Gojek and Halodoc Shared Some Tips to Optimize Growth Opportunity Amid Pandemic

The pandemic has turned out to be able to make big tech companies like Gojek perform strategic changes and focus on new businesses on the platform. In the webinar event initiated by the Technology Journalists Forum (Forwat), representatives from Gojek and Halodoc conveyed challenges to new innovations that are then implemented and are expected to become their respective superior products.

Focused on user’s feedback

The pressure and economic changes that occurred during the pandemic have actually increased the number of Halodoc users who then conduct mental consultations to psychiatrists and psychologists through the platform. After being officially launched in late June, the consulting service has now been supported by 500 psychologists and psychiatrists.

According to Halodoc’s CMO, Dionisius Nathaniel, not only was it used by adults, but there were also some children who took advantage of the mental consultation channel presented by Halodoc through the application and website. This achievement shows the increasing need for users to convey the complaints and stresses they experience during the pandemic.

As a platform that promotes health for all, Halodoc has also carried out several activities that help the government and of course the community during the pandemic. One of them is the giving of the Covid-19 Rapid Test. At the beginning of the pandemic, Halodoc has also introduced chatbot technology, namely Preliminary Risk Assessment. Its function is in the form of a questionnaire that helps people check whether they are at risk of being affected by Covid-19 or not.

“In the mapping, we can see how many users use this feature and help us to see the location. Mostly are those living in big cities,” said Dionisius.

In addition to mental consultations and Covid-19 rapid tests, Halodoc also claims to have experienced positive growth from the Health Shop. In this case, taking advantage of partnerships with 100 health shops spread out and integrated delivery with Gojek driver-partners, is able to increase the number of purchases and deliveries easier and of course faster.

“The strategic collaboration with Gojek proves that what we present, namely a fast delivery in under 60 minutes, has been successfully realized by Halodoc and of course Gojek,” said Dionisius.

To maintain business growth during the pandemic and help more people access health information and consultation services with doctors, Halodoc wants to continue to get feedback from users in order to provide comprehensive digital health services, not only in big cities but in other regions in Indonesia.

“We currently have around 20 million active users on applications and websites. This increase is supported by the services and information we provide related to the Covid-19 topic. Education is part of our strategy to increase user traction on applications and websites,” Dionysius said.

Support partners with technology

Meanwhile, Gojek, which already has a variety of services, during the pandemic began to focus on the welfare of driver-partners and merchants. Starting from making donations to launching appropriate technology. According to Gojek’s Chief of Corporate Affairs Nila Marita, the company is trying to focus on their core business. Starting from mobility, food-related, logistics, and payment.

“An interesting fact that also occurred during the Gomed service pandemic has also increased quite well. We note that transactions in Gomed have increased by up to 103%,” Nila mentioned.

Another service that has also increased is entertainment, with GoTix services recorded an increase of up to 30 times. Adjusting the PSBB rules and working at home which is mostly applied by office workers and students. Meanwhile, to help culinary partners outside the culinary business to run their business, Gojek has also launched Selly which is a keyboard and dashboard application that makes it easier for SMEs to serve customers.

With the launch of this special merchant application, it is hoped that it can accelerate the acceleration of Gojek merchants through tools tailored to their needs.

“Through the Selly application, we hope that there will be more social commerce players in Indonesia who can be facilitated in terms of supporting tools for their business. Gojek will also continue to collaborate with relevant partners and brands,” Nila said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kiat eFishery Menempatkan Nilai dan Tujuan sebagai Pedoman Kolaborasi

Kata-kata seperti “kolaborasi” dan “kemitraan” sering terlontar dari forum-forum bisnis teknologi atau dari para punggawa startup. Namun apa sebenarnya yang menjadi tujuan kolaborasi atau kemitraan dalam bisnis startup? Kami membahas topik ini dalam edisi #SelasaStartup teranyar bersama Founder & CEO eFishery, Gibran Huzaifah.

Dalam bisnis digital, kolaborasi kerap disebut sebagai kunci dalam membuka kemandekan pertumbuhan startup. Dengan fokus dan keahlian yang berbeda-beda, maka kolaborasi menjadi faktor penting dalam membesarkan suatu startup. Tak terkecuali bagi Gibran melalui eFishery. Berikut adalah pandangan Gibran perihal kolaborasi demi menggenjot pertumbuhan perusahaan.

Nilai dan tujuan sebagai landasan

Gibran menceritakan, startup yang ia dirikan selalu melandaskan keputusan berdasarkan kebutuhan petani budidaya ikan dan udang. Dari sana mereka dapat menciptakan inovasi produk yang dapat menciptakan nilai hingga dampak baru.

Begitu pula dengan kolaborasi, prinsip tersebut menjadi pegangan eFishery. Gibran percaya setiap startup punya misi besarnya masing-masing. Namun startup juga punya batas kemampuannya. Itu sebabnya sebelum memutuskan bekerja sama dengan pihak tertentu, ia mementingkan nilai apa yang bisa dilengkapi lewat kerja sama tersebut.

“Di sisi lain ambisi kita besar juga. Itulah pentingnya kolaborasi. Kita bisa bekerja sama dengan orang-orang yang punya value berbeda sehingga nilainya lebih lengkap dan lebih besar,” ujar Gibran.

Menurutnya suatu kolaborasi selalu bermula dari masalah yang dihadapi oleh petani budidaya. Contohnya seperti yang halnya yang mereka wujudkan dalam produk pembiayaan, eFisheryFund. Beberapa petani mengalami kendala untuk mengakses permodalan. Maka eFishery menggandeng fintech untuk mengembangkan fitur pembiayaan itu.

“Kita enggak pernah start dari dengan siapa berkolaborasi. Kita selalu start dari masalahnya,” imbuh Gibran.

Membuka peluang

Fokus terhadap nilai dan tujuan itu terbukti mampu membawa eFishery sebagai salah satu startup terpandang di sektor perikanan. Mereka kini sudah melayani ribuan petani budidaya di 240 kabupaten/kota dari 24 provinsi. Belum lama eFishery juga mengantongi pendanaan seri B yang dipimpin oleh Northstar dan GoVentures.

Gibran menilai pencapaian tersebut tak lepas dari konsistensi mereka melayani kebutuhan pelanggan mereka selama bertahun-tahun.

“Dari dulu kita enggak melakukan apa yang tidak kita lakukan. Baru 1,5 tahun terakhir saja kita eksperimen membesarkan model bisnis yang lain karena kita tahu kita punya scale dan resources untuk itu. Tapi 5 tahun pertama itu kita cuma melakukan satu hal saja,” cetus Gibran.

Selain kepercayaan petani budidaya ikan dan udang, konsistensi layanan eFishery menyebabkan mereka dipandang oleh pemerintah, dari daerah hingga pusat. Sejumlah kerja sama dilakukan untuk mengembangkan potensi ekonomi perikanan.

Begitu pula dari aspek pendanaan. Gibran mengenang begitu sulitnya menggelar babak pendanaan awal. Selain jarangnya startup yang bergerak di perikanan, layanan internet of things (IoT) yang dijual eFishery juga tergolong sangat baru bagi para petani budidaya ikan dan udang.

“Untung masih ada yang mau funding,” ujar Gibran berseloroh.

Melewati krisis pandemi

Meski sudah cukup besar, eFishery masih punya begitu banyak ruang untuk tumbuh. Pasalnya total petani budidaya di Indonesia mencapai 3,5 juta. Terlebih saat ini eFishery sudah melebarkan usahanya hingga pembiayaan dan distribusi.

Perluasan bisnis eFishery tersebut nyatanya jadi alternatif penting bagi petani budidaya di masa pandemi. Gibran bercerita sewaktu kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terjadi, penyerapan ikan hasil budidaya berkurang drastis. Keadaan itu nyaris menempatkan petani tak bisa menjual ikan sama sekali.

“Nanti ketika kondisi normal lagi, kita justru bisa kesulitan suplai. Malah jangan-jangan kita bisa impor karena pembudidaya ikan mati. Makanya kita coba crafting bangun kemitraan bareng stakeholder untuk bantu mereka,” tukasnya.

Meski sempat ada rumor eFishery akan ekspansi ke luar negeri, sepertinya sejauh ini mereka masih tetap menargetkan menggali potensi perikanan domestik. Gibran menyebut mereka saat ini menargetkan bisa menjangkau satu juta petani budidaya ikan dan udang di 34 provinsi Indonesia.

Membesarkan keempat produk yang mereka miliki saat ini jadi prioritas mereka. Dengan pendanaan yang belum lama mereka terima bertekad menjadi penyedia layanan end to end bagi ekosistem perikanan budidaya.

“Jadi fokusnya ke pengembangan unit bisnisnya dan ekspansinya,” pungkas Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Bos Fnatic: Industri Esports Tumbuh Pesat Selama Pandemi

Pendiri dan CEO Fnatic, Sam Mathews, mengatakan bahwa industri esports tumbuh pesat selama pandemi COVID-19. Mathews mengatakan, para pelaku industri esports harus dapat memanfaatkan momentum tersebut.

Bulan lalu, Fnatic membuat laporan tentang bagaimana pandemi memengaruhi indsutri esports. Pada awal pandemi, industri esports terkena dampak negatif karena sejumlah turnamen esports offline harus ditunda atau dibatalkan. Namun, dengan cepat, para pelaku industri esports beradaptasi dan mengganti format turnamen offline menjadi kompetisi online.

“Salah satu temuan dalam laporan kami adalah betapa cepatnya turnamen esports offline diganti dengan kompetisi online,” kata Mathews pada Forbes. “Industri esports masih sangat muda jika dibandingkan dengan industri olahraga tradisional. Namun, pelaku industri esports dapat menyesuaikan diri dengan cepat, menunjukkan bahwa kami bisa memimpin di situasi ‘normal baru’ seperti sekarang.”

bos fnatic esports tumbuh pesat
Pertandingan Fnatic melawan G2 Esports di babak final LEC ditonton 1 juta orang. | Sumber: Twitter

Menurut Mathew, perkembangan industri esports selama pandemi juga menarik perhatian para pelaku industri hiburan dan olahraga tradisional. Dia juga menyebutkan, selama pandemi, esports menjadi semakin dikenal oleh banyak orang. “Pandemi COVID-19 menjadi bukti betapa pentingnya platform streaming digital. Hal ini mendorong perusahaan televisi untuk mencoba siaran digital dan mereka sukses menyiarkan sejumlah turnamen esports,” ujarnya. “Dengan begitu, batasan yang memisahkan industri olahraga tradisional, hiburan, dan esports menjadi semakin mengabur.”

Memang, sepanjang pandemi, sejumlah pelaku olahraga tradisional mulai masuk ke dunia esports. Tak hanya itu, kompetisi olahraga tradisional yang dibatalkan juga diganti dengan turnamen esports, seperti balapan dan pertandingan sepak bola. Sejumlah tim sepak bola dan NBA juga semakin memerhatikan esports, yang menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan esports sepanjang pandemi.

“Dengan dibatalkanya berbagai kompetisi olahraga tradeisional, perhatian masyarakat dan media beralih ke turnamen esports,” kata Mattews. “Laporan yang kami buat menunjukkan bahwa lockdown membuat masyarakat menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game dan menonton konten game, menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli item dalam game, serta mengunduh lebih banyak game. Tak hanya itu, jumlah viewership turnamen esports juga tumbuh sekitar 50-200%. Hal ini menjadi bukti bahwa industri esports tak mudah tumbang.”

Mathews juga membahas tentang meningkatnya viewership pada platform streaming game, khususnya pada Twitch. Platform milik Amazon itu mengalami pertumbuhan viewership paling tinggi jika dibandingkan dengan platform lain. Pada Q1 2020, total hours watched di Twitch mencapai 300 miliar jam.

“Twitch menguasai 65% pangsa pasar platform streaming game,” ungkap Mathews. “Jumlah viewership rata-rata Twitch pada Maret 2020 naik 16% dari Februari. Dan jumlah viewership rata-rata Twitch kembali naik 55% pada April. Angka ini menunjukkan betapa pesatnya pertumbuhan Twitch sebagai platform streaming game dalam bebreapa tahun belakangan.”

Saat ini, pandemi mulai mereda di sejumlah negara. Masyarakat sudah mulai dapat beraktivitas di luar rumah dan kompetisi olahraga kembali mulai diadakan. Hal ini akan membuat viewership esports turun. Meskipun begitu, perkembangan esports dalam beberapa bulan belakangan akan memberikan dampak positif pada industri esports ke depan.

Sumber header: Twitter

Tips dari Gojek dan Halodoc Optimalkan Peluang Pertumbuhan di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan ternyata mampu membuat startup hingga perusahaan teknologi besar seperti Gojek melakukan perubahan strategi bahkan memfokuskan kepada bisnis baru dalam platform. Dalam acara webinar yang diinisiasi oleh Forum Wartawan Teknologi (Forwat), perwakilan dari Gojek dan Halodoc menyampaikan tantangan hingga inovasi baru yang kemudian diterapkan dan diharapkan bisa menjadi produk unggulan masing-masing.

Fokus pada umpan balik pengguna

Tekanan hidup dan perubahan ekonomi yang terjadi selama pandemi, ternyata telah meningkatkan jumlah pengguna Halodoc yang kemudian melakukan konsultasi jiwa kepada psikiater dan psikolog melalui platform. Setelah resmi diluncurkan akhir bulan Juni lalu, kini layanan konsultasi tersebut telah didukung 500 psikolog dan psikiater.

Menurut CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, bukan hanya dimanfaatkan orang dewasa, namun tercatat ada beberapa anak-anak yang kemudian memanfaatkan kanal konsultasi jiwa yang dihadirkan oleh Halodoc melalui aplikasi dan situs web. Capaian tersebut menunjukkan makin besarnya kebutuhan pengguna untuk menyampaikan keluh kesah dan tekanan hidup yang mereka alami selama pandemi.

Sebagai platform yang mengedepankan kesehatan untuk semua, Halodoc juga telah melakukan beberapa kegiatan yang membantu pemerintah dan tentunya masyarakat selama pandemi. Salah satunya adalah pemberian Rapid Test Covid-19. Di awal pandemi, Halodoc juga telah menghadirkan teknologi chatbot yaitu Preliminary Risk Assesment. Fungsinya berupa kuesioner yang membantu masyarakat memeriksa apakah mereka beresiko terdampak Covid-19 atau tidak.

“Dalam pemetaan tersebut memanfaatkan lokasi yang ada di platform kami akhirnya terlihat, berapa banyak pengguna yang menggunakan fitur tersebut dan membantu kami untuk melihat lokasi. Kebanyakan tentu saja mereka yang tinggal di kota-kota besar,” kata Dionisius.

Selain konsultasi jiwa dan pemeriksaan rapid test Covid-19, Halodoc juga mengklaim mengalami pertumbuhan positif dari Toko Kesehatan. Dalam hal ini memanfaatkan kemitraan dengan 100 toko kesehatan yang tersebar dan integrasi pengantaran dengan mitra pengemudi Gojek, mampu mendongkrak jumlah pembelian dan pengantaran lebih mudah dan tentunya lebih cepat.

Kerja sama strategis dengan Gojek membuktikan bahwa apa yang kami hadirkan yaitu pengantaran yang cepat di bawah dari 60 menit, berhasil diwujudkan oleh Halodoc dan tentunya Gojek,” kata Dionisius.

Untuk mempertahankan pertumbuhan bisnis selama pandemi dan membantu lebih banyak masyarakat mengakses informasi kesehatan dan layanan konsultasi dengan dokter, Halodoc ingin terus mendapatkan umpan balik dari pengguna agar bisa menghadirkan layanan kesehatan digital yang menyeluruh, bukan hanya di kota-kota besar namun wilayah lainnya di Indonesia.

“Saat ini kami telah memiliki sekitar 20 juta pengguna aktif di aplikasi dan website. kenaikan ini terjadi didukung dengan layanan dan informasi yang kami hadirkan terkait dengan topik Covid-19. Edukasi menjadi bagian dari strategi kami untuk bisa meningkatkan traksi pengguna di aplikasi dan juga website,” kata Dionisius.

Dukung mitra melalui teknologi

Sementara itu bagi Gojek yang telah memiliki beragam layanan, selama pandemi mulai memfokuskan kesejahteraan mitra pengemudi dan merchant. Mulai dari memberikan donasi hingga meluncurkan teknologi tepat guna. Menurut Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita, perusahaan berupaya untuk fokus kepada core business mereka. Mulai dari mobility, food related, logistik dan tentunya payment.

“Fakta menarik yang juga terjadi selama pandemi layanan Gomed juga mengalami peningkatan yang cukup baik. Kami mencatat transaksi di Gomed mengalami peningkatan hingga 103%,” kata Nila.

Layanan lain yang juga mengalami peningkatan adalah entertainment, tercatat layanan GoTix mengalami peningkatan hingga 30 kali lipat. Menyesuaikan aturan PSBB dan bekerja di rumah yang banyak diterapkan oleh pekerja kantor dan siswa. Sementara itu untuk membantu mitra kuliner hingga diluar bisnis kuliner untuk menjalankan bisnis mereka, Gojek juga telah meluncurkan Selly yang merupakan aplikasi keyboard dan dasbor yang memudahkan UKM melayani pelanggan.

Dengan diluncurkannya aplikasi khusus merchant ini diharapkan bisa mempercepat akselerasi merchant Gojek melalui tools yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

“Melalui aplikasi Selly kami harapkan akan lebih banyak pelaku social commerce di Indonesia yang bisa dimudahkan dalam hal alat pendukung untuk bisnis mereka. Gojek juga akan terus menjalin kolaborasi dengan partner dan brand yang relevan,” kata Nila.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Upaya Adaptasi Startup Menghadapi Situasi Turun Naik Ekonomi

Masa pandemi telah membawa banyak dampak untuk sektor perekonomian. Berbagai sektor usaha baik kecil maupun besar ikut terkena dampaknya, tak terkecuali para pelaku startup. Mulai dari penurunan pemasukan yang cukup masif hingga terpaksa harus menutup bisnis secara permanen menjadi imbas yang harus diterima beberapa startup di masa turun naik ekonomi ini. Kondisi tersebut juga dipersulit dengan terbatasnya ruang gerak karena harus bekerja dari rumah.

Disisi lain, masih tetap ada angin segar yang menaungi ekosistem startup lokal belakangan ini. Beberapa sektor seperti healthtech dan edutech turut mengalami pertumbuhan seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap inovasi teknologi yang dimiliki di masa pandemi ini. Selain itu, menurut catatan DailySocial, ada 32 transaksi pendanaan startup yang terjadi sepanjang kuartal kedua tahun ini. Bahkan, jumlah ini melebihi periode yang sama di tahun sebelumnya, yaitu 24 transaksi.

Meski begitu, masa pandemi yang tak kunjung usai dipandang masih akan berlangsung cukup lama. Sehingga, mau tidak mau para startup harus terus melakukan berbagai upaya adaptasi untuk tetap dapat mempertahankan bisnisnya. Bila startup tetap dapat memperlihatkan ketahanan bisnisnya selama masa pandemi ini, maka masih tetap ada berbagai kemungkinan dan peluang positif yang menanti di masa depan.

Dimulai dari Adaptasi Internal Perusahaan

Dalam melakukan adaptasi tersebut, hal pertama yang harus diperhatikan oleh para pelaku startup adalah adaptasi internal perusahaan. Tujuannya agar perusahaan tetap dapat menjalankan operasionalnya secara efektif dan efisien meski harus bekerja dari rumah selama pandemi ini. Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, contohnya seperti membuat kebijakan baru terkait remote working, menyediakan tools dan alur komunikasi yang mendukung kolaborasi, serta fokus pada manajemen tim.  Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan pembaruan terhadap KPI dan tanggung jawab karyawan yang disesuaikan dengan target pencapaian baru di masa pandemi ini.

Hal lain terkait operasional yang juga sama pentingnya dalam masa adaptasi ini adalah strategi tata kelola keuangan perusahaan. Di masa sulit, keadaan bisa menjadi serba tidak pasti. Untuk itu, perusahaan perlu terus melakukan pemantauan kondisi keuangan sekaligus terus mendefinisikan ulang strategi keuangannya. Hal tersebut diperlukan agar strategi tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi baru yang dialami perusahaan. Perusahaan harus dapat berjalan dengan maksimal seefisien mungkin, salah satu yang harus dilakukan adalah memotong atau menunda pengeluaran yang tidak penting. Dengan pengelolaan keuangan yang baik, perusahaan akan tetap dapat mempertahankan produktivitasnya meski mengalami beberapa efisiensi terkait operasionalnya.

Gali Terus Peluang Inovasi dan Kolaborasi

Salah satu cara terbaik dalam beradaptasi dengan masa sulit ini adalah dengan menghadirkan inovasi baru yang sesuai dengan kebutuhan baru di tengah masyarakat. Ini saatnya untuk meningkatkan kepekaan dalam mencari peluang-peluang baru. Startup harus jeli dalam melihat peluang tersebut melalui inovasi barunya. Inovasi baru tersebut bisa berupa produk maupun layanan baru atau nilai tambah baru yang menjawab kebutuhan baru pelanggan.

Inovasi baru tersebut juga dapat hadir dengan melakukan pivot pada bisnis.  Perubahan model bisnis ini perlu dilakukan bila model bisnis yang saat ini dimiliki dirasa tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melalui pivot, startup dapat menawarkan hal baru bagi konsumennya atau justru menjangkau konsumen baru. Dengan begitu, startup tetap dapat memiliki sumber pendapatan baru yang dapat membantu perusahaan untuk bertahan.

Selanjutnya, startup juga harus mencari peluang baru melalui potensi kolaborasi. Kolaborasi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai stakeholder seperti pemerintah, korporasi, hingga sesama startup lainnya yang dapat mendukung penggunaan produk atau layanan oleh konsumen. Melalui kolaborasi, startup tidak hanya dapat memperluas jangkauannya, tetapi juga dapat menciptakan inovasi-inovasi baru melalui integrasi platform yang dimiliki dengan biaya yang lebih hemat dan hasil yang lebih optimal. Upaya kolaborasi seperti ini cukup penting, mengingat startup harus tetap dapat menjalankan bisnisnya secara efisien dan efektif.

Tentunya, masih banyak upaya lainnya yang dapat dilakukan startup untuk terus beradaptasi menghadapi situasi turun naik ekonomi ini. Pembahasan terkait upaya adaptasi ini juga akan menjadi pembahasan dalam seri kedua dari tiga rangkaian webinar Startup Untuk Negeri yang diadakan oleh AWS bekerja sama dengan DailySocial.

Pada seri kedua ini, tema yang diusung adalah “Bagaimana Startup Dapat Bertahan Menghadapi Situasi Ekonomi yang Naik dan Turun”. Seri kedua ini juga turut mendatangkan Doddy Lukito, (Chief [In-Hospital] Business Officer dan Co-Founder Halodoc) dan Steve Patuwo (Startup Business Development Manager AWS). Melalui topik tersebut, webinar ini akan membahas bagaimana cara startup dapat bertahan dan beradaptasi dalam mencari peluang baru disaat masa sulit dalam menjalankan bisnisnya.

Bila tertarik untuk mengikuti seri kedua dari webinar Startup Untuk Negeri ini, segera daftarkan diri Anda dalam webinar tersebut melalui link berikut ini.

Disclosure: artikel ini merupakan bagian dari publikasi acara webinar AWS #StartupUntukNegeri

Tips Memperluas Bisnis Kelontong Online di Tengah Pandemi

Pandemi memukul hampir sebagian besar bisnis. Tapi di saat sejumlah bisnis melemah karena rendahnya permintaan, sektor digital khususnya yang bergerak di bidang jual beli pangan kebutuhan pokok secara online justru meningkat.

Continue reading Tips Memperluas Bisnis Kelontong Online di Tengah Pandemi

Analis: Penjualan Hardware PC Gaming Meningkat Pesat Karena Pandemi

Pandemi COVID-19 menciptakan jutaan gamer PC baru. Itu bukan pendapat saya yang sejak kecil memang punya bias berlebih terhadap PC gaming, melainkan berdasarkan hasil riset ekstensif yang dilakukan Jon Peddie Research (JPR) baru-baru ini.

Dibandingkan tahun lalu, penjualan hardware PC gaming secara global diprediksi bakal naik hingga 10,3%. Alasannya sederhana: lockdown mendorong konsumen untuk membeli PC baru atau meng-upgrade milik mereka agar bisa digunakan untuk bermain game dengan lancar.

“Pasar hardware PC gaming sedang berada dalam skenario langka di mana semua segmennya mengalami peningkatan,” ujar Ted Pollak selaku analis senior JPR yang menuliskan laporan risetnya. “Kami melihat banyak orang membeli dan meng-upgrade komputer pribadi serta pemberian perusahaannya dengan komponen yang lebih baik, dengan tujuan untuk bermain video game,” tambahnya.

Di segmen entry-level, JPR memperkirakan penjualannya bakal naik sebesar 21,7%, dan sebagian besar angka pertumbuhan itu berasal dari gamer baru. Untuk segmen mid-range, grafik penjualannya akhirnya naik dan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Lanjut ke segmen high-end, penjualan monitor beresolusi 1440p+ memicu konsumen untuk meng-upgrade komponen lainnya demi mengejar pengalaman gaming di 60+ fps.

Bahkan penjualan perangkat simulasi balap juga ikut naik berkat sejumlah ajang balapan bergengsi seperti Formula 1 atau Le Mans yang mengambil jalur virtual. Di kategori ini, perangkatnya mencakup PC berspesifikasi tinggi dengan setup audio premium, peripheral balap lengkap seperti setir, tuas persneling dan pedal gas/rem, dan terkadang juga kursi balap. Para penggemar baru sim racing ini disebut tidak segan mengucurkan dana hingga sebesar $2.000 – $5.000.

Ilustrasi memainkan game di PC / Pexels
Ilustrasi memainkan game di PC / Pixabay

Menurut saya pribadi, fenomena ini cukup bisa dipahami mengingat industri hiburan memang sedang terpukul. Jumlah film blockbuster yang dirilis dalam empat bulan terakhir ini menurun drastis, dan di saat orang-orang kehabisan tontonan, sebagian dari mereka akhirnya beralih ke gaming.

Pertanyaan berikutnya, kenapa PC? Kenapa tidak console saja? Saya setidaknya punya dua jawaban. Alasan yang pertama berkaitan dengan karakteristik multi-fungsi dari PC itu sendiri. PC bisa dipakai untuk bekerja sekaligus bermain, sehingga meng-upgrade PC bisa dilihat juga sebagai salah satu cara untuk menjalani tren WFH.

Yang kedua, ada kemungkinan konsumen menahan diri untuk membeli console dikarenakan semakin dekatnya perilisan next-gen console (PlayStation 5 dan Xbox Series X). Sebagian yang mengincar console current-gen mungkin juga berpikir mereka bisa mendapatkan potongan harga jika mereka menunggu sampai PS5 dan Xbox Series X dirilis, meski tentu saja ini berarti mereka melewatkan momen emas untuk bermain game di kala pandemi.

Saya sendiri termasuk salah satu konsumen yang meng-upgrade PC-nya di saat pandemi, meski saya punya alasan yang berbeda: slot PCIe motherboard saya rusak, hingga akhirnya saya harus mengganti motherboard, CPU dan RAM sekaligus, dan tidak lama setelahnya pun GPU saya ikut rusak. Berhubung PC merupakan sarana utama yang saya perlukan untuk bekerja, rencana upgrade PC ini pun langsung mendapat lampu hijau dari pasangan saya. Bonusnya, saya bisa memainkan lagi The Outer Worlds di setting grafik tertinggi 🙂

Menariknya, peningkatan penjualan hardware ini sudah mulai terjadi bahkan sebelum Nvidia dan AMD mengumumkan GPU generasi terbarunya masing-masing, yang rumornya tidak lama lagi. Di saat GPU Nvidia Ampere dan AMD RDNA 2 sudah diluncurkan nanti, bukan tidak mungkin penjualannya malah semakin meningkat lagi, meski memang ada kemungkinan juga pemasarannya baru dimulai tahun depan akibat proses produksi yang terhambat selama pandemi.

Via: PC Gamer. Gambar header: Artiom Vallat via Unsplash.

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.