Edukasi Komunikasi Startup dan Investor Jadi Fokus Puncak Startup Pitch Day BEKRAF

Pada akhir pekan lalu, selama 3 hari, dimulai pada tanggal 5 November 2016, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) bekerja sama dengan Kinara Indonesia mengadakan program puncak Startup Pitch Day. Dalam acara ini hadir 24 startup yang disaring dari 5 kota, meliputi kota Medan, Depok, Malang, Bandung dan Denpasar. Penyaringan startup dari 5 kota itu sendiri sudah berjalan sejak dua bulan lalu. Turut hadir pula sekurangnya 14 investor yang terdiri dari venture capital, angel investor dan juga perkumpulan filantropi Indonesia.

Rangkaian acara Pitch Day tersebut memang memfokuskan pada edukasi untuk membekali kemampuan pitching terhadap startup di tahap early stage (BEKRAF menyebutnya dengan cockroach startup). Disampaikan Fajar Anugerah, Senior. Partner Kinara Indonesia, salah satu hal yang ingin diraih dari acara ini adalah kemampuan founder untuk mengkomunikasikan berbagai aspek di startupnya kepada investor. Selama ini komunikasi adalah kendala yang paling krusial. Selain itu pematangan aspek teknis seperti model bisnis dan tatanan finansial turut menjadi bagian dalam kerangka workshop.

Dimulai dengan workshop terpadu, dipraktikkan langsung dengan investor

Semua startup yang tergabung memang benar-benar masih di tahap baru. Hal ini senada dengan program BEKUP (BEKRAF for Pre-Startup) yang memfokuskan pada edukasi pengembangan startup di fase awal. Rangkaian acara ini menyajikan materi terpadu untuk para founder startup, meliputi manajemen finansial, memahami perjanjian investasi, perlindungan HKI dan kiat mendesain serta penyampaian sebuah pitch deck kepada investor.

Selama dua hari materi workshop dijejalkan pada para peserta. Dan di hari terakhir, para peserta ditantang untuk melakukan pitching selama 3 menit bergantian dengan 14 investor yang dihadirkan. Acara ini memang tidak menargetkan adanya investasi yang dikucurkan, bukan yang utama, karena misinya terletak pada edukasi.

Deputi Akses Permodalan BEKRAF Fadjar Hutomo mengatakan:

“…usaha kreatif (dalam hal ini startup) berkembang begitu pesat. Namun, diakui banyak dari pendiri usaha tersebut masih sangat muda, dan sebagian besar belum memiliki pengetahuan lebih untuk mengembangkan bisnis serta menggaet investor. Menurut kami, di sinilah tanggung jawab BEKRAF harus dijalankan. Acara ini diselenggarakan bukan sebagai ajang bersaing antar startup, tetapi sebagai kesempatan belajar bagi mereka agar semakin mumpuni dalam mengembangkan bisnis.”

Harapan utama dari penyelenggaraan acara ini adalah berkembangnya ekosistem permodalan bagi para startup, terutama dari permodalan non-perbankan, serta menghubungkan pemilik industri kreatif lokal dengan jajaran investor yang lebih luas.

Startup dengan pendanaan atau bootstrapping

Di sela-sela acara, Fajar menyampaikan ketika dihadapkan pada realitas saat ini dalam kaitannya dengan cara startup berkembang, maka pilihannya ada model bootstrapping atau akselerasi melalui pendanaan. Menariknya dari startup yang kian heterogen di Indonesia, polanya tidak bisa disama-ratakan. Menurut Fajar, ini akan sangat bergantung pada apa yang dikerjakan oleh startup tersebut.

“Dari sudut pandang saya sebagai bagian dari investor, jalan scale-up startup masing-masing berbeda. Ada startup dengan produk yang bisa langsung menghasilkan keuntungan, karena sejak awal bisnisnya sudah menekankan ekonomi transaksional (menghasilkan untung). Ada pula yang perlu pendanaan untuk bisa melakukan scale-up, contohnya startup pengembang produk kesehatan atau yang lebih mengarah ke riset mendalam.”

Tren startup Indonesia yang perlu diperbaiki

Menurut Fajar, berbagai macam hal perlu untuk ditanamkan sejak awal di startup-startup baru di Indonesia saat ini. Trennya ada dua hal, terkait dengan networking dan dedikasi. Disampaikan bahwa perbedaan startup dengan UMKM pada umumnya adalah pada mode berpikir cepat. Startup terbiasa dengan dinamika yang sangat cepat, dan digitalisasi membuat bisa berlari untuk mengimbangi, karena sekarang eranya sudah “online” tanpa batas.

Networking ialah tentang kemauan para founder atau punggawa startup untuk lebih banyak bertemu calon pengguna dan rekanan strategis. Tak cukup hanya berfokus pada produk, karena mendengarkan umpan balik kadang memberikan bermacam insight yang sebelumnya tidak terpikirkan saat perancangan produk. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan sebelumnya, bahwa komunikasi bisnis oleh founder startup baru menjadi salah satu isu yang ingin dibenahi oleh BEKRAF.

Berikutnya adalah soal dedikasi. Dibangun secara mandiri, tak jarang startup justru ditaruh pada opsi ke sekian dalam rutinitas bekerja harian. Banyak para founder startup yang bekerja paruh waktu untuk startupnya. Desakan pendapatan umumnya jadi alasan. Padahal, menurut Fajar, dedikasi full-time untuk membangun startup menjadi hal yang sangat berpengaruh untuk keberhasilan startup itu sendiri. Totalitas menjadi kuncinya.

Kejora Ventures Siap Berinvestasi di Startup Baru Akhir Tahun Ini

Kejora Ventures, perusahaan modal ventura lokal, mengungkapkan sebelum akhir tahun ini pihaknya akan mengumumkan pendanaan baru untuk salah satu startup yang sedang dilirik. Selain itu, pihaknya juga akan turut berpartisipasi dalam follow up funding yang akan didapatkan oleh dua startup yang berada di bawah naungan Kejora, sebagai langkah mencegah sahamnya terdelusi.

Andreas Surya, VP Portofolio & Investment Kejora Ventures, mengatakan untuk startup baru ini prosesnya hampir mencapai tahap final. Ada empat kandidat yang siap dikucurkan dananya, dari segmen logistik, fintech, big data, dan properti. Menurutnya, Kejora tidak akan memilih semua kandidat tersebut untuk dapat didanai oleh mereka.

“Kami sudah sampai tahap serius untuk pendanaan baru di startup yang akan didanai, kemungkinannya tidak akan keempatnya kami pilih. Kemudian, kami juga akan ikut follow up funding yang akan didapatkan oleh dua startup di bawah Kejora,” ujarnya Kamis (20/10).

[Baca juga: Kejora Group Siapkan Dana Kelola Sesi Kedua Senilai 1,08 Triliun Rupiah]

Kejora dikenal sebagai perusahaan ventura yang gencar dalam memberikan pendanaan tahap awal (seed) untuk startup yang baru berdiri. Sepanjang tahun ini, Kejora baru satu kali mengucurkan pendanaan baru untuk Investree dengan nilai yang tidak disebutkan.

Secara total, ada 28 startup yang berada di bawah naungan Kejora. Beberapa di antaranya, adalah CekAja, Qerja, Y Digital Asia, Etobee, Investree, Jualo, Wavoo, ProSehat, dan lain-lain.

Selain itu, Kejora juga memiliki preferensi startup yang akan didanainya di masa mendatang. Menurut Andreas, pihaknya tertarik untuk berinvestasi di segmen bisnis fintech, pengembangan UKM, digital media advertising, health care, dan edukasi. Dari preferensi ini, Kejora belum memiliki startup di bidang edukasi.

Terkait hal ini, pihaknya mengungkapkan ketertarikannya untuk berivestasi di segmen tersebut dan sedang melihat-lihat perusahaan mana yang cocok dengan karakteristik yang sesuai. Untuk bisnis e-commerce, Andreas mengungkapkan Kejora lebih memilih untuk tidak terjun ke segmen itu. Menurutnya, segmen tersebut sudah cukup padat dikeliling pemain skala besar, justru ekosistem pendukung layanan e-commerce bisa menjadi peluang yang menarik untuk dikembangi, mulai dari logistik, payment, pergudangan, packing, inventory, hingga marketing-nya.

Tak cukup sampai di situ, Kejora juga berniat kembali menghidupkan salah satu startup binaannya yang sempat ditutup. Startup tersebut berjalan di segmen bisnis direktori makanan. Andreas menjelaskan, startup itu sempat ditutup karena ditinggal oleh foundernya yang ke luar negeri.

Pihaknya ingin brainstorming ulang untuk dihidupkan kembali ide awalnya dan sedang mencari founder yang tepat untuk diajak kerja sama.

“Karena startup itu jadi milik kami, mulai dari saham hingga data-datanya. Kami berniat ingin brainstorming lagi untuk dihidupkan.”

Seleksi ketat

Andreas menjelaskan dalam proses pemilihan startup baru untuk dapat bergabung di Kejora saat ini kebanyakan founder startup yang datang langsung ke perusahaan dengan melampirkan fact sheet. Isinya, bagaimana market bisnisnya, model bisnisnya seperti apa, dan berapa dana yang mereka butuhkan.

Setelah itu Kejora akan mengevaluasi aplikasi yang masuk. Adapun prosesnya bisa memakan waktu hingga tiga bulan, sebelum akhirnya Kejora memberikan komitmen untuk berinvestasi.

Dia menerangkan, pada umumnya ada tiga hal yang Kejora lihat saat proses seleksi. Pertama, dari tim startup itu sendiri apakah capable dan memiliki background pendidikan yang sesuai dengan apa yang sedang digelutinya. Kedua, bagaimana market bisnisnya apakah berpotensi untuk tumbuh dan tingkat kompetisinya. Terakhir, memastikan apakah model bisnisnya proven atau tidak, misalnya pernah ada di negara lain.

“Intinya kami ingin mencari startup yang tepat guna dalam menyelesaikan masalah di Indonesia. Misalnya, CekAja itu sudah ada model bisnisnya serupa di Amerika dan Inggris. Di sana, model bisnisnya seperti CekAja sudah proven sehingga kami tertarik untuk menjadi investor di situ.”

