Bermesin Listrik tapi Berwajah Klasik, Jaguar E-type Zero Siap Mengaspal Tahun 2020

Sekitar setahun yang lalu, Jaguar membuat kejutan lewat reinkarnasi versi elektrik dari roadster klasiknya. Saat diumumkan, status mobil bernama Jaguar E-type Zero itu baru sebatas konsep, namun baru-baru ini Jaguar memutuskan untuk melanjutkannya ke tahap produksi, dengan estimasi pengiriman ke tangan konsumen paling cepat pada musim panas tahun 2020.

Sekadar mengingatkan, fisik E-type Zero sengaja dibuat sama persis seperti E-type orisinil yang dirilis pertama kali di tahun 1961. Namun ketika kap mesinnya dibuka, yang tampak bukanlah mesin enam silinder berukuran masif, melainkan baterai lithium-ion berkapasitas 40 kWh, diikuti sebuah motor elektrik di belakangnya, persis di posisi gearbox E-type orisinil.

Jaguar E-type Zero

Menilik ke bagian kabin, kita bakal disambut oleh interior yang lebih modern berkat penerapan sistem infotainment berbasis layar sentuh. Elemen modernisasi yang terakhir terletak pada bagian lampu depannya, yang telah digantikan oleh komponen LED. Jaguar terkesan sangat berhati-hati dalam menerapkan pembaruan demi menjaga aura klasik dari salah satu mobil kebanggaannya tersebut.

Jaguar E-type Zero

Begitu presisinya perubahan yang diterapkan Jaguar, konsumen tidak harus membeli E-type Zero sebagai mobil baru. Para pemilik E-type klasik keluaran tahun 1961 – 1975 yang tertarik juga bisa menyulap tunggangannya menjadi mobil elektrik, dan proses restorasi beserta konversinya bakal dikerjakan sepenuhnya oleh tim Jaguar Classic Works.

Jaguar tidak lupa menegaskan bahwa proses konversi ini sifatnya reversible. Semua komponen yang diganti, terutama mesin bensinnya, akan disimpan baik-baik sehingga ke depannya, apabila ada permintaan dari konsumen, Jaguar bisa mengembalikan mobil mereka ke versi aslinya.

Jaguar E-type Zero

Terkait performa, E-type Zero dikembangkan menggunakan teknologi yang sama seperti SUV elektrik perdana mereka, Jaguar I-PACE. Bukan berarti performanya sama persis, akan tetapi setidaknya konsumen dapat diyakinkan bahwa kombinasi motor elektrik dan baterai yang diusung E-type Zero memang pantas untuk versi produksi.

Kemungkinan besar akselerasinya justru lebih unggul ketimbang E-type orisinil, sebab torsi besar dan instan memang sudah menjadi standar mobil elektrik. Soal efisiensi daya, E-type Zero diestimasikan dapat menempuh jarak hingga 270 km dalam satu kali pengisian baterai, cukup baik untuk ukuran baterai yang kecil (40 kWh).

Jaguar E-type Zero

Satu detail yang masih misterius adalah harganya. Sudah pasti mahal mengingat ini Jaguar dan bisa dikategorikan sebagai mobil klasik. Untuk tarif konversi sepertinya bakal bervariasi tergantung kondisi E-type klasik milik masing-masing konsumen.

Sumber: CNET dan Jaguar.

Supercar Elektrik Audi PB18 e-tron Siap Merajai Jalanan Sekaligus Sirkuit Balap

Sebelum kita melihat wujud final dari SUV elektrik Audi e-tron Quattro, sang pabrikan asal Jerman masih punya persembahan lain untuk menggambarkan visinya akan masa depan industri otomotif melalui sebuah prototipe supercar elektrik. Namanya Audi P18 e-tron, dan Anda bisa menilai sendiri betapa ganas penampilannya dari gambar di atas.

