasi ini akan menjadi entry point yang menarik bagi pemodal asing yang ingin berinvestasi besar ke startup yang tengah berkembang di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, Co-Founder and CEO Fundnel Kelvin Lee mengatakan, kolaborasi ini dapat membuka akses ke jaringan investor global untuk berinvestasi ke startup yang memiliki pertumbuhan tinggi di Indonesia. Dengan rekam jejak BVI dan Fundnel, pihaknya meyakini dapat mendapatkan kesepakatan investasi yang kuat.

“Kami optimistis dapat mencapai potensi pertumbuhan yang diinginkan, sekaligus ini menandai komitmen kami untuk menyediakan akses dan likuiditas ke ekosistem startup di Indonesia,” ujar Kevin.

Dalam laporan e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia diproyeksi tumbuh sebesar 18,9% dari $44 miliar di 2020 menjadi $124 miliar di 2025. Pertumbuhan ini turut dipicu oleh meningkatnya penetrasi internet, smartphone, dan infrastruktur telekomunikasi di area rural.

Adapun, Fund membidik portofolio dengan pertumbuhan tinggi melalui jalur investasi non-tradisional yang dinilai dapat mendukung pemegang saham, baik investor awal (early backer), founder, maupun karyawan.

Strategi ini juga dinilai dapat meningkatkan antusiasme para investor untuk mengembangkan startup. Sementara, investor existing dapat menginvestasikan kembali modalnya ke peluang bisnis baru.

Upaya perluas likuiditas

Sebagai informasi, Fundnel Group merupakan marketplace untuk aset alternatif terbesar di Asia Tenggara. Dalam tiga tahun terakhir, Fundnel telah mengelola lebih dari $12 miliar secondary deal (kondisi di mana investor membeli kepemilikan saham dari investor awal, founder, atau karyawan di sebuah perusahaan).

Dengan lisensi yang dimiliki Fundnel dan keterlibatannya terhadap ekosistem penggalangan dana di Asia Tenggara, mereka punya posisi kuat dalam membuka akses dan memberikan pengaruh harga yang lebih besar dalam mengakuisisi saham unicorn secara regional.

Sejalan dengan misinya, Fundnel tengah mengeksplorasi opsi tokenisasi untuk Fund di Hg Exchange (HGX) demi menyediakan likuiditas bagi investor. Opsi ini dapat memungkinkan investor baru untuk memanfaatkan likuiditas di HGX serta berinvestasi di perusahaan dengan pertumbuhan tinggi dengan ticket size minimal $10.000.

Melalui HGX, Fundnel Group juga dapat mendukung tokenisasi dan kepemilikan digital dari aset alternatif, seperti private security, dana kelolaan, dan asset-backed security (ABS) sebagai solusi end-to-end untuk memperdagangkannya dalam jumlah kecil dengan harga lebih murah sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan likuiditas di pasar swasta.

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja Luncurkan “Ratu Nusa Fund”, Bidik Startup Indonesia yang Dipimpin Perempuan

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja berkolaborasi meluncurkan dana kelolaan “Ratu Nusa Fund” sebesar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Mereka membidik startup tahap awal (seed) hingga pre-seri A yang dipimpin oleh perempuan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Ratu Nusa Fund akan difokuskan pada investasi startup Indonesia di vertikal healthtech, e-commerce/social commerce, proptech, future of work/education, fintech, dan enterprise/SME tech.

Fokusnya adalah pemberdayaan usaha yang dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia. Pihaknya juga membidik startup di kota-kota berkembang di Surabaya, Bali, Denpasar, Nusantara dan Medan yang selama kurang terekspos potensinya oleh para investor.

Co-founder Gobi Partners Thomas G. Tsao mengatakan, Indonesia menjadi pasar yang tepat untuk meningkatkan investasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, mengingat saat ini terdapat sekitar 30 juta pengusaha perempuan memanfaatkan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat.

“Selama ini pengusaha perempuan hanya mendapat porsi kecil dari investasi yang pernah dikucurkan VC, utamanya karena ada bias gender yang mengakar. Kondisi ini membuat ada banyak potensi yang belum digarap. Kami harap Ratu Nusa Fund dapat mengatasi kesenjangan ini,” tuturnya.

Founding Partner Ozora Margaret Srijaya menambahkan, pihaknya tak sabar menemukan startup-startup dengan potensi emas selanjutnya di Indonesia. Ia juga meyakini dana kelolaan ini dapat mendorong skala dampaknya di Indonesia dan pasar lain di kawasan Asia Pasifik.

