Mandiri Capital Delays Four Investments Due to Pandemic

Mandiri Capital Indonesia (MCI), an investment arm of Bank Mandiri, revealed that there have been some delays regarding plans to invest in new startups due to the Covid-19 pandemic. MCI is said to be eyeing four startups engaged in fintech.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said, the actual approach process had already taken place before the pandemic, but the due diligence process required both parties to meet face to face. It needs to verify the location of the startup’s office, visiting users, and so on.

“If it is only for discussion, it can be through digital. However, we still have to verify the office, making a check spot to the location whether the business is B2B,” he said as quoted from an interview with CNBC, yesterday (5/27).

He emphasized, even though it’s delayed due to a pandemic, it doesn’t reduce MCI’s appetite to continue investing in the fintech sector.

Separately, to DailySocial, Eddi said there are four fintech startups conducting a due diligence process with MCI. Although, he was reluctant to disclose more details related to the name of the startup and which vertical fintech was being targeted.

“It’s already started [the approach process] before the pandemic, but the process was delayed due to the current state.”

This delay, he continued, did not have a significant impact on company performance, nor on the map of competition with VCs. He said, MCI had never limit the number of startups to invest and the amount of funds prepared each year.

This year’s budget to invest in new startups is said to reach Rp50 billion. That number changes annually according to the injection of the parent company. “There is no competition between VCs. [We] even invested together. ”

Another impact of the pandemic also forced MCI to postpone external fundraising. Therefore, it must be divided into two rounds and the company has finished the first stage.

The raised funding has reached $50 million, already half of the target, which is $100 million. Eddi is yet to reveal the LP’s identity in this funding. “Therefore, it will be gradual [due to pandemic]. There will be first closing ($50 million), then the second closing.”

In an earlier interview, Eddi said this initial external funding would help MCI in meeting the funding needs of fintech startups in Indonesia. If you rely solely on funding from Bank Mandiri, your needs cannot be met quickly.

He said his team had conducted roadshows to Japan and South Korea to attract investors into the Indonesian market.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mandiri Capital Tunda Empat Investasi Akibat Pandemi

Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha ventura dari Bank Mandiri, mengungkapkan penundaan rencana untuk menyuntik startup baru yang akan masuk ke dalam portofolionya karena pandemi Covid-19. MCI disebutkan sedang mengincar empat startup yang bergerak di bidang fintech.

CEO MCI Eddi Danusaputro menerangkan, proses pendekatan sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi, namun dalam proses due diligence mengharuskan kedua belah pihak bertatap muka secara langsung. Pihaknya perlu memverifikasi lokasi kantor startup, mendatangi pengguna, dan sebagainya.

“Kalau untuk diskusi saja, via digital sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kita tetap perlu verifikasi kantornya, harus check spot ke lokasi merchant bila bisnisnya B2B,” katanya mengutip dari hasil wawancara bersama CNBC, kemarin (27/5).

Dia menegaskan, meski menunda karena pandemi, tidak mengurangi appetite MCI untuk tetap berinvestasi di sektor fintech.

Secara terpisah, kepada DailySocial, Eddi menuturkan ada empat startup fintech yang tengah melakukan proses due diligence dengan MCI. Meski, dia enggan membeberkan lebih detail terkait nama startup dan vertikal fintech mana yang sedang diincar.

“Sebelum pandemi sudah dimulai [proses pendekatan], tapi prosesnya jadi tertunda gegara pandemi.”

Penundaan ini, lanjutnya, tidak begitu memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perusahaan, maupun terhadap peta persaingan dengan antar VC. Dia bilang, MCI tidak pernah menargetkan harus investasi ke berapa banyak startup maupun jumlah dana yang disiapkan setiap tahunnya.

Anggaran tahun ini untuk berinvestasi ke startup baru disebutkan mencapai Rp50 miliar. Angka itu tiap tahunnya berubah sesuai dengan suntikan dana yang diberikan induk kepada MCI. “Persaingan dengan antar VC malah tidak ada persaingan. [Kami] malah investasi bareng.”

Dampak pandemi lainnya juga mengharuskan MCI mengundur penggalangan dana eksternal perdana. Oleh karenanya, harus dibagi menjadi dalam dua tahapan dan perusahaan telah selesai untuk tahap pertama.

Dana yang berhasil terkumpul mencapai $50 juta, sudah separuh dari target dana yang direncanakan sejak awal, yakni $100 juta. Eddi belum bersedia membeberkan identitas LP dari pendanaan ini. “Jadi bertahap [karena pandemi]. Ada first closing ($50 juta), kemudian second closing.”

Dalam wawancara sebelumnya, Eddi mengatakan pendanaan eksternal perdana ini akan membantu MCI dalam memenuhi kebutuhan pendanaan startup fintech di Indonesia. Apabila mengandalkan sumber dana dari Bank Mandiri saja, kebutuhan tidak bisa dipenuhi dengan cepat.

Dia menyebut pihaknya telah melakukan roadshow ke Jepang dan Korea Selatan untuk menarik investor masuk Indonesia.

Mengukur Kinerja CVC yang Didanai Korporasi

Pertumbuhan corporate venture capital (CVC) menggambarkan adanya fenomena inovasi terbuka (open innovation) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. CVC menjadi salah satu opsi strategis korporasi dalam menghadapi era digitalisasi dan disrupsi, dengan harapan startup yang didanai dapat me-leverage teknologinya ke dalam bisnis perusahaan.

CVC punya peran spesifik di luar bisnis utama perusahaan. Ia menjalankan fungsi investasi ke startup sehingga entitasnya harus terpisah. Selain itu, CVC juga memiliki tim untuk melakukan analisis terhadap calon startup yang dapat memenuhi visi strategis perusahaan.

Saat ini, lebih dari tujuh perusahaan di Indonesia dari berbagai vertikal bisnis telah membentuk CVC. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi, perbankan, media, hingga grup konglomerasi. Bahkan ada beberapa portofolio startup perusahaan yang sudah exit.

Sebetulnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapapun dapat mengembangkan inovasi. Namun, dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi baru tidak bisa langsung direalisasikan begitu saja.

Ada beberapa kemungkinan, yaitu korporasi tidak memiliki kapabilitas di bidang teknologi dan digital, SDM terbatas, atau terhalang regulasi sehingga tidak bisa begitu saja mengembangkan inovasi. Di sinilah CVC berperan untuk menjadi kendaraan eksplorasi ide bisnis perusahaan yang bersifat disruptif.

Pada kasus Bank BRI, kehadiran BRI Ventures menjadi kendaraan inovasi eksternal perusahaan. Selama ini, bank lambat dalam men-deliver produk ke pasar karena pergerakannya sangat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Menurut VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman, sektor perbankan harus mengajukan laporan satu tahun sebelumnya untuk mengembangkan produk atau ide bisnis baru. Untuk mengatasi isu tersebut, BRI Ventures hadir untuk membantu mengakselerasi pengembangan inovasi tanpa keluar dari jalur corporate strategy perusahaan.

At some point, pengembangan di internal pasti terbatas karena ada inovasi yang tidak bisa dilakukan oleh bank. Mentoknya pada proses compliance karena harus lapor ke OJK dan BI, risk management, dan mengikuti SoP. Kalau produk gagal, kami akan kehilangan trust, dan ini yang kita ingin hindari,” papar Markus kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik

Lalu, bagaimana CVC dapat menjadi opsi strategis terhadap pengembangan inovasi dan bisnis perusahaan?

Menurut Senior Partner & Managing Director The Boston Consulting Group Middle East Markus Massi, motivasi pembentukan CVC dapat bervariasi. Tetapi, sebagian besar perusahaan memang berfokus pada inovasi yang memberikan Return on Investment (ROI). Jadi, ketimbang membangun perusahaan R&D dari nol, mendanai startup atau mengakuisisinya jauh lebih masuk akal.

Beberapa alasan tersebut juga diamini beberapa CVC yang telah kami wawancarai. Dari informasi yang dihimpun, semua sepakat bahwa aksi korporasi ini memiliki dua objektif utama, yakni me-leverage teknologi yang dimiliki startup untuk memperkuat lini bisnis atau operasional bisnis serta meraup keuntungan modal dari investasi (capital gain).

Untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan, ada beberapa metrik yang dapat digunakan. Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li menyebutkan bahwa metrik ini berbeda-beda, tergantung dari tahap pendanaan, model bisnis, hingga vertikal bisnis.

Misalnya, pengukuran berdasarkan tahap pendanaan. Metrik kinerja portofolio startup di tahapan early stage dan seri A ke atas, tentu akan berbeda. Startup di tahap awal mungkin masih berkisar tentang bagaimana mencari traction, sedangkan seri A harus bicara tentang bagaimana cara untuk scale up bisnisnya.

Kemudian, metrik profitabilitas. Mengingat bisnis MDI Ventures sudah tumbuh signifikan dan tak lagi bermain di early stage, Kenneth menyebut bahwa objektif utamanya saat ini adalah bottom line atau keuntungan. Ia mengungkap portofolio yang sudah exit kini sudah untung. Portofolio yang tersisa juga sudah mengarah ke profitabilitas.

“Contoh lainnya Wavecell. Dengan me-leverage ekosistem Telkom, mereka sekarang sudah mengantongi pertumbuhan signifikan. Wavecell sekaligus membawa bisnis baru ke Telkom,” kata Kenneth kepada DailySocial.

Namun, keuntungan dinilai bukan menjadi satu-satunya metrik yang mutlak. CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan bahwa kinerja startup juga dapat terlihat dari bagaimana teknologinya dapat me-leverage perusahaan, baik dari sisi bisnis maupun operasional.

Contoh lainnya adalah PrivyID. Startup yang mengembangkan platform tanda tangan digital ini sama-sama mengantongi pendanaan dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan Mandiri Capital Indonesia.

Menurut Eddi, solusi yang dikembangkan PrivyID sangat efektif dalam mempercepat proses bisnis layanan di Bank Mandiri. Solusi PrivyID diterapkan pada proses pembukaan rekening kartu kredit baru. Karena sudah bisa dilakukan secara online, perusahaan tak lagi memerlukan tanda tangan basah.

“Nah, metrik ini dapat diukur dari berapa nasabah yang mendapatkan approval Bank Mandiri pada proses pengajuan kartu kredit,” ujar Eddi dalam wawancaranya dengan DailySocial.

