NAMA Beauty Dapat Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX

Startup D2C “NAMA Beauty” memperoleh pendanaan awal (seed funding) senilai $5 juta atau setara 71,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin AC Ventures, didukung oleh SiCepat Ekspres dan DMMX. Diketahui, perusahaan tersebut dinakhodai oleh aktris Luna Maya, turut didirikan oleh Marcel Lukman sejak tahun 2019. NAMA Beauty merupakan pengembang merek D2C produk perawatan kulit dan kecantikan.

“Kami merasa bersyukur dan diberkati dengan kepercayaan dan dukungan dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX, termasuk semua mitra dan tim. Ini merupakan momentum yang tepat dan menjanjikan bagi Indonesia. Kami percaya, sinergi ini dapat membantu kami untuk bertumbuh bersama dan memaksimalkan peluang serta momentum yang ada,” ungkap CEO NAMA Beauty Luna Maya.

Selain dukungan kapital, ke depan SiCepat dan DMMX akan menjadi mitra distribusi. Termasuk memanfaatkan jaringan Sampoerna Retail Community (SRC) yang tersebar di 20 kota dan memulai menjual produk di platform perdagangan digital. SiCepat juga akan menjadi mitra logistik utama dalam pengantaran produk NAMA ke konsumen.

“Saya memperhatikan industri kecantikan adalah salah satu industri yang paling tangguh dalam hal pertumbuhan, meskipun tetap memiliki tantangan tersendiri. Melalui kemitraan dengan SiCepat dan DMMX, kami akan memanfaatkan kekuatan unik kami masing-masing untuk membantu NAMA Beauty dalam membangun merek kecantikan dengan pertumbuhan tinggi dan berharap dapat mendukung perusahaan untuk mencapai potensi penuh,” sambut Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir.

Momentum pertumbuhan startup D2C

Menurut data dari Euromonitor, potensi pasar kosmetik warna di Indonesia mencapai $1 miliar pada 2023, dengan CAGR mencapai 16,9%. Dipadukan dengan konsep D2C, diyakini potensi tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik oleh brand lokal.

Model D2C atau drect-to-consumer, memungkinkan pemilik brand untuk menjangkau pangsa pasarnya secara lebih efisien dengan multi-saluran, baik offline maupun online. Bantuan teknologi memungkinkan proses bisnis terjadi lebih ringkas, sehingga menghasilkan biaya produksi yang lebih efisien untuk menghadirkan produk dengan harga terjangkau. Di Indonesia, model ini mulai diaplikasikan di berbagai jenis lini industri, mulai dari kosmetik, perawatan kulit, fesyen, sampai dengan makanan.

Saat ini, sejumlah pemodal ventura lokal mulai mematangkan hipotesisnya untuk startup D2C. Berikut ini nama-nama investor yang mulai aktif memberikan pendanaannya untuk pemain D2C:

Pemodal Ventura Portofolio D2C
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR, NAMA Beauty
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap

Rencana NAMA Beauty

Disampaikan NAMA Beauty akan memanfaatkan dana segar untuk pengembangan R&D, pemasaran dan branding, merekrut lebih banyak talenta, dan meluncurkan lini merek baru. Dengan mengombinasikan kemampuan Luna Maya untuk membaca tren kecantikan terbaru dengan tim R&D yang kuat, NAMA Beauty akan meluncurkan merek kedua yang menargetkan di bawah harga pasar, namun tanpa mengorbankan keunggulan kualitas produk.

Di sisi lain, Marcel Lukman, Co-Founder of NAMA Beauty memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di dunia ritel. Ia adalah salah satu sosok penting di belakang Atmos dan The 707 Company yang memayungi sejumlah merek ternama, seperti Fred Perry, Nudie Jeans, Superga dan Melissa. Diyakini, dua latar belakang unik para pendiri dapat membawa perusahaan ke laju pertumbuhan yang tepat.

Platform Edukasi Saham Emtrade Jalin Kemitraan Strategis dengan Pandu Sjahrir

Bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas edukasi kepada investor ritel di Indonesia, Founder & CEO Emtrade Ellen May menjalin kolaborasi strategis dengan Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Patria Sjahrir. Selain sebagai advisor (penasihat), Pandu juga memiliki peran sebagai pemegang saham minoritas di Emtrade.

Kepada DailySocial.id Ellen menyebutkan, besarnya pengalaman dan wawasan yang dimiliki Pandu menjadi alasan kuat bagi mereka untuk melakukan kerja sama. Sesuai dengan visi dan misi Emtrade yaitu meningkatkan literasi dan inklusi investasi di pasar modal secara lebih berkualitas, bukan hanya kuantitas.

“Emtrade percaya dengan kehadiran Pak Pandu sebagai advisor di Emtrade dapat membawa kami maju lebih jauh lagi.”

Ditambahkan olehnya, kesamaan visi dari Pandu dan dirinya juga menjadi alasan kuat terjalinnya kerja sama strategis ini. Secara khusus Pandu memiliki visi untuk mendukung pertumbuhan investor pasar modal di Indonesia, khususnya dari kalangan ritel. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar investor ritel mendapatkan literasi dan inklusi keuangan dengan benar.

Lebih lanjut lagi, Ellen mengatakan, pihaknya akan menggunakan dukungan [pendanaan] yang diberikan oleh Pandu untuk melakukan penataan arah bisnis (business direction), mengembangkan teknologi dan automasi, meningkatkan basis pengguna, serta pengembangan model bisnis dari edutech menjadi fintech, sehingga tidak hanya meningkatkan literasi namun juga inklusi.

“Setelah itu kita juga akan meningkatkan user based kita untuk user acquisition yang lebih bagus lagi untuk mendorong inklusi di pasar modal lebih bagus lagi,” kata Ellen.

Tercatat berdasarkan data KSEI per 30 September 2021, jumlah investor pasar modal Indonesia telah mencapai lebih dari 6.287.350 Single Identification Number (SID), termasuk di dalamnya adalah 2,9 juta SID saham. Dari keseluruhan investor pasar modal, 80 persen merupakan investor muda berusia di bawah 40 tahun (generasi milenial dan Gen Z).

Untuk segmen pasar tersebut, berbagai layanan investasi hadir, baik untuk memfasilitasi transaksi maupun edukasi. Untuk layanan edukasi, selain Emtrade, saat ini ada startup lain yang main di segmen sama dengan pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya ada aplikasi Ternak Uang dan DigiSaham milik MCASH.

Rencana Emtrade

Didirikan tahun 2019 lalu, sejak dua tahun terakhir perusahaan mencatat telah mengalami peningkatan pengguna. Tercatat saat ini ada sekitar puluhan ribu pengguna aktif di Emtrade. Selain menghadirkan referensi saham pada platform secara transparan dan pengguna dapat melihat hasil studi kasus referensi, baik untung maupun rugi, saat ini Emtrade juga sedang bertransformasi dari aplikasi berbasis edutech menjadi platform fintech robo-advisory.

