Mendorong Regulasi Pengumpulan Data Pribadi untuk Industri AI

Pengumpulan data bagi industri teknologi, khususnya yang berurusan dengan kecerdasan buatan atau AI, merupakan sebuah keharusan. Namun proses pengumpulan data ini dianggap memerlukan batas-batas tertentu agar tak mencederai hak privasi masyarakat.

Tema tersebut menjadi pokok pembahasan dalam Indonesia AI Forum yang dihelat oleh Nodeflux dan Kata.ai, dua perusahaan yang fokus bergerak dalam inovasi AI di Indonesia.

CEO Kata.ai Irzan Raditya meyakini teknologi AI sudah jadi bagian keseharian masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana cara kerja Spotify ataupun Gojek, dua aplikasi yang umum dipakai masyarakat, dapat membuat layanan yang sudah dipersonalisasi sesuai kebiasaan tiap pengguna.

Namun banyaknya produk dan inovasi berbasis AI yang dikonsumsi masyarakat luas itu menurut Irzan juga harus diimbangi regulasi yang dapat memandu pelaku industri juga meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses pengambilan data tersebut.

“Contohnya memiliki dokumen privacy policy. Jadi pengguna tahu apa saja data mereka yang akan diperlukan dan mereka bisa memilih data apa yang tidak akan masuk ke dalam suatu produk,” ujar Irzan.

Irzan juga menyebut anonimitas untuk data yang bersifat sensitif seperti nama, nomor telepon, dan alamat email, diperlukan dalam pengumpulan data. Kendati demikian, ia berharap regulasi untuk melindungi data pribadi tidak kontraproduktif sehingga malah menyulitkan industri untuk berinovasi.

“Kami percaya regulasi dibutuhkan. Tapi yang juga penting pemerintah bisa membantu pemain lokal berinovasi guna memberikan dampak positif,” imbuhnya.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih dalam proses legislasi. Mekanisme pengumpulan data sudah diatur dalam beleid tersebut sehingga masyarakat memiliki wewenang lebih atas data pribadinya.

Salah satu turunan konkret dari RUU itu adalah rencana pembentukan badan independen yang khusus memproteksi data pribadi.

“Badan ini ke depannya dapat memberi panduan bagi para pelaku industri dalam mengolah data secara bertanggung jawab,” ucap Semuel.

Jelang berakhirnya masa kerja DPR 2014-2019, RUU PDP ini belum masuk tahap pengesahan di DPR. Namun Semuel menyebut pihaknya terus mengupayakan agar beleid itu rampung sebelum pergantian periode.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dibahas di DPR,” pungkasnya.

Potensi Pengembangan Teknologi “Artificial Intelligence” di Asia Tenggara

Teknologi Artificial Intelligence (AI) dengan berbagai macam produknya saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari pengaruhnya untuk pengembangan teknologi finansial, edukasi, hingga layanan kesehatan. AI sudah mempermudah dan mempercepat semua proses tersebut.

Sesi #SelasaStartup kali ini menghadirkan CEO Kata.ai Irzan Raditya. Irzan berbagi pengalamannya membangun startup yang mengedepankan teknologi AI dan program eFounder Fellowship Alibaba yang berlangsung di Tiongkok beberapa waktu yang lalu.

Meningkatkan ekonomi digital

Indonesia, meskipun masih dalam proses pengenalan dan pengembangan, ternyata memiliki potensi untuk penerapan teknologi AI. Menurut Irzan meskipun sangat luas cakupannya, namun dengan machine learning yang berfungsi sebagai core teknologi AI, deep learning justru yang paling banyak dikembangkan oleh pengembang di Indonesia.

“Penggunaan data yang sangat banyak hingga pengolahan data dan akurasi menjadikan deep learning paling sering diterapkan di Indonesia,” kata Irzan.

Berbeda dengan Tiongkok yang termasuk negara paling advance dalam hal penerapan teknologi AI, kebanyakan masyarakat dari berbagai kalangan sudah terbiasa dengan adopsi teknologi. Mulai dari facial recognition, visual recognition semua sudah banyak diterapkan di Tiongkok. Dalam hal pembayaran sudah tidak lagi menggunakan uang tunai dan pembayaran non-tunai sudah menjadi pemandangan yang umum. Proses pembayaran tanpa kasir dan hanya memanfaatkan facial recognition juga sudah banyak diterapkan di Tiongkok.

“Untuk edukasi sendiri orang tua tidak perlu khawatir dengan aktivitas putra-putri mereka di sekolah. Dengan facial recognition semua bisa terpantau mulai dari kehadiran hingga hasil ujian mereka di sekolah,” kata Irzan.

Di Indonesia sendiri, meskipun belum terlalu masif diterapkan, namun kehadiran Go-Pay, Dana, dan OVO yang memanfaatkan QR Code untuk pembayaran mulai mengedukasi semua kalangan untuk mulai mengadopsi teknologi. Tidak hanya dimanfaatkan generasi muda, dengan proses yang mudah dan user-friendly teknologi tersebut juga bisa digunakan oleh lansia.

“Di Tiongkok saya melihat sudah banyak kalangan lansia atau mereka yang termasuk dalam usia tua menggunakan pembayaran secara cashless. Semua membuktikan jika tampilan dibuat dengan mudah dan user friendly, semua orang bisa mengadopsi teknologi,” kata Irzan.

Membantu UKM, layanan kesehatan, dan pendidikan

Salah satu faktor krusial yang dinilai mempengaruhi pengembangan teknologi AI dalam kehidupan sehari-hari adalah kehadiran fintech dengan penerapan teknologi AI dalam sistem mereka. Mulai dari pengumpulan data hingga credit scoring, semua bisa didapatkan secara cepat memanfaatkan teknologi tersebut. Efeknya proses pengecekan dan verifikasi bisa berjalan lebih cepat dan secara langsung membantu bisnis untuk mendapatkan modal tambahan, tanpa proses manual yang panjang dan menyulitkan.

Selain finansial, teknologi AI juga bisa membantu sektor kesehatan. Salah satunya menghadirkan konsultasi langsung, memanfaatkan aplikasi, yang menghubungkan dokter dengan pasien.

Dari sisi edukasi, teknologi AI dengan penerapan facial dan voice recognition juga bisa membantu anak-anak untuk mempelajari hal-hal paling mendasar. Dengan demikian proses belajar-mengajar bisa berjalan dengan mudah namun tetap menyenangkan untuk si anak.

“Ke depannya saya melihat potensi AI di Asia Tenggara bisa mengotomasi sekitar 50% pekerjaan dan mendatangkan penghasilan yang besar jika diterapkan dan dikembangkan secara positif. Untuk itu relasi dengan private sector dan pemerintahan bisa menentukan kemajuan teknologi AI agar bisa diterapkan lebih masif lagi,” tutup Irzan.