Selama 2,5 tahun Kejora berdiri, secara totalnya hampir 1.000 startup datang ke perusahaan untuk minta didanai tiap tahunnya. Akan tetapi, dari jumlah itu pihaknya menyaring dengan ketat biasanya terpilih sekitar empat startup.

“Membisniskan Startup”

Akhir pekan lalu, seorang teman di Surabaya menceritakan tentang realitas bisnis dalam kaitannya mendapatkan suntikan investasi. Dalam gurauannya, si teman tersebut mengatakan, “Kalau bisnis konvensional –mengerjakan bisnis sosial menghasilkan kerajinan tangan— untuk mendapatkan investor sulit sekali. Saya sudah mencoba pitching ke beberapa venture capital dan angel investor, hasilnya nol. Beda dengan startup [digital], investornya sudah ngantri kalau POC-nya [Proof of Concept] jelas.”

Tentu penjelasannya ini membuat saya tertarik menggali lebih dalam mengenai pandangannya tentang konsep startup digital yang ada di Indonesia saat ini.

Sebelumnya, layak kita simak kembali seberapa bombastis tren startup di Indonesia. Sebuah meme dari Richard Fang ini mungkin bisa mewakili betapa startup kini telah menjelma sebagai tren baru di kalangan muda.

Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang
Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang

Startup pada dasarnya didefinisikan sebagai sebuah bisnis rintisan, bisnis yang benar-benar baru dibuka. Oleh karenanya istilah bootstrapping atau investment melekat erat sebagai entitas di bawahnya. Akhir-akhir ini istilah startup sering diasosiasikan dengan pendekatan bisnis berbasis digital. Jelas saja semua bisnis mencoba untuk bermain di ranah digital –minimal memanfaatkan media sosial sebagai cara pemasaran— demi capaian traksi dan jangkauan yang lebih menjanjikan.

Startup dibudayakan dengan berbagai kegiatan

Salah satu faktor makin lumrahnya pengembangan startup adalah karena berbagai kalangan memang sengaja membuatnya hype. Sebagai contoh Kibar (yang didukung Kemenkominfo) dengan kampanye Gerakan Nasional 1000 Startup, Bekraf dengan Developer Day dan Bekup, bahkan perusahaan-perusahaan secara khusus menggelontorkan CSR mereka untuk kegiatan berbasis hackathon, yang tak lain untuk memajukan startup digital juga. Benar saja, saat ini seperti semua orang bisa meniatkan diri untuk membuat sebuah startup.

Namun, apakah masifnya pengembangan startup yang ada saat ini sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan? Kembali dengan obrolan saya bersama rekan wirausahawati dari Surabaya, ia sempat menanyakan mengapa startup digital saat ini (meski tidak semua) terkesan tidak fokus mendapatkan profit? Justru antusias memburu pendanaan. Padahal jika mengembalikan kepada tujuan paling mendasar, startup tetap saja adalah sebuah usaha bisnis yang harus menghasilkan untung.

Saya tak dapat menyanggah realitas tersebut. Lalu mucul sebuah pertanyaan. Apakah yang sedang menjadi tren saat ini adalah menjadikan startup sebagai proses bisnis atau tren membisniskan startup?

Konsep digital membedakan proses pendekatan di dalamnya

Konsep digital memiliki pendekatan yang berbeda dengan cara konvensional. Sebut saja cerita kesuksesan Facebook. Sekarang dari mana mereka mendapatkan uang? Dari berbagai penawaran yang didasarkan pada kekayaan dan traksi pengguna yang besar. Layanannya gratis dari awal, bisnis dijalankan secara natural di dalamnya. Konsep seperti itu yang coba diusung oleh startup masa kini, terutama yang berbasis layanan.

Ada yang sejak awal fokus pada growth, ada yang fokus pada revenue, hingga ada yang memfokuskan produk startup untuk inovasi (biasanya diikutkan dalam lomba internasional). Begitu bermacam-macam tipikal startup yang ada di Indonesia saat ini dari sudut pandang tujuannya.

Pada kenyataannya “seleksi alam” selalu turut serta dalam berbagai hal. Startup yang mampu mandiri pada akan melaju kencang dan yang mengantungkan roda bisnisnya pada entitas lain lambat-laun kian menurut performanya.

Bagi saya masih terlalu dini untuk menjustifikasi keadaan startup di Indonesia saat ini. Pelaksananya saja masih menggenggam roadmap bisnis yang akan dijalankan selama bertahun-tahun mendatang. Mungkin jawaban dari pertanyaan “membisniskan startup” tadi akan terjawab bersama pembuktian realisasi pematangan pelaku bisnis startup Indonesia.

Fokus ke Asia Tenggara, Fenox Venture Capital Perhitungkan Startup Indonesia

Wilayah Asia Tenggara memang sudah tidak bisa dianggap remeh lagi dalam perkembangan bisnis digital, traksi yang terus menjulang mengundang minat para pemodal untuk masuk ke kawasan tersebut. Tak terkecuali Fenox Venture Capital. Pemodal ventura asal Amerika Serikat tersebut mengaku saat ini akan mulai fokus membangun pertumbuhan bisnis di wilayah tersebut, termasuk di Indonesia. Dengan pengalamannya dan aset sebesar $1,5 miliar di bawah manajemennya, Fenox VC yakin mampu turut serta dalam akselerasi bisnis di Asia Tenggara.

Di Indonesia, beberapa startup sudah masuk dalam jajarannya, seperti Talenta, HijUb, dan juga Jojonomic. Kendati beberapa waktu terakhir pihaknya banyak bersinggungan dengan startup di bidang robotik, kecerdasan buatan dan augmented reallity (untuk wilayah Jepang dan Amerika Serikat), menurut Jeff Quigley selaku Regional Manager Fenox VC untuk wilayah Asia Tenggara, pihaknya akan berinvestasi ke bisnis startup di kategori umum.

Prestasi GnB Accelerator dalam bootcamp pertamanya di Jakarta akan terus berlanjut. Enam startup yang diinkubasi, rata-rata adalah layanan on-demand, menjadi cerita sukses yang akan direplikasi. Program tersebut juga terbuka untuk diadakan di negara-negara lain di Asia Tenggara.

Untuk memahami lebih mendalam seputar misi Fenox VC di lanskap startup Indonesia, DailySocial mewawancara Jeff Quiqley via email. Berikut selengkapnya:

T (Tanya): Bagaimana Fenox melihat perkembangan startup yang ada di Indonesia saat ini?

J (Jawab): Kami telah aktif berinvestasi di Indonesia selama lebih dari dua tahun, jadi bisa dikatakan Fenox sebenarnya sudah mengantisipasi booming startup yang ada saat ini. Kami berinvestasi secara regional dari kantor di Jakarta, namun karena kedekatan dan aktivitas kami, mayoritas penawaran kami ada untuk startup domestik (Indonesia).

Yang kami lakukan di fase booming (startup), terlepas dari kegiatan investasi, kami meluncurkan GnB Accelerator untuk startup tahap awal, dan telah memiliki enam lulusan yang menjanjikan dari batch pertama di bulan Agustus lalu. Selain GnB, kami juga menyelenggarakan final Startup World Cup tingkat regional di Jakarta.  Bersama dengan Bekraf, kami bekerja sama untuk mengunjungi enam kota di luar Jakarta untuk mengadakan kontes pitching.

T: Mengapa Indonesia penting untuk investasi Fenox?

J: Hal itu bermuara pada beberapa poin kunci. Pertama adalah ukuran pasar yang besar, dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Hampir dari separuh orang dewasa Indonesia memiliki smartphone, dan jumlah pengguna internet aktif terus meningkat bersama pertumbuhan penduduk dan ekonomi pada umumnya. Masalah yang disebabkan oleh infrastruktur membuat kehidupan sehari-hari di kota besar membuat orang “sakit kepala”, tapi startup melangkah untuk memecahkan apa yang tidak bisa pemerintah lakukan. Sebagai contoh, lihat mereka yang menggunakan helm hijau (pengemudi ojek online) ketika melangkah di Jakarta, maka Anda akan melihat bagaimana orang Indonesia mampu merangkul teknologi sebagai solusi.

T: Adakah target terkait dengan seberapa banyak startup yang akan didanai?

J: Saya tidak akan menempatkan nomor, karena saya percaya pada kualitas daripada kuantitas. Kami telah meningkatkan dua kali lipat portofolio di Asia Tenggara untuk tahun ini. Kami juga mengharapkan untuk menyambut setidaknya enam startup lagi lulusan GnB Accelerator pada bulan Desember mendatang.

T: Seperti apa spesifikasi startup yang diincar oleh Fenox?

J: Selama ada unsur teknologi, dan kami berinvestasi pada seed funding dan seri A. Indonesia masih menjadi pasar yang muda, sehingga sebagian besar dari startup berfokus pada konsumen. Jika Anda menyaksikan batch pertama GnB, sebagian besar adalah layanan on-demand, namun siapapun yang mengetahui keadaan lalu lintas Jakarta maka akan dapat memahaminya. Perekonomian Indonesia didominasi oleh UMKM, ada banyak peluang di sektor SaaS (Software as a Services). Kami juga tertarik dengan startup di bidang kesehatan, e-commerce dan fintech. Tapi sebenarnya tidak terbatas pada kategori itu saja.

T: Bagaimana perkembangan GNB Accelerator di Jakarta setelah selama ini berjalan?

J: Ketika kami menengok lanskap akselerator yang ada, kami melihat kesempatan untuk memberikan sesuatu yang berbeda. Banyak program lain yang lebih dari sekedar model inkubator, sedangkan yang kami miliki adalah program lebih fokus pada market-fit dan penyiapan tim untuk lebih siap dalam pendanaan. Kami juga benar-benar bekerja secara multinasional, Fenox dari Amerika Serikat dan Infokom dari Jepang sebagai pengelola program ini, sehingga kami bisa membawa mentor, investor, dan mitra bisnis potensial.

Cashtree Bukukan Pendanaan Seri A Senilai 52 Miliar Rupiah

Mobile lock screen advertising service Cahstree mengumumkan berhasil membukukan pendanaan seri A senilai $4 juta (sekitar Rp52 miliar) yang dipimpin oleh Korea Investment Partner dan K Cube Ventures. Dana segar tersebut akan digunakan untuk penyempurnaan layanan dan ekpansi pasar demi meningkatkan basis pengguna yang tumbuh cepat dan diklaim telah mencapai 4,7 juta. Cashtree sendiri sudah hadir di Indonesia sejak November 2015 dan pada awal tahun 2016 lalu memasang target untuk bisa merangkul lima juta pengguna di penghujung tahun.

