Didominasi Grab dan Gojek, GMV Layanan Pesan-Antar Makanan di Indonesia Capai 52 Triliun Rupiah

Layanan pesan-antar makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama masa pandemi. Menurut hasil riset yang dilakukan Momentum Works, GMV layanan ini di enam negara Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di tahun 2020. Di Indonesia sendiri, nilai total yang berhasil dibukukan mencapai $3,7 miliar atau setara 52 triliun Rupiah — didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek, masing-masing memegang 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Turut disampaikan juga, capaian tersebut sebenarnya baru menyumbang 1% dari potensi food delivery di Indonesia yang nilainya diproyeksi bisa mencapai $61 miliar per 2019 lalu. Indikasi utamanya, sejauh ini penetrasi para pemain masih terfokus di kota-kota besar, sementara di wilayah tier-2 dan tier-3 belum banyak dioptimalkan bisnisnya.

CEO Momentum Works Jianggan Li menyampaikan, sebagian besar pertumbuhan layanan pesan-antar makanan yang terjadi di tahun 2020 bersifat permanen. Mengingat adanya tren digitalisasi dan perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

“Kami optimis terhadap prospek layanan pesan-antar makanan di Indonesia, meskipun kemungkinan akan memakan waktu beberapa tahun sebelum sektor ini dapat diadopsi secara massal. Pemain layanan pesan-antar makanan harus memiliki strategi jangka panjang agar dapat memanfaatkan peluang di pasar yang sangat besar ini secara optimal,” ujarnya.

Gambar 1

Faktor pertumbuhan

Faktor utama yang menjadikan Indonesia sebagai pasar layanan pesan-antar makanan terbesar di regional tak lain karena besarnya populasi di negara ini. Data hasil sensus penduduk 2020 menyebutkan, penduduk Indonesia saat ini ada sekitar 270,20 juta jiwa. Dari total tersebut, 27,94% di antaranya adalah Gen Z dan 25,87%-nya milenial. Di samping itu, turut didukung beberapa faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan penetrasi ponsel pintar.

Hasil riset juga menyoroti, beberapa langkah yang dilakukan oleh para pemain untuk mencapai profitabilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Platform perlu mengendalikan biaya akuisisi/retensi, mempertahankan unit economics, dan menghasilkan pendapatan tambahan yang dapat mencakup iklan, pembiayaan, dan layanan B2B lainnya. Opsi tersebut didasarkan pada studi kasus kesuksesan Meituan, salah satu layanan pesan-antar makanan besar di Tiongkok. Pada Q2 2020, perusahaan mencatatkan net profit hingga $420 juta.

Gambar 2

Sementara dari perspektif konsumen, beberapa hal yang dijadikan konsiderasi untuk memilih layanan pesan-antar makanan meliputi: banyaknya pilihan, kecepatan, kualitas/keandalan, dan biaya. Menurut Momentum Works, masing-masing pemain harus (setidaknya) unggul di dua faktor yang ada, karena memimpin di semua variabel tersebut dikatakan tidak mungkin.

Potensi yang bisa digali

Selain di Indonesia, beberapa pasar besar layanan food delivery di Asia Tenggara berada di Thailand ($2,8 miliar), Singapura ($2,4 miliar), Filipina ($1,2 miliar), Malaysia ($1,1 miliar), dan Vietnam ($0,7 miliar). Riset turut menganalisis beberapa strategi potensial yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai transaksi bisnis ini setiap tahunnya. Pertama, fokus meningkatkan volume transaksi segmen konsumen kelas menengah ke atas.

Kedua, menekan biaya untuk mengimbangi harga makanan dan nilai pesanan yang rendah. Kemudian penting juga untuk meningkatkan literasi digital supaya merchant (restoran, kedai makanan, UKM dll) dapat mengadopsi aplikasi pesan-antar. Dan terakhir, para pemain juga harus berani berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong adopsi layanan di kota tier-2 dan 3.

Grab dan Gojek di Indonesia juga sudah terlihat mengeksekusi strategi tersebut, salah satunya direalisasikan melalui inisiatif cloud kitchen. Dapur bersama tersebut memungkinkan mitra UKM mendapatkan kemudahan untuk menjajakan produknya, serta melakukan ekspansi pasar; karena pada dasarnya berbagai fasilitas produktifnya disediakan dan terintegrasi ke dalam ekosistem super app masing-masing layanan. Di sisi konsumen pun memungkinkan mereka untuk mendapatkan pilihan makanan lebih banyak dengan biaya antar yang lebih rendah.

Gambar Header: Depositphotos.com

ShopeeFood Beri Sinyal Masuk Persaingan Layanan “Food Delivery”

ShopeeFood mulai hadir meramaikan pasar food delivery di Indonesia. Layanan tersebut bisa diakses melalui platform Shopee, baik di situs web maupun di aplikasi mobile. Belum seperti layanan pesan-antar kilat layaknya GrabFood atau GoFood, sebagian besar produk makanan/minuman yang disajikan sifatnya lebih tahan lama, seperti makanan beku, aneka kue, atau minuman kemasan. Sementara cakupannya sudah cukup luas, di berbagai provinsi di seluruh Indonesia.

Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web
Laman ShopeeFood yang diakses melalui situs web

Diperkenalkannya layanan tersebut tentu memicu banyak spekulasi di pasar. Yang jelas, layanan pesan-antar makanan memang tengah naik daun di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19. Di Indonesia sendiri, menurut penelitian McKinsey (2020), ada peningkatan 34% untuk penggunaan jasa pesan antar makanan selama masa pandemi. Survei yang dilakukan DailySocial dan Populix juga mengemukakan fakta, selama periode karantina mandiri, 53% responden mengatakan bahwa aplikasi pesan-antar makanan menjadi yang banyak digunakan.

Berkompetisi dengan pendahulu

Sebagai raksasa digital di Asia Tenggara, Sea Limited (Sea), induk Shopee, tentu memiliki ambisi untuk masuk pada berbagai model bisnis potensial. Sebagai informasi, per hari ini (21/1) kapitalisasi pasar perusahaan mencapai $118,72 juta – jadi perusahaan teknologi paling bernilai di regional. Dan jika diamati lebih dalam, pendekatan yang dilakukan oleh berbagai unit perusahaannya juga cukup unik, seperti ‘tidak ada kata terlambat.’

Ambil contoh layanan online marketplace Shopee, mereka baru mulai masuk ke pasar Indonesia pada bulan Mei 2015. Kala itu segmen bisnis ini sudah cukup ramai, dengan dominasi pendahulunya seperti Lazada, Tokopedia, Bukalapak, elevenia, Blibli, Alfacart, dll. Namun dua tahun terakhir, ditinjau dari volume penjualan dan transaksi, Shopee justru mampu memimpin pasar.