Platform Social Commerce Halosis Resmi Hadir, Majukan UKM Berjualan Online dengan Chatbot

Halosis, platform social commerce, meresmikan kehadiran setelah beroperasi kurang lebih dua tahun dengan menghadirkan versi 2.0. Dalam versi terbaru ini, Halosis meluncurkan asisten virtual Hana untuk mengakomodasi seluruh penerimaan order secara otomatis oleh chatbot.

Hana membantu bantu pengusaha UKM dalam menerima order, pencatatan order, manajemen stok, dan pesanan. Dalam menyediakan solusi AI ini, Halosis memanfaatkan teknologi Natural Languange Processing (NLP) yang disediakan oleh Kata.ai.

Kemitraan ini sekaligus menandakan pertama kalinya Kata.ai membuka infrastrukturnya kepada pihak ketiga yang fokus ke segmen UKM. Selama ini, Kata.ai lebih dikenal sebagai mitra teknologi untuk korporat besar.

“Kami pakai teknologi NLP dari Kata.ai yang sudah lebih maju. Halosis tidak hanya fokus ke chatbot saja, tapi lebih ke ekosistemnya bagaimana bisa fokus bantu penjual UKM memudahkan saat berjualan online. Kami bekerja sama dengan banyak pihak untuk bangun ekosistemnya,” terang Co-Founder dan CEO Halosis Andrew Darmadi, Selasa (12/3).

Dalam peluncuran turut hadir Co-Founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya. Dia mengatakan pihaknya ingin mendemokratisasi AI agar dapat diadopsi untuk segala fungsi dan segmen, yang akhirnya kini menjadi PaaS. Setelah ini, ada mitra lain yang bakal memanfaatkan teknologi NLP dari Kata.ai.

“Ini sudah zamannya kolaborasi. Sebagai PaaS, kami mau demokratisasi AI di segala macam fungsi. Kami lihat segmen UKM itu menarik sekali, tapi kami tidak bisa lakukan itu sendiri sebab selama ini kami fokusnya ke segmen enterprise,” kata Irzan.

Halosis sendiri berdiri sejak pertengahan 2017. Layanan baru tersedia pada akhir tahun 2017 dengan versi 1.0. Halosis bergabung ke IDX Incubator, kemudian melanjutkan ke program Digitaraya – Google Launchpad pada awal tahun ini.

Model bisnis Halosis

Ekosistem Halosis sudah terhubung dengan berbagai pihak pendukung, seperti aplikasi messaging (Facebook Messenger), mitra kurir (JNE, SiCepat, J&T Express), aplikasi e-wallet (Ovo), dan perbankan (BCA) untuk mengakomodasi seluruh transaksi online. Layanan yang sudah terintegrasi ini, membuat pengalaman konsumen saat berbelanja di toko online UKM jadi lebih baik.

Konsumen tidak perlu mengunduh aplikasi apapun karena semuanya berbasis situs. Pengusaha cukup menyediakan link Halosis yang sudah terhubung dengan toko online-nya agar dapat langsung chatting dengan Hana. Apabila konsumen ingin menghubungi langsung admin, ada opsi yang bisa dipilih.

“Pengusaha UKM juga terhubung dengan inventory management system, supaya konsumen enggak marah kalau barangnya sudah habis. Sampai saat ekspedisi juga telah terhubung, ada nomor resi yang segera dikirimkan begitu konfirmasi pembayaran sudah diterima. Bisa langsung pantau proses pengirimannya.”

Dari sisi pengusaha, mereka dapat memantau seluruh pemesanan yang masuk dari berbagai platform messanging dalam dashboard. Pengusaha juga dapat mengirimkan kode tracking dari mitra kurir ketika barang sudah dikirim ke konsumen via chat room.

Kehadiran dashboard secara tidak langsung membantu pengusaha dalam merekap seluruh transaksi penjualan. Waktu pun jadi lebih terpangkas karena sudah terbantu lewat teknologi. Diklaim pada tahun lalu Halosis telah membantu seluruh mitranya menghemat waktu sampai 500 ribu jam.

“Selama ini untuk kirim barang itu, UKM butuh waktu lama karena harus manual setiap transaksi yang masuk, belum lagi harus konfirmasi pembayaran. Ada mitra kita yang baru bisa kirim barang tiga hari kemudian setelah konfirmasi terima.”

Halosis menyediakan paket secara gratis untuk pengusaha yang ingin mencoba. Selain itu, layanan Halosis dapat dimanfaatkan mulai dari Rp500 ribu untuk paket premium dan Rp1,5 juta untuk paket enterprise yang disertai lebih banyak fitur.

Rencana tahun ini

Pasca peresmian ini, Halosis akan ngebut mengembangkan bisnisnya dengan memperbanyak integrasi aplikasi messaging. Rencananya, Halosis siap terintegrasi dengan Instagram Direct Message, Line Messenger, dan WhatsApp.

Pengusaha UKM yang digaet juga bakal lebih digenjot. Andrew menargetkan setidaknya pada tahun ini pihaknya dapat menambah jadi 30 ribu pengusaha UKM yang bergabung dan meningkat jadi 1 juta pengguna pada 2022 mendatang. Saat ini kebanyakan mitra yang bergabung bergerak di segmen fesyen dan produk kecantikan.

Halosis disebutkan telah menangani 199.200 ribu chat pada tahun lalu. Dari angka tersebut, terdapat 40.236 transaksi yang berhasil dikonversi atau senilai US$1 juta (senilai R14,27 miliar).

CTO Halosis Sonya Johar menambahkan, pihaknya sedang mengembangkan sistem Hana dapat memberikan rekomendasi kepada konsumen berdasarkan histori produk yang mereka beli sebelumnya. Tak hanya itu, Hana dapat menyimpan lebih banyak data, untuk permudah saat terjadi reorder sehingga transaksi lebih cepat selesai.

“Hana akan lebih banyak menyimpan data transaksi agar bisa beri rekomendasi produk, harapannya dengan AI pendekatannya jadi lebih personal lagi,” pungkas Sonya.

Tim Halosis saat ini terdiri dari 17 orang. Perusahaan telah menerima pendanaan tahap awal dengan nilai yang dirahasiakan dari beberapa angel investor pada Januari 2019 ini.

Kata.ai Tawarkan Solusi Layanan Pelanggan Manfaatkan WhatsApp Business API

Kata.ai, yang selama ini dikenal sebagai startup yang fokus pada pengembangan solusi Artificial Intelligence (AI) dan Natural Language Processing (NLP), kembali mengumumkan solusi terbarunya yakni solusi layanan pelanggan melalui WhatsApp. Solusi ini ditawarkan bagi para perusahaan yang ingin menyederhanakan proses pelayanan pelanggan.

Solusi terbaru Kata.ai ini akan memanfaatkan keahlian mereka di bidang chatbot, AI, dan pemrosesan bahasa natural dan dikombinasikan dengan WhatsApp Business API .

Ada tiga jenis layanan pelanggan berbasis WhatsApp yang dikembangkan. Yang pertama adalah layanan customer support 24/7 yang memungkinkan pelanggan menyampaikan keluhan atau pertanyaan terkait jasa dan produk perusahaan melalui satu nomor akun WhatsApp. Percakapan nantinya bisa dilayani oleh chatbot atau agen-agen customer service.

Layanan kedua yang dikembangkan adalah notifikasi. Layanan ini memungkinkan perusahaan dapat mengirimkan pemberitahuan terkait status pemesanan, konfirmasi order hingga termasuk kode otentik kepada setiap pelanggannya.

Layanan terakhir yang disiapkan adalah layanan purna jual. Layanan yang memungkinkan perusahaan dapat memantau kepuasan pelanggan mereka sekaligus membangun hubungan yang lebih baik dengan konsumen yang ada.

“Kami telah melakukan integrasi dengan WhatsApp Business API untuk menawarkan solusi bagi para perusahaan yang ingin berinteraksi langsung dengan para konsumen melalui aplikasi WhatsApp. Saat ini, masih sangat sedikit perusahaan yang memiliki akses ke layanan WhatsApp Business API di Indonesia, padahal data menunjukkan WhatsApp adalah aplikasi perpesanan yang dipilih oleh paling banyak masyarakat Indonesia. Dengan adanya integrasi ke WhatsApp Business API, kini semua perusahaan di Indonesia dapat memiliki akun WhatsApp Business dan menjawab kebutuhan konsumen dengan lebih cepat dan lebih efektif,” ujar CEO Kata.ai Irzan Raditnya.

Semua solusi yang ditawarkan oleh Kata.ai akan dilengkapi dengan AI dan NLP sehingga chatbot dapat memberikan jawaban otomatis sesuai dengan format yang ditentukan sebelumnya. Sistem AI juga akan dapat mendeteksi jawaban konsumen dan memberikan respon yang sesuai dengan kata kunci tertentu. Semua solusi ini akan menawarkan fleksibilitas waktu, karena sistem akan berjalan 24/7 tanpa dibatasi jam operasional tertentu.

Irzan menambahkan, ia berharap dengan menghadirkan solusi baru ini Kata.ai dapat membantu lebih banyak perusahaan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dengan interaksi dan hubungan yang lebih efektif.

“Di satu sisi, pelanggan akan lebih mudah mendapatkan jawaban dan bantuan dari perusahaan. Mereka tidak perlu repot masuk ke website, hanya perlu membuka aplikasi WhatsApp di ponsel dan mengetikkan keluhan atau pertanyaan. Di sisi lain, perusahaan juga dapat berkomunikasi dengan konsumen secara langsung. Kapan pun dibutuhkan. Risiko kekecewaan pelanggan karena respons yang lama bisa berkurang secara signifikan,” tutup Irzan.

Indonesia Menuju Adopsi Kecerdasan Buatan yang Lebih Matang

“Kecerdasan buatan merupakan sebuah kreasi yang membentuk masa depan kita,” tutur Irzan Raditya, co-founder sekaligus CEO Kata.ai saat membuka konferensi INTERACT di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dalam keynote speech-nya, Irzan menegaskan bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) tak akan menggantikan pekerjaan manusia seperti yang diprediksi banyak pihak, termasuk Stephen Hawking yang menyebut pengembangan AI justru jadi akhir dari kehidupan manusia.

“Teknologi ini justru membantu [manusia] untuk berpikir kreatif dan strategis, dan juga sebagai akselerator,” ungkap pria berkacamata tersebut.

Yang dimaksud kreatif dan strategis oleh Irzan adalah menangkap peluang pengembangan AI dengan memanfaatkannya di sejumlah sektor industri. Konferensi bertajuk “AI for Intelligent Digital Transformation” dirasa pas dengan sejumlah sektor di Tanah Air yang punya sekelumit masalah. Contohnya, sektor kesehatan (healthcare).

Di salah satu sesi INTERACT, Timur Bawono, GM PT Medlinx Asia Teknologi, mengungkapkan bahwa industri kesehatan di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, seperti kurangnya tenaga medis, belum terdigitalisasinya dokumen/database/rekam medis pasien, hingga sulitnya masyarakat mengakses layanan kesehatan karena keterbatasan wilayah/lokasi.

“Sebagai penyelanggara IT yang fokus di healthcare, kami ingin industri ini terbantu teknologinya. Misalnya AI, teknologi ini bisa bantu kelola dan analisa data sehingga bisa membuat keputusan dan rencana bisnis yang lebih achieveable. Karena data di rumah sakit, klinik, dan lainnya belum terdigitalisasi,” jelas Timur.

Sementara menurut Alfonsius P Timboel, VP Products Halodoc, pihaknya kini mulai serius menggarap AI untuk menjaga kualitas layanan. AI dapat dimanfaatkan untuk mengatasi ribuan konsultasi pengguna. Artinya, konsultasi yang tadinya ditangani dokter, kini bisa dibantu penanganannya oleh mesin tanpa mengurangi kualitas konsultasi itu sendiri.

Kembali lagi, Irzan berujar AI sama dengan ragam teknologi lain yang dapat diimplementasikan untuk berbagai sektor sesuai kebutuhan. Saat ini saja, sudah banyak perusahaan di sejumlah sektor di Indonesia yang memanfaatkannya untuk keperluan bisnis, seperti telekomunikasi dan perbankan.

Healthcare misalnya, teknologi ini bisa membantu pasien yang tinggal di daerah dan menghubungkannya dengan dokter-dokter di kota besar. Ini tinggal menunggu waktu, semua industri perlu kalau tidak mereka akan ketinggalan,” ujarnya lagi.

Saat ini, lanjutnya, posisi Indonesia dalam hal pengadopsian AI memang masih tertinggal jauh dari negara-negara kiblat teknologi macam Amerika Serikat dan Tiongkok. Semakin banyak data terstruktur akan meningkatkan input untuk AI. Terlebih, di sana regulator telab memberikan dukungan penuh untuk mengimplementasi AI, seperti profiling.

“Sekarang Indonesia sedang di fase realisasi. Tapi, pertumbuhan AI tak bisa bergantung pada kami, harus dari perusahaan besar ikut implementasi. Data atau tanpa data, algoritma secanggih apapun, tidak akan jalan kalau tidak ada yang adopsi. Tapi ini awal baik, startup [yang bergerak di bidang AI] mulai banyak.”

Inovasi baru peringkas informasi teks

Di konferensi INTERACT, Kata.ai juga memamerkan inovasi terbarunya untuk Kata Platform 3.0, versi terbaru Kata Platform yang dirancang untuk mengembangkan chatbot. Text Summarization yang akan hadir tahun depan, dipamerkan lewat sebuah demonstrasi apik oleh Pria Purnama, VP Product and Engineering Kata.ai.

Text Summarization merupakan inovasi lanjutan yang dapat mengolah informasi teks panjang menjadi ringkasan tiga hingga empat kalimat secara otomatis. Fitur ini dapat mempermudah pembaca untuk mencerna artikel berita lewat aplikasi pengiriman pesan.

DailySocial berkesempatan menyaksikan demo fitur terbaru ini. Ada dua berita dari situs Tempo.co yang dijadikan sebagai contoh. Sama seperti tampilan dan fungsi di Google Translate, fitur ini meringkas berita lebih dari 3000 karakter menjadi kurang dari 400 karakter saja.

Burhan Solikhin, Executive Director Tempo.co, yang juga hadir di sesi Demo Day ini, turut mengungkap bahwa AI juga dapat berfungsi untuk mengecek dan menyaring berita hoax di masa depan.

“Mungkin kami bisa membuat kolaborasi dengan Kata.ai untuk membuat filter [berita hoax] dengan AI. Misi kami adalah untuk publik dan republik, sehingga kami ingin kualitas berita semakin baik, seperti berita startup dan UKM, saat ini masih kurang.”

Saat ini Kata Platform telah digunakan lebih dari 3.700 developer untuk mengembangkan chatbot, dengan total pesan di chatbot Kata Platform telah mencapai 400 juta pesan. Setidaknya, terdapat lebih dari 30 perusahaan terkemuka yang menggunakan chatbot ini, superti Telkomsel, BRI, Unilever, Alfamart, dan Pegadaian.

Baca info lebih lengkap di sini

Mungkinkah Startup Fintech, Edtech, dan AI Jadi Unicorn Selanjutnya

Setelah GO-JEK, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak, siapa yang akan menjadi startup unicorn selanjutnya? Mungkinkah ada gebrakan dari sektor baru seperti fintech, edutech, bahkan artificial intelligence untuk menempati urutan kelima? Pertanyaan-pertanyaan tersebut saat ini memang baru bisa dijawab dengan beragam asumsi, berdasarkan iklim investasi di tiap lanskap investasi.

Tahun 2017 hingga sekarang banyak yang mengatakan sebagai tahunnya fintech di Indonesia. Memang, hal tersebut dibuktikan langsung dengan lahirnya banyak sekali pemain di industri, termasuk terciptanya regulasi baru yang secara khusus mengatur operasional fintech. Namun riuhnya industri apakah berbanding lurus dengan kepercayaan diri para pemain untuk menjadi unicorn selanjutnya.

Di sela-sela pagelaran Nexticorn 2018 di Bali, DailySocial menemui salah satu local investor yang fokus di fintech, yakni Eddi Danusaputro, Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia (MCI). Kami menanyakan seberapa percaya diri startup fintech di Indonesia untuk menjadi unicorn berikutnya. Eddi mantap memberikan jawaban optimis.

“Sangat optimis (startup fintech) bisa menjadi unicorn selanjutnya. Kita bisa melihat banyak startup fintech di Indonesia yang sudah mencapai Seri B, bahkan beberapa sudah Seri C. Fintech akan terus tumbuh karena secara proses bisnis menjadi enabler untuk banyak sektor, misalnya menjadi payment gateway atau sistem pembayaran,” terang Eddi.

Di tahun 2017 MCI menyiapkan dana mencapai 500 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech. Kendati demikian Eddi menyampaikan tidak ada target khusus dari sisi nominal untuk penggelontoran investasi, yang jelas mereka menargetkan tiap tahun akan menginvestasi 3 – 4 startup baru. Tahun ini MCI sudah berinvestasi di Koinworks (Seri A) dan Investree (Seri B).

CEO & Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia
CEO & Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia

Melihat dari sisi regulasi, hampir setiap pemain fintech yang kami temui mengatakan “fintech is extremely regulated“. Di Indonesia, para startup diatur langsung operasionalnya oleh OJK dan Bank Indonesia. Sementara OJK sudah cukup banyak memberikan izin untuk startup berjenis p2p lending beroperasi, BI cukup alot dalam mengeluarkan perizinan startup berjenis e-money/e-wallet.

“Pemerintah cukup konservatif dalam meregulasi fintech, tapi itu sangat bisa dimaklumi. Karena pada akhirnya regulasi itu juga untuk melindungi konsumen dan membangun kepercayaan masyarakat untuk layanan fintech itu sendiri,” ungkap Eddy.

Bagaimana dengan edtech?

Kemenkominfo mengurasi beberapa startup yang dinilai potensial untuk mendapatkan pendanaan lanjut menuju unicorn. Selain fintech, ada kategori lain seperti SaaS, artificial intelligence, healthtech, dan edtech. Edtech menjadi yang menarik, karena tidak banyak startup yang bisa bertahan dan bertumbuh di lanskap ini. Pasalnya pendidikan secara online sendiri belum menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.

HarukaEdu menjadi salah satu startup edtech yang direkomendasikan dalam Nexticorn. Kami menemui Novistiar Rustandi, Co-Founder & CEO HarukaEdu, untuk menanyakan pendapatnya soal menjadi unicorn selanjutnya. Ia memaparkan bahwa model bisnis akan menjadi kunci untuk melahirkan valuasi tinggi untuk startup edtech. Ia mencontohkan keberhasilan salah satu startup luar bernama 2U.com.

“Di luar negeri ada 2U.com, itu juga menjadi benchmark produk baru kami Pintaria. Platform ini menghadirkan layanan blended-learning, semacam kuliah online. Dulu 2U.com mencapai valuasi $1 miliar saat mereka hanya memiliki 12 ribu pengguna. Per tahun 2018 ini penggunanya sudah mencapai 32 ribu, valuasi pun meningkat senilai $4,8 miliar. Di edtech, akuisisinya sekali, tapi pelanggan akan bayar selama 4 tahun,” jelas Novistiar.

Pintaria menjadi produk terbaru HarukaEdu dengan konsep live long learning portal. Novistiar menceritakan pengembangan produk ini didasarkan pada kebutuhan generasi masa kini untuk terus belajar. Banyak pekerjaan lama yang sudah mulai dikikis dengan otomasi, mengharuskan setiap pekerja harus selalu memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri.

Cara kerja Pintaria dimulai dengan memberikan perspektif kompetensi industri yang bisa dipilih sesuai ketertarikan pengguna. Selanjutnya pengguna akan dihubungkan dengan lembaga yang menyediakan pengajaran secara online. Saat ini sudah bekerja sama dengan beberapa kampus, sehingga dipastikan sertifikat yang didapat diakui legal.

Co-Founder & CEO HarukaEdu
Co-Founder & CEO HarukaEdu

“Banyak pekerjaan lama mulai hilang, misalnya penjaga pintu tol atau kasir. Sementara banyak pekerjaan baru muncul, misalnya data scientist atau AI trainer. Revolusi industri 4.0 memang memberikan tantangan sendiri, tapi dengan memiliki prinsip harus selalu belajar, kita bisa terus mengikuti perkembangan zaman. Itu menjadi potensi bisnis yang coba diakomodasi HarukaEdu,” terang Novistiar.

Menutup perbincangan, tahun ini HarukaEdu juga dalam proses penyelesaian proses pendanaan tahap baru untuk akselerasi bisnis.

Artificial intelligence sebagai pendorong revolusi

Digitalisasi besar-besaran yang akan terjadi dalam revolusi industri 4.0 konon akan banyak didorong oleh artificial intelligence (AI) dan internet of things (IoT). Artinya terbuka peluang yang cukup signifikan untuk startup yang bergerak di bidang tersebut untuk menjadi pemimpin bisnis digital ke depannya. Demi mendapatkan perspektif, kami menemui juga Co-Founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Disrupsi ekonomi yang melibatkan AI mulai banyak terasa, bahkan nilainya bisa menjadi sangat besar. Irzan mengungkapkan, salah satu penelitian menyebutkan ekonomi yang dihasilkan dari AI di Asia Tenggara saja sudah mencapai $400 miliar. Hal ini disebabkan kebutuhan dari industri itu sendiri, untuk menghadirkan teknologi yang lebih advanced.

Co-Founder & CEO Kata.ai
Co-Founder & CEO Kata.ai

“Ada kebutuhan untuk membuat teknologi semakin personalized dan advanced. Dari sini jelas, masa depan startup AI akan sangat diminati. AI juga dikatakan menghadirkan disrupsi di berbagai jenis pekerjaan, namun juga menghadirkan ekonomi baru dan memberikan efisiensi kepada industri dalam menjalankan proses bisnisnya,” ujar Irzan.

Kata.ai memang dikenal sebagai startup yang menyasar segmentasi B2B. Melalui produk berbasis chatbot, mereka mendampingi banyak perusahaan menghadirkan otomasi, khususnya untuk pelayanan pelanggan. Lalu berkaitan dengan kepercayaan diri startup AI untuk menjadi unicorn, Irzan mengatakan peluangnya sangat besar.

“Untuk fundraising, setiap startup pastinya membutuhkan. Kami sendiri akan banyak update nanti di Desember, termasuk produk-produk baru. Misi kami jelas, mendampingi bisnis memiliki fitur kecerdasan, dengan menghadirkan akses ke AI engine,” sambung Irzan.

Kata.ai Updated to a New Version, Introduces “Bot Template” Feature

Chatbot service provider startup Kata.ai launches the latest platform, Kata Platform 2.5. In the latest version, Kata.ai has some new updates, including better UI/UX, bot template, a more complete documentation and easier tracking error.

“Overall, the improvement we’ve done in this version has made the platform easier to use than the previous one. The current UI (User Interface) is more user-friendly, and reduce the learning curve for developers when first using the platform. Obviously, it can fasten the chatbot making process. Particularly with the templates to use by the developer in creating chatbot, and a more complete documentation as references,” Irzan Raditya, Kata.ai‘s CEO, explained.

One of the highlights in this updates is the bot templates. A feature providing chatbot samples in Kata Platform which changeable and ready to use by developers. Therefore, the chatbot development process doesn’t start from zero.

Kata.ai currently has 3 chatbot templates, Bot API (chatbot which can connect to the 3rd party API), Button Bot (chatbot that comes with buttons as the UI elements in conversation), and Shopping Bot (chatbot which can be used to facilitate transactions or purchases). The number of chatbots IS promised to be increased due to various needs.

Raditya mentioned, Kata.ai is quite confident about the latest platform. It can’t be separated from many users’ input accommodated in the latest update.

“We want the chatbot development process in this platform to be faster, for many developers creating chatbot. Since the 2.5 platform launched a few weeks ago, thousands of active bots are created by the developers using our platform,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kata.ai Luncurkan Versi Baru, Munculkan Fitur “Bot Template”

Kata.ai startup penyedia layanan chatbot meluncurkan platform terbaru mereka, Kata Platform 2.5. Di versi terbarunya ini Kata.ai menyuguhkan beberapa pembaruan, di antaranya UI/UX yang lebih baik, bot template, dokumentasi yang lebih lengkap dan tracking error yang lebih mudah.

“Secara keseluruhan, peningkatan yang kami lakukan di versi ini membuat platform lebih mudah digunakan dibandingkan versi sebelumnya. UI (User Interface) yang sekarang ditampilkan lebih user-friendly, dan mengurangi learning curve yang harus dihadapi developer saat pertama kali menggunakan platform. Tentunya dengan hal ini proses pembuatan chatbot bisa menjadi jauh lebih cepat. Apalagi sekarang ada template-template yang bisa digunakan oleh developer saat membangun chatbot, dan dokumentasi yang lebih lengkap sebagai sumber referensi,” jelas CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Salah satu yang menarik dari pembaruan kali ini adalah tersedianya bot template. Fitur yang menyediakan contoh-contoh chatbot siap pakai dalam Kata Platform yang bisa diubah dan digunakan langsung oleh developer. Sehingga proses pengembangan chatbot tidak dimulai dari nol.

Saat ini Kata.ai memiliki 3 buah template chatbot, API Bot (chatbot yang bisa terhubung dengan API 3rd Party), Button Bot (chatbot yang dilengkapi dengan tombol-tombol sebagai elemen UI dalam percakapan), dan Shopping Bot (chatbot yang bisa digunakan untuk memfasilitasi proses transaksi atau pembelian barang). Jumlah chatbot ini dijanjikan akan terus ditambahkan untuk memenuhi beragam kebutuhan untuk chatbot.

Irzan mengungkapkan, Kata.ai cukup optimis dengan platform terbarunya. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya masukan pengguna yang diakomodasi di update terbaru ini.

“Kami ingin proses pembuatan chatbot di dalam platform ini semakin cepat dan semakin banyak developer yang membuat chatbot. Sejak diluncurkan platform 2.5 beberapa minggu lalu, sudah ribuat bot aktif yang dibuat oleh developer pengguna platform kami,” imbuh Irzan.

Ramai-Ramai Mengembangkan Chatbot

Industri perbankan menjadi sasaran berikutnya yang ‘terganggu’ dengan kehadiran teknologi. Perkembangan teknologi yang tidak terbendung, mau tak mau tidak bisa dilawan, tapi harus jadi kawan.

Inilah yang terjadi ketika bank dihadapi dengan salah satu perkembangan teknologi terkini, chatbot. Sebuah robot yang diprogram untuk membalas pesan dibantu dengan kecerdasan buatan agar percakapan terasal lebih natural. Dari sana, lahirlah Vira (BCA), Cinta (BNI), Mita (Bank Mandiri), dan Sabrina (BRI).

Dalam mengembangkan chatbot, bank tidak harus bekerja keras sendiri, bisa gandeng startup yang spesialis di bidangnya. Ada Kata.ai, Bang Joni, Sprint Asia, Botika, Eva, dan lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh BRI dengan gandeng Kata.ai, Bank Mandiri dengan InMotion, BNI dengan Bang Joni.

Pertimbangannya, tren yang terjadi saat ini melakukan kegiatan perbankan sekarang tidak harus lagi harus datang ke cabang tapi bisa lewat ponsel saja tanpa harus unduh aplikasi tambahan apapun. Cukup pakai aplikasi chat messaging atau sosial media yang dipakai untuk bisa akses layanan bank.

Perlu diketahui, pada dasarnya fungsi chatbot digolongkan ke dalam dua kategori, yakni otomasi percakapan dan kebutuhan fungsional. Untuk otomasi percakapan umumnya sering diimplementasikan oleh pedagang online demi meningkatkan interaksi secara kontinu dengan konsumennya.

Sedangkan kebutuhan fungsional, umumnya dirancang secara spesifk dengan melibatkan fitur lain yang kompleks seperti API khusus, otomatisasi pembayaran dan lainnya.

Untuk tahap awal fungsi chatbot yang dihadirkan keempat perbankan tersebut masih menjalankan fungsi customer service yang ada di lapisan pertama. Bertugas membantu jawab pertanyaan yang sifatnya umum dan repetitif.

Dari fungsinya tersebut, chatbot jadi manuver bank bagaimana menjadikan selayaknya saat nasabah menghubungi CS, yang mana bisa dihubungi kapan saja, tutur bahasa yang ramah, dan dapat diandalkan.

Tidak menutup kemungkinan bank lainnya akan menyusul hal serupa seperti yang dilakukan keempat bank besar ini. Mengapa belakangan bank ramai-ramai lirik peluang dari chatbot?

CEO Sprint Asia Technology Setyo Harsoyo punya jawabannya. Menurutnya, pada dasarnya semua perusahaan termasuk bank ingin meningkatkan engagement dengan para customer-nya. Banyak cara yang sudah dilakukan, seperti lewat situs, call center, email, SMS, dan lainnya.

Kemudian lahirnya teknologi chatbot yang berbeda dari semua channel di atas. Dengan chatbot, nasabah dari suatu bank dapat dengan mudah berhubungan dengan bank karena chatbot bisa melayani secara interaktif ribuan nasabah pada saat bersamaan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan call center.

“Misalnya untuk dapat melayani 1.000 nasabah pada saat bersamaan cukup dengan satu bot, sementara call center memerlukan 1.000 agen,” terang Setyo.

Menambahkan pernyataan Setyo, CEO Kata.ai Irzan Raditya menuturkan chatbot adalah salah satu pilihan strategis karena mereka menyadari tren yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Aplikasi messaging sudah jadi bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, hal tersebut jadi peluang untuk lebih mudah jangkau nasabah melalui akun chatbot di aplikasi messaging favorit mereka.

“Hal inilah yang menurut kami menjadi kelebihan chatbot di bandingkan aplikasi. Friksi dan upaya yang diperlukan dari nasabah untuk mengakses chatbot jauh lebih kecil dibandingkan meng-install aplikasi, buka situs, atau menelepon CS,” terangnya.

“Terlebih lagi, banyak dari bank tersebut telah berinvestasi di kanal media sosial mereka sebagai sarana marketing untuk menggaet ratusan ribu bahkan jutaan audiens. Maka dari itu chatbot hadir sebagai layanan yang memberikan nilai tambah bagi nasabah mereka dengan berbagai macam kegunaan,” sambung Irzan.

Chatbot adalah suatu keniscayaan

DailySocial pun mencoba menghubungi perwakilan keempat bank tersebut untuk mengutarakan pendapatnya. Semuanya sepakat bahwa chatbot adalah suatu keniscayaan yang sudah saatnya untuk diadaptasi lantaran harus mengikuti tren yang terjadi.

“Teknologi yang dipilih dan dikembangkan tentunya didasarkan atas kebutuhan nasabah dari bank. Kami menerapkan pola customer centric dan research yang memadai sebelum launching suatu produk. Kami pilih chatbot untuk jawab kebutuhan masyarakat yang semakin dinamik lewat digital channel,” ujar Direktur BRI Indra Utoyo.

General Manager E-Banking Division BNI Anang Fauzie menambahkan, “Orang spending waktu lebih banyak di aplikasi chat dan mereka lebih menyukai menerima info dan promo lewat media sosial atau aplikasi.”

Pun demikian bagi BCA, Direktur BCA Santoso bilang, “Adopsi terhadap suatu teknologi harus seirama dengan fokus kami yaitu memberikan pengalaman terbaik bagi nasabah.”

Oleh karenanya, BCA melihat chatbot mampu menyampaikan dengan baik tujuan tersebut. Menurutnya informasi yang disampai Vira tidak hanya terbatas untuk nasabah saja, masyarakat umumpun dapat menikmati informasi-informasi yang diberikan Vira.

Bagi Bank Mandiri, chatbot mampu menciptakan komunikasi dua arah seperti selayaknya menghubungi customer service. Sebelumnya perseroan sudah menggunakan social messaging seperti Line untuk promosi dan edukasi, namun sifatnya hanya satu arah, dan masyarakat tidak bisa berinteraksi lebih lanjut.

“Pada perkembangannya, layanan contact center digital Bank Mandiri melalui email dan media sosial telah mencapai 10% dari total interaksi nasabah ke CS,” ujar Senior VP Customer Care Group Bank Mandiri Lila Noya.

Lila melanjutkan, “Pada tahap awal, nasabah dapat berinteraksi melalui chatbot untuk memperoleh informasi tentang produk, layanan, program promosi, dan informasi finansial. Sebab sekitar 70% nasabah yang berinteraksi dengan CS permintaannya terkait hal tersebut.”

Investasi yang worth it

Sekalinya sudah terjun, tentunya bank tidak bisa mundur begitu saja dari chatbot ini. Apalagi implementasinya ini masih tahap awal. Begitupun bagi BNI, Anang bilang keputusan bank untuk terjun ke chatbot ini worth it dengan manfaat chatbot bagi pengembangan bisnis.

Pihaknya mengaku investasi IT akan terus berlanjut menyesuaikan dengan tren industri. Sayangnya Anang tidak menerangkan lebih detil soal nominalnya.

Santoso pun menddukung pernyataan Anang. “Pastinya dengan shifting dunia yang semakin digital, teknologi jadi komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam semua aspek kehidupan maupun dalam organisasi. Tentunya ini akan seiring dengan jumlah investasi IT yang akan dikeluarkan.”

“Kami melihatnya dari sisi efektifitas dan efisiensi layanan. Melalui chatbot, nasabah dapat lebih mudah berinteraksi dengan Bank Mandiri, sehingga bisa memperkuat loyalitas mereka yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan bisnis bank,” tutur Lila Noya.

Dari kacamata para pengembang, menurut Irzan, biaya pengembangan dan operasional chatbot sangat bervariasi, tergantung pada fitur yang ingin dihadirkan seiring ambisi bank ingin seberapa jauh teknologi AI dan machine learning yang ingin diimplementasikan. Termasuk pula pengaruh berapa banyak pengguna yang ingin disasar.

“Kami sendiri menagih biaya operasional chatbot berdasarkan penggunaan (berapa banyak pesan yang masuk, berapa pengguna yang mengajak ngobrol, berpaa lama sesi percakapan antara chatbot dengan pengguna).”

Berdasarkan pengalamannya, meski tidak tidak disebutkan nominalnya, jumlah investasi di chatbot tidak lebih mahal dari jumlah investasi IT yang biasa dihabiskan oleh perusahaan besar.

Sementara bagi CEO Bang Joni Diatche Harahap, biaya untuk pembuatan chatbot sekarang sudah relatif turun tapi tergantung sistem dan kegunaan apa yang akan dilakukan. Bahkan, di dalam platformnya, biaya pembuatannya sangat terjangkau, relatif tanpa harus lewati proses coding, kecuali untuk fitur yang dikostumisasi untuk spesifik perbankan.

Setyo Harsoyo turut berpendapat, “Biaya sangat relatif, tergantung dibandingkan dengan apa? Jika dibandingkan dengan biaya pengadaan dan pengelolaan call center jelas lebih murah.”

Kendati dianggap sebagai investasi yang worth it, masih ada kekurangan yang dirasa oleh para pemain. Lila Noya berpendapat, meski perekaman data melalui Mita sangat mudah dan dapat jadi bahan evaluasi untuk meningkatkan layanan kepada nasabah dan internal kontrol.

Akan tetapi, pengembangan sistem bot untuk dapat merespons permintaan nasabah yang kompleks masih membutuhkan waktu yang relatif lama.

Senada, Anang Fauzie melihat pengkayaan kosa kata sangat menantang karena akan sangat variatif cara orang bertanya dan berbahasa. Namun hal tersebut bisa diakali dengan mengoptimalkan kecerdasan buatan untuk pelajari bahasa, agar ia semakin pintar deteksi bahasa.

 

Teknologi baru, tantangan baru

Irzan Raditya memahami karena masih implementasi tahap awal, kemampuan chatbot yang diterapkan bank di Indonesia tergolong cukup terbatas. Banyak sekali pengembangan yang perlu dilakukan untuk memastikan chatbot memiliki fungsionalitas sekaya aplikasi atau situs.

Saat ini, sambungnya, tantangan utama untuk chatbot yang diimplementasi di kanal media sosial adalah keamanan data. Ketika chatbot merambah fitur transaksi (core banking), opsi terbaik untuk melakukannya adalah lewat aplikasi atau situs milik bank tersebut.

“Maka dari itu mayoritas chatbot yang ada saat ini masih terfokus di fungsi-fungsi komplementer, seperti CS, cari promo kartu kredit/debit, cari ATM terdekat, cari tahu soal produk, daftar kartu kredit, dan gimmick marketing lainnya. Namun kami yakin di masa yang akan datang, chatbot akan bisa mencapai fungsionalitas lebih baik dari sisi teknologinya.”

Ditambah pula, dari sisi teknis mengenai keamanan data, bank tidak diperkenankan untuk menyimpan data nasabah di server eksternal atau cloud. Semua data dan sistem teknologi harus tersimpan di server milik mereka sendiri (on premise).

Dampaknya, terletak pada biaya investasi yang perlu mereka keluarkan saat mencoba mengimplementasikan teknologi baru karena harus bangun infrastruktur teknologi mereka sendiri. Namun di sisi lain, bank hanya akan berinvestasi pada teknologi yang sudah terjamin mengingat kerumitan yang harus mereka hadapi saat implementasi teknologi baru.

“Dengan berlomba-lombanya bank di Indonesia eksplorasi chatbot, ini menunjukkan chatbot bukan lagi sekadar eksperimen teknologi. Tapi sudah jadi sebuah pilihan teknologi yang strategis untuk proses bisnis mereka.”

Di samping itu, tantangan lainnya yang masih harus dihadapi bank saat implementasi teknologi baru adalah soal regulasinya. Menurut Diatche Harahap, regulasi bank terkesan sangat terlambat untuk mengikuti perkembangan teknologi chatbot dengan AI.

Dia mencontohkan, untuk regulasi pembukaan rekening dan transaksi. Saat ini setelah hampir setahun, tak kunjung ada restu dari regulator padahal kebutuhan utama dari chatbot adalah regulasi yang mendukung.

“Regulasi adalah tantangan terbesar, bukan hanya data,” kata Ache, panggilan akrab Diatche.

Selalu membutuhkan sentuhan manusia

Kendati chatbot adalah robot yang menyerupai manusia, namun perbankan memastikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan sentuhan manusia yang nyata dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

“Sampai saat ini, kami belum melihat bahwa robot akan menggantikan manusia 100%. Akan selalu dibutuhkan sentuhan manusia dalam setiap teknologi. Apalagi untuk jenis usaha finansial seperti bank,” kata Santoso.

Bagi bank, berhubungan dengan nasabah secara langsung merupakan sesuatu yang sangat penting. Teknologi atau robot dalam hal ini akan membuat beberapa hal lebih efisiens dan lebih cepat (responsif), baik dari sisi perusahaan maupun nasabah.

Diungkapkan bahwa manusia memiliki unsur relationship yang tidak dapat tergantikan oleh robot. Anang Fauzie menambahkan, chatbot jadi alat untuk bantu dan melengkapi layanan, bukan untuk menggantikan penuh tenaga manusia.

