SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Sea Group Rekrut Tim di Indonesia untuk Dorong Kehadiran Bank Digital

Di awal bulan Desember lalu, Sea Group, perusahaan induk Shopee, diberi lisensi perbankan digital penuh di Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel, dalam sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka lebar jalan industri keuangan di negara tersebut.

Selain Singapura, Indonesia — ekonomi terbesar di Asia Tenggara — juga menjadi pasar seksi bagi fintech dan bank digital. KrASIA menemukan bahwa Sea Group kemungkinan besar mengakuisisi pemberi pinjaman lokal di negara tersebut untuk membangun bisnis perbankannya sendiri. Menurut situs karier Shopee (sudah ditutup ketika diakses saat ini), perusahaan saat ini tengah merekrut tim lokal untuk ditempatkan di “SeaMoney Bank” di Jakarta dan Bandung, yang mencakup peran manajemen talenta, pajak, dan manajemen pendanaan.

Ketika disinggung mengenai hal ini, Sea Group menolak berkomentar. Perusahaan juga tidak berkomentar tentang peningkatan perekrutan di Jakarta dan Bandung. Laman karir tersebut menunjukkan bahwa tim baru akan ditempatkan di “SeaMoney – Bank BKE (bagian dari Sea Group), berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat”. Artinya, perusahaan yang dimaksud bisa jadi adalah Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang berkantor pusat di Menteng.

Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dan hampir 95% sahamnya dimiliki perusahaan bernama Danadipa Artha Indonesia. Informasi publik mengenai pemegang saham memang masih minim, namun salah satu direktur Danadipa Artha Indonesia bernama Intan Apriadi juga menjabat sebagai komisaris di Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn-nya. Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Maka dari itu, besar kemungkinan Sea memiliki hubungan langsung ke Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.

Menurut seorang analis yang mengetahui hal tersebut, perkembangan perbankan digital di Indonesia berbeda dengan di Singapura. “Di Singapura, pemain fintech baru akan mengajukan izin pembukaan bank, sementara di Indonesia, calon bank digital mengakuisisi bank lokal yang sudah memiliki izin,” ujarnya.

Bank digital menjadi sektor yang makin dilirik

Saat ini belum jelas produk apa yang akan ditawarkan oleh bank digital Sea di Indonesia. Situs karier Shopee hanya menyebutkan bahwa SeaMoney “memungkinkan dan mendorong inovasi dengan menyediakan berbagai macam produk dan layanan keuangan untuk individu dan UKM di seluruh wilayah”.

Analis yang berdiskusi dengan KrASIA mengatakan bahwa bank baru tersebut kemungkinan akan menawarkan pinjaman untuk penjual di ekosistem Shopee. “Untuk perusahaan teknologi seperti Shopee dan Gojek, saya berharap layanan perbankan dapat membantu masyarakat yang sudah berada di dalam ekosistem,” ucapnya. “Misalnya, pengemudi Gojek mencari kredit mobil atau motor, atau bahkan kredit perumahan. Begitu pula bank Sea kemungkinan besar akan menawarkan produk untuk penjual Shopee ke depannya.”

Ketika sektor fintech semakin matang, perbankan digital akan menjadi sektor yang sangat menarik perhatian di Indonesia. Perusahaan teknologi lain sudah memposisikan diri mereka di pasar. Gojek baru-baru ini berinvestasi di Bank Jago melalui unit pembayaran dan layanan keuangannya, yang memiliki sekitar 22% pemberi pinjaman. Pada 2019, perusahaan fintech Akulaku mengakuisisi Bank Yudha Bhakti, yang berganti nama menjadi Bank Neo Commerce tahun lalu.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Grab dan Gojek Berpotensi Menjadi Merger Terpelik di Asia Tenggara

Sepanjang tahun 2020, rumor tentang merger antara Grab dan Gojek yang ditengahi oleh Masayoshi Son dari SoftBank telah menggema dan menjadi bahan perbincangan.

Jika kedua perusahaan menjadi satu entitas, ini akan menjadi konsolidasi perusahaan teknologi dengan nilai tertinggi di Asia Tenggara — sebuah langkah regional dengan potensi implikasi global. Ini juga akan menjadi plot twist terbesar bagi ekonomi internet regional, mengingat kedua perusahaan tersebut telah bersaing ketat selama bertahun-tahun. Sementara investor tampak bersemangat untuk menyatukan kedua perusahaan ini, kemungkinan merger menimbulkan pertanyaan tentang konsentrasi pasar dan dampaknya pada konsumen dan mitra pengemudi.

Baik Grab dan Gojek sangat diminati oleh para pemodal. Pada bulan Februari, Grab mengumpulkan USD 856 juta dari investor Jepang. Sebulan kemudian, Gojek meraup USD 1,2 miliar dalam putaran Seri F dari investor yang tidak disebutkan. Kemudian, di bulan Juni, Facebook dan PayPal juga menggelontorkan uang ke super-app Indonesia ini. Detail perjanjian tidak disebutkan, namun menurut Crunchbase, Gojek berhasil mengumpulkan USD 375 juta dari investor Amerika. Dan pada bulan Agustus, Grab mengantongi USD 200 juta dari perusahaan ekuitas swasta Korea Selatan Stic Investments, kemudian Gojek mengumpulkan USD 150 juta lagi dari perusahaan telko Indonesia, Telkom pada bulan November.

Dalam beberapa bulan terakhir, Son dilaporkan berperan sebagai kingmaker dan memberi tekanan lebih pada dua raksasa Asia Tenggara itu untuk bergabung dan beroperasi di bawah satu payung. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Grab dan Gojek telah menyelesaikan sebagian besar perselisihan mereka dan memetakan struktur di mana salah satu pendiri Grab Anthony Tan akan menjadi CEO dari entitas gabungan tersebut, sementara eksekutif Gojek akan terus menjalankan bisnis di Indonesia dengan merek Gojek, menurut laporan Bloomberg.

Meski begitu, baik Grab maupun Gojek membantah kabar soal potensi merger tersebut.

Berawal dari startup transportasi, Grab dan Gojek telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki banyak vertikal. Pertumbuhan itu membutuhkan guyuran dana dan perusahaan tetap tidak menguntungkan sampai sekarang.

Tahun lalu, Grab dan Gojek menunjukkan niat mereka untuk meraih profitabilitas dan go public — semua bagian dari rencana untuk menghasilkan keuntungan bagi investor seperti SoftBank. Tekanan meningkat tahun ini karena pandemi COVID-19, ketika transaksi untuk beberapa vertikal operasi Grab dan Gojek anjlok.

Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.
Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.

Tantangan pada layanan pembayaran

Langkah paling sulit dalam merger kemungkinan akan menggabungkan layanan pembayaran Grab dan Gojek. Di Indonesia, Grab bekerja sama dengan Ovo sebagai mitra pembayaran resminya, sementara Gojek mengoperasikan platform e-wallet miliknya sendiri, GoPay. Grab baru-baru ini memimpin investasi USD 100 juta di LinkAja, menjadikannya pemegang saham minoritas di platform milik negara. Ovo dan Dana telah lama dikabarkan berada dalam diskusi tentang kemungkinan merger untuk mencegah GoPay memperluas kepemimpinannya pada platform pembayaran.

Tidak seperti vertikal Grab dan Gojek lainnya, layanan pembayaran tunduk pada pembatasan ketat dari bank sentral, Bank Indonesia (BI).

“Jika Anda mempertimbangkan potensi ikatan antara Ovo dan Dana, dan konsolidasi lebih lanjut antara Grab dan Gojek, tiga platform teratas Indonesia — GoPay, Ovo, dan Dana — akan secara efektif dimiliki oleh kelompok yang sama, yang saat ini dilarang oleh Bank Indonesia,” kata Joel Shen, pengacara perusahaan dengan Withersworldwide yang mengkhususkan diri dalam merger dan akuisisi (M&A) dan teknologi di Asia Tenggara.

Regulasi BI bersifat wajib dan suspensori, yang berarti Grab dan Gojek membutuhkan izin dari bank sentral sebelum layanan pembayaran mereka dapat saling terkait, tambah Shen.

Baik Grab dan Gojek adalah perusahaan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Co-founder Grab Anthony Tan dan Masayoshi Son dari Softbank diketahui memiliki hubungan baik, serta akses ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, salah satu pendiri Gojek Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Jokowi.

“Saya bisa melihat ini bisa berhasil dengan salah satu dari dua cara ini,” kata Shen. “Pertama, mereka menggunakan pengaruh politik dalam pemerintahan Indonesia untuk mendapatkan persetujuan BI, dan lalu bergabung. Kedua, mereka memisahkan bisnis pembayaran dari vertikal lain, jadi mereka akan menggabungkan bisnis transportasi, pengiriman makanan, dan logistik, tetapi platform pembayaran akan tetap terpisah dan tidak digabungkan.”

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana hasil akhirnya, karena Grab dan Gojek belum menyelesaikan bagian komersial dari transaksi tersebut. Meskipun demikian, Shen yakin platform pembayaran akan menghadirkan satu-satunya rintangan regulasi yang paling sulit dalam merger untuk membentuk satu entitas bisnis.

