Finantier Obtains Seed Funding, to Offer API service for Financial Business

Finantier is an open finance service developer startup, enabling financial companies to use an API (Application Programming Interface) connection to streamline multiple processes. In the Finantier service, there are three main features, verification of identity through data owned by users or bank data; help businesses manage raw data with machine learning; and provides features to accommodate regular payments or subscriptions.

The startup founded by Diego Rojas, Keng Low, and Edwin Kusuma, today (23/11) announced its pre-seed funding led by East Ventures with the participation of AC Ventures, Genesia Ventures, and several other investors. There is no further detail of the nominal funding obtained. The investment fund will be focused on strengthening the team and accelerating the development of their API technology, including preparing services to expand in various countries in Southeast Asia.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Finantier’s Co-Founders : Diego Rojas & Keng Low

“Open finance is a framework built on the principles of open banking that gives consumers the flexibility to access their data securely and use it optimally across multiple platforms,” ​​Finantier Co-Founder & CEO Diego Rojas said.

In Indonesia, open banking regulation is the responsibility of Bank Indonesia. Until now, the Open API standard is in its developing stage. Since last July 2020, BI has announced the release of the Open API standard, enabling collaboration between banks and fintechs to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems.

In Indonesia, there are several API service startups to accommodate various payments. One of the most comprehensive is Ayoconnect, which offers an API for transactions, payments, and even transaction data management. With a different approach, there is also an API-based open banking solution provided by Brankas, enabling developers to facilitate various transactions from user to bank.

“We are leveraging the digital footprint of consumers and businesses to provide them with safe access in Southeast Asia to customized financial services, which in turn help improve consumers’ financial well-being,” Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low added.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder & COO Edwin Kusuma outlined one of the issues that fintech players in Indonesia have often encountered. “P2P lending companies often have difficulty channeling loans to individuals and SMEs. Usually, this is due to a lack of information or because fintech companies are unable to get a complete financial picture of prospective borrowers, even though this data is needed to reduce loan risk and reduce costs.”

Finantier was founded in the middle of this year aiming to provide the infrastructure and data needed by businesses to build the next generation of financial products. Finantier enables fintech platforms and financial institutions to collaborate securely to provide consumers with flexibility, convenience and security in utilizing their financial data.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Finantier Dapat Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API untuk Bisnis Finansial

Finantier adalah startup pengembang layanan open finance, memungkinkan perusahaan finansial menggunakan sambungan API (Application Programming Interface) untuk mengefisiensikan beberapa proses. Di layanan Finantier ada tiga kapabilitas utama yang ditawarkan, yakni melakukan verifikasi identitas melalui data yang dimasukkan pengguna atau data bank yang sudah dimiliki; membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning; dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan.

Startup yang didirikan Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut, hari ini (23/11) mengumumkan perolehan pendanaan pre-seed yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures, Genesia Ventures, dan beberapa investor lainnya. Tidak disebutkan detail nominal pendanaan yang didapat. Dana investasi akan difokuskan untuk memperkuat tim dan mengakselerasi pengembangan teknologi API mereka, termasuk mempersiapkan layanan agar bisa berkembang di berbagai negara di Asia Tenggara.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low

Open finance adalah sebuah kerangka yang dibangun di atas prinsip-prinsip open banking yang memberikan konsumen keleluasaan untuk mengakses data mereka dengan aman dan menggunakannya dengan optimal di berbagai platform,” kata Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Di Indonesia sendiri aturan open banking ada di ranah Bank Indonesia. Sampai saat ini, standar Open API sedang dalam tahap pematangan. Sejak Juli 2020 lalu, BI sudah mengumumkan segera merilis standar Open API, memungkinkan kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem.

Di Indonesia sendiri beberapa startup layanan API untuk mengakomodasi berbagai pembayaran. Salah satu yang terlengkap adalah Ayoconnect, menawarkan API untuk transaksi, pembayaran, sampai ke pengelolaan data transaksi. Dengan pendekatan berbeda, ada juga solusi open banking berbasis API yang disediakan Brankas, memungkinkan pengembang memfasilitasi berbagai transaksi dari pengguna ke bank.

“Kami memanfaatkan jejak digital konsumen dan bisnis untuk memberikan mereka akses yang aman di Asia Tenggara ke layanan finansial yang disesuaikan dengan kebutuhan, yang kemudian turut membantu meningkatkan kesejahteraan finansial konsumen,” tambah Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low.

Sementara itu, Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma menjabarkan salah satu isu yang selama ini kerap ditemui pemain fintech di Indonesia. “Perusahaan p2p lending seringkali kesulitan dalam menyalurkan pinjaman ke individu dan UMKM. Biasanya, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi atau karena perusahaan fintech tidak bisa mendapatkan gambaran finansial yang lengkap dari calon peminjam, padahal data tersebut dibutuhkan untuk mengurangi risiko pinjaman dan menekan biaya.”

Finantier didirikan pada pertengahan tahun ini dengan tujuan menyediakan infrastruktur dan data yang dibutuhkan oleh bisnis dalam membangun produk finansial generasi selanjutnya. Finantier membuat platform fintech dan institusi keuangan bisa berkolaborasi dengan aman untuk memberikan konsumen keleluasaan, kenyamanan, dan keamanan dalam memanfaatkan data finansial milik mereka.

Memaknai Momentum Bonus Demografi dan Merintis Startup

Edisi #SelasaStartup kali ini cukup spesial karena sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tema yang diangkat adalah ”Muda Berinovasi: Start Your Startup Now” dengan mengundang Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro sebagai keynote speaker.

Lalu, Staf Khusus Menristek/Ka. BRIN Bidang Jejaring Startup Adrian A. Gunadi, CEO Kiddo.id Analia Tan, CEO & Co-Founder Mycotech Adi Reza Nugroho, Co-Founder Riliv Audrey Maximillian Herli, Co-Founder & COO Kata.ai Wahyu Wrehasnaya, dan Partner East Ventures Melissa Irene.

Berkaitan dengan tema besar, Bambang menuturkan bahwa bonus demografi yang sedang terjadi di Indonesia harus dimaknai sebagai kesempatan emas untuk membuat ekonomi Indonesia lebih maju dengan berinovasi memanfaatkan teknologi digital. Kesempatan ini tidak datang dua kali karena pada 2045 mendatang bonus demografi ini akan selesai dan beralih ke usia lanjut.

Ia mendorong kaum muda yang ada sekarang ini untuk menjadi pengusaha, sebab semakin banyak pengusaha maka berdampak pada produktifnya ekonomi suatu negara.

“Tapi ini jadi asumsi saja, kalau [bonus demografi] tidak bisa di-manage dengan baik, justru jadi beban demografi. Agar tidak terjadi itu, harus diarahkan dengan melahirkan startup berbasis teknologi yang bisa menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN

Tips dari founder startup dan investor

Untuk mendorong lebih banyak startup, DailySocial juga meminta perspektif dari para founder startup dalam sesi diskusi panel. Audrey misalnya, ia mendorong kepada anak muda untuk jangan pernah takut memulai suatu inisiatif baru. Pun ketika menemukan suatu ide baru, jangan berpikir bahwa ide tersebut hanya ada satu-satunya di dunia.

Ide tersebut sebaiknya jangan disimpan, justru dibagikan ke orang lain agar berkembang dan segera terealisasi jadi bisnis nyata. “Kalau disimpan saja ide tidak akan bisa berkembang, dari ide nanti bisa jadi solusi,” kata dia.

Sementara itu, dari sisi Analia menambahkan sebaiknya memulai ide itu dari apa yang kita suka agar lebih mudah menemukan masalah. Ia mencontohkan saat merintis Kiddo, pada dasarnya ia menyukai edukasi untuk anak. Lalu ia mengobrol dengan teman-temannya yang sudah memiliki anak.

Ternyata, akar masalahnya adalah orang tua sulit menemukan aktivitas yang bagus untuk anaknya. Dari sisi pelaku usaha, proses bisnisnya juga tergolong masih konvensional untuk proses administrasinya. Kesempatan tersebut akhirnya diambil Kiddo dengan menempatkan dirinya sebagai platform marketplace untuk aktivitas anak.

“Banyak teman-teman yang dukung dan jaringan semakin terbuka akhirnya menginspirasi ide untuk merintis Kiddo,” imbuh Analia.

Dari sisi investor, Melissa menambahkan bahwa tiap investor punya taste masing-masing dalam berinvestasi, entah berbasis teknologi ataupun tidak sebab semua punya porsi masing-masing. Yang terpenting adalah inovasi yang diciptakan anak muda harus menyelesaikan masalah yang ada.

“Teknologi hanyalah alat agar tujuan penyelesaian dari masalah yang disasar dalam lebih cepat selesai dan dapat di-scale up. Jangan sampai salah persepsikan karena dasar-dasar tersebut dipakai untuk tolak ukur oleh investor analisa,” katanya.

Pertimbangan investor saat mereka tertarik investasi sebenarnya melihat banyak hal. Misalnya, apakah startup tersebut memang layak untuk diinvestasi oleh VC, bagaimana pangsa pasarnya, dari sisi kompetisi seperti apa apakah pasarnya sudah saturated atau belum, dan masih banyak lagi.

Bantuan dari pemerintah

Adrian melanjutkan dalam mendukung terciptanya lebih banyak startup berkualitas, Kemeristek/BRIN melanjutkan program tahunannya yang bernama Startup Inovasi Indonesia. Menurutnya program ini selaras dengan fokus pemerintah yang ingin memajukan ekonomi digital, strategi seperti ini sudah dijalankan oleh negara maju semisal Singapura dan Amerika Serikat. Itulah mengapa startup di kedua negara tersebut berkembang pesat.

“Program ini enggak cuma bicara untuk kota besar saja, tapi bagaimana inovasi bisa lebih menyeluruh di seluruh Indonesia karena masing-masing ada potensi yang luar biasa,” kata Adrian.

Program ini membuat tiga jenis pendanaan berdasarkan skala startup tersebut, mulai dari pra-startup dengan dana hibah maksimal Rp250 juta, startup dengan dana hibah hingga Rp500 juta, dan yang tertinggi yakni scale-up dengan dana hibah hingga Rp1 miliar.

Pada Maret kemarin sudah dilaksanakan tahap pengusulan proposal untuk masing-masing jenis pendanaan. Adapun saat ini sedang memasuki proses evaluasi dan dilanjutkan dengan seleksi presentasi. Pada tahap akhir, tepatnya pada Desember mendatang akan dilaksanakan workshop untuk penelaahan anggaran dan rencana aksi.

“Fokus bidang startup tahun ini adalah transportasi, kemaritiman, kesehatan, multi-disiplin dan lintas sektoral, pangan, rekayasa keteknikan, pertahanan keamanan, dan energi,” tutup Adrian.

Observing Vietnam as Indonesia’s Startup Destination for Expansion

The expansion success story is one of the benchmarks for business growth; It’s no wonder that many founders openly conveyed this ambition on various occasions. Starting from national, regional, then global expansion. In the Indonesian startup ecosystem, several players have enough courage to expand overseas. The level is still regional, trying to work on the market in Southeast Asian countries.

Judging from the existing trend, expansion is generally carried out for two purposes. First is strengthening business operations, Singapore and India are by far the most favorite. Startups create operational offices or R&D centers. Second, the expansion opens up new market shares, increases users, and business traction. For this purpose, Vietnam looks more promising and becomes a priority.

Currently, there are several local startups that are also offering their services in Vietnam. Call it Gojek, Ruangguru, Traveloka, and PasarPolis. In a virtual discussion opportunity held by the Indonesian Embassy in Hanoi on August 12, 2020, Traveloka representatives said that before the pandemic their business had seen good growth and after the pandemic, various plans had been made including collaboration with various parties.

The Indonesian Ambassador to Vietnam, Ibnu Hadi, in the discussion entitled “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” said the government would help “open the door” for Indonesian startups to open markets to Hanoi. Efforts have been made, including to intensively starting collaborations with players in the startup ecosystem there.

Several venture capitalists from Indonesia have also provided funding for Vietnamese startups. In the early stages, there are Venturra, East Ventures, and Alpha JWC Ventures; while at the next stage there are Openspace, Northstar, EV Growth.

About Vietnam market

East Ventures’ partner, Melisa Irene told DailySocial on the promising Vietnam’s internet market. Compared to Indonesia, she said the ecosystem development is 3-4 years behind Indonesia. East Ventures has also invested in two startups there, CirCo (coworking space operator) and Kim An Group (fintech lending for SMEs).

Melisa Irene
Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam is potential because its second largest population after Indonesia, the majority age is very young, and Vietnam has recently opened its economy to the global market. This will accelerate the growth of the digital economy in Vietnam in the next few years,” Irene added.

Kim An Group’s Series A funding was successfully closed last week. Apart from East Ventures, Patamar Capital is also involved in the round. Patamar Capital is also a fairly active venture capitalist in the Indonesian ecosystem. They operate in several countries in Southeast Asia and have representatives (partners) in each region.

We had the opportunity to interview Patamar Capital’s partners, Dondi Hananto (Indonesia) and Shuyin Tang (Vietnam).

Working daily with the ecosystem, Shuyin admits that Vietnam are still several years behind Indonesia. However, if you look at the continued development, he feels optimistic about the future of the digital startup. The infrastructure development and solid talent underlie this argument.

Regarding fintech, the most developed business landscape in the region, Shuyin said that in Vietnam, the sector tends to be more controlled compared to other countries. The State Bank of Vietnam released a very limited number of licenses for fintech, both for payment platforms, loans, and other business models.

“Alyhough, digital payments is a fairly active space in Vietnam. Momo recently announced that it has reached 20 million users since it was launched 10 years ago. Other well-known players are Moca (partnered with Grab) and ZaloPay. Gojek also announced to have taken a majority stake in WePay, which means we will finally be able to enjoy GoPay,” Shuyin explained.

The business climate is also different compared to Indonesia. As of August 2020, there are 158 p2p lending startups registered with the OJK in Indonesia. Meanwhile in Vietnam, Shuyin observed the conditions are the opposite, it can be said that fintech lending is more complicated. Related startups must collaborate with existing financial institutions, both from banking and non-banks. There is no “multi-finance enterprise” model in Vietnam, nor is there a specific legal framework for p2p lending.

“I have to say that it is more difficult for lending-focused companies to debut in Vietnam. These companies operate in the ‘gray zone’ or have to partner with banks. And once you reach a certain scale, operating in that zone is not an option, it has to be. find a way to get a license fast. Usually, this process will be long and expensive,” she added.

Shuyin Tang
Patamar Capital’s Partner, Shuying Tang / Patamar Capital

Aside from fintech, in Patamar Capital’s thesis, there are also several startup landscapes that are prioritized in the Vietnamese market, such as healthtech, edutech, logistics, and SME empowerment services.

Vietnam’s market characteristic

Venturra is one of the venture capitalists from Indonesia who has set foot and a dedicated team in that country. Venturra Partner Raditya Pramana reveals his analysis to DailySocial on why Vietnam has become attractive to founders planning expansion.

He said, when talking about market share, once an Indonesian startup wants to expand regionally, they will be presented with two options: the Philippines and Vietnam.

“After Indonesia, a country with a large population are the Philippines and Vietnam. If we compare the two options, the complexity is decisive. The Philippines is an archipelago, separated; while Vietnam is only divided into two large regions, one Hanoi in the north and the other in Ho Chi Minh City. in the South. It’ll become an entry point that makes it easier for companies to build their presence,” Raditya said.

An interesting fact, Raditya also highlighted the talents. Whereas in Indonesia, startups tend to find business talent easier and find it difficult to get technical talent, Vietnam is quite the opposite with less business talent, while technical talent is easier and more affordable. This can also be a consideration for digital startups who want to build a base in the country.

“In terms of market size, it is not as big as in Indonesia, but the development can be very fast. As is known, they also get momentum due to the trade war between the United States and China. There are many manufacturing companies there. The political reforms that have taken place in recent years have provided many opportunities for growth. economy, including making it easier for foreign companies to be there,” Raditya continued.

Raditya Pramana
Venturra’s Partner, Raditya Pramana / Venturra

Venturra’s solid vision has been shown by placing a team in Vietnam since March 2020 to be directly involved in its ecosystem. In Q1 of this year, they have invested in two Vietnamese startups, while the target is to reach 5-7 startups. The pandemic requires Raditya and the team to make many adjustments to their investment plans.

“Our main focus is clearly in Indonesia because we are a local company and understand this market better. However, when talking about foreign markets, we have two targets, Vietnam, then Singapore [because it is a regional business hub],” he said.

As a country with the potential for market expansion, Shuyin gave his view. Vietnam is a naturally growing market that needs to be considered for regional expansion. Interestingly, from his observations in Vietnam, after Covid-19, interest in investing in the country shot up. Including because of Vietnam’s successful strategy in stemming the impact of the pandemic.

“In my opinion, at the top level, yes, Indonesia and Vietnam have similar characteristics. A young population, increasing income, maturing technology ecosystem, etc. However, one thing that the team has seen time and time again is that there are many local nuances and this difference becomes important,” Shuyin said.

Another Patamar Capital partner, Dondi Hananto, added that he agreed with the many similarities. “When you are in Jakarta or Ho Chi Minh City, or in Hanoi or Surabaya, you will find traffic everywhere, and millions of motorbikes. But a closer look, local nuances will be very important in understanding customer behavior.”

“For example, on my trip to Vietnam, I never set foot in a mall. Yes, we have meetings in cafes or restaurants, but not in shopping centers. It’s different from every day in Jakarta, usually before the pandemic I often held meetings at malls, even our offices are in the coworking space inside the mall. While this may seem trivial, I believe things like this affect the way customers behave and may shape how businesses approach the market, “added Dondi.

Tips for startups

With these conditions, there are some tips for startups planning to open a market in Vietnam. First, as Irene said, understanding local business conditions needs to be a strong foundation for each founder. From East Ventures’ analysis, there are three challenges that must be considered, the limited talent at the mid-management level and above, changing regulations, and business practices based on relationships. All three are business executors that is very good at local dynamics.

If you look at the steps of Indonesian startups that are already present in Vietnam, it seems that this is appropriate. For example, what Gojek did by appointing local Phung Tuan Duc as CEO to localize the company’s business strategy there. Ruangguru has done something similar by developing a special brand and platform that is unique to local elements, Kien Guru.

Radit also mentioned that the managerial style must be adjusted for Indonesian startups to expand there. He sees that a community-driven strategy can be relevant, given the existing digital trends. Such as the growth of the social commerce business model, the popularity of Facebook, and others. “What is clear is that the Indonesian playbook cannot be fully replicated there. Customer behavior is different from Indonesia, you must have a strong leader there.”

As Dondi said, based on some of the similarities, founders also need to really understand the similarities in market share between these countries, find out what differences need to be adjusted. “In my opinion, expansion from Java to other islands in Indonesia is already very complicated due to differences in population density, infrastructure, behavior, recruitment, etc. Expanding to other countries is 100 times more complicated because you have to think hard about legal and operational barriers. , including language. ”

Dondi Hananto
Patamar Capital’s Partner, Dondi Hananto / Patamar Capital

And what was also emphasized was the selection of the right local team and partners. The realizations vary, for example through acquisition or acquihire as was done by Traveloka or Gojek, but it does require a high cost.

Why expand to Vietnam?

In Venturra’s portfolio, one startup has arrived in Vietnam, Ruangguru. However, Raditya did not really encourage his startup to quickly expand outside. He will recommend Vietnam as a destination, provided that the startup is really ready and feels that it has reached the best point in running its business on a national scale.

Meanwhile, according to Dondi, it is natural that Indonesian companies must have the will to expand regionally. Businesses must be prepared for these consequences, otherwise, it will be a waste of valuable resources and time. For some businesses, Indonesia’s domestic market is large enough, so that they can increase the maximum scale without expanding to other countries.

“We do have several business portfolios that have grown and are planning to expand to Vietnam, but we want to ensure that this is done carefully,” Dondi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos

Menilik Vietnam sebagai Tujuan Ekspansi Startup Indonesia

Keberhasilan melakukan ekspansi adalah salah satu tolok ukur pertumbuhan bisnis; tak heran banyak founder terang-terangkan menyampaikan ambisi tersebut di berbagai kesempatan. Dimulai dari ekspansi nasional, regional, kemudian global. Di ekosistem startup Indonesia, beberapa pemain telah unjuk gigi melakukan perluasan ke luar negeri. Levelnya masih regional, mencoba menggarap pasar di negara-negara Asia Tenggara.

Melihat dari tren yang sudah ada, umumnya ekspansi dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama adalah penguatan operasional bisnis, Singapura dan India sejauh yang paling favorit. Para startup membuat kantor operasional atau pusat R&D. Kedua, ekspansi membuka pangsa pasar baru, meningkatkan pengguna, dan traksi bisnisnya. Untuk kepentingan ini, Vietnam tampak lebih menjanjikan dan menjadi prioritas.

Saat ini, sudah ada beberapa startup lokal yang turut jajakan layanannya di Vietnam. Sebut saja Gojek, Ruangguru, Traveloka, dan PasarPolis. Dalam sebuah kesempatan diskusi virtual yang digelar KBRI Hanoi pada 12 Agustus 2020 lalu, perwakilan Traveloka menyampaikan, sebelum pandemi bisnis mereka mendapati pertumbuhan baik dan setelah pandemi pun berbagai rencana sudah dicanangkan termasuk kolaborasi dengan berbagai pihak.

Dubes RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, dalam diskusi bertajuk “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” tersebut mengatakan, pemerintah akan membantu “membuka pintu” bagi startup Indonesia yang ingin membuka pasar ke Hanoi. Upaya yang sudah dilakukan termasuk secara intensif memulai kolaborasi dengan pemain di ekosistem startup di sana.

Beberapa pemodal ventura dari Indonesia juga sudah lakukan pendanaan untuk startup Vietnam. Di tahap awal ada Venturra, East Ventures, dan Alpha JWC Ventures; sementara di tahap lanjutan ada Openspace, Northstar, EV Growth.

Tentang pasar Vietnam

Kepada DailySocial, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, potensi pasar internet Vietnam saat ini menjanjikan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, menurutnya perkembangan ekosistem di sana berada 3-4 tahun di belakang Indonesia. East Ventures sendiri sudah berinvestasi di dua startup di sana, yakni CirCo (operator coworking space) dan Kim An Group (fintech lending untuk UKM).

Melisa Irene
Partner East Ventures Melisa Irene / East Ventures

“Vietnam potensial karena populasinya kedua terbesar setelah Indonesia, mayoritas penduduk sangat muda, dan Vietnam baru beberapa tahun terakhir membuka perekonomian ke pasar global. Hal tersebut yang akan mengakselerasi  pertumbuhan ekonomi digital di Vietnam dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Irene.

Pendanaan Seri A Kim An Group sebenarnya juga baru berhasil ditutup pekan lalu. Selain East Ventures, Patamar Capital turut terlibat dalam putaran tersebut. Patamar Capital sendiri juga menjadi pemodal ventura yang cukup aktif di ekosistem Indonesia. Mereka beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara dan memiliki perwakilan (partner) di masing-masing wilayah.

Kami berkesempatan untuk mewawancara Partner Patamar Capital, yakni Dondi Hananto (Indonesia) dan Shuyin Tang (Vietnam).

Bekerja sehari-hari dengan ekosistem di sana, Shuyin mengakui bahwa kondisi di Vietnam masih tertinggal beberapa tahun dari Indonesia. Tapi jika melihat lanjut perkembangannya, ia merasa optimis tentang masa depan startup digitalnya. Perkembangan infrastruktur dan talenta yang solid melandasi argumen tersebut.

Terkait fintech, lanskap bisnis yang paling berkembang di regional, Shuyin berpendapat di Vietnam sektor tersebut cenderung lebih terkontrol dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bank Negara Vietnam merilis lisensi untuk fintech dengan jumlah yang sangat terbatas, baik untuk platform pembayaran, pinjaman, dan model bisnis lainnya.

“Meski begitu, pembayaran digital adalah ruang yang cukup aktif di Vietnam, ada Momo baru-baru ini mengumumkan telah mencapai 20 juta pengguna sejak diluncurkan 10 tahun lalu. Pemain lain yang cukup ternama adalah Moca (telah bermitra dengan Grab) dan ZaloPay. Gojek juga mengumumkan telah mengambil saham mayoritas di WePay, yang berarti kami akhirnya akan bisa menikmati GoPay,” terang Shuyin.

Iklim bisnisnya juga berbeda jika dibandingkan di Indonesia. Per Agustus 2020, di Indonesia ada 158 startup p2p lending yang terdaftar di OJK. Sementara di Vietnam, dari pantauan Shuyin kondisinya sebaliknya, bisa dikatakan fintech lending lebih rumit. Startup terkait harus bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah ada sebelumnya, baik dari perbankan maupun nonbank. Tidak ada model “perusahaan multifinansial” di Vietnam, juga belum ada kerangka hukum khusus untuk p2p lending.

“Jadi saya harus mengatakan bahwa lebih sulit bagi perusahaan yang fokus pada pinjaman untuk memulai di Vietnam. Perusahaan ini beroperasi di ‘zona abu-abu’ atau harus bermitra dengan bank. Dan begitu Anda mencapai skala tertentu, beroperasi di zona tersebut bukan pilihan, harus menemukan cara untuk mendapatkan lisensi yang cepat. Biasanya proses ini akan panjang dan mahal,” imbuhnya.

Shuyin Tang
Partner Patamar Capital Shuyin Tang / Patamar Capita

Selain fintech, dalam tesis Patamar Capital juga ada beberapa lanskap startup yang diprioritaskan di pasar Vietnam, yakni healthtech, editech, logistik, dan layanan pemberdayaan UKM.

Karakteristik pasar Vietnam

Venturra menjadi salah satu pemodal ventura asal Indonesia yang sudah injakkan kaki di sana dan memiliki tim yang didedikasikan di negara tersebut. Kepada DailySocial, Partner Venturra Raditya Pramana memberikan analisisnya soal mengapa Vietnam menjadi menarik bagi founder yang merencanakan ekspansi.

Ia berkata, saat berbicara tentang pangsa pasar, setelah suatu startup Indonesia ingin berekspansi secara regional, mereka akan disuguhkan dengan dua pilihan: Filipina dan Vietnam.

“Setelah Indonesia, negara yang memiliki populasi besar Filipina dan Vietnam. Kalau kita membandingkan dua pilihan tersebut, kompleksitasnya menentukan. Filipina berbentuk kepulauan, terpisah-pisah; sementara Vietnam cuma terbagi di dua wilayah besar, satu Hanoi di Utara dan satunya Ho Chi Minh City di Selatan. Jadi itu menjadi entry point yang lebih memudahkan untuk perusahaan membangun kehadirannya,” ujar Raditya.

Hal menarik yang juga disorot Raditya adalah seputar talenta. Jika di Indonesia startup cenderung lebih mudah mendapatkan talenta bisnis dan sulit mendapatkan talenta teknis, Vietnam kebalikannya talenta bisnis yang lebih sulit ditemui di sana, sementara talenta teknis lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa menjadi pertimbangan juga bagi startup digital yang ingin membangun basis di negara tersebut.

“Dari segi besaran pasar memang belum sebesar di Indonesia, tapi perkembangannya bisa sangat cepat. Seperti diketahui, mereka juga dapat momentum akibat trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur di sana. Reformasi politik yang terjadi beberapa tahun terakhir memberikan banyak peluang pertumbuhan perekonomian, termasuk memudahkan perusahaan luar untuk hadir di sana,” lanjut Raditya.

Raditya Pramana
Partner Venturra Raditya Pramana / Venturra

Keseriusan Venturra telah ditunjukkan dengan menempatkan tim di Vietnam sejak Maret 2020 untuk terlibat secara langsung dalam ekosistemnya. Di Q1 tahun inimereka sudah berinvestasi di dua startup Vietnam, sementara targetnya mencapai 5-7 startup. Pandemi mengharuskan Raditya dan tim melakukan banyak penyesuaian rencana investasi mereka.

“Fokus utama kami jelas di Indonesia, karena kami perusahaan di Indonesia dan lebih mengerti baik pasar ini. Tapi kalau berbicara tentang pasar luar negeri, maka target kami ada dua, yakni Vietnam, lalu Singapura [karena merupakan hub bisnis di regional],” kata Raditya.

Sebagai negara berpotensi untuk ekspansi pasar, Shuyin memberikan pandangannya. Vietnam adalah pasar yang tumbuh secara alami yang perlu dipertimbangkan dalam ekspansi regional. Menariknya, dari pengamatannya di Vietnam, setelah Covid-19, minat terhadap investasi di negara tersebut melesat. Termasuk karena strategi keberhasilan Vietnam dalam membendung dampak pandemi.

“Menurut saya di level atas, ya, tentunya Indonesia dan Vietnam memiliki karakteristik mirip. Populasi muda, pendapatan terus meningkat, ekosistem teknologi makin matang, dan sebagainya. Tapi satu hal yang tim kali lihat berkali-kali ada banyak nuansa lokal, dan perbedaan ini penting,” ungkap Shuyin.

Partner Patamar Capital lainnya Dondi Hananto menambahkan, ia setuju tentang adanya banyak kesamaan. “Saat Anda berada di Jakarta atau Ho Chi Minh City, atau berada di Hanoi atau Surabaya, Anda akan menemukan kemacetan di mana-mana, dan jutaan sepeda motor. Namun jika diliat lebih dekat, nuansa lokal akan sangat penting dalam memahami perilaku pelanggan.”

“Misalnya dalam perjalanan saya ke Vietnam, saya tidak pernah menginjakkan kaki di satu mall pun. Ya, kami pernah rapat di kafe atau restoran, tapi tidak di pusat perbelanjaan. Beda dengan sehari-hari di Jakarta, biasanya sebelum pandemi saya sering melakukan meeting di mall, bahkan kantor kami ada di coworking space di dalam mall. Meskipun ini mungkin tampak sepele, saya yakin hal-hal seperti ini mempengaruhi cara pelanggan berperilaku dan mungkin membentuk bagaimana bisnis mendekati pasar,” imbuh Dondi.

Tips untuk startup

Dengan kondisi tersebut, ada beberapa tips yang disampaikan untuk startup yang merencanakan untuk membuka pasar di Vietnam. Pertama, menurut Irene, pemahaman kondisi bisnis lokal perlu menjadi landasan kuat bagi tiap founder. Dari analisis East Ventures, ada tiga tantangan yang harus diperhatikan, yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.

Jika melihat langkah startup Indonesia yang sudah hadir di Vietnam, sepertinya hal tersebut sudah sesuai. Misalnya yang dilakukan Gojek dengan menunjuk orang lokal Phung Tuan Duc sebagai CEO untuk melokalisasi strategi bisnis perusahaan di sana. Hal serupa dilakukan Ruangguru dengan mengembangkan brand dan platform khusus yang khas dengan unsur lokal, Kien Guru.

Radit menambahkan, gaya manajerial memang harus disesuaikan untuk startup Indonesia yang ingin ekspansi ke sana. Ia melihat, strategi community-driven bisa saja relevan, melihat dari tren digital yang ada. Seperti bertumbuhnya model bisnis social commerce, popularitas Facebook, dan lain-lain. “Yang jelas, playbook Indonesia tidak bisa direplikasi sepenuhnya di sana. Customer behaviornya beda dengan Indonesia, harus punya strong leader di sana.”

Menurut Dondi, atas dasar beberapa kemiripan tadi, founder juga perlu benar-benar memahami persamaan pangsa pasar antarnegara tersebut, mencari tahu perbedaan apa yang perlu penyesuaian. “Menurut saya, ekspansi dari Jawa ke pulau lain di Indonesia saja sudah sangat rumit karena perbedaan kepadatan penduduk, infrastruktur, perilaku, rekrutmen, dan lain-lain. Memperluas ke negara lain 100 kali lebih rumit karena Anda harus berpikir keras tentang hukum dan hambatan operasional, termasuk bahasa.”

Dondi Hananto
Partner Patamar Capital Dondi Hananto / Patamar Capital

Dan hal yang juga ditekankan adalah terkait pemilihan tim dan mitra lokal yang tepat. Realisasinya bermacam-macam, misalnya melalui acquisition atau acquihire seperti yang dilakukan Traveloka atau Gojek, tapi memang membutuhkan biaya yang mahal.

Dorongan untuk ekspansi ke Vietnam

Di portofolio Venturra, satu startup sudah hadir ke Vietnam, yakni Ruangguru. Namun Raditya tidak terlalu mendorong startupnya untuk cepat-cepat ekspansi ke luar. Ia akan merekomendasikan Vietnam sebagai tujuan, dengan catatan startup tersebut benar-benar siap dan dirasa sudah sampai titik terbaik dalam menjalankan bisnisnya di skala nasional.

Sementara menurut Dondi, wajar jika perusahaan Indonesia harus punya kemauan melakukan ekspansi regional. Bisnis harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, jika tidak maka akan membuang-buang sumber daya dan waktu berharga. Untuk beberapa bisnis, pasar domestik Indonesia sudah cukup besar, sehingga mereka dapat meningkatkan skala maksimal tanpa ekspansi ke negara lain.

“Kami memang punya beberapa portofolio bisnis yang telah berkembang dan berencana untuk melakukan perluasan ke Vietnam, tapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dengan hati-hati,” terang Dondi.

Gambar Header: Depositphotos

Asumsi Dapatkan Pendanaan Awal dari East Ventures, Difokuskan untuk Peningkatan Teknologi

East Ventures hari ini (15/9) mengumumkan investasi tahap awalnya untuk startup media digital Asumsi. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang diberikan. Modal segar ini akan digunakan untuk mengakselerasi proses pengembangan produk teknologi, dengan misi menjadi ekosistem media yang berkelanjutan. Termasuk untuk merekrut talenta teknologi dan membangun infrastruktur teknis.

Menargetkan pembaca muda, Asumsi banyak mengangkat topik peristiwa terkini seputar isu sosial, politik, dan budaya. Didirikan pada tahun 2017 oleh Pangeran Siahaan, saat ini perusahaan mengklaim telah meraih 10 juta kunjungan per bulan di situsnya, dengan rata-rata 3,2 juta penonton setiap bulan di kanal YouTube-nya.

“Asumsi percaya bahwa kunci dari bisnis media yang berkelanjutan adalah kombinasi dari konten berkualitas dan inovasi teknologi. Kami telah berusaha sebaik mungkin dalam menciptakan konten berkualitas tinggi yang memenuhi standar jurnalistik untuk menawarkan alternatif dari media arus utama. Namun, kami sadar bahwa ini hanya solusi sebagian,” ujar Pangeran.

Terobosan model bisnis

Akses internet yang semakin meluas memberikan keuntungan sekaligus tantangan untuk industri media digital. Keuntungannya jelas, memungkinkan setiap perusahaan/startup merangkul pembacanya secara lebih efisien. Sementara tantangannya, makin banyaknya media –baik mainstream maupun niche—membuat kue iklan (sebagai legasi model pendapatan) semakin kecil. Maka inovasi strategi bisnis perlu digencarkan.

Bulan Februari 2020, Asumsi meluncurkan YourMedia, memungkinkan pengguna untuk memberikan donasi terhadap sajian konten yang menurut mereka layak untuk diapresiasi. Sederhananya, perusahaan merilis platform crowdfunding untuk mengajak pembacanya turut serta membangun bisnis Asumsi. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mengikuti program Google News Initiative.

Kepada DailySocial tim Asumsi mengatakan, setelah hampir 8 bulan dirilis, platform YourMedia mendapati traksi yang cukup baik. “Kami berhasil mendapatkan funding ratusan juta Rupiah dari audiens. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada dorongan dan kemauan dari audiens untuk merogoh kantongnya untuk konten media yang mereka anggap berkualitas jika menggunakan pendekatan yang tepat.”

Isu lain yang disampaikan seputar industri media digital adalah soal ketergantungan terhadap media sosial. Di satu sisi, platform seperti Twitter, Facebook dll memudahkan proses distribusi konten dan terhubung dengan penikmatnya, tapi di sisi lainnya kemunculan kreator konten individu memperketat persaingan di industri yang sudah kompetitif sejak lama.

“Karena itu, kami harus berpikir di luar pendekatan yang biasa. Investasi ini memberikan Asumsi kemampuan untuk membangun infrastruktur teknologi, yang memberikan kami keunggulan sambil menjaga kualitas dan pendekatan unik yang membuat Asumsi berbeda. Asumsi ingin menciptakan platform berita yang didukung oleh sistem analisis dan monitoring canggih,” imbuh Pangeran.

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai detail sistem tersebut, pihak Asumsi masih enggak untuk menceritakan. Selain itu, mereka memiliki beberapa rencana lain di beberapa bulan mendatang. Dua di antaranya merilis produk teknologi dan membuat vertikal media (konten) baru.

“Asumsi berencana membantu media independen lain untuk membuat dan memonetisasi konten dengan segera membuka platform YourMedia bagi mereka. Asumsi juga berencana untuk membantu audiens memahami dan mengonsumsi konten berita berkualitas dengan lebih baik. Ini tidak terbatas pada konten kami sendiri, tetapi juga konten berkualitas di platform lain.”

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

SIRCLO Announces Series B Funding Worth of 88 Billion Rupiah

SIRCLO, an e-commerce enabler developer startup, today (28/8) announced the Series B funding worth of $6 million or equivalent to 88 billion Rupiah.  Investors involved in this round include East Ventures, OCBC NISP Ventura, Skystar Capital, Sinar Mas Land, and several other names that were not mentioned.

SIRCLO’s Founder & CEO, Brian Marshal said the fresh funds will be focused on strengthening internal infrastructure. “Through this funding, we will continue to improve our capabilities and reach, therefore, we can help more brands in Indonesia. We are also optimistic that online shopping transactions will continue to increase in the future, even after the pandemic ends.”

Business expansion continues amid the rapid growth of the e-commerce market. SIRCLO continues to add new fulfillment centers and improve features of the SIRCLO Store (including the brand activation platform, marketplace, and chat commerce).

“SIRCLO is at the right time and position in this pandemic. With the developed capabilities before the pandemic, SIRCLO is helping to accelerate the digital transformation that is taking place in this country,” Willson Cuaca, Co-founder and Managing Partner at East Ventures explained.

Brands that have been relying on traditional sales channels have been encouraged to enter online platforms in order to reach more consumers. The SIRCLO Insights 2020 e-commerce report estimates 12 million new e-commerce users since the pandemic, 40% of which is said to continue to rely on e-commerce even after the pandemic ended.

The competition in this business segment is actually quite tight. Apart from SIRCLO, there are already several other platforms rolling similar business in Indonesia. Some of those are local players such as Jubelio, Jet Commerce, and IDMarco; or several regional players such as aCommerce, Perpule, Anchanto, and others. The value proposition is clearly required, by providing additional value that can help merchant partners increase their business.

Business Initiatives

Founder & Co-Founder SIRCLO: Leontius, Brian, dan Andreas / SIRCLO
SIRCLO’s Founder & Co-Founder: Leontius, Brian, and Andreas / SIRCLO

Apart from its main products, SIRCLO also continues to improve its services. Last year, they launched Connexi, a SaaS platform with multi-channel e-commerce management features. SIRCLO claims that Connexi has been widely used by the FMCG brand to manage online sales in SIRCLO Commerce.

Meanwhile, their core service remains SIRCLO Commerce, which is a platform that facilitates the entire online sales process: from stock management, ordering processes, product delivery, to customer service. Brands can manage online sales through the marketplace, chat commerce such as Whatsapp Business, or their own website.

In May 2020, SIRCLO announced a merger with e-commerce technology and solutions provider agency Icube. This corporate action has helped to unite thousands of their clients, as well as unite the strengths of both parties to help more businesses and brands carry out digital transformation.

After the merger, Founder & President Icube Muliadi Jeo assumed the position of CTO of SIRCLO. Leontius Adhika Pradhana as CTO previously changed his position to CPO. In addition, last June the company also welcomed the appointment of a new COO, Danang Cahyono. Danang was previously the Managing Director at Westcon-Comstor Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

SIRCLO Dapatkan Pendanaan Seri B Senilai 88 Miliar Rupiah

SIRCLO, startup pengembang platform e-commerce enabler, hari ini (28/8) mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $6 juta atau setara 88 miliar Rupiah. Investor yang terlibat dalam putaran ini di antaranya East Ventures, OCBC NISP Ventura, Skystar Capital, Sinar Mas Land, dan beberapa nama lain yang tidak disebutkan.

Founder & CEO SIRCLO Brian Marshal mengatakan, dana modal tambahan akan difokuskan untuk penguatan infrastruktur internal. “Melalui pendanaan ini, kami terus meningkatkan kapabilitas dan jangkauan, agar bisa membantu semakin banyak brand di Indonesia. Kami juga optimis bahwa transaksi belanja online akan terus meningkat di masa depan, bahkan setelah pandemi berakhir.”

Perluasan bisnis terus dilakukan di tengah perkembangan pasar e-commerce. SIRCLO terus menambah fulfillment center baru dan meningkatkan fitur SIRCLO Store (termasuk di dalamnya platform brand activation, marketplace, dan chat commerce).

“SIRCLO berada pada waktu dan posisi yang tepat dalam masa pandemi ini. Dengan kemampuan yang sudah dibangun sebelum masa pandemi, SIRCLO membantu akselerasi transformasi digital yang sedang terjadi di negeri ini,” jelas Willson Cuaca, Co-founder dan Managing Partner di East Ventures.

Brand yang selama ini mengandalkan kanal penjualan tradisional pun terdorong untuk memasuki platform online agar bisa menjangkau konsumen dengan lebih baik. Laporan e-commerce SIRCLO Insights 2020 memperkirakan terdapat 12 juta pengguna e-commerce baru sejak pandemi berlangsung, 40% di antaranya mengatakan akan terus mengandalkan e-commerce bahkan setelah pandemi berakhir.

Persaingan di segmen bisnis ini sebenarnya sudah cukup ramai. Selain SIRCLO, sudah ada beberapa platform lain yang bermanuver di Indonesia. Sebut saja pemain lokal seperti Jubelio, Jet Commerce, dan IDMarco; atau beberapa pemain regional seperti aCommerce, Perpule, Anchanto, dan lain-lain. Value proposition jelas dibutuhkan, dengan memberikan nilai lebih yang mampu membantu mitra pedagang meningkatkan bisnis mereka.

Inisiatif bisnis

Founder & Co-Founder SIRCLO: Leontius, Brian, dan Andreas / SIRCLO
Founder & Co-Founder SIRCLO: Leontius, Brian, dan Andreas / SIRCLO

Di luar produk utamanya, SIRCLO juga terus lakukan peningkatan layanan. Akhir tahun lalu mereka luncurkan Connexi, platform SaaS dengan fitur manajemen e-commerce multi-channel. SIRCLO mengklaim Connexi sudah banyak digunakan oleh brand FMCG untuk mengelola penjualan online di SIRCLO Commerce.

Sementara layanan utama mereka adalah SIRCLO Commerce, yakni platform yang memfasilitasi seluruh proses penjualan online: mulai dari pengaturan stok, proses pemesanan, pengiriman produk, sampai layanan konsumen. Brand bisa mengelola penjualan online melalui marketplace, chat commerce seperti Whatsapp Business, ataupun situs webnya sendiri.

Pada Mei 2020 lalu, SIRCLO mengumumkan merger dengan agensi penyedia teknologi dan solusi e-commerce Icube. Aksi perusahaan ini turut menggabungkan ribuan klien mereka, sekaligus menyatukan kekuatan dari kedua belah pihak untuk membantu lebih banyak bisnis dan brand melakukan transformasi digital.

Pasca-merger Founder & President Icube Muliadi Jeo mengemban posisi CTO SIRCLO. Leontius Adhika Pradhana selaku CTO sebelumnya berubah posisi menjadi CPO. Selain itu, Juni lalu perusahaan juga menyambut menunjuk COO baru Danang Cahyono. Danang sebelumnya merupakan Managing Director di Westcon-Comstor Indonesia.