Ada banyak faktor, salah satu yang paling kentara karena berhasil ‘bakar duit’ di waktu yang tepat. Mereka melakukan akuisisi pelanggan dengan sangat maksimal saat pasar sudah berhasil teredukasi oleh pemain sebelumnya. Jargon ‘gratis ongkir’ pun kini sangat melekat di platform yang khas dengan warna oranye tersebut.

Strategi sama bisa saja dilakukan, dengan kondisi pasar food delivery yang sudah semakin matang dan masif di Indonesia. PR-nya bagi Shopee tentu melakukan penguatan infrastruktur yang diperlukan – yang sudah dimiliki saat ini adalah platform pemesanan dan pembayaran (ShopeePay), sementara yang belum adalah logistik first-mile.

Di last-mile, mereka sudah memiliki Shopee Xpress (SPX) yang kini sudah melayani sebagian pengguna di online marketplace. Beberapa waktu terakhir tersiar kabar bahwa Shopee tengah merekrut mitra pengemudi untuk melayani pesanan ShopeeFood. Ditambah, tim pemasaran mereka mulai mempromosikan layanan ShopeeFood yang nantinya dapat digunakan untuk memesan makanan favorit seperti bakso, soto, martabak, dll (makanan cepat saji).

Kami sudah mencoba meminta konfirmasi terkait beberapa informasi secara langsung ke tim Shopee di Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada respons.

Proposisi nilai

Mengutip temuan survei GlobalWebIndex, ada beberapa alasan yang mendorong orang untuk memesan makanan melalui aplikasi food delivery, lima teratas meliputi: gratis ongkos kirim (51%), pengiriman cepat (48%), penawaran diskon (43%), ketersediaan dan kelengkapan item (36%), kemudahan proses pemesanan (30%). Kendari survei tersebut tidak dilakukan spesifik kepada pengguna di Indonesia, namun cukup representatif menggambarkan kondisi pangsa pasar.

Untuk memenangkan pasar, platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut. Beberapa strategi mulai digulirkan beberapa pemain, misalnya melalui insiatif cloud kitchen. Konsep dapur bersama tersebut memungkinkan platform mengumpulkan beberapa merchant kuliner di satu tempat. Dari sisi konsumen, memudahkan mereka untuk mendapatkan opsi lebih banyak ketika ingin membeli makanan dengan 1x pemesanan dan pengantaran.

Dari sisi merchant, platform bisa menentukan (berdasarkan data) mengenai produk potensial di wilayah tertentu sehingga turut membantu mereka untuk memastikan bisnisnya mendapatkan pasar yang relevan. Selain itu tentu menghemat biaya modal dan ongkos operasional, karena hanya fokus melayani pesan-antar.

Detail seperti ini yang harus jeli dilihat oleh ShopeeFood sebagai penantang baru di lanskap bisnis ini. Tapi sebenarnya Shopee juga sudah melakukan beberapa aksi permulaan terkait pasar food delivery di Indonesia. Misalnya mereka mendukung Weyland Tech dalam peluncuran AtozGo di Jakarta — ShopeePay digunakan sebagai sistem pembayaran utama. Sehingga banyak kemungkinan sinergi yang dapat dilakukan ketika nantinya ShopeeFood benar-benar mulai dimaksimalkan.

Mendorong konsolidasi

Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek
Mitra GoFood saat membelikan pesanan / Gojek

Dengan kekuatan kapital dan jangkauan pasar yang dimiliki Sea, jelas ini bukan kabar menyenangkan untuk para kompetitornya. Di Indonesia, sejauh ini Gojek dan Grab jadi penyedia food delivery dengan jangkauan paling luas dan mitra terbanyak. Untuk menghadapi raksasa digital tersebut, bahkan sebelumnya dikabarkan keduanya hendak melakukan merger. Sayangnya kabar terakhir mengatakan, founder tidak mencapai titik sepakat soal pembagian saham.

Rumor yang tengah beredar justru rencana merger antara Gojek dan Tokopedia. Platform online marketplace besutan William Tanuwijaya tersebut kini juga bersaing ketat dengan Shopee – dari berbagai riset dikatakan Tokopedia ada di peringkat kedua persis di bawah Shopee. Konsolidasi jelas membuka peluang kolaborasi di banyak elemen, tak terkecuali perluasan layanan food delivery menggabungkan mitra UKM kuliner yang dimiliki Tokopedia, sampai perluasan layanan GoPay untuk pembayaran di Tokopedia.

Kue pasar untuk food delivery di Asia Tenggara juga menggiurkan. Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 mengatakan, GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun lalu mencapai $6 miliar, bahkan lebih besar dari transportasi on-demand yang nilainya $5 miliar (turun akibat pandemi).

Sementara di Indonesia sendiri sebenarnya juga ada beberapa pemain lainnya yang mencoba mengakomodasi urusan pesan makanan, di antaranya:

Platform Keterangan
Yummy Corp Terafiliasi dengan perusahaan kuliner Ismaya Group. Memiliki beberapa lini bisnis, salah satunya YummyBox layanan pemesanan katering lewat aplikasi.
Kulina, Wakuliner, Homade Layanan pemesanan katering berbasis aplikasi untuk konsumer ataupun bisnis, bekerja sama dengan merchant F&B.
Gorry Holdings Startup pengembang aplikasi wellness, miliki unit bisnis Gorry Gourmet untuk menyediakan jasa pemesanan makanan sehat secara online.

 

Application Information Will Show Up Here

Waku Terus Perluas Area Bisnis di Tengah Momentum Pertumbuhan Aplikasi Kuliner

Setelah melakukan rebranding akhir tahun 2020 lalu, platform yang memungkinkan penggunanya mudah mendapatkan makanan atau kuliner, Waku, melakukan ekspansi di beberapa wilayah di Indonesia. Setelah melakukan ekspansi di Medan dan Denpasar, kini mereka juga telah hadir di Bandung dan Tegal.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Anthony Gunawan mengungkapkan, alasan utama mengapa kota-kota tersebut dipilih untuk ekspansi adalah, adanya klien anchor yang perlu dilayani.

“Selain Denpasar dan Medan, kami sudah berhasil ekspansi ke Bandung dan Tegal juga. Empat kota-kota baru ini termasuk kota metropolitan yang menjadi target ekspansi kami di tahun 2021,” kata Anthony.

Ekspansi bisnis pada umumnya bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Banyak sekali faktor dan sumber daya yang perlu dipersiapkan sebelumnya. Tetapi dengan model bisnis dan tim operasional yang dimiliki, Waku membuktikan bahwa ekspansi bisnis tidak sulit dilakukan. Perusahaan juga terus berinovasi dan membuat menu-menu baru dan layanan-layanan baru dengan cepat.

“Dengan memiliki dapur-dapur yang sangat profesional dan berpengalaman, digabung dengan sistem dan tim Waku yang sudah kokoh dan berpengalaman juga, kami dapat memastikan Waku dapat diterapkan di seluruh kota di Indonesia dan akan beroperasional dengan baik sekali, untuk memenuhi kebutuhan makanan karyawan baik di perusahaan maupun pemerintahan,” kata Head of Operations Waku Farid Syuhada.

Di Indonesia sendiri, bisnis teknologi terkait kuliner memang sedang banyak digencarkan. Salah satunya Kulina, startup berbasis di Jakarta yang juga sediakan paket katering untuk personal maupun perusahaan. Selama pandemi sendiri, kami memantau peningkatan traksi di bisnis pengantaran makanan, lantaran adanya pembatasan sosial dan adopsi layanan teknologi yang makin masif.

Rencana Waku tahun 2021

Walaupun pandemi telah memberikan banyak sekali tantangan baru bagi bisnis Waku, namun secara keseluruhan telah memberikan dampak yang sangat positif terhadap pertumbuhan bisnis Waku. Tahun 2020, Waku mengklaim telah berhasil meningkatkan penjualan dan melebarkan coverage area layanan ke beberapa kota besar, serta turut menambah jumlah cloud kitchen Waku dalam waktu yang singkat. Secara keseluruhan Waku telah memiliki lebih dari 40 dapur katering dan cloud kitchen, dan lebih dari 300 klien perusahaan dan pemerintahan.

“Banyak sekali perbedaan dan unique selling propositions yang dimiliki oleh Waku. Salah satu yang paling utama yaitu Waku adalah satu-satunya F&B assistant yang memberikan solusi terlengkap bagi klien perusahaan dan pemerintahan, baik untuk makanan harian, keperluan meeting, training, acara-acara, kebutuhan mendadak, dan lain-lain. Dengan lebih dari 16 kategori dan 15 ribu pilihan menu, Waku merupakan one-stop all-in-one solutions bagi pelanggan,” kata Anthony.

Tahun ini Waku memiliki beberapa target dan rencana yang ingin dilancarkan, di antaranya adalah berencana hadir di semua kota metropolitan di Indonesia, meluncurkan beberapa brand dan layanan baru juga. Saat ini Waku juga tengah melakukan penggalangan dana untuk tahapan Seed.

“Potensi catering dan cloud kitchen sangatlah besar, dengan adanya COVID-19 maupun tidak. Kami selalu bersemangat dan optimis untuk terus bertumbuh dan melayani pasar yang lebih luas di seluruh Indonesia.” ujar Anthony.

Application Information Will Show Up Here

MCAS Luncurkan DigiResto, Bantu Bisnis F&B Hadirkan Sistem Pemesanan Online

Bertujuan untuk memudahkan pemilik restoran dan rumah makan membina relasi langsung dengan pelanggan, PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), melalui anak perusahaannya PT Digital Maxima Kharisma resmi meluncurkan DigiResto. Platform pemesanan makanan terintegrasi ini turut menggandeng PT SiCepat Ekpres Indonesia (SiCepat) sebagai solusi logistik dan penyedia layanan pengiriman last-mile.

Kepada DailySocial Director PT Digital Maxima Kharisma Mohammad Anis Yunianto mengungkapkan, DigiResto dirancang untuk memberikan para merchant tempat untuk berinteraksi langsung dengan pelanggan mereka, dan bagi pelanggan untuk mengakses makanan favorit mereka.

Strategi monetisasi yang diterapkan Digiresto yaitu menerima biaya untuk transaksi yang difasilitasi melalui platform. Hingga saat ini, lebih dari 2200 merchant F&B aktif di seluruh Indonesia telah menggunakan DigiResto.

“Pada fase pertama DigiResto, DMK akan memanfaatkan kemitraan yang ada dalam ekosistem grup MCAS, yang akan membantu percepatan yang dibutuhkan platform kami untuk mendorong lebih banyak pelanggan dan pelaku usaha untuk bergabung,” kata Anis.

Rencana perluas area layanan

Meskipun saat ini layanan pengiriman makanan dan minuman masih didominasi oleh aplikasi “super app” seperti Gojek dan Grab, namun Digiresto mengklaim memiliki keunikan tersendiri. DigiResto dapat diakses melalui WhatsApp tanpa menginstal aplikasi pihak ketiga tambahan yang diharapkan bisa menarik minat para konsumen yang tidak menyukai beberapa aplikasi fungsi tunggal yang kerap memenuhi smartphone mereka.

Selain itu, Digiresto juga memiliki opsi pembayaran yang komprehensif. DigiResto mampu menerima berbagai opsi pembayaran dan terhubung ke beberapa dompet elektronik. Bank Mandiri saat ini menjadi partner sistem pembayaran untuk DigiResto. Digiresto juga memanfaatkan teknologi artificial intelligence dari grup yang akan membantu meningkatkan feedback dan mekanisme prediksi untuk proses operasional.

“Kami juga memiliki opsi pengantaran yang scalable dengan memanfaatkan layanan SiCepat yang merupakan mitra last mile delivery kami. DigiResto mampu memanfaatkan kemampuan dan keahlian logistik SiCepat terutama karena DigiResto memperluas cakupan layanan di luar Jakarta,” kata Anis.

Kondisi pandemi saat ini dimanfaatkan oleh Digiresto untuk menghadirkan inisiatif yang bisa dimanfaatkan oleh mitra, yang ternyata disambut baik kehadirannya, dilihat dari positifnya respons mereka saat Digiresto diluncurkan. Konsep yang ditawarkan oleh Digiresto bisa digunakan oleh mitra untuk tetap menjalankan bisnis, meskipun aturan PSBB diterapkan oleh pemerintah.

“Selain pilihan pengiriman, konsumen juga dapat memilih untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Layanan ini tersedia di WhatsApp dan micro-site untuk memungkinkan pengalaman pemesanan yang lebih lancar. Untuk mengakses DigiResto, konsumen cukup menambahkan nomor channel WhatsApp DigiResto dan mulai berinteraksi dengan chatbot tersebut,” kata Anis.

Tahun 2021 mendatang ada beberapa target dan rencana yang ingin dilancarkan oleh Digiresto. Di antaranya adalah memanfaatkan kemitraan yang ada dalam ekosistem grup MCAS, yang akan membantu memulai traksi yang dibutuhkan platform untuk mendorong lebih banyak pelanggan dan pedagang untuk bergabung. Selain itu, Digiresto juga akan bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk meningkatkan dan mempercepat proses perluasan jaringan merchant.

“Saat ini, layanan DigiResto terkonsentrasi di Jabodetabek, kami memiliki rencana untuk memperluas layanan secara nasional. Untuk periode sosialisasi awal, kami akan menawarkan pengiriman gratis di wilayah tertentu untuk mempromosikan layanan kami,” kata Anis.

Laris Manis Bisnis “Food Delivery” Selama Pandemi

Industri jasa antar makanan (food delivery) mencatat kinerja yang memesona sepanjang pandemi karena anjuran pengurangan mobilitas keluar dari rumah. Meskipun, di sisi lain, secara langsung memengaruhi turunnya kinerja industri transportasi.

Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company mengungkapkan pertumbuhan GMV food delivery tidak cukup untuk mengimbangi kontraksi di sektor transportasi di enam negara Asia Tenggara. GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun ini mencapai $6 miliar, sedangkan transportasi lebih rendah $1 miliar yakni $5 miliar.

Di tahun lalu, tercatat GMV jasa antar makanan mencapai $5 miliar dan transportasi $8 miliar. Dari berbagai faktor pemicu selama pandemi, kondisi tersebut mengubah industri pengantaran makanan menuju jalan yang lebih mulus. e-Conomy SEA memprediksi pada 2025, industri pengantaran makanan akan mendominasi dengan GMV $23 miliar, sementara transportasi $19 miliar.

Food delivery awalnya dianggap sebagai suatu kemewahan, tapi kini penyelamat buat banyak keluarga. Sementara transportasi masih menjadi perhatian buat banyak orang untuk mengurangi aktivitas. Sebagai hasilnya [GMV tahun ini] jasa antar makanan dan transportasi terjadi koreksi,” papar Partner and Leader Bain & Company Alessandro Cannarsi saat konferensi pers secara virtual, Selasa (24/11).

e-Conomy SEA juga menyoroti lonjakan volume pencarian untuk order makanan yang terjadi per negara selama lockdown diberlakukan. Keenam negara yang diriset memperlihatkan empat negara alami kenaikan yang signifikan lebih dari 10 kali dibandingkan pada empat tahun silam, kecuali Singapura dan Vietnam. Di Indonesia tercatat volume pencarian naik 13 kali dan Thailand hingga 20 kali.

Lonjakan ini bisa diartikan mulai timbulnya ketergantungan masyarakat terhadap layanan tersebut. Terlebih ada garis tipis yang memisahkan antara layanan online grocery dengan makanan.

e-Conomy SEA melaporkan, WFH membentuk kebiasaan baru untuk memasak dari dapur sendiri (selaras dengan kenaikan online grocery). Tren tersebut dijawab dengan perluasan vertikal bisnis para pemain jasa antar makanan. Tidak hanya siap santap (ready-to-eat), tapi juga kebutuhan sehari-hari.

Di Indonesia sendiri, pemain terdepan yang saling berkompetisi di segmen ini adalah GoFood dan GrabFood karena ekosistem food tech yang lengkap dan meng-cover area nasional.

Dapur Bersama GoFood / Gojek
Dapur Bersama GoFood / Gojek

Pemain lainnya, dengan cakupan lebih terbatas, punya armada sendiri, dan layanan yang lebih niche dihuni oleh Yummy Corp, Kulina, Gorry Holdings, Wakuliner dengan cakupan lebih dari satu kota, disusul pemain lokal DapurGo (Yogyakarta) dan Homade (Jakarta).

Cerahnya prospek ini juga diartikan secara luas sebagai kesempatan untuk bertahan. Menyambung tulisan sebelumnya, sejumlah pemain direktori dan review tempat makan (food directory) yang beroperasi di Indonesia melebarkan bisnisnya ke segmen ini agar tetap relevan dengan kebutuhan. Dari catatan DailySocial, mereka adalah Chope, Qraved, dan Traveloka Eats.

Mereka tidak menyediakan armada sendiri karena memerlukan kapital yang besar untuk bersaing. Pasar jasa antar makanan ini, khususnya buat Gojek dan Grab, dibentuk dengan subsidi gila-gilaan untuk menciptakan permintaan.

Strategi yang sama juga diambil Tabula. Pemain ini masih baru di Indonesia dan cakupan pengantarannya baru ada di sebagian Jakarta, Bekasi, Karawang, Tangerang, Depok, Bogor, dan Bandung. Tabula bermain sebagai direktori restoran berbagai brand dan membangun sistem back-end untuk kemudahan pesan antar dan terintegrasi dengan sistem pembayaran uang elektronik.

Model bisnis Tabula sedikit beririsan dengan Hangry yang mengoperasikan banyak brand makanan di bawah benderanya. Keduanya juga tidak memiliki armada sendiri untuk antar makanan, tetapi memanfaatkan kehadiran armada dari Gojek atau Grab.

Pertimbangan yang sama juga diambil Chope. Dalam wawancara bersama DailySocial, General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty menjelaskan bermain di jasa antar makanan benar-benar menantang, juga mahal. Unit ekonominya sangat sulit untuk dibenarkan, kecuali perusahaan tersebut memiliki volume yang besar, terutama jika perusahaan menangani antar logistik juga.

“Beruntung bagi kami, di Indonesia kami tidak terlibat dalam bagian logistik pengiriman,” terangnya.

Dia melanjutkan, “Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Pemain food tech Direktori Jasa antar Cloud kitchen Voucher Dine-in / Takeaway / Pickup Cakupan layanan B2B
GrabFood X X X X Nasional
GoFood X X X  X Nasional
Kulina X X (armada sendiri) X Jadetabek X
Gorry Holdings X X (armada sendiri) Jakarta, Tangerang X
Yummy Corp X X (armada sendiri) X Jakarta, Tangsel X
Traveloka Eats X Pihak ketiga X X Nasional (terbatas)
Wakuliner X X (armada sendiri) Jadetabek, Surabaya X
DapurGo X X (armada sendiri) Yogyakarta X
Homade X X (armada sendiri) Jakarta X
Tabula X X (Pihak ketiga) X Jabodetabek, Bandung
Hangry X X (Pihak ketiga) X X Jabodetabek
Qraved X X (Pihak ketiga) Kota besar di Jawa, Bali, dan Medan
Chope X X (Pihak ketiga) X X Jabotabek
Eatigo X X X Jadetabek

Pemain dari luar Indonesia

Gambaran dari e-Conomy SEA memperlihatkan betapa besarnya ceruk foodtech di masa mendatang. Amerika Serikat punya DoorDash, UberEats, Postmates, dan lainnya, Inggris ada Deliveroo, Tiongkok ada Meituan, dan India punya Swiggy dan Zomato.

Dari diskusi singkat yang diadakan Tech In Asia beberapa waktu lalu, COO Swiggy Vivek Sunder bercerita, industri ini bisa tumbuh dengan cepat karena tiga faktor, yakni keberadaan teknologi, consumer centricity, dan timing yang pas.

Swiggy mengambil pendekatan yang revolusioner untuk eskalasi bisnisnya. Di 3,5 tahun pertama, perusahaan menerapkan cara umum setiap ekspansi ke kota baru dengan merekrut dan melatih kurirdan mendatangi tiap restoran untuk onboard ke dalam aplikasi.

Proses ini membuat ekspansi perusahaan lamban karena dalam 3,5 tahun baru masuk ke 10 kota. Bila dihitung secara manual, untuk masuk ke seluruh India butuh waktu bertahun-tahun. Bertahan dengan cara ini tentu tidak membuat perusahaan jadi kompetitif. Cara kerja akhirnya diubah menjadi disruptif.

“Cara ini tentu pada awalnya tidak membuat banyak orang di internal senang. Tapi kita ini adalah perusahaan database. Kita percaya teknologi dan sangat mengandalkan itu,” terang Vivek.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Cara disruptif akhirnya dipilih dengan masuk ke lima kota dengan merepresentasikan populasi tinggi di sana. Lalu crowdsource semua informasi yang konsumen mengenai apa yang mereka minta untuk dikerjakan Swiggy, mengingat perusahaan tidak mengenal baik bagaimana kondisi di sana.

“Kami tidak menaruh satupun orang di kota tersebut, semua dilakukan secara remote. Kami bertanya ke konsumen, restoran mana yang ingin kami hadirkan untuk kamu. Jawaban ini kami kumpulkan secara crowdsource untuk mencari tahu lebih dalam. Ketika berhasil bisa langsung dieskalasi skalanya jadi lebih besar.”

Cara kerja disruptif ini sukses memboyong Swiggy, dalam kurun waktu 12-15 bulan, menambah 500 kota di India.

Baginya, kunci terpenting yang harus ada di perusahaan food delivery adalah memahami betul apa maunya konsumen. Oleh karenanya, perusahaan sangat mengandalkan penggunaan data analitik, data science, untuk mendapat lebih jauh insight mendalam secara real time mengenai konsumen, baik secara aspek perilaku dan kualitatifnya.

Untuk itu, perusahaan membuat tim baru “CTO”. Bukan kepanjangan dari Chief Technology Officer, melainkan Consumer Technology Operations. “Percuma kalau punya aplikasi bagus, tapi kalau makanan tidak sampai dalam 30 menit konsumen tidak akan pakai lagi. Jadi mau food delivery, grocery, atau layanan lainnya, operasional itu harus yang terbaik.”

Layanan Swiggy kini sudah berkembang luas. Selain pengantaran makanan, ada grocery, jasa pengantaran yang hiperlokal, dan produk dairy. “Banyak vertikal yang sudah kita masuki, ada yang sudah pilot. Jadi setelah Covid-19 kita bisa menjadi pemain food plus plus,” ujarnya.

Apakah pasar jasa antar makanan lebih cepat mature?

Meski pemain jasa antar makanan makan ramai, bukan berarti membuat pasar langsung jenuh. Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menjelaskan, bisnis F&B, termasuk di dalam jasa antar makanan, amat besar ceruknya dan masih akan terus berkembang dengan cepat.

Potensi tersebut lebih dari cukup untuk menampung beberapa pemain besar di dalamnya. Terlebih dari sisi masyarakat sudah semakin nyaman untuk menggunakan layanan ini. Bisa dipastikan pasarnya terus bertambah setiap harinya.

“Di Amerika dan Eropa, misalnya, ada beberapa pemain besar di sektor ini [Deliveroo, UberEats] dan startup-startup baru sejenis terus bermunculan, sehingga industrinya tetap dinamis dan pemainnya harus terus berinovasi,” ujarnya.

Oleh karenanya, belum pas bila melihat industri ini sudah mature lebih cepat karena justru masih sangat muda. “Untuk menjadi saturated sepertinya masih butuh waktu yang cukup lama.”

Hal yang sama diamini Managing Partner AC Ventures Adrian Li. Menurutnya menyimpulkan pasar jasa antar makanan sudah mature itu terlalu dini, melihat adopsi teknologi oleh restoran masih dalam tahap awal.

Meskipun demikian, pemenang industri ini pada jangka panjang kemungkinan besar tidak akan muncul dari sisi B2C, tetapi B2B dengan produk yang terintegrasi — bekerja sama dengan para pemilik restoran.

Adrian melihat jasa antar makanan semakin mengakar sebagai bagian penting dari pendapatan restoran santapan kasual. Sementara startup direktori restoran, yang hanya mendukung bagian front end dari restoran untuk meningkatkan traffic, memerlukan integrasi sebagai nilai tambah. Terlebih bisnis direktori ini harus bersaing dengan pencarian di Google.

“Menyediakan pengalaman pelanggan yang terbaik berarti membuat arus transaksi yang lebih efisien. Namun, untuk melakukan hal ini tidak hanya memerlukan integrasi pembayaran tetapi juga sistem ERP untuk restoran karena mengelola pesanan akan menjadi bagian penting dalam menyiapkan pesanan takeaway atau jasa antar makanan.”

Dia mencontohkan, salah satu bisnis yang sudah mengembangkan sistem ERP tersebut adalah perusahaan SaaS lokal bernama ESB dengan layanan EZ Order, portofolio AC Ventures. Perusahaan ini menawarkan platform manajemen restoran full-stack, memungkinkan integrasi yang mudah dari semua plaform pemesanan online, entah itu situs atau dari media sosial.

Aplikasi atozGO Hadirkan Layanan Pengantaran Jarak Dekat

Bertujuan untuk memudahkan proses pembelian dan pengantaran memanfaatkan aplikasi, platform atozGO diluncurkan. Sekilas konsep dan model bisnis yang ditawarkan oleh atozGO serupa dengan layanan delivery lainnya, namun yang membedakan adalah, tidak menggunakan kendaraan roda dua dan hanya melakukan pengantaran dalam jarak yang dekat saja.

Kepada DailySocial, CEO atozGO Djunaedy Hermawanto mengungkapkan, atozGO hadir untuk memberikan pilihan kepada masyarakat untuk membeli barang atau jasa dari lingkungan terdekat (nearby). Saat ini baru tersedia di Jakarta dan sekitarnya.

“Dengan fokus untuk memajukan dan membantu UKM, kurir yang bergabung dengan atozGO adalah orang-orang di lingkungan sekitar tersebut yang membutuhkan pekerjaan dan tidak harus memiliki kendaraan,” kata Djunaedy.

atozGO merupakan platform yang berada dalam naungan PT Weyland Indonesia Perkasa (WIP), sebuah perusahaan yang didirikan tahun 2018. WIP juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dan teknis dari Weyland Tech Inc., sebuah perusahaan publik di Amerika Serikat (US) yang membuat dan menyediakan aplikasi mobile untuk mendukung UKM.

Selain atozGO untuk food delivery, perusahaan juga telah meluncurkan layanan AtoZpay untuk pembelian pulsa, pembayaran listrik, air, BPJS, tiket travel, dan lainnya.

Pandemi dan bisnis atozGO

Layanan dine in your car dan drive thru atozGO
Layanan dine in your car dan drive thru atozGO

Sejak diluncurkan, saat ini atozGO telah memiliki 15 ribu mitra yang sudah bergabung dan 130 pengguna terdaftar. Model bisnis dan strategi monetisasi yang diterapkan adalah bagi hasil dengan kurir (ongkos kirim) dan merchant margin.

Berbeda dengan layanan pesan antar makanan digital lainnya, keunikan atozGO adalah berfokus pada layanan pengantaran jarak dekat di sekitar pelanggan berada. Sebagian besar kurirnya jalan kaki sehingga lebih hemat, cepat dan efisien karena tidak membutuhkan parkir. atozGO juga menampung tenaga kerja tanpa harus memiliki kendaraan.

“Selain pengantaran pembelian makanan, atozGO juga membantu pelanggan membeli berbagai barang keperluan di sekitarnya serta jasa-jasa yang relevan seperti membersihkan kantor atau apartemen, penyemprotan desinfektan,” kata Djunaedy.

Saat pandemi, atozGO menawarkan layanan baru yang bisa dinikmati secara online to offline oleh pengguna. Berkolaborasi dengan Pondok Indah Mall, atozGO meluncurkan inovasi terbaru yaitu atozGO Mall yang mengusung konsep dine in your car dan drive thru. Konsep ini diklaim yang pertama di Indonesia.

Fitur ini menawarkan konsep pesan di dalam mobil saja yang kemudian bisa di santap di dalam mobil ataupun langsung di bawa pulang. Cara pesannya juga cukup mudah, pelanggan dapat memesan menu makanan melalui aplikasi atozGO dengan klik fitur Mall.

“Tentu saja pandemi membuat kami belum bisa memperluas bisnis kami di luar Jakarta, tetapi karena pandemi ini lahir ide untuk membuat layanan dine in your car dan drive thru di Mall sehingga kami tetap bisa memberikan layanan dan inovasi yang baik untuk pelanggan kami,” kata Djunaedy,

Ke depannya atozGO ingin menjadi platform pengantaran yang cepat dengan harga yang lebih terjangkau dan ongkos kirim yang lebih murah dibanding platform lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Cerita DapurGo, Startup Katering Online di Yogyakarta

Transformasi digital di era pandemi seperti sekarang ini adalah sebuah kewajiban. Teknologi, selain bisa memudahkan juga bisa mengangkat daya saing sebuah bisnis. DapurGo adalah salah satu yang membuktikannya.

Bermula sebagai bisnis katering “konvensional” pada tahun 2018, DapurGo mulai menerapkan teknologi digital untuk pemesanannya. Implementasi tersebut membuat DapurGo kini mampu mengirimkan 2500 kotak makan siang dan malam setiap harinya untuk melayani pelanggan di wilayah Yogyakarta.

DapurGo adalah startup yang digagas oleh Pirli Wahyu dan Eka Setyawati. Dengan pendanaan awal yang didapatkan dari beberapa investor mereka mulai melakukan peningkatan pengalaman pengguna dan penetrasi pasar agar bisa mendapatkan lebih banyak pengguna.

“Kami sadar saat ini sudah banyak kompetitor sehingga peta persaingan di Industri ini cukup ketat. Namun yang membedakan kami dengan yang lainnya adalah affordability dan quality. Karena kami mencoba memberikan makanan terbaik dengna harga yang tetap ekonomis kepada kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Kami juga berupaya memberikan customer experience yang baik, dengan memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap kualitas makanan yang disajikan,” terang Eka.

Sejak pertama berdiri hingga sekarang, DapurGo beroperasi di wilayah Provinsi Yogyakarta dengan pelanggan yang datang dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga penghuni indekos. Mereka juga memiliki dapur independen yang berada di daerah Godean, Sleman, dan Yogyakarta.

Digitalisasi untuk mudahkan pengguna

Implementasi teknologi di DapurGo paling terlihat dari sisi kehadiran situs web mereka. Di sana dipaparkan informasi seputar menu, customer service, hingga informasi mengenai promo-promo yang sedang berlaku.

Melayani lebih dari 2000 pengguna DapurGo mengandalkan pilihan menu yang berganti setiap minggunya. Sehingga pelanggan yang mengambil pilihan berlangganan tidak bosan dan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Untuk saat ini, sebagai bisnis katering DapurGo akan berbagi “kue” dengan bisnis makanan lain yang mulai memanfaatkan teknologi dengan mengandalkan layanan pesan antar dari layanan seperti GoFood maupun GrabFood.

DapurGo sendiri memilih menggunakan pengantaran pribadi untuk lebih melakukan efisiensi. Sehingga makanan yang di antar bisa tepat waktu (untuk makan siang dan makan malam) dan kualitas makanan yang diantarkan tetap terjaga.

Sebelumnya, di Yogyakarta untuk pasar katering online atau layanan pesan antar juga ada makandiantar.com. Waktu itu (medio 2014-2015) karena pasar dianggap masih sepi, mereka memutuskan untuk “boyongan” ke Jakarta dengan nama Kulina, dan hingga sekarang masih eksis sebagai salah satu layanan katering online. Selain itu sempat ada nama-nama seperti owl-kitchen (layanan sudah tidak bisa diakses) dan PesanSaja (berubah menjadi layanan COD untuk oleh-oleh).

Pasar makanan dulu dan sekarang tentu berbeda. Budaya yang ditumbuhkan oleh GoFood dan GrabFood tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu faktornya. Masyarakat sekarang jadi lebih percaya dan beberapa nyaman dengan membeli makanan via online. Belum lagi integrasi dengan berbagai macam pilihan pembayaran tentu menjadi salah keunggulan dalam bertransaksi.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini ialah lokasi dapur kami yang berada di lokasi pemukiman serta agak sedikit jauh dari perkotaan, sehingga setiap harinya kami perlu menghitung dan memprediksi waktu tempuh kurir tiba di lokasi pengantaran tepat waktu agar makanan yang disajikan tetap fresh sehingga enak untuk disantap. Selebihnya masih relatif sama seperti halnya perusahaan rintisan lainnya dalam menjalankan bisnisnya,” lanjut Eka.

Kini dengan pengalamannya dan apa yang telah dicapai selama ini DapurGo berencana untuk melakukan penggalangan dana baru untuk bisa mendukung rencana mereka melakukan penambahan dapur baru di titik strategis di Yogyakarta dan ekspansi ke pasar baru seperti Jakarta, Banten, dan sekitarnya.

Supper App News: Still on Gojek vs Grab

Super app has become a hype terminology. Both leading players, Gojek and Grab, are still on the campaign to be the most complete super app. It is a quite tight (direct) competition in all lines. Not only in Indonesia but also in regional area. With a same-level valuation as “decacorn”, the target market set is full of ambition.

This is the latest business scope of both services:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab tends to be superior in terms of coverage area. They started to expand since 2014 – including to Indonesia. Meanwhile, Gojek only started its regional expansion in mid-2018. In terms of the type of service, Indonesian market has the most comprehensive one. The complete service has delivered the term super app as a title.

According to App Annie’s data, the Grab application has been downloaded by 187 million users as of June 2020, while Gojek with 170 million users. The largest user base lies in Indonesia. In terms of Grab, it is around 66%, while Gojek is 90%.

Previously, Gojek has launched a separate application for expansion outside Indonesia. From this month on, they started to unify apps and brands into Gojek – from Vietnam service Go-Viet into Gojek. GET in Thailand will also get changed soon.

The latest report released by China Renaissance investment bank summarizes a number of Gojek and Grab business achievements and strategies. One of them is related to the monthly active user’s data. Gojek’s MAU data currently has reached 36 million users in four countries, while Grab is yet to disclose any data. The research calculates the total addressable market for ride-hailing services this year is to reach $25 billion.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategy towards profitability

The Covid-19 pandemic has clearly had a significant impact on the rid hailing business. In an exclusive interview with DailySocial, the international team confirmed the news. Grab is no different. Regarding business operations efficiency, the two companies had a layoff last June. Grab lay off 5% of its employees, equivalent to 360 people. Meanwhile, Gojek laid off 9% of its total employees, equivalent to 430 people.

Therefore, the super app platform survives, for other business areas still got potential growth despite pandemic. Referring to existing business data, China Renaissance is optimistic that food delivery and e-wallet services are likely to support the super app’s sustainability strategy. A large amount of monetization is possible for these two features.

The first is about food delivery. According to market measurements, this business has the potential to bring in up to $20 billion annually. Assuming each super app is capable to gain 5% of the market, at least they can book $1 billion in revenue each year. Grab once disclosed revenue for the food delivery service. In 2017 they already raised $2 billion and grew to $5 billion in 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Earlier this year, Gojek announced the strategy to make GoFood profitable. Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo revealed that all investors’ encouragement resulted in GoFood’s business model in a direction towards profitability. As time pass by, the GoFood’s achievement benchmarks have grown, from basic transaction numbers to gross transaction values, and now revenue.

As the food business has the potential to generate big cash, various initiatives were launched. One of those is by developing a cloud kitchen to help partners efficiently produce and serve products. Both Grab and Gojek continue to expand cloud kitchens as “shared kitchens” that is accessible by SME partners. There are shops that only serve purchases via GrabFood or GoFood orders.

Digital wallet to be the next source of profit

The super app journey goes through several phases: user acquisition, partner acquisition, and product expansion. The first phase has successfully passed. Millions of driver-partners spread across various cities turned into assets to convince users regarding the reliability and availability of services. The second phase indicates the same results. The pandemic has contributed significantly to the adoption of food and grocery delivery services.

Next, the third phase is being optimized by each player. In Indonesia, GoPay is the payment platform most used by the public, competing with Ovo, which is now being applied by Grab (as well as Tokopedia and several other services). Obviously, its existence has a big impact on the business of each company. The payment system acts as a link between actors in the application ecosystem: consumers, driver-partners, and merchants.

Superapp development phase

This situation creates opportunities for partners and merchants to gain more feasible financial access. Fintech platforms such as digital wallets are considered to be able to bridge the existing gap, including connecting them with various financial products (transfers, loans, investments).

Some intentions are going toward this, including the seriousness of Grab through the GrabFinancial unit. GoPay itself is said to have reached a unicorn valuation.

Next phase: integration

Super app principles such as “must be the most complete” turn Gojek and Grab compete harder to provide various relevant services. Adding a service doesn’t mean you have to develop everything independently. In terms of telemedicine services, Gojek collaborates with Halodoc, while Grab is with Ping An Good Doctor. Also for other services, such as insurtech, lending, and OTA which are integrated with third-party platforms.

It takes some business units to allow the company to connect with related players. The strategy is similar, starting from developing venture units, acceleration programs, to acquisitions.

Such intense competition has so far been considered good for the market formation and often benefits consumers. It was previously rumored that the two super apps would merge, however, it seems just ended up as a rumor.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Super App Terkini: Masih Soal Gojek vs Grab

Super app kini jadi terminologi yang makin akrab didengar. Dua pesohornya, Gojek dan Grab, terus kampanyekan jadi aplikasi yang paling super. Keduanya memang bersaing keras (secara langsung) di hampir semua lini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di cakupan regional. Dengan status valuasi yang sama-sama “decacorn”, tak ayal pangsa pasar yang ditargetkan cukup ambisius.

Berikut ini cakupan bisnis terkini dari kedua layanan:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab memang cenderung lebih unggul terkait luasan cakupan. Mereka mulai ekspansi sudah sejak tahun 2014 – termasuk ke Indonesia. Sementara Gojek sendiri baru memulai ekspansi regional mereka di pertengahan tahun 2018. Ditinjau dari jenis layanan, yang terlengkap memang di pasar Indonesia. Kelengkapan layanan tersebut yang mendorong julukan super app tadi dibubuhkan.

Menurut data App Annie, per Juni 2020 aplikasi Grab sudah diunduh 187 juta pengguna, sementara Gojek 170 juta pengguna. Basis pengguna terbesarnya masih di Indonesia. Untuk Grab di kisaran 66%, sementara Gojek 90%.

Sebelumnya Gojek juga meluncurkan aplikasi terpisah untuk ekspansinya di luar Indonesia. Mulai bulan ini mereka mulai menyatukan aplikasi dan brand menjadi Gojek – sudah dimulai untuk layanan di Vietnam dengan mengubah Go-Viet menjadi Gojek. GET di Thailand juga akan menyusul dalam waktu dekat.

Laporan terbaru yang dirilis investment bank China Renaissance merangkum sejumlah capaian dan strategi bisnis Gojek dan Grab. Salah satunya terkait dengan data monthly active users. Data MAU Gojek saat ini sudah mencapai 36 juta pengguna di empat negara, sementara Grab tidak membeberkan datanya. Riset tersebut juga mengalkulasi total addressable market untuk layanan ride-hailing tahun ini akan mencapai $25 miliar.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategi menuju profitabilitas

Pandemi Covid-19 jelas memberikan dampak signifikan terhadap bisnis rid hailing. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan DailySocial, tim internasional mereka mengonfirmasi hal tersebut. Pun demikian untuk Grab. Untuk efisiensi operasional bisnis, kedua perusahaan sempat melakukan layoff pada bulan Juni lalu. Grab merumahkan 5% pegawainya, setara 360 orang. Sementara Gojek merumahkan 9% dari total pegawainya setara 430 orang.

Meskipun demikian platform super app ini masih terus bertahan, karena area bisnis lainnya cenderung berpotensi terus meningkat, termasuk saat pandemi. Merujuk pada data-data bisnis yang ada, China Renaissance optimis mengatakan bahwa layanan food delivery dan e-wallet berkemungkinan besar menopang strategi keberlanjutan super app. Monetisasi dengan jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada dua fitur tersebut.

Pertama soal food delivery. Menurut pengukuran pasar, bisnis ini berpotensi menghadirkan hingga $20 miliar tiap tahunnya. Dengan asumsi masing-masing super app mampu menguasai 5% dari pasar, minimal mereka bisa membukukan pendapatan $1 miliar tiap tahunnya dari bisnis ini. Grab pernah membeberkan revenue untuk di lini pesan antar makanan. Tahun 2017 mereka sudah membukukan $2 miliar dan bertumbuh menjadi $5 miliar di tahun 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Di awal tahun ini, Gojek pun sudah sesumbar mengenai strategi membawa GoFood ke arah profit. Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value, dan sekarang revenue.

Melihat bisnis makanan yang berpotensi hasilkan banyak cuan, berbagai inisiatif pun digencarkan. Salah satunya dengan pengembangan cloud kitchen untuk membantu para mitra dapat secara efisien memproduksi dan menyuguhkan produk. Baik Grab dan Gojek terus memperluas cloud kitchen sebagai “dapur bersama” yang dapat diakses mitra UKM penjual makanan. Di dalamnya terdapat kedai-kedai yang hanya melayani pembelian via pemesanan di GrabFood atau GoFood.

Dompet digital jadi sumber profit berikutnya

Perjalanan super app dilalui dengan beberapa fase: akuisisi pengguna, akuisisi mitra, dan perluasan produk. Fase pertama telah dilalui dengan sukses. Jutaan mitra pengemudi yang tersebar di berbagai kota menjadi modal meyakinkan pengguna terkait keandalan dan ketersediaan layanan. Fase kedua mencatatkan capaian yang sama. Pandemi turut mendorong secara signifikan adopsi layanan pesan antar makanan dan grocery.

Lantas fase ketiga tengah dimaksimalkan masing-masing pemain. Di Indonesia, GoPay menjadi platform pembayaran yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, bersaing ketat dengan Ovo yang kini diaplikasikan Grab (juga Tokopedia dan beberapa layanan lainnya). Jelas keberadaannya memberikan dampak besar bagi bisnis masing-masing perusahaan. Sistem pembayaran menjadi penghubung antar pelaku di dalam ekosistem aplikasi: konsumen, mitra pengemudi, dan merchant.

Superapp development phase

Kondisi ini sekaligus membuka peluang para mitra dan merchant untuk mendapatkan akses finansial yang lebih layak. Platform fintech seperti dompet digital diyakini dapat menjembatani celah yang ada, termasuk menghubungkan mereka dengan berbagai produk finansial (transfer, pinjaman, investasi).

Beberapa indikasi mengarah ke sana, termasuk keseriusan Grab melalui unit GrabFinancial. GoPay sendiri disebut sudah mencapai valuasi unicorn.

Fase berikutnya: integrasi

Prinsip super app seperti “harus menjadi yang paling lengkap” membuat Gojek dan Grab berlomba-lomba menyuguhkan berbagai layanan yang relevan. Menambahkan layanan tidak berarti harus mengembangkan semuanya sendiri. Untuk layanan telemedicine, Gojek menggandeng Halodoc, sementara Grab bersama Ping An Good Doctor. Pun untuk layanan lain, seperti insurtech, lending, hingga OTA yang terintegrasi dengan platform pihak ketiga.

Dibutuhkan unit-unit bisnis yang memungkinkan perusahaan terhubung dengan pemain terkait. Strateginya pun serupa, mulai dari mengembangkan unit ventura, program akselerasi, hingga akuisisi.

Persaingan ketat seperti ini sejauh ini dianggap bagus untuk pembentukan pasar dan seringkali menguntungkan konsumen. Sempat tersiar bahwa kedua super app ini akan melakukan merger, namun tampaknya masih menjadi wacana.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Wakuliner Perluas Cakupan, Raih Pertumbuhan Positif dari B2B dan B2G

Wakuliner, platform yang memungkinkan penggunanya mudah mendapatkan makanan atau kuliner mengklaim berkembang pesat dalam dua tahun terakhir. Mereka juga mengumumkan ekspansinya ke Surabaya dan menargetkan bisa menjadi profitabe company pada kuartal ketiga tahun ini.

CEO Anthony Gunawan kepada DailySocial menceritakan bahwa mereka saat ini fokus pada bisnis katering dan cloud kitchen. Sejumlah inovasi dan penyesuaian telah dilakukan untuk bisa mengambil potensi dari bisnis terkait yang tengah tumbuh di Indonesia.

“Teknologi dan platform kami sesuaikan agar bisa memberdayakan dapur-dapur katering dan cloud untuk melayani klien B2B dan B2G kami. Perkembangan bisnis sejak akhir tahun 2018 sangatlah pesat. Dari Desember 2018 ke Desember 2019 jumlah pesanan kami meningkat mencapai 40 kali lipat. GMV dan revenue kami meningkat 475% dari Januari 2019 ke Desember 2019. Tahun 2020 dan selama Covid-19 ini kami terus berkembang. Sejak awal tahun sampai sekarang revenue kami meningkat 310%,” kisah Anthony.

Saat ini pihaknya memiliki 13 kategori katering. Total menu di sistem Wakuliner pun menyentuh angka 15 ribu menu.

Menghadapi pandemi, tim Wakuliner juga aktif menyesuaikan diri dengan permintaan. Mereka mengembangkan beberapa produk baru seperti jamu, frozen food, rantangan, ready to heat, dan lainnya.

“Dengan banyaknya pembatasan di tengah pandemi Covid-19 ini kami melakukan banyak penyesuaian dan adaptasi di semua departemen, seperti proses operasional dan supply chain dapur kami, sistem kerja work from home untuk tim, dan seterusnya,” imbuh Anthony.

Layanan katering dan cloud kitchen di Indonesia saat ini diramaikan eberapa nama seperti Kulina, Mealbox, dan juga Gorry Gourmet. Beberapa layanan lainnya juga meluncurkan inovasi layanan katering online dengan spesifik menyajikan katering makanan sehat, seperti hanya Doogether Food, Lemonilo (marketplace katering sehat), hingga FIT Gourmet dari The FIT Company.

Sementara cloud kitchen, adalah konsep yang mulai diterapkan oleh Grab dan Gojek. Di kuartal ke empat tahun lalu keduanya seakan berlomba-lomba membawa konsep cloud kitchen untuk hadir di kota-kota Indonesia.

Ekspasi ke Surabaya

Sejak awal Mei 2020 layanan katering Wakuliner sudah mulai masuk ke wilayah kota Surabaya. Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia pihak Wakuliner mencoba untuk memenuhi kebutuhan makan karyawan perusahaan-perusahaan di Surabaya.

“Surabaya merupakan kota terbesar ke-2 di Indonesia, jadi itu merupakan pilihan mutlak bagi kami. Ada rencana ekspansi ke kota-kota lainnya di tahun 2020 dan 2021, dan juga ke negara-negara ASEAN di akhir tahun 2021 dan 2022,” ujar Anthony menceritakan rencana ekspansi Wakuliner selanjutnya.

Anthony juga menambahkan pada akhir tahun ini mereka akan sepenuhnya berekspansi ke Surabaya (saat ini hanya layanan katering). Karena selain katering Wakuliner juga memiliki layanan marketplace khusus oleh-oleh dan platform pembelian bisnis franchise.

Application Information Will Show Up Here