Setelah sebelumnya telah meluncurkan konten premium sejak tahun 2019, kini Emtrade juga telah meluncurkan konten bebas biaya untuk pengguna. Baru diluncurkan dua bulan lalu, diharapkan konten ini bisa dinikmati oleh mereka yang tertarik belajar lebih banyak tentang saham.

Sementara untuk layanan virtual trading yang rencananya akan meluncur akhir bulan Juni, saat ini masih dalam persiapan. Demikian juga dengan fitur online trading yang memungkinkan pengguna bertransaksi saham di aplikasi. Disinggung siapa mitra Emtrade untuk layanan tersebut, Ellen enggan menjelaskan lebih lanjut karena alasan regulatory.

“Emtrade akan terus berkembang menjadi personalized investment platform yang membuat investasi menjadi mudah dan menyenangkan,” tutup Ellen.

Application Information Will Show Up Here

Mahakarya Artha Sekuritas Segera Rilis Stockbit Sebagai Aplikasi Trading Saham Untuk Nasabah [UPDATE]

Perusahaan sekuritas lokal Mahakarya Artha Sekuritas mengumumkan akan merilis aplikasi trading saham Stockbit untuk para penggunanya. Aplikasi Stockbit sedang dipersiapkan untuk memakai brand baru Stockbit by Mahakarya Artha Sekuritas yang akan dirilis dalam satu bulan mendatang.

Sebelumnya, fitur trading saham di Stockbit sempat terhenti karena karena kongsi perusahaan dengan Sinarmas Sekuritas telah berakhir per 6 Agustus 2021.

Direktur Mahakarya Artha Sekuritas Megawati Seowardi mengatakan, Stockbit sebagai aplikasi trading saham akan memberikan manfaat positif kepada para nasabah Mahakarya serta para investor saham di Indonesia.

Dia melanjutkan, para investor yang telah berinvestasi bersama Mahakarya Artha Sekuritas dan para pengguna Stockbit dapat membangun portofolio investasi mereka dengan menggunakan aplikasi Stockbit. Sementara itu, para investor baru juga dapat berinvestasi saham dengan menggunakan Stockbit.

“Visi kami untuk Stockbit adalah untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia melalui investasi di pasar modal. Dengan aplikasi Stockbit, pembukaan Rekening Dana Nasabah, transaksi jual-beli saham, dan pengelolaan dana dapat dilakukan 100% secara online dengan teknologi yang modern dan terpercaya. Selain itu, diskusi mengenai saham dapat dilakukan secara interaktif dari dan oleh investor. Pada akhirnya, para investor akan kian diuntungkan,” ucap dia dalam keterangan resmi, Kamis (26/8).

Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir turut memberikan pernyataannya. Dia mengapresiasi langkah yang diambil Mahakarya Artha Sekuritas karena ini semakin memudahkan masyarakat dalam memahami dan berinvestasi saham. “Semoga langkah ini dapat mendukung Bursa Efek Indonesia dalam menjadikan investasi di pasar modal lebih inklusif,” kata Pandu.

AC Ventures merupakan salah satu investor di Stockbit. Mereka berpartisipasi saat putaran Seri A pada 2019 lalu.

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial, Megawati tidak menjelaskan lebih jauh apakah di balik kemitraan ini terjadi aksi korporasi antara akuisisi Mahakarya terhadap Stockbit atau sebaliknya, termasuk perubahan direksi dan sebagainya. Ia hanya menjelaskan bahwa saat ini perusahaan sedang fokus untuk memastikan berjalannya aplikasi Stockbit by Mahakarya Artha Sekuritas.

“Kami tengah meng-update para pengguna dengan informasi tentang bagaimana mereka bisa membuka rekening saham dan bertransaksi. Juga, tengah menyiapkan aplikasi Stockbit by Mahakarya Artha Sekuritas di Appstore dan Playstore untuk menjamin kelancaran dan kenyamanan pengguna dalam membuka rekening saham dan bertransaksi serta memastikan aplikasi Stockbit by Mahakarya Artha Sekuritas tunduk pada regulasi yang berlaku,” kata dia.

Investasi saham melalui aplikasi Stockbit menawarkan beberapa fitur unggulan, di antaranya dapat menggunakan semua fitur yang ada pada aplikasi Stockbit secara gratis, dapat dilakukan tanpa deposit minimal serta pembukaan Rekening Dana Nasabah yang 100% online dan hanya membutuhkan satu hari kerja.

Sebelumnya, Stockbit bekerja sama dengan Sinarmas Sekuritas sejak 2018. Pengguna Stockbit pun meroket hingga menjadi 980 ribu pengguna terdaftar per 5 Agustus 2021. Angka itu naik bila dibandingkan pada kuartal II 2021 sebanyak 817 ribu pengguna. Sebanyak 70% pengguna Stockbit datang dari kelompok usia 18-34 tahun.

Di kalangan startup, Stockbit bersaing ketat dengan Ajaib yang memiliki pengguna lebih dari 1 juta orang.

Di Indonesia baru 2% penduduk usia produktif yang berinvestasi di pasar modal. Di awal tahun 2016, jumlah investor saham tercatat sebanyak 434 ribu orang. Sementara di akhir Juli 2021, jumlahnya meningkat drastis menjadi 2,56 juta. Dari segi usia, Bursa Efek Indonesia mencatat per Mei 2021, sebanyak 77,9% dari total investor saham berusia 18-40 tahun.

Sumber: KSEI

“Menyikapi tren positif ini, kami berkomitmen untuk membuka akses dan memudahkan investasi di pasar modal, khususnya di kalangan investor pemula dan investor ritel. Kami meyakini bahwa setiap orang berhak atas masa depan yang lebih baik melalui investasi di pasar modal, yang dilakukan secara benar dan konsisten,” tutup Megawati.

*Kami melakukan perubahan judul

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures Scores 150 Billion Rupiah in the First Close of Sembrani Nusantara

BRI Ventures today (25/11) announced the first closing of the Sembrani Nusantara Venture Fund. The value that was successfully booked reached 150 billion Rupiah; reached half of the total funds targeted at its launch in June 2020. Apart from BRI as a general partner, several investors are involved in this funding including Celebes Capital, Grab Holding, Fazz Financial Group, Investree, and Pandu Sjahrir.

He said his investment thesis is “beyond fintech”, which is targeting business areas outside the financial technology sector – adjusting the pillars of the “EARTH” sector (education, agro-maritime, retail, transportation/logistics, health). Sembrani will also focus on empowering SMEs; which will have an impact on strengthening BRI as the largest microfinance institution in the world.

To date, there have been two startups that have listed on Sembrani’s portfolio, but it’s still undisclosed.

“We are very pleased with the positive response generated from the investors of the Sembrani Nusantara Venture Fund in this first funding period. All of these investors are those who have experience investing in start-up companies and those who believe in the digital ecosystem in Indonesia. They believe in our goal to build sustainable future and startup companies,” BRI Ventures’s CEO Nicko Widjaja said.

The Sembrani Nusantara Venture Fund is also registered and supervised by the OJK. A venture fund is an investment contract scheme between the PMV (Venture Capital Company) itself and a custodian bank, which was created by OJK so that the venture capital company industry will be more willing to invest in shares. So far, the majority of local PMVs have played in profit-sharing financing, which is not much different from what financing companies do.

Nicko said in an interview that the launch of Sembrani was aimed at building an ecosystem that had been dominated by foreign PMVs. In the past, he thought the local PMV was not ready, but now is the right moment to show off on the national and regional levels.

It is undeniable that so far venture capital has tended to choose to take shelter under the regulations of neighboring countries. The issue of high taxation in Indonesia is the main reason. Capital gain tax application for PMV reaches 25% of the increase in equity value, while for individual investors it is 30%. Meanwhile, the capital gains tax in Singapore is only 5%.

The majority of local PMVs that fund digital startups and are registered with the OJK are part of the bank’s subsidiaries, including Central Capital Ventura (CVC chose BCA), BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia, and OCBC NISP Ventura.

Sustainable startups through IPO

Sembrani is a term used by BRI Ventures to describe sustainable local startups post the unicorn era. Sembrani is also known as Batara Wisnu’s riding horse in the puppet stories – it is said to represent the unicorn with local wisdom.

One of the steps to realizing this vision is to ensure that all aspects of the investment cycle runs well, through an initial public offering (IPO) as a first step towards becoming more sustainable. This was carried out by signing an MoU between BRI Ventures and the Indonesia Stock Exchange on November 11, 2020, with the intention of helping more startups to IPO on local exchanges.

BRI Ventures hopes that through Sembrani, stakeholders will open discussions to explore new business models so that in the future investors can participate in building venture funds in Indonesia. The structure of Sembrani is a Joint Investment Contract (KIB) which is similar to a Collective Investment Contract (KIK) in mutual funds which are generally known and supervised by OJK.

“Given our goal of supporting the local digital ecosystem and building IPO-worthy startups, we realize that the Sembrani Nusantara Fund can play a more active role in the local funding landscape in the future and build a venture capital industry that is competitive with Singapore,” said Nicko.

The investor composition, most of whom come from Indonesia, is interpreted as a big step to bring the local startup ecosystem to be more competitive in the global arena. Nicko explained that each investor will have a big contribution to the realization of this vision.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Bukukan 150 Miliar Rupiah dalam Penutupan Pertama Sembrani Nusantara

BRI Ventures hari ini (25/11) mengumumkan penutupan pertama Dana Ventura Sembrani Nusantara. Nilai yang berhasil dibukukan mencapai 150 miliar Rupiah; capai setengah dari total dana yang ditargetkan saat peluncurannya Juni 2020 lalu. Selain BRI selaku general partner, beberapa investor tergabung dalam pendanaan ini termasuk Celebes Capital, Grab Holding, Fazz Financial Group, Investree, dan Pandu Sjahrir.

Dikatakan tesis investasinya “beyond fintech”, yakni menyasar area bisnis di luar sektor teknologi finansial – menyesuaikan pilar sektor “EARTH” (education, agro-maritim, retail, transportation/logistic, health). Sembrani juga akan fokus pada pemberdayaan UMKM; yang akan berdampak pada penguatan BRI sebagai lembaga keuangan mikro terbesar di dunia.

Sejauh ini sudah ada dua startup yang bergabung menjadi portofolio Sembrani, namun belum disebutkan namanya.

“Kami senang sekali dengan tanggapan positif yang dihasilkan dari para investor Dana Ventura Sembrani Nusantara pada periode pendanaan pertama ini. Seluruh investor ini merupakan mereka yang memiliki pengalaman berinvestasi di perusahaan rintisan dan mereka yang percaya terhadap ekosistem digital di Indonesia. Mereka percaya pada tujuan kami membangun banyak sembrani masa depan dan perusahaan rintisan yang berkelanjutan,” sambut CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Dana Ventura Sembrani Nusantara ini juga terdaftar dan diawasi oleh OJK. Dana ventura merupakan skema kontrak investasi antara PMV (Perusahaan Modal Ventura) itu sendiri dengan bank kustodian, yang dibuat OJK agar industri perusahaan modal ventura lebih berani untuk masuk ke penyertaan saham. Selama ini PMV  lokal mayoritas bermain di pembiayaan bagi hasil yang notabenenya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

Nicko dalam sebuah kesempatan wawancara berujar, peluncuran Sembrani salah satunya bertujuan untuk membangun ekosistem yang selama ini dikuasai PMV asing. Ia merasa, dulu PMV lokal memang belum siap, namun sekarang jadi momentum yang tepat untuk unjuk gigi di kancah nasional dan regional.

Tidak dimungkiri, sejauh ini venture capital memang cenderung memilih bernaung di bawah regulasi negara tetangga. Isu perpajakan yang tinggi di Indonesia jadi dalih utamanya. Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Sementara, pajak capital gain di Singapura hanya 5%.

Adapun mayoritas PMV lokal yang mendanai startup digital dan sudah terdaftar di OJK adalah bagian dari anak usaha bank, di antaranya Central Capital Ventura (CVC milih BCA), BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia, dan OCBC NISP Ventura.

Startup berkelanjutan lewat IPO

Sembrani adalah istilah yang dipakai BRI Ventures untuk menggambarkan startup lokal yang berkelanjutan setelah era unicorn. Sembrani juga diketahui sebagai kuda tunggangan Batara Wisnu di cerita pewayangan —  bisa dibilang merepresentasikan unicorn dengan kearifan lokal.

Salah satu langkah mewujudkan visi tersebut adalah memastikan semua aspek siklus investasi berjalan baik, lewat penawaran umum perdana (IPO) sebagai langkah awal untuk menjadi semakin sustainable. Hal ini dilaksanakan dengan penandatanganan MoU antara BRI Ventures dan Bursa Efek Indonesia pada 11 November 2020 yang lalu, dengan maksud membantu lebih banyak startup untuk IPO di bursa lokal.

BRI Ventures berharap melalui Sembrani, para stakeholders akan membuka diskusi untuk menjajaki model bisnis yang baru agar ke depan investor dapat berpartisipasi membangun dana ventura di Indonesia. Struktur dari Sembrani adalah Kontrak investasi Bersama (KIB) yang mirip dengan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam reksa dana yang sudah dikenal secara umum dan diawasi oleh OJK.

“Mengingat tujuan bersama kami adalah mendukung ekosistem digital lokal dan membangun Perusahaan rintisan yang layak IPO, kami menyadari bahwa Dana Sembrani Nusantara dapat berperan lebih aktif dalam lanskap pendanaan lokal di masa depan dan membangun industri modal ventura yang bersaing dengan Singapura,” ujar Nicko.

Komposisi investor yang sebagian besar berasal dari Indonesia dimaknai sebagai langkah besar membawa ekosistem startup lokal lebih kompetitif di kancah global. Nicko menerangkan, masing-masing investor akan memiliki sumbangsih besar pada realisasi visi tersebut.

Layanan Marketplace C2C Garap “Fulfillment”, Jadi Investasi Masa Depan

McKinsey & Co memperkirakan nilai pasar e-commerce di Indonesia dapat mencapai $65 miliar (sekitar Rp910 triliun) pada 2022 atau naik delapan kali lipat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar $8 miliar (sekitar Rp112 triliun). Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Berdasarkan klasifikasinya, Consumer-to-Consumer (C2C) dan Business-to-Consumer (B2C) menjadi model bisnis yang banyak diadopsi oleh pelaku e-commerce Indonesia. Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee adalah contoh pelaku C2C yang menjadi platform pihak ketiga bagi transaksi yang dilakukan langsung antara pembeli dan penjual.

Sementara B2C memiliki model bisnis yang berbeda dengan C2C. Di sini, pemilik bisnis memanfaatkan platform untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen akhir. Adapun, model ini diadopsi oleh sejumlah marketplace, yaitu Blibli, Lazada, dan JD ID.

Dalam satu dekade terakhir ini, ekosistem e-commerce di Indonesia semakin kuat. Masyarakat dapat menikmati beragam pilihan barang, metode pembayaran, hingga jasa pengiriman. Kendati begitu, ekspektasi masyarakat terhadap belanja online juga juga semakin meningkat.

Ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman

Salah satunya adalah ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman barang. Co-founder Paxel Zaldy Masita menilai konsumen rela merogoh kocek lebih agar pesanannya cepat sampai. Bahkan ia meyakini bahwa memang ada segmen pasar yang sebetulnya menginginkan kecepatan pengiriman.

Menurut riset Paxel Buy & Send Insights di 2019, sebanyak 36 persen dari total 535 responden penjual UMKM menyebutkan kecepatan pengiriman barang lebih penting ketimbang ongkos kirim murah. Sementara, sebanyak 97 persen penjual online mengalami peningkatan volume pengiriman barang dagangan setelah menyediakan jasa same day delivery.

Kemunculan layanan GoSend dan Grab Express juga dapat dikatakan sebagai pemicu booming-nya layanan logistik on-demand Indonesia. Kehadiran jasa logistik last mile di Indonesia dianggap sangat membantu mengakomodasi segmen pasar ini sekaligus menjawab tantangan logistik di negara kepulauan.

“Ada tiga pilar utama dalam industri e-commerce, yakni ICT, payment, dan logistik. Sekarang penetrasi smartphone semakin tinggi dan paket data semakin murah. Dengan tren ini, mau tak mau logistik juga harus berinovasi. Kami sadar bahwa instan itu mahal karena pasar logistik regular sudah terlalu banyak pemain,” ujar Zaldy di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

Beberapa layanan marketplace bahkan sampai menggunakan jasa logistik sendiri untuk mencapai kecepatan pengiriman yang diinginkan. Shopee Express, misalnya, merupakan layanan logistik terintegrasi milik Shopee. Bahkan tren ini melahirkan banyak startup logistik last mile, seperti Paxel dan Help.

Menurut catatannya, pertumbuhan industri logistik di Indonesia selama satu dekade terakhir naik di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar 10 persen per tahun, terutama logistik last mile yang tumbuh 30 persen per tahun.

Layanan terpadu lewat fulfillment

Beranjak dari paparan di atas, masalah logistik tak hanya memunculkan startup baru di bidang logistik, tetapi juga peluang bisnis baru bagi marketplace C2C.  Persaingan industri e-commerce semakin ketat. Dengan strategi bakar uang yang masih terus berlanjut, pelaku C2C terus mencari cara menciptakan revenue stream baru.

Manuvernya adalah masuk ke bisnis fulfillment untuk menjadi platform-as-a-service (PaaS) dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Dalam kurun satu tahun, semua marketplace C2C di Indonesia resmi menjajal peruntungan baru di bisnis fulfillment

Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang pada pertengahan 2019. Tokopedia menggaet menunjuk PT Bintang Digital Internasional (Haistar) dan Titipaja (unit bisnis terbaru layanan logistik last mile Anteraja) sebagai mitra penyedia jasa fulfillment.

Langkah ini diikuti Bukalapak melalui layanan BukaGudang. Dalam keterangannya kepada DailySocial, BukaGudang belum diperkenalkan secara resmi, tetapi sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible.

Terakhir adalah Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Kepada DailySocial, VP Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada meyakini bahwa strategi ini dapat memperkuat komitmen perusahaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kolaborasi dengan penyedia jasa fulfillment menjadi strategi marketplace untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi.

Kurnia menyebut bahwa layanan BukaGudang saat ini masih dalam tahap Proof of Concept (POC). Kami terus terus berupaya mendorong jumlah pelapak yang menggunakan BukaGudang,” ungkapnya dihubungi DailySocial beberapa waktu lalu.

Belum banyak data yang bisa dibagikan, namun Kurnia menyebutkan transaksi dari pelapak yang menggunakan BukaGudang lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi biasa. Adapun, pengguna BukaGudang saat ini berasal dari kategori bisnis elektronik, bahan makanan, dan industri kecantikan.

Sementara menurut External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya, jasa fulfillment justru mempermudah penjual untuk mengelola bisnisnya, mulai dari pengiriman stok produk hingga perencanaan penjualan ke depan. Hal ini karena platform mencatat seluruh riwayat penjualan dari berbagai gudang.

“Kehadiran TokoCabang menjawab tantangan logistik kepulauan dengan membantu pelaku usaha di Indonesia, baik penjual nasional maupun berskala lokal dari berbagai sektor. Pelaku usaha juga mau tak mau mengakselerasi platform digital,” ungkapnya kepada DailySocial.

Ekhel menyebutkan kunci bisnis ini dapat bergantung pada ketersediaan gudang. Opsinya bisa dengan membangun gudang sendiri atau berkolaborasi dengan pihak ketiga dengan mitra logistik last mile dan yang sudah memiliki jaringan gudang tersebar di Indonesia. Tak heran, di tahap awal cakupan layanan fulfillment ini baru bisa dinikmati di sejumlah wilayah.

Saat ini TokoCabang sudah tersedia di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Palembang. BukaGudang sendiri baru tersedia untuk kawasan Jabodetabek.

“Kami akan terus ekspansi ke seluruh Indonesia sehingga masyarakat bisa mendapatkan barang dari lokasi terdekat dengan ongkos kirim yang lebih murah,” ujar Ekhel.

Dihubungi secara terpisah, Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menilai bahwa fenomena marketplace C2C di fulfillment menandakan langkah tersebut sebagai sebuah “investasi masa depan” untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis mereka. “Dengan masuk ke sini, mereka dapat menjaga kualitas para seller,” tuturnya.

Menurut Pandu, pelaku C2C berupaya membentuk value chain tersentralisasi. Dengan teknologi, mereka dapat mengoptimalkan permintaan pesanan di seluruh Indonesia. Nilai plusnya adalah pelaku C2C dapat menempatkan gudang-gudang mereka di daerah yang tren permintaannya besar.

“Mereka menjadi semacam demand lab, mereka paling tahu. Justru ini sangat penting karena mereka bisa memperikan permintaan satu minggu ke depan dan seterusnya. Ini menjadi investasi tambahan karena mereka sudah demand per wilayah, tidak perlu riset dulu di daerah mana, baru bangun gudang,” ujarnya.

Mengakomodasi lonjakan transaksi selama pandemi

Di sisi lain, situasi pandemi menjadi semacam test case bagi pelaku C2C yang masuk ke bisnis fulfillment untuk mengakomodasi lonjakan transaksi belanja online. Menurut Ekhel, pandemi telah mengubah perilaku konsumen dari offline ke online, terutama pesanan yang sifatnya kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, pandemi juga mendorong peningkatan penjual baru di platformnya. Per Agustus 2020, terdapat lebih dari 9 juta penjual di Tokopedia yang hampir 100 persen merupakan UMKM, bahkan dapat dikatakan 94 persen adalah penjual ultra mikro. Dari Januari sampai Agustus 2020, terdapat penambahan 2 juta penjual karena pandemi.

Riset terbaru iPrice dan Parcel Monitor mengungkap bagaimana pandemi berdampak pada waktu pengiriman barang di Asia Tenggara. Indonesia menempati posisi kedua dengan pengiriman menjadi lebih lama 30 persen atau 3 hari dibandingkan periode sebelum pandemi yang rerata 2,3 hari.

Zaldy menilai bahwa pandemi menjadi momentum bagi kelahiran layanan logistik baru yang diharapkan tidak hanya datang dari layanan logistik last mile. Bisa berupa layanan tracking atau warehouse.

“Masuk ke B2C dan C2C tidak mudah. Dulu hanya Grab Gojek aja. Situasi ini justru memunculkan pemain baru, seperti Paxel. Buat kami ini memang agak telat masuknya karena butuh resource besar. Tapi ini menjadi peluang besar bagi kemunculan startup logistik di berbagai macam vertikal,” jelasnya.

AC Ventures Secured 823 Billion Rupiah Fund, Targeting 30 Early-Stage Startups in Indonesia

AC Ventures (ACV) today (12/10) announced the first close of ACV III Capital L.P. worth of $56 million or the equivalent of 823 billion Rupiah. It is said to be invested in 30 potential startups over the next three years. ACV III is targeted to reach $80 million or the equivalent of 1.1 trillion Rupiah for early-stage startup investment in Indonesia.

ACV is particularly interested to explore investment opportunities in startups in the fields of e-commerce, fintech, supporting SMEs, and digital media. Some of their previous portfolios include Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, and Soul Parking.

“Our fund LPs include leading digital and strategic corporates, local Indonesian conglomerates, as well as technology entrepreneurs who have scaled billion-dollar businesses,” the Managing Partner, Adrian Li said.

ACV is a partnership venture capital firm, consisting of 3 partners, 6 professional investors, and supporting teams. Prior to becoming ACV, Convergence Ventures and Agaeti Ventures managed funds through CVI (’15) and AVI (’18) with respective returns of 31% and 48%.

Investment in time of the pandemic

Indonesia’s digital economy is growing at an unprecedented rate in 2020 due to the “disruption” of the Covid-19 pandemic. Next, many venture capitalists have to revisit the condition of the ecosystem. Regarding this, the ACV team told DailySocial that they had witnessed several interesting trends developing in all startup portfolios. This certainly raises enthusiasm to continue investing in sectors in the investment thesis.

“[Due to Covid-19] We don’t have a stringent criterion, as for every company, business model, and sector, we need to have a different approach in doing the due diligence. We evaluate companies based on market potential, founders, and traction/proof of product-market fit perspective. However, we do want to see companies that can scale but also have a path to positive unit economics,” Adrian added.

As conditions vary, including demographics, ACV is quite confident that the startup ecosystem in Indonesia will be quite promising. The market will continue to accelerate in adopting technology support. For this reason, it is an opportunity for digital startups to become a billion-dollar company, especially in critical sectors such as fintech, logistics, also education, health, agriculture, and SME support.

“We look for founders that demonstrate resilience and willingness to adapt the businesses in the face of adversity. As for competition, it is not unusual to see many players in a particular space, since it just reaffirms the opportunity of the sector. The markets we invest in tend to be large enough to accommodate a few players. It’s not always a winner takes all outcome. We are confident that our founders have incredible potential to succeed in their respective sectors,” Adrian added.

Besides Adrian Li, as the founder partner of ACV, there are Michael Soerijadji and Pandu Sjahrir who represent Indies Capital. It is said that ACV’s ambition is to take advantage of the founders’ industry insights, provide support, and a global network to empower founders to build businesses that are able to democratize various fields in Indonesia and Southeast Asia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Bukukan Dana Kelolaan 823 Miliar, Targetkan 30 Startup Tahap Awal di Indonesia

AC Ventures (ACV) hari ini (12/10) secara resmi mengumumkan penutupan pertama ACV III Capital L.P. Di penutupan pertama, dana senilai $56 juta atau setara 823 miliar Rupiah berhasil dikumpulkan dan akan diinvestasikan ke 30 startup potensial selama tiga tahun ke depan. ACV III ditargetkan mencapai $80 juta atau setara 1,1 triliun Rupiah untuk investasi startup tahap awal di Indonesia.

Secara khusus ACV berminat mencari peluang investasi di startup bidang e-commerce, fintech, pendukung UKM, dan media digital. Beberapa portofolio mereka sebelumnya termasuk Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, dan Soul Parking.

“LP dana kami mencakup perusahaan digital dan strategis terkemuka, konglomerat lokal Indonesia, dan wirausahawan teknologi yang telah mengembangkan bisnis miliaran dolar,” ujar Managing Partner Adrian Li.

ACV adalah perusahaan modal ventura kemitraan, terdiri dari 3 mitra, 6 investor profesional, dan tim pendukung. Sebelum menjadi satu dalam ACV, Convergence Ventures dan Agaeti Ventures telah mengelola dana melalui CVI (’15) dan AVI (’18) dengan tingkat pengembalian masing-masing 31% dan 48%.

Investasi di masa pandemi

Ekonomi digital Indonesia tumbuh pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2020 ini akibat “gangguan” pandemi Covid-19. Kemudian, banyak pemodal ventura harus melihat ulang kondisi ekosistem. Terkait hal itu, kepada DailySocial tim ACV mengatakan, pihaknya menyaksikan beberapa tren menarik yang berkembang di seluruh startup portofolio. Hal itu tentu memunculkan semangat tersendiri untuk terus berinvestasi pada sektor-sektor yang dalam tesis investasinya.

“[Karena Covid-19] kami tidak mengetatkan kriteria investasi, karena untuk setiap perusahaan, model bisnis, dan sektor kami memerlukan pendekatan berbeda dalam melakukan due diligence. Kami mengevaluasi perusahaan berdasarkan potensi pasar, pendiri, dan daya tarik/pembuktian product-market fit. Kami tidak hanya ingin melihat perusahaan yang dapat melakukan skalabilitas, tapi juga memiliki jalur menuju unit ekonomi yang positif,” ujar Adrian menambahkan.

Melihat berbagai kondisi, termasuk demografi, ACV cukup yakin bahwa ekosistem startup di Indonesia akan menjanjikan. Pasar akan terus melakukan percepatan dalam mengadopsi dukungan teknologi. Untuk itu, menjadi peluang tersendiri bagi startup digital untuk bisa menjadi perusahaan miliaran dolar, khususnya di sektor-sektor kritis seperti fintech, logistik dan tidak menutup kemungkinan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pendukung UKM.

“Kami mencari pendiri yang menunjukkan ketangguhan dan kemauan untuk menyesuaikan bisnis dalam menghadapi kesulitan. Mengenai persaingan, tidak jarang melihat banyak pemain di ruang tertentu, karena itu menegaskan kembali peluang sektor tersebut. Pasar tempat kami berinvestasi cenderung cukup besar untuk menampung beberapa pemain. Tidak selalu pemenang mengambil semua hasil. Kami yakin para pendiri kami memiliki potensi luar biasa untuk sukses di bidangnya masing-masing,” imbuh Adrian.

Selain Adrian Li, selaku founder partner ACV terdapat Michael Soerijadji dan Pandu Sjahrir yang mewakili Indies Capital. Dikatakan ambisi ACV adalah memanfaatkan wawasan industri pada pendiri, memberikan dukungan dan jaringan global untuk memberdayakan para founder dalam membangun bisnis yang mampu mendemokratisasi berbagai bidang di Indonesia dan Asia Tenggara.

Pandu Sjahrir Mengungkap Impian Besarnya untuk Industri Startup Nusantara

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pandu Sjahrir menjadi sorotan dalam industri teknologi. Dari Ketua SEA Group Indonesia, Anggota Dewan Gojek, dan yang terbaru ditunjuk menjadi Komisaris BEI termuda.

Dimulai dari hobi yang produktif, investasi kini menjadi bisnis utamanya sebagai profesional juga sebagai salah satu investor terkemuka di Asia Tenggara untuk perusahaan tahap awal dan yang mulai berkembang. Pandu juga menjabat sebagai Managing Partner of Indies Capital yang mengelola Indies Special Opportunities Fund, manajer aset alternatif terkemuka di kawasan ini, serta Indies Pelago, secondary fund teknologi di Asia Tenggara. Dan yang belum lama ini diperkenalkan, adalah entitas baru bernama AC Ventures.

Dengan pola pikir ekonomi yang mengalir dalam gen-nya, Pandu Sjahrir berhasil bertahan melalui perjuangan finansial dan mengakui tidak takut akan kegagalan. Selama ia masih memiliki keluarga yang luar biasa mendukung serta tim yang solid di sisinya. Ia memiliki impian yang cukup besar untuk industri teknologi Indonesia, dan inilah skenarionya.

Sebagai seorang investor yang fokus pada perusahaan berkembang, bagaimana Anda melihat lanskap industri investasi di Indonesia di masa pandemi COVID-19 ini?

Dunia sebelum pandemi COVID adalah dunia yang berbeda dari yang ada saat ini, teknologi telah berkembang jauh lebih besar dari sekadar bisnis. Setiap paruh, perkembangannya semakin pesat karena banyaknya adopsi. Dalam hal belanja, bermain game, bahkan sekarang bekerja dan belajar online. Orang-orang beradaptasi dengan dunia baru ini menggunakan platform teknologi untuk terhubung satu sama lain.

Hal ini turut mengubah cara kita memandang investasi. Mulai dari bisnis yang dapat mengambil manfaat dari cara baru berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, kehidupan terus berjalan dan masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi cara untuk memenuhi hal-hal tersebut telah berubah. Kita harus berpikiran terbuka menghadapi dunia baru setelah pandemi COVID-19 ini, bagaimana fase baru ini akan berjalan.

Hal lain yang juga layak dibahas adalah peran deglobalisasi. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan AS tidak serta merta terjadi di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan Cina. Kita telah melihat lebih banyak solusi lokal untuk masalah sehari-hari, tidak melulu tentang solusi global. Hal-hal baik yang terjadi dalam 30 tahun terakhir dari “globalisasi” ini adalah peningkatan aset manusia serta kasta negara, negara-negara berkembang semakin bergerak menjadi negara-negara yang lebih maju.

Menurut Anda, bagaimana posisi Indonesia dalam skema deglobalisasi ini?

Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Ketika globalisasi membentuk perkembangan ekonomi begitu juga di negara besar lainnya, dengan perusahaan bernilai miliaran dolar yang sekarang ada dalam portofolio ekonomi kita, pada akhirnya kita harus bisa menemukan solusi lokal.

Jika ini benar menjadi sebuah tesis, tentu saja, akan memakan waktu. Dalam hal logistik saja, kita tidak bisa lepas dari rantai pasok global karena masih bergantung pada negara lain untuk mengembangkan suatu produk. Bayangkan jika faktanya ada banyak negara yang menerapkan deglobalisasi. Karena itu, muncul satu alasan lagi untuk lebih mendalami penilaian risiko.

Satu hal menarik, jaman dulu ada defisit kepercayaan yang besar pada perusahaan baru di Indonesia. Generasi kita sebelum ini mungkin belum bisa berpikiran digital, tetapi generasi saat ini benar-benar mengadopsi dan mampu memberikan kepercayaan. Tidak hanya untuk perusahaan besar berumur lebih dari 20 tahun yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga milik negara, tetapi juga untuk perusahaan baru yang dirintis 10 tahun terakhir.

Bayangkan apa saja yang bisa dilakukan oleh semua perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir dan juga perilaku generasi muda yang mau mencoba. Saat ini, semuanya jelas sangat berdampak. Kepercayaan itu dibangun tidak dengan waktu singkat.

Anda pertama kali dikenal sebagai pimpinan Toba Bara Sejahtera, juga mengepalai asosiasi terkait. Namun, beberapa tahun terakhir, Anda terlihat aktif dalam industri teknologi dalam negeri. Apa yang mendorong Anda untuk masuk ke dalam industri digital?

Ketika saya akhirnya kembali ke Jakarta untuk meneruskan bisnis keluarga di sektor energi, keluarga saya belum memiliki mindset digital. Karena itu, pada awalnya saya sendiri. Sebagai karyawan pertama di Toba, saya memberi nama Toba Bara dan membawanya public pada tahun 2012.

Sejujurnya, saya mulai berinvestasi dalam teknologi pada tahun 2013-2014, tanpa sorotan. Saat itu, tidak ada yang tahu nama perusahaan kami, mulai dari Garena lalu menjadi SEA, tetapi kemudian Shopee lahir sebagai perusahaan yang mereka rintis. Saya telah berinvestasi selama 7 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang tahu sampai beberapa tahun terakhir karena meningkatnya popularitas perusahaan.

Selama itu, saya bertemu banyak teman investor, juga mempelajari berbagai hal seiring perjalanan. Semua dana yang keluar adalah dari kantong saya sendiri sampai sekitar tahun 2017, saya bergabung dengan Indies Capital, manajer aset alternatif terkemuka yang berfokus pada industri di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dan belum lama ini, ada entitas baru juga di AC Ventures. Sebenarnya itu berawal dari hobi produktif yang berkembang menjadi bisnis utama. Sekarang, orang mengenal saya sebagai investor di tahap awal serta beberapa hal lainnya.

Anda baru saja dilantik sebagai salah satu komisaris BEI, boleh share sedikit mengenai rencana ke depan untuk mendorong industri teknologi Indonesia menjadi lebih baik?

Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI
Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI

Tujuannya adalah untuk melangkah lebih jauh dalam 10-12 tahun ke depan. Faktanya, sepuluh perusahaan teratas Amerika adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia, daftar ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perbankan dan telekomunikasi – persis seperti 10 tahun yang lalu. Adalah tugas kami untuk menangkap nilai ekonomi dari semua perusahaan teknologi ini untuk sampai ke sana. Saya menyebutnya outlier, perusahaan luar biasa yang berkembang sangat cepat, bisa melihat Indonesia, terdaftar, dan menjadikan kita sebagai tujuan utama.

Selanjutnya, untuk menyeriusi pasar modal dan memberikan tempat investasi yang aman dan andal menuju masa depan yang lebih baik. Selalu ada satu atau dua masalah dalam hal ini, intinya berkaitan dengan institusi saat ini. Kita harus proaktif dalam hal mengelola setiap masalah. Kita harus bisa mengatakan, “Kami terbuka bagi setiap investor, tidak terkeciuali investor minoritas, dan kami dapat membuat perusahaan besar terdaftar di Indonesia.” Mengikuti tujuan utama untuk menjadi lima ekonomi teratas di dunia pada tahun 2025, industri pasar modal kita juga harus ada di sana.

Berada pada posisi Anda saat ini, apakah ada kendala untuk berpacu dengan geliat industri yang cenderung cepat? Adakah kisah atau pengalaman sulit selama berkecimpung dalam industri?

Ada sebuah masa kelam, dimana saya sempat mengalami kehilangan anggota keluarga juga penyusutan secara finansial. Lalu saya banyak berinvestasi, namun mengalami beberapa kegagalan. Sepanjang jalan, saya belajar bagaimana mengelola risiko dengan lebih baik dan belajar lebih banyak dalam hal ini. Namun, saya lega mengetahui fakta bahwa hal ini tidak mungkin lebih buruk daripada masa kelam itu. Selama itu tidak melumpuhkan saya, secara finansial, semua akan baik-baik saja. Saya belajar banyak tentang karakter manusia dengan cara ini. Pada akhirnya, saya berinvestasi dalam prinsip, karakter, dan model bisnis.

Kegagalan tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana Anda berdiri lagi adalah yang terpenting. Ini sebuah ungkapan klasik, tetapi terbukti. Saya sangat senang memiliki keluarga yang luar biasa, istri yang sangat mendukung juga aktif dalam membangun bisnisnya, dan seorang putri yang cantik. Dalam hal pekerjaan, kami telah membentuk sebuah tim yang solid.

Sejujurnya, situasi Covid-19 seharusnya bisa menjadi alasan saya untuk kecewa, sebaliknya, saya merasa sehat dan bersyukur secara pribadi. Meskipun, seluruh ketidakpastian ini menciptakan efek finansial dimana saya beserta kebanyakan orang tidak dapat menyangkal. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa hal ini layaknya krisis lain yang harus Anda lalui sebelum mulai beradaptasi.

Apa atau siapa yang sudah berjasa dalam kesuksesan serta berbagai pencapaian Anda? Adakah sosok yang menjadi inspirasi atau support system di balik kerja keras selama ini?

Dalam hal teladan, ayah saya adalah nomor satu. Dia adalah seorang yang idealis, dengan cara berpikir beliau yang memiliki efek tersendiri bagi saya. Selain itu, ibu saya juga sosok yang memiliki pendirian kuat, sama seperti paman saya yang sekarang menjabat sebagai salah satu menteri Indonesia. Belian adalah salah satu yang mendorong saya untuk kembali ke Indonesia dan membantu saya memahami negara ini lebih baik melalui sudut pandangnya.

Ada satu kisah yang menarik, ketika orang tua saya mengatakan, “Kami tidak punya warisan apapun untuk kamu selain pendidikan dan etos kerja”. Seketika, rasa takut akan hidup tanpa memiliki apapun menghantam saya dan mendorong saya untuk mulai bekerja sejak dini. Jika saya tidak akan mewarisi kekayaan materi, saya harus bisa mendapatkannya sendiri. Hal ini menjadi awal dari hobi investasi saya. Selain itu, keluarga akan selalu menjadi support system nomor satu saya.

Dari sisi pendidikan, apakah menurut Anda latar belakang studi di luar negeri menjadi sebuah privilege dalam membangun mindset?

Memiliki kedua orang tua yang hanya peduli tentang pendidikan menciptakan perasaan yang campur aduk. Mereka benar-benar prihatin dengan cara saya belajar sehingga mengirim saya ke luar negeri demi memberikan pendidikan terbaik. Saat itu, adalah di Amerika. Saya belajar ekonomi di Chicago, kemudian pergi ke Standford untuk sekolah bisnis. Saya bertemu banyak perusahaan berbasis teknologi juga banyak teman.

Untungnya, tinggal di luar negeri membentuk rasa disiplin saya, dengan biaya tinggi dan segala permasalahannya. Kembali ke Jakarta, menjadi masa-masa sulit bagi yang memiliki mindset New Yorker seperti saya. Selama dua hingga tiga tahun pertama, Indonesia sangat sulit. Namun, dari usaha menjadi pendengar yang baik juga lancar berkomunikasi, saya belajar secara progresif untuk membuat keputusan yang lebih baik. Saya mendapat pelajaran dengan tinggal di luar negeri, tetapi kembali ke Indonesia adalah berkah lain.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Pernahkan Anda membayangkan menjadi seorang Founder? Melihat banyaknya VC di Indonesia yang dibentuk oleh ex-Founder atau mereka yang bekerja di perusahaan teknologi.

Saya belum berpikir sejauh itu. Saya tidak pernah menempatkan diri saya atau berfikir bahwa akan menjadi seperti itu. Bahkan, saya sudah merasaa bersyukur dengan kesempatan untuk berbincang seperti ini. Saya belum merasa pantas untuk disebut expert dalam marketing. Pola pikir saya selalu tentang berinvestasi dulu. Saya masih harus banyak belajar.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Pandu Sjahrir Reveals His Dream Scenario in Indonesia’s Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

In the past few years, Pandu Sjahrir has captured spotlights all over the tech industry. From the Chairman of SEA Group Indonesia, Board Member of Gojek, and the latest one is appointed to be the youngest IDX’s Commissioners.

Starting off with a productive hobby of investing, he currently has a full-time business as a professional and one of Southeast Asia’s leading investors in the seed and early growth stages. He is also the Managing Partner of Indies Capital, which controls Indies Special Opportunities Fund, the leading alternative asset manager in the region, and Indies Pelago, a secondary tech fund in Southeast Asia. And most recent, is the new entity called AC Ventures.

With the economic-mindset runs in his genes, Pandu Sjahrir managed to survive through a financial struggle and admit to not afraid of failure. As long as he has a very supportive family and a strong team on his side. He has quite a big dream for Indonesia’s tech industry, and here’s the scenario.

As an active investor with a focus on the growth companies, how do you see the current investment landscape in Indonesia during COVID-19 pandemic?

Pre-COVID is a different world than today, technology has become a much bigger part of the business. Every quarter, the number increases very strongly because of the adoption. In terms of shopping, playing games, even now working and studying online. People are adapting to this new world using technology platforms to connect to each other. That also changes the way we should look at investing. Starting from businesses that can benefit from this new way of relating, communication, or interacting. In fact, life goes on and people still have to do their daily needs, but the way to deliver has changed. We have to be very open-minded about the new COVID-19 world, on how should we look at the new world stage.

Another thing worth mentioning is the role of deglobalization. What happens in the US companies doesn’t t necessarily translate into happening in Indonesia. The same thing applies to China companies. We’re seeing more local solutions to everyday problems, not necessarily a global solution. What’s good about what has happened within the last 30 years of this “globalization” has been the improvement of human capital as well as tier countries, developing countries turning into more developed countries.

Where do you think Indonesia will be in this deglobalization era?

Indonesia will be Indonesia. As globalization shaped our economic development as well as other large countries, with billion-dollar companies that now exist in our economic portfolios, we will eventually find local solutions. If that makes it a thesis, obviously, it’ll take time. In terms of logistics, our world is actually a global supply chain as we still rely on other countries to develop a product. Imagine if it’s true a lot of countries to become deglobalized. Indeed, it’s another reason to do the risk assessment.

Interestingly, there used to be a big trust deficit in new companies in Indonesia. Our previous generation might not be as digital-minded, but today generation actually adopts and capable of giving trust. Not only for those over-20 year big companies run by the government or state-own institutions but also for the past 10 year companies. Imagine the fact of all these tech companies have done in the last decade and also the behavior of the younger generation willing to give a try. Nowadays, that’s obviously quite prevailing. It takes time to build trust.

You’re first known as the Executive of Toba Bara Sejahtera, also head of the related association. However, in the past few years, you’ve seen quite active in the Indonesian tech sector. What triggers you to chip in the digital industry?

When I finally moved back to Jakarta for the family business in the energy sector, my family was barely into digital. Therefore, it was basically just me. I was the first employee at Toba, built the name Toba Bara and took it public in 2012.

In fact, I started investing in technology in 2013-2014, but quietly. Back then, nobody even knows the name of the companies, starting from Garena turn into SEA, but then Shopee was the company that they built. I’ve been doing it for the last 7 years, but nobody knows until the last couple of years due to the company’s increasing popularity.

During this time, I met fellow investors, also learned this and that along the way. It was practically my own capital until around 2017, I joined Indies Capital, a leading alternative asset manager focusing on Southeast Asia, especially Indonesia. And recently, the new entity called AC Ventures. It was actually just a productive hobby that turned into a full-time business. Now, people know me as an investor, early-stage to many different things.

You’re recently appointed as IDX commissioner, what kind of plans do you have in mind to drive the Indonesian tech business to a better future?

Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration
Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration

The aim goes further in 10-12 years ahead. In fact, America’s top ten companies are technology companies. In Indonesia, it is still being dominated by banking and telco companies –exactly how it was 10 years ago. It is our job to capture the economic value of all these technology companies to get there. I’d like to call them outliers, amazing companies growing really fast, to look at Indonesia, to be listed, and set us as the main destination.

Next, deepening the capital market and providing a safe and reliable investment towards a better future. There’s always this kind or two issues, essentially with today’s institutions.  We have to be proactive in terms of managing that issue. We have to be able to say, “We are investor-friendly, especially minority investors, and we’re able to have great companies listed in Indonesia.” Following our goal to be the top five economies in the world by 2025, our capital market has to be there as well.

At your current position(s), have you had any difficulty to cope up with the fast-moving industry? Would you share some stories, bad decisions, rough season, or any kind of hardships?

It was one of my darkest, after experiencing the loss of a family member also down in financial. I invested a lot, I failed a bit. Along the way, I learn how to manage risk better and more to this lesson. However, I was glad to know the fact that it couldn’t be more at a bottom than that. As long as it doesn’t kill me, financially, I’m okay. I learned a lot about people that way. In the end, I invest in principles, character, and business models.

Failure is inevitable, but how you stand up again is what matters. It’s classic, but it’s true. I’m so glad to have a great family, a supportive wife who also very active in building her business, and a lovely daughter. In terms of work, we’ve turned into a strong team.

To be honest, the Covid-19 situation should’ve let me down, instead, I feel personally healthy and thankful. Although, the whole uncertainty creates such a financial effect that I and most other people can’t deny. I always taught myself that this is just like the other crisis where you have to go through before you start to adapt.

On what or who can you attribute the current success or achievement? Do you have any figure, or role model, that keeps your dream high, or the kind of support system that stops you from giving up?

When it comes to role models, my father is one. He was an idealist, somehow it’s really got to me how he used to think. Also, my mother is also a very strong-minded person, as well as my uncle who is now served as one of the Indonesian ministers. He also the one who encouraged me to moved back to Indonesia and helped me understand this country better through his point of view.

Interesting story, it started off when my parents told me “We have no legacy for you other than education and work ethic”. Instantly, the fear of having nothing to live off hits me and that encouraged me to start working early. If I won’t be inherited anything material, I better make my own. This is also the beginning of my investing hobby. Otherwise, the family will always be my number one support system.

In terms of educational background, do you think it’s a privilege to be able to study abroad and learn about other country’s mindset?

Having both parents who only cared about education is quite a mixed feeling. They’re really concerned about the way I put up with mine that they sent me abroad to provide the best-guaranteed education. Back then it was in the US. I studied economics in Chicago and later went to Standford for business school. I met a bunch of tech-based companies and lots of friends.

Fortunately, living abroad gives me a sense of discipline due to the high-cost and everything in between. Moving back to Jakarta, it was very hard for a New Yorker-minded person like me. For the first two to three years, Indonesia was very difficult. However, from listening well and communicating well, I’m learning progressively to make better decisions. I have my lessons by living abroad, but moving back to Indonesia is another blessing.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Have you ever picture yourself as a tech founder? Given the circumstances of most VCs in Indonesia also created by ex-Founders or formerly working at tech companies.

I haven’t thought that far. I’ve never put myself or thought of myself that way. It’s simply a blessing the fact that I mattered enough to have this conversation. I don’t think I’m quite enough to be said an expert in marketing. My mindset is always been about investing first. I still have a lot to learn.