Bagaimana Seharusnya Startup Menerapkan “Bakar Uang”

Kurang dari muncul pemberitaan yang menyebutkan Lippo Group melepas sebagian sahamnya di platform dompet digital Ovo. Salah satu alasan yang diungkapkan adalah ketidakmampuan Lippo Group menyokong kegiatan cash burn rate atau “bakar duit” yang dilakukan secara masif.

Pertimbangan

“Bakar uang” bisa saja dilakukan namun tidak harus dilakukan. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan startup yang baru memulai bisnis dan menggunakan uang yang didapatkan dari investor untuk keperluan bisnis sebelum perusahaan menghasilkan keuntungan. Dari pendanaan yang diperoleh, kebanyakan startup menghabiskan uang yang besar jumlahnya untuk kegiatan tersebut. Alasannya tentu saja beragam, mulai dari akuisisi pengguna, brand awareness hingga keperluan untuk menambah tim hingga memindahkan kantor baru.

Saat ini, ketika banyak layanan e-commerce, penyedia dompet digital, hingga layanan transportasi ride-hailing melakukan kegiatan “bakar uang”, apakah menjadikan kegiatan tersebut wajib untuk dilakukan? Jawabannya tentu saja tidak. Jika pada akhirnya kegiatan ini menjadi rencana startup Anda, ada baiknya untuk melakukan pertimbangan dan kalkulasi akurat sebelum melancarkan kegiatan ini.

Burn rate selalu memiliki anggaran dan perlu dikeluarkan untuk mempercepat pertumbuhan. Ini bisa sepenuhnya dihindari tetapi sebagai hasilnya pertumbuhan akan melambat tetapi tidak berhenti. Jika pertumbuhan berhenti tanpa burn rate maka ada yang salah dengan produk,” kata CEO Dana Vincent Iswara.

Vincent melanjutkan, saat yang tepat untuk melakukan kegiatan ini adalah ketika produk sudah mengalami pertumbuhan sebelum kegiatan “bakar uang” mulai dilakukan. Kemudian saat yang tepat untuk berhenti adalah ketika biaya akuisisi mulai melebih anggaran yang ditentukan.

“Tentunya setiap industri memiliki kalkulasi yang berbeda-beda, tergantung dari customer lifetime value. Intinya adalah burn rate harus lebih rendah nilainya dari customer lifetime value,” kata Vincent.

Menurut Director of GK Plug and Play Indonesia Aaron Nio, kegiatan ini sah-sah saja dilakukan, tergantung pada industri yang disasar. Aturan umum praktis yang baik adalah kegiatan ini paling tidak sudah dipastikan hanya berjalan sekitar 6 bulan saja dan startup memiliki kemampuan untuk bisa bertahan. Dengan demikian ketika adanya perubahan yang terjadi secara drastis, semua bisa diantisipasi sejak awal.

Hal lain yang patut diperhatikan startup ketika ingin melakukan kegiatan bakar uang adalah unit ekonomi bisnis harus masuk akal.

“Saat yang tepat untuk mulai melakukan burn rate adalah ketika startup sudah melewati proses Product Market Fit, telah melakukan penggalangan dana untuk fokus kepada pertumbuhan, dan memiliki obyektif yang jelas serta target yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.”

Cara menghitung burn rate

Pada dasarnya tidak sulit untuk melakukan kalkulasi burn rate perusahaan. Yang perlu diperhatikan, burn rate dapat dihitung dengan atau tanpa faktor pendapatan dimasukkan ke dalam persamaan. Perhitungan “dengan penghasilan” dapat membantu agar lebih memahami kelayakan jangka panjang dari pengeluaran perusahaan. Skenario “Tanpa penghasilan” adalah perhitungan skenario terburuk yang menunjukkan berapa lama perusahaan mampu bertahan jika semua penghasilan tiba-tiba terputus.

Untuk menghitung rata-rata burn rate bulanan dalam setahun, kurangi uang tunai saat ini dari modal awal Anda, lalu bagi dengan 12. Misalnya, jika perusahaan memiliki $500.000 pada tanggal 1 Januari dan $200.000 pada tanggal 31 Desember:

($500.000 – $200.000) ÷ 12 bulan = burn rate $25.000

“Menurut saya cara tepat melakukan kalkulasi burn rate adalah it’s anywhere you spend your money on, biasanya per bulan. Pengeluaran per bulan berapa, sama dengan kita manage our own financial kali ya. Sebulan habis berapa buat makan, bensin/transport, hiburan, utilitas. So a startup calculate their burn rate based on their monthly expense,” kata Investment Manager Merah Putih Inc Chrisvania Handita Nyssa.