Para investor berkumpul menjadi satu

Grab dan Gojek didukung oleh investor raksasa, dan persatuan mereka dapat menciptakan konvergensi yang tak terduga di antara baynaknya investor. Entitas yang telah memberi cek untuk Gojek termasuk Google, Tencent, Facebook, PayPal, Visa, dan JD.com. Sedangkan Grab didukung oleh Softbank, Uber, dan Didi Chuxing. Alibaba baru-baru ini dilaporkan sedang dalam pembicaraan untuk menggelontorkan USD 3 miliar di Grab; Meskipun hal ini tidak dikonfirmasi oleh salah satu perusahaan, Grab menandatangani kemitraan dengan Alibaba Lazada di Vietnam bulan lalu, menandakan kemungkinan kemajuan dalam diskusi.

“Jika Anda melihat tabel perbandingan antara Grab dan Gojek, kita akan melihat pesaing yang sangat tidak terduga seperti Alibaba dan Tencent, dimana merupakan situasi yang tidak biasa. Ini akan menjadi tabel yang sangat besar dan sesak jika merger benar terjadi,” kata Shen.

Seorang investor yang mengetahui situasi tersebut mengatakan kepada KrASIA bahwa merger akan menguntungkan dari sudut pandang pemangku kepentingan. Grab dan Gojek perlu segera fokus pada keberlanjutan untuk merasionalisasi penilaian mereka, sebutnya. Dan kedua perusahaan memiliki musuh bersama baru: Sea Group telah bangkit dari pandemi dengan angka yang semakin melejit.

Regulasi bisa melindungi merchant dan konsumen

Investor yang berbicara kepada KrASIA ini juga mengatakan merger akan merugikan pengguna, pengemudi, dan mitra merchant Grab dan Gojek. “Mereka [Grab dan Gojek] pasti akan mengurangi insentif dan daya tawar karena akan dimonopoli oleh entitas merger,” kata orang tersebut.

Jika merger terjadi, maka pengguna Grab dan Gojek dapat mengucapkan selamat tinggal pada promosi diskon perusahaan, karena tidak akan ada persaingan yang signifikan atau langsung di arena. Entitas baru juga bisa “menentukan harga secara sewenang-wenang”, ungkap Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, kepada KrASIA.

Untuk saat ini, mitra pengemudi kedua perusahaan menentang merger antara Grab dan Gojek. Asosiasi pengemudi sepeda motor online Indonesia, atau Garda, mengatakan mereka akan melakukan protes jika perusahaan tersebut melanjutkan merger.

“Kami khawatir mega-merger ini akan berujung pada penghentian mitra pengemudi dengan alasan efisiensi perusahaan,” kata ketua dan juru bicara Garda Igun Wicaksono kepada KrASIA. Asosiasi berharap pemerintah turun tangan dan menghentikan konsolidasi.

Regulator dapat memainkan peran yang lebih kuat dengan memperketat aturan tentang penetapan harga dan hubungan platform pedagang. Komisi Persaingan dan Konsumen Singapura (CCCS), misalnya, membatasi pergerakan Grab setelah akuisisi perusahaan atas operasi Uber di Asia Tenggara pada Maret 2018, sehingga Grab tidak dapat mengubah rencana harga secara bebas atau memegang monopoli atas pengemudi.

Menurut investor yang tidak disebutkan namanya yang berbicara dengan KrASIA, perusahaan dapat menghindari monopoli pasar dengan melepaskan bagian-bagian bisnis mereka, seperti operasi angkutan atau pengiriman makanan. “Sebuah ‘perpisahan’ di antara kelompok mungkin diperlukan untuk mempertahankan persaingan,” tuturnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Aplikasi Media Sosial Tiongkok Bergulat di Ekosistem Ekonomi Influencer Indonesia

Reyhan Aldaro Samuda adalah pengguna layanan TikTok yang telah mengumpulkan 2,4 juta pengikut hanya dalam satu tahun. Dibalik username @__ehan, Samuda menciptakan karakter bernama Brenda, seorang wanita muda manja dan melodramatis yang reaksi berlebihannya menjadi sandiwara andalan Samuda. Sebagai pengganti wig, Samuda mengikatkan sepotong kain ke kepalanya sehingga terlihat seperti rambut panjang tergerai, dan Brenda membesar-besarkan reaksi wanita ketika mereka berbicara dengan orang yang mereka sukai, marah pada pacar mereka, atau bergosip dengan teman dekat.

Samuda hanyalah salah satu dari sekumpulan influencer Indonesia yang berkembang, juga dikenal sebagai key opinion leader (KOLs), yang telah menjadi terkenal di internet melalui aplikasi seperti Instagram Facebook dan TikTok ByteDance.

Ekonomi influencer muda

Ekonomi digital Indonesia menunjukkan ekspansi ketat karena COVID-19 yang masih menjadi perhatian, terlebih dengan adopsi e-commerce yang semakin luas di negara ini. Kebiasaan belanja online yang semakin populer telah meningkatkan potensi model penjualan yang diberdayakan KOL, dengan memanfaatkan aplikasi sosial untuk terhubung, terlibat, dan berjualan kepada konsumen.

Drama komedi Samuda, atau Brenda, telah mengumpulkan sekitar 28,5 juta likes sejauh ini, dengan sebagian besar klip meraih lebih dari 100 komentar. Perpaduan antara keseruan dan engagement tinggi ini telah menarik perhatian merek-merek termasuk Viu Indonesia, D-bank, dan lainnya yang mempercayakan Samuda untuk memasarkan produk atau merek kepada audiensnya di TikTok. “Saya memang membuat video untuk endorsement merek, tapi dengan gaya Brenda jadi masih lucu. Saya biasanya mendapatkan hingga lima endorsement per bulan,” ujar Samuda.

@__ehan

POV: Brenda sok imut bgt ala-ala gamau ungkit masalah sama pacar🙂 #BrendaLyfe

♬ original sound – BRENDA / EHAN

Ekonomi influencer yang sedang berkembang di Indonesia kini kian meningkat. Pemerintah pun telah memanfaatkan sektor ini, menghabiskan setidaknya Rp90,4 miliar (USD 6 juta) untuk aktivitas digital yang melibatkan influencer sejak 2017.

Indonesia adalah pasar iklan digital dengan pertumbuhan tercepat di dunia, diikuti oleh India, menurut laporan Global Digital Ad Trends 2019 oleh PubMatic. Total belanja iklan digital di Tanah Air diperkirakan mencapai USD 2,6 miliar pada 2019, meningkat 26% dari tahun sebelumnya.

Semakin lama, pemasaran influencer mengambil porsi lebih besar dari anggaran periklanan digital.

Content creator memiliki peran penting dalam ekonomi digital Indonesia, mengingat perputaran uang yang besar di industri baru ini,” kata Budi Putra, COO dari startup manajemen konten dan kreator Indonesia R66 Media kepada KrASIA. “Anggaran periklanan dari brand dan agensi yang biasanya dialokasikan untuk media elektronik dan digital, kini telah dialihkan ke marketing influencer.”

Potensi pertumbuhan di Indonesia ini menarik perhatian raksasa video pendek Tiongkok ByteDance dan Kuaishou. Kedua perusahaan telah bersaing di pasar Tiongkok yang sudah matang, dengan ekonomi influencer yang diproyeksikan menghasilkan RMB 300 juta pada tahun 2020. Mereka juga berpengalaman dalam mensinergikan operasi e-commerce dengan keterlibatan sosial. KOL seperti Samuda, yang persona Brendanya telah memupuk banyak pengikut, bergantung pada aplikasi dan alat yang memungkinkan mereka membuat konten dengan lancar.

“Saya mendapat inspirasi untuk Brenda dari mengamati teman-teman perempuan saya. Saya juga pernah menampilkan karakter Brenda melalui Instagram Stories sebelumnya, tetapi itu tidak melekat. Jadi saya pindah ke TikTok yang ternyata jauh lebih mudah untuk mengumpulkan audience,” kata Samuda kepada KrASIA.

Selain fitur TikTok yang mudah digunakan, pria berusia 26 tahun ini mengatakan koleksi lagu dan musik latar TikTok yang kaya membuat platform ini menarik bagi para influencer.

“Dengan variasi musik yang beragam, kami dapat membuat video seru yang bervariasi. TikTok juga memiliki fitur duet yang tidak ada di platform lain. Fitur ini memungkinkan kita membuat video berdampingan dengan video orang lain, jadi seperti kita membuat video bersama. Banyak pengguna yang membuat video duet dengan Brenda, kemudian membantu karakter tersebut menjadi viral,” tambahnya.

Viral adalah kunci. Rade Tampubolon, salah satu pendiri dan CEO SociaBuzz, pasar bakat yang berbasis di Jakarta untuk influencer, berkata kepada KrASIA, “TikTok memahami pasar lokal dengan lebih baik. Ini juga merupakan platform yang ideal untuk pembuat konten karena lebih seperti platform distribusi konten, daripada aplikasi media sosial, sehingga pembuat dapat menemukan audiens di luar lingkaran pertemanan mereka dengan mudah.​​”

Sementara TikTok telah populer di Indonesia sejak debut pada tahun 2017, saingannya Kuaishou baru-baru ini meluncurkan kompetitornya, Snack Video. Perusahaan yang didukung Tencent tersebut dilaporkan sedang membuka kantor di Jakarta dan merekrut tim lokal, yang mencakup manajemen konten serta kemitraan dengan creator atau talent.

Permainan global Kuaishou bermula dengan baik, sejak berada di puncak daftar unduhan untuk aplikasi Android dalam beberapa bulan terakhir, menurut App Annie. Aplikasi ini menduduki peringkat keempat pada 25 November, mengalahkan WhatsApp dan Instagram, mencerminkan popularitas aplikasi yang semakin meningkat.