Eddi menilai bahwa kinerja startup jangan langsung dilihat dari profitabilitasnya saja. Untuk mencapai profitabilitas, startup tidak harus langsung mengejar keuntungan. Sebaliknya, profitabilitasnya ini dapat terlihat dari sejauh mana startup melakukan strategi “bakar uang” secara terus-menerus.

Pada kasus Amartha, metrik yang digunakan tentu berbeda dengan PrivyID mengingat keduanya memiliki model bisnis yang berbeda juga. Sebagai penyalur pinjaman untuk segmen mikro, kinerja Amartha dapat dinilai dari jumlah dana yang telah disalurkan (loan disbursement).

“Di 2019, penyaluran dana mereka telah mencapai Rp1,5 triliun dengan jumlah peminjam mencapai 250.000. Kami mengukur kinerja Amartha berdasarkan penyaluran pinjaman di sejumlah titik per kuartal dan per tahun dan dampaknya terhadap penambahan jumlah peminjam kami,” tutur Eddi.

Menyelaraskan mindset startup dan korporasi

Berbeda dengan VC, CVC dituntut untuk dapat mencapai target perusahaan, baik secara bisnis maupun keuangan. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah mengingat startup dan korporasi memiliki kultur kerja dan perspektif yang bertolak belakang terhadap pengembangan sebuah produk.

Ada yang menyebut bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menghalangi kelincahan kerja startup agar tidak menghancurkan semangat kreatifnya. Poin ini dinilai patut dipahami perusahaan sejak awal ketika memutuskan untuk mendanai startup.

Secara umum, Kenneth menilai bahwa perbedaan mindset menjadi tantangan terbesar perusahaan dan startupuntuk mencapai target yang diinginkan. Korporasi memiliki kultur kerja dan pola kerja yang berbanding terbalik dengan startup.

“Di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. Di sini, kami bisa berkontribusi untuk me-leverage mindset startup supaya korporasi besar bisa beradaptasi,” paparnya.

Menurutnya, baik korporasi dan startup perlu saling menyeimbangkan antara pengembangan inovasi dan pengelolaan bisnis existing. Hal ini untuk menyelaraskan cara kerja mereka agar tidak terjadi benturan.

Ia mengungkap bahwa saat ini adaptasi mindset dan kultur kerja antara Telkom dan portofolio sudah mulai terlihat perubahannya. Malahan, ungkap Kenneth, Telkom telah berkolaborasi dengan banyak startup di mana nilai sinergi keduanya sudah jauh dari nilai yang kita investasikan di awal.

Di Kuartal Pertama 2020, Pendanaan Startup Indonesia Relatif Berjalan Normal

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali lanskap investasi. Menurut catatan Startup Genome, sejak permulaan krisis dalam dua bulan pertama tahun 2020, 57% dari total kesepakatan investasi pemodal ventura di Tiongkok telah terguncang. Kondisi tersebut turut diproyeksikan berdampak pada hilangnya potensi pendanaan startup senilai $28 miliar secara global.

Faktanya persebaran virus masih berlanjut. Banyak negara yang dibuat kalang-kabut dalam penanganannya, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Finch Capital, dalam laporan terbarunya, memprediksi krisis ini masih akan terus mengganggu ekosistem hingga Q3 2020 nanti, bahkan pemulihannya bisa membutuhkan waktu 12-18 bulan. Kondisi “normal baru” juga akan muncul, saat orang mulai terbiasa dengan layanan yang sepenuhnya digital.

Pendanaan startup Indonesia Q1 2020

Bedasarkan catatan DSResearch, pada periode Januari-Maret 2020 terdapat 20 transaksi pendanaan yang diumumkan startup Indonesia ke publik. Angka ini sebenarnya relatif normal jika dibandingkan dengan pendanaan periode yang sama tahun lalu. Menurut laporan Startup Report 2019 yang disusun DSResearch dengan dukungan Bank Mandiri dan Vidio, di periode yang sama tahun lalu (Q1 2019) ada 27 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik.

Startup Pendanaan
YukStay Seed Funding
Chilibeli Series A
Nusantics Seed Funding
Pahamify Seed Funding
Gojek Series F
Digiasia Bios Series B
Giladiskon Seed Funding
Datasaur Seed Funding
Visinema Series A
Greenly Seed Funding
Printerous Series A
Hukumonline Series A
Vutura Seed Funding
Arkademi Seed Funding
Gredu Pre-Series A
Zulu Seed Funding
Moladin Pre-Series A
Waresix Series A
Hacktiv8 Pre-Series A
Svara Seed Funding

Dirinci lebih dalam, pendanaan yang dikuncurkan investor kebanyakan di tahap awal, berkisar antara seed dan series A. Artinya inovasi yang dilahirkan startup baru masih memukau para investor di tengah kondisi pasar yang bergejolak.

Di tengah daftar juga ada pendanan Seri F yang kembali didapat Gojek mencapai 21 triliun Rupiah – kembali mengindikasikan kepercayaan investor untuk startup besar.

Untuk kondisi di Asia secara umum, merujuk pada daftar pendanaan yang diumumkan ke publik, CB Insight mencatat sepanjang Q1 2020 private market funding di Asia berpotensi membukukan $20 miliar. Nilainya turun 35% dibandingkan Q4 2019 yang mencapai $31 miliar.

Baru permulaan?

Analisis lain mengatakan, dampak yang sebenarnya dari pandemi mungkin baru akan terasa di Q2 2020. Perolehan di Q1 biasanya merupakan hasil kesepakatan yang sudah dilakukan sejak tahun 2019. Seperti diketahui, rata-rata startup membutuhkan waktu 6-12 bulan untuk melahirkan kesepakatan dengan pemodal ventura.

Terkait dengan ini, CB Insight melaporkan data temuannya. Menurut proyeksinya, sepanjang kuartal pertama 2020 kesepakatan pendanaan tahap awal yang paling terganggu.

Secara global penurunannya, secara jumlah transaksi, ditaksir mencapai 8% dibanding kuartal sebelumnya. Di Asia kondisinya lebih ekstrem, karena penurunannya mencapai 24%, berdasarkan jumlah transaksi, dibanding kuartal sebelumnya.

Dengan data yang ada, bisa dibilang tren investasi Q1 2020 di Indonesia belum terdampak terlalu serius. Secara regional, Sequoia Capital India menyatakan sudah berinvestasi tahap awal ke tiga startup, sementara pemodal ventura Rocket Internet yang berbasis Singapura, Global Founders Capital, telah berinvestasi tahap awal ke dua startup.

VC menyesuaikan

Menanggapi kondisi ini, Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyampaikan bahwa perusahaannya tetap akan melakukan investasi ke startup seperti waktu-waktu sebelumnya. Menurutnya, perlambatan dalam kesepakatan mungkin saja terjadi –tanpa pembatalan—karena beberapa startup mulai menggeser fokus bisnisnya menyesuaikan pangsa pasar.

“Kalau hujan berinvestasi untuk payung, kalau panas untuk topi,” begitu ujar Willson menganalogikan, seperti dikutip Bisnis.com.

Selama kuartal pertama, mereka telah berinvestasi setidaknya ke empat startup Indonesia, yakni Hacktiv8, Moladin, Greenly, dan Nusantics. Yang terakhir, East Ventures dan sejumlah portofolionya membantu Nusantics melakukan penggalangan dana untuk membuat tes PCR mandiri dengan meluncurkan inisiatif “Indonesia Pasti Bisa”.

Hal senada dilayangkan CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro. Menurutnya pandemi jelas akan mempengaruhi proses pendanaan startup di Indonesia. Kendati demikian, pihaknya masih terus aktif untuk menemukan startup yang layak didanai, salah satunya dengan melakukan sesi pitching secara online.

“Pada 2020 kami ada budget Rp50 miliar untuk dua hingga tiga investasi baru. Juga menyiapkan dana Rp50 miliar untuk pendanaan lanjutan. Startup yang diincar adalah fintech yang harus bisa sinergi dengan Mandiri Group seperti insurtech dan remittance,” terang Eddi seperti dikutip Kontan.

Di sisi lain, beberapa rencana modal ventura mulai terganggu. Pada November 2019 lalu, Mandiri Capital mengumumkan hendak mengumpulkan dana kelolaan (venture fund) yang bernilai total $100 juta. Karena Covid-19, pihaknya sulit untuk melakukan roadshow pengumpulan dana investor ke Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara tujuan lainnya. Kemungkinan penggalangan dana ini dilanjutkan di Q3 2020 jika pandemi benar-benar berakhir.

Corporate Venture Capital Indonesia Mulai Aktif Incar Investor Eksternal

Kehadiran investor asing menstimulus pembangunan suatu negara. Sektor yang butuh tambahan modal, perlu digenjot agar memberikan dampak ekonomi yang maksimal buat negara, termasuk sektor digital.

Menurut estimasi BKPM, persentase Penanaman Modal Asing (PMA / Foreign Direct Investment) ke sektor digital berkisar $1,3-2,4 miliar atau sekitar 15%-20% dari total PMA yang masuk, yakni $9-12 miliar per tahunnya.

“Belum ada indikasi kuat investor kehilangan antusiasmenya kepada sektor ini. Trennya masih sangat kuat,” ucap Kepala BKPM saat itu, Thomas Lembong, April 2019.

Angka di atas kalah jauh dengan lima sektor yang masih menjadi primadona para investor asing. Pada tahun 2018, posisi teratas ditempati sektor listrik, gas, dan air sebesar $4,4 miliar; pertambangan $3 miliar; transportasi, gudang & telekomunikasi $3 miliar; logam dasar & barang logam bukan mesin $2,2 miliar.

Tiga negara investor terbesar adalah Singapura $9,2 miliar, Jepang $5 miliar, dan Tiongkok $2,4 miliar. Dari total investasi, porsi PMA masih mendominasi, mencapai 56%, sementara sisanya adalah investasi dalam negeri.

Laporan e-Conomy SEA 2019 mengestimasi pada tahun lalu Indonesia berkontribusi terhadap 40% atau senilai $40 miliar nilai ekonomi digital dari total $100 miliar di ASEAN. APJII juga menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh 10,12% pada 2018 menjadi 171,17 juta jiwa dari total populasi 264 juta.

Ruang tumbuh yang masih begitu luas, melatarbelakangi dibutuhkannya tambahan sokongan modal agar lebih kencang menangkap potensi unicorn berikutnya. Langkah ini ditangkap para modal ventura korporasi (CVC).

Mereka mulai berupaya menarik pemodal asing untuk menaruh dananya untuk dikelola dan diinvestasikan ke startup digital lokal. Sejauh ini, ada tiga CVC, yakni MDI Ventures, Mandiri Capital Indonesia (MCI), dan BRI Ventures yang mulai membuka diri.

Dikonfirmasi DailySocial, masing-masing perwakilan ketiga CVC ini kompak menjawab tahun ini dimulainya perusahaan menarik investor luar untuk berpartisipasi dalam fund khusus.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menyebut proses penggalangan dana investasi ketiga sudah hampir rampung. Dia memperkirakan pengumuman resmi terkait fund ini bakal dilakukan menjelang akhir Januari 2020 atau awal bulan depan.

“Kita tunggu announce first investment saja. Harusnya akhir bulan ini atau awal bulan Februari,” ujarnya, Selasa (14/1).

Detail terkait rencana ini masih ditutup rapat-rapat oleh Kenneth. Tapi dari wawancara sebelumnya, MDI menargetkan dana investasi yang siap dikelola sebesar $100 juta dan telah roadshow ke Timur Tengah, sejumlah negara ASEAN seperti Thailand, dan Singapura untuk menarik LP.

Nominal yang sama juga diincar Mandiri Capital. CEO MCI Eddi Danusaputro mengaku saat ini masih dalam proses penggalangan. Ditargetkan sekitar kuartal ketiga tahun ini dapat segera ditutup atau mulai berinvestasi dengan dana segar tersebut ke startup baru.

“Sekarang masih on going, belum ada angka yang bisa di-share,” ujar Eddi, Selasa (14/1).

Sementara itu, BRI Ventures memberi sinyal bahwa mereka juga melakukan fundraising dengan investor lain, di luar BRI, supaya tetap sejalan dengan strategi tesis investasi yang sudah di buat.

“Kami fundraising juga dengan investor lain dan strategi supaya align dengan strategi BRI, dan juga strategi investment thesis yang akan kita buat. Tahun depan [fund akan diumumkan],” kata VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman saat DailySocial temui menjelang akhir tahun lalu.

Supply belum menyamai demand

Beberapa alasan yang melatarbelakangi ketiga para CVC ini untuk menggalang dana dari luar Indonesia adalah ketersediaan dana domestik yang terbatas. Kurang sepadan dengan tingginya permintaan investasi dari para startup. Mereka pun pede bisa memberikan return yang menarik kepada para LP berbekal pengalaman mengelola dana sebelumnya.

Khusus untuk menggambarkan potensi fintech lending saja, data acuan yang sangat sering dipakai adalah: credit gap sebesar Rp1.000 triliun tiap tahunnya yang belum terpenuhi bank untuk disalurkan ke pemilik usaha mikro dan kecil. Padahal UMKM adalah penggerak ekonomi terbesar Indonesia.

Angka ini cukup bombastis dan menggiurkan para pemilik modal untuk terjun ke sini. Tak heran, banyak investor berbondong-bodor mengucurkan dananya untuk startup fintech lending.

Tapi, kesulitan buat mereka adalah bagaimana untuk terjun langsung menangkap potensi tersebut? Apakah kapabilitas mereka cukup paham dengan tantangan pasar Indonesia untuk memantau langsung pergerakan dana yang diinvestasikan atau cukup memercayakan pengelola investasi yang handal?

Menurut catatan sementara pendanaan startup sepanjang 2019, sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor. Per 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan startup dan/atau investor Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, SaaS (9), e-commerce (8) dan logistik (6).

Alhasil, kondisi ini mendorong para CVC untuk tidak selalu bergantung dana suntikan dari induknya agar bisa bersaing. Dunia persaingan antar investor itu sendiri sebenarnya juga tidak kalah sengit. CVC harus bergerak cepat dalam mencari dana, meski preferensi startup yang dibidik ada sedikit perbedaan.

Eddi menjelaskan, rencana yang diusung MCI sepenuhnya mendapat dukungan Bank Mandiri. Bahkan perseroan akan ikut terus berpartisipasi tiap kali MCI merilis Mandiri Venture Fund baru.

Driver utama sebenarnya adalah kita lihat opportunity untuk bawa investor asing ke Indonesia kerena kita confident ada return [bagi investor] yang menarik dan juga demi market startup di Indonesia.”

Optimisme yang sama juga diungkapkan Kenneth. Rekam jejak MDI tidak hanya berinvestasi untuk startup lokal. Sejauh ini mereka mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit sejak pertama kali beroperasi di 2015. Performanya tentu tidak perlu diragukan lagi.

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Benchmark dari luar negeri

Pemain CVC di luar negeri sebenarnya juga melakukan hal yang serupa ada juga yang tidak. Semua tergantung masing-masing strategi yang diputuskan grup tersebut.

Tidak bisa melulu harus mengandalkan dana dari induk saja dalam berinvestasi, perlu diversifikasi dana dari investor luar untuk memberikan nilai tambah buat investee, grup dari CVC itu sendiri, dan para LP yang berpartisipasi dalam fund yang digalang.

CVC sebenarnya ada tanggung jawab yang harus mereka emban dalam berinvestasi, bagaimana memastikan startup yang mereka investasi bisa memberikan nilai tambah buat grup mereka agar bisa berkompetisi di pasar.

Pada akhirnya, banyak potensi kolaborasi yang bisa dilakukan dari mengelola dana investasi dari investor luar, digabungkan dengan kekuatan grup. Jaminan pasti seperti ini belum tentu bisa diberikan VC independen.

Bayangkan saja, bila suatu startup didanai BRI Ventures, kemungkinan besar mereka bisa menggarap nasabah BRI yang jumlahnya diklaim lebih dari 80 juta orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Akses ini begitu mahal buat didapatkan sebuah startup yang baru dirintis.

Meskipun demikian, CVC yang masih menutup kesempatan buat investor luar  tidaklah salah. Dengan kondisi ini, CVC punya kendali yang lebih leluasa dalam mengelola dana dan memilah startup sesuai preferensi tanpa banyak dituntut para LP.

Pun pada akhirnya, saat berinvestasi ke startup, sangat jarang investor masuk sendiri karena harus berbagi risiko dengan investor yang lain.

Salah satu CVC tersohor di Singapura, yakni Vertex Ventures. adalah salah satu arm investment Temasek, perusahaan investasi pelat merah Singapura. Vertex khusus bergerak di pendanaan tahap awal sejak 2008.

Perjalanan Vertex untuk fund pertama dan kedua, pada 2010 dan 2014, disokong sepenuhnya oleh Temasek Holdings melalui Vertex Venture Holdings. Memasuki fund putaran ketiga, mereka memulai debut menjaring investor eksternal pada 2017.

Saat itu, perusahaan berhasil mengantongi komitmen investasi sebesar $210 juta, oversubscribed dari target awal $150-180 juta. Temasek masih berpartisipasi sekitar 50% dalam putaran ini. Sisanya diikuti LP baru yang berasal dari institusi keuangan di Asia, korporasi, dan perusahaan keluarga.

Tahun lalu, Vertex menutup fund putaran keempat dengan total dana $305 juta. Beberapa portofolio Vertex untuk startup Indonesia di antaranya adalah RoomMe, Grab, Warung Pintar, PayFazz, Pintek, dan Cicil.

Contoh yang sedikit berbeda adalah Rakuten Ventures, yang merupakan bagian raksasa e-commerce Jepang Rakuten. Dalam perjalanannya, sejak diresmikan pada 2013, hingga kini mereka belum membuka investor eksternal dalam setiap putaran pendanaannya.

Rakuten masih menjadi investor tunggal untuk dua fund yang dibuat Rakuten Ventures. Fund ini bernama Global Investment Fund dan Rakuten Ventures Japan Fund yang masing-masing dibentuk pada 2014 dan 2016. Startup yang masuk dalam portofolio Rakuten dan beroperasi di Indonesia adalah Shopback.

Dinamika CVC Indonesia bisa dipastikan akan semakin menarik. Kabar dimulainya pencarian pendanaan dari investor eksternal bisa menjadi indikator bahwa ke depannya visibilitas mendapatkan startup incaran dapat lebih mudah ditemukan. Ini baik buat startup yang sedang mengincar akselerasi pertumbuhan dengan cara paling efektif.

With Rp50 Billion In Hand, Mandiri Capital Indonesia Aims for Three Indonesian Startups Next Year

As a CVC under Bank Mandiri focusing on investment for fintech startups and its supports, Mandiri Capital Indonesia (MCI) claims to have around Rp50 billion funding ready to pour on Indonesian startups.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said at the announcement of funding to Halofina, that startups focusing on fintech and insurtech have become the main priority. In fact, it’s to be integrated with Bank Mandiri ecosystem and its subsidiaries.

Invested in 13 fintech startups

In total, MCI has invested in 13 fintech startups, including Amartha, PrivyID, Moka, and Investree. In 2020 MCI has plans to invest in 2 or 3 more startups.

“From the beginning we’re not to be very aggressive investing in many startups. Therefore, we only choose the finest local startups interested in developing fintech and insuretech by focusing on product innovation and processing,” he said.

Despite the lack of local players in this sector, MCI has been interested in local remittance services that is to provide relevant services and technologies. Eddie thought, this is quite a great potential, considered the number of migrant workers in need for these services.

“It is probable that we will start focusing on this potential at MCI. For this reason, we are still looking for local startups that have this potential,” he added.

Meanwhile, a service like Halofina that offers digital investment assistant is expected to be implemented into groups or subsidiaries.

“With Halofina, we’re planning to embed the technology into all services available in the ecosystem of Mandiri subsidiaries. One of which is Mandiri Investment Management,” Eddie said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Siapkan Rp50 Miliar, Mandiri Capital Indonesia Bidik Investasi ke Tiga Startup Indonesia Tahun Depan

Sebagai CVC kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengklaim masih memiliki dana sekitar Rp50 miliar yang siap digelontorkan bagi startup Indonesia.

Ditemui saat pengumuman pendanaan ke Halofina, CEO MCI Eddi Danusaputro menyebutkan, startup yang menyasar fintech dan insurtech masih menjadi prioritas utama mereka. Tentu saja agar bisa diintegrasikan ke dalam ekosistem Bank Mandiri dan anak-anak perusahaannya.

Telah berinvestasi di 13 startup fintech

Secara keseluruhan, MCI telah melakukan penyertaan modal di 13 startup fintech, termasuk Amartha, PrivyID, Moka, dan Investree. Tahun 2020 mendatang MCI memiliki rencana untuk berinvestasi kepada 2 atau 3 startup lagi.

“Sejak awal kita memang tidak mau agresif untuk berinvestasi kepada banyak startup. Untuk itu kita sengaja memilih startup lokal terbaik yang tertarik untuk mengembangkan layanan fintech hingga insuretech dengan memfokuskan kepada inovasi produk dan processing,” kata Eddie.

Meskipun masih belum banyak pemain lokal yang bermain dalam sektor ini, MCI juga mulai melirik layanan remittance lokal yang bisa menyediakan layanan dan teknologi yang relevan. Menurut Eddie, potensi tersebut dinilai cukup besar, dilihat dari jumlah TKI dan TKW yang membutuhkan layanan tersebut.

“Besar kemungkinan potensi tersebut akan mulai kita fokuskan di MCI. Untuk itu kita masih mencari startup lokal yang memiliki potensi tersebut,” kata Eddie.

Sementara layanan seperti Halofina yang menawarkan asisten digital investasi diharapkan bisa diimplementasikan ke dalam grup atau anak perusahaan.

“Dengan Halofina saja rencananya kami akan menyematkan teknologi tersebut ke dalam semua layanan yang tersedia di anak perusahaan Mandiri. Salah satunya adalah Mandiri Investment Management,” kata Eddie.

Kantongi Pendanaan Pra Seri A, Halofina Fokus Kembangkan Produk dan Akuisisi Talenta

Aplikasi asisten virtual untuk membantu pengguna merencanakan keuangan pribadinya Halofina mengumumkan pendanaan Pra Seri A yang dipimpin Mandiri Capital Indonesia (MCI). Investor yang turut bergabung dalam putaran pendanaan kali ini adalah Finch Capital. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa besar nominal pendanaan yang digelontorkan, namun pihak MCI yang diwakili oleh CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menyebutkan, sesuai dengan ticket size Pra Seri A, nilainya berkisar antara US$1 juta hingga US$5 juta.

Sebagai startup binaan MCI, diharapkan Halofina bisa memberikan kontribusi ke ekosistem Bank Mandiri dan anak perusahaan di dalamnya.

“Meskipun Halofina merupakan startup binaan kami, namun tidak menutup kemungkinan bagi Halofina untuk menjalin kemitraan dengan bank lainnya atau institusi keuangan terkait yang memiliki produk yang relevan dengan Halofina. Mungkin ke depannya bisa jadi MCI akan menempatkan komisaris atau masuk dalam jajaran manajemen di Halofina,” kata Eddi.

Pendanaan kali ini merupakan bridging menuju kepada pendanaan tahapan selanjutnya. Perusahaan menargetkan bisa memperoleh pendanaan Seri A di kuartal kedua atau awal kuartal ketiga 2020.

“Sejak awal Halofina berdiri, misi kami adalah ikut serta mendorong literasi dan inklusi keuangan di Indonesia, melalui solusi berbasis teknologi. Kami sangat bersyukur dengan dukungan dari MCI dan Finch Capital. Pendanaan ini bagi kami adalah sebuah kepercayaan dan harapan untuk dapat bekerja dan berkontribusi lebih banyak bagi masyarakat,” kata Co-Founder & Chairman Halofina Eko Pratomo.

Fokus akuisisi talenta dan hadirkan produk baru

Dana segar tersebut bakal digunakan menambah talenta baru untuk bergabung dalam tim Halofina. Sebagai platform konsultan finansial digital, Halofina mengklaim sudah diakses oleh lebih dari 15 ribu pengguna. Targetnya hingga akhir tahun 2020 mendatang, jumlah tersebut bisa bertambah hingga 500 ribu orang.

Disinggung tentang produk yang sedang dikembangkan, Co-Founder Halofina Adjie Wicaksana mengungkapkan, fokus Halofina saat ini adalah mengembangkan algoritma yang bisa memberikan rekomendasi risk profile dan asset allocation ke pengguna yang ingin membuat life plan.

“Untuk strategi monetisasi nantinya akan kita kenakan sharing fee dengan pihak terkait dan layanan berlangganan kepada pengguna. Namun untuk saat ini Halofina masih bisa diakses secara gratis,” kata Adjie.

Halofina saat ini bergabung dengan Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK Sandbox) di kategori Digital Financial Planner. Perusahaan  meluncurkan integrasi produk reksa dana sejak Maret 2019.

Application Information Will Show Up Here

Mandiri Capital Debut Galang Investasi Eksternal, Targetkan Dana 1,4 Triliun Rupiah

Mandiri Capital Indonesia, ventura korporasi dari Bank Mandiri, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi perdana. Target dana yang akan dihimpun adalah $100 juta (lebih dari 1,4 triliun) dan bakal rampung pada tahun depan.

CEO MCI Eddi Danusaputro menerangkan, perubahan strategi ini [membuka kesempatan LP dari luar terlibat] dilakukan karena ada kebutuhan investasi yang besar di Indonesia, terutama untuk startup fintech. Hal ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi apabila sumber investor dari Bank Mandiri saja, butuh investor dari luar untuk menyokongnya.

“Tidak bisa terus-menerus mengandalkan dana dari Bank Mandiri saja. Sekarang masih fundraising, sudah keliling ke Jepang dan Korea Selatan, mereka berminat untuk masuk ke Indonesia,” terang Eddi saat ditemui di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Dia juga meyakini reputasi Bank Mandiri sebagai bank pelat merah, tentunya akan memberikan nilai lebih buat para investor luar negeri untuk memercayakan dananya dikelola oleh MCI.

Menurutnya, tidak ada perbedaan mencolok antara mengelola dana dari kantong sendiri dengan eksternal. Selama ini Bank Mandiri selalu mengutamakan bagaimana startup yang didanai bisa memberikan sinergi buat grup dan imbal hasil yang diberikan.

Sedangkan, investor eksternal kurang mengedepankan sinergi, lebih kepada bagaimana MCI bisa memberikan imbal hasil yang baik dari dana yang diberikan.

Dalam fundraising ini, Eddi menargetkan setidaknya dapat menghimpun dana sebesar $100 juta. Bank Mandiri akan turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, diperkirakan hanya 10% atau sekitar $10 juta (setara 140 miliar Rupiah).

Tahun depan diharapkan MCI sudah mulai berinvestasi lewat fund terbaru tersebut. Startup yang diincar 80% bergerak di fintech, sisanya bergerak di sektor pendukung fintech. Tahapan pendanaannya tetap di seri A.

“Tetap di hipotesa awal kita bermain di early stage, seri A. Tapi tidak menutup kemungkinan bila ada yang bagus masuk ke seri B.”

MCI telah beroperasi sejak 2016 dan sepenuhnya menggantungkan sumber pendanaannya lewat suntikan dari Bank Mandiri tiap tahun. Total pendanaan yang disalurkan mencapai Rp980 miliar untuk 13 startup fintech.

Hampir sepenuhnya dilakukan pendanaan seri A dan co-invest dengan investor lain. Akan tetapi, ada satu pengecualian. MCI pernah ikut dalam penggalangan seri B untuk Investree pada 2018.

Menjelang akhir tahun ini, MCI akan mengumumkan satu investasi teranyar untuk startup yang bergerak di bidang wealth management. Eddi belum bersedia memberikan info terkait hal ini.

Pendanaan yang terakhir diumumkan adalah pendanaan pra seri A untuk Crowde sebesar $1 juta (sekitar 14 miliar Rupiah).

Pemilihan strategi serupa sebelumnya juga dilakukan oleh MDI Ventures untuk dana investasi ketiga. Target dananya juga sama, sebanyak $100 juta. Salah satu nama investor yang sudah terkuak adalah Kookmin Bank dari Korea Selatan.

MDI Ventures juga menjajaki investor lainnya dari Timur Tengah dan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.

Mandiri Capital Leads Crowde’s Pre Series A Funding

Mandiri Capital Indonesia, the Mandiri backed CVC, leads the Pre Series A funding for the agriculture p2p lending, Crowde, worth of $1 million (around 14 billion Rupiah). In the meantime, Bank Mandiri also participated as an institutional lender for credit loan through Crowde for 100 billion Rupiah.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said, Crowde is selected based on Bank Mandiri’s need and the same vision with MCI. Bank Mandiri is currently making an effort to increase productive credit to SME, micro in particular.

Crowde fits the requirements as they running a business in the productive sector for farming, fishing, and trading. Soon, MCI is to announce another funding led in the financial sector.

“MCI usually has an appetite for Series A, this time might be different for Crowde has shown a good capacity to complete Bank Mandiri,” Eddi said on Thursday (9/19).

Crowde’s CEO, Yohanes Sugihtononugroho stated MCI as a strategic investor to have symbiotic mutualism with for the sake of Crowde’s future and Mandiri as in a group.

Funding collected in this round will be fully distributed to build technology for Indonesian farmers. He thought there is enough technology around but ineffective for Indonesia’s farmers.

“Our focus is not far from farmers acquisition, in a way to build technology for Indonesian farmers. This is very segmented therefore challenging,” he said.

The pre-Series A isn’t close yet, said Yohanes. They’re still looking for other strategic investors. However,  he’s not willing to leak the target amount and when to stop.

Crowde’s previous investor was Gree Ventures, the number is still undisclosed last year.

Credit loan from Bank Mandiri

Bank Mandiri is now the first national-scale institutional lender of Crowde with the amount of Rp100 billion credit loan. In this partnership, Crowde is to refer some potential debtors for selection based on individual criteria and to manage loans for each debtor.

Based on the selection, Bank Mandiri is to proceed with the loan submission. The maximum number to access by micro SMEs is up to Rp200 million.

Bank Mandiri’s Retail Banking Director, Donsuwan Simatupang said, the scheme between two companies is very strategic. It can guarantee the quality of distributed funding by the bank, also an additional value from Crowde to the business player.

“In addition, the partnership scheme is to accelerate the credit approval process for the debtors can have the momentum to grow the business,” he added.

The company itself can have broaden access towards SME segments on the agriculture sector to accommodate farmers for banking access in terms of funding.

In August 2019, Bank Mandiri has distributed productive microcredit funding worth of Rp23.51 trillion for micro-business players in the region. In fact, Crowde has channeled Rp90 billion funding to 17 thousand small-to-middle size farmers located in Java, Sumatera, and Eastern Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here