KoinWorks Hadirkan Cicilan Pendidikan Khusus Mahasiswa Binus

KoinWorks, startup fintech p2p lending, menambah kemitraan baru untuk program KoinPintar dengan menggandeng Binus Online Learning. Melalui program ini, KoinWorks mulai memasarkan produk cicilan pendidikan untuk mahasiswa Binus.

KoinPintar merupakan program khusus untuk bantuan dana pendidikan yang sudah diluncurkan sejak tahun lalu. Sejauh ini KoinWorks sudah bekerja sama dengan sembilan institusi kursus lintas industri sebagai mitra. Beberapa industri di antaranya IT, fesyen, digital marketing, kuliner, desain, dan kecantikan.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), kurang dari 30% lulusan SMA yang melanjutkan ke jenjang D3/S1. Dari angka tersebut, ketika ditelusuri alasannya sekitar 50% dari responden menjawab dengan alasan biaya. Ditambah juga belum banyak universitas yang memberikan program cicilan biaya kuliah untuk mahasiswanya.

“Kami menyadari pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang belum sepenuhnya terpenuhi bagi seluruh golongan. Di sisi lain, pendidikan dapat membuka peluang kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, Kami ingin menghadirkan p2p lending yang juga mengandung nilai sosial, tidak hanya bernilai bisnis saja,” terang Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono, Rabu (20/9).

Lewat kemitraan terbaru ini, investor KoinWorks mendapat pilihan tambahan alternatif investasi yang mengandung unsur sosial. Mereka sendiri dapat memilih pembiayaan ini, bila perlu akan diarahkan oleh algoritma yang sebelumnya sudah disesuaikan dengan preferensi selera investasi masing-masing.

Strategi mitigasi risiko

Ben, panggilan akrab Benedicto, melanjutkan alasan pihaknya menggaet Binus Online dikarenakan secara bisnis model cocok dengan gaya KoinWorks itu sendiri yakni semua hal hanya perlu online dan dapat menjangkau seluruh Indonesia.

Lagipula, target mahasiswa di dalam Binus Online adalah kalangan pekerja yang sudah memiliki pekerjaan namun kesulitan mengatur waktunya untuk datang ke kampus. Kalangan tersebut dinilai secara risiko gagal bayar lebih kecil, dibandingkan menyasar masyarakat secara umum.

“Sejauh ini, mahasiswa yang mengajukan di Binus Online adalah kalangan pekerja yang tidak punya banyak waktu. Hasil [kuliahnya] cukup baik karena mereka cukup berkomitmen untuk serius kuliah,” ucap Direktur Binus Online Learning Engke Achmad Kuncoro.

Dia berharap, kehadiran KoinWorks dalam Binus Online dapat menjangkau seluruh segmen masyarakat, di luar kalangan profesional, membuka kesempatan untuk belajar jadi semakin luas.

Untuk mitigasi risiko lebih lanjut, KoinWorks menerapkan persyaratan minimal mahasiswa berusia 21 tahun, memiliki pilihan program studi Binus Online Learning, ada pendapatan tetap, dan memiliki akun media sosial Facebook. Keseriusan komitmen untuk kuliah pun juga akan dipertanyakan.

Mereka hanya perlu memberikan bukti KTP, kartu keluarga, slip gaji, dan bukti mutasi rekening selama tiga bulan terakhir. Apabila usia mahasiswa di bawah 21 tahun, maka diperlukan relasi sebagai penjamin dana, bisa orang tua ataupun kakak kandung.

Setiap aplikasi yang diterima, akan diverifikasi oleh KoinWorks dan dilanjutkan dengan proses interview. Apabila pengajuan disetujui dana akan dicairkan langsung KoinWorks ke Binus Online tanpa melalui rekening calon mahasiswa.

“Kami akan langsung transfer 80% dana dari total biaya ke rekening Binus. Di satu sisi, akan melegakan mahasiswa karena mereka bisa langsung kuliah tanpa mengkhawatirkan biayanya. Di sisi lain, kami tidak bayari penuh sebagai langkah mitigasi untuk membuat mereka tetap bertanggung jawab terhadap cicilannya,” terang Ben.

Mahasiswa dapat mengangsur cicilannya dengan tenor mulai dari 6-24 bulan, bunga pinjaman yang ditawarkan sekitar 9%-12,5% flat per tahun. Adapun program pendidikan yang dapat dibiayai, untuk program SMA ke S1, D3 ke S1, dan S1 ke S2.

Jurusan yang tersedia di Binus Online adalah akuntansi, manajemen bisnis, sistem informasi, teknik informatika, dan teknik industri.

Target KoinWorks

Sejak kemitraan dengan Binus dilaksanakan pada Agustus 2017, Ben mengaku bahwa pihaknya telah memberikan pinjaman kepada lima mahasiswa. Kemudian, bertambah menjadi sekitar 40 mahasiswa pada bulan lalu. Pencapaian ini membuat pihaknya yakin pada November 2017 mendatang dapat menggaet minimal 500 calon mahasiswa baru.

“Awalnya kami hanya menargetkan 100 orang pada jadwal pendaftara gelombang Oktober. Namun dari hasil ini, kami yakin minimal bisa dapat target jaring 500 orang sampai penutupan pendaftaran untuk gelombang Oktober.”

Hingga Agustus 2017, KoinWorks sudah menghimpun lebih dari 18.500 investor dan menyalurkan pinjaman sekitar Rp45 miliar. Untuk program KoinPintar itu sendiri, telah menjaring sekitar 100 orang sejak setahun lalu berdiri.

Investree Ditunjuk Kemenkeu Kembangkan Sistem Penjualan Surat Berharga Negara

Investree ditunjuk oleh Kementrian Keuangan (Kemenkeu) sebagai layanan teknologi finansial peer-to-peer lending (P2P Lending) untuk proyek percontohan pengembangan sistem penjualan Surat Berharga Negara (SBN) untuk investor ritel secara online. Rencananya hasil dari pilot project ini akan diimplementasikan pada tahun 2018 dan akan mendukung keuangan inklusif, memperluas basis  investor ritel domestik, dan mempermudah akses investasi ritel untuk masyarakat di Indonesia.

Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah ini akan memanfaatkan teknologi jaringan internet dalam proses penjualan SBN ritel sekaligus memberikan alternatif atas mekanisme penerbitan SBN ritel yang ada saat ini. Dengan terobosan ini nantinya peminjam dan pemberi pinjaman dalam platform Investree akan mendapatkan akses membeli SBN melalui Investree.

[Baca juga: Investree Segera Ekspansi ke Vietnam dan Luncurkan Pembiayaan Syariah]

Menanggapi penunjukan ini CEO Investree Adrian Gunadi mengutarakan antusiasmenya. Menurutnya proyek yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan ini merupakan proyek yang berpotensi untuk mengembangkan investasi ritel di Indonesia dengan menambah aset kelas yang didistribusikan.

“Menurut Global Retail Development Index 2016, Indonesia berada di peringkat 5 negara dengan sektor bisnis ritel paling potensial di dunia dan kami yakin, melalui ini, keuangan Indonesia dapat terus tumbuh dan menjadi lebih kokoh,” terang Adrian.

Sementara itu dalam lansiran yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan, Direktur Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR) Robert Pakpahan mengatakan bahwa perkembangan teknologi informasi yang cepat harus dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperluas jangkauan basis investor SBN di dalam negeri dengan mempermudah akses masyarakat untuk berinvestasi di SBN ritel.

Selain itu dengan adanya calon mitra distribusi baru, dalam hal ini layanan teknologi finansial, juga menjadi sarana dalam menjawab perkembangan teknologi.

[Baca juga: Survei DailySocial tentang P2P Lending 2017]

Investree sejauh ini menjadi salah satu layanan teknologi finansial P2P yang aktif berkolaborasi dan berekspansi. Terbaru, Investree mengumumkan akan melebarkan daerah operasionalnya  ke Jawa Tengah dengan beberapa kerja sama untuk penguatan ekspansi di lakukan. Dari segi fitur, Investree juga terus menambah sejumlah portofolio layanannya, beberapa yang terakhir adalah layanan Employee Loan.

Amartha Jalin Kerja Sama Strategis dengan Jamkrindo

Amartha mengumumkan telah bekerja sama dengan BUMN penjamin kredit mikro Perum Jamkrindo. Jamkrindo sendiri diberi mandat oleh pemerintah untuk menjamin kredit dan pembiayaan termasuk transaksi finansial khususnya untuk segmen UMKM dan mikro, segmen yang sama dengan fokus pembiayaan Amartha. Kerja sama ini akan dijalin untuk memberi keamanan lebih bagi investor Amartha, termasuk di dalamnya untuk meningkatkan kepercayaan publik untuk bisa memanfaatkan layanan atau platform peer to peer lending (P2P) di Indonesia.

Menanggapi kerja sama yang terjalin ini Direktur Bisnis Jamkrindo yang diwakili oleh Direktur Bisnis Baki Prasetyo menyampaikan bahwa kerja sama dengan Amartha adalah salah satu bukti bahwa Jamkrindo turut serta dan mengikuti perkembangan teknologi.

“Kerja sama dengan Amartha merupakan peluang yang sangat bagus karena Jamkrindo ingin senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, khususnya teknologi yang dapat memberi manfaat pada masyarakat unbanked,” terang Bakti.

Amrtha sendiri mengklaim diri sebagai satu-satunya platform P2P di Indonesia yang menyalurkan pendanaannya pada masyarakat pra-sejahtera dan unbanked di pelosok Indonesia. Hal ini disebut mampu menciptakan inklusi dan literasi keuangan. Dengan menggunakan pendekatan dan pendampingan dan pembiayaan berbasis kelompok yang dilengkapi dengan sistem tanggung rentang Amartha disebut mampu menjaga tingkat gagal bayar hingga 0% sepanjang beroperasi.

Dengan kerja sama dengan Jamkrindo Amartha ingin memastikan bahwa risiko investasi di Amartha telah dikelola dengan sangat baik dengan proteksi yang berlapis, mulai dari ikatan sosial hingga penjaminan kredit jika terjadi gagal bayar.

“Bagi Amartha, kerja sama ini merupakan milestone yang akan memacu Amartha untuk tumbuh dan melayani lebih banyak masyarakat unbanked di Indonesia. Selama ini kita tahu, mereka sulit mendapatkan pinjaman karena tidak memiliki kelayakan kredit. Dan untuk itulah Amartha hadir mempertemukan mereka dengan investor yang mau berinvestasi sekaligus memberikan dampak sosial. Dengan penjaminan kredit ini maka investor akan semakin percaya dan tidak khawatir untuk menyalurkan dananya melalui Amartha,” terang Founder sekaligus CEO Amartha Andi Taufan menanggapi kerja sama ini.

Dengan strategi dan langkah kerja sama yang diambil Amartha mengungkapkan pihaknya ingin turut mendorong suburnya ekosistem teknologi finansial di Indonesia. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan minat publik dalam berinvestasi pada UMKM dan mikro melalui layanan teknologi finansial peminjaman.

“Saat ini masyarakat sudah tidak perlu khawatir lagi berinvestasi melalui platform fintech lending. Dengan skema penjaminan seperti ini, Jamkrindo dan Amartha telah menciptakan sebuah standar baru bagi industri fintech lending di Indonesia. Menciptakan ekosistem yang aman dan terpercaya, didukung BUMN terbesar di bidangnya, untuk mencapai inklusi keuangan dan kesejahteraan yang lebih merata” tutup Taufan.

Hal Mendasar yang Wajib Dicermati Startup Saat Penggalangan Dana

Banyak hal menarik yang disampaikan oleh dua nara sumber #SelasaStartup minggu ini yaitu Head Marketing KoinWorks Jonathan Bryan dan Investment Analyst dari Spiral Ventures Karissa Adelaide. Sesi diskusi yang mengambil tema “Know you potential investor” membahas beberapa cara menarik yang wajib dicermati oleh pelaku startup saat bersiap untuk melakukan fundraising. Mulai dari pitchdeck yang sempurna hingga kebijakan startup memanfaatkan dana yang telah diterima usai penggalangan dana dilakukan.

Spiral Ventures siap dukung startup Indonesia

Usai mengubah nama menjadi Spiral Ventures bulan Maret 2017 lalu, fokus utama mereka adalah startup Indonesia terutama yang berbasis teknologi. Masih fokus kepada pre-seed dan seed stage, Karissa mengungkapkan masih banyak startup asal Indonesia yang memiliki potensi untuk mendapatkan investasi.

“Tentunya saya tidak ingin lagi melihat startup yang masih menerapkan pola yang sama, yaitu membuat bisnis e-commerce, marketplace hingga on-demand. Coba temukan bisnis baru yang memanfaatkan teknologi dan memberikan solusi yang terbaik dari masalah yang ada saat ini,” kata Karissa.

Karissa juga menambahkan penting bagi startup untuk bisa melakukan pendekatan dan relasi yang baik dengan investor. Dalam hal ini tugas Karissa sebagai Investment Analyst menentukan pitchdeck yang memiliki potensi untuk diteruskan kepada venture partner di VC.

“Untuk itu perhatikan dengan teliti pitchdeck yang dimiliki sebelum dikirimkan kepada VC. Mulai dari koreksi penulisan hingga isi dari konten yang ada, pitchdeck yang menarik perhatian VC adalah, pitchdeck yang singkat, jelas dan berisikan informasi yang sarat terkait dengan model bisnis dari startup,” kata Karissa.

Karissa juga menambahkan, penting bagi pelaku startup untuk melakukan pendekatan yang “friendly” kepada investor di acara-acara umum. Informasikan model bisnis startup secara singkat dan padat saat kesempatan tersebut atau yang lebih dikenal dengan sebutan “elevator pitch“.

“Baiknya Anda harus bisa meyakinkan orang tua atau bahkan nenek Anda terlebih dahulu tentang model bisnis yang bakal Anda lancarkan. Kalau mereka mengerti ide Anda dalam waktu satu menit, pastinya investor akan bisa mengerti dan waktu yang singkat tidak terbuang percuma,” kata Karissa.

Selanjutnya usai pendanaan diterima oleh startup, penting bagi pemilik startup untuk menentukan prioritas utama penyaluran dana kepada pengembangan produk, bukan kepada hal-hal yang kurang relevan seperti alokasi gaji pegawai.

“Saya sarankan tidak memutuskan hal-hal yang kurang masuk akal dan tidak mendukung jalannya bisnis startup. Tentukan prioritas dan buat komitmen untuk melancarkan rencana tersebut,” kata Karissa.

KoinWorks dan potensi sebagai pemberi dana startup

Sejak menjalankan bisnisnya selama satu tahun terakhir, saat ini KoinWorks telah memiliki sekitar 15 ribu borrowers atau peminjam dan Jumlah investor atau pemberi pinjaman juga diklaim terus mengalami peningkatan. Untuk jumlah yang diinvestasikan juga beragam, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 500 juta. Dari sekian banyak jumlah pemberi pinjaman yang ada, menurut Jonathan belum bisa diimplementasikan untuk startup yang membutuhkan tambahan modal untuk startup.

“Fokus kami hingga kini masih kalangan individu hingga pelaku UMKM yang merupakan merchant dari layanan e-commerce seperti Lazada. Untuk itu KoinWorks berlum membuka kesempatan startup mendapatkan investasi dari pemberi pinjaman KoinWorks,” kata Jonathan.

Tren startup tahun 2018 mendatang

di Akhir acara Jonathan dan Karissa berbagi prediksi terkait dengan tren dari startup yang bakal memiliki potensi di tahun 2018 mendatang.

“Saya melihat health tech bakal memiliki potensi yang cerah. Karena masih besarnya potensi yang belum digali, sementara kebutuhan orang banyak untuk layanan kesehatan masih sangat dibutuhkan,” kata Karissa.

Sementara menurut Jonathan, meskipun sudah banyak layanan P2P saat ini di tanah air, masih ada celah baru untuk pelaku startup yang ingin menyasar layanan financial technology (fintech) di Indonesia.

“Saya juga melihat layanan edutech masih memiliki potensi untuk digali dan juga health care yang masih jarang saat ini inovasinya di Indonesia,” kata Jonathan.


Andriansyah Agustian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini

Modalku Bergabung dengan Forum IACPM untuk Mencapai Standar Kualitas Internasional

Modalku, salah satu layanan teknologi finansial yang mengusung model peer to peer (P2P) lending, mengumumkan telah bergabung dengan International Association of Credit Portofolio Managers (IACPM), sebuah forum yang berisi institusi keuangan berdiskusi dan berbagai mengenai praktek manajemen risiko kredit. Modalku juga menggandeng Terry Tse, mantan Chief Risk Officer Dianrong, platform P2P lending asal Tiongkok sebagai penasihat. Harapannya dengan bergabung dengan para pemain di industri yang sama di internasional, Modalku bisa memajukan standar, kualitas, dan kredibilitas platform mereka.

Disampaikan CEO Modalku Reynold Wijaya, saat ini Modalku tengah fokus mencapai standar internasional, bahkan dunia. Salah satu yang coba diusahakan adalah dengan selalu menegaskan komitmen terhadap perlindungan konsumen.

“Tim kami selalu menegaskan komitmen terhadap perlindungan konsumen. Platform Modalku melayani dua sisi, UMKM sebagai peminjam dan pencari alternatif investasi sebagai pemberi pinjaman. Kami mendukung UMKM Indonesia dengan pinjaman modal usaha, tetapi kami juga menjunjung tinggi tanggung jawab terhadap pemberi pinjaman.”

“Penilaian kredit kami ketat, kami hanya memberikan pinjaman ke UMKM berpotensi dan berkualitas agar risiko default lebih terkontrol. Menciptakan sistem credit assessment yang efektif merupakan prioritas utama kami,” lanjutnya.

Reynold juga menanggapi keanggotaan Modalku di forum IACPM. Menurutnya menjadi anggota IACPM adalah bukti keseriusan Modalku dalam menciptakan sistem credit assessment terbaik. Berada di forum yang sama dengan institusi keuangan dunia seperti Barclays, HSBC, Citigroup dan Goldman Sachs diharapkan Modalku bisa menggabungkan ilmu yang didapat dengan teknologi digital terbaru.

“Kami juga bangga karena ahli credit portfolio management sekaliber Terry Tse melihat potensi Modalku dan menjadi penasihat kami. Kedua hal ini akan meningkatkan keamanan aktivitas pemberi pinjaman di Modalku,” imbuhnya.

Application Information Will Show Up Here

Kioson Rambah Sektor Fintech, Hadirkan Layanan “Lending” untuk Mitra UMKM

Startup penyedia sistem digital payment enabler Kioson mengumumkan perluasan bisnisnya ke ranah fintech. Memanfaatkan tren peer-to-peer lending (p2p lending) yang mulai dinikmati masyarakat, Kioson mulai menawarkan layanan khusus pinjaman modal usaha untuk mitranya. Fokus Kioson menyajikan layanan ini ialah penyediaan modal, menambah produk dan layanan di aplikasi Kioson, dan menambah jaringan kemitraan di seluruh Indonesia.

Layanan pinjaman modal usaha ini hanya berlaku untuk mitra Kioson dengan plafon hingga 7 juta rupiah, berupa saldo Kioson. Saat diluncurkan awal Juli 2017, tercatat 1.000 mitra sudah mengajukan pinjaman dan 70%-nya sudah disetujui. Dengan adanya layanan P2P ini diharapkan semakin melengkapi Kioson dalam penyediaan instrumen keuangan. Sebelumnya Kioson sudah membuka layanan branchless banking, penjualan produk asuransi dan agen referensi multi-finance.

[Baca juga: Kioson Fasilitasi UMKM Lakukan Pendekatan Digital]

“Sebagai perusahaan aplikasi yang menunjang kebutuhan pemilik usaha kecil dalam meningkatkan penjualan toko/kios mereka, fitur pinjaman modal usaha ini dapat mendorong perputaran biaya sebagai modal usaha di aplikasi Kioson. Bermodalkan kepercayaan serta pemilik usaha yang berkelanjutan, kami yakin bahwa Mitra Kioson dapat memanfaatkan layanan ini untuk mengembangkan usahanya,” sambut CEO Kioson Jasin Halim.

Di sisi lain, saat ini semakin banyak aplikasi yang merambah ke layanan industri fintech, dari mulai crowdfunding, investasi, tabungan, pinjaman cepat, installment dan lain-lain. Hampir semua perusahaan fintech menawarkan produk pinjaman, khususnya p2p perantara bagi pinjam-meminjam dana.

“Kami menargetkan 500 hingga 1000 mitra setiap bulannya untuk dapat memanfaatkan layanan ini. Dari pantauan kami beberapa mitra Kioson menggunakan modal tambahan untuk jasa transfer dana yang juga menjadi salah satu produk unggulan Kioson, kategori e-commerce dan bill payment,” imbuh Jasin.

[Baca juga: Optimis dengan Peluang Besar O2O, Kioson Terus Lakukan Ekspansi Pasar]

Sebelumnya Kioson menghadirkan sebuah skema sistem O2O (Online-to-Offline) untuk memfasilitasi UMKM (seperti warung kelontong atau kios) untuk memiliki sebuah layanan yang mampu digunakan dalam membantu masyarakat melakukan berbagai pembayaran digital. Dari keterangan yang kami terima, saat ini Kioson sudah bekerja di 430 kota di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera. Sekurangnya sudah ada 15 ribu mitra Kioson yang melayani sekitar 2 juta pelanggan.

“Kioson kini sudah menjadi kendaraan untuk inklusi keuangan dengan beragamnya layanan dan produk perbankan dan asuransi dari perusahaan/institusi keuangan ternama. Dengan basis mitra kami dan konsumennya yang memang berada di kota lapis kedua, kami optimis bahwa dapat menjembatani kesenjangan digital sekaligus membuka akses inklusi keuangan,” tutup Jasin.

Application Information Will Show Up Here

Dana Didik Bantu Mahasiswa Biayai Kuliah dengan Layanan P2P Lending

Kesulitan membayar kuliah, umumnya selalu jadi momok permasalahan yang membayangi para pelajar, terutama bagi yang kurang mampu. Belum adanya lembaga jasa keuangan yang menghadirkan layanan tepat sasaran untuk para pelajar menjadi peluang Dipo Satria untuk mendirikan startup p2p lending Dana Didik.

Startup ini khusus menyasar mahasiswa yang ingin membiayai kuliahnya sendiri dengan cicilan yang ringan, sudah berdiri sejak pertengahan 2015. Dengan semangat ingin membantu mahasiswa, maka skema pengembalian pinjaman juga sedikit berbeda dibandingkan platform p2p lending lainnya.

Mahasiswa diberi keleluasaan untuk melunasi pinjaman setelah lulus atau malah sebelumnya dengan skema perhitungan yang lebih adil. Secara model bisnis, mahasiswa dapat mengajukan pinjaman maksimal Rp10 juta pada 12-18 bulan sebelum masa kelulusan.

Apabila sebelum masa kelulusan dan/atau belum berpenghasilan mahasiswa sudah mampu mengembalikan pinjaman, mereka dapat keringanan bunga 0%. Sementara, untuk yang sudah berpenghasilan skema yang dianut adalah bagi hasil dengan kisaran antara 10%-30% tergantung besaran pendapatan mahasiswa nantinya. Adapun tenornya, minimal 30 bulan setelah dihitung lulus kuliah.

“Sehingga ini benar-benar student loan yang bukan berbentuk donasi. Bagaimanapun juga, walaupun berbentuk pinjaman, Dana Didik dan sponsor berawal dari ingin membantu mahasiwa secara bertanggung jawab,” ucap Dipo saat dihubungi DailySocial, Selasa (1/8).

Saat ini, Dana Didik tergabung dalam salah satu peserta dari program akselerator Plug and Play Indonesia Batch I.

Adanya skema pengembalian yang berbeda, sambungnya, menjadi salah satu langkah manajemen risiko yang dikhawatirkan berpotensi sebagai kredit macet.

Sebelum memilih mahasiswa, pihak Dana Didik mengembangkan penilaian kredit dari internal berdasarkan potensi pekerjaan mahasiswa setelah lulus. Pihaknya melakukan proses verifikasi dari setiap mahasiswa, mulai dari latar belakang sekolah dan kondisi orang tua.

Terkait pencapaian sejauh ini, Dipo mengklaim bahwa pihaknya telah menerima sekitar 5 ribu aplikasi yang masuk ke Dana Didik hingga saat ini berlokasi di Kalimantan, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Bangka Belitung.

Adapun dari jumlah tersebut mahasiswa yang berhasil didanai sekitar 40 orang dengan total nilai yang tidak disebutkan. Dipo menargetkan sampai akhir tahun ini pihaknya dapat mendanai 300 mahasiswa.

Melalui Aplikasi Berbasis “Lending Robot”, TunaiKita Targetkan Transaksi 40 Miliar Rupiah di 2017

TunaiKita, sebagai startup digital bagian Wecash Global, mengumumkan peluncuran sebuah aplikasi berupa “lending robot” –sebuah istilah untuk sistem layanan investasi otomatis peminjaman peer-to-peer—untuk layanan pinjaman tanpa agunan. Di awal peluncurannya, layanan tersebut baru tersedia untuk pengguna di Jabodetabek. TunaiKita mengungkapkan secara bertahap pihaknya akan segera berekspansi ke wilayah lainnya.

Sebelumnya startup dengan nama legal PT Digital Tunai Kita tersebut telah merilis versi beta dari aplikasinya sejak bulan Mei 2017 lalu. Sampai saat ini lebih dari 30 ribu pengguna ponsel pintar telah mengunduh aplikasi tersebut. Salah satu keunggulan yang ingin dihadirkan aplikasi ini adalah proses pengajuan peminjaman yang ringkas dengan pengalaman pengguna yang sederhana.

Untuk melakukan pengajuan pinjaman, semua proses dilakukan menggunakan aplikasi. Dimulai dengan menentukan besaran pinjaman serta jangka waktu, kemudian melakukan scan, foto diri dan pelengkapan pemberkasan lainnya, hingga pada akhirnya proses analisis dan persetujuan peminjaman.

