LinkAja Dorong Pelaku UMKM di Kota Tier 2 dan Tier 3 Mengakses Layanan Keuangan Digital

Sejak awal diluncurkan, LinkAja fokus pada penyediaan layanan keuangan digital untuk kelas menengah/aspiran dan para pelaku UMKM. Inilah yang diklaim membedakan LinkAja dengan platform sejenis.

Selain didukung sejumlah perusahaan plat merah, perusahaan juga telah menerima investasi dari Gojek dan Grab.

Kepada DailySocial, CEO LinkAja Haryati Lawidjaja, mengungkapkan strategi mereka memperkuat layanan dan produk. Prioritas LinkAja berikutnya akan fokus ke kota Tier 2 dan Tier 3 dan memperluas kolaborasi dan potensi akuisisi dengan platform yang memiliki visi dan misi yang sama.

Kolaborasi dan investasi

LinkAja Akuisisi iGrow
Co-Founder & CEO iGrow Andreas Sanjaya bersama CEO LinkAja Haryati Lawidjaja dalam acara pengumuman aksi korporasi ke publik / LinkAja

Dengan dukungan dari berbagai investor, kerja sama yang dilakukan LinkAja dengan seluruh pemegang saham dan mitra memiliki satu tujuan, yaitu menjadi uang elektronik nasional yang dapat mendukung pemerintah meningkatkan inklusi keuangan dan ekonomi melalui kemudahan akses layanan keuangan digital kepada seluruh masyarakat Indonesia.

“Baik Grab maupun Gojek berkomitmen bersama dengan LinkAja untuk mendukung Pemerintah dalam mendorong inklusi keuangan di Indonesia,” kata Haryati.

Dalam setahun terakhir, LinkAja telah mengakuisisi iGrow, startup p2p lending yang fokus pada pembiayaan produktif di bidang pertanian. Langkah ini dilakukan perusahaan untuk memperluas lini bisnis ke pembiayaan online, terutama untuk sektor produktif UMKM.

“Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kemandirian ekonomi. Kami memilih iGrow – karena adanya kesamaan purpose, visi, dan misi untuk memberdayakan segment mass to aspirant untuk dapat memiliki kemandirian ekonomi,” kata Haryati.

Di sesi webinar DS Launchpad Ultra 2021 beberapa waktu lalu, Haryati menyebutkan kolaborasi yang telah dilakukan bersama dengan parent company dan perusahaan BUMN lainnya telah mendorong pertumbuhan bisnis perusahaan.

Tercatat hingga saat ini LinkAja telah bekerja sama dengan lebih dari 1,1 juta UMKM atau naik 104% dibandingkan tahun sebelumnya. UMKM tersebut mayoritas bergerak di pasar super ultra mikro di kota lapis dua dan tiga, sesuai dengan area fokus perusahaan. Mereka juga bermitra dengan lebih dari 100 industri keuangan yang menyediakan berbagai solusi finansial digital baik untuk konsumen dan bisnis.

Untuk keperluan belanja online, mereka telah bermitra dengan lebih dari 7.500 online marketplace, 400 ribu merchant nasional, dan 750 pasar tradisional.

Kolaborasi terbaru LinkAja adalah dengan Tokko, platform pembuatan toko online. Perusahaan ini didirikan bulan Desember 2019 oleh Krishnan Menon dan Lorenzo Peracchione, yang berada dalam naungan PT Beegroup Financial Indonesia (satu grup dengan BukuKas).

Kerja sama Tokko dan LinkAja ini  bertujuan mendukung mitra UMKM Tokko agar dapat menjangkau pengguna LinkAja melalui special banner yang akan ditampilkan pada aplikasi LinkAja. Inisiatif ini juga diharapkan dapat membantu merchant LinkAja mentransformasi bisnis mereka dari offline ke online.

Layanan unggulan

LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja

Saat ini 73% pengguna LinkAja berada di kota tier 2 dan 3. Use case yang menjadi unggulan perusahaan adalah sebagai alat pembayaran terlengkap untuk berbagai moda transportasi darat, termasuk kereta api, bus, ride-hailing, dan taksi.

“Kami juga menghadirkan berbagai use cases lainnya yang relevan dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat di setiap daerah. LinkAja fokus di kota tier 2 dan 3 di mana kami bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk dapat mendorong UMKM lokal juga masyarakat lokal dalam inklusi keuangan,” kata Haryati.

Untuk layanan syariah, LinkAja mengklaim menjadi platform uang elektronik satu-satunya yang memiliki sertifikat syariah dari DSN MUI dan Bank Indonesia. Haryati menyebutkan, alasan diluncurkannya layanan syariah oleh LinkAja adalah besarnya populasi umat muslim di tanah air. Sebelumnya belum ada platform uang elektronik yang relevan untuk syariah.

LinkAja juga membuka peluang dengan menyediakan pembiayaan berbasis syariah untuk membantu UMKM. Perusahaan berupaya untuk membina mereka, termasuk membantu mendapatkan sertifikasi halal. Tercatat layanan syariah LinkAja telah memiliki lebih dari 3,5 juta pengguna.

Fokus saat ini

LinkAja memiliki lebih dari 61 juta orang atau tumbuh 65% yoy, sebanyak 73% diantaranya adalah pengguna yang berada di area lapis dua dan tiga
Perluas Ekosistem bersama Pemegang Saham, LinkAja Berambisi Teruskan Capaian Positif / LinkAja

LinkAja berupaya untuk mendapatkan keseimbangan antara agility dan governance. Penting bagi mereka untuk bisa menghasilkan inovasi yang cepat namun tetap relevan dan tentunya bisa di-scale-up.

Hal lain yang juga menjadi fokus perusahaan ke depannya adalah layanan fintech yang semakin terintegrasi ke dalam semua sendi perekonomian di Indonesia.

Perusahaan mengungkap telah memproses 1,4 miliar transaksi sepanjang satu tahun terakhir. Tidak hanya fokus dengan pasar consumer dan UMKM untuk solusi keuangan digital, tetapi juga bermain di ranah enterprise untuk berbagai solusi, seperti cash collection (cash handling risk, real-time reporting, dan pembayaran non tunai), incentive disbursement (pencairan real-time, pelaporan terintegrasi, dan flexible use case), dan cross sell & advertisement (memaksimalkan jangkauan produk menggunakan platform yang sesuai).

“Semua pihak baik pemerintah maupun para pihak di industri fintech dan ekosistem terkait [..] berkolaborasi lebih erat secara terbuka dengan semua pemangku kepentingan agar benefit dari layanan fintech dapat semakin terasa manfaatnya bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, [misalnya] dalam hal infrastruktur untuk konektivitas digital,” tutup Haryati.

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Resmi Jadi Opsi Pembayaran di Gojek

Bertujuan untuk memperlancar integrasi nasabah, Bank jago meresmikan kerja sama strategis dengan Gojek, salah satu pemegang saham perusahaan. Pada tahap ini, nasabah dapat menggunakan kantong Jago sebagai sumber dana untuk membayar berbagai layanan di aplikasi. Untuk menikmati integrasi ini, konsumen dapat melakukan pembaruan aplikasi Gojek masing-masing.

Secara singkat dalam rilisnya disebutkan cara kerja dari integrasi ini, yaitu bagi nasabah Bank Jago yang kerap melakukan pembayaran untuk kebutuhan harian, mulai dari sarana transportasi hingga pembelian makanan di Gojek, akan bisa melakukan proses debet secara langsung. Nasabah bisa memisahkan dana tersebut ke kantong khusus yang terhubung dengan aplikasi Gojek.

“Jadi, selain tidak perlu buang waktu dan biaya untuk top up saldo, nasabah juga dapat mengecek riwayat transaksi di kantong khusus tersebut secara detail dan terperinci. Lama-kelamaan, pengalaman baru ini membuat nasabah semakin disiplin dan lebih presisi dalam belanja bulanannya,” kata Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan Bank Jago Tjit Siat Fun.

Nila Marita selaku Chief Corporate Affairs Gojek menjelaskan, integrasi tahap awal dengan aplikasi Jago semakin melengkapi opsi pembayaran nontunai yang tersedia di aplikasi Gojek.  “Kemitraan ini akan terus menghadirkan berbagai inovasi dan kemudahan dalam layanan keuangan digital ke depannya, salah satunya pembukaan akun bank Jago yang akan bisa dilakukan langsung dari aplikasi Gojek,” kata Nila.

Sebelumnya Bank Jago juga mulai bekerja sama dengan marketplace reksa dana Bibit. Ada beberapa keunggulan yang dapat dinikmati pengguna lewat kerja sama ini. Pertama, pengguna dapat membuka rekening Jago di aplikasi Bibit.  Kemudian, juga dapat mengaturnya sebagai recurring transaction untuk transaksi reksa dana otomatis.

Bank Jago di tahap awal

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) resmi meluncurkan aplikasi banking Jago pada awal April 2021. Tiga bulan setelah meluncur hingga saat ini, aplikasi Jago tercatat telah mengantongi rating 4.0 dengan total unduhan mendekati 1 juta kali.

Kepada DailySocial dalam wawancara eksklusif, Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar menyebutkan, meski tidak mengungkap angka statistik, ia mengaku mengantongi traksi dan umpan balik yang sehat dari peluncuran aplikasi Jago. Beberapa respons positif yang disoroti pengguna Bank Jago adalah kecepatan proses onboarding pada pembukaan rekening dan kehadiran fitur Pocket.

“Bahkan kartu [debit] kami dapat terhubung ke Pocket mana pun dan kapan pun sesuai keinginan pengguna. For me, it’s very cool karena pengguna bisa tahu persis penggunaan uang mereka, seperti tarik tunai atau belanja online. We put a lot of effort by design and architecture supaya bisa menghasilkan response time yang sangat baik. We are continuously upgrading the technology as we speak,” kata Kharim.

Dari sejumlah rencana di sepanjang 2021, Bank Jago cukup banyak menyoroti realisasi sinergi dengan Gojek. Gambaran besarnya, ekosistem Bank Jago dan Gojek ditargetkan dapat terhubung satu sama lain. Untuk tahap awal, keduanya akan masuk dulu lewat layanan pembukaan rekening.

Ramai-ramai bank digital

Belakangan ini, aplikasi bank digital terus bermunculan. Selain Jago, ada beberapa layanan lain yang sudah bisa digunakan, termasuk blu, LINE Bank, Jenius, Neo+, SeaBank, dan TMRW ID. Beberapa memiliki afiliasi kuat dengan platform digital dengan pengguna masif, seperti SeaBank dengan Shopee atau Neo+ dengan Akulaku.

Tingkat penetrasinya masih baru, aplikasi-aplikasi tersebut juga masih dalam tahap menciptakan awareness di kalangan masyarakat. Namun jauh sebelum layanan bank digital bermunculan di Indonesia, McKinsey pernah melakukan survei tentang ke masyarakat Indonesia untuk menggunakan layanan perbankan digital. Dari survei yang dilakukan 55% pelanggan nondigital mengatakan mereka tertarik atau akan menggunakan aplikasi bank digital di waktu mendatang.

Integrasi dengan aplikasi konsumer juga berpotensi besar meningkatkan tingkat adopsi. Tentu pertanyaan berikutnya, apakah akan menggantikan peran e-wallet seperti Gopay? Tentu, butuh waktu yang lebih lama lagi untuk melihat respons pasar terkait hal ini. Namun ada beberapa variabel yang dapat dijadikan pertimbangan.

Pertama, rekening bank sifatnya lebih fleksibel — termasuk dalam kaitannya dengan batas uang yang bisa ditampung. Sementara e-wallet secara regulasi memiliki keterbatasan. Di pasal 45 Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik disebutkan batas nilai transaksi setiap bulan paling banyak 20 juta Rupiah. Sementara untuk nilai uang yang dapat disimpan paling banyak 10 juta Rupiah untuk aplikasi yang sudah terdaftar di BI, dan 2 juta Rupiah yang belum terdaftar.

Kedua, secara proses layanan bank digital sangat memudahkan. Memungkinkan pengguna untuk memiliki akun bank dan mengakses berbagai layanan di dalamnya (termasuk investasi) dari rumah. Proses pendaftaran hingga KYC dilakukan secara virtual.

Dan ketiga, fitur-fitur yang diciptakan mulai mengedepankan personalisasi akan kebutuhan pengguna. Di hampir semua proses pendaftaran awal, calon nasabah akan ditanyai tentang tujuan pembukaan rekening, apakah untuk menambung, berinvestasi, atau lainnya. Di fase berikutnya, berbagai fitur akan disesuaikan dengan preferensi tersebut dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan pengguna secara tepat.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Laporan Boku: OVO Pimpin Pangsa Pasar “Mobile Wallet” di Indonesia

Perusahaan penyedia jaringan pembayaran mobile Boku baru-baru ini merilis survei terkait pasar mobile wallet di dunia. Survei bertajuk “Boku: 2021 Mobile Wallets Report” ini turut menyoroti kompetisi hingga perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia.

Indonesia dilaporkan menjadi negara ketiga di dunia dengan pertumbuhan mobile wallet tercepat, penetrasinya diprediksi melambung tiga kali lipat dengan transaksi diestimasi naik sepuluh kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Laporan ini mengungkap, volume transaksi mobile wallet di Indonesia diestimasi mencapai 1,7 miliar di 2020 dan meningkat menjadi 16 miliar transaksi di 2025. Sementara nilai transaksinya di 2020 mencapai $28 miliar dan diestimasi tumbuh signifikan menjadi $107 miliar atau Rp1,55 kuadriliun di 2025.

Total pengguna mobile wallet Indonesia tercatat sebesar 63,6 juta atau 25,6% terhadap total populasi. Angka ini diperkirakan juga meningkat menjadi 202 juta pengguna atau 76,5% pangsa di 2025.

Dalam laporannya, ada lima pemain Indonesia yang berkompetisi ketat di pasar mobile wallet. Apabila diurutkan berdasarkan pertumbuhan transaksi tertinggi di 2020, kelima mobile wallet ini antara lain (1) OVO dengan $10,7 juta, (2) ShopeePay dengan $4,3 juta, (3) LinkAja dengan $3,9 juta, (4) Gopay $3,7 juta, dan (5) DANA dengan $3,4 juta.

Capaian transaksi di 2020 dan proyeksinya di 2025 / Boku Report
Tingkat pertumbuhan transaksi di 2020 (kolom tiga) dan proyeksinya di 2025 (kolom empat) dalam jutaan dolar / Boku Report

OVO mengungguli penggunaan mobile wallet di Indonesia dengan 38,2% pangsa pasar, diikuti oleh ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), DANA (12,2%), dan lainnya (6,9%).

Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Survei ini mengungkap, mobile wallet punya peran signifikan dalam mendorong akuisisi customer baru di layanan ecommerce. Di sisi lain, lima pemain mobile wallet di Indonesia bersaing ketat untuk mengambil ceruk pasar.

“Ketatnya persaingan di pasar mobile wallet turut dipicu oleh keterlibatan Venture Capital (VC) yang agresif memberikan investasi kepada pemain,” ungkap laporan ini.

Hal ini terlihat dari bagaimana ShopeePay mampu mengungguli beberapa pemain incumbent, seperti Gopay dan DANA di 2020. ShopeePay dinilai banyak memberikan potongan harga dan promosi kepada konsumen berkat dukungan modal dari investor. Faktor ini yang membawanya menduduki posisi kedua penggunaan mobile wallet terbanyak di Indonesia.

Perilaku pengguna mobile wallet di Indonesia

Boku juga melakukan survei terhadap 1035 responden untuk mengetahui lanskap perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia. Hasilnya, rata-rata konsumen Indonesia menggunakan sebanyak 3,2 mobile wallet untuk memaksimalkan keuntungan setiap layanan. Temuan ini sama banyaknya dari hasil survei penggunaan di India.

Ada lima alasan terbesar konsumen Indonesia menggunakan mobile wallet antara lain pembayaran digital (73%), cashback/diskon dari mobile wallet (69%), ingin mencoba (61%), cashback/diskon dari merchant tertentu (57%), dan karena ingin berhenti menggunakan uang tunai (53%).

Cashback menjadi faktor utama mengapa konsumen rerata menggunakan 3,2 mobile wallet. Faktor ini diikuti pertanyaan lanjutan, yakni ‘mengapa Anda menggunakan lebih dari satu dompet’. Responden menjawab mereka ingin mengumpulkan benefit berbeda dari masing-masing layanan,” jelasnya.

Pada aktivitas penggunaan, konsumen Indonesia kebanyakan pakai mobile wallet untuk top up, pembayaran, tagihan, transfer. Ini sebetulnya menjadi sinyal bagaimana mobile wallet menjadi proxy untuk membantu membuka rekening masyarakat.

Perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Kemudian, laporan ini juga menemukan 81% responden di Indonesia banyak menggunakan mobile wallet untuk belanja online. Jika dibandingkan dengan pembayaran langsung di toko sebesar 40% apabila digabungkan, ini menyimpulkan bagaimana konsumen Indonesia begitu terpusat pada layanan ecommerce.

Menurut responden, belanja online menjadi fungsi teratas yang banyak mereka gunakan pada “super app“. “Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai pasar mobile-only dengan kompetisi pasar mobile wallet dan super app yang kuat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Indonesia termasuk pasar tercepat di dunia untuk penggunaan mobile payment. Alhasil, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki transisi cepat dari penggunaan tunai ke mobile wallet.

“Kami menemukan pembayaran tunai, transfer bank, dan kartu debit menjadi tipe pembayaran yang mulai banyak ditinggalkan konsumen dan beralih ke mobile wallet. Bahkan pembayaran melalui perangkat mobile mengungguli kartu kredit, yang mana menjelaskan rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia,” sebut laporan ini.

Di sisi lain, Indonesia juga termasuk sulit dalam penerimaan merchant. Hal ini dikarenakan terfragmentasinya pasar dan cepatnya perubahan preferensi konsumen. Padahal, Indonesia punya peluang besar untuk memberdayakan pembayaran online pada merchant.

Payfazz Secures E-money License from BI, Focusing on User Base in Rural Area

Currently focused on providing access to financial services to people in rural areas, Payfazz will soon enter the electronic money (e-money) business. It was marked by obtaining a license from Bank Indonesia on June 28, 2021 as a server-based Electronic Money Provider through PT Cashfazz Teknologi Nusantara, a subsidiary of Fazz Financial Group.

Was founded in 2017, Payfazz has helped more than 700 thousand MSMEs or agents providing more than 80 million people through its application. It enables merchants to serve various types of transactions, including PPOB payments.

“This is a very significant achievement that we have been waiting for for a long time. With the electronic money license, we can bring the company’s goal closer to becoming an integrated financial service provider application for people without access to banking services.” Payfazz’ Co-Founder & CEO, Hendra Kwik said.

Furthermore, this license will be used by the company to create more opportunities to facilitate agents, especially to assist global and local corporate clients at Xfers in collecting payments from the unbanked community.

Previously, Fazz Financial Group had obtained a remittance license through Bank Indonesia, activated payment gateways for both global and local companies through its investment in Xfers (Licence for Large Payment Institutions – MAS), penetrated the digital banking industry through collaboration with BRI Agro (BRI’s subsidiary), and developed loan services through its investment in Modal Rakyat (OJK licensed for P2P financing).

“We expect this license to bring positive impact on the company’s business as a financial service provider and drive transaction volumes three times up the current one. This electronic money license has the potential to strengthen synergies between Payfazz and other financial products within the Fazz Financial Group,” Hendra said.

As of May 2021, Fazz Financial Group claims to have processed transaction volume over $10 billion per year through its product ecosystem, and this electronic money license can increase the transaction volume even higher.

Partnership expansion

Over the past two years, Payfazz has continued to expand partnerships with fintech startups and other related services, by presenting attractive products and services for MSME players in the country. Starting from Payfazz Buku, supported by Credibook, and launching several products for MSME players.One of the products is Warung Online, which allows orders from customers to be recorded directly in the Payfazz application.

Payfazz’ basic services in particular provide bill payments, money transfers, merchant payments, loans, and deposit/savings services for the unbanked through platform partnerships with various financial institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Payfazz Resmi Kantongi Lisensi E-money BI, Fokus Jangkau Pengguna di Pedesaan

Fokus untuk memberikan akses layanan finansial kepada masyarakat di pedesaan, Payfazz segera masuk ke bisnis uang elektronik (e-money). Ini ditandai dengan diperolehnya lisensi dari Bank Indonesia tertanggal 28 Juni 2021 sebagai Penyedia Uang Elektronik berbasis server melalui PT Cashfazz Teknologi Nusantara, anak usaha dari Fazz Financial Group.

Sejak diluncurkan tahun 2017, Payfazz telah membantu lebih dari 700 ribu UMKM atau agen melayani lebih dari 80 juta masyarakat melalui aplikasinya. Memungkinkan para merchant untuk melayani berbagai jenis transaksi, termasuk pembayaran PPOB.

“Ini merupakan pencapaian Payfazz yang sangat signifikan yang telah kami nantikan sejak lama. Dengan adanya lisensi uang elektronik, kita dapat mendekatkan tujuan perusahaan menjadi aplikasi penyedia jasa keuangan terpadu bagi masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan.” kata Co-Founder & CEO Payfazz Hendra Kwik.

Selanjutnya lisensi ini akan digunakan perusahaan untuk membuka lebih banyak peluang yang dapat memfasilitasi para agen, terutama untuk membantu klien perusahaan global dan lokal di Xfers dalam mengumpulkan pembayaran dari masyarakat yang tidak memiliki rekening bank.

Sebelumnya, Fazz Financial Group telah mendapatkan lisensi pengiriman uang melalui Bank Indonesia, mengaktifkan gerbang pembayaran baik untuk perusahaan global maupun lokal melalui investasinya di Xfers (lisensi Institusi Pembayaran Besar – MAS), memasuki dunia digital banking melalui kerja sama dengan BRI Agro (anak perusahaan Bank BRI), dan membuka layanan pinjaman melalui investasinya di Modal Rakyat (berlisensi OJK untuk pembiayaan P2P).

“Kami berharap melalui lisensi ini dapat berdampak positif bagi bisnis perusahaan sebagai penyedia jasa layanan keuangan dan mendorong volume transaksi tiga kali lipat dari saat ini. Lisensi uang elektronik ini memiliki potensi untuk mempererat sinergi antara Payfazz dan produk keuangan lainnya di dalam Fazz Financial Group,” kata Hendra.

Per Bulan Mei 2021, Fazz Financial Group mengklaim telah memproses lebih dari $10 Miliar volume transaksi per tahun melalui ekosistem produknya, dan dengan adanya lisensi uang elektronik ini dapat meningkatkan volume transaksi lebih tinggi lagi.

Perluas kemitraan

Selama dua tahun terakhir Payfazz terus memperluas kemitraan dengan startup fintech dan layanan terkait lainnya, dengan menghadirkan produk dan layanan menarik yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM di tanah air. Mulai dari Payfazz Buku yang didukung oleh Credibook, hingga meluncurkan beberapa produk yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM. Salah satunya adalah Warung Online, memungkinkan pesanan dari pelanggan dapat langsung tercatat di aplikasi Payfazz.

Secara khusus layanan dasar mereka menyediakan pembayaran tagihan, transfer uang, pembayaran pedagang, pinjaman, dan layanan simpanan/tabungan untuk yang tidak memiliki rekening bank melalui kemitraan platform dengan berbagai lembaga finansial.

Application Information Will Show Up Here

Ingin Garap Pasar Gen Z, DANA Godok Sejumlah Fitur Baru

DANA mencatatkan peningkatan pengguna lebih dari 20 juta orang dalam lima bulan terakhir di tengah pandemi, total menjadi 70 juta pengguna. Lonjakan ini juga dibarengi dengan peningkatan transaksi harian menjadi 5 juta transaksi, dari sebelumnya 3 juta transaksi per akhir tahun lalu.

Perusahaan mencatat, rata-rata transaksi harian tertinggi terjadi pada bulan Mei 2021. Dibandingkan di bulan yang sama di tahun lalu, pertumbuhannya mencapai 164%. Aktivitas yang paling banyak digunakan pengguna dalam aplikasi DANA adalah pembayaran QRIS, kirim uang, pembelian pulsa, pembayaran online commerce, dan pembayaran tagihan.

Pengguna dengan mudah dapat melakukan transfer ke berbagai platform dengan DANA, seperti nomor telepon seluler, akun bank, media sosial seperti WhatsApp, atau melalui agen dan gerai-gerai mitra untuk dapat diambil penerimanya dalam bentuk tunai.

Co-Founder & CEO DANA Vince Iswara menambahkan, aktivitas transfer yang meningkat selama pandemi membawa dampak tersendiri dalam mendorong meluasnya budaya nontunai di kalangan masyarakat. “Ini menguatkan optimisme kami terhadap makin meningkatnya inklusi keuangan masyarakat Indonesia berkat teknologi yang kami kembangkan,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (23/6).

Dalam rangka memperkuat adopsi budaya transaksi masa depan ini, dan menjadikan teknologi finansial semakin inklusif, perusahaan akan terus meningkatkan proteksi serta pengalaman pengguna melalui pengembangan teknologi secara progresif.

Menariknya, lonjakan kinerja ini turut disumbangsih dari kemitraan perusahaan dengan TikTok, SnackVideo, dan Helo untuk penukaran koin dan referral menjadi saldo DANA. Saldo tersebut dapat digunakan untuk bertransaksi lewat DANA, entah untuk beli pulsa atau voucher game. Meski tidak disebutkan seberapa besar kontribusinya, namun kondisi tersebut menjadi potensi yang bakal diseriusi perusahaan pada tahun ini.

“Dari situ mengombinasikan pengalaman pengguna mengenai kemudahan transfer karena terima uangnya lebih mudah. Kami mencatat transfer p2p di DANA naik 2x lipat, lebih tinggi dari transfer ke bank pada ramadan 2021,” ucap Senior VP of Produt DANA Rangga Wiseno.

Seperti diketahui, mayoritas pengguna TikTok datang dari generasi Z yang notabenenya belum memiliki KTP. Alhasil mereka pun terhalang ketika melalui tahap KYC. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Rangga menyebut saat ini perusahaan tengah menyiapkan fitur yang rencananya akan diumumkan dalam waktu dekat.

“Gen Z pun kami lihat suka beli pulsa dan voucher game, kami akan improve juga di sini. Bakal ada banyak kita improve karena gen Z ini sekarang jadi segmen fokus kami juga,” tambah dia.

Saat ini ada sejumlah fitur di DANA yang kental dengan unsur sosial yang sengaja dihadirkan untuk gen Z, seperti Split Bill dan DANA Kaget. Tak hanya fitur, perusahaan ingin merancang pengalaman bertransaksi digital secara personal, serta berdasarkan kepuasan pelanggan. Caranya dengan memberikan personalisasi profil pengguna dengan bantuan AI dan proses integrasi tanpa celah bagi pengguna.

“Kita ingin mendeteksi apa yang konsumen suka, tapi juga berikan rekomendasi mana yang cocok untuk mereka karena DANA punya banyak fitur,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

ShopeePay Kini Menjadi Pilihan Metode Pembayaran di Google Play

Penyedia layanan pembayaran digital dibawah Sea Group, ShopeePay, mengumumkan integrasi dengan Google Play Store untuk mendukung tren pertumbuhan penggunaan layanan digital di Indonesia. ShopeePay kini bisa digunakan untuk transaksi berbagai kebutuhan gaya hidup digital seperti pembelian aplikasi, top up game, hingga berlangganan layanan Video on Demand (VOD).

Head of Strategic Merchant Acquisition ShopeePay Eka Nilam Dari mengungkapkan, “Kerja sama ini merupakan pencapaian inovasi terbaru dari ShopeePay dalam menyediakan solusi pembayaran digital yang terintegrasi, khususnya di platform kelas dunia seperti Google Play Store. [..] Dengan penawaran yang memuaskan dan akses yang tak terbatas akan transaksi pembayaran digital di dalam Google Play Store, kami harap kolaborasi ini dapat semakin mendorong antusiasme masyarakat terhadap transaksi digital.”

Pengguna hanya perlu menambahkan ShopeePay di menu metode pembayaran lalu memasukan pin ShopeePay atau konfirmasi melalui sidik jari/Face ID. Setelah berhasil diaktivasi, pengguna bisa mulai melakukan pembelian aplikasi di dalam Google Play.

Sebelumnya, GoPay sudah lebih dulu masuk sebagai metode pembayaran di Google Play sejak tahun 2019. Dengan strategi yang tidak jauh berbeda, kedua platform ini menawarkan nilai tambah berupa cashback yang bisa digunakan user untuk pembelian in-app dan aplikasi premium.

Selain menggunakan saldo Google Play, transaksi juga bisa melalui kartu Kredit/Debit serta tagihan ponsel. Namun, dilansir dalam rilisan pers Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat, untuk setiap pembelian aplikasi Google Play akan dikenakan tambahan pajak 10% dan biaya jasa sekitar 2%. Artinya, pengguna harus menyediakan saldo pulsa yang mencukupi sebelum bertransaksi di Google Play.

Peta pembayaran digital di Indonesia

Riset “Digital 2021” yang dikeluarkan We Are Social dan HootSuite mengungkapkan peningkatan jumlah masyarakat yang mengonsumsi layanan digital di Indonesia. Sebanyak 86,2% pengguna internet mengaku menggunakan aplikasi hiburan dan video, meningkat dari 83% di tahun sebelumnya. 60,4% mengaku menggunakan aplikasi mobile game, meningkat dari 59% di tahun sebelumnya.

Peningkatan tren ini mendorong integrasi ShopeePay dan Google Play Store untuk menyediakan akses pembayaran yang lebih aman dan menyeluruh, khususnya bagi pengguna Android yang mendominasi lebih dari 90% pasar smartphone di Indonesia.

Kehadiran teknologi dan digitalisasi di Indonesia mampu mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan alat pembayaran. Diakselerasi pandemi Covid-19, penggunaan uang tunai kini kian beralih menjadi pembayaran via digital.

Hasil survei konsumen secara online yang dilakukan oleh Snapcart selama kuartal pertama tahun 2021 menunjukkan ShopeePay sebagai platform pembayaran digital yang paling banyak digunakan (76%), disusul GoPay (57%), Ovo (54%), Dana (49%), dan LinkAja (21%).

Application Information Will Show Up Here

Observing Xendit’s Plans After Series B Funding Worth of 921 Billion Rupiah

A fintech company that provides solutions to simplify payment process for businesses, Xendit, plans to focus on building a financial transaction infrastructure in Indonesia. Xendit’s Co-Founder & CEO, Moses Lo told DailySocial his hope that the product ecosystem offers can help shape the next generation of scalable businesses.

“We want startups, SMEs, and other businesses to grow rapidly without having to worry about payment infrastructure, therefore, they can fully concentrate on more important matters. We always try to give our best by listening to feedback from merchants and trying to build products that suit their needs. them,” Moses said.

In order to present relevant technology, Xendit is currently developing a new product which is claimed to be very attractive and in accordance with the company’s goal of building a reliable digital payment infrastructure in Southeast Asia. This strategic step was taken to strengthen the foundation of the business.

“Our customers trust our payments and have asked us to create new tools that can help them during the pandemic and beyond,” Moses added.

Xendit also has plans to build more tools for SMEs to be able to do online business, including online merchants.

“Our customers have requested financing to bridge their cash flow needs for the following months. We provide capital to our customers with XenCapital. We are constantly building new products and services to help our customers (both large and small businesses) excel in this new world, both in Indonesia and the Philippines,” Moses said.

In the midst of Southeast Asia’s rapid digital transformation, Xendit has now processed more than 65 million transactions with payments of $6.5 billion per year. Regarding a future consolidation with relevant parties, Moses emphasized that Xendit is always open to the possibility of collaboration to improve service and product innovation.

“We expect this step can achieve the company’s goals, to build the most reliable digital payment infrastructure in Southeast Asia,” Moses said.

Apart from Xendit, there are also several payment system providers in Indonesia for startups or SMEs. One of the most significant is Midtrans, which is now part of the Gojek group. Doku, iPaymu, Finpay, and several other players also offer similar services. With the existing competitive map, product innovation is important in order to provide complementarity for its partners.

Series B Funding

In order to accelerate business growth, Xendit has just secured a series B funding worth $64.6 million or the equivalent of 921 billion Rupiah. This funding was led by global venture capital firm Accel. Overall, the companies have raised a total funding of $88 million or IDR 1.2 trillion.

“The fresh fund will be used to scale our digital payment infrastructure and provide millions of small and medium enterprises across Southeast Asia with the path to the digital economy,” Moses said.

Accel led the funding round as supported by Y Combinator. Previously, Xendit was the first Indonesian company selected to participate in the Y Combinator accelerator program in 2015 and was named one of the top 100 companies in 2021.

“Xendit has built a modern digital payment infrastructure that is changing the way Southeast Asian businesses transact. Their combined team of deep understanding of local markets and equipped with ambitions to dominate the global market place them in a strategic position to achieve what other companies in the region can’t do,” Accel’s Partner, Ryan Sweeney said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mendalami Rencana Xendit Setelah Bukukan Pendanaan Seri B Senilai 921 Miliar Rupiah

Perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan solusi menyederhanakan proses pembayaran untuk bisnis, Xendit, berencana untuk fokus membangun infrastruktur transaksi finansial di Indonesia. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Xendit Moses Lo mengungkapkan, harapannya dengan ekosistem produk yang ditawarkan dapat membantu membentuk generasi penerus bisnis yang scalable.

“Kami ingin startup, UKM, dan bisnis lainnya berkembang pesat tanpa harus mengkhawatirkan infrastruktur pembayaran, sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh pada hal-hal yang lebih penting. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan mendengarkan feedback dari merchant dan mencoba membangun produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Moses.

Guna menghadirkan teknologi yang relevan, saat ini Xendit tengah mengembangkan produk terbaru yang diklaim sangat menarik dan sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu membangun infrastruktur pembayaran digital yang bisa diandalkan di Asia Tenggara. Langkah strategis tersebut diambil untuk menguatkan fondasi bisnis.

“Pelanggan kami mempercayai pembayaran kami dan telah meminta kami menciptakan alat baru yang bisa membantu mereka selama pandemi dan seterusnya,” kata Moses.

Xendit juga memiliki rencana untuk membangun lebih banyak alat yang ditujukan bagi para UKM untuk bisa menjalankan bisnis secara online. Termasuk untuk para pedagang online.

“Pelanggan kami telah meminta pembiayaan untuk menjembatani kebutuhan arus kas atau bulan-bulan berikutnya. Kami memberikan modal kepada pelanggan kami yang membutuhkan XenCapital. Kami terus membangun produk dan layanan baru untuk membantu pelanggan kami (baik bisnis besar hingga kecil) unggul di dunia baru ini, baik di Indonesia dan Filipina,” kata Moses.

Di tengah transformasi digital Asia Tenggara yang pesat, Xendit hingga kini telah memproses lebih dari 65 juta transaksi dengan pembayaran $6,5 miliar per tahun. Disinggung apakah ada rencana konsolidasi ke depannya dengan pihak yang dinilai relevan, Moses menegaskan Xendit selalu terbuka untuk kemungkinan kolaborasi untuk meningkatkan layanan dan inovasi produk.

“Harapannya langkah tersebut nantinya bisa mencapai tujuan perusahaan, membangun infrastruktur pembayaran digital paling andal di Asia Tenggara,” kata Moses.

Selain Xendit, di Indonesia juga sudah ada beberapa penyedia sistem pembayaran yang bisa digunakan oleh startup atau UKM. Salah satu yang paling signifikan adalah Midtrans, yang kini sudah menjadi bagian dari grup Gojek. Doku, iPaymu, Finpay, dan beberapa pemain lain juga jajakan layanan serupa. Dengan peta persaingan yang ada, maka inovasi produk menjadi penting guna memberikan komplementer bagi para mitranya.

Pendanaan seri B

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, Xendit baru merampungkan penggalangan dana seri B senilai $64,6 juta atau setara 921 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh firma modal ventura global Accel. Secara keseluruhan, perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $88 juta atau senilai 1,2 triliun Rupiah.

“Dana segar ini selanjutnya akan kita gunakan untuk scale infrastruktur pembayaran digital kami dengan cepat dan menyediakan jutaan usaha kecil dan menengah di seluruh Asia Tenggara dengan jalan menuju ekonomi digital,” kata Moses.

Accel memimpin putaran pendanaan tersebut dengan dukungan tambahan dari Y Combinator. Sebelumnya Xendit adalah perusahaan Indonesia pertama yang terpilih untuk mengikuti program akselerator Y Combinator pada tahun 2015 dan dinobatkan sebagai salah satu dari 100 perusahaan teratas pada tahun 2021.

“Xendit telah membangun infrastruktur pembayaran digital modern yang mengubah cara bisnis Asia Tenggara bertransaksi. Kombinasi tim mereka yang terdiri dari pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam dan dilengkapi oleh ambisi untuk menguasai pasar global membuat mereka berada di posisi strategis untuk mendapatkan apa yang tidak dapat dilakukan oleh perusahaan lain di wilayah ini,” kata Partner Accel Ryan Sweeney.

Supper App News: Still on Gojek vs Grab

Super app has become a hype terminology. Both leading players, Gojek and Grab, are still on the campaign to be the most complete super app. It is a quite tight (direct) competition in all lines. Not only in Indonesia but also in regional area. With a same-level valuation as “decacorn”, the target market set is full of ambition.

This is the latest business scope of both services:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab tends to be superior in terms of coverage area. They started to expand since 2014 – including to Indonesia. Meanwhile, Gojek only started its regional expansion in mid-2018. In terms of the type of service, Indonesian market has the most comprehensive one. The complete service has delivered the term super app as a title.

According to App Annie’s data, the Grab application has been downloaded by 187 million users as of June 2020, while Gojek with 170 million users. The largest user base lies in Indonesia. In terms of Grab, it is around 66%, while Gojek is 90%.

Previously, Gojek has launched a separate application for expansion outside Indonesia. From this month on, they started to unify apps and brands into Gojek – from Vietnam service Go-Viet into Gojek. GET in Thailand will also get changed soon.

The latest report released by China Renaissance investment bank summarizes a number of Gojek and Grab business achievements and strategies. One of them is related to the monthly active user’s data. Gojek’s MAU data currently has reached 36 million users in four countries, while Grab is yet to disclose any data. The research calculates the total addressable market for ride-hailing services this year is to reach $25 billion.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategy towards profitability

The Covid-19 pandemic has clearly had a significant impact on the rid hailing business. In an exclusive interview with DailySocial, the international team confirmed the news. Grab is no different. Regarding business operations efficiency, the two companies had a layoff last June. Grab lay off 5% of its employees, equivalent to 360 people. Meanwhile, Gojek laid off 9% of its total employees, equivalent to 430 people.

Therefore, the super app platform survives, for other business areas still got potential growth despite pandemic. Referring to existing business data, China Renaissance is optimistic that food delivery and e-wallet services are likely to support the super app’s sustainability strategy. A large amount of monetization is possible for these two features.

The first is about food delivery. According to market measurements, this business has the potential to bring in up to $20 billion annually. Assuming each super app is capable to gain 5% of the market, at least they can book $1 billion in revenue each year. Grab once disclosed revenue for the food delivery service. In 2017 they already raised $2 billion and grew to $5 billion in 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Earlier this year, Gojek announced the strategy to make GoFood profitable. Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo revealed that all investors’ encouragement resulted in GoFood’s business model in a direction towards profitability. As time pass by, the GoFood’s achievement benchmarks have grown, from basic transaction numbers to gross transaction values, and now revenue.

As the food business has the potential to generate big cash, various initiatives were launched. One of those is by developing a cloud kitchen to help partners efficiently produce and serve products. Both Grab and Gojek continue to expand cloud kitchens as “shared kitchens” that is accessible by SME partners. There are shops that only serve purchases via GrabFood or GoFood orders.

Digital wallet to be the next source of profit

The super app journey goes through several phases: user acquisition, partner acquisition, and product expansion. The first phase has successfully passed. Millions of driver-partners spread across various cities turned into assets to convince users regarding the reliability and availability of services. The second phase indicates the same results. The pandemic has contributed significantly to the adoption of food and grocery delivery services.

Next, the third phase is being optimized by each player. In Indonesia, GoPay is the payment platform most used by the public, competing with Ovo, which is now being applied by Grab (as well as Tokopedia and several other services). Obviously, its existence has a big impact on the business of each company. The payment system acts as a link between actors in the application ecosystem: consumers, driver-partners, and merchants.

Superapp development phase

This situation creates opportunities for partners and merchants to gain more feasible financial access. Fintech platforms such as digital wallets are considered to be able to bridge the existing gap, including connecting them with various financial products (transfers, loans, investments).

Some intentions are going toward this, including the seriousness of Grab through the GrabFinancial unit. GoPay itself is said to have reached a unicorn valuation.

Next phase: integration

Super app principles such as “must be the most complete” turn Gojek and Grab compete harder to provide various relevant services. Adding a service doesn’t mean you have to develop everything independently. In terms of telemedicine services, Gojek collaborates with Halodoc, while Grab is with Ping An Good Doctor. Also for other services, such as insurtech, lending, and OTA which are integrated with third-party platforms.

It takes some business units to allow the company to connect with related players. The strategy is similar, starting from developing venture units, acceleration programs, to acquisitions.

Such intense competition has so far been considered good for the market formation and often benefits consumers. It was previously rumored that the two super apps would merge, however, it seems just ended up as a rumor.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here