Bonza Dikabarkan Terima Tambahan Investasi dari Future Shape

DailySocial memperoleh kabar, salah satu portofolio East Ventures, startup analisis big data Bonza, mengantongi tambahan investasi sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari Future Shape. Belum ada keterangan resmi yang disampaikan sampai berita ini diturunkan.

Future Shape sendiri adalah VC asal Prancis yang berinvestasi pada insinyur dan ilmuwan yang mengembangkan deep technology. Mereka turut berpartisipasi dalam pendanaan tahap awal Finantier pada bulan lalu, yang juga merupakan portofolio dari East Ventures.

Sebelumnya, East Ventures memimpin putaran pendanaan Bonza bersama Elev8.vc sebesar $2 juta pada Mei 2021. East Ventures juga merupakan investor awal dari startup yang baru dirintis tahun lalu oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas tersebut.

Dalam putaran terakhir yang diumumkan perusahaan, Elsa selaku CEO Bonza menuturkan dana segar yang didapat diharapkan dapat mempercepat visi perusahaan menjadi perusahaan data terdepan di Asia Tenggara. Perusahaan sedang mengembangkan platform untuk mendukung perusahaan agar lebih baik dalam memproses data dan menggunakan solusi AI melalui no-code platform (penggunaannya tidak memerlukan coding).

Proposisi nilai

Pendekatan no-code yang sedang dikembangkan Bonza nantinya memungkinkan tim teknis dan non-teknis untuk membangun dan menerapkan solusi berbasis data dalam skala besar (big data).

Elsa melanjutkan, pembeda dari Bonza adalah platformnya menghilangkan friksi dan hambatan yang dihadapi suatu organisasi saat membuat dan menerapkan solusi berbasis data untuk pertama kalinya. Organisasi dapat mengintegrasikan berbagai sumber data dalam organisasi, kemudian membangun dan menggunakan model machine learning dalam user interface yang responsif.

Ilustrasi cara kerja platform Bonza / Bonza

Pengguna dapat mengotomatisasi integrasi data yang bertele-tele untuk pembuatan laporan, hingga pengurangan waktu implementasi solusi AI dari berbulan-bulan jadi beberapa hari. Contoh penerapannya adalah membantu pemilik layanan fintech membangun mesin mesin fraud detection secara real-time dan alat pemantauan yang dapat digunakan oleh tim fraud operations untuk mendapatkan wawasan dari tempat yang berbeda dan sumber data yang tidak terstruktur sehingga tingkat penipuan berkurang.

Potensi layanan big data

Pangsa pasar layanan big data memiliki kecenderungan untuk bertumbuh dari tahun ke tahun, tak terkecuali di kawasan Asia Pasifik. Di tahun 2020, market size-nya diproyeksi telah mencapai $138,9 miliar dan akan meningkat sampai $229,4 miliar di tahun 2025.

Faktor utama pertumbuhan pasar ini dinilai adanya ketersediaan data [digital] yang melimpah di organisasi. Melalui program transformasi digital yang dicanangkan, pebisnis selalu mencoba menjadi lebih kompetitif dalam meramu strategi. Salah satu pendekatannya dengan mengonversi data-data tersebut menjadi wawasan bermanfaat. Melalui analisis big data, sebuah bisnis juga bisa meningkatkan efisiensi operasional.

Alat-alat big data masa kini memiliki kapabilitas untuk memproses data terstruktur maupun tidak terstruktur dari beragam sumber, seperti log di aplikasi, media sosial, formulir layanan, bahkan dari sumber data pihak ketiga.

Kebanyakan penyedia layanan menyajikan sebuah platform berbasis cloud, berbentuk SaaS yang bisa dilanggan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Kendati para pemain dengan solusi spesifik seperti Bonza terus bermunculan, pemenuhan layanan di pasar global masih didominasi oleh raksasa teknologi seperti Microsoft, Teradata, IBM, Oracle, Google, Cloudera, Salesforce, hingga SAP.

Gambar Header: Depositphotos.com

Ribbit Capital Dikabarkan Pimpin Pendanaan Seri A untuk Pinhome

Startup proptech Pinhome dikabarkan mendapatkan pendanaan seri A senilai $25,5 juta atau setara 369,3 miliar Rupiah. Dari informasi yang kami dapatkan, Ribbit Capital memimpin putaran tersebut. Ini sekaligus menjadi investasi kedua mereka di Indonesia setelah sebelumnya memimpin pendanaan seri A platform investasi Ajaib.

Beberapa investor lain juga turut andil dalam pendanaan Pinhome, di antaranya Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, dan Global Founder Capital selaku unit investasi milik Rocket Internet.

Ketika dihubungi DailySocial, pihak Pinhome enggan memberikan tanggapan terkait pendanaan. Mereka hanya menyampaikan saat ini fokus utamanya meningkatkan jumlah listing dan memperluas kerja sama dengan stakeholder di bidang properti.

Selain itu, mereka juga mengatakan tengah gencar melakukan ekspansi untuk layanan on-demand Pinhome Home Serivice. Saat ini layanan tersebut sudah bisa digunakan di 14 kota termasuk Jabodetabek, Bandung, Malang, Sleman, Sidoarjo, dan Surabaya. Pengguna bisa mengaksesnya melalui fitur  GoService di aplikasi Gojek.

Diferensiasi layanan

Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied sejak tahun lalu, Pinhome hadir dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Dara menjelaskan, “Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Di Indonesia sendiri, layanan proptech cukup berkembang pesat. Beberapa pemain, khususnya dengan fitur listing, mendapati traksi yang cukup mengesankan. Selain itu beberapa model bisnis lain juga mulai hadir di lanskap digital, seperti layanan pembiayaan.

Startup proptech di Indonesia
Startup proptech di Indonesia, data per akhir 2019

 

Sementara di kancah regional, persaingan makin mengerucut di dua grup besar, yakni PropertyGuru (unitnya di Indonesia: Rumah.com dan Rumahdijual.com) dan 99.co (sempat mengakuisisi Urbanindo). 99.co juga menjalin kerja sama strategis dengan REA Group, yang sebelumnya terlebih dulu akuisisi iProperty — termasuk di dalamnya platform Rumah123 di Indonesia.

Namun dengan layanan yang lebih spesifik dan menekankan pada hal-hal kultural, startup lokal seperti Pinhome, Travelio, Mamikos, Rukita, dan sebagainya mencoba memenangkan pasar lokal.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Tutup Putaran Pendanaan Seri B 1,49 Triliun Rupiah

Platform B2B marketplace untuk FMCG, GudangAda kembali mengantongi investasi sebesar $100 juta atau sekitar 1,49 triliun rupiah. Investasi ini merupakan putaran pendanaan seri B yang dipimpin oleh Asia Partners dan Falcon Edge.

Adapun Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures, dan Wavemake Partners kembali berpartisipasi pada pendanaan ini. Menurut GudangAda, investasi ini telah melampaui target awal yang ingin dikumpulkan, yakni sebesar $75 juta. Dengan tambahan pendanaan baru, GudangAda kini telah mengumpulkan total keseluruhan investasi hingga $135 juta.

Co-Founder Falcon Edge Navroz D. Udwadia mengatakan, selama bertahun-tahun berinvestasi di sejumlah kategori marketplace, sosok Stevensang dinilai memiliki kemampuan eksekusi bisnis dalam waktu singkat. Maka itu, ia optimistis GudangAda menjadi marketplace terbesar bagi UMKM Indonesia

“Dengan penelitian dan percakapan yang kami lakukan dengan para prinsipal, grosir, dan pengecer, kami yakin dengan return on investment (ROI) GudangAda dan manfaat yang ditawarkan kepada seluruh ekosistem,” ujarnya.

Memperkuat bisnis di rantai pasokan

Founder dan CEO GudangAda Stevensang mengatakan, perusahaan kini berada di posisi tepat untuk memberdayakan seluruh pemain di ekosistem rantai pasokan Indonesia, mulai dari produsen, distributor, grosir, hingga pengecer. GudangAda mengatakan layanannya telah digunakan hampir setengah juta pengguna di lebih dari 500 kota tier 1 hingga tier 3 dengan model monetisasi komprehensif dan ekosistem lengkap.

