Anak Usaha Telkomsel dan GoTo Bentuk Perusahaan Game “Majamojo”

Telkomsel melalui anak usahanya PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) dan GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB) mengumumkan perusahaan patungan PT Games Karya Nusantara (Majamojo). Perusahaan ini khusus menggarap pasar game di Asia Tenggara.

Seperti diketahui juga, Telkomsel merupakan salah satu investor strategis di Gojek. Ini adalah inisiatif ke sekian dari hasil sinergi keduanya. Sebelumnya sejumlah agenda telah dijalankan, misalnya mengintegrasikan Telkomsel MyAds dengan GoBiz, paket Telkomsel khusus mitra pengemudi, dan lain-lain. Terkait game sendiri, juga telah diumumkan kolaborasi Telkomsel Dunia Games dengan platform Gopay.

Majamojo akan berfokus menjadi perusahaan penerbit (publisher) yang membuka peluang kemitraan strategis bersama perusahaan pengembang pihak ketiga. Perusahaan akan mendorong penetrasi dan dominasi dalam industri gaming lokal nasional, khususnya platform mobile.

Menurut laporan Newzoo dan Niko Partners, pertumbuhan mobile game di Asia Tenggara pada 2014-2017 mencapai lebih dari 180%. Angka tersebut diprediksi akan terus tumbuh selama lima tahun ke depan. Shibuya Data Count juga memperkirakan pertumbuhan rata-rata tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR) industri game di Asia Tenggara akan mencapai 8,5% pada periode 2020-2025.

Potensi tersebut membuat kedua perusahaan percaya diri untuk menggarap industri game secara lebih serius. Mereka akan berkolaborasi dengan menyinergikan sumber daya kedua perusahaan, termasuk kapabilitas digital, aset teknologi, dan ekosistem bisnis yang terintegrasi.

Kerja sama ini akan memperkuat eksistensi para pelaku industri gaming lokal, terutama mendorong lahirnya lebih banyak lagi talenta digital anak negeri. Oleh karena itu, kehadiran Majamojo diharapkan akan mendukung akselerasi transformasi digital dan memperluas manfaat ekonomi digital nasional.

CEO Telkomsel Ekosistem Digital Andi Kristianto mengatakan, pihaknya berupaya memaksimalkan keunggulan aset dan kapabilitas Telkomsel untuk mengembangkan Majamojo dalam ekosistem gaming, melengkapi yang selama ini sudah dicakup oleh Dunia Games. “Kami optimistis Majamojo akan memiliki peran strategis dan bisa berkontribusi optimal dalam memajukan industri gaming di Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Andi dalam keterangan resmi, Rabu (23/2).

Kehadiran Majamojo turut memperkuat upaya Telkomsel memperkaya lini bisnis vertikal di bidang digital, setelah PT Kuncie Pintar Nusantara (Kuncie) dan PT Fita Sehat Nusantara (Fita). Pun demikian dari sisi GoTo, melalui Gojek, sebelumnya sudah ada beberapa platform game yang terafiliasi, seperti MPL (diinvestasi Go-Ventures) dan MainGame (diberdayakan untuk GoGames).

Head of GoTo Strategic Partnership Reggy Susanto menambahkan, perusahaan patungan ini memiliki sumber daya yang luar biasa menjadi perusahaan game terbesar di regional. Terlebih itu selama beberapa tahun terakhir, kedua perusahaan sudah menjalin kerja sama yang erat karena ada kesamaan visi dalam menumbuhkan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.

“Kami percaya sinergi ini akan memberikan kemudahan bagi semua orang dalam mengakses produk dan layanan digital dari GoTo dan Telkomsel, dengan tujuan melayani kebutuhan pasar mobile-first di Indonesia yang sedang berkembang,” ucap Reggy.

Dalam struktur kepemilikan Majamojo, TED menjadi pemegang saham mayoritas. Jungwon Hahn dipercaya sebagai Direktur Utama dan M. Dody Darmawan sebagai Direktur Keuangan. Jungwon Hahn sebelumnya pernah bekerja sejumlah perusahaan game, seperti Razer, Wargaming, dan Molten Games.

Direktur Utama Majamojo Jungwon Hahn menjelaskan, “Saya bersemangat untuk memimpin Majamojo yang akan fokus pada penerbitan dan pengembangan bisnis gaming. Misi kami adalah untuk melayani para gamer dengan dedikasi dan menjadi perusahaan gaming yang diperhitungkan di Asia Tenggara. Kami menargetkan Majamojo menjadi kekuatan unggul di Indonesia yang akan memperkuat ekosistem game Indonesia di Asia Tenggara.”

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Soulcops to Develop the “Play-to-Earn” Concept NFT Game

Nowadays, the play-to-earn (P2E) concept NFT game is getting more popular as they have introduced the use of crypto to a completely different sector. Blockchain technology allows players to buy and sell digital assets in the form of games. Soulcops aims to be one of the local startups to work on this segment in Indonesia.

Soulcops is a Jakarta based P2E NFT gaming startup founded last year by eight co-founders. They are Aji Pratomo (CEO), Hasby Ristama (Soulcops IP Creator), Robby Wahyudi (Head of Commercial), Mochtar Sarman (Head of Retail & Merchandising), Chris Lie (Head of Creative), Sunny Gho (Project Manager), Irzan Raditya (Tech Advisor), and Novrizal Pratama (Lead Marketing).

Each Co-founder comes from different backgrounds that support each other, therefore, creating a strong milestone in manifesting Soulcops’ vision and mission. Hasby for example, an active police officer and IP Police maker. Next, there is Sunny Gho who started his career as a colorist at Marvel and DC Comics since 2009 until now. Also, Chris Lie with his work as one of the illustrators and designing comics GI Joe, Spider-Man, Iron Man, and Transformer.

Soulcops embarks the story of the good and bad cops in a universe. The honest police aims to rebel from the domination of the evil police, consisting of criminals and mercenaries, who are creating chaos through a multinational organization called Hexagon Technologies.

“We focused on the universe for police characters. In any part of the world, police force is very underrated, many people despise them. It is only natural, but if we look at the universe in terms of the metaverse context, the concept of bad cop good cop really fits. Moreover, both online and offline, crime still exists today, the police role is necessary,” Novrizal told DailySocial.

The NFT game provides 3,000 digital cards for collectors to purchase before the official Soulcop mobile game is released next year. Collectors can play later with the NFT collections with its own rarety to be used to achieve objectives while playing the game, and upgradeable with other weapons and utilities to create stronger characters. Also, the tokens that can be exchanged for real money as an implementation of P2E.

In the global market, several NFT crypto-money-generating games grant prizes in the form of crypto coins and P2E tokens, including Axie Infinity with AXS tokens, Gods Unchained with ERC tokens (GODS), Alien Worlds with TLM tokens, and The Sandbox with SAND tokens.

“We have released 3,000 digital cards to be sold through OpenSea. The enthusiasm turned out to be good [during the pre-sale], 2,300 NFT had been sold, around 50%-60% were bought by collectors outside Indonesia. We can project Soulcops might be played not only in Indonesia, but also in the global market.”

Through this achievement, he is optimistic that NFT games such as Soulcops can attract gamers from both local and foreign countries. In Indonesia alone, based on Statista, as of October 2021, revenue from the mobile game business is predicted to reach $1.4 million in 2017 and reach $1.96 million in 2025 assuming a CAGR growth of 8.7%. In terms of users, it is predicted to reach 65.6 million in 2025.