“Ada banyak startup yang belum dan kurang mendapat dukungan dari VC dalam mendorong pengusaha perempuan dan bisnis berdampak yang melayani 133 juta populasi perempuan di Indonesia,” ucapnya.

Sebagai informasi, Gobi Partners membidik investasi di tahapan early hingga growth dengan fokus pada negara berkembang dan kurang terlayani (underserved). Hingga kini, Gobi telah memiliki 15 dana kelolaan dari 13 negara, berinvestasi di 310 startup di dunia, dengan beberapa portofolio seperti Crowdo, Deliveree, dan DOOgether.

Sementara, Ozora Yatrapaktaja merupakan VC yang memiliki keahlian lokal di Indonesia, jaringan, dan komunitas global dalam mengembangkan pemberdayaan usaha perempuan secara global. Margaret diketahui merupakan Founder dari komunitas online Womenpreneurs.id yang berdiri di 2018 dan Head of VC di BPP HIPMI Indonesia.

Investasi pada pemberdayaan perempuan

Pemberdayaan UMKM dan pengusaha perempuan cukup banyak mendapat sorotan di Indonesia. Tak sedikit pelaku startup yang mengembangkan produk atau layanan digital untuk melayani pengusaha perempuan di Indonesia.

Misalnya, Amartha menyalurkan pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan model ‘tanggung renteng’. Ada pula startup baru Amaan yang memposisikan diri sebagai platform beyond financial services untuk melayani pengusaha perempuan.

Namun, ini saja dirasa tak cukup mengingat masih banyak startup yang dipimpin perempuan maupun yang melayani pengusaha perempuan yang belum terekspos oleh jaringan investor, baik dalam maupun luar negeri.

Jika melihat potensinya, data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat terdapat lebih dari 50% dari total 64,19 juta UMKM dijalankan oleh perempuan. Sementara, laporan Kauffman Foundation menyebutkan perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti dapat lebih efisien menggunakan modal/investasi, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–dapat mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi daripada startup yang dipimpin oleh pria.

Dalam radar kami, ada pula kemitraan dana kelolaan serupa untuk perempuan, yakni YCAB Ventures bersama Moonshot Ventures melalui Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF). Mereka punya misi untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Head of Impact Investments YCAB Ventures Adelle Odelia Tanuri sempat menyebut bahwa IWEF dapat membantu mereka untuk menjangkau lebih banyak UMKM dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu, pihaknya dapat mendorong impact lebih luas.

Indogen, Finch Capital, dan Tokocrypto Kolaborasi Bentuk “Cydonia Fund” untuk Ekosistem Web3

Indogen Capital dan Finch Capital meresmikan kendaraan investasi baru “Cydonia Fund” menggandeng Tokocrypto, fokus mendanai ekosistem Web3 di Indonesia. Sebagai Web3 fund dengan mandat global pertama di Indonesia, Cydonia akan berinvestasi dalam pengembangan ekosistem Web3 berskala global dan menjadi enabler bagi para pelaku industri.

Langkah strategis ini sejalan dengan visi Tokocrypto untuk terus menjadi builder sekaligus leader di ekosistem kripto, blockchain, dan Web3 di tanah air, selaligus membawa Indonesia menjadi barometer di kancah global.

Dalam konferensi pers yang diadakan di T-Hub Tokocrypto di area Patal Senayan (17/3), CSO Tokocrypto Chung Ying Lai juga mengungkapkan, “Tokocrypto dan Cydonia Fund diharapkan bisa menjadi support system terbaik untuk membawa ekosistem Web3 di Indonesia naik tingkat di kancah global.

“Dengan perkembangan ekosistem aset digital, investasi kini tidak hanya berbentuk equity shares, namun juga bisa berbentuk token atau coin. Sebagai modal ventura, kami memiliki investment tesis sendiri. Inilah mengapa kami membentuk satu fund baru khusus melakukan investasi ke perusahaan dalam bentuk token atau coin,” ujar Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Managing Partner Finch Asia Hans De Back melihat seiring dengan semakin maraknya adopsi aset kripto secara global, banyak perusahaan modal ventura baru yang berfokus pada investasi di aset digital bermunculan. Namun masih sedikit sekali perusahaan modal ventura yang memiliki hubungan strategis dengan platform perdagangan aset kripto berskala besar sebagai domain expert.

“Berkaca pada kolaborasi antara FTX, Solana Ventures, dan Lightspeed Venture Partners di Amerika Serikat pada penghujung tahun 2021, kami yakin merupakan langkah yang tepat bagi Cydonia Fund untuk turut bermitra dengan platform kenamaan serupa, dan kami sangat senang telah menemukan sosok mitra tersebut di jajaran eksekutif Tokocrypto,” tambahnya.

Disinggung mengenai nilai dana kelolaan yang akan disalurkan, baik pihak Indogen maupun Finch belum berani buka suara. Namun, Hans sempat mengutarakan bahwa jumlahnya cukup signifikan, “Cukup untuk menyokong 40-50 portfolio perusahaan,” bebernya.

Terkait sumber dana, Chandra juga membocorkan bahwa terdapat sekitar 20 LP yang siap mendukung setiap inisiatif yang akan dilancarkan oleh Cydonia. “Selengkapnya akan dikabarkan lagi paling lambat di bulan Juni 2022,” papar Chandra.

Indogen Capital sebagai modal ventura telah berpengalaman sejak 2016. Saat ini menjalankan 2 fund dengan 25 portofolio kelolaan, 2 unicorns, dan 5 exits. Sementara, Finch Asia adalah perusahaan modal ventura dengan rekam jejak fintech yang sudah aktif berinvestasi di Asia sejak 2014 dengan Indonesia sebagai fokus pasar. Sebelumnya Finch juga merilis dana kelolaan Arise Fund bersama MDI Ventures.

Ekosistem Web3 di Indonesia

Mengutip sejumlah sumber, Web3 memungkinkan pengguna dan mesin dapat berinteraksi dengan data, nilai, dan rekanan lainnya melalui substrat jaringan bersifat peer-to-peer. Dengan begitu, interaksi tidak lagi memerlukan pihak ketiga. Web3 memungkinkan pengguna mengontrol data mereka sendiri. Mereka akan berpindah dari media sosial ke email atau belanja dengan satu akun dipersonalisasi, membuat catatan di blockchain dari seluruh aktivitas.

Dengan adanya desentralisasi, nyatanya pengaruh Web3 terhadap perkembangan ekosistem aset kripto cukup besar. Mengingat bahwa desentralisasi kemungkinan akan menjadi salah satu bagian utama dari internet konsep baru ini, dapat disimpulkan bahwa aset kripto dan blockchain juga akan memainkan peran penting yang juga sama besarnya.

Di Indonesia sendiri, web3 tengah menjadi primadona di industri digital. Konsep desentralisasi ini bukan hanya merambah sektor finansial, namun juga semakin luas menjangkau industri seni dan musik. Beberapa proyek Web3 yang sudah diluncurkan tahun ini termasuk Superlative Secret Society yang belum lama ini meluncurkan galeri NFT pertama Indonesia. Selain itu juga ada Netra, platform NFT musik berbagi royalti untuk musisi dan para penikmat musik.

Namun, satu hal yang masih menjadi tantangan terbesar dalam industri Web3 adalah literasi. Layaknya masa awal pengembangan Web1 dan Web2, masyarakat tidak serta merta mengerti konsep dan utilitas dari fenomena baru yang terjadi. Maka dari itu, edukasi terhadap para stakeholder harusnya masih menjadi prioritas dalam pengembangan ekosistem web3 di tanah air.

BRI Ventures to Launch a New Fund “Sembrani Kiqani”, Targeting D2C Sector

After launching the Sembrani Nusantara Venture Fund last year which focuses on early-stage startups funding, BRI Ventures (BVI) is to launch another investment vehicle named “Sembrani Kiqani”.It is still targeting the early-stage startups, but rather focuses on consumer brands targeting the direct-to-consumer (D2C) sector.

BVI’s CEO, Nicko Widjaja, in his opening remarks at the BRI Ventures Networking Day (23/11) mentioned the potential of the D2C sector growth in Indonesia for the fashion, F&B, and beauty segment. He said, this sector is capable to drive the current industry, especially amidst the economic recovery from the Covid-19 pandemic.

Marcel Lukman, owner of one of the well-known retail groups 707company, also one of the Partners at Sembrani Kiqani said that apart from D2C, this managed fund is also targeting the blockchain industry and its derivatives related to cryptocurrencies. BVI alone is planning to strengthen its investment to develop the crypto ecosystem in the country.

Previously, through Sembrani Nusantara, BVI has invested in the beverage brand developer Haus!, which is also its first non fintech portfolio. They disbursed around 30 billion Rupiah in the debut fund for startup. In addition, the local shoe product developer Brodo also received funding through its series A round.

Indonesian D2C industry

Retail is one of the industries that highly contributes to the national economy. However, the Covid-19 pandemic that shaken this industry’s resilience had caused many businesses to change strategies or even give up on the situation. The one strategy being used is currently to directly target the consumers or direct-to-consumer (D2C).