“Kami akan memperbesar tim GudangAda dan memperkuat ekosistem layanan kami mulai dari logistik, sistem pembayaran (POS/SaaS), pemasaran, data, hingga layanan keuangan. Kami juga akan memperkuat posisi kami dengan mengembangkan kecerdasan buatan untuk menawarkan layanan personalisasi terbaik kepada para pedagang UKM,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Sementara CFO GudangAda JJ Ang menilai minat besar investor kali ini menjadi bukti keberhasilan GudangAda dalam membangun platform dengan modal efisien dan meraup pertumbuhan. GudangAda menyebut sudah mulai memonetisasi bisnisnya sejak kuartal pertama 2020.

GudangAda mengklaim sebagai salah satu platform B2B marketplace dengan pertumbuhan tercepat dan modal terproduktif di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan catatannya, GudangAda mengantongi Net Merchandise Value (NMV) sebesar $6 miliar dalam waktu kurang dari tiga tahun.

Sementara, nilai investasi terakumulasi kurang dari $35 juta dengan rasio efisiensi permodalan sebesar 170 kali. Kemudian, layanan GudangAda Logistik tercatat naik dua kali lipat setiap dua bulan sejak meluncur pertama kali di pertengahan 2020.

Menerapkan konsep bisnis asset-light dan capital-efficient, GudangAda telah bekerja sama dengan para pemilik bisnis kendaraan dan gudang, termasuk juga di antaranya dengan UMKM member GudangAda. Di luar kerja sama tersebut, GudangAda juga menawarkan sistem layanan manajemen transportasi dan gudang yang dinamis untuk memudahkan mitra mendigitalisasi bisnisnya.

GudangAda menawarkan one-stop solution kepada pelaku UMKM sehingga memudahkan akses berbagai produk secara efisien. Dengan menyasar sektor FMCG, GudangAda telah memperluas kategori produknya ke produk obat-obatan, farmasi, hingga peralatan rumah tangga. Sejak perluasan kategori ini, GudangAda mengalami peningkatan transaksi dari puluhan ribu UMKM.

Saat ini, GudangAda telah bermitra secara resmi dengan lebih dari 65 prinsipal, baik lokal, nasional, dan multinasional. Investasi ini salah satunya digunakan untuk memperluas kerja sama dengan lebih banyak prinsipal.

UMKM sebagai pangsa pasar

Sebagaimana diketahui, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diestimasi mencapai lebih dari 65 juta per 2020. Dengan percepatan akselerasi digital tahun lalu, laporan e-commerce enabler SIRCLO mengungkap bahwa peritel online diperkirakan dapat berkontribusi sebesar 24% di 2022. Dalam laporannya, penjualan di kanal digital dapat dimaksimalkan, terutama oleh brand FMCG yang memasarkan produk sehari-hari.

Layanan marketplace B2B seperti GudangAda memungkinkan para pelaku UMKM tersebut mendapatkan stok produk secara lebih efisien.

Sebenarnya tidak hanya GudangAda yang melakukan hal tersebut. Beberapa pemain lain seperti Ula juga menggarap potensi yang ada. Di samping itu dengan pendekatan berbeda, para raksasa online marketplace menggalakkan strategi O2O untuk memudahkan pedagang kecil mengakses berbagai produk — misalnya yang dilakukan oleh Mitra Bukalapak atau Mitra Tokopedia.

Digitalisasi proses tersebut, untuk jangka panjang, juga memberikan potensi bagi UMKM untuk mendapatkan manfaat lebih banyak, termasuk dalam kaitannya dengan finansial. Salah satu skenario yang mulai digalakkan, data-data transaksi yang dibukukan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu variabel skoring kredit untuk membantu pelaku UMKM mendapatkan akses pembiayaan modal. Sehingga akan mendukung upaya mereka meningkatkan kapabilitas dan ukuran bisnis yang dirintisnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup F&B On-demand Dailybox Kantongi Pendanaan Seri A Dipimpin Vertex Ventures

Dailybox, startup F&B on-demand, mengumumkan perolehan investasi seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA. Putaran ini turut didukung Kinesys Group. Kendati tidak disebutkan di dalam rilis resmi, sumber DailySocial mengatakan dana yang diperoleh mendekati $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah).

Co-Founder dan CEO Dailybox Kelvin Subowo menyampaikan, pihaknya menyambut pendanaan ini dengan sangat antusias. Perusahaan berencana untuk fokus mempercepat ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia dan mengembangkan sistem dapur terpusat (central kitchen) agar dapat terus meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.

“Saat ini Dailybox telah hadir di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Bali. Pada Agustus mendatang, kami berencana untuk membuka gerai pertama kami di Pontianak. [..] Kami berharap Dailybox dapat menjadi brand F&B lokal terbesar yang dapat memperkenalkan makanan nusantara tidak hanya di Indonesia, tapi juga Asia Tenggara bahkan seluruh dunia,” terangnya, Kamis (22/07).

Senior Executive Director of Vertex Ventures SEA Gary Khoeng menambahkan, “Ketika berinvestasi, kami selalu mencari startup yang berpotensi menjadi calon juara regional. Di tengah berbagai ketidakpastian saat ini, kami melihat Dailybox secara konsisten menunjukkan performa yang baik di industri ini.”

Pertumbuhan bisnis dan dampak pandemi

Kelvin menambahkan, pandemi yang sudah terjadi sejak tahun lalu memang telah membawa dampak yang luar biasa di banyak aspek, tak terkecuali industri F&B. Namun, kondisi tersebut tidak menghalangi pertumbuhan bisnis Dailybox. Pada Maret kemarin, gross revenue (pendapatan kotor) perusahaan secara grup tumbuh hingga 700% secara YOY.

Omzet penjualan Dailybox naik 80% berasal dari layanan pesan antar makanan online. Angka ini sejalan dengan fokus utama perusahaan yang fokus pada layanan pesan antar makanan.

Selain itu, kurang dari satu tahun, peningkatan gerai juga tumbuh drastis hingga 300% menjadi ratusan gerai pada semester I 2021. Pencapaian menobatkan Dailybox sebagai F&B brand yang memiliki jaringan cloud kitchen terbanyak di Indonesia. “Kami akan menggandakan jumlah gerai pada akhir tahun ini.”

Startup yang didirikan pada 2018 ini adalah bagian dari The Daily Group (PT Sendok Garpu Internasioal). Dalam grup ini menaungi beberapa brand F&B lainnya seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan minuman segar, Anytime. Dailybox menghadirkan berbagai menu masakan rumahan yang terjangkau dan cocok dengan lidah masyarakat Indonesia.

Perusahaan berkolaborasi dengan chef ternama, seperti Juna Rorimpandey dan Renatta Moeloek, menghadirkan 30 pilihan menu beragam. Dalam menjalankan operasionalnya, Dailybox menerapkan sistem dapur terpusat untuk menjaga kualitas makanannya dan berkolaborasi dengan operator cloud kitchen seperti GrabKitchen, YummyKitchen, dan mitra individu Dailybox, DailyPartner.

Didorong platform food delivery

Hadirnya food startup didorong pertumbuhan pesat bisnis food delivery yang menjadi infrastruktur distribusi mereka — termasuk juga di sisi pembayaran karena layanan food delivery yang menguasai pasar berbentuk super app.

Menurut data yang dihimpun Momentum Works, per tahun 2020 pertumbuhan bisnis pesan-antar makanan di Asia Tenggara mencapai 183%. Peningkatan ini didukung layanan pengantaran instan ala Grab, Gojek, Foodpanda, Deliveroo, dll. Bisnis ini telah membukukan GMV mencapai $11,9 miliar dengan tren yang terus bertumbuh.

Pertumbuhan bisnis food delivery di Asia Tenggara / Momentum Works

Spesifik untuk pasar Indonesia, pada tahun 2020 GMV yang dibukukan layanan pesan antar mencapai $3,7 miliar dengan dominasi layanan GrabFood (53%) dan GoFood (47%).

Aruna Umumkan Pendanaan Seri A 507 Miliar Rupiah

Startup aquatech Aruna mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $35 juta atau setara 507 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Prosus Ventures dan East Ventures dengan partisipasi SIG serta investor sebelumnya seperti AC Ventures, MDI Ventures, Vertex Ventures, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan ini diklaim menjadi seri A terbesar di Indonesia saat ini, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

Sebelumnya tahun 2020 lalu Aruna membukukan tambahan untuk pendanaan awal senilai $5,5 juta dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Selanjutnya dana segar akan difokuskan Aruna untuk meningkatkan ekspansinya di lingkup nasional dan memperkuat infrastruktur rantai pasoknya. Selain itu mereka ingin membuka pasar baru dengan menambah varian komoditas, serta meningkatkan kapabilitas teknologi dan data analisisnya.

“Pendanaan ini akan membantu kami dalam meningkatkan jaringan nelayan dan penambak kami di seluruh Indonesia dalam memenuhi tingginya permintaan global. Aruna bercita-cita untuk menjadi solusi yang nyata dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir,” ujar Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam.

Bersamaan dengan ini, perusahaan juga menunjuk Budiman Goh sebagai President; dan salah satu co-founder mereka Utari Octavianty sebagai Chief Sustainability Officer.

“Aruna akan terus mengombinasikan kapabilitas teknologinya dengan local insights dan juga studi kasus dari pasar global, sembari menjaga ekosistem, memberdayakan masyarakat pesisir dan memenuhi permintaan dari pasar global,” imbuh Utari.

Seperti diketahui, Aruna didirikan sejak tahun 2016. Selain Farid dan Utari, ada juga Indraka Fadhlillah sebagai co-founder. Lewat teknologi mereka ingin mentransformasi rantai pasok perikanan untuk memenuhi pasar global. Diharapkan digitalisasi dapat memperpendek proses dan membuat prosesnya lebih ringkas plus terintegrasi.

Potensi sektor perikanan

Indonesia saat ini menjadi produsen ikan kedua terbesar di dunia dengan ukuran pasar mencapai $30 miliar. Industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan, terdaftar lebih dari 3 juta nelayan.

Berdasarkan data BPS, produksi perikanan di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014 peningkatannya bahkan di atas 20%. Luas kawasan konservasi pun terus meningkat, data terakhir per tahun 2017 ada sekitar 19,14 juta hektar.

Tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, produk ikan juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Sejak tahun 2012, pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menjadi tujuan ekspor yang terus digenjot.

Statistik industri perikanan nasional / Kementerian Kelautan dan Perikanan

Hadirnya Aruna dan startup perikanan lainnya memang menjadi angin segar bagi industri ini. Selain dalam hal produksi dan distribusi, idealnya efisiensi proses bisnis juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang perikanan. Sejauh ini ada beberapa startup perikanan yang terus meningkatkan inovasinya, termasuk eFishery, Jala, hingga Danalaut dengan pendekatan bisnis dan produk yang berbeda-beda.

Hypefast Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri A Senilai 203,5 Miliar Rupiah (UPDATED)

*Pembaruan per 23 July 2021: Pihak Hypefast mengoreksi bahwa perusahaannya mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” alih-alih “Direct to Consumer”. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal distribusi brand produk, yakni melalui e-commerce dan kanal sendiri.

Hypefast dikabarkan telah membukukan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 203,5 miliar Rupiah. Dari data yang kami peroleh, putaran ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures dengan partisipasi Jungle Ventures, Strive, dan Amand Ventures.

Ketika dihubungi, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri memilih tidak memberikan komentar terkait pendanaan ini.

Ia menyampaikan, saat ini perusahaannya sedang fokus untuk menumbuhkan merek yang ada dalam portofolionya. Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 20 brand yang ada dalam jaringannya, mengelola lebih dari 150 tim di seluruh Asia Tenggara. Dengan model bisnis yang dijalankan, Hypefast juga mengaku sudah profitable sejak tahun pertamanya.

Seperti diketahui, Hypefast berinvestasi dan mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi brand global. Selain dukungan kapital, di dalamnya pemilik merek juga mendapatkan banyak dukungan mulai dari pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis.

Brand yang diakuisisi seperti pengembang produk busana, makanan, perawatan tubuh, dan lain sebagainya — yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual secara langsung ke konsumen melalui berbagai kanal, khususnya online marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dll. Dua contoh startupnya adalah Boonles dan NOORE Sport Hijab.

D2C mendapat momentum

Startup D2C atau new economy memang tengah menjadi perhatian di tengah perkembangan digital saat ini.  Di Indonesia juga mulai ada beberapa investor yang mulai menjamah secara serius startup D2C, di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

Di kancah global, khususnya Amerika Serikat, putaran investasi ke startup D2C sudah cukup kencang sejak beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, menurut data CBInsights, secara global performanya menurun di tahun 2020, salah satunya diakibatkan oleh pandemi.

Di Indonesia D2C justru seperti tengah mendapatkan momentum di tengah kehadiran [yang cukup marak] generasi entrepreneur baru. Faktor penting yang menjadi penyokong adalah tingginya minat konsumen dalam berbelanja di platform online marketplace – setiap tahun trennya mengalami pertumbuhan pesat membukukan GMV yang signifikan. Data terbaru dari Google, Temasek, dan Bain&Company per tahun 2020 GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk dari banyak brand. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Raksasa digital di Indonesia juga memiliki perhatian khusus ke startup D2C. Misalnya yang dilakukan decacorn Gojek, mereka memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem layanannya.

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

A Starter Kit to Become Angel Investor

Based on data compiled by DailySocial, there are at least seven deals in Indonesia that have announced to receive funding from angel investors in 2020.

In a recent conversation with DailySocial, Edward Tirtanata once mentioned the landscape of angel investors in Indonesia. He said, the current angel investor ecosystem is not very developed. In fact, quite a few startups seek access to early-stage funding through this route.

Indonesia currently has an angel investment network through ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), however, if you refer to information from a number of startup founders, there is not much access to connect with angel investors. The existence of angel investors in Indonesia is not actually non-existent, it’s just that they tend to avoid exposure.

In addition to access, there is another issue that is quite interesting and gain much attention, the amount of investment value to become an angel investor. Can someone who was not quite rich, be an angel investor? If the answer is yes, what is the ideal value should one has to become an angel investor?

Angel Investor’s definition

In a blog written by journalist and investment observer Chris Muller, there are some tips that can be implemented by anyone who wants to try their luck as an angel investor, even though they may not be rich.

Before we get there, let’s clarify what an angel investor is. Muller defines it as someone who has enough money to invest in an early-stage business or an existing business that is already growing. Similar to investors in general, angel investors crave a return on investment which is usually in the form of equity in the company or revenue sharing.

As citing Entrepreneurs, their motivation to invest is not solely for profit, but based on the desire to help new business. Angel investors can come from various professions, such as doctors, lawyers, suppliers, or business partners. Unlike the VC which stands as an institution to invest other people’s money.

When referring to regulations in the United States (US), anyone can become an angel investor as long as they meet the requirements as an “accredited investor” by the Securities and Exchange Commission (SEC) Stock Exchange Commission, which is to have a net worth of $1 million or more (excluding residence principal) and earns $200,000 per year.

How much capital required?

Back to the first question, is it possible to invest in a small amount of money? How much does it take to become an angel investor? Muller revealed, referring to recommendations from experienced investors, investors allocate up to 10% of the portfolio for angel investment.

This might not answer how much is actually required. The easiest answer that can be given is that it depends on the type and size of the targeted investment. If you copy the references to the television show Shark Tank, you can start with an investment of hundreds of thousands of US dollars.

In fact you could have invested on a smaller scale, says $10,000. However, Muller highlighted that the smaller the investment, the smaller the shares owned (and of course the profits). This amount can also be a factor that affects the involvement of investors in making business decisions.

He gave an example, if the total investment in the portfolio is $100,000, this will fulfill the 10% portion as mentioned earlier. However, if you want to invest in a good startup business, he recommends having at least $50,000 – meaning your overall portfolio can be close to $500,000.

Meanwhile, quoted from Pluang blog, Angel Capital Association data noted that investors with entrepreneurial backgrounds invest an average of $39,000. There are also those who invest an average of $28,000. There is no specific amount, it all depends on the investor and the targeted business.

Collectively, global angel investors set aside up to $24 billion to invest in 64,000 startups each year.

Pros and cons of angel investors

Basically, investing is not just a way to enjoy profits. It’s a risky movement and you could lose probably all of the money – even if the company underperforms or goes bankrupt. Other data from the Angel Capital Association shows that at least 50% of angel investors lost half of their funds.

Moreover, we need to underline that this is an investment, not a loan. One of the reasons why businesses prefer angel investment is because it is not recorded as a loan on their balance sheet. Angel investors buy part of the company. This means that there is another way if the business fails and you lose money than bothering to take action if it is a loan that cannot be repaid.

On the other hand, angel investment can also potentially generate very high returns. Muller gave an example, Peter Thiel’s investment in Facebook has become one of the most popular angel investments. Thiel injected $500,000 into Facebook in 2004 before Mark Zuckerberg’s platform went public. If only Thiel hadn’t sold his 80% stake by now, Thiel’s stake could be worth $10 billion today.

Another plus side is that you can build your company the way you want. Angel investment makes it possible to acquire ownership of the company, which automatically enables you to be involved in making decisions. However, this is all provided that it refers to the size of the investment and the agreement you make with the business owner.

What is also important is investment diversification. Muller said, angel investing gives investors the option to expand their investment portfolio, such as stocks, bonds, and exchange traded funds (ETFs). Investors can become part owners of the company and pocket returns in the form of company profits.

Does angel investment profit?

Still referring to the Pluang blog, a number of angel investors reported returns ten times higher than their initial investment after selling their shares in the company.

Based on a number of studies, only 5-10% of angel investments are recorded for profit. On average, 11% of funded companies generate positive exits. It also has a variety of exit results.

Thus, not all exits are profitable for angel investors. All of this goes back to the research conducted by investors regarding the company and the business category to be funded. First understand the business you want to fund before deciding to invest.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Trustmedis Launches Doctugo App, Preparing for Fundraising

In order to accommodate patients to access services from health facilities integrated with Trustmedis, the Doctugo application was introduced for public. In a general note, Trustmedis is a cloud-based platform aimed to support health facility services such as hospitals and clinics.

Trustmedis’ Founder & CEO, Achmad Zulkarnain revealed to DailySocial, in order to extend the business, Trustmedis also plans to expand strategic partnerships with healthetch platforms and super apps in Indonesia.

“Through Doctugo, we want to expand collaboration with healthtech platforms and other startups in Indonesia. We realize that in order for businesses to grow bigger, the most relevant way is collaboration not competition,” Achmad said.

Regarding finalization process, some leading healthtech platforms and startups will be partnered up with Doctugo. With the number of health facilities by Trustmedis, around 240 hospitals and clinics, partners should be able to benefit each other. They also wanted to provide more options and flexibility for patients from each health facilities.

“Currently, we have around 5 million registered patients from health facilities who have joined Trustmedis. We expect with the Doctugo application this number can be doubled by the end of 2021,” Achmad said.

Although it was recently launched, Achmad claims that the Doctugo application has been downloaded by around 500 people on the Play Store and has established partnerships with 6 hospitals in several regions in Indonesia. It is expected as the download increases to 5 thousand, they will held official launching.

Medical resume access and fundraising plan

In order to ensure all patients are verified, those who intend to use various services on the Doctugo app must download the app at the health facilities they visit. Later, the hospital or clinic partner will recommend the patient to download the Doctugo app. It’s not only for the queue, but it can also provide access to patient’s medical resume through the application.

“We make sure to follow all the rules from our regulator. Later, medical resumes can be viewed directly in the application as well as various other services,” Achmad said.

Thus, Trustmedis is not required to provide educational activities to raise awareness. All processes will be the responsibility of the participating health facilities. Therefore, verifying the data of existing patients, to be able to use all the services available in the application.

In business terms, through the Doctugo application, Trustmedis is expected to be able to easily launch monetization activities to health facilities which in the future have the potential to increase the number of their patients.

“In terms of quantity, we see more health facilities in the form of clinics. However, in terms of value, hospitals are ideal for us due to the large number of patients we have,” Achmad said.

After securing seed funding in early 2020, Trustmedis plans to held another fundraising this year. It is currently in the exploratory process, the fresh funding is targeted to finish in the third quarter this year.

“Even though our business that relied entirely on health facilities declined in the early pandemic, we really expect to accelerate Trustmedis business growth with Telemedical services and currently the Doctugo application, which is increasingly developed thanks to the massive digital adoption among the Indonesian people,” Achmad said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GetCraft Strengthen Its Position as Southeast Asia’s Creative Hub

Recently, SOSV Chinaccelerator global VC officially announced the seed funding with an undisclosed amount to GetCraft marketing platform. According to SOSV representatives, GetCraft is the only investment portfolio from Indonesia in this batch.

Chinaccelerator’s  Partner & Managing Director, Oscar Ramos said that his team saw the potential of local creative economy growing in Indonesia and began to strengthen its position in the Southeast Asian market. “GetCraft was founded in Indonesia but has a strong position as a creative space in the region,” Ramos said.

With additional funding from SOSV Chinaccelerator in December 2020, GetCraft has now recorded four funding rounds. Previously, this Jakarta-based platform has received investment from Convergence Ventures and 500 Startups.

GetCraft was founded in 2014 by Patrick Searle and Anthony Reza. Based on company data, it has posted revenue of more than $8 million in 2020 and has organized creative and marketing products by more than 1,500 brands and agencies.

In 2018, GetCraft launched a marketplace platform that connects creative business people with marketers in marketing activities. This marketplace allows marketers to estimate costs and potential audiences based on their chosen content creator or sponsored content partner. This capability makes it easier for marketers to plan their content marketing campaigns.

Expansion and strenghtening position in Southeast Asia

In separate interview with DailySocial, GetCraft avoids to reveal its plans and strategies in Indonesia as it is focusing on closing a new funding round.

However, GetCraft has the opportunity to expand its business scale. Especially during the Covid-19 pandemic where marketers began to shift marketing campaigns along with changes in consumer behavior. Currently, GetCraft is available in Indonesia, the Philippines, Kuala Lumpur and Singapore. The pandemic could have create opportunities for expansion into other markets.

Based on data from the Focus Economy Outlook 2020, the creative economy contributed IDR 1,100 trillion to Indonesia’s Gross Domestic Product (GDP) throughout 2020. This is strong evidence that this sector can survive during the pandemic.

In addition, the need for digital marketing content, influencers, and native ads is quite high. This is highlighted by the increasing number of active internet and social media users in Indonesia. We Are Social’s data as of January 2021 recorded that mobile and internet users in Indonesia has reached 345.3 million and 202.6 million, respectively.

Meanwhile, the number of active social media users reached 170 million. Some of the social media most accessed by the Indonesian people include YouTube (93.8%), WhatsApp (87.7%), Instagram (86.6%), Facebook (85.5%), and Twitter (63. 6%).

In terms of competition, GetCraft already has a strong position in the regional market as mentioned by Ramos. For the Indonesian market alone, GetCraft seems to be superior to similar platforms whose numbers may not be as many and the services offered are limited to certain categories.

Meanwhile, GetCraft enters through a wider scope of creative marketing content services, not only writing, but also videos, animations, and illustrations. Outside the marketplace, GetCraft has even entered the community segment through its paid services Crafters and MarketingCraft.

Crafters is a premium service that provides a variety of content to improve creator’s skills, such as pitching tips, creating entertainment content, and business monetization. The difference with MarketingCraft, this content is intended to sharpen the skills of marketers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian