Pluang Secures 787 Billion Additional Funding, to Further Democratize Investment Access

The wealthtech platform Pluang has raised $55 million funding or equivalent to IDR 787 billion led by Accel, a Silicon Valley based venture capital firm. This is the follow-up round of the latest series B funding in September, Pluang has currently secured a total funding of $110 million throughout 2021.

Other investors involved in this round were Trung Nguyen, Andy Ho, Aleksander Leonard Larsen, and Jeffrey Zirlin (founder of Axie Infinity), Alexa von Tobel (former CEO of Learnvest), Daniela Binatti (CTO of Pismo), Jannick Malling and Leif Abraham. (Co-CEO of Public.com), Raghu Yarlagadda (CEO of FalconX), Sergio Jimenez (CEO of Flink), The Chainsmokers, BRI Ventures, Gold House, along with previous investors, including Square Peg, Go-Ventures, UOB Venture Management, and Openspace Ventures.

Pluang will use the fresh money to continue democratizing investment access to various asset classes for all levels of society. Pluang also plans to expand its business coverage to Southeast Asia. It is in line with the company’s mission to empower and increase financial literacy and inclusion in the region.

“With this additional funding, our team can accelerate momentum and provide the tools, resources, knowledge and insights to enable more people building a long-term wealth. We are excited to have a world class investor like Accel, as well as our new investors, which supports Pluang to grow to the next level,” Pluang’s Co-Founder, Claudia Kolonas said in an official statement.

Democratizing investment access

Was founded in 2019 by Claudia Kolonas and Richard Chua, Pluang started the business by providing access to gold investments. Within 3 years of operation, Pluang has had over 4 million registered users in Indonesia and the number is rapidly growing.

Pluang recorded a 22-fold user growth, making active transactions between January 2020 and November 2021. In addition, they also recorded a 28.5-fold user growth with active balances in the same period.

Pluang’s growth cannot be separated from the product diversification available on its platform. Starting from gold, capital markets, mutual funds, and the recently added, Micro E-mini Nasdaq 100 Index Futures investment asset class. It is a derivative futures product that is traded on the Chicago Merchantile Exchange (CME).

In addition, partnerships with several super apps in the Southeast Asia region have also opened up wider access to investment for the public. Pluang has several partners, incluuding Gojek, DANA, Bukalapak, and Tokopedia. This December, Pluang has officially entered Tokopedia’s ecosystem as an alternative option for gold investment.

Regarding novice investor as a target market, Claudia also mentioned that Indonesia’s investment penetration is still below 1 percent, resulting in a very large opportunity in this sector. Therefore, Pluang, by all means, eager to improve financial literacy and encourage democratization of investment access for all audiences.

“Financial literacy for the young generation is one solution to overcome economic inequality in Indonesia. We are so excited to contribute in reducing this economic gap by providing access to products that used to be out of reach,”  Claudia said in a webinar held by Pluang (1/12).

In the near future, Pluang is to launch the first investment product in Indonesia that allows users to invest in US stocks starting from 0.1 units .

Investment in the wealthtech sector

Global investors have also realized the size and potential of the digital economy market in Southeast Asia. In 2020 alone, the total investment disbursed into startups in Southeast Asia has reached $8.2 billion. The wealthtech sector itself takes part of the total investment.

Claudia also mentioned, “As the largest country in Southeast Asia, we are very proud to see rapid developments in the capital market and digital assets. Currently, more than 10 million people have invested in Indonesia. Hopefully, Indonesia can be an example and an incubator for other countries in Southeast Asia to develop the wealthtech sector in each respective countries.”

Aside from Pluang, several platforms that provide similar services have also succeeded to raise funding throughout 2021. DailySocial.id managed to create a list of those companies :

Platform Stage Funding
Moduit Pra-Seri A (November) 65 miliar Rupiah
Bareksa Seri C (November) Tidak disebutkan
Ajaib Seri B (Oktober) >2,1 triliun Rupiah
Bibit Lanjutan Seri A (Mei) 938 miliar Rupiah
FUNDtastic Seri A (Februari) 108 miliar Rupiah


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Raih Pendanaan Tambahan Senilai 787 Miliar Rupiah, Pluang Dorong Demokratisasi Akses Investasi

Platform wealthtech Pluang berhasil meraih pendanaan senilai $55 juta atau setara 787 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Accel, perusahaan modal ventura global berbasis di Silicon Valley. Sebagai putaran lanjutan dari pendanaan seri B yang sudah diumumkan sebelumnya, Pluang kini telah mengantongi total pendanaan sebesar $110 juta sepanjang 2021.

Beberapa investor lain yang turut terlibat dalam putaran ini adalah Trung Nguyen, Andy Ho, Aleksander Leonard Larsen, dan Jeffrey Zirlin (pendiri Axie Infinity), Alexa von Tobel (mantan CEO Learnvest), Daniela Binatti (CTO Pismo), Jannick Malling dan Leif Abraham (Co-CEO Public.com), Raghu Yarlagadda (CEO FalconX), Sergio Jimenez (CEO Flink), The Chainsmokers, BRI Ventures, Gold House, beserta investor sebelumnya yang terdiri dari Square Peg, Go-Ventures, UOB Venture Management, dan Openspace Ventures.

Pluang akan menggunakan dana segar ini untuk terus mendemokratisasi akses investasi di beragam kelas aset kepada seluruh lapisan masyarakat. Selain memperluas akses investasi di dalam negeri, Pluang juga berencana memanfaatkan dana tersebut untuk memperbesar cakupan bisnisnya ke Asia Tenggara. Ekspansi tersebut sejalan dengan misi perusahaan untuk memberdayakan dan meningkatkan literasi serta inklusi keuangan di kawasan Asia.

“Dengan pendanaan tambahan ini, tim kami bisa mempercepat momentum dan menyediakan alat, sumber daya, pengetahuan, serta wawasan yang diperlukan agar lebih banyak masyarakat mampu menciptakan kekayaan jangka panjang. Kami sangat senang memiliki investor kelas dunia seperti Accel, dan juga para investor baru kami, yang mendukung Pluang untuk bertumbuh ke tingkatan selanjutnya,” ujar Co-Founder Pluang Claudia Kolonas dalam pernyataan resmi.

Demokratisasi akses investasi

Didirikan pada tahun 2019 oleh Claudia Kolonas dan Richard Chua, Pluang memulai bisnis dengan menyediakan akses ke investasi emas. Selama kurang lebih 3 tahun Pluang telah memiliki lebih dari 4 juta pengguna terdaftar di Indonesia dan angkanya terus berkembang pesat.

Pluang berhasil mencetak pertumbuhan pengguna yang aktif melakukan transaksi sebanyak 22 kali lipat antara Januari 2020 hingga November 2021. Di samping itu, mereka juga mencatat pertumbuhan pengguna yang memiliki saldo aktif sebanyak 28,5 kali lipat di periode yang sama.

Pertumbuhan yang dialami Pluang tidak lepas dari ragam diversifikasi produk yang tersedia pada platformnya. Mulai dari emas, pasar modal, reksa dana, serta belum lama ini menambah kelas aset investasi Micro E-mini Nasdaq 100 Index Futures, produk berjangka derivatif yang ditransaksikan pada Chicago Merchantile Exchange (CME).

Selain itu, kemitraan dengan beberapa aplikasi super apps di kawasan Asia Tenggara juga turut membuka akses investasi yang lebih luas ke masyarakat. Beberapa partner Pluang seperti Gojek, DANA, Bukalapak, dan Tokopedia. Mulai Desember ini, Pluang telah resmi hadir di aplikasi Tokopedia sebagai alternatif pilihan berinvestasi emas.

Mengenai segmen pasar yang adalah investor pemula, Claudia mengungkapkan bahwa penetrasi investasi di Indonesia yang masih di bawah 1 persen menunjukkan peluang yang sangat besar di sektor ini. Maka dari itu, Pluang dengan segala cara mencoba meningkatkan literasi finansial serta mendorong demokratisasi akses investasi bagi seluruh khalayak.

“Literasi finansial pada generasi muda menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di Indonesia. Kami berharap bisa berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi ini dengan memberikan akses pada produk yang sebelumnya sulit dijangkau,” ujar Claudia dalam webinar secara virtual yang diadakan Pluang (12/1).

Selain itu, dalam waktu dekat Pluang juga akan meluncurkan produk investasi pertama di Indonesia yang memungkinkan pengguna untuk berinvestasi saham AS mulai dari 0,1 unit saham saja.

Investasi di sektor wealthtech

Para investor global juga telah menyadari besarnya ukuran dan potensi pasar ekonomi digital di Asia Tenggara. Pada tahun 2020 saja, total investasi yang telah disalurkan ke perusahaan rintisan di Asia Tenggara sudah mencapai $8,2 miliar. Sektor wealthtech sendiri mengambil bagian dari total investasi tersebut.

Claudia juga mengungkapkan, “Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kami sangat bangga kami melihat perkembangan pesat di bidang pasar modal dan aset digital. Saat ini sudah lebih dari 10 juta orang sudah berinvestasi di Indonesia. Semoga Indonesia bisa menjadi contoh dan inkubator bagi negara lain di Asia Tenggara untuk mengembangkan sektor wealthtech di negara masing-masing.”

Selain Pluang, beberapa platform yang menyediakan layanan serupa juga berhasil meraih pendanaan di sepanjang tahun 2021. Berikut daftar perusahaan yang berhasil terangkum oleh DailySocial.id:

Platform Tahapan Pendanaan
Moduit Pra-Seri A (November) 65 miliar Rupiah
Bareksa Seri C (November) Tidak disebutkan
Ajaib Seri B (Oktober) >2,1 triliun Rupiah
Bibit Lanjutan Seri A (Mei) 938 miliar Rupiah
FUNDtastic Seri A (Februari) 108 miliar Rupiah

Application Information Will Show Up Here

Xurya Konfirmasi Pendanaan Seri A 308 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures dan Saratoga

Startup energi terbarukan Xurya mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $21,5 juta (sekitar 308 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). Nilai yang dikonfirmasi ini lebih besar dari informasi yang DailySocial.id terima pada Desember 2021 sebesar $14 juta.

Schneider Electric dan New Energy Nexus Indonesia, investor sebelum dari Xurya, turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. New Energy Nexus Indonesia pada tahun lalu telah menyelesaikan investasinya di lima perusahaan energi terbarukan. Sementara, Schneider Electric, melalui Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) melakukan debut investasinya di startup energi terbarukan di Indonesia kepada Xurya.

Xurya akan mengalokasikan dana segarnya tersebut untuk melanjutkan pembangunan PLTS Atap yang telah tumbuh hingga tiga kali lipat sepanjang tahun lalu, pengembangan teknologi, dan sumber daya manusia agar upaya akselerasi transisi energi bersih bisa segera terealisasi.

“Kami mengapresiasi dukungan dan kepercayaan yang diberikan oleh para investor, partner, dan customer untuk membantu kami dalam mempercepat transisi energi baru terbarukan di Indonesia sejak Xurya berdiri tiga tahun lalu,” ujar Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan dalam keterangan resmi, Rabu (12/1).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, “East Ventures percaya pentingnya berinvestasi di perusahaan yang tepat, tidak hanya untuk mengejar profit, tapi juga memberikan dampak sosial dan lingkungan. Sebagai salah satu pelopor VC yang menerapkan pendekatan ESG dalam investasi, kami sangat senang bisa mendukung tim Xurya sejak awal perjalanan mereka dalam menciptakan revolusi energi yang bersih dan berkelanjutan di Indonesia, serta melindungi bumi.”

Presiden Direktur Saratoga Michael Soeryadjaya menambahkan, “Investasi ini merupakan kesempatan yang baik bagi Saratoga untuk memperkuat dukungan di sektor teknologi Energi Baru & Terbarukan (EBT) yang kini menjadi salah satu sumber energi prioritas yang akan dikembangkan oleh pemerintah.”

Menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dapat memberikan solusi bagi tersedianya energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan di Indonesia. Pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS Atap sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, ini membuktikan bahwa kebutuhan terhadap industri teknologi EBT semakin tinggi.

Sebagai salah satu inisiatif yang didukung pemerintah, Saratoga dapat membantu mempercepat upaya pemerintah dalam mencapai target bauran EBT hingga 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

Hingga akhir 2021, Xurya telah mengoperasikan 57 PLTS Atap dan saat ini sedang membangun di 38 lokasi lainnya dari berbagai industri dan bisnis yang semakin beragam, seperti perusahaan manufaktur (makanan dan minuman, consumer goods, pertanian, otomotif, baja, bahan bangunan, tekstil, dll), cold storage, hotel, hingga pusat perbelanjaan yang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan dan Utara, serta Sulawesi Selatan.

Produk Xurya

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Selain jasa pemasangan dan perangkat, perusahaan juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu, Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Eka mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS. “Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan.”

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

eFishery Obtains 1.2 Trillion Rupiah Fresh Funding, to Expand Throughout Asia

Aquatech startup eFishery announced a series C funding of $90 million (over 1.2 trillion Rupiah) led by Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, with the participation of previous investors, including Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, and Wavemaker Partners.

The fresh money is said to be the largest amount for the aquaculture technology startup. The company plans to use the funds to improve platform’s tech and services. In addition, to enhance eFishey’s digital products in order to become the largest digital “cooperative” for fish and shrimp cultivators. eFishery also plans regional expansion, targeting the top 10 aquaculture -friendly countries, including India and China.

SoftBank Investment Advisers’ Director, Anna Lo said, “Indonesia is one of the largest fish production rate in the world and its aquaculture sector plays an important role in producing food for the world’s growing population. eFishery is pioneering technology adoption for local fish and shrimp farmers with a complete end-to-end platform, supporting them to increase productivity across the supply chain from technology, food supply, production, and direct sales.

“We are pleased to partner with eFishery and support them to provide reliable and sustainable fishery food products to Indonesia and other regions,” Lo said in an official statement, (1/11).

Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor added, “With a $20 billion market and a complex and fragmented supply chain, aquatech becomes one of the biggest and most attractive opportunities in Indonesia. That is what makes working with eFishery, as the market leader in this sector, interesting.”

Based in Bandung, eFishery is revolutionizing the traditional fish and shrimp farming industry and providing solutions specifically designed to increase fish and shrimp aquaculture. eFishery offers an integrated end-to-end platform and provides fish and shrimp farmers access to (i) technology, (ii) feed, (iii) financing, and (iv) markets.

eFishery innovation

Was founded in 2013, thousands of smart feeders have been used and more than 30,000 farmers have been served from 24 provinces in Indonesia. Through pandemic peak, eFishery increased the coverage by 10 times since December 2020, and advanced the sales of feed and aquaculture harvests.

eFishery has a series of innovations, including eFarm and eFisheryKu. eFarm is an online platform that provides complete and easy-to-understand information about shrimp farming operations for cultivators, while eFisheryKu is an integrated platform, enabling fish farmers to purchase various aquaculture products, including fish feed, at competitive prices. Farmers can also apply for capital through eFund, which connects fish farmers directly with financial institutions.

eFund’s main feature is Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), a paylater service that provides productive loan to cultivators for aquaculture production needs with a maturity payment system. The whole process is run through the eFisheryKu app. To date, more than 7,000 cultivators have been supported with the total approved loans exceeding 400 billion rupiah.

eFishery’s Co-founder & CEO, Gibran Huzaifah, said that the company focuses on presenting solutions to increase farmer productivity. Through the latest technologies, he and his team streamline fish and shrimp farming businesses, creating the more effective, efficient and sustainable industry. For example, eFishery’s downstream technology, eFeeder, is able to speed up the harvest cycle and increase production capacity by up to 26%.

“We are also connecting cultivators directly with buyers through our downstream technology, eFresh, thereby increasing their marketability. It is resulting in the reduction of operational costs and farmers’ increasing income up to 45 percent,” he said.

Since the latest funding, eFishery has tripled its workforce, with a total of more than 900 people. Although the head office is located in Bandung, more than half of the employees work remotely because of the policy that allows employees to work from anywhere (Work From Anywhere/WFA).

“We will use the funding to aggressively recruit the team, especially talents in engineering and product development. We are targeting 1,000 new employees this year, not only to create an impact in the Indonesian aquaculture industry, but on a larger scale, to conquer the global aquaculture supply.”

Through its technology-based solutions, eFishery modernizes cultivation techniques for better aquaculture harvest. eFishery has ambitions to acquire one million cultivators within the next 3-5 years.

“The most important thing is, we always remember our vision to feed the global community through aquaculture, because aquaculture products held the most efficient and highly nutritious source of animal protein. By 2050, there will be 10 billion people to feed, and we are ready to prepare this sector to be able to feed the world,” Gibran said.

Aquatech startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is forecasted to reach a market growth in 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% within 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are several startups have started targeting similar segments. For example, Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has successfully secured funding from East Ventures, AC Ventures, and SMDV in 2020.

Another startup engaged in a more specific sector is Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, the company managed to secure a seed round from 500 Startups worth of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

KedaiSayur Announces the Latest Funding Worth of 50 Billion Rupiah

KedaiSayur (PT Kedai Sayur Indonesia) announced the latest funding in a bridge round worth of $3.5 million or around 50 billion Rupiah. The investors involved are yet to be disclosed. In the release, KedaiSayur also confirmed its status as a tech-based wholesale company under the Triputra Group.

The bridge round concept is basically investors participating in a startup funding to close the next series. In general, the latest equity count will be delivered after the company met a certain target, according to the agreement and based on the value disbursed by each investor. In addition, there is an agreed deadline regarding the closing of the next series.

Previously, the competitor, Sayurbox, also announced the funding in the bridge round from Metrodata.

The fresh funds is said to be focused on supporting business acceleration and advancing the platform’s technology. This is in line with the target growth — until the end of 2021, KedaiSayur claims to have achieved 24x business growth compared to the previous year through the KedaiMart application.

“With our commitment as a good supply chain management to provide grocery from upstream to downstream, KedaiSayur continues to improve service quality and always offer added value for all partners. It is because customer satisfaction is the key in our business development, therefore, we will continue to make efforts to create operational excellence,” KedaiSayur’s CEO, Adrian Hernanto said.

Adrian also mentioned, in addition to providing convenience to fulfill people’s needs of groceries through applications and dashboards for ordering, KedaiSayur is currently focus on slowly developing the land digitization. “Through monitoring with tech, we can do forecasting and each region will later be able to have sufficient data to increase their business scale, which is supported by the data transparency generated through the digitization process,” he said.

Pivoting due to pandemic

In May 2020, KedaiSayur announced a business pivot to online food delivery service. Previously, the company served B2B consumers such as hotels, restaurants and cafes, and vegetable vendors who wanted to supply food ingredients for selling.

The thing is, the food product market has started to change since the Covid-19 began in early March. Demand from hotels, restaurants and cafes drop by 50%. Previously, the growth of this business could reach more than 20% per month. Meanwhile, at the same time, the demand from vegetable growers and household customers has increased significantly. The company is confident to take pivot decisions based on this.

On the other hand, operational restrictions on the wholesale market and local markets disrupt the distribution pattern of fresh food products in Indonesia. This has an impact not only on consumers who cannot shop at the market, farmers also lose the medium to distribute their harvests.

In February 2021, KedaiSayur released the KedaiMart application to provide daily grocery with the concept of “supermarket in your pocket”. Previously, apart from the application itself, users could also order KedaiSayur products through Tokopedia and Blibli.

Growing market, tighten competition

Since it was founded in 2018, KedaiSayur has closed two funding rounds, with a total of $5.3 million supported by some investors, including East Ventures, SMDV, Triputra Group, and Multi Persada Nusantara. Currently, they have more than 5 thousand partners from vegetable traders, HORECA, and wholesale markets. They also cooperate with 250 farmers who provide product supplies to meet their needs.

According to the IGD report, the size of the wholesale market in Indonesia will reach $169.4 billion in 2022 with a CAGR of 5.2% in the last two years. This position confirms Indonesia as the 13th largest wholesale market in the world, and the second largest in Asia after China. It iis indeed a huge business potential, considering the size of traditional retail businesses.

The pandemic that accelerates digitization is a key opportunity for online store players. It’s clear that throughout the pandemic, startups in this field continue to raise funds to support the business growth.

Period Startup Investasi
November 2021 Astro Seed Funding
September 2021 Dropezy Series A
August 2021 Pasarnow Seed Funding
August 2021 Segari Series A
July 2021 HappyFresh Series D
April 2021 Sayurbox Series B
March 2021 Dropezy Seed Funding
March 2021 Segari Seed Funding
March 2021 Eden Farm Seed Funding
August 2020 Wahyoo (meluncurkan Langganan.co.id) Series A
July 2020 BorongBareng Pre-Series A
March 2020 Chilibeli Series A

Local technology giants has held a series of corporate actions related to strengthening the wholesale online business. Last September 2021, Blibli online marketplace officially acquired a 51% stake in Ranch Market, which operates 48 wholesale retail stores in various cities. Recently, there are also several integration, from the creation of the official Ranch Market channel on the Blibli application. Meanwhile, GoTo also acquired 6.74% of Hypermart retail network owners, which is likely to strengthen GoMart’s business.

New players also keep popping up with different approaches. For example, Japang, which was initiated by the founder and investor of ex-Tanihub, which focuses on providing access to online wholesale services for users outside Java. Until Astro came up with the quick commerce concept.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

KedaiSayur Umumkan Perolehan Dana Segar 50 Miliar Rupiah

KedaiSayur (PT Kedai Sayur Indonesia) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan dalam bridge round senilai $3,5 juta atau sekitar 50 miliar Rupiah. Tidak diumumkan secara spesifik siapa investor yang terlibat. Dalam keterangannya, KedaiSayur turut menegaskan sebagai perusahaan grosir berbasis teknologi di bawah naungan Triputra Grup.

Konsep bridge round  ini pada dasarnya menjadi partisipasi investor dalam sebuah pendanaan startup untuk menyambut penutupan seri selanjutnya. Umumnya pembagian ekuitas baru disampaikan setelah target pendanaan pada seri tertentu terpenuhi, disesuaikan dengan formula yang telah disepakati dan didasarkan pada nilai yang dikucurkan tiap investor. Selain itu, dalam perjanjian ada tenggat batas yang disepakati terkait penutupan seri berikutnya.

Sebelumnya kompetitor mereka, yakni Sayurbox, juga mengumumkan perolehan dana dalam bridge round dari Metrodata.

Dana segar yang didapat KedaiSayur akan difokuskan untuk mendukung percepatan bisnis dan penguatan teknologi yang ada di dalamnya. Hal ini sejalan dengan growth yang tengah diupayakan — hingga akhir 2021 KedaiSayur mengklaim telah meraih pertumbuhan bisnis 24x lipat dibanding tahun sebelumnya melalui aplikasi KedaiMart.

“Dengan komitmen kami sebagai penyedia supply chain management yang baik untuk memenuhi suplai bahan makanan dari hulu ke hilir, KedaiSayur terus meningkatkan kualitas layanan dan senantiasa memberikan nilai tambah untuk semua pihak yang terlibat. Karena kepuasan pelanggan merupakan kunci dalam pengembangan bisnis kami, sehingga kami akan terus melakukan upaya untuk menciptakan operational excellence,” ujar CEO KedaiSayur Adrian Hernanto.

Adrian menambahkan, di samping memberikan kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat melalui aplikasi dan dasbor untuk pemesanan, saat ini fokus KedaiSayur juga dalam pengembangan digitalisasi lahan secara perlahan. “Melalui monitoring menggunakan teknologi, kami bisa melakukan forecasting dan nantinya setiap daerah akan dapat memiliki data yang cukup untuk menaikkan skala bisnis mereka yang didukung oleh adanya transparansi data yang dihasilkan lewat proses digitalisasi tersebut,” ujarnya.

Sempat lakukan pivot akibat pandemi

Di bulan Mei 2020 lalu, KedaiSayur mengumumkan perubahan fokus bisnis menjadi layanan pesan antar makanan online. Sebelumnya perusahaan melayani konsumen B2B seperti hotel, restoran, dan kafe, dan tukang sayur yang ingin memasok kebutuhan bahan makanan untuk berjualan.

Alasannya, pasar produk pangan mulai berubah sejak persebaran Covid-19 merebak pada awal Maret. Permintaan dari hotel, restoran, dan kafe merosot hingga 50%. Padahal sebelumnya pertumbuhan dari bisnis ini lebih dari 20% per bulan. Sementara, di saat yang bersamaan, permintaan dari tukang sayur dan pelanggan rumah tangga meningkat signifikan. Atas dasar inilah perusahaan percaya diri untuk mengambil keputusan pivot bisnis.

Di sisi lain, pembatasan operasional pasar induk dan pasar lokal mengganggu pola distribusi produk pangan segar di Indonesia. Kondisi tersebut berdampak tidak hanya pada konsumen yang tidak bisa belanja ke pasar, petani pun kehilangan medium untuk menyalurkan hasil panennya.

Hingga akhirnya pada Februari 2021, KedaiSayur merilis aplikasi KedaiMart untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan harian dengan konsep “supermarket in your pocket“. Sebelumnya, selain melalui aplikasinya sendiri, pengguna juga bisa memesan produk KedaiSayur melalui Tokopedia dan Blibli.

Pasar bertumbuh, kompetisi makin sengit

Sejak berdiri pada 2018, KedaiSayur sudah dua kali mendapat pendanaan, dengan total $5,3 juta didukung sejumlah investor seperti East Ventures, SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara. Kini mereka telah memiliki lebih dari 5 ribu mitra dari kalangan pedagang sayur, HORECA, dan pasar induk. Mereka turut bekerja sama dengan 250 petani yang memberikan suplai produk untuk memenuhi kebutuhannya.

Menurut laporan IGD, ukuran pasar grocery di Indonesia akan mencapai $169,4 miliar di tahun 2022 ini dengan CAGR mencapai 5,2% dalam dua tahun terakhir. Posisi ini mengukuhkan Indonesia sebagai peringkat ke 13 untuk pasar grocery terbesar di dunia, dan kedua terbesar di Asia setelah Tiongkok. Tentu ini menjadi potensi bisnis yang sangat besar, mengingat mayoritas masih dilayani oleh bisnis ritel tradisional.

Digitalisasi yang diakselerasi oleh pandemi menjadi kesempatan kunci bagi para pemain online grocery. Tak heran jika sepanjang periode pandemi, startup di bidang ini terus melancarkan penggalangan dana untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka.

Periode Startup Investasi
November 2021 Astro Pendanaan Awal
September 2021 Dropezy Seri A
Agustus 2021 Pasarnow Pendanaan Awal
Agustus 2021 Segari Seri A
Juli 2021 HappyFresh Seri D
Apri 2021 Sayurbox Seri B
Maret 2021 Dropezy Pendanaan Awal
Maret 2021 Segari Pendanaan Awal
Maret 2021 Eden Farm Pendanaan Awal
Agustus 2020 Wahyoo (meluncurkan Langganan.co.id) Seri A
Juli 2020 BorongBareng Pra-Seri A
Maret 2020 Chilibeli Seri A

Sejumlah aksi korporasi terkait penguatan bisnis online grocery juga dilakukan oleh raksasa teknologi lokal. September 2021 lalu, online marketplace Blibli resmi mengakuisisi 51% saham Rach Market yang mengoperasikan 48 unit toko ritel grocery di berbagai kota. Baru-baru ini integrasi awal juga mulai dilakukan, dimulai pembuatan kanal resmi Ranch Market di aplikasi Blibli. Sementara GoTo juga mengakuisisi 6,74% saham pemilik jaringan ritel Hypermart, yang berpotensi untuk memperkuat bisnis GoMart.

Pemain baru juga terus bermunculan dengan pendekatan berbeda. Misalnya Japang yang diinisiasi oleh pendiri dan investor ex-Tanihub, yang fokus menyediakan akses ke layanan online grocery untuk pengguna di luar Jawa. Hingga Astro yang hadir dengan konsep quick commerce.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Raih Dana Segar 1,2 Triliun Rupiah, Bersiap Ekspansi ke Seluruh Asia

Startup aquatech eFishery mengumumkan pendanaan seri C senilai $90 juta (lebih dari 1,2 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, dengan partisipasi investor sebelumnya, yaitu Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners.

Dana segar yang diperoleh ini diklaim terbesar di dunia untuk startup di bidang teknologi akuakultur. Perusahaan berencana akan gunakan dana tersebut untuk meningkatkan platform dan layanan. Serta, memperkuat produk digital eFishey agar menjadi “koperasi” digital terbesar bagi pembudidaya ikan dan udang. Tak hanya itu, eFishery berencana ekspansi regional dengan menargetkan 10 negara teratas dalam posisi akuakultur, seperti India dan Tiongkok.

Investment Director SoftBank Investment Advisers Anna Lo mengatakan, Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan terbesar di dunia dan sektor akuakulturnya memegang peranan penting dalam memproduksi pangan bagi populasi dunia yang terus meningkat. eFishery mempelopori adopsi teknologi untuk pembudidaya ikan dan udang lokal dengan platform end-to-end yang lengkap, mendukung mereka untuk meningkatkan produktivitas di seluruh rantai pasok. Mulai dari teknologi, pasokan pangan, produksi budidaya, hingga penjualan produk segar hasil panen.

“Kami senang dapat bermitra dengan eFishery dan mendukung mereka untuk menyediakan produk pangan hasil perikanan yang andal dan berkelanjutan ke Indonesia dan wilayah lainnya,” ucap Lo dalam keterangan resmi, (11/1).

VP Sequoia India Aakash Kapoor menambahkan, “Dengan pasar sebesar $20 miliar serta rantai pasok yang kompleks dan terfragmentasi, akuakultur menjadi salah satu peluang terbesar dan paling menarik di Indonesia. Hal itu yang menjadikan kerja sama dengan eFishery, sebagai pemimpin pasar di sektor ini, menjadi menarik.”

Berbasis di Bandung, eFishery merevolusi industri budidaya ikan dan udang yang tradisional dan menyediakan solusi yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan hasil budidaya ikan dan udang. eFishery menawarkan platform ujung-ke-ujung yang terintegrasi dan memberikan pembudidaya ikan dan udang akses terhadap (i) teknologi, (ii) pakan, (iii) pembiayaan, dan (iv) pasar.

Inovasi eFishery

Sejak didirikan di 2013, ribuan smart feeders telah digunakan dan melayani lebih dari 30.000 pembudidaya dari 24 provinsi di Indonesia. Di puncak pandemi, eFishery meningkatkan jaringannya sepuluh kali lipat sejak Desember 2020, dan memperkuat adopsi layanan penjualan pakan serta ikan hasil budidaya.

Rangkaian inovasi yang eFishery, di antaranya eFarm dan eFisheryKu. eFarm merupakan platform online yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambak udang pembudidaya, sedangkan eFisheryKu merupakan platform terintegrasi, memungkinkan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif. Pembudidaya juga dapat mengajukan permodalan melalui eFund, yang menghubungkan pembudidaya ikan secara langsung dengan institusi keuangan.

Komponen utama dari eFund adalah Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), sebuah layanan yang memberikan pembudidaya ikan modal produktif yang dapat digunakan untuk membeli sarana produksi budidaya dengan sistem pembayaran tempo. Keseluruhan proses dilakukan secara praktis melalui aplikasi eFisheryKu. Hingga saat ini, lebih dari 7.000 pembudidaya telah didukung oleh layanan ini, dengan total pinjaman yang disetujui melebihi 400 miliar rupiah.

Co-founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah menuturkan, perusahaan fokus menghadirkan solusi untuk meningkatkan produktivitas pembudidaya. Melalui pengenalan teknologi yang baru, ia dan tim merampingkan usaha budidaya ikan dan udang, menjadikan industri ini lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sebagai contoh, teknologi eFishery di hilir, eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%.

“Kami juga menghubungkan pembudidaya langsung dengan pembeli melalui teknologi kami di hilir, eFresh, sehingga meningkatkan daya jual mereka. Hasilnya, solusi kami mampu menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%,” ucap dia.

Sejak pendanaan terakhirnya, eFishery telah meningkatkan jumlah karyawannya tiga kali lipat, dengan total karyawan saat ini mencapai lebih dari 900 orang. Meskipun kantor pusat terletak di Bandung, lebih dari separuh karyawan bekerja secara jarak jauh karena kebijakan yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari mana saja (Work From Anywhere/WFA).

“Pendanaan kali ini akan kami gunakan untuk merekrut tim secara agresif, khususnya talenta di bidang engineering dan pengembangan produk. Kami menargetkan untuk merekrut 1.000 karyawan baru tahun ini, tidak hanya untuk menciptakan dampak di industri akuakultur Indonesia, namun untuk skala yang lebih besar, untuk menaklukkan pasokan akuakultur global.”

Melalui solusinya yang berbasis teknologi, eFishery memodernisasi teknik budidaya sehingga hasil budidaya menjadi lebih baik. eFishery berambisi untuk mengakuisisi satu juta pembudidaya dalam waktu 3-5 tahun ke depan.

“Hal terpenting yang selalu kami ingat adalah visi kami, yaitu memberi makan masyarakat global melalui akuakultur, karena akuakultur merupakan sumber protein hewani yang paling efisien dan bernutrisi tinggi. Di tahun 2050, akan ada 10 miliar orang yang harus diberi makan, dan kami siap untuk mempersiapkan sektor ini untuk dapat memberi makan dunia,” pungkas Gibran.

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

Application Information Will Show Up Here

Carsome Closes Series E Funding Worth of 4.1 Trillion Rupiah (UPDATED)

The car marketplace platform, Carsome, announced a $290 million Series E funding round 4.1 trillion Rupiah. This round brough the company’s valuation to approximately $1.7 billion, awarding them as one of the largest automotive e-commerce platforms in Southeast Asia.

The round was led by several investors, including the Qatar Investment Authority (QIA), 65 Equity Partners and the Seatown Private Capital Master Fund. Participating also the Mediatek, Sunway, Gokongwei Group, YTL Group, and Taiwan Mobile. QIA was previously rumored to have led Traveloka‘s latest fundraising.

Carsome plans to use the fresh funds to accelerate investments in people, products, technology, data capabilities, infrastructure and regional expansion of its “Carsome Certified” retail brand across their key markets of Malaysia, Indonesia and Thailand.

Earlier in September 2021, Carsome has announced a $170 million series D2 round. Simultaneously, the company also announced a credit (debt funding) worth $30 million to strengthen the car financing business. Then, the company’s valuation increased to $1.3 billion.

Business in Indonesia

Carsome has been operating in Indonesia since 2017 with a consumer-to-business (C2B) business model. They buy used cars from the community, then auction the vehicles off to dealers in its network. However, its business model has developed into C2B2C, instead of purchasing only, they selling used cars directly to consumers.

The online-to-offline approach combines the capabilities of web-based services with experience center outlets spread across various cities. Carsome Indonesia’s Country Head Delly Nugraha said, “We found big opportunity after expanding our business to the B2C segment. As a very retailed segment, in an effort to expand and improve our business, we will start expanding into strategic areas in the future.”

In mid-2021, Carsome has acquired a majority stake in PT Universal Collection to expand its business in car and motorcycle auction services. This resulting in Delly’s appointment as the President Director of PT Universal Collection. This corporate action allows Carsome to expand its network reach, access to finance and leasing providers, and potentially enter the motorcycle market.

Market competition

Carsome’s main competitor in the regional market is Carro. The company was previously announced a $360 million series C funding in mid-2021 led by SoftBank Vision Fund 2, followed by several investors including East Ventures. With the latest funding, both Carro and Carsome have reached the unicorn status.

The ongoing strategy is identical, with the C2B2C model, Carro has the Carro Automall service for its O2O approach. In Indonesia, Carro has taken series of strategic actions, including the Jualo acquisition in 2020 and becoming a shareholder in Allo Bank in early 2022.

As both players rely on web services to reach its final consumers, here’s the traffic comparison graph of the two services for the Indonesian market:

Traffic comparison between Carsome and Carro in Indonesia / Similar Web

In Indonesia, there are also some other players, OLX Autos (formerly BeliMobilGue) which has now been integrated with OLX’s services. The platform focused more on buying cars from consumers — although some of the products that have been inspected are starting to be sold through OLX and other online marketplace channels.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Carsome Umumkan Penutupan Pendanaan Seri E Senilai 4,1 Triliun Rupiah (UPDATED)

Pengembang platform car marketplace Carsome mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri E mereka senilai $290 juta 4,1 triliun Rupiah. Perolehan ini meningkatkan valuasi perusahaan menjadi sekitar $1,7 miliar, memantapkan mereka menjadi salah satu platform e-commerce otomotif terbesar di Asia Tenggara.

Putaran ini dipimpin sejumlah investor, meliputi Qatar Investment Authority (QIA), 65 Equity Partners, dan Seatown Private Capital Master Fund. Turut terlibat di dalamnya Mediatek, Sunway, Gokongwei Group, YTL Group, dan Taiwan Mobile. QIA sebelumnya juga dirumorkan memimpin putaran pendanaan terakhir yang digalang oleh Traveloka.

Carsome berencana menggunakan dana segar untuk mempercepat investasi pada sumber daya manusia, produk, teknologi, kemampuan data, infrastruktur, dan perluasan regional merek ritelnya “Carsome Certified” di seluruh pasar utama mereka di Malaysia, Indonesia, dan Thailand.

Sebelumnya pada September 2021 lalu Carsome mengumumkan telah mendapatkan pendanaan baru dalam putaran seri D2 senilai  $170 juta. Bersamaan dengan itu, perusahaan juga mengumumkan perolehan kredit (debt funding) senilai $30 juta untuk memperkuat bisnis pembiayaan mobil. Kala itu valuasi perusahaan terdongkrak menjadi $1,3 miliar.

Bisnis di Indonesia

Carsome hadir di Indonesia sejak 2017 dengan model bisnis consumer-to-business (C2B). Mereka membeli mobil bekas dari masyarakat, kemudian melelangnya ke diler-diler yang ada di jaringannya. Namun demikian, kini model bisnis mereka berkembang menjadi C2B2C, tidak hanya membeli, mereka kini turut menjual mobil bekas langsung ke konsumen.

Pendekatan yang dilakukan dengan online-to-offline, memadukan kapabilitas layanan berbasis web dengan gerai experience center yang tersebar di berbagai kota. Country Head Carsome Indonesia Delly Nugraha mengatakan, “Setelah mengembangkan bisnis ke segmen B2C, ternyata kita melihat peluang besar. Ke depannya, karena B2C merupakan segmen yang sangat retail, dalam upaya memperluas dan meningkatkan bisnis, kita akan mulai ekspansi ke daerah strategis.”

Pada pertengahan 2021 lalu, Carsome juga melakukan akuisisi saham mayoritas terhadap PT Universal Collection untuk memperluas bisnis di biang jasa lelang mobil dan motor. Sebagai hasil kesepakatan ini, Delly turut ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Universal Collection. Aksi korporasi ini memungkinkan Carsome untuk memperluas jangkauan jaringan, akses ke penyedia keuangan dan leasing, serta berpotensi memasuki pasar sepeda motor.

Kompetisi pasar

Kompetitor utama Carsome di pasar regional adalah Carro. Terakhir Carro mengumumkan pendanaan C pada pertengahan tahun 2021 senilai $360 juta dipimpin oleh SoftBank Vision Fund 2, diikuti sejumlah investor termasuk East Ventures. Dengan pendanaan terakhirnya, baik Carro ataupun Carsome sudah mencapai tonggak unicorn.

Strategi yang digulirkan pun identik sama, mengusung model C2B2C, Carro juga memiliki layanan Carro Automall untuk melangsungkan pendekatan O2O. Di Indonesia, sejumlah aksi strategis turut dilakukan Carro, termasuk melakukan akuisisi Jualo pada tahun 2020 dan masuk menjadi pemegang saham di Allo Bank pada awal 2022 ini.

Karena kedua pemain tersebut mengandalkan layanan web untuk menjangkau konsumen akhirnya, berikut ini perbandingan trafik situs kedua layanan untuk pasar di Indonesia:

Perbandingan trafik situs Carsome dan Carro di Indonesia / Similar Web

Di Indonesia sebenarnya juga ada pemain lainnya yakni OLX Autos (sebelumnya BeliMobilGue) yang kini sudah terintegrasi dengan layanan milik OLX. Fokus utamanya lebih ke pembelian mobil dari konsumen — kendati saat ini beberapa produk hasil inspeksinya juga mulai dijual melalui OLX dan kanal online marketplace lainnya.

*Update: Kami melakukan revisi atas kesalahan penulisan “Jualo” di artikel, sebelumnya “Jubelio”. Jualo diakuisisi Carro pada tahun 2020: simak beritanya di sini.

POS Startup Olsera Bags 35.8 Billion Rupiah Seed Funding from Kejora-SBI Orbit Fund

The Point-of-sales (POS) platform, Olsera, announced a seed funding today (1/7) worth of $2.5 million or equivalent to 35.8 billion Rupiah from Kejora-SBI Orbit Fund — a joint managed fund between Kejora Capital (Indonesia) and SBI Holdings (Japan).

Using this fresh fund, Olsera will continue to strengthen its technology infrastructure, recruit more talent, and help digitize the MSME business players in more than 200 other cities in Indonesia.

Founded in 2014, Olsera is said to have served more than 10,000 MSMEs in 300 cities in Indonesia to digitize their business. The Olser’s POS solution is not only limited to recording transactions, users are also assisted with ERP features which include inventory management, accounting, marketing, personnel, services, and other functions.

“As fellow entrepreneurs, we understand very well that building and maintaining a business in this current situation is not an easy matter. Since 2015, we ourselves have continued to learn and focus on one thing, how Olsera can help other entrepreneurs to grow bigger by implementing technology to simplify business management,” Olsera’s Co-founder & CEO, Novendy Chen said.

Product variants as value proposition

In terms of developing POS services, Olsera directly competes with many players. Some of those are Moka, Qasir, majoo, Pawoon, Youtap, iSeller, and several others. Therefore, it is important for each player to focus on emphasizing its value proposition.

For Olsera, product innovation is the key to providing added value to its users. In 2020, the company launched the Zenwel service to make it easier for business players in the service sector to manage online reservations. Recently, they introduced the Olsera Store e-commerce enabler to help MSMEs manage online sales.

“During the pandemic, we observe some MSMEs are negatively affected by sales as they’re doing offline businesses. We launched Olsera Store for offline businesses can shift into online, therefore, they can continue run the business,” Olsera’s Co-founder & CTO, Ali Tjin said.

Ali continued, “At the same time, business players in the service sector suffer losses related to the implementation of social distancing. We wanted to help them, in order for Zenwel to grow. Specifically designed for the service business, Zenwel is equipped with calendar scheduling features, online reservations, CRM and loyalty programs to support their customer acquisition and retention.”

Tight competition in POS market

The global POS market size has reached $10.39 billion in 2021, projected to grow 9.5% from 2021 to 2028. This is indeed a very large market. In Indonesia alone, MSME ecosystem channels quite a big potential and becomes an important component in the national economy.

Kemenkop UKM data shows that around 64.2 million MSMEs have contributed to the country’s economy by 61.07 percent or Rp. 8,573.89 trillion. The government has set an ambitious target to bring 30 million MSMEs into the digital economy by 2024. As of September 2021, the Indonesian E-Commerce Association (idEA) recorder around 16.4 million (25%) had entered the digital ecosystem; almost doubled during the pandemic.

This potential encourages innovators to present the most relevant POS services, especially in the MSME segment. In our observation, some POS players have also received support from investors, even two of them have exited through acquisitions and IPOs, below is the list:

Platform Latest Funding Details
Moka AcquiredA  Acquired by Gojek at $130 million
Qasir Series A Undisclosed
Majoo Seed Funding Collecting $8,5 juta in total from two seed round
Pawoon Series A 30% shares acquired by DIVA
Youtap It’s a joint ventures of Salim Group and Youtap Global
iSeller Pre-Series B $8 million
Cashlez IPO The market cap has reached Rp354,92 billion
Olsera Seed Funding $2,5 million

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here