TunaiKita ingin mencapai target transaksi pinjaman hingga 40 miliar rupiah hingga akhir tahun 2017 ini. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengakselerasi pertumbuhan transaksi ialah dengan merilis aplikasi versi iOS TunaiKita yang tengah dalam proses pengembangan. Harapannya mereka dapat menjangkau lebih banyak segmentasi pasar pengguna ponsel pintar.

“Saya mendapat informasi bahwa credit gap di Indonesia cukup mencengangkan di angka $80 miliar per tahun, jadi rencana kami mencapai Rp 40 miliar pinjaman hanya akan menutupi 1/5000 [seperlima ribu] kekurangannya. Tetap kita harus memulai ini dari mana pun. Saya berharap untuk bekerja lebih erat dengan partner institusi keuangan untuk berbuat lebih banyak ke depannya,” ujar CEO TunaiKita James Chan.

Gerak cepat co-founder untuk memaksimalkan momentum

TunaiKita didirikan oleh dua orang Co-Founder, yakni James Chan dan Andry Huzain. James memiliki pengalaman karier di bidang modal ventura dan wirausaha. Secara paralel James saat ini juga menjabat sebagai CEO Wecash Asia Tenggara dan Chief Strategy Officer Wecash Group. Sementara rekannya Andry yang bertindak sebagai COO TunaiKita sebelumnya berpengalaman di beberapa perusahaan lokal, seperti MNC Group, Detikcom, dan Lazada. Jajaran komisaris diisi Managing Director PT Kresna Graha Investama dan Group CEO Wecash.

“Enam bulan terakhir merupakan masa-masa yang dinamis untuk menjawab semua tantangan. Mulai dari proses desain, pengembangan dan pengujian aplikasi Android, hingga pengembangan aplikasi Loan Management System dari nol, serta menyiapkan tim operasi hingga siap melayani pelanggan dalam waktu sekitar 13 minggu saja. James dan saya beruntung berkesempatan memimpin tim yang luar biasa,” ungkap COO TunaiKita Andry Huzain.

Tim TunaiKita saat ini terdiri dari 34 orang dengan basis kantor di kawasan Setiabudi Atrium. Untuk bergerak cepat, selain pengembangan aplikasi, saat ini TunaiKita mengaku tengah agresif mengembangkan tim di semua lini. Dari traksi yang ada sejak peluncuran beta, pertumbuhan per bulannya diklaim mencapai 30% dari sisi pelanggan. TunaiKita benar-benar ingin menjadi Wecash-nya Indonesia.

Wecash sendiri di Tiongkok menjadi salah satu lembaga keuangan digital yang mumpuni. Saat ini pihaknya mengklaim telah memiliki lebih dari 100 juta nasabah dan bekerja sama dengan 30 lembaga keuangan seperti bank, multi-finance dan peer-to-peer platform. Induk usaha TunaiKita ini didirikan sejak tiga tahun lalu, dan saat ini telah membukukan arus pinjaman $7 miliar. Sistem yang diadaptasi dalam TunaiKita sama dengan yang digunakan WeCash.

Application Information Will Show Up Here

Marketplace P2P Lending Investree Ekspansi ke Jawa Tengah

Investree, startup penyedia marketplace peer-to-peer (P2P) lending hari ini meresmikan ekspansi bisnisnya ke wilayah Jawa Tengah. Untuk memantapkan langkah ini, Investree juga baru saja meresmikan kantor perwakilan di Kota Semarang.

Disampaikan Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, ekspansi ke Jawa Tengah bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari BPS Jateng, terdapat peningkatan jumlah UMKM sebanyak lebih dari 40 ribu dan hal tersebut merupakan potensi yang besar untuk dieksplorasi. Seperti diketahui bahwa salah satu fokus Investree ialah memberikan pinjaman bagi UMKM di Indonesia.

“Hadirnya kantor perwakilan Investree yang berlokasi di Semarang akan memudahkan kami dalam menjangkau calon borrower yang mayoritas adalah pegiat UMKM di Jawa Tengah dan sekitarnya, sehingga transaksi dapat berjalan lebih efektif dan efisien,” ujar Adrian.

[Baca: Investree Segera Ekspansi ke Vietnam dan Luncurkan Pembiayaan Syariah]

Langkah serius untuk mengakomodasi pasar UMKM di Indonesia dilakukan pasca Investree resmi terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak bulan Mei 2017 lalu. Investree dinyatakan terdaftar sebagai Penyelenggara Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan diatur dalam administrasi Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).

“Seluruh aktivitas atau transaksi pinjam meminjam di Investree dilakukan secara online, khususnya bagi lender. Setiap tahapan mulai dari registrasi, melihat daftar pinjaman di marketplace, hingga mentransfer pendanaan dijalankan melalui situs Investree. Untuk pengelolaan dana, kami juga telah bekerja sama dengan bank rekanan Danamon dalam hal sistem manajemen kas berupa fasilitas automatic payment dan automatic posting atau yang biasa disebut dengan host-to-host service, sehingga mempercepat proses pemberian pinjaman kepada borrower,” imbuh Adrian.

Saat ini Investree memiliki dua produk unggulan, yakni Pinjaman Bisnis (Business Loan) dan Pembiayaan Karyawan (Employee Loan). Pinjaman Bisnis adalah modal kerja untuk memperlancar arus kas (cashflow) dengan menjaminkan tagihan atau invoice. Sedangkan Pembiayaan Karyawan adalah pinjaman serbaguna yang diberikan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan yang bekerja sama dengan Investree.

[Baca juga: Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat]

Sampai dengan saat ini, Investree berhasil membukukan catatan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 237 Miliar, nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 187 Miliar, dan nilai pinjaman lunas sebesar Rp 144 Miliar dengan tingkat pinjaman gagal bayar atau default 0%. Kebanyakan peminjam di Investree masih merupakan pemain bisnis kecil dan menengah dari kategori kreatif.

Konsumen Indonesia Belum Banyak Mengetahui Layanan Fintech Lending

Fintech (Financial Technology) menjadi salah satu kategori yang sangat berkembang di lanskap startup tanah air. Bahkan sejak setahun terakhir, fintech digadang-gadang menjadi salah satu inovasi yang akan menghadirkan disruption dalam industri keuangan secara umum. Menilik lebih dalam pada sektor fintech itu sendiri, salah satu sub-kategori populer adalah platform lending. Yakni menjadi medium untuk pengguna dapat mengajukan peminjaman sekaligus memfasilitasi dana untuk dipinjamkan kepada seseorang.

Secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei terhadap 1016 pengguna ponsel pintar di Indonesia untuk mengetahui sejauh apa mereka mengetahui tentang layanan fintech, khususnya tentang layanan lending yang saat ini gencar dihadirkan oleh inovator startup digital Indonesia. Dari total responden, baru sebanyak 30,91% yang mengetahui atau pernah mendengar tentang istilah fintech. Sedangkan 92,62 persen sudah terbiasa dengan istilah lending, credit dan loan.

Kendati demikian, di kalangan masyarakat masih banyak alasan yang menjadikan mereka enggan untuk mengajukan pinjaman, baik melalui perbankan ataupun institusi keuangan lainnya. Alasan tertinggi karena merasa tidak nyaman dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memiliki hutang (72,31%). Dan beberapa alasan lain turut diungkapkan oleh responden seperti tidak sedang membutuhkan hingga prinsip personal.

Menariknya dari yang sudah pernah mengajukan pinjaman, persentase paling besar digunakan untuk kebutuhan bisnis, disusul peringkat nomor dua untuk pembelian kendaraan bermotor.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia
Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia

Tanggapan masyarakat soal hadirnya layanan fintech

Persentase dari masyarakat yang mengetahui layanan fintech dapat dibilang masih kecil. Terlebih 100% dari responden adalah pengguna aktif ponsel pintar. Hal ini turut menjadi pemicu kecilnya pengguna layanan pada sub kategori. Misal saja untuk persentase responden yang mengetahui layanan peminjaman secara online melalui ponsel atau website, hanya 25,59% dari responden yang mengetahuinya. Dan hanya 6,50% dari responden yang pernah mengajukan peminjaman melalui platform tersebut.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia 2

Pun demikian dengan persentase responden yang mengetahui tentang kesempatan untuk berinvestasi dalam platform lending berbasis web ataupun aplikasi. Hanya 20,67% dari responden yang mengetahui layanan tersebut. Dan hanya 6% yang pernah mencoba untuk menjadi investor yang meminjamkan dananya kepada untuk orang lain melalui platform online.

Dalam survei tersebut DailySocial juga menanyakan tentang ketertarikan peminjaman untuk kebutuhan bisnis ataupun konsumsi. Hingga faktor apa saja yang akhirnya menentukan masyarakat untuk mengajukan peminjaman, termasuk perbandingannya antara meminjam melalui layanan online ataupun institusi keuangan yang didatangi secara fisik. Untuk selengkapnya tentang laporan “Fintech Lending in Indonesia – Consumer Awareness 2017” dapat diunduh secara gratis.

Simak juga kabar terkini tentang perkembangan startup lending di Indonesia.