Pendiri Cashtree Dallen Kim mengklaim bahwa Cashtree sebagai layanan mobile advertising dapat menyediakan saluran paling efektif untuk membidik pengguna internet kelas B dan C. Visi yang diusung oleh Cashtree adalah untuk memperluas cakrawala industri mobile di Indonesia dengan mengangkat pengalaman penggunaan smartphone secara keseluruhan untuk hampir semua penduduk Indonesia.

“Kami telah mengumpulkan […] permintaan dari merek dan lembaga yang lebih tinggi dari perkiraan karena jenis baru dari layanan ini telah terbukti efektif untuk menjangkau target konsumen mereka. Saya percaya dengan dukungan dari investor yang baru-baru ini kami dapatkan, Cashtree memiliki momentum dan kekuatan untuk tumbuh menjadi platform iklan besar,” ujar Dallen.

Manager of SEA of Korea Investment Partners Eric Yoo menyampaikan bahwa sebagai investor jangka panjang pihaknya percaya potensi pasar Indonesia akan bergatung pada pertumbuhan kelas menengahnya. Lebih jauh, filosofi di balik Cashtree juga dianggap telah sejalan secara strategis dengan pihak Korea Investment Partner.

Sementara itu, Partner of K Cube Ventures Kijun Kim menambahkan bahwa kerja sama dan latar belakang tim yang dimiliki Cashtree telah membawa Cashtree pada posisinya saat ini, sebaga rising player. Bila semua berjalan sesuai rencana, Kijun optimis bahwa Cashtree bisa berkembang menjad pilar utama dalam evolusi ekosistem mobile di Asia Tenggara.

Sejak bulan Agustus silam Cashtree juga telah berkolaborasi dengan stasiun siaran RCTI untuk mendukung salah satu program TV mereka. Ini dipercaya akan membantu Cashtree menembus lebih banyak basis pengguna dan bisa mempercepat pertumbuhan.

Di Indonesia sendiri, Cashtree bukan pemain satu-satunya yang ada di ranah mobile lock screen advertising service. Sebelumnya, sudah ada beberapa aplikasi sejenis seperti Popslide dan Excite Point asal Jepang.

Application Information Will Show Up Here

Startup Teknologi Kesehatan HaloDoc Peroleh Pendanaan Seri A

Startup teknologi kesehatan HaloDoc mengumumkan perolehan pendanaan Seri A dari grup investor yang terdiri dari Clermont Group, Go-Jek, Blibli, dan NSI Ventures. Meskipun tidak spesifik menyebutkan perolehan di putaran kali ini, HaloDoc menyebutkan total pendanaan yang diperoleh oleh HaloDoc sebesar $13 juta (sekitar 170 miliar Rupiah). Pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan kualitas aplikasi yang dikembangkan oleh grup, termasuk Apotik Antar, dan untuk membantu melayani dan mengatasi permasalahan akses kesehatan di seluruh Indonesia.

Bersamaan dengan pendanaan ini, HaloDoc juga secara resmi mengumumkan kolaborasi dengan investornya, Go-Jek, untuk pengembangan Go-Med sebagai layanan pengantaran produk kesehatan secara on-demand.

Pendiri dan CEO HaloDoc Jonathan Sudharta dalam rilisnya menyebutkan, “Visi kami untuk HaloDoc adalah membantu membawa layanan kesehatan yang lebih baik ke jutaan orang Indonesia. Kami ingin mengatasi [permasalahan ini] melalui teknologi untuk isu seperti sulitnya akses kesehatan. Putaran pendanaan ini membantu kami untuk terus membangun sumberdaya engineer dan mengembangkan produk yang paling cocok untuk adopsi yang lebih luas dalam rangka mencapai tujuan tersebut.”

HaloDoc diluncurkan bulan April lalu, HaloDoc memiliki sejumlah fitur kesehatan, seperti konsultasi medis menggunakan fitur video call (teleconsultation), pembelian obat melalui Apotik Antar yang lebih dulu hadir, pemeriksaaan lab secara on-demand, dan informasi direktori yang memuat informasi dokter dan pusat kesehatan di Indonesia.

Sepanjang tahun ini banyak startup teknologi kesehatan yang mendapatkan pendanaan baru. Meskipun demikian, menurut survei yang dilakukan DailySocial, penetrasi layanan teknologi kesehatan di Indonesia masih rendah karena hanya sepertiga responden yang mengenal startup di sektor ini.

Pendanaan seperti ini, menjadi titik tolak bagi HaloDoc untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, yang tidak hanya belum mengerti soal produk-produk teknologi kesehatan, tapi juga kekurangan akses kesehatan yang memadai.

Application Information Will Show Up Here

Kadin Prediksikan Investasi Fintech Indonesia Capai $8 Miliar Pada 2018

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memprediksikan investasi di sektor industri financial technology (fintech) dapat mencapai $8 miliar atau sekitar 105 triliun Rupiah pada 2018. Asumsi itu dibuat dari data yang didapat Kadin pada 2008 dan 2013.

Rosan P. Roeslani, Ketua Umum Kadin, mengatakan pada 2008 investasi di fintech mencapai US$900 juta, kemudian meningkat tiga kali lipat di 2013 menjadi $3 miliar.

“Sehingga kami perkirakan jumlahnya bisa meningkat lebih tajam jadi $8 miliar di 2018,” ujarnya di sela-sela acara Indonesia Fintech Festival & Conference (IFFC) 2016.

Akan tetapi, untuk mencapai angka tersebut perlu diiringi oleh membaiknya ekosistem pendukung. Mulai dari regulasi, komunitas, pendanaan, hingga perilaku dan budaya masyarakat yang bisa mendukung pertumbuhan fintech.

“Seluruh faktor tersebut menjadi tidak terpisahkan. Kami percaya industri ini akan tumbuh berkembang di kemudian hari. Penyesuaian terhadap regulasi pun ini tergolong normal, mengingat industri fintech masih cukup muda.”

Seperti diketahui, sudah banyak perusahaan fintech Indonesia yang lahir dalam beberapa tahun belakangan dan mulai mendapat traksi dan pendanaan yang signifikan.

Beberapa waktu yang lalu, Modalku mengumumkan pendanaan baru dari Sequoia India sebesar $10 juta. Investree juga mendapatkan investasi Seri A dari modal ventura lokal Kejora.

Sebagai perbandingan, Kadin mencatat jumlah konsumen fintech di Afrika tumbuh dua kali lipat menjadi 101,3 juta dari sebelumnya 57,8 juta di 2012. Amerika Utara kini memiliki 90,7 juta pengguna, sementara Eropa sebesar 64 juta.

Amerika Latin tumbuh 162% dari segi pengguna, sementara Timur Tengah tumbuh hingga 300%. Untuk kawasan Asia Pasifik, jumlah investasi naik lima kali lipat jadi 2,7 miliar pada kuartal pertama 2016 dibandingkan kuartal yang sama di tahun sebelumnya.

Agensi Lokal Flock Dapat Investasi Tahap Awal dari East Ventures

Agensi iklan kreatif asal Jakarta Flock telah mendapatkan investasi tahap awal dari firma modal ventura lokal East Ventures dengan nilai yang tidak disebutkan. Pihak East Ventures menyebutkan suntikan dana ini bertujuan agar Flock bisa meraih pangsa pasar startup Indonesia sebagai konsumen utamanya.

Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures, mengatakan seiring bertambahnya jumlah startup di Indonesia, kategori ini akan menjadi lebih penting. Bahkan, strategi pemasaran digital yang digunakan saat ini bisa jadi tidak relevan lagi di masa depan.

[Baca juga: Talenta Umumkan Perolehan Dana Pra-Seri A yang Dipimpin East Ventures dan Skystar Capital dan Startup Teknologi Pertanian Eragano Peroleh Pendanaan Awal dari East Ventures]

Berdasarkan hasil riset dari PwC, satu dari 10 dollar belanja iklan di Indonesia akan dihabiskan di channel digital -termasuk mobile-, sementara dalam tiga tahun ke depan, pangsa pasarnya akan bergeser menjadi satu dari empat dollar. Sementara itu, eMarketer memprediksikan jumlah iklan belanja digital di Indonesia akan mencapai 257 triliun Rupiah di 2019.

PwC menerangkan jumlah pembelanjaan Indonesia untuk hiburan dan media memiliki Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate) sebesar 10,1%, atau lebih besar dari kebanyakan negara di Asia Pasifik. Peningkatan jumlah belanja, lanjut PwC, dalam dua tahun ke depan akan didorong oleh segala bentuk periklanan digital.

“Startup nantinya akan mencapai titik ujung saat bertumbuh pesat. Ke depannya mereka akan membutuhkan pendekatan kreatif dan berbeda untuk mendapatkan pengguna, mempertahankan pengguna tersebut, dan mengkomunikasikan nilai perusahaan. Kami menilai tim Flock adalah ‘enabler‘ dan memiliki posisi strategis untuk melakukan ini di Indonesia,” ujar Willson dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, Senin (15/8).

Ivan Hady Wibowo, CEO Flock, mengatakan saat ini masih banyak startup di Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk bermitra dengan merancang kegiatan pemasaran yang kolaboratif antara perusahaan dengan brand besar atau tokoh publik.

“Kebanyakan startup membutuhkan brand awareness dengan budget terbatas. Dengan adanya mitra yang bisa menangani kegiatan kolaborasi, kami bisa membuat biayanya lebih efektif,” katanya.

Menurut Ivan, dana investasi yang didapat sebagian akan dipergunakan untuk meluncurkan beberapa produk teknologi baru, misalnya platform pembuatan konten untuk video dan platform pemasaran influencer otomatis.

Sekadar informasi, Flock adalah agensi yang khusus menangani perpaduan jasa periklanan dan pemasaran above-the-line (ATL) dan below-the-line (BTL) untuk perusahaan teknologi. ATL merujuk pada kegiatan periklanan dan promosi yang terjadi di media mainstream.

Dengan adanya ATL, media berita dan minat khusus digunakan untuk promosi brand dan menjangkau target konsumen. Hal ini bisa dilakukan dengan metode konvensional seperti iklan TV, radio, dan iklan di media cetak dan online.

Sementara itu, BTL merupakan strategi periklanan atau pemasaran produk yang dipromosikan lewat medium yang lebih modern. Medium tersebut bisa mencakup video viral, kampanye e-mail, aktivitas influencer, dan promosi di media sosial.

‘Visi Flock adalah membantu perusahaan skala besar dan kecil di seluruh Indonesia bisa mendapatkan akses ke mitra pemasaran yang tepat dan platform influencer yang otomatis,’ pungkas Ivan.

Mengenal Valuasi Startup dan Istilah “Unicorn”

Semenjak makin banyak startup Indonesia yang berhasil mendapat pendanaan dengan nilai yang sangat fantastis, istilah valuasi startup kencang didiskusikan oleh masyarakat. Lalu sebenarnya apa itu valuasi dan bagaimana cara melakukan kalkukasi untuk menentukan valuasi sebuah startup?

Singkatnya valuasi merupakan nilai dari suatu startup. Karena umumnya startup itu masih tergolong semi-enterprise, biasanya nilai valuasinya ditentukan berdasarkan peretujuan antara founder dengan investor. Tidak ada perhitungan yang saklek untuk menentukan valuasi.

Umumnya investor memiliki benchmark internal dan prosedur penghitungan valuasi, mulai dilihat dari kapabilitas founder/co-founder, produk yang dipasarkan, traksi pengguna hingga potensi produk tersebut ke depan.

Di sisi lain valuasi juga memerlukan pembuktian. Ketika ada yang bertanya “berapa nilai perusahaan tertentu?”, jawabannya harus merefleksikan komponen apa saja yang mampu dijadikan daftar dalam penentuan nilai tersebut. Menariknya startup di Indonesia sendiri memiliki proses yang unik, jadi antara satu dengan yang lainnya kadang memiliki pendekatan yang berbeda dalam melakukan perhitungan valuasi. Jumlah modal yang ditanamkan, jumlah investor, kekuatan produk dan kredibilitas founder terlibat besar di dalamnya.

Perhitungan valuasi paling mudah bisa dicontohkan dengan perhitungan modal awal dan suntikan dana investor. Misal sebuah startup memiliki nilai awal Rp 10 miliar, kemudian sebuah venture capital menambahkan pendanaan Rp 10 miliar, berarti valuasi startup menjadi Rp 20 miliar dengan kepemilikan saham 50% milik venture capital tersebut. Biasanya perhitungan ini akan berjalan jika startup memang sudah mapan berdiri dan apa yang diproduksi sudah jelas.

Namun pada praktiknya tak semudah itu untuk menghitung capaian valuasi. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan:

“Untuk menentukan nilai valuasi dari sebuah startup sangat sulit sebenarnya. Dari sisi founder pasti merasa yang mereka kerjakan itu harganya tinggi sekali. Sementara dari investor, kita melihat kalau kita masuk di valuasi sekarang, di valuasi berapa kita bisa exit. Jadi valuasi pada saat investasi itu ditentukan nilai tengah dari ekspektasi investor dan founder.”

Willson menambahkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi valuasi startup sendiri adalah growth rate, setidaknya dengan persentase 30% MoM (Month-on-Month).

Perhitungan valuasi startup

Untuk menentukan nilai valuasi sendiri, satu startup dengan startup lainnya memang memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Ada beberapa hal yang mungkin mempengaruhi nilai valuasi startup. Pertama adalah nilai yang ditentukan oleh pasar (umumnya diwakili oleh investor). Misalnya jika investor mengatakan bahwa startup X bernilai $5 juta, maka itulah nilai yang layak. Namun kadang founder merasa nilainya harus lebih tinggi, misalnya ternyata ada aset atau kekuatan dari talenta bisnis yang dihitung bernilai lebih, namun jika startup tidak bisa mengumpulkan uang dari aset itu senilai penilaian valuasi tadi, maka startup memang harus menerima penilaian pasar.

Startup sebenarnya juga punya hak untuk menentukan nilainya sendiri. Hal yang mungkin ditunjukkan untuk menyanggah nilai valuasi yang dinilai terlalu rendah bisa menggunakan perbandingan dan proyeksi keuangan. Perbandingan biasanya dilakukan dengan cara menilai kapabilitas dan laju perkembangan startup yang bermain di sektor sama di pangsa pasar yang sama. Bagaimana jangkauan produk, traksi pengguna hingga varian produk yang ada di dalamnya akan menjadi bagian penting dalam komparasi tersebut.

Yang kedua adalah proyeksi keuangan. Tak mudah memang melakukan memastikan angkanya, namun tren dan traksi pengguna yang ada dari waktu sebelumnya seharusnya dapat dijadikan acuan, terlebih untuk produk digital, maka proyeksi tersebut akan lebih mudah dianalisis juga didasarkan dengan upaya pemasaran yang akan dibubuhkan.

Cara yang paling mudah untuk menunjukkan valuasi tak lain adalah dengan menunjukkan profit bisnis. Menunjukkan kepada semua orang bahwa bisnis yang dijalankan mampu memberikan keuntungan yang fantastis. Ini pun menjadi tantangan untuk startup, karena rata-rata di fase awal fokus bisnis memang akan condong kepada akuisisi pengguna dan perluasan pangsa pasar. Untuk itu biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada berapa tahun yang diperlukan sehingga bisnis bisa menguntungkan? Membandingkan berapa banyak perusahaan sejenis dan perbandingannya dalam mencapai profit?

Pada dasarnya penentuan valuasi startup memang menjadi sebuah proses seni. Seperti pada sebuah lukisan, penilaian kadang didasarkan poin-poin yang sulit dikalkulasikan secara matematis.

Mengapa bisa mencapai level unicorn?

Setelah mengenal tentang valuasi, umumnya orang akan berdiskusi tentang unicorn, sebuah “gelar” yang diberikan kepada startup yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar. Di Indonesia sendiri memang belum banyak startup unicorn. Salah satu yang sering digadang-gadang adalah Tokopedia, Traveloka, dan Go-Jek. Pada putaran pendanaan terakhir, Go-Jek berhasil membekukan valuasi $1,3 miliar.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa valuasi Go-Jek bisa mencapai angka tersebut? Apa saja yang mempengaruhinya? Untuk menjelaskan tentang hal tersebut, kami mencoba berdiskusi dengan CEO MDI Ventures Nicko Widjaja.

Nicko banyak menjelaskan tentang dinamika bisnis di pangsa pasar on-demand dan persaingan di sektor itu sendiri. Spesifik tentang pembahasan Go-Jek dan gelar unicorn-nya, Nicko juga menyampaikan bagaimana pandangan pasar dari kaca mata investor sehingga memberikan kepercayaan meningkatkan valuasi Go-Jek itu sendiri.

“Dengan Grab memperoleh pendanaan Seri F $600 juta (di waktu yang hampir sama dengan pendanaan Go-Jek), Go-Jek bersaing di pasar (on-demand lokal) yang belum jelas siapa pemimpin pasarnya. Saat ini penilaian didorong oleh market value. Didi memiliki valuasi $36 miliar, Uber $70 miliar, dan terakhir Uber Cina diakuisisi oleh Didi.”

Ia melanjutkan bahwa pada saat yang sama semua venture capital pendukung berinvestasi untuk mencari “killer” untuk pangsa pasar di wilayah tersebut. Nilai unik Go-Jek sebagai masa depan bisnisnya adalah revolusi layanan pembayaran dengan Go-Pay. Mereka tidak mematokkan diri sebagai pemain di sektor transportasi, tapi sebagai sebuah platform yang memberikan berbagai jasa layanan untuk kebutuhan sehari-hari melalui sistem on-demand.

“Menjadi investor di pasar berkembang di Asia Tenggara, berarti bahwa kita berinvestasi dalam ekosistem dan infrastruktur. Go-Jek telah memainkan peran penting dalam membangun ekosistem dan infrastruktur mereka untuk [membudayakan] masyarakat melek digital,” ujar Nicko.

Beberapa Hal yang Dilirik Investor dari Sebuah Startup

Beberapa startup membutuhkan investor untuk membantu mengakselerasi bisnisnya. Biasanya jika memang menargetkan ingin mendapatkan investor startup sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Bahkan tidak jarang pula mempelajari bagaimana cara mendapatkan perhatian para investor. Ada beberapa hal yang menjadi fokus investor, yang paling sering disebut-sebut adalah soal founder dan timnya. Juga mengenai momen dan ketepatan peluncuran produk atau layanan.

Founder dan tim adalah salah satu hal yang sudah pasti diperhatikan oleh para investor. Rekam jejak founder dalam dunia bisnis maupun pendidikannya bisa menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi keputusan investor, demikian juga dengan tim. Startup yang baik di dalamnya terpelihara iklim kerja yang bagus. Hal ini bisa menjadi fondasi yang bagus bagi startup untuk berkembang.

Selanjutnya hal yang bisa menarik perhatian investor adalah mengenai kejelasan, baik tujuan atau pasar yang dituju, dan juga kejelasan mengenai permasalahan apa yang ingin diselesaikan dengan produk atau layanan yang dijalankan. Hal ini cukup krusial mengingat ini berisi hal yang paling mendasar dari didirikannya sebuah startup. Berkaitan juga dengan bisnis model jangka panjang yang bisa diterapkan atau tidak. Termasuk momentum kapan produk atau layanannya diluncurkan.

Tidak dapat dipungkiri matriks seperti penjualan, pertumbuhan pengguna, dan loyalitas pengguna memiliki pengaruh besar dalam keputusan investor. Data-data tersebut dijadikan bahan riset untuk melihat sejauh mana startup berkembang sekaligus memprediksikan sampai sejauh mana perkembangan startup satu atau dua tahun setelah ini.

Faktor selanjutnya adalah mengenai valuasi. Jika saat presentasi di hadapan investor Anda terlalu tinggi menetapkan nilai valuasi perusahaan Anda ini akan membawa dampak negatif. Tidak hanya terhadap startup, tetapi juga Anda. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang angel investor Basil Peter, menurutnya over-valuation merupakan salah satu masalah paling umum yang dihadapi seorang investor. Hal ini terjadi karena biasanya founder terlalu terburu-buru untuk mendapatkan sesuatu yang besar di awal.