Cerita Pengembang Solusi Berbasis IoT di Indonesia

Teknologi Internet of Things (IoT) lima tahun belakang cukup populer karena termasuk satu dari beberapa komponen strategis yang mendukung industri 4.0. Secara sederhana, teknologi IoT memungkinkan berbagai jenis alat elektronik untuk bisa saling berkomunikasi–melakukan perputaran data, baik antar sesama perangkat maupun dengan sistem atau aplikasi.

Tahun lalu pemerintah melalui Kemkominfo mengeluarkan regulasi mengenai penggunaan frekuensi LoRA WAN seperti yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Low Power Wide Area.

Para pemain solusi berbasis IoT mengapresiasi regulasi ini. Hanya saja masih ada beberapa regulasi yang diharapkan untuk segera hadir, termasuk memberikan keringanan biaya masuk atau impor untuk spare part atau bahan mentah yang didatangkan dari luar negeri. Kebijakan keringanan ini dinilai bisa mendorong industri IoT berkembang lebih cepat mengingat banyak perangkat yang masih didatangkan dari luar negeri, khususnya Tiongkok.

Meregulasi pemain asing dan kemudahan impor

Salah satu startup di sektor ini adalah Habibi Garden, yang selama dua tahun terakhir fokus membantu kelompok tani di Jawa Barat. CEO Habibi Garden Irsan Rajamin kepada DailySocial mengatakan, kebijakan impor cukup penting. Adanya pajak khusus untuk meringankan tarif akan memberikan stimulus positif bagi para pemain IoT di Indonesia.

Selain itu ia menambahkan, “Regulasi yang diharapkan, jika ada teknologi IoT dari luar yang masuk ke Indonesia, sebisa mungkin ada partnership atau kolaborasi dengan perusahaan atau startup lokal. Jadi ada kewajiban transfer knowledge.”

Hal senada disampaikan Chief of Product eFishery Krisna Aditya. Ia menyampaikan bahwa untuk mendukung startup lokal berkembang setidaknya harus ada regulasi yang membatasi produk-produk IoT dari luar untuk memberikan ruang pemain lokal menggarap pasar yang ada di Indonesia.

“Regulasi seperti TKDN yang memihak startup Indonesia juga dibutuhkan. Kemudian insentif pajak atau kemudahan melakukan impor part-part yang dibutuhkan untuk mengembangkan product IoT juga sangat penting. Hampir semua part yang dibutuhkan dalam mengembangkan IoT masih impor jadi ketika proses impor ini dipermudah dengan tujuan untuk mengembangkan startup di Indonesia maka itu akan membuka lapangan pekerjaan baru yang ada di Indonesia,” lanjut Krisna.

Perangkat HabibiGrow dari Habibi Garden
Perangkat HabibiGrow dari Habibi Garden

Hal ini diamini Co-Founder & CEO DycodeX Andri Yadi. Ia menyampaikan bahwa pemotongan tarif impor ini memang bisa memberikan dampak positif bagi industri IoT. Hanya saja untuk meregulasinya tidak mudah. Butuh waktu dan effort untuk mendata banyak sekali perangkat jika nantinya akan diberlakukan keringanan.

Peraturan lain yang juga diharapkan hadir adalah TKDN untuk perangkat yang masuk ke Indonesia. Meski pembahasan yang ada masih dalam tahap internal asosiasi, aturan ini dinilai bisa mendongkrak pertumbuhan industri IoT di Indonesia.

Menurut Andri, aturan TKDN ini harus disiapkan secara matang terlebih dahulu, terutama kesiapan para pemain lokal. Jangan sampai regulasi justru menjadi bumerang. Diharapkan tumbuh tetapi malah menghambat industri berkembang karena ketidaksiapan.

Sepenggal cerita pemain lokal

Asosiasi IoT Indonesia atau ASIoTI cukup optimis dengan peluang industri IoT di Indonesia. Bahkan pada akhir 2019 silam mereka menargetkan 200 juta sensor pada tahun 2020 ini. Target ini diperkirakan agak meleset karena adanya pandemi Covid-19, tapi perkembangannya tetap memberi potensi dan peluang untuk banyak hal.

Selain otomasi di bidang industri, sejumlah solusi di sektor pertanian dan perikanan bisa dioptimalkan. Habibi Garden dan SmarTernak (salah satu solusi dari DycodeX) memiliki solusi yang hampir mirip, tapi diterapkan untuk dua hal yang berbeda. HabibiGarden untuk sektor pertanian dan Smarternak untuk sektor peternakan.

Habibi Garden mengaku telah menjalin kerja sama dengan Jabar Digital Service, khususnya untuk sektor pertanian. Mereka membantu para petani untuk mengoptimalkan cara kerja mereka melalui perangkat IoT. Baik mereka yang ada di lahan terbuka atau di dalam greenhouse.

Penerapan perangkat SmarTernak
Penerapan perangkat SmarTernak

Beberapa perangkat yang dikembangkan Habibi Garden antara lain alat untuk memonitor kondisi media tanam, alat yang bisa dikontrol jarak jauh untuk memberikan pupuk, air, pestisida, dan semacamnya, serta beberapa perangkat lainnya.

“Kita memproduksi 200 sensor yang dipaketkan untuk 20 kelompok tani di Jawa Barat. Alat yang kita gunakan antara lain sistem penyiraman otomatis, sistem pendinginan untuk greenhouse, sistem monitoring cuaca dan media tanam. Dengan alat ini petani bisa mengetahui dengan pasti kapan harus melakukan penyirapan dan pemumukan, dengan ini petani bisa mendapatkan efisiensi ongkos produksi dan tenaga kerja,” cerita Irsan.

Hal yang sama dilakukan SmarTernak. Masih fokus di Jawa Barat, saat ini Smarternak sudah mulai fokus monetisasi dan implementasi.

“Dari segi perangkat ada yang dipakaikan di sapi, ada yang dipasang ke kandang. Yang dipasang di kandang merupakan sensor temperatur dan suplai air. Kalau dipakaikan di ternak itu untuk keperluan tracking activity, berapa lama dia makan, berapa lama dia tidur,” kisah Andri.

Ada pula eFishery, startup yang salah satu unit bisnisnya mengembangkan perangkat IoT untuk memudahkan pemberian makan ikan dan udang. Startup ini sudah mengembangkan puluhan ribu perangkat yang dipasang di kolam-kolam petani ikan / udang di 120 kota / kabupaten di seluruh Indonesia.

Kiat Kata.ai dan eFishery Mengoptimalkan Produktivitas Saat “Work From Home”

Kebijakan “Work From Home” tengah mencuat di saat penyebaran COVID-19 semakin meluas di Indonesia. Bagi startup, kebijakan ini sebetulnya sudah tidak asing lagi. Mereka sudah lebih dulu menerapkan bekerja dari rumah sebagai salah satu upaya efisiensi.

Misalnya, startup di bidang Natural Language Processing (NLP), Kata.ai, mengungkap bahwa konsep WFH ini sebetulnya sudah dilakukan sejak perusahaan pivot dari bisnis terhadulunya Yesboss di 2015.

Jumlah karyawan Kata.ai berkisar antara 50-200 orang, 20 orang dari engineering dan product kerja remote dari Malang. Ditambah lagi, Kata.ai juga punya kebijakan bagi karyawan di Jakarta untuk bekerja dua kali seminggu dari rumah.

Kemudian, startup pemberi pakan ikan otomatis eFishery tidak memberlakukan kebijakan WFH secara sepenuhnya. Sebagian karyawannya di kantor pusat memang sudah mulai bekerja dari rumah. Namun, untuk beberapa tim yang tidak berbasis di kantor pusat diberlakukan WFH dengan sistem shift atau assigment tertentu.

Untuk mengoptimalkan WFH atau remote working, baik Kata.ai dan eFishery memberikan pro-tips yang bermanfaat bagi startup yang baru merintis.

Mengukur produktivitas dan output

Bagi Kata.ai, efektivitas bekerja dapat diukur dari produktivitas dan output-nya. Dengan situasi bekerja remote, kedua hal ini terkadang sulit untuk dioptimalkan.

Untuk mengakomodasi kedua hal tersebut, pihaknya memanfaatkan sejumlah aplikasi sebagai “workspace” mereka. Misalnya, Slack untuk instant messaging, Zoom untuk video conferencing dan online meeting, dan Asana untuk mendukung work management karyawan.

“[Divisi] engineering dan product sudah terbiasa dengan culture ini. Terutama setiap pagi ada daily stand-up [meeting], ada bot yang mengingatkan di Slack. Jadi walaupun jauh, kita tetap kasih trust dan accountability ke mereka,” ungkap Co-founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya kepada DailySocial.

Melakukan “silent meeting”

Tak banyak yang tahu bahwa konsep “silent meeting” sudah banyak diterapkan oleh sejumlah perusahaan teknologi dunia. Sebagai contoh, Amazon.

Bagi Irzan, silent meeting menjadi opsi alternatif untuk mengakomodasi karyawannya yang situasinya tidak siap untuk melakukan meeting. Umumnya, salah satu kendala yang sering ditemui adalah koneksi internet yang tidak stabil.

“Apalagi kalau sedang meeting via video call. Kalau internet tidak stabil, mereka cenderung masuk-keluar aplikasi. Ini akan menghambat proses meeting karena kelamaan,” papar Irzan.

Dalam hal ini, silent meeting yang dimaksud Irzan adalah memanfaatkan working sheet untuk melakukan update pekerjaan, yang dapat dipakai secara real-time oleh seluruh karyawan. Tim dapat menentukan dulu apa meeting goals dan catatan pengingatnya. “Kita spend 1/4 waktu meeting untuk update dan sisanya tinggal sesi Q&A,” tambahnya.

Embrace budaya apresiasi

Selain menjaga produktivitas, lanjut Irzan, ia juga menekankan pentingnya budaya apresiasi kepada setiap karyawan. Hal ini dapat dimulai dengan melontarkan pertanyaan sederhana, seperti “Are you OK?”,What did you do during weekend?”, atau “Whom do you wanna thank for?”.

“Salah satu tantangan WFH adalah kita tidak bertatap muka sehingga terkadang kita tidak dapat membaca tone mereka, baik lisan maupun tulisan. Kita perlu juga untuk mengecek mood meter karyawan. Makanya kita coba embrace culture untuk lebih humanize,” tutur Irzan.

Sinkronisasi dari atas hingga ke bawah

Irzan menambahkan catatan penting lain bagi startup yang baru merintis saat menerapkan kebijakan WFH adalah menyamakan mindset dari top-down dan sebaliknya bottom-up. Hal ini untuk menghindari gap informasi terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan.

“Kalau WFH is actually harus lebih produktif. Makanya, [organisasi] harus ada common belief dulu supaya lebih tersinkronisasi terhadap apa yang ingin dikerjakan. Bahkan kalau perlu over-communicate ya, daripada kurang jelas, ” jelasnya.

Atur waktu fokus dan buat to-do list

Pro-tips menarik dari eFishery adalah mengatur focus time atau waktu yang tepat untuk mulai mengerjakan task A, B atau C. Buat slot waktunya agar Anda tidak bablas seharian hanya menjawab atau merespons update pekerjaan dari Slack.

Setelah itu, buat to-do list kecil. Cacah apa saja pekerjaan yang ingin dielesaikan dalam rentang waktu tertentu. Tips ini akan bermanfaat bagi kita yang suka bingung mau mulai mengerjakan dari mana dulu.

Monitoring dengan collaboration tools

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh siapapun yang berada di head level adalah memantau kerja setiap anggota timnya. Untuk memudahkan memantau pekerjaan, eFishery menggunakan sejumlah aplikasi yang saling terintegrasi.

Sebagai contoh Slack dan Trello. Slack memang dirancang untuk memisahkan kehidupan pekerjaan dan pribadi. Aplikasi ini akan memudahkan komunikasi antar-karyawan dan antar-divisi.

Sementara, Trello digunakan untuk monitoring pekerjaan. Trello memiliki fitur untuk memberikan real-time update dari kita membuat task board, mengerjakannya, dan menyelesaikannya. Aplikasi ini juga dapat diintegrasikan ke Slack sehingga atasan dapat otomatis tahu progress pekerjaan kita.

eFishery juga memberikan opsi aplikasi alternatif untuk memantau pekerjaan, yaitu Google Sheet. Sama-sama real-time, kita dapat membuat tabel progress yang dapat diperbarui dan diakses sendiri oleh masing-masing tim.

No distraction!

Siapa di antara kita yang sering terdistraksi oleh media sosial? Terkadang kita butuh distraksi untuk menghilangkan sedikit kecemasan. Tapi, distraksi bisa menjadi musuh terbesar kala kita sedang fokus-fokusnya mengerjakan sesuatu.

Biasanya, kalau pikiran sudah penat, kita sering sekali membuka media sosial sebagai selingan atau hiburan. Bagi eFishery, ini bukanlah tips yang tepat karena bisa menghilangkan fokus kita dalam bekerja.

Rehat boleh saja, tapi ingat tetap fokus tanpa terdistraksi.

eFishery Perluas Cakupan Bisnis, Hadirkan Layanan Distribusi dan Permodalan

Tahun 2019 berjalan cukup membahagiakan bagi eFishery. Selanjutnya, startup pengembang perangkat pakan ikan berteknologi IoT ini bakal lebih fokus mengembangkan ekosistem akuakultur secara menyeluruh. Sepanjang tahun eFishery mengklaim berhasil membukukan pertumbuhan bisnis hingga 300%, didukung ekspansi ke 120 kota di Indonesia.

“Tahun 2019 merupakan tahun yang penting buat kami. Produk utama kami tumbuh cepat, didukung berbagai inisiatif dan produk baru yang mulai diperkenalkan. Kami berhasil tumbuh lebih dari 300% dan mengembangkan bisnis ke 120 kota. Beberapa produk baru yang kami kenalkan yakni eFisheryFresh, eFisheryFund dan eFisheryFeed,” ujar Chief of Product eFishery Krisna Aditya.

Di Indonesia sendiri startup yang bergerak di bidang akuakultur belum begitu banyak, eFishery adalah salah satu yang konsisten mengembangkan produk dan layanannya. Untuk saat ini ada dua alat yang dikembangkan, yakni eFisheryFeeder for Fish dan eFisheryFeeder for Shrimp.

Keduanya merupakan alat yang sejenis. Intinya membantu pembudidaya ikan dan udang untuk bisa memberikan pakan secara otomatis yang bisa dikontrol menggunakan smartphone. Automasi bisa dilakukan dengan mengatur jadwal, lengkap dengan dosis yang disesuaikan. Dari dua alat ini harapannya bisa mendatangkan efisiensi waktu dan pakan yang dibutuhkan.

Mengenalkan kanal distribusi dan permodalan

Akhir 2018 eFishery berhasil mengamankan pendanaan seri A senilai Rp58 miliar dari Wavemaker, 500 Startups dan sejumlah investor lainnya. Startup bermarkas di Bandung ini kini tidak hanya ingin dikenal sebagai pengembang alat pemberi makan ikan/udang saja, melainkan ingin mengembangkan platform digital untuk membantu proses bisnis tambak dari hulu ke hilir.

Lebih detail Krisna bercerita, eFisheryFund dan eFisheryFresh salah satu upaya yang kini tengah dioptimalkan. Dua produk itu dikembangkan berdasarkan masukan dan riset mengenai permasalahan yang kerap dihadapi petani ikan/udang.

Misalnya produk eFisheryFresh, inovasi ini berangkat dari masalah distribusi. Setelah pembudidaya panen, mereka cukup sulit untuk menjual produk dengan nilai tawar yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kanal penjualan yang efisien.

“Kami menyerap hasil panen berbagai komoditas perikanan langsung dari pembudidaya ikan lokal, kemudian kami pasarkan ke berbagai konsumen, baik yang memiliki kebutuhan partai besar hingga rumahan. Melalui eFisheryFresh, kami berkomitmen untuk menghadirkan produk ikan segar dan berkualitas,” imbuh Krisna.

Pihaknya juga sudah meluncurkan solusi untuk menyelesaikan isu finansial pembudidaya ikan, dalam hal ini soal permodalan. Melalui eFisheryFund para petani bisa terhubung dengan institusi rekanan eFishery untuk mendapatkan pinjaman guna meningkatkan pengembangan bisnisnya.

Perlahan tapi pasti, eFishery yang berangkat dari keahlian di bidang IoT mulai mengincar peluang untuk memberikan manfaat lebih banyak lagi bagi para pembudidaya. Dua solusi terbarunya diyakini dapat menjadi modal awal untuk membuat perusahaan semakin besar, secara nilai bisnis dan cakupan.

Application Information Will Show Up Here

Kolaborasi Telkomsel dan Startup Lewat Program TINC

Keterbukaan menjadi salah satu prinsip yang umumnya dimiliki oleh para pendiri atau founder startup digital. Keterbukaan untuk mengakui kekurangan diri sendiri, serta mau belajar berbagai hal dari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Prinsip keterbukaan para founder inilah yang juga memunculkan budaya kolaborasi dalam ekosistem startup, sehingga saat ini istilah kolaborasi semakin banyak ditemui dan seakan melekat dengan budaya startup.

Selain menjalin berbagai kolaborasi dengan sesama startup digital atau komunitas, kolaborasi dengan perusahaan korporat juga semakin banyak ditemui. Di era modern ini, mulai banyak perusahaan yang membuka diri dan membangun berbagai wadah untuk berkolaborasi dengan startup. Salah satunya adalah Telkomsel lewat program TINC (Telkomsel Innovation Center) yang memiliki fokus pada pengembangan teknologi IoT untuk berbagai sektor industri di Indonesia.

Beberapa kolaborasi bersama startup dengan solusi IoT telah dilakukan lewat program TINC, mulai dari solusi telemonitoring bersama Intank dan Indi Tracking, bike sharing bersama Banopolis, pengelolaan sampah bersama SMASH, bidang agrikultur bersama Mertani dan Habibi Garden, serta bidang akuakultur bersama Jala, Fishgator, dan eFishery. Berbagai kolaborasi ini tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh Telkomsel atau startup terkait saja, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masyarakat yang menjadi target pasarnya.

Kolaborasi TINC bersama eFishery

Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukan oleh Telkomsel adalah menggandeng eFishery untuk menghadirkan kampung perikanan digital di Indramayu, Jawa Barat. Lewat program ini, para peternak ikan di kawasan pertambakan Losarang, Kabupaten Indramayu dapat memanfaatkan produk automatic fish feeder di kolam-kolam ikan untuk meningkatkan efisiensi pakan serta mempercepat siklus panen ikan.

Kolaborasi antara solusi teknologi pemberi pakan ikan otomatis yang dapat dikontrol melalui smartphone dari eFishery, penerapan teknologi NB-IoT (Narrowband Internet of Things) dari Telkomsel, ditambah lagi Japfa yang menghadirkan pakan-pakan ikan berkualitas membuat sinergi dari ketiga perusahaan ini menjadi semakin mantap dalam menghadirkan manfaat bagi masyarakat di Losarang, Indramayu.

Gibran Huzaifah selaku founder eFishery menjelaskan bahwa visi mereka adalah bring the future of aquaculture. Menurutnya, pembudidaya perikanan di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Lewat solusi yang dikembangkan eFishery, ia berharap Indonesia dapat menjadi pionir dalam praktik budidaya perikanan yang mengedepankan penggunaan teknologi. Ia juga merasa bahagia karena inisiatif dan produknya dapat memfasilitasi kolaborasi antara Telkomsel sebagai penyedia layanan digital terbesar di Indonesia dengan pemerintah provinsi Jawa Barat yang memiliki visi luar biasa untuk membangun wilayah pedesaan.

eFishery cukup berhasil mengajak petani ikan untuk melek teknologi, dimulai dari smart feeder dan aplikasi pendukungnya. Memperkenalkan teknologi smartphone kepada para pembudidaya ikan tradisional juga memunculkan hal yang menarik. Chrisna Aditya, CTO eFishery memaparkan bahwa awalnya para petani menggunakan smartphone hanya untuk mengoperasikan feeder saja. Namun setelah mengetahui bahwa smartphone dapat digunakan untuk menonton YouTube, mereka jadi tertarik untuk belajar lebih dalam soal budidaya ikan.

Secara agresif, eFishery juga terus mengembangkan teknologi dalam produknya. Salah satunya adalah melakukan uji coba penggunaan teknologi 5G bersama Telkomsel di Jawa Barat. Selain eFisheryFeeder, saat ini mereka juga sedang mengembangkan eFisheryFresh yang menyerap hasil panen berbagai komoditas perikanan langsung dari pembudidaya dan nelayan lokal yang kemudian kami pasarkan ke berbagai konsumen, serta eFisheryFund sebagai sistem pembiayaan untuk para pembudidaya.

Kolaborasi TINC bersama Jala

Kolaborasi lain yang pernah dilakukan oleh Telkomsel adalah bersama Jala, startup agrotech yang berfokus pada pemanfaatan dan pengembangan teknologi di sektor perairan, khususnya dalam budidaya udang. Dalam bisnisnya, Jala menawarkan produk berupa kombinasi alat ukur kualitas air terhubung internet serta sistem analisis berbasis data untuk budidaya lebih baik.

Jala dan TINC sempat berkolaborasi melakukan riset dan memadukan teknologi Nb-IoT yang dimiliki Telkomsel dengan teknologi yang dimiliki Jala. Selain dalam bentuk join product development, Telkomsel juga melakukan kolaborasi dari sisi bisnis dengan Jala, salah satu langkahnya adalah mencari potensi di pasar baru bagi kedua pihak. Liris Maduningtyas, CEO Jala mengungkapkan bahwa pihaknya merasa terbantu dalam hal perluasan akses pasar.

“TINC dan Jala mencoba melakukan eksplorasi market baru bersama-sama. Di sini kami merasa terbantu untuk dihubungkan dengan beberapa pihak yang mungkin cocok berkolaborasi dengan Jala,” tambahnya menyoal peluang market access yang ditawarkan Telkomsel.

Kolaborasi TINC bersama ELTISIA

Rezayanti Novia Putrika Dewi dari ELTISIA, salah satu startup yang tengah mengikuti program inkubasi TINC batch ke-3 mengungkapkan, “Kolaborasi antara startup dengan korporasi sangat penting, karena pada tahap komersialisasi startup memerlukan network stakeholders yang dibutuhkan dari pihak korporasi, selain itu untuk memproduksi produk tersebut membutuhkan modal operasional produksi dengan kuantitas tertentu, supaya mendapat harga yang kompetitif.”

Lewat produk LIFTINC, mereka mengembangkan sistem forklift monitoring berbasis IoT dengan penggunaan produk Telkomsel berupa industrial SIM card. Program inkubasi TINC diakui sangat membantu dalam proses pengembangan produk. Dampak yang cukup dirasakan dalam bisnis juga meliputi ketepatan waktu proyek dan ketepatan output yang ingin dicapai. “Pada inkubasi TINC dilakukan komunikasi yang intensif, adanya weekly meeting untuk update perkembangan project, update masalah yang dihadapi, dan pihak TINC mencoba untuk memberikan insight kepada kami. Tim kami menjadi lebih solid untuk mencapai target yang telah kami tetapkan. Kami juga selalu mendapatkan update terbaru tentang produk telkomsel untuk support produk kami.” ungkap Rezayanti.

Berkolaborasi dengan Telkomsel dapat menjadi kesempatan besar untuk startup untuk mengembangkan diri, baik dari segi teknologi maupun bisnis. Saat ini, Telkomsel membuka TINC batch ke-4 bagi startup dengan solusi teknologi untuk berbagai sektor industri. Daftarkan diri segera ke TINC melalui dly.social/tinc.

Disclosure: Artikel ini adalah artikel bersponsor yang didukung oleh Telkomsel.

DStour #59: Konsep “Go-Green” di Kantor eFishery

Di edisi #DStour kali ini, DailySocial mengunjungi kantor pusat eFishery di Bandung, Jawa Barat. Berlokasi di kawasan Dago, Bandung, kantor eFishery sarat pemandangan alam dan udara segar alami.

Kantor baru eFishery ini juga memiliki lounge room dan balkon yang bisa dinikmati pegawai bekerja dan bermain. Dipandu CPO eFishery Krisna Aditya, berikut liputan #DStour selengkapnya.

eFishery Berencana Luncurkan Tiga Produk Baru Tahun Ini

Setelah mengumumkan perolehan dana segar seri A senilai $4 juta (sekitar 58 miliar Rupiah) beberapa waktu yang lalu, eFishery meningkatkan produksi solusi berbasis Internet of Things (IoT), dalam bentuk smart feeder, hingga 300-500 alat per bulannya.

Pendanaan tersebut juga akan digunakan eFishery untuk menambah talenta baru di dalam perusahaan, termasuk engineer, produk, customer relation, marketing, dan sales. Langkah ini untuk mendukung target 2019 yang berharap meluncurkan tiga produk baru untuk petani.

“Masih fokus kepada petani, sekitar kuartal kedua 2019 kami akan meluncurkan produk baru kepada petani,” kata Chief of Product eFishery Krisna Aditya kepada DailySocial.

Tidak disebutkan lebih jauh produk apa saja yang akan dihadirkan pertengahan tahun 2019 mendatang, namun Krisna menegaskan masih ada hubungan dengan smart feeder yang menjadi touch point bagi petani.

eFishery ingin memperkaya aplikasi untuk petani, tidak sekedar sebagai pengatur smart feeder. Diisi dengan informasi yang relevan, diharapkan pengembangan aplikasi ini bisa menjadi “super app” yang bisa menghadirkan pilihan, seperti penyediaan kebutuhan pangan ikan untuk petani, informasi budidaya hingga penjualan ikan dan lainnya.

“Saya tidak bisa menyampaikan seperti apa tiga produk baru tersebut, namun secara garis besar tiga produk itu akan berhubungan dengan smart feeder, farm management, dan marketplace,” kata Krisna.

Menambah kemitraan

Setelah dengan Telkomsel, Pemprov Jawa Barat, dan pabrikan pangan ikan “Kampung Perikanan Digital” di Desa Losarang, Kabupaten Indramayu, tahun ini eFishery ingin menambah jumlah kemitraan dengan pihak yang relevan. Tujuan utamanya mendukung upaya petani meningkatkan produksi mereka memanfaatkan teknologi.

eFishery sendiri mengklaim cukup berhasil mengajak petani ikan untuk melek teknologi, dimulai dari smart feeder dan aplikasi pendukungnya. 

“Yang menarik adalah ketika kita bertemu langsung dengan petani. Banyak di antara mereka yang hanya menggunakan smartphone hanya untuk feeder saja. Ketika mereka mengetahui smartphone bisa digunakan untuk menonton YouTube misalnya, banyak para petani yang belajar lebih dalam soal budidaya ikan,” kata Krisna.

eFishery juga terus secara agresif mengembangkan teknologi. Salah satu contohnya adalah uji coba penggunaan teknologi 5G menggandeng Telkomsel sebagai pilot project untuk petani ikan di Jawa Barat.

Meskipun telah tersebar di seluruh Indonesia, hingga kini Jawa Barat masih menjadi kawasan paling banyak yang memberikan kontribusi kepada perusahaan. Kawasan timur Indonesia, khususnya di luar Sulawesi, masih kesulitan untuk dirangkul oleh eFishery, karena kendala logistik.

Sementara itu untuk kategori hewan yang dipelihara, hingga kini adalah lima jenis yang menjadi favorit, yaitu ikan mas, lele, patin, nila, dan udang.

“Untuk ikan lainnya akan mengikuti perkembangan yang ada. Kita juga mulai menambah kategori ikan bandeng, namun demikian jumlahnya hingga kini masih belum signifikan,” kata Krisna.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Raup Dana Seri A Senilai 58 Miliar Rupiah, Berencana Ekspansi ke Negara Asia Tahun Depan

Startup pemberi pakan ikan otomatis asal Bandung, eFishery, mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $4 juta (sekitar 58 miliar Rupiah). Investasi baru ini akan dimanfaatkan untuk memantapkan rencana ekspansinya ke negara-negara Asia pada 2019.

Pendanaan baru ini didapat dari tujuh investor baru, antara lain Wavemaker, 500 Startups, Unreasonable Capital, Social Capital, Northstar Group, Triputra Group, dan Maloekoe Ventures. Dua investor terdahulu, Aquaspark dan Ideosource juga turut berpartisipasi.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah mengungkapkan, rencana strategisnya untuk membuka pasar baru di bisnis hardware untuk kawasan Asia. Ada tiga negara yang diincar, yakni Thailand, Bangladesh, dan Vietnam.

Saat itu, menurut Gibran, ekspansi di tiga negara tersebut baru sebatas pilot project dan belum sepenuhnya komersial. Dengan raihan pendanaan baru, pihaknya akan mengomersialkan bisnis tersebut pada pertengahan 2019.

“Pendanaan ini fully untuk ekspansi bisnis kami saat ini (hardware solution). Kami ingin tingkatkan pasarnya di Indonesia dan mulai open market baru di luar negeri,” ungkapnya ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

eFishery mengembangkan solusi berbasis Internet of Things (IoT) melalui Smart Feeder, yakni perangkat pemberi pakan ikan otomatis. Salah satu fungsinya adalah memberikan pakan ternak ikan secara terjadwal. Saat ini, Smart Feeder telah digunakan peternak ikan di Jawa Barat dan Lampung.

Pada ekspansi ini, eFishery akan bekerja sama mitra lokal di ketiga negara. “Kita cari pemain besar dan kita sudah dapat partner di sana. Jadi kita tawarkan peluang bisnis dengan large corporation-nya. Misalnya, channel (distribusi) kita, bisa dipakai sebagai channel mereka. Nanti bikin perusahaan patungan (JV),” jelas Gibran.

Sebetulnya, permintaan layanan tak hanya datang dari ketiga negara tersebut. Menurut Gibran, permintaan lain juga datang dari negara-negara Asia lainnya, seperti Sri Lanka, Kamboja, dan Myanmar.

Gibran sendiri menyebut lebih memilih pasar negara besar, seperti India dan negara-negara Amerika Selatan. Di sana peluangnya sangat besar mengingat budidaya ternak udang juga besar.

“Tapi kami mau fokus di tiga negara dulu. Kalau nanti sudah proven di negara-negara tersebut, ini bisa jadi story buat kami untuk push di negara lain dan tumbuh lebih jauh lagi. Semisal, kami mau raise [pendanaan Seri B], itu bisa untuk region expansion dengan model bisnis apapun,” tambah Gibran.

Monetisasi data dengan credit scoring

Selain membuka pasar baru, eFishery juga fokus di pasar dalam negeri untuk memantapkan posisinya di rantai pasokan perikanan. Pihaknya akan mengutilisasi dan memonetisasi data yang diambil dari Smart Feeder untuk engage ke lebih banyak peternak ikan hingga stakeholder terkait di ekosistem perikanan.

Hardware yang kami deploy itu mengambil banyak data berbagai macam. Kami mau leverage dan utilisasi sehingga bisa kasih value ke customer atau klien. Contohnya, kami ingin buat semacam credit scoring yang menghubungkan petani dengan bank,” ucap Gibran.

Selama ini ia melihat banyak perbankan dan asuransi ragu untuk memberikan pinjaman atau produk asuransi kepada peternak ikan dan tambak udang karena risiko besar. Dengan data yang dimiliki, eFishery dapat mengelola dan menganalisis risiko sehingga bank mau memberikan pinjaman.

Menurutnya, hal ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Perbankan mendapatkan pasar pengguna baru dan petani juga mendapat akses pendanaan untuk ekspansi. eFishery melihat ini sebagai value chain baru karena dapat menawarkan Smart Feeder kepada mereka.

“Selain itu, kami bisa utilisasi data ke buyer. Data yang kami punya bisa memprediksi hasil panen dan kapan. Jadi sebelum ikan terjual, kita tawarkan hasil panen ke buyer. Dua-duanya kami sedang lakukan pilot project, tinggal tentukan model bisnisnya dan roll out di area mana dulu,”

Gibran meyakinkan bahwa pihaknya tidak menjual data, melainkan mengambil fee dari setiap transaksi pinjaman yang berhasil dari setiap data yang dihubungkan ke bank.

Terakhir Gibran menambahkan, eFishery akan memperluas pangsanya di pasar domestik dengan membuka kanal distribusi baru di area sentra perikanan di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera hingga akhir tahun ini. Targetnya, eFishery akan ada di 35 area di Indonesia dari tujuh area saat ini.

Menyimak Curhatan Pelaku Startup Soal Pembuatan Hak Paten

Dalam presentasi laporan yang disusun oleh INDEF (Institute for Development of Economics & Finance) disampaikan, ketika semakin banyak perusahaan dan penelitian yang mendaftarkan hak paten, maka akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Hak paten sangat lekat dengan inovasi dan perlindungan karya.

Berbicara soal inovasi dan industri startup di Indonesia –khususnya yang sarat dengan teknologi, saat ini belum banyak startup dan entrepreneur yang mendaftarkan hak paten mereka. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia peringkatnya masih di bawah Malaysia dan Vietnam soal hak paten.

Kurangnya sosialisasi pembuatan hak paten

Diskusi yang digelar oleh Qualcomm hari ini (09/11) menghadirkan CEO eFishery Gibran Huzaifah dan VP of Growth Amartha Fadilla Tourizqua Zain. Kedua pelaku startup tersebut mengungkapkan beberapa kendala hingga keluhan yang masih kerap dirasakan oleh startup saat mendaftarkan hak paten produk mereka.

“Untuk eFishery sendiri model bisnis kita berbeda dengan Tokopedia atau layanan e-commerce lainnya. Ketika melakukan fundraising, memiliki hak paten terhadap produk, akan membantu kami mendapatkan pendanaan,” kata Gibran.

Namun demikian fakta yang terjadi adalah masih minimnya sosialisasi, edukasi hingga layanan yang bisa dimanfaatkan oleh entrepreneur untuk membuat hak paten mereka saat ini. Belum lagi dengan durasi yang memakan waktu cukup lama hingga biaya besar yang harus dikeluarkan.

“Karena selama ini kami di eFishery fokus kepada inovasi dan membuat produk secara cepat, sehingga jarang sekali berpikir untuk mematenkan produk kami, ketika kami ingin melakukan prosedur tersebut banyak sekali kendala yang kami hadapi,” kata Gibran.

Ditambahkan oleh Gibran, banyaknya “biro jasa” yang melayani pembuatan hak paten masih menyulitkan startup seperti eFishery untuk mengetahui lebih detail, bagaimana prosedur dan cara yang tepat untuk membuat hak paten. Di sisi lain pihak perguruan tinggi yang menawarkan layanan gratis untuk entrepreneur membuat hak paten, menetapkan peraturan bahwa nantinya jika hak paten tersebut diterbitkan akan menjadi milik dari perguruan tinggi tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Fadilla dari Amartha yang sejak 24 bulan terakhir masih menunggu hasil dari pembuatan hak paten produk Amartha, setelah melalui prosedur dan proses yang sulit dan panjang.

Peran pemerintah membantu industri membuat hak paten

Meskipun sudah banyak kalangan startup yang memahami pentingnya mematenkan sebuah produk agar kemudian tidak dijiplak oleh orang lain, namun jika tidak didukung dengan regulasi yang seamless dari pemerintah maka akan makin berkurang minat mereka mematenkan produk tersebut. Dari sisi pemerintah baiknya untuk bisa membedakan ketika industri dan peneliti masing-masing berniat untuk mematenkan produk.

Meskipun saat ini berdasarkan informasi dari Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Rahasia Dagang (RD), Kementerian Hukum dan HAM, undang-undang terkait hak paten sudah direvisi sejak tahun 2016 lalu yang memudahkan industri untuk mendaftarkan hak paten, namun masih minimnya sosialisasi hingga alternatif layanan yang lebih cepat dengan harga terjangkau, masih menyulitkan berbagai industri termasuk startup untuk melakukan proses tersebut.

eFishery Segera Hadirkan Teknologi IoT Smart Feeder untuk Tambak Udang

Produk Internet of Things (IoT) untuk penjadwalan pakan ikan eFishery saat ini tengah mempersiapkan platform baru untuk tambak udang. Kepada DailySocial, CEO eFishery Gibran Huzaifah mengatakan rencananya teknologi Shrimp Smart Feeder akan diluncurkan akhir tahun 2017 mendatang.

Mekanisme dan fungsi Shrimp Smart Feeder eFishery tidak jauh berbeda dengan smart feeder yang diterapkan kepada ikan, yaitu memberi pakan secara otomatis, dapat diatur dengan smartphone, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet.

Perbedaan lebih kepada desain mesinnya yang kini memiliki pelontar dengan radius lontaran 360 derajat (sebelumnya 90 derajat). Lontaran ini sesuai dengan kebutuhan tambak udang yang luasnya ratusan meter persegi. Dengan pelontar ini pakan tersebar lebih merata ke seluruh sisi kolam.

Feeder ini merupakan feeder yang kita modifikasi untuk bisa sesuai dengan model budidaya udang yang punya beberapa perbedaan dibandingkan budidaya ikan yang kita target sebelumnya. Perbedaannya terletak di modifikasi mesin dan aplikasi yang mengatur feeder,” kata Gibran.

Dari sisi aplikasi, pengaturan untuk pemberian pakan juga disesuaikan dengan kebutuhan petambak udang. eFishery memperkenalkan metode continuous feeding/frequent feeding ke tambak udang yang bisa meningkatkan pertumbuhan udang lebih cepat serta lebih efektif dalam penggunaan pakan. Metode ini adalah dengan menggunakan feeder untuk memberikan pakan belasan hingga puluhan kali dalam sehari atau bahkan 24 jam yang membuat udang makan lebih banyak tetapi pakan tidak boros.

“Metode ini tidak mungkin dilakukan sebelumnya karena keterbatasan petambak yang sulit untuk mengelilingi kolam puluhan kali setiap hari untuk memberi makan. Dengan feeder cukup di-setting dengan smartphone dan pakan akan diberikan secara otomatis,” kata Gibran.

Target eFishery hingga akhir tahun 2017

Sejak mendapatkan pendanaan Pra-Seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Aqua-Spark Belanda dan Ideosource pada tahun 2015 lalu, hingga kini eFishery belum mengumumkan penggalangan dana baru. Disinggung tentang adanya rencana fundraising  tahun 2017 ini, Gibran enggan memberikan informasinya. Namun demikian hingga akhir tahun 2017 masih banyak rencana dan target yang ingin diwujudkan eFishery.

“Di 2017 ini target kami memantapkan pasar kami di perikanan air tawar terutama di wilayah Jawa dan Lampung yang merupakan wilayah sentra ikan tawar Indonesia dengan komoditas seperti nila, lele, patin, gurame, dan ikan mas. Selain itu kami juga memiliki target untuk menguasai pasar tambak udang di wilayah Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur,” tutup Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Program Inkubasi BNVLabs Gandeng 8 Startup Mitra (UPDATED)

Program inkubasi Bank Bukopin dan Kibar, BNVLabs, mengumumkan delapan startup mitra yang beberapa di antaranya akan mengikuti mentoring selama tiga bulan. Mereka berpeluang menjadi mitra bisnis bank dalam jangka panjang. Delapan startup tersebut adalah eFishery, 8Villages, Iwak, Riliv, Jojonomic, Reblood, Olride, dan Pasienia.

Selama masa inkubasi, peserta dapat bekerja di coworking space BNVLabs dan menerima berbagai bentuk dukungan dari Bank Bukopin. Bentuk dukungan berupa bantuan jaringan dari mitra-mitra bank.

Dalam sesi mentoring, peserta akan dibantu Agent of Change untuk memperkenalkan kepada mereka mengenai regulasi seputar perbankan yang kemungkinan besar bakal bersentuhan dengan model bisnis mereka. Agent of Change adalah tim khusus yang dipilih dari berbagai divisi Bank Bukopin, bertugas menjembatani dunia perbankan dengan startup mitra agar tetap sinkron.

Sebelum pemilihan startup, tim BNVLabs melakukan roadshow ke beberapa kota di antaranya Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya selama dua bulan.

Bila diperhatikan, startup mitra ini belum terfokus di segmen fintech, menyesuaikan bisnis Bank Bukopin itu sendiri. Mereka bergerak di segmen pertanian, pariwisata, kesehatan dan pendidikan, serta sistem pembayaran.

“Keempat segmen startup ini untuk sementara akan jadi fokus BNVLabs. Kami menilai seluruh startup ini memiliki potensi besar untuk dorong bisnis Bukopin dengan memberikan nilai lebih kepada nasabah kami,” terang Direktur Pengembangan Bisnis dan TI Bank Bukopin Adhi Brahmantya, Kamis (20/7).

CEO Pasienia Fadli Wilihandarwo mengatakan bergabungnya Pasienia sebagai mitra BNVLabs menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk menjaring mitra bisnis yang kuat, sekaligus upaya Pasienia dalam menjalankan startup yang berkesinambungan.

“Mencari mitra adalah hal yang penting untuk dilakukan saat ingin berbisnis startup. Bermitra dengan Bukopin adalah nilai lebih yang bisa kami dapatkan karena banyak peluang yang bisa dilakukan. Tentunya ini juga bernilai dibandingkan hanya memberi suntikan dana saja,” ucapnya.

Pasienia adalah aplikasi yang menghubungkan antar pasien yang tengah menjalankan proses pengobatan. Mereka dapat berbagi informasi terkait penyakit yang diderita berdasarkan pengalaman masing-masing dan menghubungi dokter untuk berkonsultasi. Diklaim saat ini Pasienia sudah menjaring 8 ribu pengguna.

Menurut Fadli, salah satu bentuk kolaborasi dengan Bank Bukopin yang kemungkinan terjadi adalah menghadirkan layanan dompet elektronik. Fitur tersebut selama ini belum ada di dalam aplikasi dan diharapkan akan membantu bisnis Pasienia ke depannya.