According to data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, it is considered a must for brand owners to have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

In Indonesia alone, there are already several startups have adopted the D2C concept, including Brodo and Saturdays (fashion), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), as well as the retail group startup Hypefast which focuses more on being a venture builder. VCs such as East Ventures are also targeting this sector, proven by its two newest portfolios, mohjo and Kasual.

Blockchain invesment

In early 2010, perhaps not many people understood the concept of blockchain and its utility in the technology industry. Today, discussions regarding crypto assets that run on blockchain platforms are heard everywhere both in the real world and on social media. However, the crypto ecosystem in Indonesia is quite premature and still requires in-depth education.

In an effort to develop the crypto ecosystem in Indonesia, BRI Ventures in collaboration with Tokocrypto, is planning a new initiative called the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). The first blockchain project is targeted to be launched in 2022.

In addition to crypto assets, a product that is currently captured the market, especially among tech enthusiasts, is NFT. As one of the unique digital assets, all types of media can be printed or tokenized and converted into NFT. This product has been available in various industries from digital art, virtual real estate, also collectibles, games, and many more.

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

There are several NFT marketplace platforms available in Indonesia, including TokoMall, Kolektibel, and Paras Digital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Segera Luncurkan Dana Kelolaan “Sembrani Kiqani” untuk Startup D2C

Setelah tahun lalu meluncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara yang fokus mendanai startup tahap awal, BRI Ventures (BVI) kembali akan menghadirkan kendaraan investasi mereka yang diberi nama “Sembrani Kiqani”. Masih dengan misi untuk mendanai startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C).

Dalam kata sambutannya di acara BRI Ventures Networking Day (23/11), CEO BVI Nicko Widjaja juga menyinggung tentang potensi pertumbuhan sektor D2C di Indonesia yang kian meningkat baik di bidang fesyen, F&B, dan kecantikan. Menurutnya, sektor ini mampu menjadi penggerak industri terutama di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Marcel Lukman, pemilik salah satu grup ritel ternama 707company, juga salah satu Partner Sembrani Kiqani turut menyampaikan, selain D2C dana kelolaan ini juga ditargetkan untuk menyasar industri blockchain serta turunannya yang terkait dengan cyptocurrency. BVI sendiri tengah berencana memperkuat investasi untuk mengembangkan ekosistem kripto di tanah air.

Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus!, yang juga menjadi portofolio pertama mereka di luar fintech. Dana yang dikucurkan mencapai 30 miliar Rupiah untuk debut ke startup. Selain itu, pengembang produk sepatu lokal Brodo juga mendapat suntikan dana dalam putaran seri A mereka.

Industri D2C di Indonesia

Ritel merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang daya tahan industri ini menyebabkan banyak usaha harus mengubah strategi bahkan menyerah dengan situasi. Salah satu strategi yang sedang ramai digunakan adalah dengan langsung menyasar konsumen atau direct-to-consumer (D2C).

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang mengadopsi konsep D2C ini termasuk Brodo dan Saturdays (fesyen), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), juga startup grup ritel Hypefast yang fokusnya lebih menjadi venture builder. VC seperti East Ventures juga semakin gencar menyasar sektor ini, termasuk dua portfolio terbaru mereka mohjo dan Kasual.

Investasi di industri blockchain

Di awal tahun 2010, mungkin belum banyak orang yang mengerti konsep blockchain serta utilitasnya dalam industri teknologi. Dewasa ini, pembahasan terkait aset kripto yang dijalankan di atas platform blockchain semakin marak terdengar baik di dunia nyata maupun media sosial. Meskipun begitu, ekosistem kripto di Indonesia masih terbilang prematur dan membutuhkan edukasi mendalam.

Dalam upaya mengembangkan ekosistem kripto di Indonesia, BRI Ventures bekerja sama dengan Tokocrypto, sedang merencanakan inisiatif baru yang dinamakan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Proyek blockchain pertama ini ditargetkan untuk bisa segera meluncur di tahun 2022.

Selain aset kripto, produk yang juga tengah digandrungi masyarakat, terutama di kalangan penggiat teknologi, adalah NFT. Sebagai salah satu aset digital yang terbilang unik, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT. Produk ini sendiri telah hadir di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi.

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Beberapa platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia termasuk TokoMall, Kolektibel, dan Paras Digital.

Telkom Siapkan Dana Kelolaan Baru Senilai 7 Triliun Rupiah

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom Group) tengah mempersiapkan dana kelolaan baru tahun ini. Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin menyebutkan kapasitas pendanaannya berkisar US$300-500 juta atau Rp4,2 triliun-7 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Disampaikan Budi di ajang Digital Economy Summit 2020 oleh Microsoft Indonesia, Telkom Fund atau dana kelolaan tahap pertama telah menyalurkan investasi ke 35 startup, baik lokal maupun global.