Chatbot, menurutnya, akan membantu tim melayani hal-hal yang simpel namun banyak sekali dibutuhkan atau ditanyakan. Dengan demikian SDM bisa lebih fokus untuk pekerjaan yang lebih kompleks, sehingga tidak menyita waktu mereka.

“Sebagian layanan yang tidak bisa direspon via chatbot misalnya, yang sifatnya konsultatif maka tetap membutuhkan kehadiran layanan manusia,” ucap Indra Utoyo.

Masa depan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina

Tak hanya berguna untuk meringankan beban pekerjaan tim CS, chatbot juga dapat dimaksimalkan untuk keperluan lainnya. Lila Noya mengatakan Mita juga dimanfaatkan perseroan untuk keperluan marketing, menggali kebutuhan nasabah lewat survei dan representasi Bank Mandiri secara korporat.

Selain itu, Anang menambahkan, chatbot dipakai sebagai alat peningkat transaksi dan akuisisi nasabah baru. Serta, data mining untuk mengetahui preferensi nasabah.

“Kelak nasabah bebas memilih sarana atau channel apa yang sesuai dengan keinginan atau preferensi dan pola laku (behavior) yang cocok bagi nasabah,” tandas Santoso.

Sejauh ini bisa dikatakan BCA sebagai bank pelopor yang menghadirkan Vira ke publik pada pertengahan tahun lalu. Santoso menuturkan dampaknya bagi perusahaan adalah peningkatan pengguna dan interaksi dengan nasabah setiap bulannya. Sayangnya, dia tidak disebutkan berapa angka detailnya.

Bagi BCA, hal tersebut menjadi pencapaian yang positif karena semakin sering Vira diajak ngobrol, dia akan semakin “pintar”.

Sedangkan bagi Cinta, dampak bagi BNI adalah perseroan dapat menyebarkan informasi dengan biaya yang rendah karena lewat aplikasi messaging.

“Dengan demikian setiap blast promo yang kami kirimkan dapat dilihat langsung oleh user lewat gadget mereka,” terang Anang.

Perjalanan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina masih sangat panjang. Masih banyak sekali fitur-fitur yang bisa dikembangkan dan akan terus bertambah. Inisiasi empat bank beraset terbesar di Indonesia ini dengan memulainya lebih dahulu bisa menjadi faktor pemicu untuk bank lainnya melakukan hal serupa.

Kata.ai Hadirkan Produk Baru “Kata Bot Platform”, Bantu Startup Miliki Chatbot Sendiri

Kata.ai, startup yang bergerak di bidang kecerdasan buatan (AI), meresmikan produk baru Kata Bot Platform untuk membantu developer startup miliki chatbot sendiri. Tidak hanya untuk startup, platform ini juga disasar untuk developer dari perusahaan skala besar.

“Bila diibaratkan kami membuat rel yang bisa dipakai untuk bangun chatbot sendiri oleh para developer, bisa berkreasi semau mereka. Platform ini memenuhi standar industri, aman, serta dapat menangani perkembangan skala setinggi apapun,” terang CEO Kata.ai Irzan Raditya, Selasa (12/12).

Menurut Irzan, chatbot itu sendiri sebenarnya bisa dibuat oleh siapapun, hanya saja ada tantangan tersendiri saat hendak membawanya ke tingkat lebih lanjut. Apalagi saat harus menciptakan percakapan yang menarik dengan pelanggan. Antara lain, manajemen konteks, manajemen saluran, dan pengolahan bahasa secara alami.

Kata Bot Platform diklaim menangani seluruh tantangan tersebut dan menyajikannya dalam platform yang rapi. Sehingga memungkinkan developer untuk berkonsentrasi dan memastikan pengguna chatbot bisa menikmati pengalaman yang mulus.

Di dalam Kata Bot Platform, Kata.ai menyediakan kerangka kerja yang mengintegrasikan pengelolaan infrastruktur dan machine learning untuk proses pengembangan chatbot dari awal hingga akhir.

Developer pun juga dibebaskan untuk mengembangkan kemampuan chatbot hingga level tiga. Pengembangan chatbot, menurut Irzan, memiliki tiga level tingkatan. Pada level pertama, chatbot bottom based, kemudian disusul chatbot dengan Natural Language Processing (NLP) yang dapat memahami percakapan sehari-hari.

Terakhir, di level tertinggi chatbot dengan kemampuan personalisasi atas big data konsumen yang dikumpulkan brand.

“Developer startup dapat mengembangkan platform chatbot yang sudah mereka buat, tidak hanya dari level pertama saja tapi sampai ke level ketiga. Inilah yang membedakan kami dengan produk lainnya yang sudah beredar di pasaran.”

Kehadiran platform ini, diharapkan dapat membantu pelaku bisnis lebih cepat dalam meluncurkan chatbot mereka sendiri. Di saat yang bersamaan, mereka dapat menurunkan biaya investasi untuk penelitian dan pengembangan teknologi dari nol.

Kata Bot Platform sendiri baru resmi dihadirkan untuk publik pada hari ini, (12/12). Sejauh ini produk tersebut sudah diuji coba 20 perusahaan startup.

Sebelumnya, startup pengembang kecerdasan buatan lainnya BangJoni juga membuka mesinnya BJtech ke publik. Hal ini membuka kesempatan kepada pelaku bisnis atau individu mengembangkan chatbot sendiri dalam aplikasi, situs, atau platform lainnya.

Pencapaian dan rencana Kata.ai

Selain mengumumkan produk baru, Kata.ai juga mengungkapkan kinerjanya setahun setelah pivot dari YesBoss yang lebih menyasar pengguna dari kalangan B2C. Kata.ai diklaim mengalami pertumbuhan revenue hingga 34 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, tanpa menyebutkan nominal.

Dilihat dari jumlah klien, Kata.ai telah bermitra dengan 10 perusahaan. Mulai dari Telkomsel (Veronika), Unilever (Jemma), Microsoft Indonesia (Rinna), Infomedia, Qiscus, Skyshi, Prism, Codigo, dan lainnya. Dilihat dari total pengguna dari seluruh platform, pengguna yang memakai Kata.ai mencapai 26 juta pengguna dengan 200 juta perputaran pesan.

Tahun depan Kata.ai akan tetap fokus pada pengembangan chatbot berbasis pesan teks, sambil mempersiapkan chatbot berteknologi baru lainnya. Salah satu teknologi yang kemungkinan akan dikembangkan adalah chatbot berbasis suara.

Menurut CMO Kata.ai Reynir Fauzan, tahun depan Kata.ai akan mengumumkan berbagai inisiasi baru dengan berbagai perusahaan untuk terus membawa teknologinya agar dapat diimplementasikan ke berbagai sektor bisnis. Salah satunya, mengumumkan kemitraan dengan BRI.