Mengubah engagement menjadi transaksi

Sementara platform Amerika seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram masih mendominasi ruang media sosial, TikTok telah mengumpulkan pengikut yang signifikan di antara influencer Indonesia, terutama karena aplikasi ini berbasis pada e-commerce video pendek.

Tidak seperti di YouTube, pembuat konten tidak menghasilkan uang melalui penayangan di TikTok. Sebaliknya, mereka mengandalkan dukungan merek dan sponsor. Namun, TikTok telah meluncurkan stiker donasi di beberapa pasar, memungkinkan pembuat konten untuk mengumpulkan dana dan menghasilkan uang dalam video dan sesi streaming langsung mereka.

“Meski tidak bisa dimonetisasi secara otomatis, saya rasa masih lebih mudah menghasilkan uang dari TikTok karena mendapatkan pengikut di sini jauh lebih mudah daripada di Instagram dan YouTube,” kata Samuda.

Hasilnya, TikTok kini telah menjadi platform yang sangat diperlukan bagi influencer di Indonesia, dengan sebagian besar memanfaatkan kedua platform tersebut untuk memaksimalkan interaksi. Pada bulan Oktober, TikTok bermitra dengan Shopify untuk menyediakan fungsionalitas pembelian dalam aplikasi, serta eksposur untuk lebih dari satu juta pengecer.

Keuntungan dalam livestreaming e-commerce inilah yang memberi aplikasi China keunggulan atas rekan-rekan Amerika mereka di Indonesia dalam hal mengubah keterlibatan pengguna atau engagement menjadi transaksi.

Snak Video dari Kuaishou mendarat dengan mulus di Indonesia dalam hal unduhan, tetapi akan membutuhkan lebih banyak waktu sebelum menetaskan ekosistem influencer yang matang.

“Saya belum mendownload Snack Video, tapi saya terbuka untuk platform baru apa pun selama mereka memiliki banyak pengguna, hype, dan dapat dimonetisasi,” kata Samuda.

Meski demikian, Snack Video tentunya memiliki potensi untuk dimonetisasi dalam sejarahnya. Akar perusahaan induk Kuaishou yang sederhana di Cina yang mencakup pengguna di kota-kota di tingkat lebih rendah dan daerah pedesaan menghiasi platform ini dengan orisinalitas yang membantunya mencapai tingkat konversi e-commerce yang lebih kuat daripada aplikasi kembar TikTok di Cina, Douyin.

Pendekatan sederhana inilah yang telah membantu TikTok menggantikan Instagram yang lebih glamor dan terkurasi di Indonesia, dengan serangkaian influencer di platform ByteDance yang berbasis di kota-kota non-metro, berbagi konten yang jujur, terhubung, dan menghibur.

Ambil Samuda sebagai contoh. Menurut kalkulasi TikTok dari situs analitik media sosial Exolyt, dengan engagement rate-nya, Samuda bisa mendapatkan USD 221–554 per video, yang berarti penghasilan yang menjanjikan di Indonesia.

Meski pasar video pendek di Indonesia tampak jenuh, ada satu pemain lagi yang mencoba masuk dalam pasar. ByteDance memiliki platform media sosial baru bernama Helo di Indonesia. Helo awalnya ditujukan untuk pengguna India, mengumpulkan 50 juta unduhan di negara itu. Di India, ada pertunjukan bakat bernama Helo Superstar untuk mendorong orang membuat konten di platform. Belum jelas apakah Helo akan menerapkan strategi serupa di Indonesia, atau bagaimana hal itu dapat dikaitkan dengan TikTok. Bagaimanapun, aplikasi video pendek yang berakar Tiongkok akan tetap ada di Indonesia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Wing Vasiksiri dari iSeed: Startup Indonesia Bisa Mencetak Billion-Dollar Exit Tanpa Harus Ekspansi

Lima bulan setelah mengumumkan dana investasi pada startup tahap awal di India, iSeed telah membentuk fund terpisah yang didedikasikan untuk pasar Asia Tenggara, ungkap perusahaan investasi itu.

Dimulai oleh Utsav Somani, yang memimpin dana investasi India berbasis di Amerika, AngelList, dan koleganya Wing Vasiksiri, iSeed SEA adalah dana mikro VC yang akan berinvestasi di sekitar 35 perusahaan rintisan dalam dua tahun, dengan cek sebesar USD 100.000 hingga 200.000.

iSeed tidak mengatakan target pendanaan yang ingin dikumpulkan. Perusahaan ini didukung oleh investor dan pendiri veteran seperti Naval Ravikant, pendiri dan pemimpin AngelList; Kunal Bahl, pendiri dan CEO Snapdeal; Jonathan Swanson, pendiri dan pemimpin Thumbtack; dan lain-lain.

Sementara Somani mengelola investasi di India, Vasiksiri berbasis di Bangkok dan bertanggung jawab atas investasi di Asia Tenggara. Vasiksiri mengatakan kepada KrASIA bahwa ia menargetkan investasi pada startup yang berbasis di Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Berikut adalah hasil interview yang berhasil dirangkum.

KrASIA (Kr): Bagaimana Anda berdua terhubung untuk memulai iSeed? Apa perbedaan iSeed dari perusahaan investasi lain?

Wing Vasiksiri (WV): Utsav dan saya sedang melakukan penelitian tentang pasar Asia Tenggara, mencoba mencari tahu peluang investasi, karena AngelList ingin memperluas cakupannya di sini. Saat kami berbicara dengan berbagai pendiri dan investor, kami menyadari ada celah di pasar untuk dana seed. Para pendiri membocorkan bahwa investor memakan waktu sangat lama untuk menandatangani kesepakatan, dan beberapa hal berjalan sangat lambat. Dari sisi investor, kami diberi tahu bahwa pendanaan seed mengering karena sebagian besar sudah tumbuh dan membutuhkan asupan yang lebih besar.

Kami dapat secara tegas membedakan jati diri kami dari fund lainnya, dalam artian, kami memiliki akses ke jaringan investor dan pendiri dengan ragam pengetahuan dan masukan yang tidak dimiliki fund lain. Sekelompok orang ini adalah pendiri dan investor yang telah sukses di Amerika dan India. Jadi, kami melihat diri kami sebagai jembatan antara Amerika, India, dan Asia Tenggara.

Kr: Apakah ada sektor spesifik yang menjadi target?

WV: Kami lebih kepada sektor agnostik yang berfokus pada pendiri. Kami terbuka untuk berinvestasi di perusahaan dalam produk konsumen, B2B, SaaS, bahkan hardware. Pada titik ini, kami terbuka untuk segalanya. Yang benar-benar kami pedulikan adalah mendukung para pendiri hebat di awal perjalanan mereka. Dengan keyakinan bahwa lebih baik memiliki pendekatan yang  berfokus pada individunya. Sangat sulit untuk menjadi investor yang digerakkan oleh pasar karena ilmu terkadang meleset.

Kr: Negara-negara di Asia Tenggara berada pada tahap pertumbuhan yang berbeda, apakah ada satu negara yang Anda targetkan secara khusus?

WV: Tidak juga. Pertama-tama, kami akan fokus pada empat pasar — Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Indonesia jelas merupakan pasar terbesar dan paling menarik sejauh ini, karena jumlah populasinya. Kami yakin startup yang tumbuh di Indonesia, bahkan tanpa harus berekspansi ke pasar lain, bisa mencetak miliaran dolar. Hal ini tidak terpikir untuk terjadi di area lain. Misalnya, startup di Thailand harus berekspansi ke pasar lain di beberapa titik untuk mewujudkan potensi mereka yang sebenarnya.

Kr: Berapa rata-rata angka investasi dari iSeed SEA?

VW: Investasi kami berkisar antara USD 100.000 hingga 200.000. Kami ingin masuk secepat mungkin. Dalam beberapa kasus, bahkan dengan senang hati masuk ke tahap pra-produk. Kami ingin mengenal para pengusaha sejak hari pertama. Inti dari fund tersebut adalah seed, tetapi bisa saja beberapa diantaranya tahap lanjut.

Sejauh ini, kami telah melakukan dua investasi dan berkomitmen untuk dua lainnya. Investasi pertama yang kami lakukan adalah sebesar USD 400.000 di sebuah perusahaan Indonesia, memang sedikit lebih besar dari yang biasanya kami lakukan. Investasi kedua ada di Singapura, sekitar USD 100.000. Dua kesepakatan yang akan menyusul ada di Thailand dan Singapura.

Wing Vasiksiri. Dokumentasi iSeed

Kr: Bagaimana dengan angka dana kelolaan?

WV: Kami masih aktif mengumpulkan uang untuk fund tersebut, jadi kami belum bisa berbicara banyak tentang targetnya. Yang dapat saya bagikan adalah dananya mungkin tidak masif. Kami ingin memastikan bahwa debut fund kami berjalan dengan baik. Lebih mudah untuk memetakan prosesnya jika dana yang tersedia tidak banyak, dan kami tidak ingin bersaing dengan investor besar. Jika kita menulis cek senilai USD 100.000–200.000, kita bisa berkolaborasi daripada memperebutkan alokasi.

Kr: Bagaimana konsep micro venture fund ini?

WV: Konsep ini sudah sejak lama dimulai di Amerika oleh Sequoia. Ada begitu banyak persaingan di Amerika sehingga, untuk membedakan dirinya, mereka meluncurkan program penyuluhan di mana mereka akan memberikan uang penyuluhan untuk diinvestasikan atas nama Sequoia. Seiring waktu, mereka tidak hanya ingin menjadi bagian dari Sequoia, tetapi ingin membangun merek sendiri dan melakukan investasi sendiri, jadi mereka mulai mengumpulkan dana kecil dari LP dan dana ventura.

Salah satu alasan debutnya adalah karena dana mikro ini menghasilkan keputusan yang sangat cepat. Hanya ada satu atau dua pembuat keputusan. Kami melihat tren ini muncul di Amerika dan ingin membawa model ini ke Asia Tenggara dan India.

Kr: Apakah sudah ada banyak VC mikro di Southeast Asia?

WV: Kami yakin bahwa ada ruang terbuka untuk dana seed dan mikro VC. Ada beberapa orang yang telah kami ajak bicara dan mereka orang-orang hebat. Namun tidak ada jumlah pasti yang cukup untuk seluruh wilayah, mengingat startup baru yang terus bermunculan. Lebih banyak modal jelas lebih baik untuk ekosistem; begitu itu terjadi, akan ada lebih banyak eksperimen yang terjadi di Asia Tenggara.

Satu hal yang unik bagi kami adalah kami telah membawa dana dari Amerika dalam putaran pendanaan ini. Bisa jadi, dana ini belum terlihat dalam transaksi di Asia Tenggara, tetapi mereka mempercayai kami. Kami hanya mendatangkan investor yang menurut kami cocok untuk startup. Hal ini turut membawa modal tambahan dariAmerika, yang belum tentu akan tersedia bagi para pendiri di Asia Tenggara.

Selain itu, kami memiliki sesuatu yang disebut “dewan pengetahuan,” yang pada dasarnya adalah sekelompok wirausahawan yang telah berhasil dengan sangat baik di Amerika dan siap untuk berbagi ilmu dengan perusahaan portofolio kami, dan menyelenggarakan lokakarya serta sesi pribadi tentang topik tertentu. Dewan tersebut termasuk Sriram Krishnan, mantan pimpinan produk di Twitter; Prasanna Sankar, salah satu pendiri Rippling; Sahil Lavingia, pendiri Gumroad; dan Anne Dwane, pendiri Village Global; serta lainnya. Mereka berkomitmen untuk bekerja dengan pendiri portofolio kami untuk menghadirkan praktik terbaik dari AS ke India dan Asia Tenggara.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kepala Bidang Investasi Strategis Telkomsel: Mengenai Penggalangan Dana Bukanlah Segalanya

Nazier Ariffin memberi dukungan kepada para pendiri yang menciptakan perubahan penting melalui dana strategis Telkomsel TMI dengan hampir 6 tahun pengalaman di bidang teknologi, lebih dari 30 investasi di bawah campur tangannya. Dia berdiskusi dengan dalam Startup Hour podcast radio, berbagi ide (re: meme) yang tidak akan Anda temukan di tempat lain di Instagram-nya, sosok yang terobsesi dengan jiu-jitsu, dan menghibur diri di hari Minggu pagi yang tenang dengan chai tea latte ekstra-panas.

Anggota komunitas kami dapat mengajukan pertanyaan kepadanya tentang Slido.

Nazier Arifin, Kepala Bidang Investasi Strategis Telkomsel

KrASIA (Kr): Apa yang menjadi harapan Anda ke depan mengenai ekosistem startup lokal?

Nazier Ariffin (NA): Saya pikir kita semua lelah mendengar hal yang sama berulang kali tentang COVID-19 serta orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Pengusaha mungkin bosan mendengar tentang bagaimana investasi VC melambat. Saat-saat ini bisa jadi membuat frustrasi.

Semua hal melambat. Siklus penjualan yang lebih lama adalah indikator utama. Dengan perjalanan yang dibatasi, menutup pelanggan baru membutuhkan penjualan melalui telepon atau video, dan lebih sulit untuk membangun kepercayaan, terutama untuk transaksi besar melalui telepon. Akibatnya, pemesanan akan lebih tidak stabil. Jadi, lebih banyak pipeline diperlukan untuk menciptakan konsistensi, tetapi pembuatan pipeline akan lebih sulit. Semua orang akan melakukan ini pada saat yang sama, meningkatkan CPA, CPM, dan BPK, serta mengisi kotak masuk email dengan materi pemasaran. Tingkat respons akan turun.

Momentum penggalangan dana kemungkinan besar akan melambat karena alasan yang sama seperti memperlambat penjualan: Hanya saja lebih sulit untuk bertemu orang. Penilaian mungkin ditekankan untuk perusahaan yang meningkatkan modal sekarang dengan rencana pertumbuhan yang lebih konservatif. Jika perusahaan rintisan memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat, maka penilaian akan turun, karena tingkat pertumbuhan adalah korelasi tertinggi dari kelipatan penilaian.

Selain itu, ketidakpastian di pasar saham dapat menekan valuasi, terutama dalam tahap pertumbuhan, meskipun kelipatan valuasi belum bergerak secara intrinsik. Kami masih mendekati titik tertinggi sepanjang masa, jadi ini mungkin sedikit lebih rumit dari yang diharapkan.

Saya berharap ketidakpastian yang kita lihat hari ini akan mereda dengan cepat. Untuk kuartal ini, [sebaiknya] berhati-hati dan rumuskan rencana yang lebih konservatif. Tetapkan indikator utama yang dapat membuat perubahan. Jangan hanya membaca tentang dewa industri — ambillah inspirasi dari para pendiri di sekitar Anda. Anda perlu mendengar kisah horor yang akan membuat Anda terus maju.

Kr: Banyak investor yang menciptakan “tema” sebagai standar mereka dalam mengkategorikan jenis investasi tertentu dan tren di Indonesia. Bagaimana dengan Anda?

NA: Terkadang, tema bersifat prediktif dan praktis. Seringkali, “tema” hanyalah pemasaran konten untuk VC dan narasi untuk pengusaha. Pada saat ada dana bertujuan khusus yang berkomitmen untuk suatu tren, mungkin sudah terlambat untuk membangun perusahaan yang berarti di ruang itu. Meskipun demikian, perusahaan yang mulai terlambat tidak akan gagal. Tokopedia menjadikan e-commerce sebagai “masalah yang terselesaikan” sampai Shopee menciptakan platform mobile-first yang menemukan cara untuk mengisi ceruk dan menghasilkan miliaran melalui agregat kapitalisasi pasar.

Startup yang berasal dari IP yang sudah dikenal adalah yang cenderung lepas landas. Bukan berarti harus memiliki paten, melainkan pengetahuan dasar yang tidak bisa didapat dari ruang seperti Github. Dalam kasus PrivyID, membangun solusi tanda tangan elektronik memerlukan banyak sekali infrastruktur, perangkat lunak, dan bahkan masalah hukum yang perlu diselesaikan. Produk yang kompleks memberi Anda keuntungan.

Selama pandemi ini, kita harus memiliki pandangan yang jernih tentang “mengapa” ini mungkin waktu yang tepat bagi pengusaha: Kasus penggunaan baru bermunculan hampir setiap hari, CAC berada di posisi terendah selama satu dekade, dunia telah berubah. Tidak ada ahli dan VC akan lambat untuk mendanai pesaing. Dengan segala cara, harap bercita-cita untuk membuat “penyok di alam semesta” yang positif dengan menerapkan bakat Anda pada tantangan terbesar yang kami hadapi. Buku pedoman komersial lama tidak lagi berfungsi, dan yang baru perlu ditulis.

Pengusaha baru pun bermunculan. Banyak dari mereka pernah bekerja untuk unicorn sebelumnya, atau baru saja kembali dari Amerika Serikat atau China. Saya melihat bahwa akan ada gelombang keempat. Kesepakatan yang lebih baru, lebih segar, dan lebih menarik akan muncul setelah COVID-19, karena kita harus mengakui bahwa pandemi juga mempercepat proses transformasi digital banyak UKM. Inovasi dan kreativitas telah muncul dalam beberapa hari terakhir. Oleh karena itu, saya yakin kita akan melihat lebih banyak jenis startup baru.

Indonesia memiliki bakat luar biasa, banyak ide yang muncul, dan banyak peluang untuk menyelesaikan masalah. Dan Telkomsel ingin memberi [orang-orang ini] sumber daya, akses, dan jaringan.

Nazier dalam program podcast radio lokal, Startup Hour. Dokumentasi oleh Nazier Ariffin

Kr: Anda juga sempat menjadi mentor dalam beberapa program inkubator dan akselerator, penyelenggara serta yang memproduksi Startup Hours, program radio tentang lanskap startup, berbagi berita tentang startup dan tips penggalangan dana di media sosial. Apa yang telah Anda pelajari dari pengalaman ini?

NA: Saya belajar bahwa banyak sumber daya yang tersedia untuk startup tahap awal dimulai dari ketika Anda mencapai kesesuaian dalam pasar produk (product market fit). Bayangkan Anda ingin menjadi pelari kelas dunia dan pergi ke Olimpiade, akankah lebih baik jika mempelajari cara menegosiasikan sponsor Nike Anda, atau hanya berlatih dan menguasai kemampuan berlari?

Begitu banyak pendiri yang bertanya, “bagaimana Anda mengumpulkan dana, bagaimana Anda berkembang?” dan lewati bagian awal dari startup. Jika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar berhasil, investor akan menemukan Anda, jurnalis akan menemukan Anda — dunia cenderung menemukan hal-hal yang cemerlang dan mendorong Anda menuju kesuksesan. Jika Anda merasa bahwa Anda terus-menerus harus mengerjakan penggalangan dana dan PR tanpa mengetahui inti dari produk itu sendiri, Anda akan mengalami waktu yang sangat sulit.

Hal lain misalnya, banyak orang berpikir bahwa kartu skor untuk siapa yang sukses adalah siapa yang menghasilkan uang paling banyak. Ini tidak benar. Jumlah uang yang Anda kumpulkan, dan pers yang Anda baca tentang semua hal hebat ini terjadi, tidak memberi Anda wawasan tentang apakah suatu produk berfungsi dan mencapai kesuksesan. Saya akan menyebut penggalangan dana sebagai indikator tertinggal dari perusahaan yang mencapai tonggak sejarah. Ini sebenarnya semakin sulit setiap kali Anda menggalang dana, karena taruhannya meningkat dan perusahaan Anda semakin besar. Terkadang semakin sulit untuk tumbuh saat Anda mengumpulkan uang.

Kr: Apa yang menjadi poin penting dalam penggalangan dana?

NA: Penggalangan dana bisa menjadi salah satu bagian tersulit meskipun “kesenangan” tepat dalam kata itu. Sepertinya pasar terbuka, tetapi tidak rasional dan jarang adil. Anda akan mendengar tentang pendiri yang berkata, “Penggalangan dana itu mudah. Saya masuk ke kedai kopi dan orang-orang menghujani saya dengan uang. ” Itu pengecualian, bukan aturannya. Penggalangan dana adalah lari maraton yang membutuhkan perhatian hampir konstan. Prosesnya bisa lebih menghukum dan lebih berisiko dari yang kita bayangkan. Bersiaplah untuk banyak penolakan. Perusahaan rintisan yang menjanjikan akan mendapatkan, rata-rata, 17 hingga 20 TIDAK untuk setiap YA.

Anda akan mendengar alasan mengapa startup Anda tidak akan berhasil, mengapa produk Anda tidak bagus, mengapa peluang yang Anda bicarakan tidak nyata. Terkadang mereka juga benar, tetapi Anda tidak boleh percaya itu. Cara Anda akan bertahan adalah dengan menjadi tangguh dan ulet, dan yang terpenting, dengan percaya. Tidak peduli apa yang Anda dengar, Anda harus percaya.

Persiapan yang tepat adalah separuh pekerjaan. Anda tidak ingin terkejut dengan pertanyaan atau kehilangan momentum karena terlalu lama memberikan informasi yang diminta. Bersiaplah untuk memindahkan garis waktu. Saat ini, komite investasi akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengambil keputusan.

Kr: Apa pendapat Anda mengenai hal “membangun karir atau mengikuti passion?”

NA: Berhentilah terobsesi menemukan passion Anda. Hal itu bukan untuk ditemukan, namun dibangun. Ini adalah proses penemuan, bukan takdir dari surga. Jika Anda belum menemukan passion, ada dua kemungkinan: Anda tahu apa yang ingin Anda lakukan tapi terlalu takut untuk mengejarnya, atau Anda belum menemukan passion Anda karena terlalu takut untuk menjelajah. Kedua alasan tersebut adalah hasil dari ketakutan. YOLO.

Begitu menemukan passion itu, Anda menghadapi kenyataan. Anda menyadari itu akan sulit. Anda mengetahui kemungkinan terburuk. Saat itulah Anda memutuskan: Apakah Anda bersedia untuk tetap bersabar dan berjuang untuk itu? Dengan masyarakat kita yang berubah dengan cepat, pasti akan ada banyak perubahan dan kejutan di sepanjang jalan, jadi selalu coba untuk menyesuaikan dan menghargai jaringan Anda.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Mulai dari Lazada E-commerce Hingga Rumah Prefab di Bali, Berikut Perjalanan Bisnis Florian Holm

Florian Holm sudah menjabat sebagai co-CEO Lazada Indonesia pada tahun 2018, ketika ia berambisi untuk memulai bisnis baru. Memimpin salah satu perusahaan e-commerce terbesar di Asia Tenggara menjadi sebuah pengalaman yang intens, namun setelah empat tahun, dia merindukan sensasi membangun sesuatu dari awal.

Holm pertama kali bergabung dengan Lazada pada tahun 2014 sebagai kepala manajemen vendor di Thailand, kemudian dipromosikan setahun kemudian sebagai kepala pemasaran untuk Lazada Filipina. Perusahaan kemudian menunjuknya untuk memimpin divisi Indonesia pada tahun 2016, ketika industri e-commerce negara berkembang pesat.

“Saya bergabung ketika Lazada baru berusia dua tahun dan perusahaan berkembang pesat, terutama setelah diakuisisi Alibaba pada 2016. Lazada sekarang sudah sangat berkembang, dan saya merindukan sensasi memulai sesuatu yang baru. Yang paling saya nikmati adalah bekerja di startup, mengemukakan ide-ide segar, dan menghadapi tantangan baru. Jadi, saya pikir ini saat yang tepat untuk meninggalkan Lazada,” jawab Holm kepada KrASIA dalam sebuah wawancara belum lama ini.

Setelah meninggalkan Lazada, Holm memutuskan untuk terjun ke pasar properti.

“Saya tinggal di antara Jakarta dan Bali, tetapi belakangan saya menghabiskan sebagian besar waktu di pulau ini. Saya bertemu seorang arsitek Jerman bernama Alexis Dornier ketika kami bekerja bersama membangun rumah saya di Bali. Kami bertukar pikiran tentang konstruksi dan industri properti, lalu sepakat bahwa sangat sedikit inovasi yang terjadi di sektor ini selama beberapa tahun terakhir, terutama dalam hal pemanfaatan teknologi dan perencanaan desain yang berkelanjutan,” kata Holm.

Dari sana, pasangan tersebut memutuskan untuk bekerja sama dan mendirikan sebuah startup bernama Stilt Studios pada tahun 2019. Berbasis di Bali, sebuah pulau yang terkenal dengan pantai surgawi dan pemandangan alamnya, perusahaan ini mempromosikan desain dan konstruksi rumah yang berkelanjutan dengan menggunakan model rumah prefabrikasi. Sebagian besar elemen bangunan yang digunakan oleh Stilt Studios dibangun di pabrik dan kemudian dirakit untuk membangun rumah baru.

“Sementara rumah konvensional dibangun di lokasi, sebagian besar komponen rumah prefab dibangun di lingkungan yang terkendali seperti pabrik. Komponen-komponen tersebut nantinya akan dirakit di lokasi pembangunan,” jelas Holm. Dia mengklaim bahwa rumah prefab harganya lebih murah daripada yang konvensional, sementara mereka dapat dengan cepat dirakit dan dibongkar, dan dapat dibangun di atas plot dengan medan yang curam.

Pada bulan Juni, Stilt Studios menyelesaikan proyek prototipe dari lima rumah berbeda di Canggu, Bali. Proyek saat ini terdaftar di Kickstarter sebagai respon komunitas dan untuk mengumpulkan dana.

Holm menjelaskan bahwa di Bali, yang menampung ribuan hostel, vila, dan kafe yang menerima lebih dari enam juta pengunjung per tahun, ruang komersial sering direkonstruksi karena popularitas sewa jangka pendek, yang biasanya bertahan hingga tiga tahun. Dia dan Dornier percaya bahwa struktur pracetak dapat menjadi alternatif untuk mendukung pariwisata berkelanjutan di pulau itu.

Menurut laporan oleh firma konsultan dan riset pasar Lucintel, pasar perumahan prefab global diproyeksikan mencapai USD19,3 miliar pada tahun 2024, berkembang dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 4,6% dari 2019 hingga 2024. Amerika Utara tetap menjadi yang terbesar wilayah berdasarkan nilai dan volume, tetapi tren konstruksi cetakan secara perlahan-lahan juga mengalami kemajuan di Asia Tenggara.

Misalnya, sejak Singapura meluncurkan Peta Transformasi Industri Konstruksi pada tahun 2017, negara tersebut telah menggunakan teknologi yang lebih maju dan mengadopsi metode baru seperti konstruksi volumetrik prafabrikasi (PPVC). Tahun lalu, kompleks kondominium Clement Canopy diselesaikan di Singapura, menjadi menara modular beton tertinggi di dunia yang menggunakan PPVC.

Sementara itu, di Filipina, sebuah perusahaan bernama Revolution Precrafted, yang memproduksi rumah prefabrikasi mewah, mencapai status unicorn pada 2017, menjadi perusahaan pertama yang berasal dari sektor startup teknologi negara.

Co-founder & CEO Stilt Studios , Florian Holm. Dokumentasi Stilt Studios

KrASIA belum lama ini berdiskusi dengan Florian Holm tentang ambisi barunya dengan Stilt Studios.

KrASIA (Kr): Mengapa Anda memilih rumah prefab (pre-fabricated), yang tergolong segmen niche di sektor properti? Apakah Anda memiliki pengalaman khusus di pasar properti?

Florian Holm (FH): Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan masuk ke bisnis properti. Namun, begitu saya menyelam jauh ke dalam, saya merasa sangat tertarik. Ini adalah sektor yang besar dan masih punya banyak inovasi. Konstruksi dan arsitektur memiliki dampak signifikan pada kehidupan masyarakat. Ini adalah tempat tinggal Anda, dan juga membentuk tata kota Anda.

Rumah prefab lebih terjangkau dibandingkan dengan rumah konvensional, dan ramah lingkungan. Karena konstruksi dibangun di luar lokasi pabrik dengan pengukuran khusus, limbah dari bahan berlebih akan lebih sedikit. Dan bahkan jika ada pemborosan, Anda dapat menggunakannya kembali untuk proyek lain.

Misalnya, kami memiliki prototipe vila di Bali yang kami sebut “tiny tetra houses”, yang dibangun dengan menggunakan bahan limbah daur ulang seperti karton minuman Tetra Pak. Beberapa fitur berkelanjutan dari struktur kami termasuk atap besar untuk pendinginan hemat energi untuk mengurangi panas matahari, panen air hujan, ventilasi silang, dan panel surya penghasil energi.

Kr: Layanan seperti apa yang Anda tawarkan melalui Stilt Studios?

FH: Layanan inti kami adalah desain dan konstruksi bangunan prefab untuk keperluan perumahan, pariwisata, dan komersial. Kami menggunakan subkontraktor untuk bagian konstruksi.

Kami telah menyelesaikan tiga proyek pertama kami di Bali, yang tersedia untuk masa inap jangka pendek di pulau tersebut, dan kami ingin memiliki etalase yang bagus untuk produk kami, sehingga calon pembeli yang ingin tahu tentang rumah prefab dapat mengalaminya secara langsung.

Kami tidak melihat persewaan properti sebagai bisnis utama di masa depan, tetapi yang kami lakukan saat ini adalah agar orang-orang benar-benar memahami Stilt Studios.

Selain menjual desain dan unit Stilt Studios, kami juga menyediakan layanan “nilai tambah” seperti pengelolaan dan pengembangan properti untuk bangunan non-hunian, serta bantuan hukum untuk membantu pembeli dan investor dari luar negeri menjelajahi real estate dan properti khas Indonesia.

Gambaran rice field home oleh Stilt Studios di Ubud, Bali. Dokumentasi oleh Stilt Studios

Kr: Seperti apa potensi pasar untuk rumah prefab di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia?

FH: Kami sudah menerima pesanan untuk pembangunan cottage di Bali, Lombok, dan Sumba. Namun, kami juga melihat potensi perumahan residensial di sini, di Indonesia, serta di banyak pasar berkembang lainnya di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Malaysia. Ada kebutuhan besar akan rumah baru, terutama untuk kelas menengah yang sedang tumbuh. Saya pikir ada sekitar satu juta rumah baru yang dibutuhkan per tahun di Indonesia, dan pembangunan rumah pabrikan dapat menjadi solusi bagi mereka yang mencari rumah yang lebih terjangkau.

Kr: Apa yang menjadi tantangan terbesar anda dalam membangun startup yang fokus pada rumah prefab?

FH: Tantangan terbesar tidak diragukan lagi adalah modal. Saat Anda membangun startup perangkat lunak, Anda hanya perlu mempekerjakan beberapa orang di awal untuk merancang kode dan segalanya. Namun saat Anda membuat produk fisik seperti ini, Anda membutuhkan lebih banyak modal untuk membeli aset. Jika produk gagal, Anda hanya akan membuang-buang uang, sehingga risikonya tinggi.

Untungnya bagi kami, prototipe kami sudah terdaftar di Kickstarter, dan kami mendapat respon yang positif. Kami sudah menerima cukup banyak pesanan dari pelanggan besar, dan kami juga menerima pertanyaan dan permintaan dari pelanggan potensial di lebih dari 20 negara di seluruh dunia.

Kr: Mengapa Anda memilih Kickstarter? Mengapa tidak langsung saja menggalang dana?

FH: Kami menggunakan Kickstarter karena sangat penting untuk mendapatkan respon sebanyak mungkin di awal pengembangan produk, sehingga kami dapat terus memperbaikinya. Jika Anda membuat perangkat lunak, mungkin akan lebih mudah. Cukup merilis versi beta lalu melihat bagaimana pengguna berperilaku, dan Anda dapat memperbaruinya berdasarkan tanggapan.

Inilah mengapa kami juga menggunakan Kickstarter sebagai jembatan untuk menghubungkan ide-ide kami dengan publik. Kami telah menerima banyak masukan yang sangat membantu. Pendanaan tersebut hanya sebagian kecil dan tidak menggantikan investor. Faktanya, kami sedang dalam proses finalisasi dengan investor. Saya rasa sulit bagi investor untuk benar-benar memahami bisnis dan nilai kami karena tidak banyak contoh di pasar yang niche ini.

Interior vila Canggu Garden oleh Stilt Studios. Dokumentasi oleh Stilt Studios

Kr: Bagaimana implementasi teknologi pada startup baru ini, serta bagaimana cara kerja platformnya?

FH: Saat ini, kami menggunakan teknologi untuk menemukan pelanggan, pada dasarnya seperti konsep direct-to-consumer (D2C). Klien dapat mengirimkan pertanyaan dan melihat beberapa desain di situs web kami. Mereka juga dapat memesan kamar di salah satu rumah kami di Bali melalui web atau mitra agen perjalanan online (OTA) seperti Traveloka atau Airbnb.

Kami mengoperasikan sejenis model hybrid: kami adalah merek D2C di segmen ceruk tertentu, tetapi semua penjualan dan pemasaran kami dilakukan secara online.

Kr: Apakah pengalaman Anda di Lazada berperan signifikan dalam perjalanan bisnis hingga saat ini?

FH: Saya beruntung menjadi bagian dari tim Lazada. Kami memulainya saat e-commerce masih kecil, dan banyak orang tidak percaya bahwa platform tersebut bisa sebesar sekarang. Sangat menarik melihat apa yang dapat Anda capai dengan teknologi dan edukasi pasar. Saya juga memperoleh keterampilan tentang cara berkembang dari perusahaan kecil menjadi perusahaan besar — sistem apa yang perlu Anda terapkan, dan cara menavigasi tim. Ini adalah beberapa pelajaran yang saya implementasikan di perusahaan baru ini.

Kr: Bagaimana Anda melihat masa depan bisnis ini? Boleh ceritakan rencana Anda di sisa tahun ini menuju tahun 2021.

FH: Kami memiliki tiga proyek yang sedang berlangsung selama sisa tahun ini, dan kami sudah memiliki empat proyek besar lainnya yang sedang dikerjakan. Kami menargetkan untuk menyelesaikan sekitar 70 rumah pada akhir tahun 2021.

Saat ini kami telah merancang empat model rumah, dan berencana untuk menambahkan enam model lagi. Kami juga melakukan kerja sama desain dengan pihak lain. Sebagai platform, kami ingin memungkinkan orang lain untuk berbagi ide dalam membangun rumah yang tahan lama.

Visi jangka panjang perusahaan kami adalah menjadi platform desain untuk rumah prefab di mana kami melayani pelanggan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia atau Asia Tenggara. Misalnya, kami memiliki banyak pertanyaan dari calon pelanggan di AS, tetapi kami tidak bisa mengirimkan struktur prefab kami secara internasional.

Di masa mendatang, kami bertujuan untuk terhubung dengan kontraktor lokal di pasar yang berbeda sehingga kami dapat berbagi desain dan rencana konstruksi kami dan berkolaborasi dengan mereka untuk membangun rumah prefab bagi pelanggan di seluruh dunia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Jumlah Pengguna Baru OVO Meningkat 267% Selama Pandemi: Sesi Tanya Jawab Bersama CEO Jason Thompson

Ketika COVID-19 menghantam laju bisnis di seluruh dunia, sebuah perusahaan memutuskan untuk melawan. Jason Thompson, CEO dari platform pembayaran digital Indonesia OVO, mengatakan kepada KrASIA bahwa perusahaan telah mengadopsi mentalitas “ruang perang” —dengan memperkenalkan gugus tugas khusus untuk meninjau strategi bisnisnya dan mengoptimalkan alokasi sumber daya.

Namun, Thompson percaya bahwa krisis dapat mendorong adopsi dompet elektronik dan lebih meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pembayaran tanpa uang tunai atau cashless. “Kami mengharapkan adanya peningkatan penggunaan platform pembayaran digital karena lebih banyak orang beralih ke pembayaran elektronik untuk biaya bantuan serta memenuhi kebutuhan esensial,” ujarnya dalam sebuah sesi wawancara.

Tujuan jangka panjang OVO adalah mengembangkan layanan untuk mengatasi kesenjangan dalam ekosistem keuangan dan memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang. “Orang Indonesia menjadi lebih terbuka dan bergantung pada layanan digital selama ini dan kami berharap lanskap keuangan di Indonesia tidak semakin terfragmentasi selama COVID-19 dan ke depannya,” tambahnya.

KrASIA berdiskusi dengan Thompson tentang pandemi dan bisnis OVO secara umum.

KrASIA (Kr): Bagaimana imbas dari krisis COVID-19 pada bisnis OVO? Apakah OVO mengalami peningkatan jumlah transaksi dan pengguna?

Jason Thompson (JT): Dengan kehadiran COVID-19, kami melihat pertumbuhan signifikan lebih dari 110% dalam perdagangan online, 15% dalam pengiriman makanan, serta hampir 50% dalam penyaluran pinjaman. Pengguna baru kami telah tumbuh 267% dibandingkan dengan waktu sebelum adanya PSBB dan kami melakukan banyak upaya dalam pengenalan dan penggunaan pertama untuk pembayaran digital serta layanan keuangan.

