Investree Akuisisi Hampir 19% Saham Amar Bank

Investree Singapore Pte Ltd (Investree Group) mengumumkan akuisisi saham minoritas di Amar Bank sebesar 18,84%, bagian dari Tolaram Group, pasca penandatanganan perjanjian transaksi. Langkah strategis tersebut dipercaya dapat mempercepat inklusi keuangan di Indonesia.

Ke depannya, kedua belah pihak akan melakukan sinergi bisnis untuk menyediakan ragam produk pembiayaan dan menawarkan solusi bisnis digital untuk meningkatkan operasi UMKM secara nasional. Selaras dengan ambisi Investree Group, yang beroperasi di Indonesia di bawah PT Investree Radhika Jaya (Investree), berkomitmen untuk memperluas akses layanan keuangan bagi UMKM melalui solusi perbankan digital.

Pasalnya, ada sekitar 92 juta dan 47 juta orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank dan tidak memiliki rekening bank di Indonesia masing-masing, dan segmen UMKM yang tidak memiliki rekening bank serta berkembang pesat menyumbang sekitar 60% dari PDB.

Direktur Investree Group, Co-founder dan CEO Investree Adrian Gunadi menuturkan bahwa inisiatif tersebut dalam rangka menciptakan kolaborasi yang kohesif antara fintech dan bank serta melakukan inovasi produk untuk menyediakan layanan pembiayaan digital dan solusi bisnis yang lebih terintegrasi, sebagai perluasan jangkauan kepada calon debitur/UMKM di kota-kota yang masuk dalam jaringan Amar Bank.

“Selain itu, akuisisi akan semakin meningkatkan ekosistem yang kuat yang telah memungkinkan peningkatan potensi strategis Investree untuk memberdayakan UMKM di seluruh negeri. Komitmen ini sejalan dengan salah satu agenda prioritas Presidensi G20 Indonesia, yaitu mendorong inklusi keuangan khususnya bagi komunitas UMKM yang selama ini belum terlayani dengan baik oleh perbankan,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Selasa (10/5).

Managing Director, Fintech & Infrastructure Tolaram Navin Nahata menambahkan, kehadiran Investree, sejalan dengan upaya perusahaan untuk membangun Amar Bank menjadi bank digital terkemuka yang berfokus pada konsumen dan UMKM.

Dia memercayai pengetahuan mendalam Investree tentang ruang pembiayaan UMKM lokal memungkinkan Amar Bank mempercepat inovasi diversifikasi produk untuk menangani segmen ekonomi Indonesia yang penting namun secara historis kurang terlayani. “Kami menantikan kemitraan yang sukses dan berjangka panjang dengan Investree,” ujarnya.

Presiden Direktur Amar Bank Vishal Tulsian turut memberikan pernyataannya, “Transaksi ini merupakan langkah maju yang signifikan bagi Amar Bank. Keterlibatan dan keahlian Investree akan memungkinkan kami untuk memperkenalkan penawaran produk baru dan lebih baik untuk UMKM di Indonesia, di samping produk pinjaman digital unggulan kami, Tunaiku dan bank khusus seluler, Senyumku. Bersama-sama, kami akan menghadirkan Digital Banking with an Impact.”

Kinerja Amar Bank

Berdasarkan paparan kinerja Amar Bank, bank meraih laba bersih sepanjang tahun lalu sebesar Rp4,1 miliar dan kenaikan total aset sebesar Rp5,2 triliun yang tumbuh 28,2% (yoy). Dari sisi pinjaman, tumbuh 40,1% secara tahunan atau sebesar Rp2,4 triliun. Mayoritas pinjaman datang dari platform pinjaman Tunaiku yang menyalurkan Rp2 triliun atau naik 63%.

Masuknya Investree, juga merupakan upaya Amar Bank untuk memenuhi ketentuan inti minimum sebesar Rp3 triliun di penghujung 2022, berdasarkan POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang konsolidasi bank umum. Bank telah menyelesaikan Rights Issue I pada 1 Maret 2022, dan tetap optimis bisa memenuhi ketentuan hingga akhir tahun ini.

Hal yang sama juga dilakukan oleh bank kecil lainnya. Sebelumnya, ada Xendit yang mengakuisisi saham Bank Sahabat Sampoerna, induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Terus Perluas Kerja Sama dengan Perbankan

Traveloka semakin intensif menjalin kerja sama dengan perbankan lokal. Pekan lalu, mereka baru saja mempererat hubungan dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kali ini kesepakatan tersebut berhasil membawa layanan OTA milik Traveloka masuk di aplikasi mobile banking BRImo.

Pengguna BRImo kini bisa memesan berbagai jenis akomodasi, mulai dari Pesawat, Hotel, sampai dengan Bus/Shuttle tanpa harus berpindah aplikasi lewat menu “Travel”. BRImo sendiri juga memiliki misi untuk menjadi financial super apps agar bisa melayani berbagai kebutuhan nasabah dalam satu aplikasi saja.

Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengungkapkan, kerja sama strategis bersama Traveloka diharapkan bisa menjadi solusi bagi nasabah yang ingin merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman.

“Dengan adanya kerja sama strategis dengan Traveloka, kami harapkan dapat memberikan value tambahan kepada nasabah dan hal ini merupakan bagian dari transformasi BRI untuk memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi melalui BRImo SuperApps yang sudah terintegrasi dengan Traveloka, sehingga nasabah tidak perlu lagi berpindah-pindah aplikasi untuk melakukan pembelian tiket,” ujar Handayani.

Sebelumnya kerja sama Traveloka dan BRI sudah terjalin sejak tahun 2019 lalu, ketika keduanya bersama-sama meluncurkan kartu kredit Paylater Card. BRI juga sempat dikabarkan tengah menjajaki investasi strategis ke Traveloka — namun ketika kami coba konfirmasi ke pihak terkait, mereka menolak untuk memberikan komentar.

Kerja sama dengan Bank Jago

Selang sepekan, Traveloka kembali mengumumkan kerja samanya dengan Bank Jago. Tujuannya untuk memperluas penyaluran kredit lewat Traveloka Paylater. Hal ini dilakukan di tengah pertumbuhan pesat layanan pembiayaan tersebut. Diklaim Traveloka Paylater telah tumbuh hingga 10x lipat sejak pertama diluncurkan tahun 2018 dan menyasar masyarakat underbanked yang terkendala masalah finansial.

“Kemitraan dengan Bank Jago telah memperluas peluang penyaluran kredit kepada masyarakat underbanked di Indonesia, khususnya pengguna Traveloka Paylater yang kerap kali mengalami kesulitan akses finansial untuk memenuhi kebutuhan perjalanan dan gaya hidup mereka […] Melalui kerja sama ini kami optimis untuk dapat memberikan kontribusi terhadap inklusi keuangan serta berharap dapat meningkatkan nilai bisnis kedua belah pihak,” ujar CFO Traveloka & Presiden PT Caturnusa Sejahtera Finance Doan Lingga.

PT Caturnusa Sejahtera Finance adalah perusahaan pembiayaan di bawah Traveloka yang memiliki lisensi untuk memberikan layanan pinjaman berbasis teknologi.

Dukung debut digital Allo Bank

Allo Bank awal tahun ini mendapatkan dukungan strategis dari berbagai pebisnis digital, termasuk Bukalapak, Carro, dan Grab. Tak mau ketinggalan, Traveloka pun turut terlibat mendukung debut produk bank digital yang akan segera diluncurkan ke publik oleh Allo. Dukungannya tidak berbentuk kapital seperti dari yang lain, namun ada kemungkinan integrasi dengan superapp lifestyle di ekosistem Traveloka.

Dalam sambutannya mengenai kerja sama dengan Allo Bank, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi berujar, “Saya antusias untuk menyambut Allo di Traveloka. Sebagai superapp lifestyle, kami adalah platform independen dengan beragam penyedia kredit di Indonesia dan kami akan bekerja sama dengan Allo untuk menyesuaikan produk-produk pinjaman ini dengan kebutuhan gaya hidup dan aspirasi para pengguna kami.”

Lini fintech berpotensi jadi bisnis besar

Lebih dari sekadar OTA, ambisi Traveloka untuk membangun aplikasi gaya hidup yang menyeluruh terus diperlihatkan. Tak terkecuali melalui inovasi fintech yang terus diperkuat untuk mendukung sistem transaksi. Selain tiga bank di atas, sebenarnya ada pihak lain yang sebelumnya turut memberikan dukungan khusus ke lini finansial Traveloka ini, sebut saja BNI yang turut mendukung produk paylater mereka.

Dalam sebuah kesempatan di akhir 2019, bahkan salah satu eksekutif Traveloka sempat sesumbar bahwa lini fintech Traveloka —termasuk di dalamnya paylater— telah mendekati menjadi bisnis bernilai $1 miliar.

Lewat PT Caturnusa Sejahtera Finance, Traveloka juga cukup leluasa berinovasi dengan layanan pembiayaan dan turunannya. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna. Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Dukungan lembaga finansial seperti bank jelas dapat memberikan kekuatan lebih bagi Traveloka untuk mengoptimalkan potensi bisnis fintech-nya. Karena kolaborasinya dengan perbankan juga bisa direalisasikan dalam berbagai bentuk, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya termasuk perluasan akses kredit dan loan channeling.

Application Information Will Show Up Here

BNI Gandeng Sea Group Jadi Mitra Teknologi Usai Rampungkan Akuisisi Bank Mayora

Perusahaan raksasa internet Sea Group kembali terlibat dalam kolaborasi bank digital di Indonesia. Kali ini, PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) mengumumkan bahwa Sea Group akan menjadi mitra teknologi Bank Mayora.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan proses akuisisi Bank Mayora sudah rampung dan saat ini sedang menyusun pengembangan bisnisnya. “Sea Group terlibat dalam penyusunan model bisnis, termasuk mendesain IT untuk Bank Mayora,” tutur Royke dalam konferensi pers beberapa waktu lalu seperti diberitakan Bisnis.com.

Pemegang saham BNI telah memberi lampu hijau terhadap akuisisi Bank Mayora lewat RUPS Tahunan pada Maret 2022. BNI mencaplok sebesar 63,92% saham atau setara 1,19 miliar saham Bank Mayora dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Menariknya, Royke juga bilang akan membuka kesempatan kepada induk usaha Shopee tersebut untuk memiliki memiliki sebagian saham Bank Mayora. “Saat ini belum, tapi kami terbuka untuk terdilusi kepemilikannya dari 60 sekian persen menjadi 50 persen apabila Sea mau ambil porsi,” ucapnya.

Sebagai informasi, ini menjadi kali kedua Sea Group terlibat pada bank digital di Indonesia. Sebelumnya, Sea Group mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) tahun lalu. Kemudian, Bank BKE berganti nama menjadi Seabank. Adapun, Sea Group telah mendapat lisensi bank digital penuh di Singapura pada Desember 2020, melalui konsorsium bersama Grab-Singtel.

Keterlibatan Sea Group

Fakta bahwa bank BUMN menggaet mitra teknologi dari luas, cukup menimbulkan pertanyaan. Apakah ini berkaitan juga dengan pangsa pasar dan sinergi yang akan diincar Bank Mayora?

Sea group memiliki kapabilitas teknologi yang tidak diragukan, terutama melalui bisnis Shopee yang punya pangsa dan posisi kuat di pasar marketplace Indonesia. Shopee memiliki ekosistem layanan yang lengkap, mulai dari marketplace, dompet digital, food delivery, hingga mart. Pertumbuhan Shopee utamanya didorong dari transaksi mobile oleh pelaku UMKM. Berdasarkan data Similarweb per Maret 2022, kunjungan bulanan ke desktop dan mobile Shopee mencapai 131,6 juta.

Dalam catatan kami, Bank Mayora nantinya akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Sebagai perbandingan dengan bank BUMN lain, BRI lewat Bank Raya (sebelumnya BRI Agro) akan masuk ke pasar gig economy. Sementara, Mandiri yang memilih mengembangkan produk existing Mandiri Livin‘, akan memperkuat ekosistemnya sebagai super app untuk segmen retail dan wholesale.

Sementara dalam konteks kolaborasi dengan marketplace lokal, bank digital “blu” yang juga anak usaha BCA, sudah berafiliasi dengan Blibli. Keduanya sama-sama merupakan anak usaha dari perusahaan konglomerasi Grup Djarum. Kemudian, ada Gojek yang mencaplok saham Bank Jago, hanya saja saat itu Gojek belum resmi merger dengan Tokopedia.

Bukalapak juga telah berafiliasi dengan sejumlah bank, di antaranya kemitraan banking-as-a-service (BaaS) dengan Standard Chartered dan sebagai investor strategis di Allo Bank milik CT Group.

Xendit Klarifikasi Tidak Terlibat dalam Pengelolaan Aplikasi Bank Digital “Nex”

Xendit mengeluarkan pernyataan resmi terkait keterlibatannya dalam pengembangan aplikasi digital banking Nex. Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan.

“Aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji coba terbatas, dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna,” tulis manajemen.

Pernyataan yang dikeluarkan Xendit ini untuk meluruskan pemberitaan sebelumnya yang ditayangkan DailySocial.id, menyebutkan bahwa aplikasi Nex dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya berdasarkan laman Kebijakan Privasi.

Dari pantauan DailySocial.id, fitur awal yang ditawarkan Nex adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Penawaran tersebut cukup lumrah seperti bank digital kekinian lainnya.

Sebelumnya Xendit mengonfirmasi telah melakukan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna dan akan menjadi mitra teknologi bank untuk mengembangkan infrastruktur teknologi, serta meningkatkan proses internal dan produk.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Xendit menjadi startup fintech berikutnya yang serius menggarap bank digital. Di antaranya, ada induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here

Modalku and Carro Announces “Co-Investment” to Bank Index

Modalku Group (known as Funding Societies in Singapore, Malaysia and Thailand) partners with automotive trading platform, Carro, announced a co-investment in PT Bank Index Selindo (Bank Index). The value of this joint investment is still undisclosed.

In the official statement, Modalku’s Co-founder & CEO, Reynold Wijaya said this collaboration is to support Modalku’s business strategy to enter the neobank industry. In addition, he considered Bank Index to be the right partner to empower and develop MSMEs.

“Since 2015, Modalku Group has been a partner in the banking industry in all of our operational areas. The partnership with Bank Index will bring fintech and banking collaboration to a higher level. We want to support MSMEs across banking, payments, loans and digital services,” Reynolds said.

Carro Indonesia’s CEO, Jeremy Ong agreed on this co-investment step to be the native option to be part of the journey to build capabilities and infrastructure in the automotive ecosystem, both in terms of purchasing, MSMEs, to insurance.

Previously, Carro has entered the ranks of Allo Bank investors with Bukalapak and Grab.

On a general note, Bank Index is a private bank with 52 office networks in Greater Jakarta, Java, Sumatra, Bali and Batam. Bank Index focuses on the MSME segment and operates in the commercial supply chain.

The Modalku Group is a funding platform for MSMEs in Southeast Asia that has licenses in Singapore, Indonesia, Thailand, Malaysia, and currently available in Vietnam. Modalku offers loans of up to IDR 2 billion for MSMEs who have difficulty with business capital.

According to the latest data, the Modalku Group has disbursed around Rp33.02 trillion business loans with through 5 million MSME loans.

Financial inclusion through neobank

Some fintech players are also announcing their collaboration or synergy with banks. The purpose of this act is none other than to expand financial services, especially to the MSME and unbanked segments.

Previously, KoinWorks partners with Bank Sampoerna to launch the neobank service, KoinWorks NEO. At that time, KoinWorks’ Co-founder & CEO, Benedicto Haryono said that neobank was the first gateway to increase MSME capabilities, which were still underserved and underbanked, before advancing to a higher level and worthy of access to credit.

As summarized in the AFTECH 2021 Annual Report, OJK noted that the financial literacy index in Indonesia rose 8.3% from 29.7% in 2016 to 38% in 2019. The growth of this index indicates the importance of expanding fintech services to rural areas. Meanwhile, 69% of fintech players have served this area.

However, Indonesian  fintech players still facing big challenges to expand their business outside Jakarta, where 23% and 19% of respondents admit that it is difficult to expand outside Java and rural areas due to financial literacy (55%), infrastructure (44%), and culture (20%).

Meanwhile, this report states that fintech services in the neobank, IKD, wealth management, and securities crowdfunding categories are still in a growth phase due to new regulatory factors for banks, especially those related to digital banks, therefore, market development is not optimal in terms of product and service offerings.

However, these four categories are considered to finally raising traction in the market in line with increasing efforts by players in the financial ecosystem to expand financial inclusion beyond tier 1 cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Modalku dan Carro Umumkan “Co-Investment” di Bank Index

Grup Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura, Malaysia, dan Thailand) bersama platform jual-beli otomotif Carro mengumumkan investasi saham bersama (co-investment) di PT Bank Index Selindo (Bank Index). Tidak disebutkan nilai investasi bersama ini.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, kolaborasi ini mendukung strategi bisnis Modalku untuk masuk ke industri neobank. Di samping itu, ia menilai Bank Index menjadi partner yang tepat untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM.

“Sejak 2015, Grup Modalku telah menjadi mitra industri perbankan di seluruh wilayah operasional kami. Kemitraan dengan Bank Index akan membawa kolaborasi fintech dan perbankan ke level lebih tinggi. Kami ingin mendukung UMKM di lintas perbankan, pembayaran, pinjaman, dan layanan digital,” ujar Reynold.

CEO Carro Indonesia Jeremy Ong juga mengatakan bahwa langkah co-investment ini menjadi opsi natural untuk menjadi bagian dari perjalanan membangun kapabilitas dan infrastruktur di ekosistem otomotif, baik dalam hal pembelian, UMKM, hingga asuransi.

Carro sebelumnya juga masuk ke jajaran investor Allo Bank bersama Bukalapak dan Grab.

Sebagai informasi, Bank Index merupakan bank swasta dengan 52 jaringan kantor di Jabodetabek, Jawa, Sumatera, Bali, dan Batam. Bank Index memiliki fokus di segmen UMKM dan menjalankan bisnis pada rantai pasokan komersial.

Adapun Grup Modalku merupakan platform pendanaan bagi UMKM di Asia Tenggara yang memiliki lisensi di Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan saat ini juga beroperasi di Vietnam. Modalku menawarkan pinjaman hingga Rp2 miliar bagi para UMKM yang kesulitan dengan modal bisnis.

Menurut data terbaru, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha sebesar Rp33,02 triliun kepada dengan jumlah transaksi mencapai 5 juta pinjaman UMKM.

Inklusi keuangan via neobank

Sejumlah pelaku fintech ramai-ramai mengumumkan kolaborasi atau sinerginya bersama perbankan. Tujuan kolaborasi ini tak lain untuk memperluas layanan keuangan, terutama ke segmen UMKM dan unbanked.

Sebelum ini, KoinWorks menggandeng Bank Sampoerna untuk meluncurkan layanan neobank UMKM KoinWorks NEO. Kala itu, Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyebut neobank menjadi gerbang awal untuk meningkatkan kapabilitas UMKM yang masih underserved dan underbanked, sebelum naik tingkat dan layak mendapat akses kredit.

Sebagaimana terangkum dalam Laporan Tahunan AFTECH 2021, OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3% dari 29,7% di 2016 menjadi 38% di 2019. Pertumbuhan indeks ini menandakan pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69% pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23% dan 19% responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Adapun, laporan ini menyebutkan layanan fintech di kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan dikarenakan faktor regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan.

Akan tetapi, keempat kategori ini dinilai mulai menggalang daya tarik di pasar sejalan dengan meningkatkan upaya pelaku di ekosistem keuangan untuk memperluas inklusi keuangan ke luar kota-kota tier 1.

Application Information Will Show Up Here

Masih Berkondisi “Stealth”, Honest Bank Dikabarkan Telah Bervaluasi Centaur

Masih dalam mode “stealth”, startup digitalopen banking Honest Bank dikabarkan telah mencapai valuasi sekitar $200 juta. Hal ini ditopang dengan pendanaan yang terus mengalir.

Menurut data yang disetor ke regulator, terakhir pada April 2022 ini sejumlah investor turut menambah pundi-pundi modal lebih dari $10,4 juta, di antaranya XYZ Capital, Digital Horizon, Alumni Ventures, dan sejumlah nama lainnya.

Sebelumnya, di tahap seed Honest Bank mendapatkan dukungan dalam XYZ Capital dan Village Global senilai hampir $3 juta. Kemudian dilanjutkan pendanaan seri A senilai hampir $23 juta dari Insignia, Global Founder Capital, Alpha JWC Ventures, dan beberapa lainnya. Jika ditotal dana ekuitas yang berhasil dibukukan sejauh ini hampir $37 juta.

Sementara itu, sampai saat ini produk atau layanan Honest Bank masih belum diluncurkan ke publik. Namun diketahui, perusahaan berbasis di Singapura itu memiliki misi untuk menawarkan platform keuangan yang bisa memberikan akses layanan perbankan yang adil kepada masyarakat di Asia Tenggara.

Startup ini mulai diinisiasi sejak 2019 oleh Peter Panas dan Will Ongkowidjaja. Will sendiri adalah salah satu Founding Partner dari Alpha JWC Ventures.

Indonesia jadi prioritas pasar

Awal tahun ini, Honest Bank mengakuisisi mayoritas saham (71,2%) dari PT Sahabat Finansial Keluarga (SFK). SFK adalah perusahaan pembiayaan yang dimiliki PT Bank Permata Tbk.

Berdasarkan keterbukaan di BEI, nilai akuisisi ini 241 miliar Rupiah. Disampaikan oleh Direktur Bank Permata Chalit Tayjasanant, akuisisi diharapkan bisa memperkuat lini pembiayaan konsumen dan produk keuangan inovatif SFK.

Selain terkait akuisisi SFK, sinyal rencana menjadikan Indonesia sebagai pasar debut mereka, saat ini perusahaan tengah melakukan perekrutan sejumlah posisi untuk ditempatkan di Jakarta.

Selain Indonesia, Thailand juga menjadi target awal yang sepertinya akan disinggahi Honest Bank.

Membaca Arah Startup Akuisisi BPR (Bagian II)

Ini merupakan tulisan lanjutan dari bagian pertama

Bala Bantuan untuk Industri BPR

Meningkatkan daya saing di industri BPR jadi barang wajib agar mereka dapat bertahan. Co-Founder dan CEO Komunal Hendry Lieviant menuturkan, sebelum pandemi banyak BPR yang terlena dan tidak merasa perlu untuk melakukan digitalisasi. Dalam menyalurkan kredit, mereka memang bisa memanfaatkan sumber dana dari berbagai pihak. Namun, mengumpulkan dana pihak ketiga (tabungan dan deposito) ternyata susah bukan main.

“BPR ini perlu lebih kompetitif tapi karena dorongan untuk digitalisasinya tidak terasa urgent, jadinya kesannya nanti-nanti saja. Tapi begitu pandemi, mereka jadi terjepit. Pandemi ini katalis untuk berubah. Jadi dipaksa harus berubah, kalau tidak ya tidak akan survive,” kata dia.

Kondisi tersebut benar adanya. Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menyampaikan, ada empat poin utama yang menjadi tantangan bagi industri BPR dalam mewujudkan digitalisasi. Pertama, biaya investasi (capex dan opex) yang sangat tinggi. Kedua, adanya pembatasan dalam regulasi. Ketiga, kondisi BPR/BPRS yang beragam. Terakhir, kualitas SDM IT terbatas termasuk dalam kepemimpinannya.

Dalam mengatasi isu tersebut, biasanya para petinggi BPR melakukan dua cara umum untuk masuk ke dunia digital. Bagi BPR dengan BPRKU 3 (modal inti lebih dari Rp50 miliar) program digitalisasi dilakukan secara mandiri atau kerja sama dengan pihak ketiga. Akan tetapi, BPRKU 1 (modal inti kurang dari Rp15 miliar) dan BPRKU 2 (modal inti Rp15 miliar – Rp50 miliar) melakukannya dengan sistem sewa atau kerja sama dengan pihak ketiga.

“Untuk mewujudkan transformasi digital bagi industri BPR dan BPRS membutuhkan perjuangan terus menerus dan mendapat dukungan seluruh pemangku kepentingan yang ada,” tutur Joko.

Joko melanjutkan, “Perbarindo telah menggandeng berbagai pihak strategis, baik dari perbankan, pelaku industri fintech, maupun vendor penyedia jasa IT. Program tersebut telah dijabarkan dalam arsitektur pengembangan BPR-BPRS Now. Harapannya dengan adanya arsitektur ini, bisa menjadi acuan dalam mewujudkan transformasi digital di BPR-BPRS seluruh Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan daya saing.”

Pernyataan Joko sekaligus mengonfirmasi bahwa banyak perusahaan pengembang aplikasi diajak bekerja sama dengan BPR untuk merilis aplikasi digital di Google Play Store (lihat infografis).

Menggandeng pihak ketiga memang lebih murah dari segi biaya, namun jadi bumerang ketika perusahaan ingin mengembangkan ke fitur yang lebih kompleks, karena menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Bila diperhatikan secara seksama, aplikasi BPR yang ditujukan untuk nasabah ritel misalnya, tidak memiliki diferensiasi yang mencolok dan UI/UX sangat template. Jadi hanya sekadar “yang penting punya”.

Agar tidak layu di tengah jalan, OJK sejauh ini telah menerbitkan tiga stimulus. Pertama, petunjuk teknis terkait pelaksanaan kerja sama antara BPR dengan fintech lending yang tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending. Berikutnya, ada Kebijakan Akselerasi Transformasi Digital yang tertuang dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2021-2025, POJK Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Produk BPR dan BPRS, dan percepatan digitalisasi sektor jasa keuangan berskala kecil melalui aplikasi.

Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menjelaskan penerbitan Panduan Kerja Sama antara BPR dengan fintech lending ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih cepat dan akses keuangan yang lebih luas bagi masyarakat.

Bagi BPR manfaat yang mereka dapatkan adalah memperluas target pasar, meningkatkan kualitas pelayanan, memperkuat analisis calon debitur, serta meningkatkan adaptasi teknologi informasi dan digitalisasi industri BPR. “Sementara bagi fintech lending, dapat menjadi alternatif penambahan sumber pendanaan, serta memperkuat monitoring penyaluran pinjaman hingga ke daerah,” kata Anung.

Ia melanjutkan, berdasarkan survei yang dilakukan OJK pasca penerbitan panduan tersebut, hingga Januari 2022 tercatat ada 60 BPR yang telah memulai proses penjajakan maupun melaksanakan kerja sama penyaluran pinjaman dengan 23 fintech lending berizin.

“Jumlah tersebut diharapkan akan mengalami peningkatan, seiring dengan semakin baiknya implementasi model bisnis yang ada sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi BPR-BPR yang berminat dan memenuhi persyaratan prudensial dari OJK.”

Berikutnya, dalam dua POJK yang diterbitkan khusus untuk BPR ini pada intinya adalah membuka akses selebar-lebarnya bagi BPR agar dapat bermitra dengan berbagai perusahaan teknologi dan perbankan untuk memperluas solusinya.

Misalnya, dari POJK Nomor 25 tahun 2021 ini fokus pada dukungan buat BPR dengan memanfaatkan teknologi, baik melalui pengembangan in-house/mandiri (a.l layanan perbankan elektronik), maupun kerja sama dengan bank umum (a.l untuk layanan virtual account, e-KYC, QRIS, transfer antar bank, dan ATM cardless), dan perusahaan fintech (a.l lending, payment, funding agent/deposit channeling, agregator, dan IKD lainnya).

Salah satu contoh kerja sama yang sudah terjalin antara bank umum dengan BPR sudah diterapkan oleh Bank Danamon dan Bank Permata yang sama-sama memanfaatkan kehadiran Open API.

Bank Danamon bekerja sama dengan BPR Jatim untuk API Transfer dan Virtual Account Danamon untuk seluruh nasabah BPR Jatim dan BPR Lestari. Hal ini memungkinkan nasabah BPR dapat melakukan transfer antar bank melalui ATM atau aplikasi secara online dan real time, serta penerimaan dana secara online melalui virtual account. Inisiatif yang sama juga diterapkan oleh Bank Permata bersama Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya.

Sumber: OJK
Sumber: OJK

Kinerja keuangan BPR

Menurut OJK, per September 2021, jumlah BPR dan BPRS mencapai 1.646 unit, terdiri dari 1.481 BPR dan 165 BPRS. Angka ini mengalami tren penyusutan. Tercatat pada 2016 terdapat 1.799 BPR dan BPRS, kemudian pada 2017 terdapat 1.786 unit, tahun 2018 terdapat 1.764 unit, tahun 2019 1.709 unit, dan pada 2020 sebanyak 1.669 unit.

Seiring dengan aksi konsolidasi yang dilakukan, jumlah BPR dan BPRS yang tergolong dalam BPRKU 1 juga mengalami penyusutan. Tercatat dalam periode yang sama, jumlah BPR dan BPRS untuk BPRKU 1 sebanyak 1.138 unit, atau telah berkurang 306 unit dari 2015. Pada saat bersamaan, jumlah unit BPR dan BPRS tergolong BPRKU 2 mengalami pertumbuhan, dari posisi 2015 sebanyak 158 unit, menjadi 272 unit sampai dengan akhir kuartal III-2021. Sementara, BPR dan BPRS tergolong BPRKU 3 mengalami kenaikan, yakni dari 35 unit pada 2016, menjadi 71 unit pada akhir September 2021.

Aset BPR (tidak termasuk BPRS) pada Desember 2021 tumbuh 8,62% (yoy) dari sebelumnya 3,64%. Aset BPR tersentralisasi di Pulau Jawa (58,64%) dengan porsi terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki porsi 24,34% dan 12,94%.

Untuk DPK tumbuh 10,23% (yoy) menjadi Rp117,01 triliun. Peningkatan terjadi pada kedua komponen, baik deposito (porsi 69,35%) dan tabungan yang masing-masing tumbuh 10,56% dan 9,47%. Sebagaimana sebaran aset, DPK BPR masih terkonsentrasi di Jawa (60,91%), diikuti Sumatera (17,18%), Bali-Nusa Tenggara (13,09%) dan lainnya.

Adapun untuk kredit tumbuh 5,24%. Penyaluran didominasi ke sektor bukan lapangan usaha (porsi 33,28%), perdagangan besar dan eceran (21,23%), dan rumah tangga (12,91%). Secara spasial, mayoritas kredit BPR berada di Pulau Jawa (59,06%), sementara kredit terendah di Pulau Kalimantan (2,27%) dari total kredit. Hal tersebut sejalan dengan jumlah BPR yang mayoritas berada di Pulau Jawa (875 BPR) sedangkan di Kalimantan hanya 55 BPR.

Pada periode ini, risiko kredit BPR sedikit menurun dengan rasio NPL gross dan NPL net yang sedikit membaik, masing-masing sebesar 6,72% dan 4,37% dari tahun sebelumnya sebesar 7,22% dan 5,33%.

Jatuh hati menabung di BPR

Satu hal yang menarik soal DPK, DailySocial.id berkesempatan mewawancarai seorang nasabah setia BPR yang menjadikan deposito sebagai sarana tabungannya di masa depan.

Pagi itu, Zelita kembali berseluncur di dunia maya sebelum memulai aktivitas, sekadar untuk melihat kabar teman-temannya lewat unggahan yang dibagikan. Ketergantungannya terhadap media sosial sudah begitu tinggi, di sanalah ia mendapat berbagai informasi terbaru, entah itu promo, diskon, berita yang sedang viral, dan lain-lainnya.

Pun informasi tentang ramainya investasi di kripto, saham, ia pun ikut terpapar dan larut mengikuti perkembangannya. Lebih banyak cerita orang pamer untung banyak lewat investasi dengan cara instan, atau istilah zaman sekarang, flexing, berkat investasi di kedua kelas aset tersebut. Jarang ada orang-orang yang mau berbagi cerita berapa banyak uang yang hilangnya. Mungkin sudah jadi barang umum, lebih seru pamer kekayaan dengan cara instan daripada kisah sedihnya.

Meski demikian, ia bukan jadi kelompok yang mau ikut-ikutan coba dengan tren seperti itu. Zelita sedari kecil melihat langsung bagaimana perjuangan orang tuanya untuk menyisihkan gaji buat ditabung di deposito di BPR di lingkungan rumahnya di Tasikmalaya. Seperti buah tidak jauh dari pohonnya, ia pun melanjutkan kebiasaan tersebut untuk keluarga mininya.

“Kebetulan ayah sudah menyarankan untuk nabung di BPR, dari gue kuliah dia udah rajin nabung di sana. Sebenarnya dia punya rekening bank umum di BJB tapi cuma numpang lewat. Soalnya semua tabungannya di taruh di BPR, bahkan sampai sekarang.”

Kebetulan juga, suami Zelita juga bekerja di BPR Artha Galunggung, tempat yang biasa dipakai ayahnya dulu menabung deposito. Alhasil, dia jadi selalu minta tolong suaminya hanya sekadar untuk tarik tunai atau sekadar cek saldo. Maklum, BPR ini tidak menyediakan ATM. Jadi kalau mau setor dana atau tarik tunai ya harus datang ke kantor cabang. Aplikasi sebenarnya ada, tapi fungsinya hanya sekadar cek saldo tabungan, mutasi, dan cek saldo deposito saja.

Sudah hampir setahun ia mulai mencoba menabung deposito di BPR. Alasannya simpel, karena bunga yang ditawarkan 6% alias lebih tinggi dari bank umum. Simpan dana di tabungan pun bunga yang ditawarkan juga menjanjikan. Oia, biaya admin yang terpenting murah hanya Rp3 ribu per bulan. Setoran awalnya saja cukup Rp10 ribu.

“Jadi setiap gajian, langsung kosongin rekening di bank umum, pindahin saldo ke BPR. Karena suami kerja di sana, jadi sekalian minta tolong. Kalau tidak sempat pun, bisa telepon orang bank buat samperin kita.” Zelita melanjutkan, “Kalau depositonya sudah jatuh tempo, nanti petugas bank akan telepon kita mau diperpanjang, stop, mau ambil bunganya saja, semuanya bisa.”

Sistem kerja di BPR ini terkenal dengan jemput bolanya. Tak pandang bulu, bahkan nasabah kredit yang juga ikut menabung di BPR, sambil berjualan tutug oncom, pasti akan dikunjungi tiap hari. Sebab, rata-rata pemilik bisnis harian ini rutin menyisihkan uangnya, entah Rp100 ribu atau di atasnya buat ditabung. “Pas petugasnya datang, langsung cetak buku tabungannya di warungnya. Mereka bawa printer mobile gitu.”

Saking dekatnya dengan nasabah, banyak yang menyebut BPR sebagai bank pasar karena kelokalannya dan keeratan hubungan emosionalnya.

Bila menengok bunga deposito di Bank Mandiri pada April ini stabil di kisaran 2,25% hingga 2,5%. Di sana, nasabah bisa menyimpan mulai dari di bawah Rp100 juta hingga di atas Rp5 miliar. Sedangkan di BRI, bunganya mulai dari 2% untuk tenor jangka pendek, dan bunga 2,85% untuk tenor jangka panjang hingga 36 bulan.

Untuk menjaga loyalitas nasabah, BPR Artha Galunggung ini, menurut Zelita, rutin mengadakan program undian berhadiah. Dengan sistem poin, apabila nasabah berhasil mengumpulkan poin dengan jumlah tertentu maka berhak ikut undian. Hadiahnya mulai dari emas batangan, motor, hingga mobil.

“Padahal di Tasikmalaya ini banyak bank umum, kayak Bank Nobu, Bank Neo Commerce sudah buka cabang di sini. Tapi tetep setia sama BPR soalnya bunganya lebih gede, enggak berani ambil investasi yang macem-macem lah,” ucap Zelita.

Kelahiran DepositoBPR

Sama seperti alasan Zelita, Hendry Lieviant memilih BPR karena bunga depositonya yang tinggi dan dijamin LPS. Saat itu sekitar tahun 2019, startup p2p lending yang ia rintis, Komunal, kebetulan ada kelebihan idle money yang ingin disimpan di bank. Pertimbangannya ia ingin bunga yang lebih tinggi sekaligus aman. Setelah cari tahu lebih dalam, ternyata BPR adalah jawaban yang ia cari.

“Tapi inget sekali waktu itu prosesnya ribet, banyak paperwork. Ya sudah, kami jalani saja. Waktu itu belum terbersit sama sekali buat dijadikan produk. Justru idenya mulai muncul tepat saat pandemi,” kata Hendry.

Ia melanjutkan, ide untuk menyeriusi segmen BPR ini juga didukung dengan kondisi sejumlah BPR sudah menjadi lender institusi di Komunal. Mereka cukup terbantu dengan sistem channeling ini.  Meskipun demikian, begitu terjadi pandemi muncul masalah. Mereka kesulitan mengumpulkan deposan. “Itu yang belum ada solusinya dan butuh bantuan dari [platform] fintech untuk collecting deposito [dari mana saja] karena di regulasi kan itu diperbolehkan.”

Bagi BPR dengan modal pas-pasan, untuk investasi membangun solusi seperti demikian tentu bukan barang mudah karena perlu investasi yang cukup besar. Dus, bila masing-masing BPR buat solusi serupa tentunya jadi tidak efisien. Alhasil, Komunal bergerak untuk membuat DepositoBPR. Jadi seperti marketplace yang berisi BPR-BPR untuk para calon deposan.

Total BPR yang telah bergabung di DepositoBPR sudah mencapai 110 BPR. Sekitar 90% berada di Pulau Jawa dan Bali. Perusahaan akan lebih gencar menggaet BPR di luar dua pulau utama tersebut agar semakin banyak BPR yang terbantu. Diklaim Komunal telah berhasil menyalurkan dana nasabah senilai Rp500 miliar kepada mitra-mitra BPR yang sudah bekerja sama.

“Lagi pula BPR itu perlu lebih kompetitif. Sebelum pandemi mereka sadar bahwa digitalisasi itu penting, tapi ya entar entar saja. Sampai akhirnya terjepit di pandemi, mereka harus berubah kalau tidak ya enggak bisa survive.”

Peluncuran aplikasi DepositoBPR / Komunal

Saat pertama kali pilot project, OJK meminta Komunal untuk masuk ke Jawa Timur selama empat bulan. Alasannya, karena di sana faktanya adalah daerah dengan jumlah BPR terbanyak di Indonesia. Hasilnya pun sesuai ekspektasi. Hingga delapan bulan sejak diluncurkan, jumlah nasabah DepositoBPR dari Jawa Timur tembus hingga 35% dari total keseluruhan. Sisanya, di Jakarta (10%), Bali (10%), dan tersebar di seluruh Indonesia.

Sekitar 70% nasabah ini berusia 35 tahun ke atas. Ini fakta yang menarik. Menurut analisa Hendry, hal ini lantaran nasabah di usia tersebut sudah lebih paham bagaimana mengatur risiko keuangan tidak bisa sepenuhnya di taruh di high risk. Tapi target pengguna DepositoBPR ini tidak hanya untuk ritel, tapi juga korporat yang ingin simpan idle money-nya.

“Beda dengan kalangan muda, yang cenderung lebih berani dalam berinvestasi. Padahal melakukan due diligence yang tepat itu adalah langkah awal dalam mengatur risiko. Kami akan sering mengadakan edukasi finansial terkait ini,” pungkas Hendry.

Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here

Membaca Arah Startup Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat (Bagian I)

Rasanya cukup meragukan jika anak-anak muda zaman sekarang mengenal BPR alias Bank Perkreditan Rakyat. Mereka kini lebih mengenal istilah bank digital karena berseliweran di berbagai platform digital yang mereka gunakan sehari-hari. Rata-rata bank digital ini menawarkan kemudahan proses yang sepenuhnya ada di genggaman nasabah sebagai nilai jual.

Meskipun demikian, anggapan tersebut dibantah survei mini yang digelar DailySocial melalui platform media sosial. Sebanyak 90% responden menjawab dengan benar kepanjangan BPR. Sebagian besar juga mampu membedakan bank umum dengan BPR, baik dari cakupan operasi maupun kegiatan usaha. Sebanyak 61% responden tahu bahwa BPR hanya boleh beroperasi di satu provinsi.

Berikutnya sebanyak 66% responden mampu menjawab dengan benar kegiatan usaha BPR itu adalah menyalurkan kredit usaha dan menghimpun dana dalam bentuk simpanan. Terakhir, sebanyak 68% responden mampu menjawab perbedaan bank umum dan BPR, yakni tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing atau melayani jasa cek/giro dan asuransi.

Survei ini tentu saja tidak mewakili pendapat mayoritas generasi muda di Indonesia, hany sebuah perspektif yang diikuti 39 responden, sebagian besar berusia 25-35 tahun (66%) dan sisanya berusia di bawah 25 tahun (31%).

Eksistensi BPR diatur dalam Undang-Undang (UU) Perbankan yakni UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. UU tersebut menyebutkan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan tidak jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Hanya saja, hiruk pikuk digitalisasi yang terjadi belakangan, justru tidak bisa dirasakan oleh industri BPR. Hanya segelintir BPR, yang memiliki aset di atas rata-rata, yang mampu memanfaatkan teknologi digital dalam proses bisnisnya. Dalam pantauan DailySocial, setidaknya hanya 64 BPR se-Indonesia (lihat infografis) yang merilis aplikasi. Fiturnya baru sekadar untuk permudah pekerjaan account officer di lapangan atau nasabah untuk melakukan pembayaran tagihan PPOB (Payment Point Online Banking).

Meski demikian, kemampuan tersebut nyatanya belum mampu menarik nasabah generasi muda untuk bergabung. Agar dapat bertahan di era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit  membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing. Perlawanan terjadi, mulai dari bank umum yang punya kekuatan lebih besar ketimbang BPR, LKM (Lembaga Keuangan Mikro), koperasi, agen laku pandai, hingga pesaing baru namanya fintech lending. Belum lagi, penurunan suku bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) menjadi 6% tentu bertabrakan dengan bisnis BPR.

Kendati persaingan bisnis sangat ketat, bank-bank pedesaan ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda. Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Mengatasi kelemahannya, sekaligus mengandalkan kelebihannya, akan membuat daya tarik BPR makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat makin besar.

Tren startup akuisisi BPR

Belakangan ini ada fenomena menarik, yakni ketertarikan startup fintech untuk mengakuisisi BPR. Dari pantauan DailySocial, setelah ALAMI Group dengan BPRS Cempaka Al Amin yang rebranding jadi Hijra Bank, berikutnya Xendit  mengambil saham di BPR Arthakelola Cahayatama dan kini dikenal sebagai BPR Xen. Diikuti petinggi Fazz Financial Group yang mengambil kepemilikan saham di BPR Sentral Mandiri dan akuisisi penuh BPR Prima Dadi Arta oleh Komunal, sebuah startup peer to peer lending. Seluruh aksi korporasi ini tidak disebutkan nominal transaksinya kepada publik.

Memang jumlahnya ini baru sedikit, namun tren ini selaras ketika para pemain teknologi mulai mencari peluang bisnis baru di bidang pembiayaan, yang memiliki margin terempuk di dunia perbankan. Bila dijabarkan, hampir semua bank umum beraset mini telah bersiap diakuisisi para perusahaan teknologi. Bank umum dan BPR saat ini sama-sama dikejar waktu oleh OJK untuk memenuhi modal minimum.

Aturan permodalan untuk BPR tertuang di POJK No. 5 tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum. Menurut aturan ini, BPR wajib memenuhi modal inti minimum yang ditetapkan sebesar Rp3 miliar pada 2020 dan Rp6 miliar paling lambat 2024 mendatang. Di tengah kehimpitan tersebut, muncul perusahan teknologi dengan kapital besar untuk menggarap BPR.

Menurut data Biro Riset Infobank (birl), pada 2020 masih ada sekitar 700 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal Rp6 miliar. Nah, dengan asumsi yang sama, dalam hal ini ROE per tahun 20%, berarti pada akhir 2024 masih ada sekitar 50% BPR yang tak sanggup tumbuh secara organik. Jika pemilik tidak menambah modal, pilihannya adalah merger, dijual, atau turun takhta menjadi lembaga keuangan mikro (LKM). Diperkirakan akan ada 300 sampai 400 BPR yang bakal turun kelas menjadi LKM.

“Melihat kebutuhan akan adaptasi teknologi dan keterbatasan modal dan layanan, BPR menjadi menarik bagi startup fintech. Mereka bisa mengembangkan layanan ke perbankan dengan layanan digital, namun modalnya relatif kecil dibandingkan akuisisi perbankan umum atau membuat bank digital. Jadi bagi startup fintech diuntungkan dengan modal pengembangan yang relatif kecil,” ujar Ekonom Indef Nailul Huda.

Bagi startup, memiliki bisnis perbankan artinya pangsa pasar mereka akan lebih luas, karena ada layanan di BPR yang tidak mereka miliki. Startup bisa lebih inovatif mengembangkan produk, tak hanya sekadar simpanan dan penyaluran kredit, tapi juga mengintegrasikan layanan startup ke BPR.

“Misalnya untuk Xendit, bisa memperluas layanan payment gateway-nya melalui BPR. Atau masuk ke lending dengan skema p2p lending juga bisa dengan berbagai persyaratan, seperti radius layanan BPR. Masih sangat dinamis kerja sama antara BPR dengan fintech ini.”

Pernyataan Nailul ada benarnya. Pasalnya, setelah dikabarkan mengakuisisi BPR, kini Xendit melanjutkan langkahnya dengan mengakuisisi saham Bank Sahabat Sampoerna, untuk memuluskan langkahnya di bank digital. Aplikasi ini sendiri masih diuji coba secara internal dan sudah membuka daftar tunggu. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan kirim dan menerima dana. Penawaran yang rata-rata ditawarkan oleh bank digital kekinian.

Belum banyak informasi yang bisa digali dari Xendit terkait aksinya tersebut. Namun, menurut pandangan Huda, langkah ini dilihat sebagai cara Xendit membagi segmentasi pasarnya. Kekurangan di BPR bisa dikembangkan atau diimplementasikan di Bank Sahabat Sampoerna. Secara geografis ruang lingkup BPR ini terbatas, jadi Xendit pasti perlu sesuatu yang lebih besar mengingat mereka juga sudah memiliki valuasi unicorn.

“Ya bisa dikatakan juga sebagai lab atau batu loncatan juga. Soalnya layanan perbankan di BPR dan bank umum kan beda ya, jadi saya rasa lebih kepada pengembangan layanan dengan jangkauan yang lebih luas secara demografis dan layanan.”

Mengacu ke data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat. Co-Founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan berkaitan dengan Xendit karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

Mereka mengaku masih dalam tahap eksplorasi bagaimana kemitraan tersebut dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Sumber: Pixabay

Secara terpisah, hasil wawancara yang dimuat Convectus Law pada November 2021 bersama Mikiko Steven, Head of Consumer Solutions Xendit, mungkin bisa memberikan gambaran arah Xendit ke depannya dalam memperluas solusinya di gerbang pembayaran di kancah perbankan dengan meningkatkan kapabilitasnya di Open API (Application Programming Interface).

Dia menjelaskan bahwa bank sentral sejauh ini telah berjuang menuju ruang perbankan digital yang lebih ramping, sembari memperkuat peran fintech dalam mendukung transaksi digital. Menurutnya, saat ini Bank Indonesia telah mengelompokkan semua penyedia layanan pembayaran ke dalam tiga kategori, mengurangi jumlah lisensi yang sebelumnya harus dimiliki oleh operator. Ketiga kategori tersebut adalah kategori izin satu, kategori izin dua, dan kategori izin tiga.

Aturan lebih detail ini tertuang dalam PBI Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Inti dari regulasi termutakhir ini adalah membuat PJP tidak lagi perlu ribet-ribet urus banyak perizinan. Dalam pengurusan izinnya dibagi menjadi tiga kategori izin, yang setiap izinnya memiliki perbedaan ketentuan modal disetor.

“Misalnya, Xendit berada dalam kategori kedua, yang memungkinkan kami menyediakan produk yang diklasifikasikan sebagai layanan informasi akun (account information services/AInS) dan layanan perolehan dan inisiasi pembayaran (payments acquiring and initiation services/PIAS). Sebelumnya, masing-masing produk ini membutuhkan aplikasi yang berhasil sebelum penyedia layanan pembayaran dapat mulai menyediakannya,” terang Mikiko.

Selain itu, BI juga mengumumkan semua bank harus mengadopsi API universal untuk pembayaran pada 2025 yang ia nilai akan menjadi game changer. “Ketika Xendit pertama kali ingin menawarkan layanan keuangan dasar pada tahun 2017, yaitu membantu pedagang menerima pembayaran digital. Kami harus mendekati banyak bank yang berbeda. Ini berarti kami harus menyatukan semua API perbankan mereka yang berbeda, yang memakan waktu dan mahal.”

Mendorong adopsi Open API perbankan harus memastikan bahwa produk perbankan digital dapat diluncurkan ke pasar lebih cepat dan ke khalayak yang lebih luas. Menurutnya, perbankan digital menghilangkan hambatan logistik bagi mereka yang berada di luar daerah perkotaan dan mendemokratisasikan proses perbankan.

Sementara itu, saham BPR Sentral Mandiri kini dikuasai dua bersaudara Hendra Kwik (CEO Fazz Financial Group) dan Hendoko Kwik (Co-founder dan CEO Modal Rakyat). Keduanya tercatat membeli saham dari pemilik sebelumnya dan menguasai saham dengan komposisi: Hendra (79%), Hendoko (3,5%), dan Ong Tek Tjan (17,5%). Ong adalah eks direksi Bank Sahabat Sampoerna yang kini menjadi Founder startup e-grocery Titipku.

Belum terlihat ke mana arah BPR Sentral Mandiri di bawah pemegang saham barunya. Kabar terakhir UpBanx, platform fintech untuk kreator, bakal menggunakan lisensi perbankan untuk kegiatan operasionalnya. Belum ada pembaruan informasi lebih lanjut terkait ini. Manajemen UpBanx menolak untuk menjawab pertanyaan DailySocial. UpBanx sendiri terafiliasi dengan Fazz pasca memperoleh pendanaan pra-awal senilai $5,2 juta yang turut diikuti  Hendra dan Hendoko.

Cerita digitalisasi Hijra Bank

Bukti konkret sejauh ini yang bisa kita kulik adalah Hijra Bank yang berhasil bertransformasi digital. Co-founder dan CEO ALAMI Group Dima Djani bersedia menceritakan pengalamannya tersebut dalam wawancara bersama DailySocial. Satu poin utama yang ia tekankan adalah bagaimana implementasi teknologi dapat menjadi DNA utama di Hijra Bank. Proses transisi tersebut dilakukan dengan menempatkan talenta ALAMI di dalam tubuh bank.

“Banyak bank yang menggunakan teknologi tapi enggak paham. Maka dari itu, kita perbarui SDM-nya dengan menempatkan orang-orang ALAMI untuk transfer ilmu. Saat kami akuisisi, BPRS Cempaka Al Amin ini sudah ada situs dan teknologi sederhana, lalu kami perbarui dari sisi tech stack, tampilan mobile banking-nya,” papar Dima.

Jajaran direksi ALAMI / ALAMI

Perekrutan talenta teknologi menjadi langkah berikutnya untuk mendukung Hijra Bank. Menariknya, perusahaan melakukan standarisasi proses onboarding dan pelatihan juga sudah disamakan dengan apa yang selama ini sudah dilakukan oleh tim teknologi ALAMI. “Kita investasi talenta terbaik. Tidak hanya untuk teknologinya saja, tapi juga staf lain agar bisa mumpuni. Fokus ke fondasi ini akan permudah langkah kami untuk pengembangan berikutnya.”

Penyegaran identitas dan memindahkan kantor ke lokasi yang lebih strategis dari Ulujami ke Pondok Indah turut mendukung upaya perusahaan dalam membentuk DNA baru. Ia menyadari mengubah mindset digitalisasi itu bukan barang mudah. Dengan pemilik sebelumnya, fondasi ini belum terbentuk sama sekali karena mereka belum memiliki arah ke sana. Hanya seperti BPR pada umumnya yang melayani kebutuhan lokal.

“Apalagi ada peraturan kenaikan modal, ditambah pandemi, pemiliknya kesulitan mencari pendanaan, juga tidak melakukan investasi digital dan SDM yang ada tidak mumpuni. Cara kerja dan kultur bank yang kita akuisisi tersebut lumayan lama di-run secara tradisional. Ini menjadi catatan kami bagaimana menyatukan kultur dan mindset digital agar bisa lari kencang.”

Poin penting lainnya yang turut menjadi perhatian adalah memperkenalkan Hijra Bank ke publik. Pihaknya pun terbantu dengan branding ALAMI sebagai platform p2p lending syariah yang mampu meningkatkan antusiasme publik terhadap kehadiran BPRS digital. Persona BPR sendiri sejauh ini sudah dikenal sebagai bank pasar yang sangat lokal.

Apabila persona tersebut ditambahkan dengan unsur digital, banyak pihak yang menerka-nerka apakah bentuknya bakal mirip dengan bank umum atau tidak. Berkat arahan regulator, Dima mengaku cukup terbantu dalam eksekusinya karena arahannya sudah tepat dan mampu mendongkrak BPR jadi institusi yang bisa naik kelas dan bisa bersaing. Ditambah lagi pengawasannya yang kini principal-based supervision, jadinya tidak kaku lagi.

“Dari sisi regulasi sudah cukup terbantu. Tapi memang kendalanya lebih ke SDM. Manpower untuk tech developer itu susah mencarinya, belum lagi persaingannya yang cukup ketat.”

Mengikuti regulasi yang ada, bisnis utama Hijra Bank akan menerima simpanan dana dan menyalurkan pembiayaan ke UMKM, termasuk terhubung dengan ekosistem ALAMI Group. Agar punya daya saing lebih baik, Hijra Bank terbuka dengan kemitraan dengan perusahaan teknologi lainnya agar bisa memberikan produk keuangan tambahan, seperti top up saldo e-wallet, PPOB, penerbitan kartu, termasuk fitur seputar pengelolaan keuangan.

Pain point masyarakat terkait keuangan syariah itu sendiri masih banyak yang belum di-solve. Kami terus menerus melakukan evaluasi seperti apa customer demand, apa dan bagaimana impact-nya.”

Konsumer masih perlu menunggu sampai Hijra Bank ini resmi dirilis. Kata Dima, pihaknya masih melakukan product-market fit dan terus melakukan kajian sampai akhirnya yakin untuk dirilis. “Harapannya bisa di second half this year.”

Cerita Komunal

Hendry Lieviant, Co-Founder dan CEO Komunal, mengaku langkah akuisisi BPR Prima Dadi Arta adalah bagian dari keinginan besar perusahaan untuk membuat operasional sehari-hari industri BPR dapat lebih efisien. Komunal, dengan posisinya sebagai platform p2p lending, seringkali kesulitan mendapat umpan balik dari OJK dan industri BPR tiap kali ingin menjelaskan suatu inovasi baru.

“Sebelum kita punya BPR, ketika mau memperkenalkan inovasi ke OJK itu [membutuhkan waktu lama]. Posisi kita bukan sebagai BPR, melainkan sebagai [platform] fintech. Banyak pihak yang harus kita yakinkan dan tidak bisa dipaksa. Namun ketika posisinya sudah menjadi BPR, kita bisa lebih mudah presentasi di depan OJK dan bisa sharing ke BPR lain juga,” katanya saat dihubungi DailySocial.

Menurut Bisnis.com, Komunal mengakuisisi 100% saham BPR Prima Dadi Arta atas nama direktur dan pendirinya, yakni Hendry Lieviant (34%), Rico Tedyono (33%), dan Kendrick Winoto (33%). Ketiganya mengambil alih kepemilikan saham BPR yang sebelumnya digenggam Peter Lumanpauw, Arthur Lumanpau, Elsye Susana, dan Fendy dengan total nominal saham Rp2,7 miliar.

Komunal bakal menjadikan BPR Prima Dadi Arta ini sebagai BPR percontohan sekaligus lab inovasi. Nantinya, apabila perusahaan merilis suatu inovasi, BPR inilah yang menjadi kendaraannya. Jika sukses, akan digulirkan ke industri BPR melalui ekosistemnya.

Co-Founder Komunal: Rico Tedyono, Hendry Lieviant, Kendrick Winoto / Komunal

Area inovasi digital yang dilakukan Komunal untuk BPR ini tidak ingin jauh-jauh dari DNA BPR sebagai spesialis di bisnis simpan pinjam dan kredit. Penambahan solusi digital diharapkan membuat BPR jadi tumbuh secara efisien, aman, dan mendorong masyarakat untuk menaruh dananya di bank jenis ini.

“Ini jadi cycle. Masyarakat mau simpan dana di BPR, BPR-nya jadi tumbuh lebih besar, ekonomi lokal pun akan semakin terbantu. Kami percaya di daerah itu semua harus jalan bareng-bareng. Fintech lending jalan, bank digital jalan. Dengan demikian inklusi keuangan akan berjalan jauh lebih cepat.”

Salah satu implementasi yang akan dilakukan lewat BPR Prima Dadi Arta adalah e-bilyet. Hendry menuturkan, penerbitan bilyet kini sudah tidak relevan dengan perkembangan di era digital. Bilyet itu merupakan dokumen fisik untuk membuktikan keabsahan deposito yang dimiliki seseorang itu adalah asli.

Dicontohkan, BPR di Bali harus mengirimkan bilyet fisik ke deposan yang berlokasi di Jakarta. Begitu pun sebaliknya saat deposan ingin menarik dananya. Akibatnya biaya logistik harus ditanggung konsumen. Pihaknya sedang mengajukan proses perizinan untuk e-bilyet di OJK.

“Banyak cara lain untuk memecahkan masalah itu. Tapi kan kegiatan tersebut sudah dijalankan oleh BPR yang sudah puluhan tahun beroperasi. Kita mau dobrak inovasi e-bilyet. Begitu sukses di BPR Prima Arta Dadi kita mau ajak yang lain.”

Langkah awal Komunal untuk masuk ke industri BPR ini adalah melalui produk DepositoBPR. Semangatnya adalah menghubungkan berbagai BPR dan nasabah di seluruh Indonesia yang ingin melakukan pembukaan DepositoBPR secara online. Produk ini dirintis melalui anak usaha Komunal (PT Komunal Finansial Indonesia), yakni PT. Komunal Sejahtera Indonesia, yang telah tercatat di OJK sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD).

BPR yang dapat meraup dana pihak ketiga lewat produk ini akan disortir terlebih dahulu oleh Komunal. Satu hal yang pasti, mereka harus terdaftar di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena setiap deposito yang ada di platform harus dijamin LPS hingga Rp2 miliar.

Berbagai akuisisi dan kolaborasi di atas membawa perubahan lanskap bisnis BPR di berbagai daerah sejalan dengan masuknya berbagai perusahaan teknologi. BPR akan semakin terpapar dengan teknologi dan inovasi dalam proses bisnisnya sehingga semakin dekat dengan nasabah dan dapat bersaing dengan bank umum.