Telkom Fund tahap kedua disiapkan untuk mendukung transformasi digital Telkom Group ke depan. Salah satu strateginya adalah berinvestasi ke startup. “Sektor telekomunikasi punya belanja modal yang sangat tinggi sehingga perlu ada perubahan dari infrastruktur digital ke platform digital,” katanya di Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Telkom Fund adalah investasi yang dikelola oleh MDI Ventures sebagai corporate venture capital (CVC) di bawah naungan Telkom.  Di awal berdiri di 2015, MDI Ventures mendapat suntikan dana tahap pertama sebesar $100 juta.

Kemudian pada Mei 2019, Telkom kembali menyuntik investasi lanjutan sebesar $40 juta untuk sub unit investasi Telkomsel, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Adapun investasi ini tetap dikelola oleh MDI Ventures.

Barulah di September 2019, MDI Ventures melakukan debut penggalangan dana dengan investor di luar Telkom sebesar $100 juta atau setara Rp1,4 triliun. Salah satu limited partner (LP) yang terlibat adalah Kookmin Bank. Pada Desember 2019, Telkom melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

Sebelumnya Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap, akan ada tambahan dua dana kelolaan baru tahun ini. Fokus pendanaannya untuk segmen growth stage dan later stage. Dengan kata lain, ini adalah Telkom Fund tahap kedua yang disinggung sebelumnya.

Kenneth sendiri telah mengonfirmasi kapasitas investasi sebesar Rp7 triliun untuk dana kelolaan baru. “Ini masih dalam proses. Tapi kami belum bisa confirm [apakah cari LP lagi atau murni dari Telkom],” ujarnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Industri telekomunikasi terdisrupsi

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), industri telekomunikasi Indonesia mencatat  pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018.

Ketua ATSI sekaligus Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah mengungkap, di sepanjang 2018 industri telekomunikasi di tanah air diperkirakan hanya mampu mengantongi pendapatan Rp148 triliun. Nilai ini turun dari pencapaian dua tahun sebelumnya sebesar Rp158 triliun.

“Penurunan ini disebabkan oleh penurunan layanan voice dan SMS yang kini digantikan oleh layanan baru dari pemain Over-the-Top (OTT), perang tarif data antar-operator, dan regulasi registrasi SIM Card,” ungkapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Sementara Telkom mencatat pertumbuhan pendapatan 3,5 persen atau sebesar Rp102 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya pada kuartal ketiga 2019. Marjin EBITDA Telkom juga hanya tumbuh 3,4 persen secara year-on-year (YoY).

Dalam beberapa tahun terakhir, operator telekomunikasi berupaya untuk menemukan model bisnis yang tepat untuk mengembangkan bisnis digital. Transformasi ini memang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan pendapatan dan EBITDA. Sayangnya, kebanyakan bisnis digital yang dikembangkan operator gagal.

Maka itu, pertumbuhan anorganik dirasa menjadi salah satu langkah yang tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan perusahaan. Dalam hal ini, Telkom membentuk entitas baru sebagai perpanjangan investasi untuk startup dari berbagai vertikal bisnis.

Mempertebal sinergi dan capital gain

Dalam kurun waktu cukup berdekatan Telkom mendelegasikan Telkomsel untuk membentuk unit investasi baru, yakni TMI. Kemudian dilanjutkan dengan sinergi Telkom dan KB Financial Group untuk mendirikan Centauri Fund.

Dengan rencana tambahan dua dana kelolaan baru–sepertinya bisa bertambah lagi–menandakan betapa pemerintah agresif untuk mendorong sinergi untuk memperkuat transformasi bisnis digital Telkom dalam beberapa tahun ke depan.

Tentu dengan semakin banyaknya kesempatan untuk berinvestasi di startup dapat menciptakan sinergi, baik dari sisi teknologi maupun transfer knowledge, yang dapat diserap seluruh anak usaha Telkom, utamanya Telkomsel sebagai penyumbang pendapatan terbesar.

Di sisi lain, MDI Ventures sebagai perpanjangan tangan investasi Telkom kini telah menghabiskan investasi tahap awal dengan mendanai 35 portofolio. Selama rentang empat tahun pasca-didirikan, MDI Ventures telah membuktikan kesuksesannya di bawah nakhoda Nicko Widjaja yang kini telah berlabuh ke BRI Ventures.

Dengan target penggalangan dana besar senilai Rp7 triliun dan iklim investasi di ekosistem digital yang semakin selektif , Telkom akan membuka peluang bagi investor lokal dan luar untuk lebih banyak masuk ke dalam kantong investasi selanjutnya.

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian