Klaim Pertumbuhan Bisnis, GandengTangan Segera Rampungkan Penggalangan Dana Seri A

Platform peer-to-peer lending GandengTangan tahun 2021 lalu berhasil menyalurkan pinjaman hingga Rp40,5 miliar, meningkat 10x lipat dari tahun sebelumnya.

Di tahun yang sama, GandengTangan juga telah mengantongi status berizin dari OJK. Meskipun saat pandemi tahun 2020 lalu mengganggu pertumbuhan GandengTangan, namun 2021 mereka telah mencatatkan rekor angka penyaluran pinjaman sejak awal berdiri.

Perdalam kerja sama dengan bank

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO GandengTangan Jezzie Setiawan mengungkapkan, startupnya telah menambah kerja sama strategis dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan Bank Sulselbar. Kerja sama tersebut akan dilanjutkan ke tahap integrasi yang lebih mendalam; awal tahun ini platform GandengTangan akan digunakan di 32 cabang Bank Sulselbar.

“Kami telah melakukan sosialisasi untuk roll out di 32 cabang Bank Sulselbar. Harapannya dengan kerja sama strategis ini bisa memberikan kesempatan kepada UMKM untuk mendapatkan pinjaman dari bank,” kata Jezzie.

Meskipun cukup sulit proses yang harus dilalui oleh platform fintech seperti GandengTangan untuk bisa menjalin kerja sama strategis dengan bank daerah, namun peluang tersebut dinilai bisa menyasar pelaku UMKM secara langsung. Karena masih besarnya risiko bank untuk memberikan pinjaman kepada usaha mikro, menjadikan kolaborasi dengan platform fintech sangat relevan. GandengTangan juga telah berkolaborasi dengan BRI. Saat ini bersama BRI juga telah dilakukan piloting di Tasikmalaya.

GandengTangan telah memiliki 10 lender institusi termasuk bank dan perusahaan modal ventura; dan 20 ribu lender dari kalangan individu. Untuk lender individu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sementara untuk lender institusi, kebanyakan masih di pulau Jawa dan Sulawesi Barat. GandengTangan juga saat ini telah memiliki kategori borrower dari pelaku UMKM kelas mikro hingga menegah.

“Untuk borrower tercatat saat ini sudah sekitar 25 ribu dan sudah di seluruh Indonesia. Kami berhasil menjaga NPL 3% dan TKB90 sekitar 97%,” jata Jezzie.

Komitmen menjadi platform yang aman dan terproteksi diwujudkan GandengTangan dengan memperkuat sistem manajemen risiko. Langkah yang dilakukan adalah penggunaan berbagai macam metode pengamanan pembayaran dan menerapkan model credit scoring yang lebih komprehensif.

Inovasi baru dan penggalangan dana

Secara khusus saat ini GandengTangan memiliki 3 produk unggulan. Di antaranya adalah untuk pelaku UMKM mikro yang memanfaatkan koperasi hingga platform digital sebagai mitra mereka, kemudian ada juga invoice financing, dan yang terakhir adalah menyalurkan pinjaman limit Rp250 juta dengan suku bunga 6% per tahun. Layanan ini bisa terwujud berkat dukungan PT Bahana Artha Ventura yang juga merupakan investor dari GandengTangan.

Sementara untuk skema invoice financing, UMKM dapat menjadikan invoice belum terbayar sebagai jaminan untuk mendapat pendanaan dengan limit Rp2 miliar. Usaha perorangan pun dapat mengajukan pendanaan dengan limit Rp25 juta melalui GandengTangan berkat kemitraan dengan koperasi dan lembaga keuangan mikro (LKM).

“Tahun ini kami fokus untuk mengembangkan sederet inovasi pendanaan agar memudahkan UMKM jalankan usahanya. Beberapa inovasi tersebut sudah kami mulai di awal tahun ini,” ucap Jezzie.

Rencana lain yang ingin dilancarkan adalah melakukan penggalangan dana untuk tahap seri A. Masih dalam proses finalisasi, GandengTangan menargetkan sudah bisa mengantongi dana segar tersebut di kuartal dua tahun ini. Nantinya pendanaan tersebut akan digunakan oleh GandengTangan untuk memperluas kolaborasi dengan mengembangkan teknologi API, agar bisa disematkan di berbagai platform.

Saat ini GandengTangan telah memiliki aplikasi khusus untuk lender. Sementara untuk borrower disediakan pilihan untuk akses melalui situs web atau melalui mitra koperasi hingga platform digital yang menjalin kerja sama strategis dengan GandengTangan.

“Jika 2021 adalah tahun bangkitnya UMKM, di tahun ini kami berharap UMKM bisa semakin berkembang. GandengTangan akan selalu siap mendampinginya mencapai kesuksesan,” tutup Jezzie.

Sepanjang tahun 2021 (hingga November), menurut statistik yang dihimpun OJK, platform fintech lending telah menyalurkan sekitar Rp77,5 triliun dananya ke sektor produktif di berbagai bidang. Layanan fintech lending memang diharapkan menjadi alternatif pembiayaan modal di tengah pertumbuhan pesat sektor UMKM di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Potensi Digitalisasi Besar, LinkAja Mulai Serius Garap Segmen B2B

Di tengah persaingan bisnis uang elektronik yang sengit, LinkAja mulai garap serius segmen B2B untuk melengkapi layanan B2C. Kesempatan ini awalnya diambil karena LinkAja punya mandat untuk membantu proses transformasi digital dalam ekosistem para pemegang sahamnya yang mayoritas merupakan perusahaan pelat merah, yang menyimpan potensi yang besar.

Layanan Business Solution LinkAja dapat mendigitalkan ekosistem keuangan
yang menyeluruh dalam tatanan bisnis korporasi hingga kepada pengguna jasa layanan (end-consumer). Terdapat tujuh solusi yang saat ini ditawarkan, mulai dari Penyaluran Dana (Cash Disbursement), Pengumpulan Kas (Cash Collection),
Digitalisasi Pembayaran (melalui QRIS, aplikasi merchant dan lainnya), Digitalisasi Ekosistem, dan Layanan Iklan.

“Berangkat dari situ, kita mencari aspirasi dan pain points dari mereka [para pemegang saham]. Kemudian, mencari solusi yang relevan, hasilnya tersedia tujuh solusi yang kami tawarkan,” terang Direktur Operasi LinkAja Widjayanto dalam konferensi pers, kemarin (16/12).

Terhitung pada tahun ini pertumbuhan pengguna B2B meningkat lebih dari 70% secara YOY. Sekitar 200 mitra dari korporasi besar di Indonesia telah mengadopsi solusi Business Solution, seperti Pertamina, Bank Mandiri, Bank BRI, Telkomsel, Sampoerna Retail Community (SRC), Blue Bird, dan lainnya.

Dengan hadirnya LinkAja di dalam ekosistem Blue Bird, kini para pengemudinya telah terdigitalisasi dan menjadi pengguna rutin uang elektronik. Mereka menggunakan LinkAja untuk transaksi sehari-hari, mulai dari pembelian pulsa, bahan bakar, e-toll, dan lainnya. Hasilnya, terlihat dari volume disbursement meningkat lebih dari 800%, transaksi disbursement naik lebih dari 700%, dan pengguna aktif pengemudi tumbuh lebih dari tiga kali lipat di ekosistem Blue Bird.

Contoh lainnya adopsi digital oleh mitra jaringan ritel toko kelontong di SRC. Sejak Februari 2021 memanfaatkan solusi B2B LinkAja, mereka telah meningkatkan secara signifikan dalam hal digitalisasi ekosistem keuangan SRC, dengan volume cashless tumbuh lebih dari 60% per bulan dan cashless transaction tumbuh di atas 70% per bulan.

SRC memanfaatkan solusi Pengumpulan Kas untuk mengurangi kompleksitas pengumpulan pembayaran tunai dan meminimalkan risiko penanganan uang tunai pada tim lapangan, sehingga cocok untuk diimplementasikan buat perusahaan yang memiliki sistem rantai pasok. Bersama iGrow, LinkAja juga memberikan akses permodalan produktif untuk mitra B2B yang membutuhkan.

Pada tahun depan, Widjayanto mengatakan bahwa pihaknya akan semakin agresif untuk memperluas pengguna B2B, seiring dengan misi perusahaan yang ikut mendorong akselerasi keuangan digital di Indonesia. Diklaim, perusahaan telah berhasil mendigitalisasi kepada lebih dari 400 ribu UMKM di ekosistem pemegang saham dan mitra strategis.

“Dari toko kelontong kita targetkan naik 10 kali lipat dan juga dari merchant bisa penambahan satu juta dari ekosistem B2B,” pungkas Widjayanto.

Kinerja keseluruhan LinkAja

Tak hanya memaparkan soal B2B-nya, LinkAja turut sesumbar mengenai pencapaiannya sepanjang tahun ini. Widjayanto mengatakan hingga November 2021, penggunaan QRIS LinkAja telah mencapai lebih dari 1,3 juta merchant, dengan total merchant terdaftarnya mencapai 2,3 juta. Selanjutnya, ada lebih dari 80 juta pengguna terdaftar, sekitar 5,9 juta pengguna di antaranya adalah LinkAja Syariah. Kemudian, pertumbuhan platform naik 13 kali lipat, dan memiliki 1,3 juta cash-in dan cash-out points.

Kenaikan jumlah pengguna LinkAja Syariah ini terjadi karena perusahaan menyasar ke komunitas syariah, bekerja sama dengan mitra-mitra yang terhubung, seperti Muslimat NU, Bank Syariah Indonesia, dan lainnya. Hasilnya, sebanyak 5,9 juta pengguna syariah terdaftar.

“Kita hadir secara fisik di 476 kota karena kami percaya UMKM harus didampingi, maka ada langkah kerja sama dengan hyperlocal entity. Dengan ini, kami berkomitmen untuk memajukan local economy,” tambah Direktur Marketing LinkAja Wibawa Prasetyawan.

Meski tidak disebutkan lebih lanjut mengenai penggunaan transaksi di LinkAja, namun diungkapkan dari data internal LinkAja, terjadi tren transaksi yang berbeda di tiap lapis kota. Di kota lapis pertama misalnya, mayoritas pengguna mengenal LinkAja dari media sosial dan media online; berasal dari kalangan usia 20-24 tahun; dan paling banyak menggunakan LinkAja untuk transaksi di SPBU dan transfer bank.

Sementara di kota lapis dua, mayoritas pengguna mengenal LinkAja dari merchant offline dan supermarket; segmen pengguna di kalangan usia 35-40 tahun; dan paling sering menggunakan LinkAja untuk kebutuhan esensial, seperti pasar tradisional, pembayaran PAM, dan pulsa.

“Di kota lapis tiga terjadi perkembangan yang kuat di sini, mayoritas pengguna datang dari kalangan usia 25-30 tahun, mereka mengenal LinkAja dari media sosial dan mechant offline. Transaksi paling banyak untuk kebutuhan esensial.”

Hal menarik lainnya yang turut disampaikan adalah, pada Juni kemarin LinkAja memperoleh lisensi e-wallet dari Bank Indonesia dari sebelumnya uang elektronik. Kehadiran lisensi ini akan membuat LinkAja semakin luwes dalam melakukan pembayaran transaksi bisa bersumber dari sumber dana manapun, tidak terbatas dari saldo LinkAja saja.

Berikutnya, mengantongi lisensi e-retailer pada Oktober. Wibawa bilang, lisensi ini membuka kesempatan bagi LinkAja untuk menjual lebih banyak variasi produk digital. Sebelumnya, perusahaan memanfaatkan kehadiran pihak ketiga dalam menyediakan solusi tersebut. Voucher game menjadi salah satu target perusahaan, mengingat potensi bisnisnya yang begitu besar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks and Bank Sampoerna Launches Neobank for MSMEs

Fintech startup KoinWorks and PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) officially launched KoinWorks NEO, a neobank for MSMEs. KoinWorks NEO is claimed to be the first neobank service for MSMEs in Indonesia.

In his official statement, KoinWorks’ Co-founder & CEO, Benedicto Haryono said he wanted to help MSME players with limited access to financial services through this product. He said, this situation drives the cooperation between KoinWorks and Bank Sampoerna.

MSMEs are one of the biggest economic foundations in Indonesia. Despite the continuous business growth, MSME is a segment with access to financial services, such as capital and business bank accounts.

The company said there are only two out of 100 MSMEs received loans for business capital. In addition, many MSMEs are still using personal accounts that often mixed with business affairs.

“After going through a long design process and a series of trials, we are optimistic to introduce KoinWorks NEO for all MSME’s needs in one application on KoinWorks,” he said.

Both KoinWorks and Bank Sampoerna shared one mission, to provide access to financial inclusion, MSME empowerment, and economic equity in Indonesia. This is said to be a strategic cooperation to support MSMEs in the digital banking era.

“Collaboration and digital transformation are absolutely necessary in order to provide effective and efficient services for MSMEs. We are collaborating with KoinWorks to develop a one-stop banking solution for MSMEs,” Bank Sampoerna’s Director of Finance and Business Planning, Henky Suryaputra said.

In a separate occasion, Henky revealed that this collaboration involves no investment commitment, it’s rather use each other’s capabilities in terms of technology. He also said, the KoinWorks NEO development was mainly carried out by KoinWorks in coordination with Bank Sampoerna.

On a general note, KoinWorks was founded in 2016 as a p2p lending startup focusing on MSMEs. To date, the company has advanced into a Super Financial App that offers various other financial services, such as investment and funding. As of October 2021, KoinWorks is recorded to have 1.139 million users with a total AUM of Rp1.193 trillion.

Digital bank and neobank

Regarding neobank, this term is often identified as a digital bank in Indonesia. It is quite reasonable considering the rapid growth of financial services and digital banks in recent years. DailySocial.id published a separate article on the digital bank trend. We are trying to map it based on its definition, considering digital banks and neobanks are relatively new in Indonesia.

Based on the definition by FinTech Magazine, neobank offers flexibility to various services, including payroll and expense management. In addition, neobank also offers corporate financial solutions to address MSME’s challenges. Nubank is an example of a successful Brazilian neobank, even the largest in Latin America with 38 million users.

API helps to integrate business flows with banking requirements. However, neobanks do not have a banking license as they operate by relying on partner banks. Hence, they cannot offer traditional banking services.

Meanwhile, digital banks in the direct bank category supposed to enlarge opportunities for banking services, such as savings and digital loan channeling. This kind of model has been widely adopted by Indonesian banking industry. Most Indonesia’s digital bank players currently performs the mini bank acquisition model, transforms it with a new identity, and collaborates synergistically with digital platforms to help accelerate its services, for example Bank Jago with Gojek and Bank Neo Commerce and Akulaku.

Previously, the chairman of the Indonesian Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara said that the rise of neobanks brought various benefits as well as new risks. Neobank has innovative and customer-centric features, such as AI and machine learning, that can help users access services and manage personal finances.

On the other hand, neobanks are also at great risk of cybersecurity attacks. For example, the risk of leakage of customer personal data to systemic failure caused by the interdependence of digital infrastructure for various financial services.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks dan Bank Sampoerna Meluncurkan Layanan Neobank untuk UMKM

Startup fintech KoinWorks dan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) resmi meluncurkan KoinWorks NEO yang merupakan layanan neobank untuk segmen UMKM. KoinWorks NEO diklaim sebagai layanan neobank untuk UMKM yang pertama di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan ingin membantu pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan terhadap akses layanan keuangan melalui produk ini. Menurutnya, situasi tersebut melandasi kerja sama antara KoinWorks dan Bank Sampoerna.

UMKM merupakan salah satu fondasi ekonomi terbesar di Indonesia. Meski terus mengalami pertumbuhan usaha, UMKM termasuk segmen yang memiliki akses terhadap layanan keuangan, seperti modal dan rekening bank atas nama usaha.

Perusahaan menyebut hanya ada dua dari 100 UMKM yang mendapat pinjaman untuk modal usaha. Selain itu, masih banyak UMKM yang menggunakan rekening atas nama sendiri sehingga tercampur antara keperluan pribadi dan usaha.

“Setelah melalui proses perancangan yang cukup panjang dan serangkaian uji coba, dengan optimistis, kami memperkenalkan KoinWorks NEO untuk memenuhi kebutuhan para UMKM dalam satu aplikasi di KoinWorks,” ujarnya.

Baik KoinWorks dan Bank Sampoerna sama-sama memiliki misi yang sama untuk memberikan akses inklusi keuangan, pemberdayaan UMKM, dan pemerataan ekonomi di Indonesia. Kerja sama dinilai sebagai langkah strategis untuk mendukung UMKM di era perbankan digital.

“Kolaborasi dan transformasi digital mutlak dilakukan agar dapat memberikan layanan yang efektif dan efisien bagi UMKM. Kami bekerja sama dengan KoinWorks untuk mengembangkan one-stop banking solution bagi UMKM,” tutur Direktur Keuangan dan Perencanaan Bisnis Bank Sampoerna Henky Suryaputra.

Dihubungi secara terpisah, Henky mengungkap bahwa tidak ada komitmen dalam bentuk investasi pada kolaborasi ini, melainkan pemanfaatan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing, terutama teknologi. Menurutnya, pengembangan KoinWorks NEO terutama dilakukan oleh KoinWorks dengan berkoordinasi kepada Bank Sampoerna.

Sekadar informasi, KoinWorks awalnya berdiri di 2016 sebagai startup p2p lending yang memiliki fokus utama pada UMKM. Kini KoinWorks berkembang menjadi Super Financial App yang menawarkan berbagai layanan keuangan lain, seperti investasi dan pendanaan. Per Oktober 2021, KoinWorks tercatat memiliki 1,139 juta pengguna dengan total AUM Rp1,193 triliun.

Bank digital dan neobank

Bicara neobank, istilah ini sering diidentikkan sebagai bank digital di Indonesia. Tampaknya hal ini wajar mengingat pertumbuhan layanan keuangan dan bank digital tengah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. DailySocial.id sempat membahas perihal neobank dan bank digital dalam artikel terpisah. Kami baru mencoba memetakannya berdasarkan definisi mengingat bank digital dan neobank masih terbilang baru di Indonesia.

Berdasarkan definisi yang dipaparkan FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM. Nubank merupakan contoh neobank asal Brasil yang berhasil di dunia, dan bahkan terbesar di Amerika Latin dengan 38 juta pengguna.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional. 

Sementara itu, bank digital di kategori direct bank umumnya memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Model semacam ini telah banyak diadopsi oleh perbankan di Indonesia. Rata-rata pelaku bank digital di Indonesia saat ini menggunakan model akuisisi bank mini, mentransformasikannya dengan identitas baru, dan berkolaborasi sinergis dengan platform digital untuk membantu akselerasi layanannya, misalnya Bank Jago dengan Gojek dan Bank Neo Commerce dan Akulaku.

Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara sebelumnya sempat menyampaikan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Neobank memiliki fitur-fitur inovatif dan customer centric, seperti AI dan machine learning, yang dapat membantu pengguna untuk mengakses layanan dan mengatur keuangan pribadi.

Di sisi lain, neobank juga berisiko besar terhadap serangan keamanan siber. Misalnya, risiko kebocoran data pribadi nasabah hingga kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Lending KlikACC Lakukan “Rebrand”, Pertegas Komitmen ke Sektor Produktif

Startup fintech lending KlikACC mengumumkan rebranding menjadi KlikA2C (access to credit) untuk mempertegas komitmen perusahaan dalam memberikan akses kredit produktif UMKM. Perubahan nama ini sekaligus ditandai dengan berubahnya tampilan di laman situs dan aplikasi.

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan perusahaan, CEO KlikA2C Djoemingin Budiono menjelaskan selama perusahaan beroperasi sejak lima tahun lalu, sektor produktif selalu menjadi sasaran karena sektor ini memiliki kebutuhan kredit yang paling besar dan belum masuk radar pemain konvensional.

Hal ini tercermin dari total portofolio penyaluran KlikA2C, sekitar 99% di antaranya menyasar sektor produktif. Dalam memperluas jangkauan pembiayaan ke UMKM, perusahaan merangkul mitra dari berbagai sektor bidang usaha untuk memajukan akses keuangan para pelaku UMKM. “Kami percaya bahwa inklusi keuangan dapat dibangun dengan semangat kemitraan,” ucapnya, Selasa (23/11).

KlikA2C berfokus pada pembiayaan produktif UMKM, termasuk untuk sektor otomotif, Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani, invoice financing, dan employee loan. Untuk pembiayaan KUR, perusahaan menjadi mitra channeling dengan BCA. Di produk ini, perusahaan berhasil meningkatkan pencairan pinjaman sebesar hingga lebih dari empat kali lipat sepanjang dua tahun terakhir.

Adapun untuk nominal penyaluran menyentuh angka Rp25 miliar per September 2021 dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp9 miliar. “Kelompok tani sangat membantu proses literasi baca dan digital para petani. Mereka mempermudah penyaluran KUR jadi lebih lancar.”

Sementara itu, untuk pembiayaan otomotif menyasar segmen mobil bekas. Penyaluran pembiayaan di produk ini melonjak hingga lebih dari 15 kali lipat. Menurut Djoe, sebelumnya pemilik mobil bekas kesulitan mendapatkan biaya dari bank karena kebutuhan kredit mereka jangka pendek, sekitar dua sampai tiga bulan. Hal inilah yang tidak masuk kriteria bank karena minimal tenor yang tersedia berdurasi minimal satu tahun.

“Kita coba masuk ke sini sejak 2019, ternyata tumbuh 15 kali lipat. Lalu saat pandemi, masyarakat cenderung enggan beli mobil baru, namun kebutuhan untuk beli mobil masih ada. Ini terbukti dari mitra kami, dan saya rasa produk kami menyesuaikan kebutuhan mereka. Waktunya pun pendek, hanya tiga bulan.”

Djoe menjelaskan, total penyaluran pinjaman secara akumulatif sebesar Rp529,87 miliar kepada total 3.014 peminjam dan outstanding pinjaman Rp86,65 miliar. Adapun untuk pemberi pinjaman, didominasi dari kalangan ritel dengan perbandingan 65-35 dibandingkan institusi. Secara keseluruhan, capaian ini menghantarkan perusahaan tumbuh sebesar 11% per kuartalnya selama 10 kuartal terakhir.

Untuk strategi berikutnya, perusahaan akan mengembangkan lebih jauh produk invoice financing. Ada beberapa sektor industri yang akan dibidik, di antaranya FMCG, transportasi, dan logistik. “Tahun depan kami sedang mempersiapkan produk pembiayaan motor listrik untuk konsumen yang tertarik membeli motor ini,” tutup Djoe.

Industri fintech lending tahun ini

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, turut hadir Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah. Dia mengestimasi pertumbuhan penyaluran pinjaman industri fintech lending sampai akhir tahun ini akan tumbuh lebih dari 75% dibandingkan tahun lalu. Dengan kata lain, diprediksi penyaluran akumulasi akan mencapai Rp140 triliun dari Rp74 triliun di 2020.

“Artinya, solusi yang ditawarkan fintech lending ini sudah on track karena menyalurkan pendanaan alternatif. Meski selama pandemi, pertumbuhan di lembaga konvensional ada yang nol bahkan negatif, tapi di fintech tetap bisa tumbuh karena pakai teknologi dan data alternatif,” ucap Kus.

Di sisi lain, potensi masyarakat unbanked di Indonesia masih sangat besar, sehingga memberi ruang tumbuh bagi industri fintech lending. Dalam berbagai riset disampaikan bahwa kebutuhan pendanaan segmen UMKM sebesar Rp2.650 triliun pada 2019. Dari kebutuhan tersebut, baru sekitar Rp1.000 triliun yang dilayani lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, ada gap sebesar Rp1.650 triliun yang bisa menjadi potensi untuk industri fintech lending.

Adapun, berdasarkan data OJK, akumulasi pinjaman yang telah disalurkan industri sejak berdiri mencapai lebih dari Rp260 triliun. Sekitar 58% di antaranya disalurkan kepada sektor produktif.

Fokus danabijak Setelah Perolehan Lisensi dan Pendanaan External

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat menyebutkan bahwa fintech lending termasuk industri yang tergolong cepat pulih di masa pandemi ini. Studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2020 menunjukkan pertumbuhan volume transaksi sebesar 11% dan jumlah transaksi sebesar 13% pada perusahaan fintech global secara agregat.

Dalam rilis yang dikeluarkan Kominfo terkait industri fintech lending di Indonesia bulan Agustus lalu, disampaikan distribusi pinjaman yang diberikan sampai dengan Juni 2021 sudah menjangkau 25,3 juta masyarakat dengan total penyaluran dana sebesar Rp14.793 triliun.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang belum dapat pendanaan dari bank (unbanked) dan potensial untuk digarap perusahaan fintech. Salah satunya, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang belum terintegrasi dengan ekosistem digital.

Di Indonesia, sudah ada beberapa pemain yang menyasar pasar mikro seperti ini, sebut saja Modalku, Investree, Akseleran, juga danabijak yang pada tanggal 8 September 2021 lalu resmi mengantongi lisensi dari OJK.

Lisensi OJK

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, menurut pihak danabijak, OJK sedang berupaya keras untuk membangun industri jasa keuangan yang terukur (scalable) dan berkelanjutan.

Dalam upaya mereka baru-baru ini, OJK memberi tekanan lebih untuk menutup platform pinjaman fintech ilegal yang menyebabkan banyak masalah untuk pengguna dan industri, dan mereka terus mengatur batas suku bunga maksimum (interest rate cap) untuk menawarkan layanan yang lebih baik kepada para pengguna.

Sepanjang tahun 2021, sudah ada 42 fintech lending yang mengembalikan tanda terdaftarnya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini membuat jumlah pemain fintech di tanah air tinggal 107 pemain per 8 September 2021.

CEO danabijak Markus Prommik mengungkapkan, “Dengan maraknya kehadiran pinjaman online yang ilegal, lisensi resmi dari OJK yang sudah didapat ini tentunya akan memperkuat posisi danabijak sebagai perusahaan fintech yang legal, kredibel dan dapat dipercaya oleh masyarakat luas.”

Dengan ini, perusahaan melihat bahwa pasar fintech sedang mengalami perubahan dan akan menyesuaikan bisnis untuk terus memenuhi kebutuhan pengguna seperti membangun produk-produk keuangan digital yang disesuaikan dengan setiap segmen pengguna sebagai bentuk komitmen terhadap inklusi keuangan di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis

Setelah tiga tahun beroperasi, startup lending yang fokus pada pinjaman yang bersifat mikro ini berhasil mencatat pertumbuhan sebesar 4,5 kali untuk angka disbursement bulanan dalam waktu kurang dari setahun di tengah pandemi. Secara keseluruhan, perusahaan telah menyalurkan lebih dari 300,000 pinjaman ke lebih kurang 100,000 peminjam konsumtif dan produktif di Indonesia dan mempertahankan TKB90 di angka 95,55%.

Perusahaan mengakui, sumber dana yang digunakan kebanyakan datang dari institutional lender baik dari Indonesia maupun luar negeri. Namun, perusahaan belum bisa mempublikasikan informasi terkait jumlah dan institusi apa saja yang telah menyalurkan dana melalui platformnya.

Terkait penyaluran bulanan, saat ini danabijak telah menyalurkan lebih dari US$ 2,000,000 setiap bulannya “Target kami selanjutnya adalah mencapai US$ 10,000,000 penyaluran bulanan pada 2022.” tambah Markus

Terdapat berbagai metode pencairan dan pelunasan pinjaman dalam model bisnis fintech lending. Platform danabijak mengizinkan para penggunanya untuk melakukan pelunasan lebih awal tanpa biaya penalti guna menawarkan fleksibilitas serta menjadikan pinjaman sesuai dengan kebutuhan setiap pengguna.

Semua proses ini dijalankan secara aman sesuai dengan standar industri serta jaminan keamanan data pengguna yang ketat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Perusahaan juga menyediakan berbagai opsi seperti perpanjangan, restrukturisasi atau perubahan pada jadwal angsuran sehingga masyarakat dapat memahami kemampuan dalam membayar angsuran, mengatur pengeluaran bulanan mereka serta menerapkan literasi keuangan yang baik.

Selain itu, salah satu proposisi nilai yang ditawarkan danabijak yang membedakan dari perusahaan P2P lainnya adalah fokus kepada kesejahteraan finansial (financial well-being) dari seluruh pelanggan. Perusahaan saat ini masih fokus untuk menggarap kelompok underbanked dan pelaku UMKM.

Markus turut menyampaikan, “Kami juga selalu membagikan ilmu finansial dan memberikan pendidikan kepada setiap peminjam mengenai manajemen keuangan yang baik. Melalui produk digital finance, kami menemani pelanggan membangun sejarah kredit yang baik agar mereka dapat meningkatkan kehidupan mereka.”

Target ke depan

Ketika disinggung mengenai rencana ke depan, timnya mengungkapkan bahwa visi dan tujuan utama perusahaan adalah untuk mempercepat akses kredit bagi 5 juta orang dan bisnis di Indonesia pada tahun 2025.

Dari sisi pendanaan, danabijak telah mengamankan pendanaan dari GK Plug and Play, buah dari program akselerator yang diikuti pada tahun 2018. Di pertengahan tahun 2021, perusahaan disebut telah membukukan pendanaan dari beberapa investor, di antaranya adalah Kristjan Kangro (CEO dari Change Invest), serta investor baru seperti Walter Marke de Oude (Founder & Chairman dari Singlife).

“Kami menginvestasikan dana dari hasil fundraising untuk mendorong pertumbuhan, pengembangan produk, dan peningkatan data science untuk menunjang kredit skoring. Sebagai contoh, saat ini kami sudah meluncurkan beberapa produk baru (contoh: Pinjaman cicilan 3-12 bulan) dan meningkatkan kapabilitas kredit skoring.”

Mengenai rencana masa depan, danabijak mengaku akan terus membentuk kemitraan, dalam hal layanan teknologi, dengan berbagai lembaga keuangan, bank, perusahaan pembiayaan (multi-finance), dan perusahaan teknologi. “Kami percaya bahwa kolaborasi dan upaya membangun sebuah ekosistem yang menguntungkan semua orang merupakan kunci untuk pertumbuhan dan perkembangan Indonesia,” tutup Markus.

Application Information Will Show Up Here

AdaKami Andalkan “Channeling” dengan Mitra Digital, Mulai Fokus Pinjaman Produktif

AdaKami merupakan salah satu pemain fintech lending yang telah beroperasi di Indonesia sejak 2018 dan kini masuk sebagai salah satu jajaran teratas untuk penyaluran pinjaman berdasarkan volume. Perusahaan akan kembali meneruskan pencapaian tersebut dengan bekerja sama dengan lebih banyak mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas plafon pinjaman dan masuk ke sektor produktif.

AdaKami percaya kalau setiap orang Indonesia pasti punya mimpi atau tujuan yang ingin diraih di setiap kehidupan mereka, di antaranya untuk bisa mencapai mimpi tersebut memang membutuhkan dukungan secara finansial,” ucap VP AdaKami William Guo kepada DailySocial.id.

AdaKami memiliki dua produk pinjaman, yakni, Pinjaman Harian dan Pinjaman Cicilan. Perbedaan antara keduanya ada di pilihan metode pembayaran. Untuk Pinjaman Harian, dengan metode pembayaran 21 hari atau 28 hari, sementara Pinjaman Cicilan metode pembayaran dicicil per bulan hingga tiga kali.

Perusahaan bekerja sama dengan berbagai mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas limit plafon. Salah satu yang sudah diumumkan adalah JD.id. Pengguna JD.id dapat menggunakan limit yang diterima dari AdaKami —setelah proses verifikasi, sebagai alternatif metode pembayaran saat belanja berbagai kebutuhan di platform JD.id.

Ke depannya, akan ada lebih banyak kerja sama yang akan diumumkan. Pasalnya, ia menyebut perusahaan ingin hadir di berbagai aspek kebutuhan pengguna yang perlu didukung oleh alternatif pembiayaan/pembayaran. “AdaKami ingin menjawab kebutuhan dan tren yang ada saat ini di mana kolaborasi dengan lebih banyak platform digital lainnya, seperti e-commerce, e-wallet, dan platform digital lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.”

Secara akumulatif hingga Oktober 2021, AdaKami sudah menyalurkan hampir ke 3 juta orang peminjam dengan peminjam aktif di angka hampir 1 juta orang melalui aplikasi. Untuk nilai penyalurannya mencapai Rp5,5 triliun.

Adapun untuk lender, sejauh ini baru memanfaatkan lender institusi atau sering disebut super lender. William menyebut salah satu di antaranya adalah Bank Jago yang menaruh komitmen untuk menyalurkan dana sebesar Rp100 miliar sejak pertengahan 2021. “Hingga hari ini AdaKami juga tengah berdiskusi dengan beberapa pihak super lender yang harapannya bisa kami umumkan kolaborasi antara akhir 2021 atau awal 2022.”

Secara terpisah mengutip dari Bisnis.com, berawal dari pinjaman konsumtif, kini AdaKami mulai mendukung sektor produktif. Menurut survei internal yang dilakukan perusahaan, kendati dominasi penyaluran terbesar masih di sektor konsumtif, sekitar 23% pengguna memanfaatkan pinjaman untuk usaha mandiri. Sebanyak 47% pengguna di dalamnya menggunakan dana tersebut untuk pinjaman modal, dan kebanyakan pengguna berada di rentang usia 20-39 tahun.

CEO AdaKami Bernardino M. Vega mengatakan, perusahaan mematok target yang agresif pada tahun ini karena ditopang oleh strategi masuk ke sektor tersebut, terutama usaha mikro rumahan. “Jadi kalau kami perhatikan pada masa pandemi kemarin, tak jarang tipe borrower yang statusnya punya pekerjaan, dia mengajukan pinjaman multiguna dan menggunakan nama pribadi, bukan usaha. Nah, dia bukan menggunakan dana buat kebutuhan harian, justru menggunakannya untuk membuka usaha sampingan.”

Strategi yang akan dilakukan untuk mendukung rencana tersebut adalah memperbesar ticket size, membuat tingkat bunga yang semakin rendah dengan meningkatkan profil user, mengakomodasi tenor lebih panjang, dan memberikan kemudahan persetujuan.

VP AdaKami William Guo / AdaKami

Perketat mitigasi risiko

William melanjutkan, belakangan citra industri fintech lending terus tercoreng karena aksi pemain ilegal. Menurutnya, dari sisi transparansi dan akuntabilitas, yang perlu diketahui adalah bahwa salah satu faktor yang membedakan antara fintech legal dan ilegal adalah keterbukaan informasi terkait biaya pinjaman.

Perusahaan selalu menampilkan seluruh rincian biaya pinjaman, sebelum pengguna mengajukan pinjaman, sehingga pengguna dapat mempertimbangkan total biaya yang harus mereka bayarkan. Sedangkan dari sisi keamanan data privasi dan teknologi informasi, AdaKami telah tersertifikasi ISO 27001:2013 terkait keamanan informasi digital.

“Maraknya terkait pinjol ilegal juga menjadi perhatian AdaKami, di mana kami secara aktif melalui platform resmi melakukan komunikasi edukasi dan menyediakan saran-saran praktis kepada pengguna dan publik secara luas mengenai penggunaan fintech lending yang aman dan bijak.”

AdaKami juga melakukan serangkaian langkah untuk mitigasi risiko demi mencegah risiko gagal bayar. William menjelaskan, dalam proses pendaftaran awal, AdaKami memanfaatkan teknologi AI untuk mempelajari dan mendeteksi kemungkinan penipuan berdasarkan data dan informasi yang disertakan pengguna.

“Hal ini juga didukung oleh big data, salah satunya PEFINDO dan juga kelengkapan sistem keamanan yang AdaKami gunakan dalam menentukan credit scoring.”

Penilaian kredit merupakan parameter kredit yang dapat merepresentasikan atau mencerminkan karakter, serta kemampuan calon peminjam untuk bertanggung jawab atas pengajuan pinjamannya. Tinggi atau rendahnya penilaian kredit juga dapat memberikan gambaran prediksi probabilitas keberhasilan bayar dari calon peminjam di masa depan.

“Posisi TKB kami saat ini tergolong baik dan sehat, seperti yang dapat diakses melalui halaman website kami, per September 2021 TKB90 ada di 99,7%.”

Per 5 November 2021 mendatang, biaya layanan AdaKami akan mengikuti aturan baru yang dikeluarkan oleh AFPI menjadi maksimal 0,4% per hari dari sebelumnya 0,8% untuk produk sekali bayar, dan 0,3% hingga 0,4% per hari untuk produk cicilan. Sementara untuk limit pinjaman yang diberikan maksimal Rp10 juta untuk setiap pengguna.

William enggan menyebut rencana penggalangan dana perusahaan untuk mendukung langkah ekspansi berikutnya. Sebagai catatan, AdaKami adalah perusahaan patungan dari FinVolution, perusahaan pembiayaan terbesar dari Tiongkok, dengan kepemilikan 80% saham dan PT Paraduta Satya Wahana, yang merupakan bagian dari Northstar.

Tren pembiayaan konsumtif menurun

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 penyelenggara syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai Rp4,1 triliun. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana Rp13,8 triliun.

Dominasi porsi pinjaman konsumtif masih mendominasi dari total portofolio penyaluran di industri. Bila melihat selama 2020 kemarin, penyaluran konsumtif memakan porsi sebanyak 62,04% dari total new loan Rp74,41 triliun. Akan tetapi trennya, perlahan turun karena dorongan OJK untuk pemain lending turun menggarap pembiayaan produktif di dalam portofolionya.

Menurut laporan DSResearch dan AFPI, rata-rata pinjaman konsumtif yang dicairkan oleh para platform adalah di bawah Rp2,5 juta (70,1%), lalu disusul Rp2,5 juta-Rp25 juta (20,8%), dan Rp25 juta-Rp100 juta (1,3%). Adapun dari total penyaluran pinjaman, tercatat ada 46,8% perusahaan yang menyalurkan pinjamannya hingga Rp50 miliar, lebih dari Rp1 triliun (23%). Selain itu, ada 5 pemain yang sudah menyalurkan lebih dari Rp3 Triliun kepada peminjamnya: Pendanaan.com, Asetku, UangMe, Kredivo dan Kredit Pintar.

Application Information Will Show Up Here

Investree Bags 142 Billion Rupiah Debt Funding from responsAbility

Investree announced another debt funding worth of $10 million (over 142 billion Rupiah) from responsAbility Investments, a Switzerland based asset manager that focuses on follow-up investments. responsAbility is an investor partner of one of the institutional lenders at Investree, Accial Capital, which first entered as a lender since 2017.

This debt funding will be redistributed to facilitate the financing needs proposed by Investree’s borrower or SME players. For responsAbility, channeling funding to Investree means directly contributing to the United Nations Sustainable Development Goals (SGDs), in relation to limited financial access for SMEs which limits job creation, triggers inequality, and hinders economic development.

Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi said, this is a very big stepping stone for Investree because in its third funding round, Accial Capital invites one of its co-investors, responAbility to participate through the Investree platform.

“In line with responsAbility’s vision and mission as a sustainability investment ‘home’ specializing in impact, we will target funding from the responsAbility-Accial Capital partnership to finance our borrower projects with significant economic, social and environmental impacts on life, especially amidst a recovery period due to this pandemic,” Adrian said in an official statement, Thursday (10/28).

One of Investree’s ongoing projects is to help empower women as ultra-micro traders in the Gramindo ecosystem. These traders have group characteristics, consisting of women without access to banks and running businesses using conventional and sharia schemes. The number has reached 5,700 on the Investree platform.

For responsAbility, this is a unique credit transaction model in Southeast Asia, especially in Indonesia as it is collaborated with Accial Capital to provide financing support to SMEs through the Investree platform.

responsAbility’s Deputy Head of Financial Inclusion Debt, Jaskirat S. Chandha said, “We are very pleased to be able to partner in this innovative structure to provide working capital funding that is urgently needed by SME borrowers in Indonesia. Financial technology is a key driver of financial inclusion. We are delighted to have found the right collaboration at Accial Capital and Investree with the required expertise.”

Investree entering its 6th year

In its 6th year, the company has grown far beyond just a fintech lending company. During 2021, the company has empowered 5 thousand ultra micro women entrepreneurs who need financial support to develop their simple businesses.

Next, partnering with digital freight forwarder Andalin to offer access to customs and tax financing for Andalin clients through Buyer Financing products. This collaboration aims to help ease the burden on clients’ costs so they don’t have to incur large initial costs, therefore, the company’s cash flow management can be optimized.

As of September 2021, Investree booked a total loan facility of Rp 12 trillion, rises 51% yoy from last year, and the value of disbursed loans was Rp 8 trillion. In terms of the number of lenders and borrowers, there were 46 thousand lenders and 6 thousand borrowers at the end of the third quarter of 2021, joined Investree cumulatively. The ratio is 40:60 of the number of individual lenders and institutional lenders that fund.

Investree’s contribution to the fintech lending industry in Indonesia is real.
Investree’s outstanding loans contributed 8.3% to the national productive outstanding loans. As of September 2021, their TKB90 is 98.22% – better than the national average of 93.3%.

Productive sector has quite small portion

According to reports from DSInnovate and AFPI last year, 36.1 million borrowers in the productive sector borrowed Rp. 2.5 million to Rp. 25 million. Only 17.6% of them borrowed more than Rp500 million. This sector still needs to be further boosted by regulators, especially during this pandemic, many MSMEs still down and need to survive.

Source: DSResearch
Source: DSResearch


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Debt 142 Miliar Rupiah dari responsAbility

Investree kembali mengumumkan perolehan pendanaan debt sebesar $10 juta (lebih dari 142 miliar Rupiah) dari responsAbility Investments, manajer aset dari Swiss yang berfokus pada investasi lanjutan. responsAbility merupakan mitra investor dari salah satu lender institusi di Investree, yakni Accial Capital yang pertama kali masuk sebagai lender sejak 2017.

Pendanaan debt ini akan disalurkan kembali untuk membiayai kebutuhan pembiayaan yang diajukan oleh borrower atau pelaku UKM di Investree. Bagi responsAbility, menyalurkan pendanaan kepada Investree berarti secara langsung berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals (SGDs) PBB, kaitannya dengan akses keuangan terbatas untuk UKM yang membatasi penciptaan lapangan kerja, memicu ketidaksetaraan, dan menghambat pembangunan ekonomi.

Co-founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, ini merupakan batu lompatan yang amat besar buat Investree karena pada putaran pendanaan mereka yang ketiga, Accial Capital mengajak salah satu co-investornya yaitu responsAbility untuk turut mendanai melalui platform Investree.

“Sejalan dengan visi dan misi responsAbility sebagai ‘rumah’ investasi keberlanjutan yang berspesialisasi pada dampak, kami akan menargetkan pendanaan dari kemitraan responsAbility-Accial Capital untuk membiayai proyek-proyek borrower kami yang memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan signifikan bagi kehidupan, terutama di tengah masa pemulihan akibat pandemi ini,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Kamis (28/10).

Salah satu proyek yang sudah dilakukan Investree adalah membantu pemberdayaan ibu-ibu pedagang ultramikro yang berada dalam ekosistem Gramindo. Pada pedagang ini memiliki karakteristik berkelompok, terdiri dari perempuan-perempuan tanpa akses ke bank dan menjalankan usaha dengan menggunakan skema konvensional maupun syariah. Kini jumlahnya sudah mencapai 5.700 di platform Investree.

Bagi responsAbility sendiri, ini merupakan model transaksi kredit yang unik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia karena tandem dengan Accial Capital untuk memberikan dukungan pembiayaan kepada UKM melalui platform Investree.

Deputy Head Financial Inclusion Debt responsAbility Jaskirat S. Chandha menuturkan, “Kami sangat senang dapat bermitra dalam struktur inovatif ini menyediakan pendanaan modal kerja yang sangat dibutuhkan oleh peminjam UKM-UMKM di Indonesia. Teknologi finansial merupakan pendorong utama inklusi keuangan. Kami senang telah menemukan kolaborasi yang tepat di Accial Capital dan Investree dengan keahlian yang dibutuhkan.”

Investree memasuki usia ke-6

Di usia ke-6 ini, perusahaan sudah berkembang jauh tidak hanya sekadar perusahaan fintech lending. Selama 2021 saja, perusahaan telah memberdayakan 5 ribu pengusaha perempuan ultra mikro yang membutuhkan dukungan pembiayaan untuk mengembangkan usaha sederhana mereka.

Berikutnya, menggandeng digital freight forwarder Andalin untuk menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para klien Andalin melalui produk Buyer Financing. Kerja sama ini bertujuan untuk membantu meringankan beban biaya klien agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga manajemen arus kas perusahaan dapat dioptimalkan.

Hingga September 2021, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 12 triliun, naik 51% secara yoy dari tahun lalu, dan nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 8 triliun. Dari segi angka pemberi pinjaman dan peminjam, pada akhir kuartal III 2021, tercatat sudah ada 46 ribu lender dan 6 ribu borrower yang tergabung di Investree secara kumulatif. Perbandingan jumlah lender individu dan lender institusi yang mendanai berada di persentase 40:60.

Kontribusi Investree terhadap industri fintech lending di Indonesia pun nyata.
Pinjaman outstanding Investree berkontribusi sebesar 8,3% terhadap pinjaman outstanding produktif nasional. Per September 2021, TKB90 mereka adalah 98,22% – lebih baik dari rata-rata nasional 93,3%.

Porsi sektor produktif masih minim

Menurut laporan DSInnovate dan AFPI pada tahun lalu sebanyak 36,1 juta peminjam di sektor produktif meminjam Rp2,5 juta-Rp25 juta. Hanya 17,6% di antaranya yang meminjam lebih dari Rp500 juta. Sektor ini masih perlu digenjot lebih lanjut oleh regulator, terlebih lagi di masa pandemi ini banyak UMKM yang butuh terpukul dan harus tetap bertahan.

Sumber: DSResearch

 

Sumber: DSResearch
Application Information Will Show Up Here

Koinworks to Cast More Institutional Lenders, Focusing to Serve SMEs

Lendable pours another debt funding to KoinWorks. In 2020, the funds given were worth $10 million (equivalent to 149 billion Rupiah), the nominal has currently increased to $30 million or around 435 billion Rupiah. In Indonesia, Lendable also disbursed a similar loan to Amartha in February 2021 valued at 704 billion Rupiah.

Previously in April 2020, KoinWorks also announced the debt funding from two Europe-based financial institutions. As we contacted, the company refused to reveal its identity. In an interview, KoinWorks’ Co-Founder & CEO, Benedicto Haryono did say that collaboration with institutional lenders is one of his strategies, both from domestic and foreign institutions.

He explained that the company had obtained institutional lenders since early 2018, marked by the entrance of Saison Modern Finance. Furthermore, Bank Mandiri followed in the middle of the year. In 2019, Sampoerna and CIMB Niaga also joined.

Focused on SMEs

For the company’s next plan after receiving the fresh funds, KoinWorks’ CFO Mark Bruny said that his team will still focus on serving the SME market which has great potential in Indonesia. This strategic collaboration is also said to be a success thanks to the transparency and good communication that exists between KoinWorks and Lendable.

“We believe that digital SMEs that have become borrowers on our platform will be able to survive and even seize the opportunity to thrive from this pandemic. Lendable agrees and they believe in the ability of Indonesian Digital SMEs and KoinWorks’ ability to carry out this vision,” Mark told DailySocial.id .

Regarding a change in approval or additional requests from Lendable to KoinWorks through this second collaboration, Mark emphasized that the approval is likely remain. Through the 300% increase of loan amount, KoinWorks is expected to be able to accelerate the distribution funds to Indonesian SMEs.

The current number of KoinWorks’ disbursed funds in the second quarter of 2021 is exceed 1 trillion Rupiah to 300 thousand SMEs in Indonesia, a threefold increase compared to 2020. This indicates a significant development in this pandemic with many SMEs attending and pivoting to digital.

In a research by KoinWorks, it was revealed that SMEs using conventional and digital channels actually dominate the market with a share of 48% compared to SMEs that only use digital channels (40%) or conventional channels (12%). This digital transformation has succeeded in helping Digital SMEs not only survive but are able to thrive during the pandemic.

This transformation was also a major factor in the rise of the Digital SME Confidence Index to the level of 2.49 from the level of 2.37 at the end of last year and pushed us closer to the normal level, at the level of 3.00.

Potential of foreign investors in Indonesia

Mark also said, the high interest of foreign investors, in this case those who provide funds in the form of debt funding such as Lendable to Indonesia, is due to the large business growth in Indonesia, especially among SMEs. Indonesia has become the investors target, seen from the potential and incoming investment.

Was founded in 2015, Lendable Inc through fintech has channeled a lot of capital to people around the world. This is a good way to be able to provide access to financial services to the public. The direct entry of companies like Lendable to Indonesia has had a multiply effect on funding. By introducing foreign investors to Indonesia, it opens up opportunities for other fintech services in Indonesia to raise fresh funds.

“As the current most advanced platform, we are lucky to be able to make this deal and help the ecosystem by introducing strong players while introducing Indonesia globally,” Mark said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here