Kami melihat bahwa konsumen mulai mengalihkan kebiasaan belanja mereka secara online dan mengadopsi metode pembayaran tanpa uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kami telah meningkatkan upaya dalam memperluas strategi ekosistem terbuka untuk beradaptasi dengan kebutuhan konsumen, dengan fokus sebagai e-commerce enabler, pengiriman makanan dan bahan makanan, serta pengobatan jarak jauh melalui kemitraan kami dengan Grab, Tokopedia, dan lainnya. Kami juga telah mengalokasikan sumber daya khusus untuk mendukung inisiatif Bank Indonesia dan pemerintah dalam memerangi COVID-19. Misalnya, teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis untuk prakarsa kartu pra-kerja pemerintah.

Kr: Mengenai kartu prakerja, bagaimana kolaborasi dengan pemerintah membawa dampak positif bagi OVO serta komunitas?

JT: Kami benar-benar melihat ini sebagai program jaring pengaman sosial yang disediakan oleh pemerintah untuk melawan dampak COVID-19. Dengan keterlibatan penyedia uang elektronik, seperti OVO, dalam pencairan bantuan sosial, kami mempersingkat proses yang telah umum dalam program bantuan sosial di Indonesia. Kami telah mendukung orientasi pelanggan baru dan pemberian bantuan tanpa batas kepada para pencari kerja muda dan warga negara Indonesia yang menganggur dengan memungkinkan mereka untuk mengaktifkan e-wallet, melakukan e-KYC, dan merasakan manfaat tanpa interaksi fisik apa pun.

Semua pemegang kartu pra-kerja yang memilih OVO untuk distribusi insentif memiliki akses ke asuransi gratis COVID-19 dan kematian karena kecelakaan pribadi yang disediakan oleh Prudential, dengan mendaftar pada aplikasi OVO. Teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis. Lima dari mereka telah secara aktif terlibat dalam pengembangan sistem kartu pra-kerja, serta berhubungan langsung dengan Kantor Staf Presiden.

Kr: Bagaimana OVO membantu usaha kecil menengah yang terdampak secara signifikan oleh pandemi?

JT: OVO memfasilitasi transaksi tanpa uang tunai untuk ratusan gerai F&B dan pedagang grosir lokal melalui peluncuran metode “chat and pay” yang mendukung mereka dalam mempertahankan bisnis selama PSBB. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membeli dan membayar kebutuhan sehari-hari melalui obrolan dan membantu pedagang lokal. Kami akan terus meninjau inisiatif yang sesuai dan akan mengeksplorasi segala kemungkinan untuk mendukung mitra dan pedagang UMKM selama COVID-19 dan ke depannya.

Kami juga berencana untuk meluncurkan fitur yang memungkinkan pelanggan melakukan pembayaran QR Indonesia Standard (QRIS) dengan UMKM dari rumah. Kami memungkinkan bisnis untuk mengelola penggajian dan pencairan insentif dan ingin memperkenalkan B2B serta pinjaman rantai pasok, dengan tujuan untuk membantu UKM mempertahankan arus kas mereka.

Kr: Salah satu partner terdekat OVO, Tokopedia, diduga menjadi korban kebocoran data yang membahayakan data jutaan pengguna. Bagaimana Anda meyakinkan keselamatan data pelanggan OVO yang terintegrasi dengan sistem Tokopedia?

JT: Secara alami, cybersecurity merupakan faktor kunci yang sangat dipertimbangkan pada sektor ini, tidak terkecuali OVO, mengingat sensitivitas layanan keuangan online. OVO tidak memberi kompromi untuk datanya. Sistem keamanan berlapis kami memungkinkan untuk melindungi pengguna dari serangan cyber, dengan fitur keamanan termasuk OTP, PIN, dan pemberitahuan jika seseorang masuk ke akun di perangkat yang berbeda. OVO adalah organisasi independen dengan sistem independen. Kami mengelola privasi data dan keamanan informasi kami sendiri, mematuhi peraturan pemerintah dan standar global tentang privasi dan keamanan data. Komitmen OVO untuk memastikan keamanan data tersebar di seluruh ekosistem mitra kami, termasuk Tokopedia.

Kr: Apa yang menjadi pelajaran berharga OVO selama COVID-19 ini dan bagaimana strategi untuk bertahan di masa setelah pandemi?

JT: Pertama, kami melihat poros global menuju digitalisasi bisnis dan adopsi digital di antara konsumen dan kami percaya perubahan ini cenderung permanen. Karena itu, para pemula perlu memanfaatkan infrastruktur fleksibel mereka untuk beradaptasi dengan cepat dan bertindak tegas dalam menghadapi krisis. Kedua, kemitraan adalah kunci. Startup dapat memainkan peran yang sama besar dengan entitas yang didirikan melalui kemitraan strategis dengan pemerintah dan perusahaan lain. Kemitraan kami dengan pemerintah Indonesia telah memungkinkan kami untuk memainkan peran yang lebih besar dalam memerangi krisis COVID-19.

Akhirnya, kita harus melihat kembali ke internal, memastikan bahwa karyawan kita didukung dengan baik. Dengan kerja jarak jauh yang mungkin menjadi norma baru selama beberapa waktu, kami telah menjelajahi serangkaian interaksi virtual reguler, seperti sesi talk show virtual dengan pakar kesehatan masyarakat, dan balai kota dengan tokoh-tokoh politik juga industri utama. Kami juga telah memperluas layanan pengobatan jarak jauh gratis ke semua karyawan OVO, untuk memberi mereka alat dan layanan untuk menerima perawatan medis dari jarak jauh, jika mereka membutuhkannya.

Kr: Pada wawancara tahun lalu, OVO menyampaikan fokusnya di 2020 untuk produk pinjaman, investasi, dan layanan asuransi digital. Bagaimana pandemi ini mempengaruhi rencana dan strategi OVO ke depan?

JT: Fokus kami tetap konsisten, kami ingin memperkenalkan lebih banyak penawaran asuransi dan investasi bagi konsumen, untuk memperkuat proposisi kami untuk menyediakan rangkaian layanan keuangan paling komprehensif untuk semua orang Indonesia. Awal tahun ini, kami mengumumkan kemitraan strategis dengan Bareksa di mana pengguna OVO dapat dengan mudah membeli reksa dana melalui Bareksa. Kami juga telah bermitra dengan Prudential Indonesia untuk meluncurkan premi kematian kecelakaan pribadi dan perlindungan COVID-19 gratis, yang dapat diakses melalui aplikasi OVO. Program ini telah berjalan sejak pertengahan April dan telah dipenuhi dengan permintaan tinggi dari masyarakat.

Untuk layanan pinjaman konsumen, kami secara proaktif mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi metode pembayaran dan pembayaran pinjaman untuk melindungi pengguna kami dan menawarkan opsi pembayaran yang fleksibel. Kami juga secara aktif berinvestasi dalam produk dan sumber daya teknologi, khususnya dalam tim untuk peminjaman, investasi, dan asuransi B2B, dan kami membangun saluran komunikasi dengan regulator dan pemerintah untuk mendukung berbagai inisiatif. Akan ada lebih banyak informasi yang bisa dibagikan mengenai produk-produk ini ketika sampai pada waktu peluncuran.

Kr: Facebook Pay sedang mencari partner dan OVO menjadi salah satu kandidat. Jika hal ini terjadi, bagaimana kerjasama ini bisa mendukung OVO dan bagaimana Facebook Pay akan mempengaruhi ekosistem pembayaran mobile di Indonesia?

JT: Meskipun kami tidak dapat membagikan diskusi kemitraan yang sedang berlangsung, kami selalu terbuka untuk mengeksplorasi peluang baru untuk meningkatkan transaksi tanpa uang tunai, termasuk dengan Facebook atau organisasi lain. Sebagai platform ekosistem terbuka, kami berada di posisi yang tepat untuk bekerja sama dengan mitra industri lainnya untuk memanfaatkan basis data pengguna dan layanan kami untuk mendukung pelanggan kami, terutama pada saat seperti ini, di mana ada global pivot menuju pembayaran tanpa uang tunai.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Platform Online Mulai Jadi Pilihan Utama Masyarakat Indonesia Tatkala Butuh Solusi Medis

Sudah lewat sebulan setelah kasus pertama, Indonesia masih berjuang untuk menahan penyebaran wabah coronavirus. Sementara itu, startup teknologi kesehatan menyediakan lebih banyak layanan untuk publik dan ikut ambil bagian dalam pemerintah untuk menanggapi pandemi ini.

Ketika wabah masih dalam tahap awal, banyak orang di Indonesia beralih ke aplikasi teknologi kesehatan untuk mendapatkan informasi tentang COVID-19, yang menciptakan peningkatan traffic untuk situs dan aplikasi terkait. Lalu ketika COVID-19 mulai menjalar di negara ini, pemerintah kemudian menyerukannya sebagai kampanye pencegahan COVID-19.

Penyedia layanan seperti Halodoc, Alodokter, dan GrabHealth — unit layanan kesehatan Grab bekerja sama dengan Good Doctor Technology Indonesia — telah ditunjuk oleh gugus tugas COVID-19 resmi Indonesia untuk melakukan skrining pendahuluan dan menurunkan jumlah kunjungan rumah sakit.

“Selama pandemi, penting bagi masyarakat untuk tidak terburu-buru ke rumah sakit, terutama untuk kasus-kasus ringan dan non-darurat,” kata direktur pelaksana Good Doctor Technology Danu Wicaksana kepada KrASIA. “[Ini] tidak hanya untuk mengurangi risiko infeksi di fasilitas medis, tetapi juga nantinya dapat memindahkan sumber daya untuk menangani mereka yang berstatus lebih parah, yang memerlukan penanganan intensif karena kapasitas yang terbatas.”

Healthtech platfortm
Dokter medis per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore dan Vietna. Dokumentasi dari World Health Organization.

Rasio ini jauh di bawah jumlah yang ditentukan WHO, setidaknya, sepuluh dokter dan 50 tempat tidur untuk setiap 10.000 orang.

Tempat tidur RS per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Vietnam. Diambil dari dokumentasi World Health Organization
Tempat tidur RS per 10,000 orang di Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Vietnam. Diambil dari dokumentasi World Health Organization.

Sejak 3 Mei, negara ini telah mencatat lebih dari 11.000 kasus positif, dengan 845 kematian dan 1.876 penyembuhan. Namun, yang paling mengkhawatirkan warga negara adalah jumlah pasien yang berada di bawah pengawasan (PDP) —23.130 secara keseluruhan — karena mereka memiliki gejala coronavirus akut, serta 236.369 orang yang diawasi (ODPs), karena mereka menunjukkan gejala ringan dan mungkin telah dalam kontak dengan pasien yang sudah dites positif COVID-19.

Mendampingi masyarakat dalam masa isolasi mandiri dan non-darurat

Sementara pasien PDP memenuhi syarat untuk perawatan di rumah sakit rujukan yang ditunjuk pemerintah, ODP disarankan untuk melakukan isolasi mandiri selama dua minggu dan hanya akan menerima perawatan jika kondisinya memburuk. Di sinilah peran aplikasi teknologi kesehatan sangat dibutuhkan.

“Kami memang menerima permintaan konsultasi dari orang-orang yang mengasingkan diri,” sebut Wicaksana. Dalam menangani pengguna di bawah isolasi mandiri, platform ini mengikuti pedoman Kementerian Kesehatan, yang mencakup prinsip jarak jauh fisik dengan orang lain yang berada di rumah yang sama, penggunaan peralatan kesehatan seperti masker wajah, dan pemeriksaan online berkala di Setidaknya sekali setiap dua hari.

Jika pengguna mengalami gejala lebih serius, dokter via GrabHealth akan membuat rekomendasi untuk segera mencari bantuan di fasilitas kesehatan.

Halodoc, salah satu perusahaan teknologi kesehatan terbesar di Indonesia, menerapkan kebijakan serupa untuk ODP selama telekonsultasi. “Pedoman ini telah disesuaikan dengan gejala pasien, termasuk pemeriksaan kesehatan berkala dan pemberian obat jika diperlukan,” ujar sang CEO, Jonathan Sudharta.

Partner layanan telemedik pemerintah Indonesia. Cuplikan layar dari situs web resmi gugus tugas COVID-19 Indonesia.
Partner layanan telemedik pemerintah Indonesia. Cuplikan layar dari situs web resmi gugus tugas COVID-19 Indonesia.

Langkah ini turut didukung oleh pejabat pemerintah. Satuan tugas COVID-19 Indonesia memiliki tautan ke sembilan layanan telemedik di situs resmi mereka.

“Ini sangat baik untuk pasien yang sedang dalam masa isolasi mandiri, karena mereka dapat melanjutkan komunikasi dan menerima arahan melalui layanan startup ini,” menteri kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan kepada parlemen Indonesia pada awal April, seperti dilaporkan oleh Reuters.

Platform ini juga menyediakan layanan untuk kasus-kasus non-darurat guna mengurangi kunjungan rumah sakit pada masa krisis ini. GrabHealth dan Halodoc memiliki layanan konsultasi 24 jam gratis dengan mitra dokternya, serta layanan pengiriman obat dari apotek mitra aplikasi. Sudharta mengamati bahwa semakin banyak pengguna yang menggunakan fitur-fitur ini, terutama setelah pemerintah mendorong jarak fisik dan memberlakukan penguncian sebagian di beberapa kota.

Ada lagi pemain yang lebih kecil, sebuah platform diagnosis berbasis AI, Prixa, disadap oleh Kantor Staf Presidensial untuk mencatat hasil dari prosedur skrining mandiri yang diminta oleh aplikasi 10 Rumah Aman.

Didirikan pada tahun 2019, Prixa mengklaim berperan untuk membawa “solusi aksesibilitas terukur ke layanan kesehatan” ke meja. Platform ini menganalisis gejala pengguna menggunakan jawaban yang mereka masukkan ke dalam aplikasi, kemudian memberikan informasi tentang apa yang mungkin menjadi penyebabnya.

“Mesin kami didasari pada obat-obatan berbasis bukti, di mana tim dokter kami menganalisa penelitian yang dipublikasikan, memanfaatkan hasilnya, dan menggabungkannya dengan pedoman yang ditetapkan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan untuk membuat alat yang komprehensif untuk menilai gejala dan risiko,” CEO Prixa James Roring menyampaikan kepada KrASIA.

Fleksibilitas doker dalam bekerja

Para petugas kesehatan di Indonesia menghadapi kondisi sulit ketika harus bekerja mengelola dan mengatasi wabah. Mereka tidak memiliki peralatan pelindung yang layak dan terkuras secara fisik. Perhimpunan Dokter Indonesia (IDI) mengkonfirmasi bahwa 25 dari anggotanya telah meninggal. Beberapa korban tertular penyakit saat merawat pasien, sementara yang lain mungkin meninggal karena kelelahan.

GrabHealth mengonfirmasi beberapa mitra dokternya bekerja dua kali lipat dengan bertugas di rumah sakit dan kemudian melakukan telekonsultasi. Untuk menghindari pekerjaan yang berlebihan, platform membuat penyesuaian. “Beberapa mitra dokter kami yang masih bertugas di rumah sakit diberikan keleluasaan untuk menyesuaikan jam konsultasi mereka dalam GrabHealth dalam masa sulit ini,” ujar Wicaksana.

Halodoc, di sisi lain, telah membawa lebih banyak dokter online. Saat ini, platform mencatap setidaknya 1.000 dokter untuk konsultasi terkait COVID-19. Dengan cara ini, beban kerja dapat ditanggung lebih banyak orang, mengurangi tingkat stres pada setiap dokter.

Berbagai platform hadir membantu pekerja medis serta profesional terkait. GrabHealth sedang mencanangkan rapid test gratis dan tes PCR untuk petugas layanan kesehatan dan mitra pengemudi Grab di sembilan kota. Mereka bertujuan untuk memberikan tes COVID-19 gratis kepada 5.000 orang hingga pertengahan Mei. Sementara Halodoc, bekerja sama dengan IDI dan lembaga lainnya, mendistribusikan 2.000 set APD, 2.000 pelindung wajah penuh, dan 100 sink portabel ke beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat di Jakarta.

Kesempatan baru dan peralihan kebiasaan

Krisis kesehatan publik global yang belum pernah terjadi sebelumnya kian mendorong adopsi cepat layanan digital di sektor kesehatan. Menurut executive insights oleh Galen Growth Asia, akan ada perubahan paradigma dalam ekosistem perawatan kesehatan dalam hal bagaimana pemangku kepentingan menerapkan alat digital.

Di Indonesia, jumlah orang yang menggunakan aplikasi teknologi kesehatan terus meningkat. Halodoc mencatat lebih dari 6 juta pengguna mengakses fitur skrining mandiri COVID-19 aplikasi sejak Maret, sementara jumlah pengguna meningkat tiga kali lipat. GrabHealth juga harus meningkatkan kapasitasnya empat kali lipat untuk memenuhi permintaan.

“Kami menyadari bahwa setiap orang menghadapi masa masa sulit. Gerakan rakyat terbatas di tengah pandemi ini,” sambut Sudharta. “Teknologi memiliki peran penting sebagai jembatan untuk kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan layanan kesehatan dan obat-obatan.”

Dengan banyaknya orang Indonesia yang menggunakan layanan telemedik untuk pertama kalinya, ada kemungkinan besar bahwa mereka akan terus menggunakan platform ini jika membutuhkan solusi medis di kemudian hari. Wicaksana mewakili Good Doctor percaya bahwa banyak orang akan terus memanfaatkan kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh perusahaannya. “Momentum ini pasti akan mengubah cara orang mencari bantuan medis, dengan pola pikir ‘online’. Jika mereka merasakan keluhan ringan, mereka mungkin beralih ke telemedik terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah sakit,” tambahnya.

GrabHealth dan Good Doctor mengakui telemedik sebagai tren yang mungkin menjadi standar di masa depan, dan perusahaan akan meningkatkan layanan mereka untuk memenuhi kebutuhan orang Indonesia, terutama mereka yang merasa kesulitan untuk mendapat fasilitas kesehatan. Namun, ini tidak berarti telemedik akan menggantikan konsultasi dokter offline. Dua entitas saling melengkapi dalam perawatan pasien di tahap awal.

Sementara itu, pemain yang lebih kecil mendapatkan paparan melalui kolaborasi bersama lembaga pemerintah. “Prixa memang mendapatkan manfaat branding, meskipun itu bukan motif utama kami,” kata Roring.

Bahkan sebelum pandemi, sektor kesehatan digital Indonesia telah menarik banyak investasi. Menurut Galen Growth Asia, platform kesehatan di Indonesia dan Singapura menerima sekitar 93% dari USD 226 juta dalam investasi perawatan kesehatan untuk wilayah tersebut. Halodoc dan Alodokter mengantongi dua kesepakatan besar yang jumlahnya mencapai USD 145 juta.

Setelah sbadai mulai reda, bukan tidak mungkin akan hadir unicorn baru Indonesia dari sektor teknologi kesehatan.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial