Indigo Creative Nation Umumkan 13 Startup Terbaik di Batch Kedua 2016

Program inkubator dan akselerator Indigo Creative Nation yang diprakarsai oleh Telkom kembali mengumumkan 13 startup terpilih dari 300 pendaftar program Indigo Batch II 2016 di Jakarta Digital Valley. Penunjukan startup terbaik ini didasarkan pada tiga kriteria penilaian, yakni market validation, product validation dan customer validation.

Beberapa startup yang masuk ke dalam 13 besar tersebut termasuk Synchro, Chatkoo, Angon, Tessy, Koolva, Habibi Garden, Meetchange, Growpal, Simbah, dan Hooki Arisan. Startup-startup tersebut mengusung berbagai produk yang cukup menarik, contohnya Syncro mengembangkan aplikasi distribusi data. Ada juga Chatkoo yang mencoba mengintegrasikan layanan chatting populer dengan sistem pesanan pelanggan. Di bidang pertanian ada Angon yang menghubungkan antara investor dengan peternak, dan sebagainya.

“Program inkubasi akan berlangsung sekitar enam bulan menggunakan pendekatan metode Lean Startup dan Agile Development. Jadi, kami akan bina mereka agar makin meningkat dari tahapan dasar customer validation menuju product validation, business model validation dan akhirnya market validation,” ujar Arief Musta’in selaku EGM Divisi Digital Service PT Telkom  di sela-sela pengumuman.

Selanjutnya para startup terpilih akan dibimbing oleh tiga jenis mentor, yakni Resident Mentor (mentor inti), Visiting Mentor (mentor tamu), dan Silicon Valley Mentor (mentor langsung dari Silicon Valley). Ini adalah pencapaian yang cukup menggembirakan, setelah berjalan selama selama tujuh tahun sejak 2009. Terdata sebanyak 2056 startup yang pernah mendaftar program tersebut

Sebelumnya pada Batch I di bulan Februari 2016 lalu, program Indigo juga telah merilis daftar startup terbaiknya. Empat di antaranya baru-baru ini baru saja mengumumkan pendanaan, meliputi Trax Center, Minutes Barber, Kartoo, dan Sonar.

Beberapa peserta inkubator lain sudah masuk pasar dan makin eksis melayani pengguna, baik oleh masyarakat luas maupun oleh Telkom Group yang memiliki puluhan anak perusahaan. Dicontohkan startup platform perdagangan elektronik, Jarvis Store, yang kini digunakan Divisi Business Service PT Telkom. Xigent, pembuat tombol panik, diserap oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil dalam Bandung Command Center-nya, dan beberapa lainnya.

“Seluruh startup akan mendapatkan dana inkubasi dalam dua tahap yaitu pendanaan awal dan lanjutan. Dan kami tidak akan halangi startup dapat pendanaan dari investor pihak ketiga selama inkubasi selama terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Indigo,” ujar Managing Director Indigo Creative Nation, Ery Punta.

Nicko Widjaja, CEO MDI Ventures (perusahaan venture capital Telkom), menyatakan bahwa pelaksanaan program inkubasi dan akselerasi startup Indigo seluruhnya dilaksanakan oleh MDI Ventures.

Pasca Perolehan Seed Funding, Minutes Barber Siap Lakukan Transformasi Bisnis

Pengembang aplikasi mobile pengelola booking tukang pangkas rambut Minutes baru-baru ini mendapatkan pendanaan. Tepatnya pendanaan diperoleh dari Prasetia Dwidharma, perusahaan investasi yang dimiliki Presiden Komisaris PT Astra Internasional Budi Setiadharma. Beberapa angel investor turut bergabung dalam seed funding kali ini. Perolehan ini didapat lantaran Minutes menjadi 3 terbaik dalam inkubator startup Indigo Creative Nation.

Menurut pemaparan CEO Minutes Angki Rinaldy, pendanaan ini akan difokuskan untuk pengembangan fitur tambahan guna memperlancar proses bisnis bersama rekanan. Selain itu perekrutan anggota tim juga akan menjadi fokus Minutes beberapa waktu ke depan. Saat ini Minutes memang sedang memfokuskan di satu layanan yakni pangkas rambut, dengan penambahan modal pihaknya kini berencana melakukan ekspansi vertikal ke kategori lain, seperti salon, spa, brow house dan sejenisnya.

Minutes menjadi platform aplikasi yang lebih luas

Layaknya Go-Jek yang memiliki berbagai layanan di dalamnya, Minutes pun tampaknya mengarah ke sana. Beberapa waktu ke depan pihaknya akan segera meluncurkan Minutes 2.0. Di dalam aplikasi ini nantinya akan ada beberapa kategori personal services business yang dapat dipilih. Dari kategori vertikal yang direncanakan saat ini yang akan ditambahkan yakni Minutes Barber, Minutes Salon, Minutes Spa dan lain-lain.

“Dengan launching aplikasi 2.0 ini sekaligus kami akan melakukan re-branding dari Minutes Barber menjadi Minutes,” ujar Angki.

Sebelumnya bersama Minutes Barber, pihaknya menyediakan layanan terpadu yang memudahkan pengguna dalam mendapatkan jadwal booking di tempat pangkas rambut. Beberapa fitur seperti Online Booking, Quick Book, dan Smart Notification dibubuhkan untuk menghubungkan antara rekanan pemangkas rambut dengan pengguna aplikasi.

Optimis dengan perkembangan startup di Indonesia

Saat ini layanan on-demand dan e-commerce terus mencoba untuk mentransformasikan berbagai unsur dalam keseharian. Beragam jenis startup unik seperti Minutes Barber pun turut menjamur. Kendati demikian, Angki mewakili timnya optimis dengan potensi yang masih bisa terus digerus oleh inovator digital untuk merangkul pasar digital di Indonesia.

“Dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan banyaknya masyarakat yang terjun ke bisnis kecil dan menengah menghadirkan banyak gap yang bisa dimanfaatkan oleh para tech-startup di Indonesia,” ujar Angki.

Menurut Angki ketika startup sudah memiliki visi yang benar terkait dengan produk dan model bisnis yang disuguhkan, maka peluang itu nyata adanya. Secara lebih mendetail ia mengatakan, bahwa yang menjadi DNA sebuah layanan startup adalah bagaimana ia mampu menyelesaikan permasalahan umum di masyarakat secara lebih efektif dan efisien.

“Startup dapat memiliki peluang berhasil lebih besar jika produk yang dikembangkannya benar-benar menyelesaikan masalah yang nyata dan mereka bisa cukup jeli untuk mengeksploitasi gap yang ada dan menghadirkan layanan yang belum pernah ada atau terpikirkan sebelumnya,” pungkas Angki.

Application Information Will Show Up Here

Tri Indonesia Jaring Startup Potensial Melalui “Kejar #Ambisiku”

Membuat sebuah inkubator tampaknya menjadi tren bagi operator telekomunikasi Indonesia. Setelah Telkomsel, Indosat, dan XL kini giliran Tri Indonesia yang meluncurkan program inkubator untuk menjaring ide, bisnis kreatif, atau startup untuk dikembangkan dan dibantu untuk memasuk pasar mereka. Inkubator ini nantinya akan memberikan bantuan bagi startup berupa kesempatan mentoring dan promosi ke pelanggan-pelanggan setia Tri Indonesia.

Program dari Tri Indonesia ini dinamai Kejar #Ambisiku, sebuah program yang menjadi rangkaian program Tri Indonesia lainnya yang menyasar anak-anak muda yang ingin kreatif, berinovasi, dan butuh aktualisasi diri. Kejar #Ambisiku sebenarnya serupa dengan banyak inkubator lainnya, para startup terlebih dulu harus mengikuti proses seleksi dengan melakukan presentasi di hadapan para juri.

Peserta dengan ide terpilih akan mengikuti bootcamp untuk mematangkan ide dan proposal mereka untuk selanjutnya dipresentasikan kembali di hadapan para direksi Tri Indonesia. Ide atau peserta terpilih nantinya akan mendapatkan bantuan-bantuan dari pihak Tri Indonesia, seperti dana, pemasaran, dan lain sebagainya.

Disampaikan Head of Brand and Communication Tri Indonesia Fahroni Arifin, program ini yang sejatinya sudah berjalan mulai bulan Maret kemarin. Saat ini telah melalui proses seleksi dan inkubasi. Selanjutnya akan ada 5-10 peserta terpilih untuk masuk ke tahap mentoring sampai dengan pemberian dana. Peserta terpilih akan dinilai dari banyak aspek, seperti perencanaan, pengembangan, implementasi bisnis yang bisa berkelanjutan hingga penerimaan produk di pasar.

“Pada tahap finalisasi, tim Tri melakukan mentoring untuk melihat sejauh mana bisnisnya dapat dimonetisasi. Direksi Tri akan menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan pendanaan dan dukungan promosi ke jaringan perusahaan di skala lokal dan global,” ujar Fahroni seperti dikutip dari Liputan6.

Fahroni lebih jauh juga menjelaskan bahwa pendanaan yang didapat masing-masing peserta terpilih akan disesuaikan dengan besaran bisnis masing-masing usaha. Nominal bergantung seberapa kuat usahanya dan bentuk bantuan yang dibutuhkan karena Tri Indonesia menilai tidak semuanya terkendala pada pendanaan.

“Apa yang kami lakukan ini barulah sebagian kecil dari rangkaian dukungan Tri untuk ambisi generasi muda Indonesia yang akan kami gelar hingga akhir tahun ini. Artinya, komitmen kami tidak akan berhenti sampai di sini. Kami percaya generasi muda Indonesia dapat menjadi kekuatan hebat dengan talenta dan kreativitas yang mereka miliki untuk mengubah dan menjadikan Indonesia lebih baik,” ujar Chief Commercial Officer Tri Dolly Susanto seperti dikutip dari laman resmi Tri Indonesia.

Fokus ke Asia Tenggara, Fenox Venture Capital Perhitungkan Startup Indonesia

Wilayah Asia Tenggara memang sudah tidak bisa dianggap remeh lagi dalam perkembangan bisnis digital, traksi yang terus menjulang mengundang minat para pemodal untuk masuk ke kawasan tersebut. Tak terkecuali Fenox Venture Capital. Pemodal ventura asal Amerika Serikat tersebut mengaku saat ini akan mulai fokus membangun pertumbuhan bisnis di wilayah tersebut, termasuk di Indonesia. Dengan pengalamannya dan aset sebesar $1,5 miliar di bawah manajemennya, Fenox VC yakin mampu turut serta dalam akselerasi bisnis di Asia Tenggara.

Di Indonesia, beberapa startup sudah masuk dalam jajarannya, seperti Talenta, HijUb, dan juga Jojonomic. Kendati beberapa waktu terakhir pihaknya banyak bersinggungan dengan startup di bidang robotik, kecerdasan buatan dan augmented reallity (untuk wilayah Jepang dan Amerika Serikat), menurut Jeff Quigley selaku Regional Manager Fenox VC untuk wilayah Asia Tenggara, pihaknya akan berinvestasi ke bisnis startup di kategori umum.

Prestasi GnB Accelerator dalam bootcamp pertamanya di Jakarta akan terus berlanjut. Enam startup yang diinkubasi, rata-rata adalah layanan on-demand, menjadi cerita sukses yang akan direplikasi. Program tersebut juga terbuka untuk diadakan di negara-negara lain di Asia Tenggara.

Untuk memahami lebih mendalam seputar misi Fenox VC di lanskap startup Indonesia, DailySocial mewawancara Jeff Quiqley via email. Berikut selengkapnya:

T (Tanya): Bagaimana Fenox melihat perkembangan startup yang ada di Indonesia saat ini?

J (Jawab): Kami telah aktif berinvestasi di Indonesia selama lebih dari dua tahun, jadi bisa dikatakan Fenox sebenarnya sudah mengantisipasi booming startup yang ada saat ini. Kami berinvestasi secara regional dari kantor di Jakarta, namun karena kedekatan dan aktivitas kami, mayoritas penawaran kami ada untuk startup domestik (Indonesia).

Yang kami lakukan di fase booming (startup), terlepas dari kegiatan investasi, kami meluncurkan GnB Accelerator untuk startup tahap awal, dan telah memiliki enam lulusan yang menjanjikan dari batch pertama di bulan Agustus lalu. Selain GnB, kami juga menyelenggarakan final Startup World Cup tingkat regional di Jakarta.  Bersama dengan Bekraf, kami bekerja sama untuk mengunjungi enam kota di luar Jakarta untuk mengadakan kontes pitching.

T: Mengapa Indonesia penting untuk investasi Fenox?

J: Hal itu bermuara pada beberapa poin kunci. Pertama adalah ukuran pasar yang besar, dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Hampir dari separuh orang dewasa Indonesia memiliki smartphone, dan jumlah pengguna internet aktif terus meningkat bersama pertumbuhan penduduk dan ekonomi pada umumnya. Masalah yang disebabkan oleh infrastruktur membuat kehidupan sehari-hari di kota besar membuat orang “sakit kepala”, tapi startup melangkah untuk memecahkan apa yang tidak bisa pemerintah lakukan. Sebagai contoh, lihat mereka yang menggunakan helm hijau (pengemudi ojek online) ketika melangkah di Jakarta, maka Anda akan melihat bagaimana orang Indonesia mampu merangkul teknologi sebagai solusi.

T: Adakah target terkait dengan seberapa banyak startup yang akan didanai?

J: Saya tidak akan menempatkan nomor, karena saya percaya pada kualitas daripada kuantitas. Kami telah meningkatkan dua kali lipat portofolio di Asia Tenggara untuk tahun ini. Kami juga mengharapkan untuk menyambut setidaknya enam startup lagi lulusan GnB Accelerator pada bulan Desember mendatang.

T: Seperti apa spesifikasi startup yang diincar oleh Fenox?

J: Selama ada unsur teknologi, dan kami berinvestasi pada seed funding dan seri A. Indonesia masih menjadi pasar yang muda, sehingga sebagian besar dari startup berfokus pada konsumen. Jika Anda menyaksikan batch pertama GnB, sebagian besar adalah layanan on-demand, namun siapapun yang mengetahui keadaan lalu lintas Jakarta maka akan dapat memahaminya. Perekonomian Indonesia didominasi oleh UMKM, ada banyak peluang di sektor SaaS (Software as a Services). Kami juga tertarik dengan startup di bidang kesehatan, e-commerce dan fintech. Tapi sebenarnya tidak terbatas pada kategori itu saja.

T: Bagaimana perkembangan GNB Accelerator di Jakarta setelah selama ini berjalan?

J: Ketika kami menengok lanskap akselerator yang ada, kami melihat kesempatan untuk memberikan sesuatu yang berbeda. Banyak program lain yang lebih dari sekedar model inkubator, sedangkan yang kami miliki adalah program lebih fokus pada market-fit dan penyiapan tim untuk lebih siap dalam pendanaan. Kami juga benar-benar bekerja secara multinasional, Fenox dari Amerika Serikat dan Infokom dari Jepang sebagai pengelola program ini, sehingga kami bisa membawa mentor, investor, dan mitra bisnis potensial.

Perbankan Mulai Rajin Bangun Inkubator Guna Membina Startup Fintech

Geliat industri fintech yang makin menunjukkan posisinya sebagai salah satu penyedia jasa keuangan, turut membuat kalangan perbankan mulai aware dan mulai membuka jalan untuk melakukan kolaborasi bisnis terutama dengan startup fintech. Salah satunya dengan membuat program inkubator, seperti yang dilakukan oleh Bank CIMB Niaga, Bank UOB, dan Bank Mandiri.

Tigor Siahaan, Direktur Utama Bank CIMB Niaga, mengatakan saat ini perusahaan kerap rajin dalam menggali dan membina potensi startup fintech dan tergabung sebagai mitra dengan wadah inkubator ternama, Startupboothcamp FinTech. Menurutnya, dengan kegiatan ini nantinya bisa menghasilkan startup fintech yang dapat menjadi perpanjangan tangan perusahaan dalam menjangkau nasabah lebih luas lagi.

Pasalnya, lanjutnya, startup fintech memiliki model bisnis dan target nasabah yang lebih spesifik. Sehingga, hal ini bisa menjadi produk pelengkap dari perbankan. Apalagi, data dari pemerintah Indonesia menyebut sekitar 60% penyumbang produk domestik bruto negara (PDB) berasal dari kelompok usaha kecil dan menengah. Namun, dari total penduduk Indonesia hanya 20% saja yang sudah mendapat akses jasa keuangan.

Akan tetapi, sambung Tigor, tidak semua startup bakal dipilih oleh perusahaan menjadi mitra bisnisnya. Pasca program pelatihan selesai, startup tersebut diharapkan sudah memiliki model bisnis yang matang, memiliki basis konsumen, dan tahu berbisnis dengan baik.

“Fintech ini sekarang jadi disruptive technology, kalau kami tidak ikut kembangkan bisnis perusahaan akan tergerus. Daripada hal itu terjadi, lebih baik kami gandeng mereka untuk berkolaborasi. Sebab, dengan segala rumitnya regulasi yang dimiliki perbankan, membuat perbankan jadi lebih susah bergerak daripada startup fintech untuk menjangkau nasabah baru,” terang Tigor.

Langkah yang sama juga dilakukan oleh Bank United Overseas Bank (UOB). Janet Young, Managing Director & Head Group Channels & Digitalisation UOB Singapura, mengatakan lewat program inkubator yang dibuat oleh UOB dinamai FinLab menjadi wadah penyalur startup fintech yang berkualitas agar nantinya bisa menjadi mitra perusahaan.

Sama seperti Tigor, Young memaparkan dengan adanya program kolaborasi ini bisa menjadi salah satu jalan demi menggaet nasabah lebih banyak lagi. Terlebih, potensi masyarakat Indonesia yang belum terjamah oleh perbankan, kini bisa dijangkau oleh fintech.

Dia menjelaskan dalam program tersebut, lebih dari 300 partisipan yang mendaftarkan diri dan berasal dari 20 negara. Kemudian, tersaring lewat proses seleksi hingga akhirnya terpilih menjadi sembilan startup masuk ke inkubator untuk menjalani proses pelatihan selama tiga bulan.

Peserta difasilitasi dengan coworking space gratis, pemanfaatan teknologi informasi yang dimiliki oleh Amazon untuk pengembangan produk, dan coaching dari 20 top leaders UOB.

“FinLab ini adalah proyek patungan antara UOB dengan Infocomm Investments Private Limited, dengar tujuan bisa menghasilkan inovasi produk fintech yang matang dan dapat memberi manfaat kepada masyarakat sesuai target spesifik marketnya,” ujar Young.

Bentuk inkubator sendiri

Bila kedua bank di atas lebih memilih untuk melakukan kolaborasi untuk membentuk program inkubator dengan pihak lain. Beda halnya dengan Bank Mandiri yang lebih membangun sendiri.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri, menjelaskan sejak pertengahan tahun ini perusahaan telah meresmikan Mandiri Inkubator Bisnis (MIB) sebagai wadah untuk mengembangkan potensi bisnis dari para pengusaha muda secara komprehensif, terutama terkait inovasi teknologi di bidang fintech.

Menurut dia, ada tiga produk fintech yang disasar oleh perusahaan yaitu sistem pembayaran, consumer experience management, dan virtual landing. Tercatat ada 14 startup fintech yang sudah tergabung dalam program pelatihan selama enam bulan tersebut, ditargetkan pada Januari 2016 akan selesai.

Setelah itu, lanjut Kartika, perusahaan akan melihat bagaimana perkembangan berikutnya pasca masa pelatihan selesai.

“Apabila mereka [startup] secara komersial sudah mulai bagus nanti bisa kita pertimbangkan untuk dipilih antara satu atau dua perusahaan untuk disuntik modalnya agar skala bisnisnya bisa meningkat. Mereka juga bisa ikut garap captive market Bank Mandiri sebanyak 20 juta orang,” katanya.

Kartika menargetkan setiap tahunnya perusahaan bisa mencetak tiga sampai lima startup baru. Bank Mandiri sebagai induk perusahaan menugaskan anak usahanya PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) untuk menggarap startup binaannya tersebut.

Bank Mandiri menyiapkan modal sebesar 500 miliar Rupiah untuk dikelola MCI. Hingga saat ini, perusahaan mengklaim telah menggelontorkan 200 miliar Rupiah.


Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

LINTASARTA APPCELERATE Umumkan 10 Startup yang Berhak Ikuti Program Inkubasi

Aplikanusa Lintasarta (Lintasarta) bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Inovasi Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung (LPiK ITB) telah menyelenggarakan ajang LINTASARTA APPCELERATE. Dari ajang tersebut telah terpilih 10 peserta dari 55 peserta yang terdaftar yang berhak mengikuti inkubasi di Co-Working Space di area Innovation Park ITB Bandung dan di kantor Lintasarta yang terletak di Bandung dan Jakarta.

LINTASARTA APPCELERATE sendiri merupakan sebuah ajang membuat rencana bisnis dalam bentuk inovasi produk atau aplikasi digital, seperti mobile application yang memiliki nilai bisnis dan dapat diterapkan untuk mendukung berbagai sektor industri mulai dari banking, finansial, gas dan oli, plantation, manufactor, e-health, logistik, transportasi, hingga maritim dan turis.

Proposal atau rencana bisnis yang diajukan selanjutnya dinilai dengan beberapa parameter seperti keaslian yang diuji dengan menggunakan application origniality, penyelesaian masalah dan kegunaan, dan dari segi komersial dan juga nilai bisnis yang terkandung di dalamnya.

LINTASARTA APPCELERATE telah dimulai sejak April silam, kemudian dilanjutkan dengan serangkaian kegiatan seperti pengumpulan proposal, seleksi proposal, dan presentasi di hadapan Dewan Juri Panelis yang berasal dari LPiK ITB dan Lintasarta.

Sepuluh peserta terpilih terdiri dari ide dan rencana bisnis yang bervariasi. Sepuluh peserta tersebut adalah Eragano sebuah solusi end to end untuk petani, Around Indonesia aplikasi untuk objek pariwisata Indonesia, Bilik Gaya sebuah aplikasi Virtual Fitting Room, BIOPS Agro Tekno ide yang menawarkan monitoring dan controlling untuk para petani Green house, dan  Lance dengan aplikasi CUAN (Catatan Keuangan Aman dan Nyaman) untuk membantu pengelolaan keuangan UMKM.

Selain itu ada juga tim Smart Logistik dengan aplikasi GINTARA (Gerbang Logistik Nusantara), aplikasi yang ditujukan untuk menghasilkan proses logistik, tercepat, termurah, dan teraman. Selanjutnya ada Sorot dengan aplikasi CHARM (Costumer Handling and Relationship Management) yang ditujukan untuk menganalisis percakapan pelanggan di media sosial.

Dua peserta lainnya ada tim WINAFI dengan aplikasi Sembako Mart yang menawarkan kemudahan berbelanja kebutuhan sehari-hari yang mengintegrasikan antara toko kelontong lokal dengan konsumen di sekelilingnya, dan ADHMORA dengan aplikasi ENGERGO, sebuah perangkat lunak yang memudahkan para engineer atau pemilik bangunan dalam melakukan penghematan energi.

“LINTASARTA APPCELERATE merupakan ajang yang tepat bagi para start up muda Indonesia untuk bersaing dengan para start up dunia. Kami melihat potensi dan semangat yang besar dari mereka semua,” ujar President Director Lintasarta Arya Damar.

Pekerjaan Rumah Besar Rocket Internet Membudayakan Bisnis yang “Profitable”

Rocket Internet adalah perusahaan pengayom startup asal Jerman yang sering digadang-gadang sebagai akselerator yang patut diperhitungkan startup di luar Silicon Valley. Beberapa startup seperti Foodpanda, Lazada, Lamudi, hingga Zalora menjadi bagian dari portofolio perusahaan terbaiknya. Ratusan basis bisnis yang tersebar di 110 negara juga telah merangkul setidaknya 36.000 pegawai.

Cerita manis tersebut menjadikan banyak startup yang berbondong ingin menjadi bagian, baik itu mengikuti inkubasi ataupun mendapatkan investasi, dari Rocket Internet. Namun siapa mengira bahwa strategi bisnis yang digulirkan tergolong sangat berisiko. Tercatat banyak perusahaan startup binaan Rocket Internet sampai saat ini masih belum profitable. Masih terus memperluas pangsa pasar dengan tendensi “membakar uang”.

Lazada dan Zalora menjadi salah satu cerita lama yang pada awalnya terus merugi. Sepanjang tahun 2014 contohnya, keduanya membukukan kerugian $235,3 juta sepanjang 2014 atau sekitar 3,1 triliun rupiah. Kendati dikatakan sebagai strategi akuisisi konsumen, kedua perusahaan cukup piawai dalam membuktikannya, tapi saat diterapkan di startup lain ternyata tak serta-merta dapat tereplikasi dengan baik. Kini Lazada pun diakuisisi Alibaba untuk mempertahankan roda bisnisnya.

Tahun 2011 Rocket Internet mengembangkan sebuah startup yang menyajikan resep masakan siap saji asal Swedia, HelloFresh. Startup tersebut dioperasikan di tiga benua, termasuk memiliki basis di Amerika Serikat, bersanding dengan pemain yang sudah ada sebelumnya, Blue Apron dan Plated. Meski penguasaan pasarnya terus berkembang, masalah pun terus muncul.

HelloFresh sempat didorong untuk meraih IPO, dengan valuasi senilai $2,9 miliar, tepatnya pada November 2015. Namun pada pembukuan kuartal pertama tahun ini, HelloFresh melaporkan kerugian hingga tiga kali lipat mencapai $30,1 juta, meskipun ada kenaikan dari sisi pendapatan. Artinya perusahaan belum stabil dalam mendapatkan profit. Sayangnya ini terjadi tidak hanya pada HelloFresh.

Rocket Internet pun kini juga terus disorot, untuk memperlihatkan langkah serius untuk menjadikan perusahaan profit. Bagaimana mungkin startup yang masuk dalam lingkungan inkubasinya bisa berkembang jika tren kerugian terus dipupuk. Banyaknya perusahaan yang terus merugi menyebabkan banyak investor murung. Harga saham Rocket Internet pun saat ini cuma ada di level sepertiga dari nilai puncak yang pernah diraih tahun 2014, atau senilai €18,52.

Tak berhenti di situ, Rocket kini juga kehilangan partner dan rekanan investor, Kinnevick AB seorang konglomerat asal Swedia yang mengundurkan diri dari posisi Chairman Rocket tahun lalu. Kini di jajaran board advisory nama Kinnevik pun sudah tak ada. Isunya terdapat konflik kepentingan terkait dengan target investasi.

Rocket memang perlu untuk mengeksplorasi model bisnis baru. Begitu yang dikatakan oleh mantan Chief Executive HelloFresh Simon Schmincke. Strategi saat ini kini tidak lagi membuat HelloFresh mampu menarik pangsa pasar seperti yang terjadi lima tahun lalu saat mereka memulai bisnis. Mereka perlu mulai menargetkan pangsa pasar yang lebih spesifik.

Dalam sebuah wawancara yang dikutip The Wall Street Journal, Co-Founder dan Chief Executive Rocket Oliver Samwer mengatakan bahwa pihaknya belajar betul dari apa yang telah dilalui. Ia mengatakan bahwa akan memberikan kiprah yang lebih baik bagi para investor. Samwer mengakui bahwa langkah yang terlalu agresif menyebabkan terjadinya banyak kesalahan dalam bisnis, tapi ia tetap percaya diri bahwa strategi itu yang terbaik.

“Startup bimbingan Rocket setidaknya perlu menghabiskan (dana) dan memperluas (pangsa pasar) lima sampai sembilan tahun sebelum bisa profitable,” ujar Samwer. Kerugian baginya bukanlah sebuah kesalahan, karena ia menganggap Rocket masih memiliki banyak uang tunai yang dapat dialokasikan.

DScussion #57: MDI Ventures dan Strategi Inkubator Untuk Startup di Indonesia

Tahun 2016 sudah banyak startup yang mendapatkan pendanaan, mulai dari tahap seed hingga Seri A. Hal tersebut membuktikkan bahwa perkembangan startup ekosistem di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Dalam DScussion edisi kali ini CEO MDI Ventures Nicko Widjaja juga menjelaskan seperti apa peranan inkubator startup di Indonesia dan strategi apa yang baiknya dilancarkan untuk menghasilkan startup terbaik dan berkualitas.

Simak diskusi lengkapnya berikut ini.

Bank Mandiri Buka Inkubator Digital untuk Fintech

Bank Mandiri meresmikan inkubator digital yang khusus mendorong hadirnya startup di bidang teknologi finansial (fintech). Bekerja sama dengan Mandiri Capital, Indigo Inkubator milik Telkom, dan konsultan pengembangan bisnis ActionCoach, 44 startup akan mengikuti program inkubator selama 6 bulan. Di akhir periode, setiap startup diwajibkan mempresentasikan ide dan eksekusi bisnisnya ke calon investor.

44 startup yang terpilih merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri (WMM) bidang digital, finalis Mandiri Hackathon, dan anggota HIPMI Perguruan Tinggi.

Mandiri sendiri sudah meresmikan perusahaan investasi Mandiri Capital Indonesia awal tahun ini dengan modal awal 500 miliar Rupiah untuk mendorong munculnya lebih banyak startup fintech.

Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo dalam sambutannya, yang dikutip dari Okezone, mengatakan:

“Pertumbuhan startup Indonesia, misalnya dalam bidang fintech merupakan yang kedua terbesar di ASEAN setelah Singapura. Pada kurikulum ini, peserta akan mendapatkan teori dan aplikasi terkait pemahaman dan kemampuan teknis dalam mengelola bisnis, kedisiplinan dalam mengeksekusi rencana bisnis serta kemampuan dalam menganalisa strategi, dan peluang pengembangan bisnis.

Dalam kegiatan ini, kami ingin melibatkan Mandiri Capital Indonesia (MCI) dari sejak awal sehingga MCI dapat terus memberikan pendamping dan dukungan secara berkelanjutan. Harapannya, pasca inkubasi para peserta akan memiliki visi dan orientasi bisnis yang lebih spesifik sehingga dapat segera memperoleh pembiayaan dari venture capital untuk diimplementasikan di masyarakat.”

Tentu saja pasca lepas dari inkubator tidak bisa serta merta sebuah startup menjadi sangat sukses. Dibutuhkan waktu, usaha, dan biasanya pemodalan lanjutan dari VC dan para investor untuk mendorong sebuah startup mencapai performa yang diinginkan.

Industri fintech terus mendapat sorotan dari regulator dan para pelaku bisnis sepanjang tahun 2016 ini. OJK memberikan perhatian khusus dan dukungannya di berbagai kesempatan, sementara bank mencoba merangkul untuk membantu mereka berinovasi. Inkubator bisnis digital di sektor perbankan ini adalah yang pertama, sementara untuk sesama BUMN adalah yang kedua setelah Telkom.

Program inkubator semacam ini dapat mendukung gerakan 1000 startup yang didukung pemerintah.

Program Akselerator Alpha Startups dari 1337 Ventures Hadir di Indonesia

Kemitraan strategis antara 1337 (Leet) Ventures, Convergence Ventures, Baidu Indonesia dan Gobi Partners mengadirkan program akselerator Alpha Startups ke Indonesia. Inisiatif ini sekaligus membawa 1337 Ventures resmi masuk ke jajaran pemodal ventura startup Indonesia. Program ini juga turut menggandeng Amazon Web Services (AWS) untuk memberikan dukungan layanan server bagi startup terpilih.

Untuk batch pertama program ini sudah mulai dibuka pendaftarannya, dan akan diumumkan kandidat startup terpilih per 28 Maret 2016. Selanjutnya akan diteruskan pada batch kedua di bulan Agustus mendatang.

Startup digital di setiap segmen produk/pasar berhak mengikuti program ini.  Startup terpilih, bisa sampai 3 startup per batch, akan mengikuti program bimbingan, termasuk diberikan fasilitas berupa ruang bekerja, fasilitas pendukung produktivitas dan juga suntikan investasi senilai $25.000 (senilai Rp 325 juta). Seleksi akan menjaring sekitar 25 startup, kemudian akan dipilih 3 startup terbaik untuk masuk dalam tahap akselerasi dalam rangkaian program ekslusif.

Sebelumnya program Alpha Startups sudah pernah dilaksanakan di Malaysia (sebagai basis 1337 Ventures), Singapura dan juga di Filipina. Sedikitnya sudah ada 23 startup yang berhasil masuk dalam tahak akselerasi dan mendapatkan pendanaan lanjutan dari berbagai investor. Dan ekspansi program ke Indonesia dilandasi sebuah pandangan kemajuan eksosistem startup yang dinilai tercepat perkembangannya di Asia Tenggara.

Dalam pengumuman program Alpha Startups Indonesia 2016, Bikesh Lakhmichand selaku Founding Partner 1337 Ventures menyampaikan:

“Kami bangga dapat masuk ke pasar Indonesia bersama dengan investor lokal dan pengembang eksosistem (startup). Kami begitu berhati-hati dalam menjangkau pasar (Indonesia) dan percaya bahwa di sana ada kesempatan yang jelas untuk menjalankan program akselerator stadium awal untuk merealisasikan dan mendanai ide menjadi sebuah startup berpotensi tinggi untuk berkembang. Selain itu, kemitraan dengan investor dan perusahaan lokal akan membantu meningkatkan kualitas produk dan dukungan pasca program.”

Bagi entrepreneur atau startup yang tertarik mengikuti program ini, sebagai bagian dari proses pendaftaran, diminta untuk mengirimkan video berdurasi satu menit yang memaparkan tentang konsep ide atau startup yang akan dikembangkan (formulir submisi). Bagi pendaftar terpilih akan mengikuti sebuah sesi intensif selama lima hari untuk mematangkan konsep, termasuk menjalani pengembangan pangsa pasar, produk dan strategi pemasaran.