Create the whole universe

The Soulcops mobile game application is planned to release an Alpha demo version in the first quarter of 2022, then a Beta version in the second quarter. Currently, digital card minting is hosted through OpenSea. This app is also open to common gamers who are yet to purchase Soulcops NFT.

Novrizal said the company will continue to improve its IP to provide high value for collectors. In the long-term plan, Soulcops plans to produce merchandising, films, animations, comics, and so on from Soulcops characters. “We believe we have a great chance to get the Soulcops universe bigger scoop, to enter the metaverse.”

Regarding education, he said, the right approach will really help grow the ecosystem to be more mature. This will certainly get better, especially with a positive impact on the industry.

The reason, he continued, is that the art world is experiencing a revolution since the rise of NFT. Creators or artists can produce its own works and everyone can appreciated directly without a third intermediary. Also, royalties are transparent as it received directly by creators, as well as when it is sold on the secondary market.

“NFT also legitimizes digital possession, it’s about smart contracts. The NFT image is just a representation, but it contains a smart contract. This concept will change a lot of things. Therefore, we need very proper education, the Soulcops founders are very serious about this,” he said.

In terms of funding, Soulcops is currently bootstrapping. However, management is currently in discussions with investors about the possibility of a seed funding.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Soulcops Garap Game NFT Berkonsep “Play-to-Earn”

Game NFT yang berkonsep play-to-earn (P2E) belakangan semakin dilirik karena telah memperkenalkan penggunaan kripto pada sektor yang benar-benar berbeda. Teknologi blockchain memungkinkan pemain melakukan jual-beli dan memperdagangkan aset digital dalam bentuk gim. Soulcops ingin menjadi salah satu startup lokal yang ingin menggarap segmen tersebut di Indonesia.

Soulcops adalah startup P2E NFT gaming yang didirikan di Jakarta pada tahun lalu oleh delapan orang co-founder. Mereka adalah Aji Pratomo (CEO), Hasby Ristama (Soulcops IP Creator), Robby Wahyudi (Head of Commercial), Mochtar Sarman (Head of Retail & Merchandising), Chris Lie (Head of Creative), Sunny Gho (Project Manager), Irzan Raditya (Tech Advisor), dan Novrizal Pratama (Lead Marketing).

Masing-masing Co-founder ini berasal dari latar belakang yang saling mendukung satu sama lainnya, sehingga membuat tonggak yang kuat dalam mewujudkan visi misi Soulcops. Hasby misalnya, ia adalah polisi aktif dan pembuat IP Polisi. Kemudian Sunny Gho memulai kariernya sebagai colorist di Marvel dan DC Comics sejak 2009 sampai sekarang. Dan Chris Lie dengan kiprahnya sebagai salah satu ilustrator dan mendesain komik GI Joe, Spider-Man, Iron Man, dan Transformer.

Soulcops mengambil cerita dari sisi polisi baik dan jahat dalam suatu universe. Polisi jujur ingin berontak dari dominasi polisi jahat, yang terdiri dari penjahat dan tentara bayaran, yang menciptakan kekacauan melalui sebuah organisasi multinasional bernama Hexagon Technologies.

“Kami fokus pada universe untuk karakter polisi. Di belahan dunia mana pun polisi sangat underrated, banyak yang enggak suka. Ini wajar, tapi kita lihat dari segi universe dengan konteks metaverse, konsep bad cop good cop ini masuk banget. Apalagi di zaman sekarang, baik online maupun offline, kejahatan itu tetap ada, peran polisi dibutuhkan,” terang Novrizal saat dihubungi DailySocial.id.

Terdapat 3 ribu kartu digital dalam game NFT tersebut yang sudah dapat dibeli oleh kolektor sebelum mobile game Soulcop resmi dirilis pada tahun depan. Kolektor nantinya dapat memainkan koleksi NFT mereka karena masing-masing memiliki rarety yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan saat bermain game, serta dapat di-upgrade dengan senjata dan utilitas lain dalam membuat karakter yang lebih kuat. Hal lainnya adalah mendapat token yang dapat ditukar dengan uang nyata sebagai implementasi dari P2E.

Di pasar global, beberapa NFT game penghasil uang kripto memberikan hadiah berupa koin kripto dan token P2E, di antaranya Axie Infinity dengan token AXS, Gods Unchained berupa token ERC (GODS), Alien Worlds dengan token TLM, dan The Sandbox dengan token SAND.

“Kita sudah merilis 3 ribu digital cards yang dijual melalui OpenSea. Ternyata antusiasmenya bagus [saat pre-sale], sudah terjual 2.300 NFT, sekitar 50%-60% dibeli oleh kolektor di luar Indonesia. Kami pun melihat bahwa Soulcops ini berpotensi untuk bisa dimainkan tak hanya di Indonesia, tapi juga di pasar global.”

Dengan pencapaian tersebut, ia optimis game NFT seperti Soulcops mampu menarik perhatian para gamers baik dari lokal maupun mancanegara. Di Indonesia sendiri, mengutip dari Statista per Oktober 2021, revenue dari bisnis mobile game diprediksi mencapai $1,4 juta di tahun dan tembus ke angka $1,96 juta di 2025 dengan asumsi pertumbuhan CAGR sebesar 8,7%. Adapun dari sisi pengguna, diprediksi tembus ke angka 65,6 juta pada 2025.

Bangun universe lebih lengkap

Aplikasi mobile game Soulcops itu sendiri rencananya akan dirilis versi Alpha demo pada kuartal I 2022, kemudian versi Beta pada kuartal kedua. Saat ini, minting kartu digital masih diselenggarakan melalui OpenSea. Aplikasi ini juga terbuka untuk gamer umum yang tidak membeli Soulcops NFT.

Novrizal menuturkan perusahaan akan terus meningkatkan IP-nya agar dapat terus memberikan value yang tinggi para kolektornya. Dalam rencana jangka panjang, Soulcops berencana untuk membuat merchandising, film, animasi, komik, dan lain sebagainya dari karakter-karakter Soulcops. “Kita lihat kita punya chance yang besar untuk meningkatkan universe Soulcops ke scoop yang lebih besar, hingga masuk ke metaverse.”

Terkait strategi edukasi, menurutnya, dengan pendekatan edukasi yang benar, maka akan sangat membantu menumbuhkan ekosistem jadi lebih matang. Hal tersebut tentunya akan semakin baik karena berdampak positif buat industri.

Pasalnya, sambung dia, dunia seni saat ini sedang mengalami revolusi semenjak kehadiran NFT. Yang mana kreator atau seniman dapat membuat karyanya dan secara langsung dapat dinikmati semua orang tanpa perantara ketiga. Pun dari royalti juga begitu transparan karena kreator dapat langsung menerimanya sendiri, begitu pula saat karyanya dijual di pasar sekunder.

“NFT juga melegitimasi digital possesion, ini tentang smart contract. Gambar NFT hanya representasi saja, tapi di dalamnya ada smart contract. Konsep ini akan mengubah banyak hal. Untuk itu perlu edukasi yang sangat proper, para founder Soulcops sangat serius soal ini,” tutup dia.

Untuk status pendanaan Soulcops, saat ini masih bootstrap. Namun manajemen tengah melakukan diskusi dengan investor untuk kemungkinkan putaran pendanaan perdana dapat digelar.

Accenture Report: 84% of Gamers Use Gaming as a Socializing Tool

Gamers are often seen by the public as antisocial, which may be true to a certain degree. However, today, games are not simply used as a means of personal entertainment but also as a medium of communication. Especially in midst of a lockdown due to the COVID-19 pandemic, games have become the bridge that connects friends and people alike around the world.

The Growth of the Gaming Industry

According to Accenture, the gaming industry is estimated to be worth $200 billion. Today, approximately 2.7 billion people in the world play games. China, the United States, and Japan are the three countries with the largest gaming industries. China is estimated to have a population of 929 million gamers, and its gaming industry is valued over $51 billion USD. On the other hand, the US gaming industry is worth around $48 billion USD while housing over 219 million gamers.

In terms of population size, Japan will never come close to China or the United States. However, pound for pound, the game industry in Japan is incredibly massive. Despite its minuscule population, there are around 75 million gamers in Japan. Its gaming industry is also estimated to be worth over $24 billion USD. Apart from China, the US, and Japan, there are 17 other countries with gaming industries valued at over $1 billion USD. UK, Italy, Germany, Canada, South Korea, France, and Spain are some examples.

Gender proportions among gamers. | Source: Accenture

There is a strong belief within the gaming community that the gamer population is dominated by males. This assumption, however, is totally wrong. According to Accenture, 46% of the gamer population are female, 52% are male, and the remaining 2% fall into the non-binary category or people who do not want to mention their gender. Indeed, there are almost as many female gamers as there are male gamers. The rise in the number of females playing games is assumed to be the product of mobile gaming, which makes games far more accessible in general. 

In terms of experience at gaming, Accenture divides its four thousand respondents into two categories: gamers with more than five years of playing experience and gamers who have only played for the past one to four years. Interestingly, newer gamers have different characteristics from the more experienced gamers. In terms of age, new gamers are, of course, generally younger. The average age of less experienced gamers is 32 years old, while the average age of the more experienced gamers is 35 years old. The percentage of new and experienced gamers below the age of 25 is 30% and 25%, respectively. Most of the new gamers, 60% to be exact, are also women. On the other hand, females only populate around 39% of the experienced gamers group.

Industries That Have Benefitted from the Gaming Industry

The rapid growth of the gaming industry has also catalyzed the emergence of other related industries such as esports. Currently, these newborn industries are estimated to have a value of $100 billion USD. Here some examples of these industries and their respective net worth:

  • Esports, $1.3 billion USD
  • Gaming accessories for PC, $12 billion USD
  • PC gaming hardware, $39.3 billion USD
  • Mobile devices, $39.7 billion USD
  • Gaming content creation, $9.3 billion USD
Various industries that have benefited from the development of the gaming industry. | Source: Accenture

The rising popularity of gaming has also undoubtedly impacted mainstream culture. In the film industry, for example, there are a number of films that were based on video games, such as Angry Birds and War of Warcraft. Unfortunately, I must admit that most of these video game adaptation movies have drawn more criticism than praise from its fanbase. In addition to the film industry, gaming also had an impact on the toy and esports industry. Innovations in the gaming industry have also been translated into other fields ranging from education, health, and even the military. For example, education is one of the fastest-growing categories on Roblox.

The concept of gamification is also widely used by people outside gaming. As an illustration, many teachers today implement a point or ranking system in their classes to introduce competitive spirits between students. Games, nowadays, are also used as a place to hang out or socialize instead of just being a tool of personal entertainment. As proof, Travis Scott’s virtual concert at Fortnite was “attended” by 12 million players around the world. Due to the current pandemic lockdown, people also celebrate important moments, such as birthdays and weddings, in video games.

The Social Aspects of Gaming Drives the Growth of Its Industry

One of the driving factors behind the growth of the gaming industry is the development of mobile devices. For one, smartphones are usually much cheaper and accessible than gaming PCs or consoles. Furthermore, a majority of mobile games are free-to-play. Interestingly, however, the emergence of mobile games does not cannibalize the console and PC game market and instead encourages game developers to focus more on the social aspects of gaming. Therefore, don’t be surprised that more and more people today use gaming as a socializing tool.

According to data from Accenture, 84% of gamers say that they use games as a means of socializing with people with similar interests. Many gamers also play to find new friends online. This trend is further reinforced by the current COVID-19 pandemic. 74% of the respondents admitted that the pandemic has pushed them to socialize more through games. Furthermore, as many as 75% of gamers mentioned that a majority of their social interactions occur in games or gaming-related platforms such as Discord.

The importance of social aspects in games. | Source:Accenture

For most gamers, the gaming world plays an important role in their social life. Accenture’s data also shows that gamers spend about 16 hours every week playing games. On average, gamers also spend 8 hours a week watching gaming content and 6 hours on socializing in gaming communities or forums.

Unfortunately, the gaming community is also often known for its bizarre toxicity. Therefore, it is imperative that gamers always try to find suitable friends or communities that can mesh well with their personality. In fact, 84% of the respondents in Accenture’s survey admitted that having the right group of friends is key to an enjoyable online gaming experience. 

Finding a suitable group of friends while playing games is incredibly important. | Source: Accenture

All these data above show that the social aspects of gaming are becoming the main attraction for many gamers today. Thus, creating interesting games from popular franchises will simply no longer cut it. Instead, game developers must always think out of the box to innovate and optimize the social interactions and experiences between the players.

Featured Image: Team17. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Mobile Premier League Menyambut Pertumbuhan dan Potensi Industri Game di Indonesia

Mobile Premier League (MPL), platform esports asal Bangalore, India pada Februari 2021 lalu baru saja mengumumkan putaran pendanaan terbarunya membukukan dana hingga $95 juta. Perolehan ini tidak berselang jauh setelah di September 2020 lalu mereka mendapatkan pendanaan seri C senilai $90 juta — MDI Ventures turut memimpin investasi. Sementara investor lokal lainnya, Go-Ventures juga berpartisipasi.

Dari kabar yang tersiar, kini valuasi perusahaan telah mencapai $945 juta. Modal tambahan masih akan difokuskan untuk memperkuat kehadiran dan ekspansi layanan; juga meningkatkan proposisi nilai dari platform esports yang dimiliki. Sejauh ini bisnis MPL ditopang di dua pasar utama, yakni India (dengan 60 juta pengguna) dan Indonesia (4 juta pengguna), menyuguhkan sekitar 70 permainan online multi-genre.

Untuk mengetahui perkembangan layanan MPL di Indonesia, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Vice President & Country Head Indonesia Mobile Premier League Ridzki Syahputera.

Layanan MPL di Indonesia

Saat ini, melalui situs dan aplikasi MPL, pengguna di Indonesia dapat menikmati dua kategori permainan, yakni casual game dan fantasy sport game. Untuk casual game, jumlahnya sudah ada sekitar 30 jenis – tiap hari dikurasi dan dirotasi untuk memudahkan pengguna. Permainan ini sesinya lebih pendek. Sedangkan di kategori fantasy sports, pengguna diajak melakukan analisis di bidang olahraga tertentu, menargetkan kalangan pecinta olahraga seperti sepak bola, basket, tenis, dll.

“Setiap game yang ada lebih mengedepankan kemampuan pemain ketimbang keberuntungan, sehingga di MPL pengguna benar-benar harus berlatih dan mengasah kemampuannya,” ujar Ridzki.

Sementara terkait kontes, ada beberapa tipe yang dapat diikuti. Mulai dari turnamen, head-to-head battle (satu lawan satu dengan tingkat keahlian yang sama), battle arena (mirip satu lawan satu tapi dengan jangka waktu tertentu, pemenang dihitung dari berapa kali mereka mendapatkan juara dari sesi yang diikuti), dan mega contest (turnamen dengan waktu dan hadiah yang lebih besar).

“Rata-rata MPL menyediakan 1600 kontes per hari. Teknologi kami pada dasarnya bisa untuk memfasilitasi turnamen esports dengan skala besar dengan dukungan 24 jam,” imbuhnya.

Pada dasarnya setiap pemain yang berminat untuk gabung di suatu sesi akan dikenakan biaya. Di dalam sesi tersebut ada hadiah tertentu dari nominal yang dikumpulkan – di beberapa acara juga disediakan hadiah dari sponsor. Pengguna juga dapat menukarkan poin (berlian) yang didapat melalui fitur MPL Mall untuk ditukarkan dengan berbagai voucher yang disediakan.

Model bisnis

Picture223232 (1)

Di samping untuk memastikan siapa saja bisa ikut bermain dan berkompetisi, Ridzki menyampaikan, teknologi MPL juga didesain untuk menjaga agar semua kompetisi berjalan secara adil. Di dalamnya termasuk pencegahan fraud dan potensi kecurangan dari cheater. Mereka melakukan monetisasi dengan dua cara, yakni mengenakan fee ke pengguna untuk platform dan biaya masuk. Kemudian juga bekerja sama dengan mitra bisnis untuk melakukan brand activation.

Saat ini pertumbuhan pengguna MPL secara keseluruhan telah mencapai 85%, pandemi juga mendorong peningkatan basis pengguna. Sejak Maret tahun lalu, ada peningkatan 55% dalam game play dan 7x lipat jumlah pengguna. Tapi pandemi juga menghadirkan banyak tantangan bagi perusahaan.

“Ada dampak positif di beberapa metrik, tapi ada yang terganggu juga di metrik lain. Misalnya akibat purchasing power yang menurun. Banyak pengguna yang tetap bermain untuk alternatif hiburan di masa pandemi, tapi daya beli mereka turun. Maret s/d April 2020 menjadi puncaknya kami merasakan dampak yang cukup signifikan terhadap deposit rate di platform,” jelas Ridzki.

Kemitraan strategis

Go-Ventures mulai berinvestasi ke MPL sejak di putaran awal. Kemitraan strategis tersebut juga membawa Gopay menjadi platform pembayaran pertama yang terintegrasi dengan situs MPL di Indonesia. Selanjutnya, masuknya MDI Ventures juga membawa LinkAja masuk ke jajaran opsi pembayaran melalui e-wallet.

“Selain integrasi, ada aspek penting yang kami rasa sangat bermanfaat dalam kemitraan ini, yakni meningkatkan kredibilitas platform MPL Indonesia,” kata Ridzki.

Selain itu, MPL juga gencar menjalin kerja sama dengan game publisher. Dari Indonesia sudah ada Agate Studio yang meletakkan beberapa permainan besutannya ke platform. Ridzki memandang bahwa hadirnya MPL sebagai “wadah” bisa dimanfaatkan para pengembang untuk membantu memonetisasi karya mereka – setidaknya menjadi additional way di luar penerbitan aplikasi melalui marketstore.

Keberhasilan MPL mendukung Piala Presiden Esports 2020 juga dinilai menjadi benchmark yang baik bagi perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan mitra-mitra strategis lainnya – termasuk brand dan organisasi – guna menyelenggarakan aktivitas dengan skala kota sampai nasional.

Tantangan edukasi pengguna

MPL mengklaim, sebagai rewardable gaming platform pertama di Indonesia, mereka merasa punya tanggung jawab untuk mengedukasi pengguna – membuat mereka tahu tentang adanya platform tersebut, proses bisnis, dan tanggung jawab dalam bermain. Untuk kalangan milenial Ridzki menilai tidak banyak isu dalam upaya edukasi, yang lebih menantang adalah meyakinkan para pengguna yang lebih tua (termasuk orang tua) bahwa game tidak hanya identik dengan sesuatu nonproduktif.

“Dari kondisi tersebut, tahun ini kami masih akan banyak fokus melakukan brand awarenss, industry awarenss sehingga menciptakan ekosistem yang lebih siap. Selain itu dengan investasi yang didapat, kami juga akan mengoptimalkan potensi fantasy sport di Indonesia,” tambah Ridzki.

Mengutip laporan Newzoo tahun 2020, India memiliki mobile gaming revenue sebesar $1,8 miliar dengan populasi penduduk kurang lebih 1,38 miliar jiwa. Sedangkan, Indonesia dengan populasi penduduk sekitar 273 juta jiwa memiliki mobile gaming revenue sebesar 1,2 miliar. Sehingga bisa disimpulkan adanya minat dan antusiasme yang tinggi di industri gaming Indonesia, potensinya masih bisa terus digali.

“Untuk pendapatan industri gaming, sekarang Indonesia nomor satu di Asia Tenggara dan nomor 8 di dunia. Kurang lebih 64% dari total populasi aktif dalam online gaming,” jelas Ridzki.

Ia pun cukup optimis dengan ekosistem di Indonesia. Dibuktikan dengan makin banyaknya stakeholder yang bermain mulai dari publisher, tim esport, manajemen talenta esports, pengelola turnamen, sampai influencer – masing-masing berpartisipasi dalam unit economy di industri tersebut.

“Dan yang tak kalah penting adalah elemen kompetitif itu sendiri. Game sama seperti sepak bola, karena ada kompetisinya jadi lebih populer. Orang jadi punya idola terhadap pemain tertentu, berambisi bisa seperti idolanya, dan bahkan mau berinvestasi ke sana – baik berpartisipasi dalam kompetisi sampai menonton konten esports. Di sisi lain pemerintah seperti Kantor Staf Presiden, Kemenpora, PBSI Esports Indonesia sangat suportif terhadap industri ini,” pungkasnya.

The Washington Post and Bloomberg Show Interest in Exploring the Gaming Industry

In western countries, niche gaming media, such as Kotaku, IGN, PC Gamer usually dominate the news coverage of this industry. Those media also provide in-depth articles on everything related to the gaming industry. Non-endemic media are typically less inclined to do so.

However, it’s changed lately. More media from outside the field are getting interested in exploring further. It could be because of the gaming industry will reach US$159.3 billion this year (2020).

Some of the big non-endemic media that already announced their investment in the gaming industry are The Washington Post, Bloomberg, and Wired. Those publications want to give the gaming industry the same treatment they’ve shown on Hollywood and Silicon Valley. Their plan is to investigate this industry further, about its business and culture, to gain interest from gamers and non-gamers.

Last month (August 2020), Wired Games was announced. It’s not the first time Wired tries to appeal to the gaming market. However, Editor-in-Chief, Nicholas Thompson admitted that gaming topic hasn’t been the focus since he returned to Wired in 2017. “I don’t know why they stopped it. There’d be an occasional story but not much. It was something that I thought, ‘Well given the importance of it to our culture, our society, it would be great to do more.'” Said Thompson, cited from CNN. Meanwhile, Bloomberg has been covering gaming companies’ finances for a while, but now they want to explore deeper. They launched an entertainment vertical called Screentime which includes gaming topic in April 2020.

The Washington Post also started their new vertical named Launcher last October. “For how much money it generates, it doesn’t get nearly enough attention. The audience is here for gaming. The value of these stories, the value of having more heavyweight outlets in the mix is going to be great. There’s a lot more stories out there that need attention. We’re a team of six. We can’t get to everything.” Editor of Launcher, Mike Hume said.

Feat image via Depositphotos

Why Are There Fewer Original Concepts in Gaming Industry?

It seems there are more unoriginal games nowadays (whether it’s in the form of sequels, remakes, remastered, etc.) For console gamers (or even PC gamers), you should know there is a remake of a legendary game, Final Fantasy VII (FFVII). A while ago, two remastered games were being released close to each other, Mafia II and Saints Row the 3rd.

We don’t even talk about Skyrim or GTA V yet. Those two games have been reproduced many times to the newer platforms. Skyrim even has 3 versions on PC, SkyrimSkyrim Special Edition, and Skyrim VR.

The similar reproduction phenomenon isn’t just happening in the gaming industry but also in other contents such as songs or movies/TV series.

This is getting worse if we are talking about mobile games because there are so many of them add familiar characters into new games — legally or illegally.

So, the big question, why is this happening and getting more frequent in our time?

There are 5 answers from different perspectives that I found. So, without further ado, these are the answers.

 

1. Low Cost and Low-Risk Effort of Business

The first answer could be the simplest to understand by everyone. Every business has a risk because it needs investments but it doesn’t always work.

Via: Alex Ioana at Medium
Via: Alex Ioana at Medium

By reproducing the same idea, the cost of doing business is automatically cheaper since there is no need to create the product from zero. Remastered version, for example, doesn’t need script writers, character designers, game designers, voice actors, or music composers. The developer just needs to improve the textures or add some new graphic features in the remastered version.

Remake definitely needs more resources (people, money, and time). Just as FFVII getting remade, the developer has to build the game from the ground. However, it still has one crucial factor that makes it lower risk, which is the audience (market).

FFVII is one of the legendary games from the first PlayStation. Even if you haven’t played, you should have heard of it. That’s why the developer and publisher don’t need to worry about creating a new market because it already exists.

Borderlands 3. Credits: 2K
Borderlands 3. Credits: 2K

Creating a new market isn’t easy. Gearbox, for example, made Battleborn a couple of years ago. Unfortunately, their effort to introduce new franchise doesn’t work. It means the result is not worth the time, effort, and investments to bring Battleborn to life.

Gearbox has been more successful with Borderlands 3 (which is a sequel) because it already has audiences since BL2 or even BL1.

I think it’s also the case with why so many mobile games offer little value in its authenticity (even though the concept of originality could be up for debate, which will be discussed later). From my experience observing the mobile gaming industry, indeed most (if not all) of mobile games are inspired by (if not copying) the others. It could be in the form of gameplay, characters, or other aspects.

Before we move to the second answer, which will take the user’s perspective, I want to say that remake, remastered, sequel/prequel, spin-off, or any other form that’s not truly original isn’t always negative.

I returned to Skyrim when Bethesda released its Special Edition (which is free for the owner of the base game and all of its DLC). I am also really impressed with Square Enix’s effort in FFVII Remake.

Even though derivative games mean lower cost and lower risk, we can’t judge it too quickly before we experience its implementation. On the other hands, every original thing isn’t automatically a good thing.

 

2. Nostalgia, Narcissism, dan Familiarity

Every product could stay in the market because it has its own market. This is also the case with the remake, remastered, spin-off, sequel, etc. We love those kinds of products.

There are 3 reasons that I found, from the user’s perspective, on why we love them.

The first and most apparent reason is nostalgia. Who doesn’t like feeling nostalgic? I still remember the feeling when I played Suikoden 2 or Legend of Dragoon on PSX and hope there will remake of them on PC in the future.

Legend of Dragoon. Credits: Sony
Legend of Dragoon. Credits: Sony

When we are listening to vintage songs, watching classic movies, or playing old-school games, our minds remember the sweet memories when we were a child or teenager.

Besides nostalgia, classic products could also be used to satisfy our narcissistic needs. Every person is a narcissist, though at different levels.  This is why social media is viral nowadays because, one of the reasons, we like to advertise ourselves in front of our friends and the virtual worlds.

Games, songs, films could be a tool to advertise our taste. If you don’t believe me, you could post, “write 5 of your favourite songs during high school…” I think there will be many people to show their taste to you.  This is happening with FFVII because we could show off to the people that this game is a part of our younger life.

Last but not least, one reason that makes us love classics is the familiarity principle/mere-exposure effect. With the hype of MCU in the big screens (which is also the results of familiarity with the comics), more people become familiar with characters in the Marvel universe. This is utilized (or exploited) very well into games on many platforms.  Some people could use intertextuality theory, instead of familiarity.

This familiarity also works in our life. When joining a new company, there is a certain comfort to know we already knew someone there. When driving, we also prefer to go through a familiar route.

Those are the 3 factors that make us, as users, susceptible to remake, remastered, sequel, etc.

 

3. Technological Advancements

One more factor comes from another different perspective. The third perspective comes from the fast technological advancements these years.

In 2011, Ray Kurzweil even said, “so we won’t experience 100 years of progress in the 21st century — it will be more like 20,000 years of progress (at today’s rate).”

We don’t play classic games anymore because, one of them, is the bad graphic. This is happening because the advancement in graphic technologies is swift. Lets compared two games from Rockstar, GTA V and RDR 2. RDR 2 (2018) was released in just 5 years after GTA V (2013). However, if you compare the visual between them, RDR 2 is so much better.

Credits: Rockstar
Credits: Rockstar Games

Before this era, for example, during Super Nintendo (SNES) age, graphic technology development was so much slower. SNES was released first time in 1990 and stopped in 2003. So, its lifetime reached 13 years. PlayStation 4 was released in 2013 but we will see the release of PlayStation 5 soon enough, even though it’s still 7 years later.

This graphic technology development becomes so much faster when we see it through mobile and PC gaming.

On the other side, your standard of technology depends on your experience. For example, if you haven’t used a monitor with 120Hz refresh rate or higher, you won’t feel the need to use it. It’s also the case when you usually use headsets, keyboard, and mouse under $10. Big chance, you don’t need peripherals above $100.

A similar thing also happens in regards to game graphics. If you usually play on PC with the best graphic setting plus ReShade or ENB, you can’t stand to see console’s or even mobile’s graphics. PC Master Race FTW!

GTA V. Credits: Rockstar Games
GTA V. Credits: Rockstar Games

Furthermore, technology also makes it easier for the reproduction processes. This is why Skyrim is easier to reproduce, compared to Morrowind or Oblivion. Another example? It’s faster to recreate songs in the digital era, compared to when it’s on vinyl.

When the process is easier or faster, it will lower the cost to recreate the products.

 

4. The industry is about Reproduction

If the previous 3 answers are easier to understand, the last two remaining answers could be more difficult.

Theodor Adorno and Max Horkheimer coined a theory called culture industry. This theory says that films, music, and other contents could not be categorized as arts anymore, but products of enterprises. You could search and read it yourself since it will be too long to explain it here.

Theory from Adorno and Horkheimer could be seen as irrelevant with what I want to explain here. However, I mention it because it’s a fascinating topic to learn for people who wants to work in the creative industry.

Since contents (including games) could not be seen as art anymore, it makes sense if the products are replicated to maximize profit.

I’m sure there isn’t an outcry when a lamp is reproduced a million times every day. The designs of mice, keyboards, headsets, or smartphones are also similar among different models.

We don’t (mostly) protest about those things above. Why do we complain about similar contents? All of them are just products of industries.

Despite some people (including me) will still believe that games, music, or films are work of art, the primary purpose of those contents is to generate revenues.

 

5. Originality is overrated

The last answer could be seen as debatable because I will scrutinize the concept of originality.

Mark Twain said, “the kernel, the soul, let us go further and say the substance, the bulk, the actual and valuable material of all human utterances is plagiarism.”

He believed that there is no such thing as an original idea since every subject in this world must have been written and examined. The concept of a heroic story, for example, was already found when Beowulf was written a thousand year ago. Heart-broken or love songs? Indeed, we can find them in every generation.

We live in a time when civilization is already 6000 years old. It’s too arrogant or naive if you believe your idea is the first in history. Even the invention of computers came from so many different people’s vision. Every innovation in our history is the result of collaboration (effort and idea) from us as a society.

With the civilization getting older, there will be more unoriginal products in the form of a remake, remaster, sequel, or anything.

I know the fifth answers could be reaching too far from the specific question in the title. Nevertheless, it’s interesting to realize that the concept of originality isn’t as simple as you thought.

However, please don’t use this theory to justify shamelessly copying or plagiarizing other products just for the sake of taking a shortcut into profit.

 

Final Words

Those are the 5 answers that I can found that maybe could explain why so many remakes, remastered, sequels, in the gaming industry or even other creative endeavours.

From the business, market, and technology perspectives, reproduction makes sense to maximize profits. On the other side, from the culture industry and the concept of originality, it’s inevitable.

The original article is in Indonesian, translated by Yabes Elia

Sektor Digital yang Berpotensi Kian Perkasa Setelah Pandemi Berakhir

Hari-hari yang berat menggelayuti ekonomi dan bisnis selama masa pandemi. Situasi saat ini diperkirakan bakal memperburuk ekonomi dunia dan memperparah tingkat pengangguran. International Monetary Fund atau IMF memproyeksi dampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini akan jauh lebih buruk dari resesi global 2008 silam.

Namun resesi tak melulu hanya diisi oleh kabar buruk. Sejarah mencatat selalu ada bisnis, yang tak hanya sekadar bertahan dari krisis, yang justru performanya meningkat drastis. Selain karena kebutuhan di sektor tertentu yang meningkat, keputusan dan strategi yang tepat menjadi alasan mereka dapat mencuat sebagai jawara di bidangnya.

Airbnb dan Uber bisa jadi contoh yang tepat. Keduanya berdiri ketika badai resesi global yang berpusat di Amerika Serikat sedang berembus kencang. Airbnb yang berdiri Agustus 2008 kini bernilai US$35 miliar. Uber berdiri pada Maret 2009 sejak IPO sekarang bernilai US$82,4 miliar. Sebagai tambahan, ada juga Pinterest yang muncul pada Desember 2009 telah mengantongi valuasi hingga US$10,6 miliar.

Pola tersebut sejatinya tak hanya terjadi pada startup saja. Korporasi besar yang kita kenal saat ini pun tak sedikit yang lahir dari periode paceklik. Amazon dan eBay adalah sedikit dari contoh yang ada. Berpegang pada pola tersebut pola tersebut, maka tak akan mengherankan setelah pandemi ini berakhir akan bermunculan beberapa jenis layanan dan penyedianya tampil sebagai pemenang.

Healthtech

Tak bisa dipungkiri situasi pandemi saat ini berhasil mengetuk kesadaran banyak orang untuk lebih peka terhadap kondisi kesehatannya. Harga jahe yang kini menembus harga Rp100.000, naik hingga lima kali lipat dari harga normal, adalah bukti paling dekat bagaimana masyarakat kian memperhatikan kesehatan mereka.

Begitu pula yang terjadi dengan healthtech. Layanan telemedicine misalnya kian diminati publik. Mereka yang khawatir akan kemungkinan tertular Covid-19 dan sungkan meninggalkan tempat tinggal bisa dengan mudah mengakses chatbot yang disediakan platform healthtech, seperti dari Alodokter, Halodoc, dan Prixa.

Dikutip dari Katadata, Halodoc dikabarkan transaksi untuk suplemen kesehatan dan produk seperti masker naik hingga dua kali lipat. Begitu pula Alodokter yang menyebut traffic platform mereka tembus dua juta kunjungan. Ini menandakan publik bakal terbiasa dengan produk-produk yang ditawarkan oleh platform ini.

Tanda-tanda melejitnya bisnis layanan kesehatan juga terbaca di lantai bursa. Zacks Equity Research di situs Nasdaq meyakini saham-saham layanan kesehatan di Amerika Serikat bakal melampaui perkiraan pendapatan kuartal pertama mereka.

Video conference

Jika harus menarik pelajaran terpenting dari masa isolasi seperti sekarang, jawaban yang paling relevan untuk para pekerja kerah putih adalah rapat virtual tidak sesulit itu. Platform video conference sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, tapi baru kali ini rapat virtual diterima sebagai sesuatu yang lazim.

Skype mungkin aplikasi video conference yang paling awal diketahui publik. Tapi selama masa swakarantina tak akan ada yang bisa menyangkal Zoom menjadi pilihan utama banyak orang. Saking populernya, Zoom tak jarang digunakan sebagai sarana pergaulan.

Transparency Market Research menghitung pasar video conference akan tumbuh rata-rata 8,4% dari kurun 2020-2027. Nilai pasar ini secara global sudah mencapai US$6,1 miliar atau sekitar Rp94 triliun pada tahun lalu. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan di atas, maka pasar video conference berkisar US$11,56 miliar atau Rp178 triliun.

Zoom punya peluang besar mendominasi pasar itu. Namun pengamanan data pengguna yang buruk sangat mungkin menjegal Zoom sebagai pemain nomor satu di pasar. Ini artinya peta kompetisi masih terbuka lebar dan opsi lain di luar Google Meet, Microsoft Teams, hingga Cisco Webex, termasuk pemain lokal seperti Telkomsel CloudX.

Gaming

Kegiatan pengisi waktu luang favorit banyak orang. Seiring terbatasnya kegiatan yang bisa dilakukan selama swakarantina, game console dan esports adalah wahana pelarian yang sempurna.

Memang dalam beberapa aspek, ekosistem game tak sepenuhnya membawa kabar baik. Pembatalan dan penundaan turnamen esport adalah contohnya. Namun di luar itu, industri game tumbuh subur.

Kita bisa mulai dari jumlah pemain yang meningkat drastis. Counter Strike Global Offensive misalnya mencatat rekor jumlah pemain yang bermain dalam waktu bersamaan lebih dari 1 juta orang. Di platform yang lain, Animal Crossing jadi fenomena baru. Permainan buatan Nintendo ini menjelma sebagai game paling dibicarakan sejagat dengan rekor penjualan di berbagai negara.

Sementara itu streaming game tak kalah kencang melaju selama musim wabah ini. Twitch sebagai platform streaming game menjadi tolok ukurnya. Twitch berhasil membukukan lebih dari 3 miliar jam tayang selama kuartal pertama. Rekor demi rekor pun dicetak oleh platform streaming lain, seperti YouTube Gaming Live dan Facebook.

Agritech

Selain tenaga kesehatan, tidak ada pekerja yang lebih esensial selama pandemi dibanding mereka. Aktivitas boleh berkurang, tapi perut tak akan bisa kosong. Adu efisien dan kecepatan menjadi penting bagi para pemain agritech di situasi seperti sekarang.

Di Indonesia, pelaku agritech sedang subur-suburnya. Pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran Covid-19 memperkuat posisi agritech di dalam mata rantai distribusi pangan. Pasalnya kegiatan belanja bahan pangan kini mau tak mau harus dilakukan dari rumah.

Ini pun memengaruhi distribusi akhir produk pertanian. Jika sebelumnya, konsumen harus datang ke pasar, pasar swalayan, atau ritel modern, maka sistem pesan dan antar jadi tren terbaru. Seperti diketahui bersama sistem ini sangat tak lazim sebelum wabah Covid-19 melanda karena selama ini kita hanya memesan makanan jadi. Namun periode musibah saat ini justru memperlihatkan bahwa distribusi akhir bahan pangan bisa dilakukan ke depan pintu rumah.

Potensi Berkarier di Industri Game

Belakangan industri game menjadi the rising star di Indonesia karena keberadaan e-sport yang mendorong anak muda untuk terjun sebagai atlet. Berbagai game bermunculan dengan mulai dari kesulitan tinggi hingga casual, bahkan sempat menjadi bahan debat saat Pilpres 2019.

Apabila menarik waktu sampai 10 tahun ke belakang, bisa dikatakan tren ini belum ada sama sekali. Berkarier secara profesional di industri game bisa dianggap mustahil dan tidak bisa dilakukan. Angan-angan tersebut akhirnya dihempas oleh Steve Jobs saat merilis iPhone di 2007 dan cerita orang yang mendapat penghasilan sehari $60 ribu seharinya setelah menjual aplikasi buatannya di App Store.

Setidaknya, cerita inilah yang melatarbelakangi Anton Soeharyo untuk memulai kariernya bangun perusahaan game.

Di #SelasaStartup kali ini mengundang Anton CEO dari PlayGame untuk berbagi bagaimana peluang industri game saat ini, kiat-kita mulai karier di perusahaan game, dan pekerjaan apa yang paling dicari. Berikut rangkumannya:

1. Tren global industri game sangat menjanjikan

Menurut Newzoo, pendapatan industri game pada tahun ini diprediksi mencapai $118 miliar dengan pertumbuhan minimal 6,5 kali lipat sepanjang lima tahun mendatang. Kenaikan fantastis ini akan dipicu oleh banyak hal. Di antaranya pendapatan terfokus online, pengembangan besar-besaran di AR dan VR, fokus ke game mobile, cloud gaming, dan meningkatnya acara esports.

Di riset itu juga menyebutkan, pada tahun lalu Tiongkok mengambil alih posisi dari Amerika Serikat sebagai negara terbesar untuk game video dengan pendapatan $27,4 miliar. Lalu, negara dengan jumlah pemegang smartphone terbanyak menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat di seluruh dunia.

“Saya lihat tren game itu harus liat ke Tiongkok karena market-nya besar dan teknologinya datang dari sana. Sementara Indonesia itu mundur dari mereka sekitar delapan tahun ke belakang. Tapi itu jadi peluang untuk berkaca sehingga dapat percepat ketertinggalan,” kata Anton.

Melihat perkembangan teknologi game, yang paling teranyar adalah cloud game yang terpacu prospek 5G. Segmen game ini memberikan prospek yang begitu cerah, bahwa semua game yang terhubung dengan perangkat dapat tersambung asal ada jaringan internet.

“Berikutnya adalah VR, memang masih niche. Tapi sekarang jadi game changer. Jadi kalau mau mulai karier di gaming bisa masuk ke VR, enggak banyak yang melakukan tapi ini hot, beda sekali dengan esports.”

2. Tren industri game di Indonesia

Masih dikutip dari sumber yang sama, industri game di Indonesia berada di posisi ke-16 di seluruh dunia dengan jumlah pemain 43,7 juta. Potensi penghasilannya mencapai $880 juta (Rp11,9 triliun). Besarnya potensi ini, membuat Bekraf memiliki program kerja sendiri untuk bidang gaming.

“Menariknya dari setengah smartphone gamer di Indonesia ini willing to pay. Beda dengan sterotip yang menganggap bahwa gamer itu lebih suka yang bersifat gratis. Itu salah, orang banyak yang mau bayar karena sekarang sudah banyak opsinya, sementara itu dulu hanya ada kartu kredit.”

Stereotipe ini, sambungnya, juga terjadi di Tiongkok sekitar 10 tahun yang lalu. Banyak yang menganggap orang sana lebih suka beli bajakan daripada yang versi asli. Namun ketika akses pembayaran dipermudah, banyak orang yang akhirnya migrasi dan membeli yang asli.

3. Karier di industri game

Membuat game itu bukan hal yang mudah, perlu banyak keahlian di berbagai bidang, tidak hanya jago desain dan buat coding-nya. Selain punya programmer dan UI/UX, menurut Anton, idealnya suatu perusahaan game itu punya 2D & 3D artist, game tester, game producer, composer, game journalist, quality assurance. Juga bagian umum dan marketing, seperti business development, marketing, finance, admin, dan human capital.

Tapi yang paling susah itu cari game tester karena mereka harus cari kesalahan. Mereka harus cari lokasi yang biasanya enggak dicari orang pada umumnya. Lalu harus memberikan laporan dan bagaimana perbaikannya dalam bentuk step agar bisa dibaca oleh programmer.

“Game tester ini pekerjaan paling stres menurut saya karena orang biasanya main game untuk lepas penat, justru dapat stres lewat bermain game.”

Begitu pula untuk cari composer yang tepat. Mereka harus bisa membuat musik yang jarang didengar, mudah diingat, namun tidak mengganggu pemain. Itulah bagian tersusahnya.

Tak lupa untuk terus mengembangkan bisnis perusahaan, tidak hanya fokus buat game saja. Sebab apabila game tidak laku di jual, justru tidak bisa buat game yang lain karena kehabisan dana. Makanya perlu rekrut orang business development dan analis untuk memastikan gamer tetap memainkan game dari awal diunduh sampai seterusnya.

“Analis itu buat menganalisa kebiasaan gamer lalu memberikan sejumlah reward kepada mereka agar tetap setia main game kita. Makanya bekerja di perusahaan game itu tidak harus melulu dari latar belakang IT saja, bisa juga dari ekonomi,” pungkasnya.

Telkom Rilis Brand “Oolean”, Seriusi Pengembangan Ekosistem Game Lokal

Telkom merilis brand Oolean dalam rangka mengembangkan industri game lokal agar dapat bersaing di negeri sendiri, sekaligus bentuk manuver perseroan agar terus melaju di industri digital. Inisiasi ini diumumkan saat ajang konferensi tahunan Telkom Digisummit 2019 yang digelar kemarin, (11/4).

EVP Digital & Next Business Telkom Joddy Hernady mengatakan, keputusan ini diambil dengan melihat kondisi rendahnya penetrasi pangsa industri game lokal di Indonesia. Menurut data yang dikutip, pangsa pasar perusahaan game lokal hanya 19%, sementara pengembang game lokal 0,4% saja. Sisanya dikuasai pemain asing.

Padahal, berbicara potensi, Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan pasar game tertinggi di Asia Tenggara, yang mencapai 37,3%. Angka ini mengalahkan Thailand 30,9%, Vietnam 29,2%, dan Malaysia 27%. Ditambah pula, lifetime revenue-nya lebih tinggi dari film dan musik.

Sebagai contoh, grup bank Peterpan (kini Noah) disebut memiliki revenue US$10 juta, sedangkan film Warkop Reborn US$17 juta. Sementara game Mobile Legend menembus angka US$120 juta.

“Pengembang game kita tidak akan bisa bersaing dan pangsa pasarnya lambat laun pasti terus turun. Kami memutuskan untuk berinvestasi di sini, dibantu Agate dan Melon,” terang Joddy.

Oolean diambil dari kata “ulin” yang berasal dari Bahasa Sunda yang artinya main.

Jumlah investasi untuk industri game lokal sangat minim yang berdampak pada kurang tumbuhnya perusahaan lokal. Kekurangan talenta pun turut memperparah kondisi. Berangkat dari isu tersebut membuat perseroan berinvestasi cukup besar untuk menghidupi ekosistem game lokal.

Mengawali kemitraan dengan perusahaan pengembang game asal Bandung, Agate, dan anak usahanya di bidang konten Melon, Telkom memulai debutnya. Meski tidak menyebut nominal pasti, Joddy menuturkan perseroan telah mengalokasikan biaya investasi untuk tiga sampai lima tahun ke depan untuk tahap awal ini.

Selain mengusung konsentrasi di industri game, Telkom juga mengumumkan inovasi teranyar untuk aplikasi video streaming Oona TV. Kini Oona TV tersedia ke dalam platform Max Stream dan Oona Indihome untuk menyasar pengguna Android TV.

Platform Oolean

Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial
Blueprint rencana Telkom lewat Oolean / DailySocial

Oolean menjadi platform one-stop-gaming-ecosystem, mulai dari menciptakan, mempublikasi judul-judul game, manajemen, hingga payment.

Joddy menjelaskan, Oolean sebagai user platform management, memiliki fitur user management system (user ID, password, single-sign on, social), gaming hub (news, cross promotion), analytics, dan game back end services (leaderboard, quest system, dan event management).

“Tentunya kehadiran platform ini untuk meningkatkan UX agar industri game bisa tumbuh. Ada banyak fitur di platform, dan siap ditambah. Ada open API dalam platform yang bisa langsung dipakai developer agar semakin mudah dalam menciptakan game.”

Sementara ini Oolean belum memiliki situs sendiri. Joddy mengatakan situs Oolean akan tersedia pada akhir tahun ini, setelah banyak judul game yang sudah diproduksi.

“Oolean ini inisiatif game yang membuat beberapa proyek. Lagipula, Oolean juga dijadikan brand untuk publishing karena ini bisnisnya B2B, jadi tidak langsung ke end user.”

Game yang berhasil dibuat para pengembang akan dipublikasi di GameQoo. Pada tahap awal ada 15 judul game lokal yang dapat dimainkan oleh konsumen dan 35 judul lainnya dari luar negeri.

GameQoo (dibaca: game-ku) adalah on-demand gaming platform yang merupakan rebranding dari nama sebelumnya, Emago. Emago lahir dari program inkubator Digital Amoeba yang digagas Telkom.

Dengan konsep cloud gaming, GameQoo membawa pengalaman bermain game tanpa konsol, bisa bermain di laptop atau layar televisi dengan kualitas full HD 60fps. Sepintas GameQoo mirip dengan konsep yang ditawarkan Google lewat Stadia.

Joddy tidak menampik fakta tersebut. GameQoo disebut memiliki kelebihan, karena bisa dimainkan konsol manapun. Tidak seperti Stadia yang butuh spesifikasi khusus.

“Untuk saat ini, tujuannya GameQoo buat main di rumah karena terhubung dari fixed broadband modem Indihome, sehingga ada kebutuhan orang ingin main game dengan nyaman. Ada kebutuhan latensinya harus rendah dan sebagainya, itu bisa kami sediakan.”

Untuk sementara, GameQoo dirilis secara terbatas untuk kalangan internal Telkom. Joddy memastikan pada akhir bulan ini sudah tersedia untuk publik.

Skema berlangganan bulanan yang diterapkan sebesar Rp50 ribu bagi pengguna Indihome. Jumlah game yang tersedia bakal terus ditambah, setidaknya tiga judul setiap bulannya.

Proyek game dengan Agate

Telkom juga tidak ingin luput dari pangsa pasar game yang belum terjamah dengan maksimal ini. Perseroan membuat sejumlah proyek untuk menggarap proyek judul game dari berbagai kategori, mulai dari hyper casual, casual, mid core, sampai hard core.

Game kasual yang sudah dirilis rata-rata mengandung unsur kearifan lokal, di antaranya Onet Asli, Botol Ngegas, dan Teka Teki Santai. Ketiganya sudah bisa diunduh lewat Google Play.

Kategori mid core game dijalani lewat proyek khusus bernama ATMA. Proyek ini masih sedang dikembangkan, mengambil tema pahlawan, mitos, legenda indonesia yang digabungkan dengan budaya kontemporer.

Hard core game pun juga sedang dalam proses pembuatan lewat proyek bernama Brightlands. Proyek ini dikerjakan oleh talenta lokal yang pernah bekerja di perusahaan pengembang game kelas dunia, seperti Bandai Namco, Ubisoft, Supercell, dan lainnya.

Game tersebut akan berbentuk konsol dan menjadi produk flagship karena bakal dipasarkan untuk pasar Amerika Serikat dan Eropa. Proses pengembangannya pun akan memakan waktu lama sampai tiga tahun, sekarang ini baru masuk bulan keenam.

“Kita cukup percaya diri untuk game konsol ini, prototipe-nya sudah di-showcase saat Game Developers Conference di Amerika sebulan lalu. Responsnya cukup bagus dan ada partner yang tertarik untuk kerja sama. Sekalian juga validasi pasar. Kami menawarkan visual yang sangat menarik dari alam-alam Indonesia dengan kualitas game internasional.”

Buat inkubator Indigo Game

Tidak berhenti di situ, Telkom berupaya meningkatkan kapabilitas talenta digital khusus game dengan meluncurkan program inkubator Indigo khusus game. Sebelumnya Indigo pernah membuat program untuk startup pengembang game, namun belum bisa berkembang dengan baik karena ketiadaan ekosistem.

Kali ini Telkom mempersiapkan Indigo Game dengan mentor, kurikulum khusus, dan pendanaan dengan nominal yang sama dengan program Indigo seperti biasa. Program juga akan berlangsung selama enam sampai sembilan bulan tiap batch-nya. Program ini akan dibuka pada Juni 2019, menyasar sekitar 10-15 startup untuk dilatih di Bandung Digital Valley.

“Diharapkan lulusan dari Indigo ini bisa ikut menyumbangkan game hyper/kasual yang bisa dipublikasi di GameQoo untuk perbanyak konten. Jadi strateginya ada game unggulan dan game kasual yang bertugas untuk menarik orang datang. Nah dari Indigo itu akan buat game untuk tarik orang.”

Joddy menjelaskan hubungan antara Telkom dan Agate yang kuat pada awal kemitraan ini, membuka kemungkinan untuk perseroan berinvestasi ke perusahaan asal Bandung tersebut. Namun untuk saat ini keduanya berusaha untuk memosisikan diri dengan kapabilitas masing-masing dan menggabungkannya.

Kemitraan dengan Agate ini tidak bersifat eksklusif. Artinya perseroan terbuka untuk bermitra dengan perusahaan pengembang game lainnya. Joddy menyebut perseroan masih fokus pada pengembangan ekosistem game yang perlu dibantu banyak pihak.

“Kebetulan ini baru mulai. Jadinya kita pilih dengan mitra yang skala bisnisnya sudah besar makanya kita mulai bersama Agate terlebih dahulu,” pungkasnya.