Terlepas dari situasi tersebut saat perusahaan mulai melakukan kegiatan “bakar uang”, pastikan setidaknya kegiatan tersebut dilakukan selama enam bulan. Kurang dari itu bisa jadi perusahaan tidak siap menerima perubahan pendapatan atau pengeluaran yang tidak terduga.

Dengan kata lain, pengeluaran bulanan perusahaan tidak boleh masuk ke modal minimum yang dibutuhkan, agar bisnis tetap berjalan selama enam bulan ke depan.

Pertumbuhan vs profit

Saat ini sudah banyak investor yang memilih untuk fokus ke profit dibandingkan growth. Jika sebelumnya metrik growth menjadi raja, kini tren tersebut sudah mulai beralih ke profit atau margin dan bagaimana perusahaan bisa memperoleh pendapatan positif tanpa harus bergantung kepada kegiatan “bakar uang”.

Menurut Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey, langkah tersebut sebaiknya diambil untuk menghindari potensi permasalahan di masa mendatang.

“Sejak awal kita selalu mengajak pendiri startup untuk memikirkan margin atau profit dibandingkan GMV, sehingga rencana dan target dalam jangka panjang sudah bisa ditentukan, bukan hanya prediksi atau target saja. Kita juga melakukan pendekatan yang unik saat mencari startup yang memiliki potensi, yaitu startup yang sedang tidak melakukan penggalangan dana. Mereka yang kami cari,” kata David.

Perusahaan yang meningkatkan pendapatan dengan cepat dan dengan margin kotor yang tinggi seringkali harus berinvestasi lebih banyak dari modal yang mereka miliki ke pertumbuhan.

Ketika perusahaan telah menemukan Product Market Fit, perusahaan akan tumbuh dengan cepat dan kesempatan untuk merebut market share terbuka lebar sebelum persaingan dengan pemain lainnya. Idealnya investasi yang baik dari dana tersebut adalah memperkuat tim engineer, kantor baru (jika memang benar-benar dibutuhkan), dan kegiatan pemasaran.

“Pada akhirnya memang burn rate tidak bisa dihindari, namun jika digunakan secara tepat dan efisien, ke depannya bisa memberikan hasil yang positif untuk perusahaan. Yang paling mengerti bagaimana mengelola kegiatan ini tentu saja pendiri startup dan tim terkait, karena mereka yang paling familiar dengan berbagai kendala dan tantangan yang ditemui. Untuk itu pastikan mengambil keputusan yang tepat, apakah kegiatan ‘bakar uang’ ini perlu dilakukan, untuk keperluan apa atau tidak perlu dilakukan,” kata Chrisvania.

Tanggung jawab pendiri

Menurut Paul Graham dari Y Combinator, penyebab jatuhnya startup adalah kehabisan uang atau keputusan mundur para pendiri. Seringkali keduanya terjadi secara bersamaan.

Hal lain yang wajib diperhatikan startup baru adalah memahami dengan benar pengeluaran perusahaan. Kebanyakan pendirinya tidak mengetahui berapa pengeluaran dan operasional perusahaan, karena fokus pendiri adalah bagaimana perusahaan bisa tumbuh dengan cepat. Pendiri startup wajib memonitor dan melakukan ulasan pengeluaran secara berkala, agar bisa merumuskan langkah tepat saat “bakar uang” tidak perlu dilakukan lagi.

Pendiri startup harus memastikan perusahaannya memiliki neraca yang kuat dan bisnis yang tumbuh dengan baik sehingga memungkinkannya mendapatkan modal lanjutan untuk mendukung kegiatan “bakar uang”.

Yang perlu diingat adalah semakin masif kegiatan “bakar uang” dilakukan, semakin tinggi pengaruh investor terhadap perusahaan jika pada akhirnya mereka mulai kehabisan uang dan tidak memiliki opsi lain.

Cara Bayar Tagihan Telkom Indihome di Aplikasi Dana

Selain membeli isi ulang pulsa, Dana juga menawarkan layanan pembayaran sejumlah tagihan, salah satunya tagihan Telkom Indihome. Yang menarik, Dana tidak hanya menyediakan pembayaran dari pemotongan saldo, tapi juga dari pembayaran akun virtual, sehingga pelanggan mempunyai banyak opsi untuk melakukan pembayaran.

Langsung saja kita masuk ke tutorialnya.

Jalankan aplikasi Dana seperti biasa, kemudian tap tombol See All untuk melihat jenis pembayaran lainnya.

Screenshot_20191205-134114_DANA(1)

  • Sekarang terlihat ada banyak jenis pembayaran lainnya. Untuk membayar tagihan Indihome, tap tombol Telkom di sub panel Utilities.

Screenshot_20191211-122811_DANA(1)

  • Masukkan nomor Indihome Anda dan tap Next.
  • Screenshot_20191211-122855_DANA(1)
  • Selanjutnya akan terlihat jumlah tagihan yang harus dibayarkan dan periodenya. Lanjutkan dengan menyentuh tombol Pay Now.

Screenshot_20191211-122902_DANA(1)

  • Secara default, saldo Dana akan jadi rujukan pertama pembayaran. Tetapi, jika Anda tidak mempunyai saldo yang mencukupi, Anda bisa memilih metode pembayaran melalui bank, tinggal pilih nama bank di bagian bawah.

Screenshot_20191211-122917_DANA(1)

  • Misalnya BCA. Sekarang, tap tombol Pay.

Screenshot_20191211-122931_DANA(1)

  • Maka, Anda akan mendapatkan nomor virtual yang jadi tujuan transfer dari bank yang Anda pilih.

Screenshot_20191211-122940_DANA(1)

Selesai, setelah pembayaran dilakukan maka tagihan Anda akan otomatis terupdate.

[Panduan Pemula] Cara Isi Pulsa Seluler di Aplikasi Dana

Yang sudah biasa menggunakan BukaLapak, tentu tak asing lagi dengan Dana, dompet digital yang menawarkan banyak kemudahan transaksi, salah satunya mengisi ulang pulsa seluler.

Tapi untuk dapat melakukan transaksi di Dana, Anda wajib melakukan aktivasi terlebih dahulu. Aktivasi bisa dilakukan di aplikasi BukaLapak atau aplikasi Dana terpisah yang bisa diunduh di Play Store.

  • Setelah akun aktif, sekarang kembali ke layar utama dan tap See All.

Screenshot_20191205-134114_DANA(1)

  • Selanjutnya tap Mobile Recharge.

Screenshot_20191205-134127_DANA(1)

  • Masukkan nomor ponsel Anda, kemudian pilih Mobile Credit jika ingin membeli pulsa atau Mobile Data untuk membeli paket internet. Kemudian pilih nominal yang diinginkan.

Screenshot_20191205-134236_DANA

  • Lanjutkan ke metode pembayaran, pilih metode yang Anda anggap paling mudah. Di kasus ini, saya membayar menggunakan saldo Dana.

Screenshot_20191205-134306_DANA(1)

  • Step selanjutnya Anda wajib memasukkan PIN Dana.

Screenshot_20191205-134313_DANA(1)

  • Jika berhasil, maka transaksi Anda akan langsung diproses.

Screenshot_20191205-134321_DANA(1)

Mudah dan praktis, kan?

Platform Dana bisa jadi alternatif jika platform lain seperti GoJek, Tokopedia, Ovo dan Traveloka sedang bermasalah.

Potensi Perluasan “Cashless Society” di Indonesia

Sejak tahun 2017 lalu, lebih dari tiga perempat masyarakat Tiongkok menggunakan pembayaran digital dan jumlahnya terus meningkat dengan cepat. Dukungan infrastruktur, teknologi, dan penetrasi internet yang meluas menjadikan negara Tirai Bambu tersebut sebagai cashless society paling terdepan secara global.

Tidak hanya pembayaran nontunai, Tiongkok juga sudah menjadi negara di Asia yang mengalami pertumbuhan paling agresif dalam hal pembayaran peer-to-peer, di mana penggunanya bisa saling melakukan pembayaran menggunakan teks. Menurut laporan Worldpay, hampir dua pertiga penjualan online dan lebih dari sepertiga pembayaran di toko ritel dilakukan melalui operator mobile dompet elektronik terkemuka, termasuk Alipay dan WeChat Pay.

Posisi Indonesia saat ini

Meluasnya cashless society di Tiongkok, yang sudah memasuki kota tier 3 dan 4, menjadi motivasi tersendiri bagi Indonesia, yang memiliki program Strategi Nasional Keuangan Inklusif, untuk mengikuti jejaknya.

Pemerintah berupaya memfasilitasi perluasan kehadiran cashless society dengan dua cara. Pertama perluasan infrastruktur konektivitas hingga ke pelosok melalui peluncuran Palapa Ring, sebuah proyek infrastruktur telekomunikasi di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.

Dukungan lain adalah peluncuran QR Code Indonesian Standard (QRIS) ke publik. Resmi diterbitkan bulan Agustus 2019 lalu, QRIS yang berlaku per tahun 2020 diharapkan menghadirkan efisiensi lalu lintas transaksi menggunakan uang elektronik dan perangkat digital lain yang mengadopsi kode QR.

Menurut pihak Ovo dan Dana, dua tantangan untuk memperluas adopsi penggunakan layanan nontunai adalah infrastruktur dan edukasi. Hal kedua ini terkait kebiasaan penggunaan uang tunai yang sudah membudaya.

“Mengapa pada akhirnya kita lebih fokus kepada kota-kota di tier 1, karena lokasinya yang lebih luas juga kesiapan masyarakat di kawasan tersebut untuk mulai mengadopsi pembayaran nontunai untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga memudahkan kami untuk menjangkau mereka, meskipun misi kami tentunya bisa hadir secara nasional,” ujar CEO Dana Vincent Iswara.

Sudah stabilnya konektivitas internet yang didukung rutinitas setiap hari yang membutuhkan akses ke skema nontunai menjadikan Jabodetabek paling ideal sebagai pilot project berbagai layanan nontunai.

“Di Ovo sendiri hingga saat ini kami sudah berada di 354 kota termasuk kota-kota di Papua seperti Nabire dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan penyebaran informasi yang merata dan edukasi yang masif, memungkinkan inklusi finansial terjadi di kota-kota tersebut,” kata Managing Director Ovo Harianto Gunawan kepada DailySocial.

CEO Investree Adrian Gunadi berpendapat, “Tantangan untuk bisa menyebarkan adopsi cashless society ke mereka adalah edukasi. Setidaknya untuk tahapan awal edukasi wajib untuk diberikan. Edukasi tersebut bisa dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan komunitas desa, lembaga keuangan yang mungkin sudah tersebar ke pelosok desa tersebut yang bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan perluasan edukasi,”

Ia menambahkan, mulai maraknya startup yang menjangkau pedesaan dan menawarkan pembiayaan dan konsultasi untuk meningkatkan hasil lahan pertanian, paling tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk mempelajari data agar semua bisa terukur dengan baik.

“Dengan kehadiran dan strategi yang dilancarkan oleh pemain fintech tentunya akan bisa men-leverage dari infrastruktur tersebut. Tidak hanya kota-kota besar tapi juga pedesaan sehingga ekonomi bisa meningkat sesuai dengan komitmen awal kami sebagai pemain fintech meng-cater masyarakat yang masih underserved dan unbanked dengan tujuan mengakselerasi pertumbuhan,” kata Adrian.

QRIS mendorong cashless society

Bank Indonesia menciptakan QRIS untuk menyederhanakan sistem pembayaran menggunakan QR Code di seluruh Indonesia. QRIS berfungsi mendukung pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, atau mobile banking. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, QRIS akan menjadi standar QR Code tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia.

Adanya QRIS, menurut penyedia layanan dompet digital seperti Ovo dan Dana, dipercaya bisa mempercepat penyebaran cashless society di Indonesia secara merata. Harianto menegaskan, diterbitkannya QRIS secara efisien bisa menjadi leapfrog untuk mempercepat pemerataan inklusi finansial.

Harianto melihat jika semua berjalan secara bersama (perbankan, fintech lending, penyedia dompet digital) dan saling mendukung proses yang ada tentunya bisa terintegrasi. Bukan hanya memudahkan proses, transaksi kode QR dinamis tergolong lebih aman, karena mesin EDC menghasilkan kode QR yang unik. Sementara melalui kode QR statis cenderung riskan.

“Untuk itu saya menyambut baik jika semua kalangan mulai dari perbankan hingga sesama pemain untuk bekerja bersama dan saling melakukan kolaborasi demi terciptanya sinergi dan integrasi yang terpadu. Jika tujuan akhir adalah mempercepat pemerataan inklusi finansial, kolaborasi harus tercipta,” kata Harianto.

Vincent menambahkan, sudah waktunya para pemain untuk tidak melulu fokus ke strategi untuk meraup market share, tetapi lebih ke kerja sama dan tumbuh bersama.

Cashless society di masa mendatang

Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Tiongkok untuk bisa menjadi negara cashless society terbesar di Asia. Jika kita berandai-andai apakah nantinya Indonesia bisa memasuki fase tersebut, baik Ovo, Dana, maupun Investree melihat potensi yang ada cukup positif.

“Kita lihat saja saat ini Indonesia termasuk yang paling cepat mengadopsi kebiasaan melakukan pembayaran nontunai. Didukung dengan makin seamless-nya teknologi yang ditawarkan oleh kami sebagai penyedia layanan dan berkembangnya ekosistem pendukung, saya melihat bukan tidak mungkin Indonesia akan bisa menjadi negara dengan cashless society yang besar jumlahnya,” kata Harianto.

Hal senada juga diungkapkan Vincent. Menurutnya, dengan teknologi yang relevan dan dukungan pihak perbankan yang melihat penyedia layanan uang elektronik sebagai kolaborator, bisa mempercepat penyebaran cashless society yang lebih merata.

“Pekerjaan rumah yang masih menjadi beban bagi kami adalah bagaimana bisa meyakinkan masyarakat lebih banyak lagi untuk terbiasa melakukan pembayaran secara nontunai. Saya melihat di kota tier 1 dan 2 saja ada beberapa di antara mereka yang masih enggan untuk mengunduh aplikasi Dana untuk melakukan pembayaran secara nontunai, meskipun sudah kami dampingi saat acara-acara offline. Artinya masih ada mindset di antara mereka yang enggan untuk mencoba,” kata Vincent.

Gaet Akulaku, Dana Mulai Uji Coba Fitur Paylater

Dana mulai gulir fitur paylater dengan menggaet startup lending Akulaku. Menurut laporan Katadata, fitur ini masih uji coba untuk sebagian kecil pengguna.

Disebutkan, untuk menggunakan layanan ini, pengguna harus mengisi data diri seperti nama, jenis pekerjaan, pendidikan terakhir, nama perusahaan, serta menyertakan foto dan identitas diri.

Lewat Dana, kemungkinan besar pengguna Akulaku bisa lebih mudah memanfaatkan limit kreditnya untuk transaksi di lebih dari 1000 merchant Dana di berbagai wilayah di Indonesia.

Baik itu dari sisi pilihan tenor maupun jangka waktu pinjaman, kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan produk yang biasa konsumen pakai ketika memakai Akulaku untuk transaksi di platform e-commerce.

Akulaku memberikan pinjaman maksimal Rp20 juta dengan pilihan tenor dari 1, 2, 3, 6, sampai 12 bulan dan bunga 2,95% per bulan.

Perusahaan juga turut aktif mengembangkan produk keuangan lainnya seperti Akulaku Offline, memungkinkan pengguna dapat membayar transaksi di merchant offline dengan limit yang ia punya di Akulaku.

Selain pinjaman konsumer, perusahaan kini mulai garap pinjaman produktif untuk pengembangan usaha para merchant online.  Di samping itu, Akulaku sendiri melengkapi produk pinjaman untuk cicilan mobil di dalam aplikasinya, rencananya akan dirilis pada akhir 2019.

Tak hanya dengan Dana, Akulaku sebelumnya juga hadir sebagai mitra pembayaran perdana di Bukalapak untuk produk BukaCicilan. Konsepnya juga kurang lebih mirip, konsumen bisa beli barang di Bukalapak, lalu mencicilnya sesuai jangka waktu yang diberikan.

Baru-baru ini, Dana mengumumkan perluasan kerja sama di bidang transportasi dengan Blue Bird untuk aplikasi My BlueBird.

Sebagai catatan, baik Dana dan Akulaku sama-sama saling terafiliasi dengan Alibaba. Dana adalah implementasi dari Alipay yang dibentuk oleh PT Elang Sejahtera Mandiri, anak usaha dari EMTEK. EMTEK sendiri punya kerja sama strategis dengan Ant Financial, pemilik Alipay.

Sementara itu, Akulaku memperoleh pendanaan untuk Seri D senilai $100 juta dengan turut masuknya Ant Financial sebagai investor baru yang masuk dalam putaran tersebut.

Kerja sama antara kedua perusahaan, membuktikan gurita bisnis Alibaba yang semakin kuat di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Pengguna TransferWise Bisa Kirim Uang dari Luar Negeri ke Akun Dana, Gopay, dan Ovo

TransferWise, startup remitansi berbasis di Eropa disebut sudah mulai memproses pembayaran internasional ke beberapa e-wallet Indonesia, Filipina, dan Bangladesh. Dikutip dari Reuters, langkah tersebut dilakukan untuk melebarkan jangkauan penerimaan pembayaran dan menjadi keseriusan perusahaan dalam memasuki pasar Asia.

Di luar itu, pertimbangan paling besar mungkin karena maraknya penggunaan aplikasi e-wallet di kawasan tersebut, sekaligus masih banyaknya kalangan unbanked di negara berkembang yang disasar.

“Ini pengakuan bahwa mungkin di masa depan kita akan melihat dompet yang sama dengan rekening bank,” terang CEO  TransferWise Kristo Käärmann.

Untuk Indonesia pengguna TransferWise bisa melakukan pengiriman uang ke Gopay, Ovo, dan Dana. Ketiganya saat ini masuk dalam jajaran pemimpin pasar untuk aplikasi pembayaran digital di Indonesia berkat integrasi dan kolaborasi yang dilakukan dengan banyak layanan.

Sementara untuk Filipina pengguna TransferWise dapat melakukan pembayaran ke layanan GCash yang juga didukung oleh Ant Financial dan PayMaya. Dan untuk Bangladesh memungkinkan penggunanya mengirimkan ke BKash.

Prosesnya masih satu arah, aplikasi e-wallet tersebut hanya bisa menerima pengiriman uang dari luar. Sementara untuk pengiriman uang belum bisa dilakukan.

Detail biaya pengiriman dan dana maksimal juga belum diinformasikan. Namun jika melihat batasan yang ada di aturan Bank Indonesia mengenai e-money, maksimal nilai yang disimpan 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Di Indonesia, layanan remitansi sendiri diatur oleh Bank Indonesia. Setiap pemain yang akan menghadirkan layanan terkait wajib untuk mendapatkan lisensi dari otoritas. Sejauh ini sudah ada beberapa pemain yang menawarkan solusi pengiriman uang ke luar negeri, salah satunya Top Remit.

Samsung Pay Resmi Gandeng Dana dan GoPay

Setelah sebelumnya diperkenalkan awal tahun 2019, Samsung Pay meresmikan kerja sama strategis dengan Dana dan GoPay untuk pengguna smartphone Samsung di Indonesia. Kepada media, Head of Product Marketing IT and Mobile Samsung Electronics Indonesia Denny Galant mengklaim, kehadiran Samsung Pay sebelumnya telah disambut baik di berbagai negara. Di Indonesia, Samsung Pay menggandeng Dana dan GoPay yang dinilai sudah memiliki positioning yang kuat dan platform dompet elektronik yang populer di Indonesia.

“Tujuan utama kami adalah memberikan kemudahan layanan kepada pengguna. hanya satu akses dan cara cepat dan mudah memanfaatkan camera, proses pembayaran menggunakan Dana dan GoPay bisa melalui smartphone Samsung.”

Semua smartphone Samsung yang diluncurkan tahun 2019 secara otomatis bisa memanfaatkan Samsung Pay secara pre-installed. Untuk seri lainnya juga bisa memanfaatkan Samsung Pay dengan mengunduh aplikasinya, selama versi OS smartphone tersebut adalah Android Pie. Samsung Pay hanya berfungsi sebagai akses, bukan dompet elektronik yang diterbitkan oleh Samsung.

“Kita berupaya untuk memberikan kemudahan kepada pengguna yang saat ini banyak menggunakan aplikasi dompet digital. Berdasarkan riset Kadence Indonesia tahun 2019, sebanyak 57% pengguna smartphone telah memiliki uang elektronik dalam aplikasi maupun kartu fisik,” kata Denny.

Samsung sendiri saat ini mengklaim telah memiliki 70% market share untuk seri premium. Jumlah tersebut bisa dimanfaatkan Dana dan GoPay untuk memperluas layanan sekaligus menambah jumlah pengguna. Untuk saat ini Samsung Pay dengan Dana sudah bisa dinikmati pengguna, sementara untuk GoPay, baru bisa diluncurkan awal tahun 2020 mendatang.

Jaminan keamanan Dana

Pengguna yang ingin menikmati akses akun Dana di Samsung Pay, tidak harus mengunduh aplikasi Dana. Di aplikasi Samsung Pay, integrasi platform Dana sudah lengkap dengan pilihan pembayaran, transfer, dan lainnya.

Pengguna tidak perlu lagi membuka aplikasi Dana jika ingin melakukan pembayaran. Hanya dengan akses camera, QR Code yang diminta untuk proses pembayaran bisa langsung di-scan dan secara otomatis akan terkoneksi dengan akun Dana pengguna.

“Sebagai global player yang telah memiliki jumlah pengguna yang besar, kami melihat kerja sama ini sangat menguntungkan Dana. Sesuai dengan misi dan visi dana memudahkan penyebaran cashless society di Indonesia,” kata CEO Dana Vincent Iswara.

Dari sisi keamanan, Dana menjamin semua proses berlapis telah diterapkan, sehingga para pemilik akun Dana tidak perlu merasa khawatir akan akses terbuka yang terdapat dalam Samsung Pay.

Setelah kerja sama dengan Dana dan GoPay, Samsung Pay juga memiliki rencana untuk menjalin kemitraan dengan platform dompet elektronik lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Petinggi Dana, GoPay, LinkAja, dan Ovo Tanggapi Strategi Bakar Uang

Strategi ‘bakar uang’ lumrah dipakai oleh perusahaan baru dalam mengakuisisi konsumen dalam waktu yang singkat. Ada pro kontra bila ini dilakukan dalam waktu lama. Selain tidak sehat untuk industri, juga konsumen akan didorong untuk hidup konsumtif.

Bagaimana para pemain fintech pembayaran menanggapi strategi ini? Pertanyaan ini diangkat dalam salah satu sesi di Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 hari kedua, kemarin (24/9). Mengundang Aldi Haryopratomo (GoPay), Harianto Gunawan (Ovo), Vincent Iswara (Dana), Danu Wicaksana (LinkAja), dimoderatori oleh Ketua Aftech Niki Luhur.

Seluruh pemain sepakat bahwa promosi dilakukan untuk mengedukasi masyarakat yang sehari-harinya masih menggunakan transaksi tunai dalam kesehariannya. Harianto mengelaborasi lebih dalam. Dia menjelaskan ada dua hal yang membuat konsumen mau beralih dan menggunakan aplikasi pembayaran, yakni kepercayaan dan kenyamanan.

“Proses bank dalam bangun kepercayaan di pasar sampai bertahun-tahun, kita [perusahaan teknologi] tidak bisa melakukan seperti itu. Cara tercepat dalam meraih kepercayaan, siapa itu kita, perlu dengan insentif. Ini adalah investasi terbesar yang perlu dilakukan untuk bangun kepercayaan,” katanya.

Untuk bisa mendorong orang pindah dari transaksi tunai ke nontunai, butuh proses. Terlebih, menurutnya mayoritas penduduk di Asia Tenggara masih menggunakan tunai. Di Indonesia saja, layanan pembayaran digital masih di bawah 10%.

Sepakat dengan Harianto, Aldi menambahkan insentif itu dibutuhkan untuk mengalihkan orang dari tunai ke non tunai. Namun dia menekankan, insentif yang diberikan harus kepada orang yang tepat dan waktu yang tepat pula. Pun, insentif tidak hanya diberikan ke pembeli saja, tapi juga ke mitra penjual.

“Mitra kami mayoritas adalah UKM, ketika kami beri insentif, mereka bisa merasakan langsung dampaknya. Penjualan mereka naik double. Dari sini, mereka akan merasa perlu untuk geser ke non tunai.”

Sementara itu, Vincent juga menekankan bahwa promosi itu bukan satu-satunya hal yang mendorong masyarakat untuk beralih ke digital. Menurutnya yang terpenting adalah akses, bagaimana mereka bisa memanfaatkan layanan ini untuk top up dan cash out semudah bertransaksi tunai.

Pasalnya, bertransaksi digital ini tidak mengurangi nominal saldo yang ada di ATM. Makanya Dana fokus perbanyak kerja sama untuk keagenannya, beberapa nama di antaranya Ramayana, Bukalapak, dan Alfa Group.

“Pada akhirnya ini mengenai edukasi, burning money untuk mengubah gaya hidup digital itu tidak murah, butuh effort, waktu, dan mindset.”

Vincent mencontohkan, kejadian nyata ini dialami sendiri oleh Dana saat menggelar acara offline. Konsumen tidak perlu bayar apapun asalkan mengunduh aplikasi Dana untuk bertransaksi di dalamnya. Menariknya dari total pengunjung, hanya 20% yang mau untuk pakai Dana.

“Kejadian ini mindblowing. Saya tanya ke mereka kenapa tidak mau pakai? Mereka bilang kurang nyaman sehingga lebih baik pakai tunai saja. Ini memperlihatkan butuh effort ekstra untuk mengubah mindset.”

Terakhir, Danu mengaku pihaknya lebih memilih untuk bakar uang secara tepat guna. Dengan menggabungkan pengalaman dari tiga bank pemegang saham di balik Dana dengan semangat agility dari startup, menghasilkan insight penting agar perusahaan lebih cerdas dalam bakar uang.

“Ada dua metrik yang kita ukur sebelum bakar uang, dari persentase orang yang datang dari tunai dan nasabah bank ke LinkAja. Itu terlihat seberapa tinggi yang butuh e-money. Lalu peta distribusinya, apakah dari 2nd atau 3rd tier. Ini penting buat tahu investasi yang kita tempatkan benar-benar sentuh mereka.”

Kesediaan untuk menerapkan ekosistem terbuka

Pertanyaan lain yang diajukan moderator kepada para panelis adalah apakah keempat pemain ini bersedia untuk merelakan infrastruktur yang sudah dibangun untuk dipakai bersama pemain sejenis yang tak lain adalah kompetitor langsungnya.

Menanggapi ini, Harianto menegaskan Ovo bukan kompetitor dengan GoPay, LinkAja, dan Dana. Justru kompetitor keempatnya adalah uang tunai. Untuk itu pihaknya sangat terbuka dengan kolaborasi, terutama dengan perbankan.

Dia juga mengapresiasi penerapan QRIS oleh BI, yang dinilai sangat brilian dalam mendukung integrasi antar pemain dan interoperabilitas satu sama lain. Imbas akhirnya adalah pemain dapat menekan ongkos yang harus mereka keluarkan untuk mengakuisisi merchant.

“Kita sangat terbuka, makanya menganut open ecosystem. Jika kita bisa bersatu maka bisa mengalahkan dominasi cash.”

Aldi menanggapi pertanyaan ini dengan mengumbar info terbaru bahwa saat ini mesin EDC dari GoPay sudah bisa menerima pembayaran dari LinkAja, dalam mendukung ekosistem terbuka. Dari sisi LinkAja, tentunya hal ini bisa mengurangi ongkos perusahaan dalam investasi mesin EDC baru dan menempatkannya di merchant mereka.

“Ekosistem terbuka itu adalah gol kita, infrastruktur yang kita bangun bisa dipakai oleh partner. QRIS juga sangat menguntungkan kita untuk mencapai gol kita,” tutupnya.

Grab is Said to be In Talk to Merge Ovo and Dana

Reuters reports that Grab, one of Ovo’s backers, intends to spur the merger of Ovo and Dana. It is said to take part in Grab and Gojek’s competition for the payment platform. GoPay and Ovo are known as the two leading platforms of digital payment in Indonesia, followed by Dana as the closest competitor.

No official statement has been confirmed by the related parties.

Ovo was founded by Lippo Group and supported with Grab and Tokopedia. Ovo’s current CEO, Jason Thompson, was previously the Head of GrabPay.

Reuters also mentioned that the plan has been discussed with Softbank’s CEO, Masayoshi Son during his visit in Jakarta.

Softbank has been one of Grab’s significant investors. Alibaba, Softbank’s biggest porttfolio, created Dana through joint ventures with Emtek–which recently closed down BBM.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Grab Disebut Dorong Ovo dan Dana untuk Merger

Reuters menyebutkan bahwa Grab, salah satu pendukung platform pembayaran digital Ovo, sedang mendorong terjadinya merger antara Ovo dan Dana. Disebutkan langkah ini merupakan bagian persaingan Grab dan Gojek, termasuk di platform pembayaran. GoPay dan Ovo kita kenal sebagai dua platform terpopuler untuk pembayaran digital di Indonesia, sementara Dana membuntuti sebagai pesaing terdekat keduanya.

Belum ada konfirmasi resmi dari semua pihak yang terlibat.

Ovo awalnya didirikan oleh Lippo Group dan telah memperoleh dukungan Grab dan Tokopedia. CEO Ovo saat ini, Jason Thompson, sebelumnya adalah Head of GrabPay.

Sumber Reuters menyebutkan rencana ini sudah didiskusikan dengan CEO Softbank Masayoshi Son saat kedatangannya ke Jakarta beberapa waktu lalu dan ia sudah memberikan persetujuannya.

Softbank adalah investor signifikan bagi Grab, sedangkan Alibaba, juga portofolio terbesar Softbank, memiliki separuh kepemilikan Dana melalui Ant Financial (Alipay)–separuhnya dimiliki oleh Emtek yang baru saja menutup BBM.

Merger Ovo dan Dana, jika terwujud, bakal menjadi amunisi yang luar biasa di sektor pembayaran, mengingat Dana digunakan oleh platform marketplace besar lainnya, Bukalapak, dan kini sedang menggencar melancarkan promosi di merchant offline.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here