Tidak seperti R18 e-tron Quattro yang diciptakan untuk balap Le Mans, PB18 siap melahap jalanan biasa maupun sirkuit balap. Ia bahkan memiliki kabin belakang yang bisa memuat kargo layaknya sebuah hatchback. Kendati demikian, tema utamanya tetap balapan, berbeda dari konsep Audi Aicon yang berfokus pada tren self-driving.

Audi PB18 e-tron

Satu hal yang paling unik dari PB18 e-tron adalah posisi duduknya. Dengan menekan satu tombol saja, jok pengemudinya bakal bergeser dari samping ke tengah, posisi yang dinilai paling pas untuk bermanuver di sirkuit balap (monoposto). Inovasi ini dimungkinkan berkat setir dan pedal yang dioperasikan secara elektronik, alias tidak ada sambungan mekanisnya.

Sebagai sebuah supercar, performanya yang berasal dari tiga motor elektrik tidak bisa dianggap remeh. Tenaganya memang cuma 570 kW (± 764 hp), akan tetapi torsinya mencapai angka 830 Nm, dan kita semua tahu kalau mobil elektrik bisa langsung meraih torsi besarnya dari 0 RPM. Alhasil, akselerasi 0 – 100 km/jam sanggup ditempuh dalam waktu kurang dari 2 detik berdasarkan klaim Audi.

Audi PB18 e-tron

Sebagai mobil yang juga bisa dibawa secara legal di jalanan, efisiensi daya pun juga harus menjadi prioritas. Untuk itu, Audi telah menyematkan baterai solid-state berkapasitas 95 kWh yang diperkirakan bisa membawa mobil menempuh 500 kilometer dalam satu kali pengisian. Baterai ini bisa di-charge secara wireless, atau diisi ulang dengan sangat cepat menggunakan charger 800 volt milik Porsche.

Audi PB18 e-tron tidak lebih dari sebatas showcase, akan tetapi bukan tidak mungkin Audi menerapkan sejumlah teknologinya pada mobil-mobil produksinya di masa yang akan datang. Mungkin bukan jok yang bisa bergeser itu, melainkan teknologi baterai dan motor elektriknya.

Sumber: Electrek dan Audi.

Tesla Gunakan Software untuk Mengubah Karakteristik Model 3 di Sirkuit Balap

Kalau ditanya apa jasa terbesar Tesla di industri otomotif, tentu saja jawabannya adalah memulai tren mesin elektrik. Namun di sisi lain, Tesla juga membuktikan bahwa mobil sebenarnya bisa diperlakukan seperti gadget, di mana fungsionalitasnya dapat dimanipulasi melalui software.

Tesla membuktikannya sekali lagi belum lama ini. Mereka mempersilakan jurnalis Road & Track untuk menguji fitur baru bernama Track Mode yang tengah dipersiapkan untuk varian teratas Tesla Model 3 berlabel “Performance”, yang mengemas motor elektrik ganda dan diklaim Elon Musk siap menantang BMW M3.

Tesla Model 3

Track Mode yang bakal datang bersama software update ini pada dasarnya akan mengubah karakteristik mobil supaya lebih ideal di sirkuit balap. Semua mobil Tesla memang jagoan perihal akselerasi, akan tetapi itu saja tidak cukup kalau konteksnya balapan di sirkuit.

Pada mobil tradisional, mode serupa biasanya akan mematikan sejumlah fitur seperti traction control atau stability control, sehingga mobil pun bisa drifting di tikungan jika perlu. Yang unik, metode serupa tidak berlaku buat Tesla. Salah satu engineer-nya bilang bahwa Track Mode di Tesla justru malah menambahkan fitur baru ketimbang menonaktifkan yang sudah ada.

Tesla Model 3

Salah satu fitur baru yang dimaksud adalah perubahan pada fungsi regenerative braking milik mobil (fungsi yang memungkinkan pengembalian energi listrik saat mobil direm). Saat Track Mode diaktifkan – via touchscreen tentu saja – perubahan cara kerja regenerative braking ini dapat memberikan keseimbangan lebih saat mobil menikung tajam, atau sebaliknya malah mewujudkan oversteering ketika diperlukan.

Masih banyak perubahan karakteristik yang dilakukan oleh Track Mode, dan Road & Track punya laporan lengkap sekaligus merincinya. Satu hal yang pasti, Tesla mengklaim bahwa mereka telah mengembangkan sistem VDC-nya (vehicle dynamic controls) sendiri, sehingga pada akhirnya Track Mode dapat melakukan lebih dari sebatas mematikan traction control.

Sumber: Road & Track dan Electrek.

Tesla Buat Sendiri Chip AI untuk Sistem Kemudi Otomatisnya

Selain memelopori tren mobil elektrik, Tesla juga bisa dibilang terdepan soal sistem kemudi otomatis alias self-driving. Kombinasi software bikinannya, platform supercomputer Nvidia dan sederet sensor pada mobil pada akhirnya melahirkan sistem Autopilot yang begitu canggih.

Namun kemitraan Tesla dengan Nvidia kemungkinan bakal berakhir tahun depan. Penyebabnya adalah niat Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri, yang sejauh ini dikenal secara internal dengan sebutan Hardware 3. Kabar ini disampaikan oleh CEO Elon Musk pada laporan finansial terbaru Tesla.

Anggap saja Nvidia Drive itu Qualcomm Snapdragon, nah keputusan Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri di sini mirip seperti langkah Apple membuat chipset-nya sendiri untuk iPhone. Alhasil, kendali atas perangkat bisa lebih maksimal, demikian pula untuk performanya.

Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla
Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla

Memangnya seberapa besar dampaknya pada performa? Menurut Elon, kalau software computer vision Tesla yang ditenagai hardware Nvidia bisa mengatasi sekitar 200 frame per detik, maka angkanya bisa naik menjadi 2.000 frame per detik menggunakan chip buatan mereka sendiri.

Ini dikarenakan chip-nya memiliki akses yang lebih dalam lagi ke sistem secara keseluruhan. Kalau dengan chip Nvidia, kalkulasi datanya tidak bisa dilakukan langsung di hardware, melainkan harus melalui mode emulasi, sehingga pada akhirnya kinerjanya tidak bisa benar-benar maksimal.

Di samping itu, seumpama ke depannya perlu dilakukan perbaikan atau penambahan fitur baru, Tesla jadi tidak perlu menunggu Nvidia. Mereka bisa langsung bertindak dan menyempurnakan apa yang kurang. Lebih penting lagi, Elon juga bilang bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk menggarap chip sendiri ini kurang lebih sama seperti yang dibutuhkan untuk meng-outsource dari Nvidia.

Tesla Roadster 2 / Tesla
Tesla Roadster 2 / Tesla

Pertanyaan selanjutnya, apakah chip AI buatan sendiri ini hanya akan tersedia di mobil-mobil baru Tesla ke depannya, macam Roadster 2 dan Model Y? Ternyata tidak. Model S, Model X dan Model 3 juga bakal kebagian jatah melalui program hardware upgrade yang akan dijalankan tahun depan.

Bukankah sulit melepas komputer dalam mobil lalu menggantinya dengan yang baru? Ya, tapi Tesla rupanya sudah memikirkannya sejak awal, dan Elon memastikan bahwa proses penggantiannya mudah, sekaligus menjaga kompatibilitas sistem dengan yang baru.

Tesla masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa mereka tidak sekadar membual. Sebelumnya, mereka selalu dicecar akibat produksi Model 3 yang lambat, dan yang hingga kini belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen yang telah memesan. Semoga saja itu tidak terulang pada rencana ini tahun depan.

Sumber: TechCrunch.

Sub-brand Volvo, Polestar, Siap Bikin Rival Tesla Model 3

Mobil elektrik dengan harga yang bersahabat sejauh ini belum banyak populasinya. Dua model populer yang sudah mengaspal adalah Tesla Model 3 dan Chevrolet Bolt, yang keduanya dibanderol di kisaran $30.000 – $35.000 (untuk varian bawahnya).

Ke depannya, jumlahnya dipastikan bakal terus bertambah. Salah satu pabrikan yang tengah bersiap adalah Volvo, lewat sub-brand miliknya yang secara khusus menangani segmen mobil elektrik, yakni Polestar. Mobil perdananya, Polestar 1, baru dibawa ke jalanan untuk pertama kalinya belum lama ini, namun mobil tersebut bukan murni bermesin elektrik, dan harganya pun jauh di atas $100.000.

Yang lebih menarik adalah pernyataan terbaru dari COO-nya, Jonathan Goodman, terkait Polestar 2, yakni sebuah sedan elektrik empat pintu yang bakal menjadi rival Tesla Model 3. Soal desain, gambar di atas yang merupakan Volvo Concept 40.2 bakal menjadi basis sekaligus acuan dari mobil ini.

Volvo Concept 40.2

Berbicara kepada Autocar, Goodman membeberkan spesifikasi kunci Polestar 2: 400 tenaga kuda, jarak tempuh 560 km per charge dan harga jual di kisaran $35.000. Angka-angka ini masih belum final, tapi kalaupun ada perubahan semestinya tidak akan terlalu jauh.

Yang cukup istimewa adalah, semua ini merupakan penjelasan terkait varian bawah Polestar 2, yang berarti varian atasnya yang berharga jauh lebih mahal juga pastinya bakal jauh lebih istimewa. Sebagai perbandingan, varian bawah Tesla Model 3 yang berharga setara hanya sanggup menempuh jarak sekitar 350 km dalam satu kali pengisian.

Tidak bisa dipungkiri, segmen mobil elektrik bakal semakin menarik dalam beberapa tahun ke depan. Tesla tidak bisa selamanya berada di atas angin, dan perlahan hal itu bakal semakin terbukti.

Sumber: The Drive dan Autocar.

Stasiun Fast Charging Mobil Milik Porsche Sudah Resmi Beroperasi

Porsche Mission E telah resmi berganti nama menjadi Porsche Taycan, dan dijadwalkan siap mengaspal paling cepat mulai tahun depan. Berhubung ini Porsche yang kita bicarakan, larinya sudah pasti sangat kencang, akan tetapi yang lebih inovatif justru adalah efisiensi baterai dan teknologi charging-nya.

Tepat setahun lalu, Porsche menyingkap charger yang mereka siapkan secara khusus untuk Taycan ke hadapan publik. Ukurannya lebih bongsor ketimbang charger mobil elektrik standar, sebab daya yang dapat diteruskannya pun juga jauh lebih besar: 350 kW, pada tegangan 800 volt.

Siapapun dipersilakan menggunakan charger tersebut secara cuma-cuma, bukan cuma konsumen Porsche saja. Namun seperti yang saya bilang, satu-satunya mobil yang bisa menerima daya sebesar dan pada tegangan setinggi itu barulah Porsche Taycan, di mana mobil dapat menempuh jarak sekitar 400 km meski dicolokkan selama 20 menit saja.

Porsche charging app

Selama mobil di-charge, pemilik mobil dapat memantau prosesnya melalui aplikasi pendamping yang disiapkan Porsche. Di situ informasi yang ditampilkan sangat lengkap, termasuk arus listrik dan estimasi biaya listrik yang dihabiskan untuk mengisi ulang baterai mobil.

Untuk sekarang baru ada sepasang charger turbo ini di Porsche Centre Berlin-Adlershof, namun tentu saja Porsche sudah menyiapkan lokasi-lokasi lain guna mengantisipasi peluncuran Taycan nanti. Pun begitu, yang patut diapresiasi adalah bagaimana Porsche tidak egois dan membuat teknologi charging-nya ini proprietary; konsumen Tesla pun bebas mampir kalau mau asalkan mereka membawa adaptor yang cocok.

Sumber: Porsche via SlashGear.

Spion Virtual Jadi Salah Satu Fitur Unggulan SUV Elektrik Audi e-tron Quattro

Debut Audi di segmen mobil elektrik hanya tinggal menunggu waktu. Mobilnya, Audi e-tron Quattro, sudah hampir siap diproduksi. Penampakan finalnya memang masih disamarkan, akan tetapi Audi telah menyingkap interiornya secara lengkap. Kabinnya yang amat canggih ini pada dasarnya merupakan alasan mengapa mobil ini juga pantas dijadikan bahan pembicaraan media teknologi, bukan hanya media otomotif saja.

Salah satu bagian dari kabin e-tron Quattro yang paling mengundang perhatian adalah kehadiran layar sentuh OLED 7 inci di ujung panel pintu kiri dan kanan, tepat di sebelah ventilasi AC. Lalu kalau kita menengok ke sisi luar pintu kiri dan kanan mobil, rupanya kaca spion yang kita kenal selama ini telah digantikan oleh sepasang kamera.

Audi e-tron Quattro virtual side mirrors

Melalui kedua layar berbentuk trapesium itulah pengemudi e-tron Quattro bisa melihat ke belakang. Kalau kaca spion biasa umumnya dapat diatur sudutnya menggunakan tombol atau joystick, di sini kita tinggal mengusap layar untuk melakukan hal yang sama. Jangan khawatir, spion virtual yang berada di sisi penumpang juga bisa diatur melalui sisi pengemudi.

Karena merupakan touchscreen, tampilan kedua spion virtual ini juga dapat diperbesar atau diperkecil jika perlu. Audi sendiri menyediakan tiga jenis tampilan yang berbeda, tergantung situasinya; apakah pengemudi sedang melaju di jalan tol, sedang menikung, atau sedang parkir.

Gambaran lebih jelasnya bisa Anda dapatkan lewat video first look dari Auditography di bawah. Video yang diunggah Audi ke Facebook juga sempat memperlihatkan spion virtual ini beraksi meskipun hanya dalam sekejap saja.

Sumber: Autoblog.

SUV Elektrik Audi e-tron Quattro Usung Kabin Bernuansa Mewah Sekaligus Futuristis

Semakin ke sini, mobil semakin mirip dengan gadget berkat seabrek fiturnya, ditambah lagi dengan bertambah maraknya pengembangan mobil elektrik. Contoh yang paling pas untuk mengilustrasikan mobil sebagai gadget berjalan adalah Tesla Model 3, di mana hampir semua fungsinya harus dioperasikan melalui sebuah layar sentuh masif di tengah dashboard.

Keputusan Tesla ini jelas mengundang banyak kontroversi mengingat sudah puluhan tahun kita terbiasa berhadapan dengan kontrol fisik di dalam kabin sebuah mobil. Namun dominasi digital tidak akan terelakkan dari industri otomotif, dan prototipe SUV elektrik Audi sejatinya akan semakin mempertegas hal tersebut.

SUV bernama Audi e-tron Quattro itu pertama kali muncul sebagai mobil konsep di tahun 2015, dan dijadwalkan bakal mengaspal paling cepat tahun depan. Seperti apa penampilan versi produksinya masih belum ada yang tahu, namun Audi berbaik hati memamerkan isi kabinnya baru-baru ini, yang ternyata dipenuhi oleh layar – meski belum seekstrem konsep Audi Prologue Allroad.

Audi e-tron Quattro

Pendekatan yang diambil Audi berbeda 180° dari Tesla, sebab masing-masing layar di kabin e-tron Quattro punya fungsi yang berbeda. Kita mulai dulu dari yang paling konvensional, sebuah layar sentuh besar di tengah dashboard, yang bisa digunakan untuk mengakses fungsi navigasi dan multimedia, termasuk halnya fungsi ponsel yang tersambung.

Tepat di bawahnya, terdapat satu layar lagi yang berfungsi untuk mengatur kenyamanan dalam kabin, utamanya fungsi climate control. Selain itu, layar kedua ini juga berfungsi untuk menginput teks, baik menggunakan tampilan keyboard QWERTY virtual atau dengan gesture menulis menggunakan jari.

Audi e-tron Quattro

Di bawahnya lagi, pengemudi dibawa kembali ke ranah konvensional lewat sebuah tuas persneling. Namun berhubung ini mobil elektrik – yang sama sekali tidak membutuhkan sistem transmisi – tuas tersebut hanya sebatas untuk mengatur pergerakan maju dan mundur, serta berhenti (netral), plus sebuah tombol untuk parkir.

Yang cukup unik, ukuran tuasnya terkesan terlalu besar untuk kontrol seminim itu. Ini dikarenakan tuasnya yang berlapis kulit itu juga merangkap fungsi sebagai tatakan tangan ketika pengemudi mengakses layar kedua di tengah dashboard itu tadi. Sepele, namun sangat praktis.

Audi e-tron Quattro

Beralih ke balik lingkar kemudi, Audi Virtual Cockpit kembali menyapa pengemudi. Bagi yang belum tahu, panel instrumen ini sebenarnya merupakan sebuah layar berukuran masif yang tampilannya bisa dikustomisasi. Tentu Audi sudah menyempurnakannya dari yang sudah ada pada mobil-mobilnya sekarang.

Audi e-tron Quattro

Lalu sampailah kita ke bagian yang paling menarik, yakni sepasang layar 7 inci di panel pintu kiri dan kanan, tepat di sebelah ventilasi AC di bagian ujung. Kedua layar OLED ini, dipadukan dengan kamera yang terpasang di sisi kiri dan kanan, bakal menggantikan peran kaca spion sepenuhnya, dengan tampilan yang akan disesuaikan dengan kondisi berkendara, semisal apakah pengguna sedang parkir atau melaju di jalan tol.

Memangnya apa yang salah dari kaca spion biasa? Audi bilang bahwa penggunaan kamera bakal membantu meningkatkan aerodinamika. Kendati demikian, spion digital ini hanya akan tersedia sebagai opsi bagi konsumen di kawasan yang undang-undangnya memperbolehkan, seperti di Eropa misalnya.

Audi e-tron Quattro

Hasil akhirnya, kabin e-tron Quattro tampak begitu mewah sekaligus futuristis, namun tidak sampai ke titik kelewat sci-fi seperti yang biasa terdapat pada mobil konsep. Sebagai pelengkap, Audi tak lupa menyematkan sistem audio premium garapan Bang & Olufsen, yang terdiri dari total 16 speaker dan amplifier berdaya 705 watt.

Seperti yang saya bilang, mobilnya sendiri baru siap dipasarkan paling cepat tahun depan. Berdasarkan laporan Elektrek, banderol harganya dimulai di angka €80.000 untuk varian terendahnya di Jerman.

Sumber: 1, 2, 3.

BMW, Daimler, Ford dan VW Bersekutu Kembangkan Charger Mobil Elektrik Berdesain Anggun Sekaligus Canggih

Di titik ini, menurut saya lebih mudah menyebutkan nama pabrikan mobil yang belum mengembangkan mobil elektrik ketimbang yang sudah, sebab jumlah yang mengikuti jejak Tesla sudah sangat banyak. Namun mengapa Tesla masih merupakan yang terpopuler di segmen ini, terlepas dari statusnya sebagai pionir?

Salah satu jawabannya adalah terkait infrastruktur. Tesla memiliki jaringan pengisian Supercharger yang tersebar di ribuan titik di dunia. Situasinya jelas akan berubah seiring waktu, apalagi mengingat nama-nama besar di industri otomotif; spesifiknya BMW, Daimler, Ford dan Volkswagen Group, tengah mempersiapkan jaringannya sendiri.

Ketimbang bekerja sendiri-sendiri, keempat grup besar itu memutuskan untuk bersekutu dan membentuk joint venture bernama Ionity. Tidak tanggung-tanggung, Ionity menargetkan 400 stasiun pengisian yang tersebar di dataran Eropa pada tahun 2020 nanti. Stasiun pengisiannya pun bukan sembarangan, melainkan yang mengedepankan teknologi fast charging.

Ionity EV charger

Memangnya secepat apa? Charger besutan Ionity bisa menyalurkan daya sebesar 350 kW per unitnya, jauh lebih tinggi dibanding Tesla Supercharger yang ‘hanya’ 145 kW. Untuk sekarang memang belum ada mobil elektrik yang sanggup menerima daya sebesar itu, tapi ke depannya, mobil macam Porsche Mission E dapat menerima daya yang cukup untuk menempuh jarak 400 km dengan durasi pengisian sekitar 20 menit saja.

Sebagai bonus, stasiun pengisian milik Ionity ini tampaknya juga bakal menjadi lokasi favorit untuk mengambil selfie berkat desain unitnya yang begitu manis di mata. Adalah BMW Designworks yang dipercaya menjadi desainernya, dan hasil karyanya tampak sangat menarik meski baru sebatas gambar render.

Sumber: CNET.

Wireless Charger untuk Mobil Bukan Lagi Sebatas Impian

Sama seperti smartphone, mobil elektrik juga menggunakan baterai yang bisa diisi ulang oleh aliran listrik. Kalau smartphone dapat di-charge secara wireless (induktif), mobil pun semestinya juga bisa. Kira-kira demikian cerita di balik tercetusnya ide akan sebuah wireless charger untuk mobil, namun ini bukan lagi sebatas angan-angan.

BMW adalah salah satu pabrikan yang mencoba merealisasikannya dalam waktu dekat. Wireless charger ini telah dirancang agar kompatibel dengan banyak model hybrid milik BMW sendiri, dan tahap produksinya bakal dimulai pada bulan Juli mendatang. Sayangnya, pemasarannya tidak langsung dilakukan secara luas.

Awalnya, wireless charger ini bakal dimasukkan sebagai opsi tambahan bagi konsumen yang membeli sedan hybrid BMW 530e iPerformance secara kredit. Namun sejauh ini belum ada yang tahu berapa harganya dan seberapa besar biaya cicilan mobil akan bertambah.

Kenapa tidak bisa langsung secara luas? Karena semua ini tergolong masih baru – mobil elektrik sendiri sampai sekarang belum bisa dikatakan mainstream. Langkah yang diambil BMW ini pada dasarnya untuk berjaga-jaga seandainya ke depannya bakal dibentuk semacam konsorsium untuk menetapkan standar wireless charging di industri otomotif.

BMW wireless charging

Cara kerjanya sendiri cukup mirip dengan yang Qualcomm dan General Motors kembangkan, di mana koil dalam modul yang tertanam di lantai bakal meneruskan energi elektromagnetik ke koil di bagian dasar mobil, sebelumnya akhirnya dikonversi menjadi energi listrik dan diteruskan ke baterai.

Sebelumnya, tentu saja pemilik mobil harus menempatkan tunggangannya di posisi yang tepat, dan dalam kasus BMW, mereka akan dipandu lewat live feed kamera parkir yang ditampilkan di layar dashboard. Saat memperkenalkan konsepnya tahun lalu, BMW bilang bahwa baterai 530e iPerformance bisa terisi dari kosong hingga penuh dalam waktu 3,5 jam saja.

Waktu yang dibutuhkan jelas akan lebih lama untuk mobil yang full-elektrik, tapi toh mengisinya menggunakan colokan tembok biasa juga sudah cukup lama, dan idealnya charging memang dilakukan di malam hari selagi pengguna beristirahat. Seperti halnya di smartphone, wireless charging di industri otomotif pun juga baru sebatas menawarkan kepraktisan, setidaknya untuk sekarang.

Sumber: Car Magazine.