Asosiasi Fintech Desak OJK Keluarkan “Surat Pernyataan Telah Mendaftar”

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri fintech, khususnya usaha p2p lending. Tiga bulan sejak dikeluarkannya POJK Nomor 77/2016 belum ada perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan fintech yang mendapat izin usaha dari OJK.

Hingga Maret 2017, baru tercatat 27 perusahaan fintech dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya baru menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Belum adanya respon dari OJK menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.

Berdasarkan salah satu poin POJK Nomor 77/2016, disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan setelah POJK diberlakukan, perusahaan diwajibkan mengajukan pendaftaran dengan syarat memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar untuk perusahaan fintech yang sudah berbentuk PT atau koperasi.

Setelah itu, modal disetor dinaikkan jadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan saat perusahaan telah mengantongi surat pernyataan telah mendaftar maksimal satu tahun setelah penyelenggara terdaftar di OJK.

“OJK memberikan batas waktu enam bulan sejak dikeluarkannya POJK No.77/2016 bagi perusahaan P2P lending untuk melakukan pendaftaran. Pelaku usaha tinggal memiliki waktu sebentar lagi untuk memenuhi aturan ini. Untuk itu diharapkan OJK bisa segera memberi kejelasan terkait aturan ini,” ucap Direktur Eksekutif Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Suleiman, Rabu (22/3).

Ketidakjelasan ini berdampak pada kinerja perusahaan. Pasalnya, membuat gerak bisnis perusahaan fintech p2p lending jadi sedikit terbatas ketika ingin ekspansi ke luar Jakarta. Contohnya, terjadi dalam rencana ekspansi yang ingin dilakukan Investree ke Jawa Tengah.

CEO Investree Adrian A Gunadi mengatakan karena perusahaan belum mengantongi surat keterangan telah mendaftar, membuat pihaknya harus mengundur rencana ekspansinya tersebut.

“Saat kami ingin ekspansi ke Jawa Tengah, kami melakukan koordinasi dengan OJK setempat. Namun rupanya koordinasi belum dengan OJK pusat belum selesai, akhirnya Investree harus hold rencana ekspansi sampai ada arahan yang jelas. Kami sebenarnya bisa saja ekspansi, namun spirit awalnya adalah comply dengan regulasi,” terang Adrian yang juga merupakan Wakil Ketua AFTECH Indonesia.

Solusi yang ditawarkan AFTECH Indonesia kepada OJK terkait hal ini adalah menerbitkan Surat Edaran OJK (SE OJK) untuk memperjelas alur pendaftaran dan perizinan.

Ajisatria menegaskan bahwa pelaku usaha p2p lending memiliki komitmen yang penuh untuk mematuhi peraturan dari OJK, termasuk mematuhi iuran tahunan sebagaimana yang berlaku di sektor jasa keuangan lainnya.

Secara industri, Adrian diperkirakan total outstanding dari seluruh pemain bisnis p2p lending dari 2016 hingga Maret 2017 kisaran Rp300 miliar. Sementara itu, secara year-to-date (ytd) dari Januari-Maret 2017 sekitar Rp100 miliar. Adrian menargetkan sepanjang tahun ini, total pinjaman yang disalurkan dapat mencapai kisaran Rp400 miliar.

Go-Jek, Grab, dan Uber Paparkan Tiga Poin Keberatan Soal Revisi PM Nomor 32/2016

Sebagai jawaban dari keputusan pemerintah untuk melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 32/2016, ketiga perusahaan transportasi berbasis aplikasi Go-Jek, Grab, dan Uber meresponnya dengan memberikan sikap keberatan dan meminta untuk menangguhkan penerapan aturan dengan masa tenggang sembilan bulan sejak diterapkan pada 1 April 2017.

Ketiga pihak sepakat untuk menuangkan sikapnya tersebut ke dalam sebuah surat pernyataan bersama yang telah ditandatangani pada hari ini, Jumat (17/3). Dalam surat tersebut, tertera tanda tangan dari Andre Soelistyo (President Go-Jek), Ridzki Kramadibrata (Managing Director Grab), dan Mike Brown (Regional General Manager APAC Uber) yang ditujukan untuk Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Dalam konferensi pers yang digelar Grab, Ridzki mengungkapkan pada dasarnya ketiga perusahaan menyambut baik revisi PM Nomor 32/2016. Meskipun demikian, mereka menilai ada tiga poin yang dinilai berpotensi tidak berpihak pada kepentingan konsumen, masyarakat, dan ratusan ribu mitra pengemudi.

“Revisi mestinya mengakomodasi layanan yang inovatif, namun poin-poin perubahan yang diumumkan sangat bernuansa proteksionis dan membuka jalan untuk membawa seluruh industri transportasi kembali ke cara-cara lama yang sudah ketinggalan zaman. Kita semua sebagai bagian dari masyarakat akan sangat dirugikan dalam jangka panjang,” ucapnya, Jumat (17/3).

Ridzki melanjutkan, “Kami memohon pemerintah untuk menunda revisi dan melihat lebih bijak lagi implikasi dari aturan tersebut. Guna memastikan proses transisi yang baik dan lancar, kami meminta masa tenggang sembilan bulan sejak revisi efektif diberlakukan.”

Adapun tiga poin yang dititikberatkan oleh ketiga perusahaan tersebut. Pertama, mengenai penerapan tarif atas dan tarif bawah. Mereka percaya bahwa mekanisme penerapan tarif yang fleksibel dan berdasarkan pada kebutuhan pasar adalah pendekatan yang paling efisien.

Poin kedua, terkait kuota kendaraan. Mereka khawatir atas usulan penetapan kuota kendaraan untuk transportasi publik yang akan berdampak pada terbatasnya akses masyarakat dalam menikmati layanan seperti Grab.

“Kami percaya bahwa kuota jumlah kendaraan, baik pengguna aplikasi mobilitas maupun konvensional tidak perlu dibatasi karena berpotensi menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif. Kami percaya jumlah kendaraan baik yang memanfaatkan aplikasi maupun konvensional akan ditentukan oleh permintaan dan kebutuhan konsumen.”

Poin terakhir, terkait kewajiban kendaraan terdaftar atas nama badan hukum/koperasi. Poin ini menjadi kekhawatiran terbesar dari ketiga perusahaan. Mereka menolak sepenuhnya karena kewajiban ini mengharuskan mitra pengemudi untuk mengalihkan kepemilikan kendaraan kepada badan hukum.

Hal ini dinilai sama saja dengan merampas hasil kerja keras mitra pengemudi yang memiliki mobil sendiri dengan cara mencicil dan menyerahkan asetnya tersebut kepada pihak koperasi.

“Kami sangat keberatan terkait poin terakhir karena hampir 80% mitra pengemudi Grab mencicil mobilnya sendiri. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip koperasi itu sendiri dan prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan.”

Poin dukungan

Selain tiga poin keberatan di atas, ketiga perusahaan sebenarnya menyepakati rencana peraturan tanda uji berkala kendaraan bermotor (KIR) dengan pemberian pelat berembos. Hal ini dinilai upaya yang baik untuk memastikan kenyamanan mitra pengemudi dan konsumen saat berkendara.

Hanya saja, mereka meminta pemerintah untuk memberikan dukungan berupa penyediaan fasilitas uji KIR yang dapat mengakomodir para mitra pengemudi. Mulai dari penyediaan antrean khusus bagi para mitra pengemudi untuk memudahkan dan mempercepat proses pengurusan uji KIR dan fasilitas uji KIR bekerja sama dengan Agen Pemegang Merek (APM) atau pihak swasta.

“Ada catatan untuk fasilitas uji KIR dari sisi pemerintah harus jelas. Sejauh ini, pemerintah daerah yang sudah jelas untuk proses KIR baru DKI Jakarta. Di luar itu, masih banyak pertanyaan bagaimana prosesnya dan biayanya juga bervariasi.”

Ketiga perusahaan juga sepakat untuk bersedia membuka akses dashboard yang bisa diakses oleh pemerintah untuk memantau operasional pelayanan angkutan dalam pengawasan dan pembinaan operasional. Ridzki bilang mengenai poin ini ketiga perusahaan memiliki prasangka yang baik kepada pemerintah untuk pelaksanaannya karena tujuannya baik.

Poin lainnya mengenai penggunaan kendaraan roda empat dengan kapasitas silinder mesin minimal 1.000 cc. Menurutnya, pemberlakuan ini dapat membuat semakin terbukanya peluang untuk mitra pengemudi yang ingin bergabung.

Pemerintah Siapkan Regulasi tentang Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Kreatif

Pemerintah saat ini sedang membahas regulasi yang akan menggantikan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, terhitung sudah resmi tidak berlaku lagi sejak 2015. Draft regulasi sudah jadi dan pembahasan antar kementerian dan lembaga (KL) masih terus bergulir.

Rencananya Bekraf dan kementerian terkait akan membentuk kelompok kerja untuk membahas lebih lanjut sebelum diresmikan Presiden. Regulasi tersebut dikatakan sudah lewat tahap pembahasan di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Targetnya akan segera terbit pada tahun ini.

Sebelumnya, Inpres ini disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pada saat itu) dengan menugaskan Kementerian Perdagangan yang dipimpin Mari Elka Pangestu sebagai koordinator pengembangan ekonomi kreatif antar KL terkait.

Inpres memuat kebijakan pengembangan 14 sub sektor industri kreatif sepanjang tahun 2009 sampai 2015. Terdapat 28 KL yang diinstruksikan terlibat dalam ekonomi kreatif, mulai dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, hingga level Gubernur, Bupati/Walikota.

Namun ketika Mari Elka pindah tugas menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011, Inpres tersebut belum mengalami perbaharuan sama sekali hingga akhirnya kadaluarsa di 2015. Inpres tidak lagi aktif sampai pemerintah membentuk Bekraf melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 6 Tahun 2015.

“Kami sedang mengusahakan aturan ini terbit lagi, supaya tidak jalan sendiri-sendiri. Aturan ini akan jadi instruksi presiden tentang strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif, di dalamnya akan berisi detil tentang pokok tugas KL sebab banyak sekali persimpangan di ekonomi kreatif,” terang Wakil Kepala Bekraf Ricky J Pesik, Kamis (2/3).

Nantinya, dalam aturan terbaru akan menentukan kementerian yang bakal ditunjuk untuk pengembangan salah satu sektor ekonomi kreatif, membantu Bekraf sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas mendorong pengembangan 16 sektor ekonomi kreatif Indonesia. Tujuannya agar tidak saling tumpang tindih dan menciptakan efisiensi.

Ricky memastikan ketika regulasi ini diresmikan hal pertama kali yang akan dilakukan Bekraf adalah melakukan komunikasi antar KL untuk penyelarasan program. Lagipula, Bekraf membutuhkan payung hukum yang lebih kuat agar dapat berkoordinasi dengan antar KL. Pasalnya, dalam beberapa kementerian memiliki aturan tersendiri untuk ekonomi kreatif.

Ricky mencontohkan Bekraf membutuhkan koordinasi dengan Kemendikbud untuk industri film dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait dicabutnya bioskop dari daftar negatif investasi (DNI).

“Kerja besarnya kita harus mapping semua kegiatan terkait ekonomi kreatif di seluruh KL, tujuannya supaya kelihatan ruang kerja dan kewenangan agar integrasi jadi lebih mudah dan tidak tumpang tindih.”

Terkait efisiensi anggaran, tahun ini pemerintah menganggarkan dana negara untuk Bekraf sebesar Rp902 miliar. Dana tersebut akan dibagi-bagi sesuai pokok permasalahan dalam ekonomi kreatif.

Ricky bilang fokus anggaran Bekraf pada tahun adalah perbaikan infrastruktur. Besaran dana yang disiapkan sebesar Rp180 miliar, sekitar 19,96% dari total anggaran. Salah satu proyek yang disiapkan Bekraf adalah dukungan pendirian creative hub di berbagai daerah. Sementara, sisa dana akan dipergunakan untuk pemasaran, pengembangan riset, dan lainnya.

Asosiasi Fintech Indonesia Desak Pembentukan Lembaga Pengawas P2P Lending

Asosiasi Fintech Indonesia mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera membentuk badan lembaga khusus yang mengawasi kegiatan layanan peminjaman uang bermedium digital (P2P Lending). Desakan tersebut sebagai langkah lebih lanjut setelah sebelumnya Desember lalu OJK telah merilis peraturan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), dan aturan turunan yang direncanakan rampung pada kuartal pertama tahun 2017 ini.

Menurut wakil ketua Asosiasi, Adrian Gunadi, pembentukan lembaga tersebut penting untuk memastikan jalannya usaha P2P Lending di Indonesia sesuai koridor. Saat ini jumlah pengusaha/startup yang terjun dalam segmen bisnis tersebut terpantau terus bertambah, sejalan dengan potensi yang masih sangat besar. Salah satu faktor yang membuatnya populer karena P2P Lending menawarkan fleksibilitas, pemberi pinjaman dan peminjam diberikan keleluasaan secara transparan dalam bernegosiasi.

[Baca Juga: Hal-hal Pendukung Transformasi Industri P2P Lending]

Sekurangnya –menurut catatan Asosiasi Fintech Indonesia—saat ini terdapat 157 startup di bidang P2P Lending yang beroperasi di Indonesia. Riset Statista menyebutkan nilainya tahun ini akan mencapai $18,64 miliar, dengan sektor pinjaman dan pembiayaan personal mendominasi sebesar 25 persen. Sementara data OJK menunjukkan bahwa masih terdapat 49 juta UMKM yang belum bankable di Indonesia, mereka membutuhkan akses terhadap pinjaman. Mereka adalah salah satu pangsa pasar yang sangat mungkin digarap pemain P2P Lending di Indonesia.

Permasalahan di Indonesia terkait pemerataan akses dan ketersediaan layanan pembiayaan masih cukup signifikan, 60 persen masih terkonsentrasi di Jawa. P2P Lending diharapkan dapat memutuskan gap tersebut, dengan medium digital yang memungkinkan untuk dapat diakses di mana saja, sesuai dengan tingkatan kebutuhan masyarakat.

“Upaya yang dilakukan oleh perusahaan P2P Lending di Indonesia dalam memberikan solusi cepat bagi konsumen akan maksimal bila diimbangi dengan syarat dan ketentuan dari regulator untuk memastikan ekosistem yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi untuk membina dan mengawasi industri ini sehingga P2P Lending di Indonesia dapat berkembang dengan baik,” ujar Ketua Bidang P2P Lending Asosiasi Fintech Reynold Wijaya.

[Baca Juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Secara umum Asosiasi Fintech menegaskan bahwa peran pemerintah sangat besar dalam memastikan perkembangan bisnis finansial berbasis teknologi. Perlu diregulasi dan diawasi secara serius karena sangat riskan. Dalam Asosiasi sendiri saat ini sudah tergabung 70 perusahaan di berbagai sektor, 18 di antaranya telah dan tengah bersiap memproses izin sesuai dengan regulasi yang telah diterbitkan.

OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang menggodok aturan baru untuk subsektor fintech lainnya. Setelah pada akhir tahun lalu menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis fintech peer to peer lending (P2P lending) yang bergerak di off balance sheet, kini OJK bakal menerbitkan aturan serupa untuk yang bergerak di on balance sheet.

Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, regulator mempertimbangkan penerbitan aturan ini bertujuan agar perusahaan fintech P2P lending yang bergerak di on balance sheet tidak bertabrakan dengan industri perbankan dan pembiayaan.

Pasalnya, ketiganya memiliki kemiripan bisnis dan tujuan yang sama yakni meningkatkan likuiditas di masyarakat, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Nantinya, dalam aturan tersebut akan mengatur ketentuan gearing ratio, syarat permodalan, model bisnis, dan lainnya.

Gearing ratio adalah jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri perusahaan. Aturan ini dipakai dalam industri pembiayaan dan diatur dalam PMK No.84/2006, ketentuannya gearing ratio dibatasi maksimal 10 kali.

Sebagai ilustrasi, perusahaan bermodal Rp 100 miliar dapat memperoleh pinjaman atau utang sebagai sumber pendanaan untuk menyalurkan pembiayaan maksimal 10 kali dari modal, yakni Rp1 triliun.

“Mereka itu [P2P lending on balance sheet] seperti multifinance dengan skala kecil. Nanti dalam aturannya, tidak akan kami buat seketat multifinance ataupun perbankan karena mereka itu bukan deposit taking (ambil dana dari masyarakat). Tapi harus tetap ada aturan gearing ratio-nya,” terang dia, Selasa (14/2).

Firdaus menganjurkan, sebelum aturan ini terbit, sebaiknya para perusahaan fintech P2P lending on balance sheet yang sudah beroperasi untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian demi perlindungan konsumen.

Tak hanya itu, regulator pun nantinya akan mengidentifikasi identitas perusahaan P2P lending itu sendiri, jangan sampai mereka bergerak di ranah deposit taking. Sebab, ranah tersebut hanya ada di perbankan saja.

“OJK akan diskusi lebih dalam berbicara dengan perbankan dan pembiayaan, mereka [P2P lending on balance sheet] itu sebenarnya ada di segmen mana. Jangan sampai ada segmentasi, sebab dikhawatirkan terjadi persaingan yang tidak sehat,” tambah Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly F. Pardede.

Dumoly memperkirakan agar perusahaan P2P lending on balance sheet tidak bertabrakan dengan perbankan ataupun pembiayaan, mereka harus bergerak ke segmen medium ke bawah sehingga batasan pinjamannya pun bakal dibatasi.

Sebagai gambaran, beberapa pemain P2P lending on balance sheet yang mulai dikenal masyarakat diantaranya adalah UangTeman. Perusahaan ini telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 35 miliar pada tahun lalu. Tahun ini UangTeman menargetkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 100 miliar, caranya dengan ekspansi ke daerah baru, misalnya Bali.

Ada 600 layanan fintech beroperasi di seluruh Indonesia

OJK mencatat sampai saat ini terdapat 600 perusahaan fintech (dalam artian luas) yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 157 perusahaan yang melaporkan kegiatannya ke OJK. Dari 157 perusahaan, diperkirakan hanya 120 perusahaan fintech yang lolos sesuai dengan persyaratan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

“Dari jumlah tersebut, baru 157 fintech yang mendaftar ke OJK. Mereka belum diberikan pengesahan izin pendaftaran karena kami masih identifikasi mana yang masuk POJK Nomor 77 mana yang tidak,” kata Dumoly.

Dumoly bilang, proses klasifikasi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Dari proses tersebut, diketahui hampir separuh dari pemegang saham perusahaan fintech dikuasai oleh pemilik asing.

Padahal, dalam POJK Nomor 77, aturan kepemilikan saham asing hanya boleh menguasai maksimal 85%. Menanggapi hal tersebut, menurut Domoly, nantinya regulator akan memberi waktu selama satu tahun untuk memenuhi sesuai ketentuan.

POJK Fintech Lending Terbit, OJK Persiapkan 14 Surat Edaran

Penghujung tahun 2016 lalu, OJK diam-diam menerbitkan Peraturan OJK (POJK) nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Beleid ini ditandatangani Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad pada 28 Desember 2016.

Secara isi, tidak begitu banyak perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan isi draft yang sebelumnya diumumkan OJK. Misalnya, dalam Pasal 3 pihak asing dapat bertindak sebagai penyelenggara jasa fintech lending berbentuk warga negara asing dan/atau badan hukum asing maksimal 85%.

[Baca juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Pasal 4 penyelenggara harus berbentuk PT atau koperasi dengan modal disetor saat pendaftaran sebesar Rp 1 miliar, kemudian saat mengajukan izin lisensi harus memenuhi nominalnya jadi Rp 2,5 miliar.

Kemudian di pasal 24 penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman dan penerima pinjaman harus melakukan pelunasan pembayaran melalui escrow account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.

Beleid ini juga mengatur penetapan besaran tingkat bunga pinjaman. Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional (Pasal 17).

Kemudian di pasal 19 ayat (5c), disebutkan besaran bunga pinjaman sebelumnya sudah harus disepakati antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman.

Yang terbaru, misalnya OJK menetapkan penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman sebesar Rp 2 miliar (Pasal 6). Akan tetapi, OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total tersebut.

OJK siap menerbitkan 14 surat edaran

Dalam beleid ini, tepatnya di Pasal 51 disebutkan bahwa ada sekitar 14 aturan turunan yang berbentuk surat edaran (SE) yang bakal diterbitkan OJK pasca POJK ini diresmikan. Mulai dari perubahan batas maksimum total pemberian pinjaman dana, tata cara pemberian pinjaman, kerja sama antara penyelenggara dengan penyelenggara layanan pendukung lainnya berbasis teknologi informasi, hingga tata cara penggunaan tanda tangan elektronik.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan diskusi mengenai SE tersebut akan dimulai secara internal OJK mulai bulan Januari ini. Bisa jadi, OJK akan mengeluarkan 14 SE tersebut secara sekaligus atau satu SE bisa mencakup 14 aturan tersebut.

“SE langsung dibuat serempak, ada sekitar 14 SE. Itu mudah membuatnya, sebab prinsip utama sudah diatur di POJK Fintech Lending. Mulai bulan ini [Januari] pembicaraan akan didiskusikan dalam internal OJK,” ucapnya saat dihubungi DailySocial, Selasa (3/1).

Pemerintah Terbitkan Surat Edaran Atur Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform E-Commerce dan Merchant

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Komunikasi dan Informatika menutup tahun 2016 dengan mengeluarkan surat edaran mengenai aturan untuk penyelenggara e-commerce, baik penyedia platform e-commerce yang bersifat user generated content (UGC) maupun pedagang (merchant).

Aturan yang disebut juga dengan Safe Harbor Policy tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2016 Tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Elektronik Commerce) Yang Berbentuk User Generated Content.

Surat edaran ini berusaha memberikan rasa aman dan memberikan jaminan bagi pengguna e-commerce (UGC). Surat edaran ini secara spesifik mengatur kewajiban dan tanggung jawab penyedia platform e-commerce dan merchant dalam mengunggah konten dagangan produk atau jasa mereka.

“SE (surat edaran) ini kita keluarkan sesuai permintaan dari pemain e-commerce pasca keluarnya Peta Jalan e-commerce beberapa waktu lalu. SE ini baru permulaan, nanti safe harbor akan mencakup yang lebih generalis hingga berlaku juga bagi pemain User Generated Content (UGC) lainnya seperti Facebook, Twitter, bahkan Penyedia Jasa Internet,” ungkap Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan.

Batasan dan tanggung jawab

Dalam surat edaran ini ada beberapa jenis barang atau jasa yang dilarang diunggah dalam platform e-commerce UGC, di antaranya konten negatif (pornografi, perjudian, kekerasan, dan konten barang atau jasa) dan barang atau jasa yang tidak memiliki perizinan untuk diperdagangkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Surat edaran ini juga mengatur tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh penyedia platform dan merchant, meliputi penyediaan syarat dan ketentuan pengguna platform UGC dan sarana pelaporan; mekanisme penghapusan dan pemblokiran terhadap konten yang dilarang untuk penyedia platform. Dan kewajiban menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak dan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan dan tidak melanggar perundang-undangan untuk merchant.

Dengan aturan ini diharapkan ekosistem perdagangan e-commerce menjadi lebih “bersih” dan bisa dipertanggungjawabkan sehingga pengguna bisa mendapatkan barang terbaik dan terjamin. Penyedia layanan e-commerce dan merchant sama-sama diberi tanggung jawab untuk menjaga barang atau jasa yang ditawarkan agar tidak menyalahi perundang-undangan.

Info lengkap tentang Surat Edaran ini bisa diakses di sini.

Catatan Menjelang Akhir Tahun 2016, Dinamika Lanskap Startup Indonesia

Startup Indonesia kini bukan lagi berada di tahap awal, berbagai komponen pendukungnya sudah mulai berbenah dan mapan. Tak sedikit pula memandang startup digital di Indonesia menjadi prospek industri yang menjanjikan untuk masa depan. Tak heran jika para perusahaan (baik yang bergerak memberikan investasi ataupun malah turut terjun) membidik visi besar pola bisnis startup digital.

Di Indonesia sendiri tren startup sudah jauh berubah jika dibandingkan dengan awal industri ini berkembang, misal jika dibandingkan dengan apa yang terjadi tahun 2010 ke bawah. Kala itu bisnis digital masih berproses secara konvensional, karena memang belum banyak menemukan konsep dan tatanan yang pas. Beda halnya dengan saat ini, semua berlomba menyajikan pemecahan masalah dengan pendekatan digital yang dikonversi menjadi proses bisnis startup.

Membicarakan seputar landskap startup Indonesia, setiap tahunnya ada berbagai hal unik, terkait dengan berbagai hal, baik itu berkaitan dengan tren, persaingan, bisnis hingga regulasi. Kami mencoba memetakan beberapa hal yang terjadi di tahun 2016 dalam dinamika lanskap startup Indonesia.

Dinamika bisnis e-commerce

Digadang-gadang menjadi yang paling menjanjikan, dengan dalih populasi konsumen prospektif yang sangat besar di Indonesia, secara kasat mata pun mudah dianalisis bahwa bisnis e-commerce menjadi yang paling pesat di kategori startup Indonesia. Dinamika bisnis e-commerce sendiri diwarnai dengan banyak hal, mulai dari makin terbukanya persaingan pemain asing, pemain lokal yang digadang-gadang menjadi unicorn, model bisnis baru hingga kembang kempis layanan e-commerce bertahan di tengah pertempuran.

Penetapan regulasi turut menjadi bagian dari hiruk-pikuk konsep jualan online di Indonesia. Dinilai penting, karena bisnis e-commerce telah melibatkan banyak entitas dan memiliki perputaran uang yang besar di konsumen Indonesia. Sehingga pemerintah merasa perlu untuk memastikan adanya keseimbangan antara bisnis dan kemaslahatan bangsa.

Tahun ini, ketika membicarakan e-commerce sudah bukan lagi mengabarkan layanan baru yang muncul. Semua pandangan tertuju kepada bagaimana strategi bisnis e-commerce berperang di tengah banyaknya pemain sama kuat yang ada, baik dari lokal ataupun asing. Tren ini mengindikasikan bahwa tahun depan industri ini tetap akan menjadi perhatian banyak pihak, namun tak menutup kemungkinan adanya suksesi yang akan diusung.

Dinamika layanan on-demand, Go-Jek pecahkan telur unicorn pertama

Sempat menjadi “isu nasional” saat pemain transportasi konvensional mulai agresif memprotes pergerakan layanan transportasi online, kini perseteruan tersebut tampak lengang. Berbagai kolaborasi justru dijalin, bahkan pemain konvensional berniat mulai berbenah mengikuti transformasi teknologi yang ada saat ini. Kabar istimewa justru hadir dari startup “karya anak bangsa”, telur unicorn berhasil dipecahkan pasca putaran pendanaan yang membawa Go-Jek pada valuasi $1,2 miliar.

Dinamika layanan on-demand tak beda dengan bisnis e-commerce, sekarang perbincangan terkait layanan transportasi berbasis aplikasi tak sekedar bagaimana mereka menggantikan cara manual, melainkan strategi antar bisnis yang berkembang. Go-Jek, Grab dan Uber menjadi yang paling dominan di pasar, kini semua berbincang pada bagaimana layanan tersebut berekspansi dan menyusun pola bisnis menciptakan kultur baru dalam masyarakat. Terakhir layanan on-demand banyak disandingkan dengan transformasi digital payment.

Dinamika startup dalam roda bisnis

Layaknya perusahaan besar, startup kini mulai menerapkan sistem bisnis yang lebih terstruktur. Hal ini disebabkan oleh perubahan pasar yang dinamis, berdampak pada gerak cepat bisnis startup untuk berkembang. Salah satu tantangannya adalah bagaimana bisnis menyediakan sumber daya yang mampu membantu bisnis bermanuver. Salah satu yang banyak menjadi perhatian terkait dengan kebutuhan tersebut adalah mulai maraknya tren akuisisi talenta antar startup. Sempat memanas namun justru menjadi sebuah budaya yang wajar di tengah bisnis tersebut.

Model pivot atau pencaplokan usaha juga menjadi salah satu strategi bisnis yang berkembang. Beberapa mengubah bisnisnya lantaran mulai menemukan jati diri, misalnya di awal mencoba fokus pada B2C namun ternyata pasar di sana kurang menjamu, sehingga mengubah visi untuk merangkul kalangan B2B. Di sisi pandangan bisnis, startup di Indonesia juga sudah mulai open-minded, tidak lagi terlalu silicon valley-centric. Karena mulai disadari, bahwa pergerakan berbeda perlu dilakukan menyesuaikan dengan pasar yang ada di hadapannya.

Dinamika bisnis tak berhenti pada uji coba model baru. Perbincangan naik turunnya startup dari tangga puncak juga turut mewarnai pemberitaan startup di tahun 2016. Layoff puluhan hingga ratusan karyawan salah satunya, yang menyeret beberapa nama startup unggulan di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran kompetisi yang semakin sengit di masing-masing kategori startup.

Masih sangat dinamis polanya jika membicarakan proses bisnis yang diadopsi startup di Indonesia. Hanya saja arahnya sama, menjadi besar memenuhi permintaan dari potensi konsumen digital yang besar di pasar lokal.

Dinamika teknologi dan perkembangan startup

Namanya startup digital, kurang lengkap jika tidak berbicara tentang bagaimana teknologi yang menjadi DNA startup tersebut berkembang. Jika berbicara tentang tren, kemajuan yang ada di dunia nyatanya bisa diadopsi baik oleh talenta dalam negeri. Sebut saja revolusi baru layanan chatbot, atau chat commerce yang mulai digemari karena memudahkan pengguna dalam bernavigasi belanja. Semua ingin menyajikan layanan berplatform sistem cerdas.

Perbincangan tentang Machine Learning, Natural Language Processing dan Artificial Intelligence sudah masuk di tataran implementasi, bukan lagi teori. Pun demikian dengan perangkat, model Augmented Reallity atau Virtual Reallity juga bakal dikonsepkan ke dalam bentuk bisnis. Semua berjalan begitu mulus. Menariknya konsumen juga mampu beradaptasi dengan baik dengan semua perkembangan tersebut, perkembangan yang sangat cepat.

Dinamika penumbuhan startup lokal

Berpegang dari visi Presiden, untuk mendayakan Indonesia menjadi pemimpin digital Asia Tenggara pada tahun 2020, berbagai elemen berlomba-lomba mencetuskan gerakan yang melahirkan digital-preneur di Indonesia. Secara khusus lembaga setingkat kementerian BEKRAF juga mulai serius untuk membangun ekosistem startup di Indonesia. Di lain sisi, Kemenkominfo juga menjadi regulator yang merasa perlu untuk menjadi bagian dalam penumbuhan tersebut, dengan gerakan 1000 startup salah satunya.

Menjadi pemandangan positif saat mulai banyak pihak yang berlomba-lomba untuk menjadi bagian dalam transformasi digital tanah air. Selain inkubator dan akselerator yang sudah mulai meluas, ada satu tren terbangun di tahun ini yakni hackathon teknologi. Semua mulai sadar betul tentang visi digital. Perusahaan di berbagai bidang, instansi, hingga komponen militer mulai mengarah ke sana, melibatkan inovator digital lokal untuk melakukan elaborasi.

Keterlibatan para pelaku startup pun juga sangat luar biasa. Contoh realistis dengan visi yang jelas dipaparkan untuk menginspirasi muda-mudi di Indonesia untuk tidak melewatkan kesempatan berharga berkarya dalam lanskap digital nasional.

Dinamika regulasi

Pesatnya kemajuan bisnis digital memaksa pemerintah turut mengambil bagian. Regulasi baru bermunculan, mengatur bisnis yang sedang berkembang. Mulai dari e-commerce, teknologi finansial, hingga on-demand mulai memiliki aturan yang spesifik. Tidak hanya mengatur tentang unsur bisnis dalam kaitannya dengan regulasi, seperti perpajakan, namun sudah mulai mengarah sampai kepada sendi bisnis. Misalnya melibatkan OJK dalam pengaturan konsep digital payment dan sebagainya.

Semua dinamika yang ada di atas adalah sebuah keniscayaan, yang membawa startup Indonesia melangkah maju mendominasi permainan di negeri sendiri. Dinamika ini masih akan terus berlanjut, tak ada pengharapan lain selain perkembangan bisnis digital nasional itu sendiri. Saat semua sudah tertuju pada visi yang jelas, maka sudah selayaknya berbagai komponen yang ada di dalamnya bersatu padu, membawa mimpi Indonesia sebagai negara maju. Digitalisasi menjadi kunci, saat cara lama tak lagi bernyali.

Membedah Inovasi Pemberdayaan dan Aturan Drone di Indonesia

Dinamika perkembangan teknologi memaksa berbagai pihak gesit untuk menyiasatinya, tak terkecuali unsur di pemerintahan sebagai penyusun regulasi. Salah satu yang sedang masuk di dapur regulator saat ini ialah aturan terkait penggunaan pesawat tanpa awak, atau dikenal dengan istilah drone. Saat ini pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat untuk saling isi melengkapi kebijakan tersebut.

Sebelumnya di era Menteri Ignasius Jonan, pada 12 Mei 2015 lalu, pemerintah secara resmi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak. Dalam aturan tersebut tertulis beberapa poin di antaranya drone yang digunakan untuk kepentingan pemotretan, film dan pemetaan harus melampirkan surat izin dari institusi yang berwenang dan pemerintah daerah yang wilayahnya akan dipotret, difilmkan atau dipetakan.

Aturan tersebut dianggap krusial, karena terkait masalah privasi ruang dan frekuensi. Di aturan lama tersebut, pro kontra muncul. Beberapa penggiat drone khususnya untuk kalangan media massa merasa keberatan. Saat ini pemanfaatan drone banyak digunakan untuk menggambarkan situasi terkini dari tampilan udara, misalnya untuk menginfokan daerah terdampak bencana, kemacetan lalu lintas dan sebagainya. Poin aturan tersebut di atas dinilai membatasi ruang gerah pada kebutuhan “positif” tersebut.

Selain poin tadi, pada peraturan Kemenhub juga dijelaskan bahwa drone diperbolehkan mengudara pada uncontrolled airspace di bawah 500 kaki atau 150 meter. Drone diperbolehkan mengudara 500 meter dari batas terluar restricted/prohibited area. Jika melenggang di atas itu, harus ada izin dari Dishub udara selambat-lambatnya 14 hari sebelum penerbangan. Sementara penggunaan untuk aplikasi spesifik, seperti pertanian atau perkebunan harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman.

Kolaborasi antar kementerian dibutuhkan, karena drone bukan hanya menyangkut pesawat udara

Pada akhirnya bulan November 2016 ini dalam sebuah forum diskusi, Kemenkominfo melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) mulai mencetuskan aturan dan standardisasi pemanfaatan drone dalam kaitannya dengan penggunaan spektrum frekuensi radio (dalam hal ini memang menjadi kebijakan Kemenkominfo untuk mengaturnya). Menanggapi rancangan ini Kemenhub menanggapi baik terkait aturan tersebut dan siap berkolaborasi menyusunnya.

Sebelumnya Kemenhub juga telah berkoordinasi dengan satuan pengaman udara di tubuh TNI. Pihak TNI diberikan mandat untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 47 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Menteri 180 tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Aturan tersebut menekankan bahwa pihak Kemenhub atau TNI berhak untuk menjatuhkan drone yang dinilai membahayakan saat diterbangkan.

Tak hanya di Indonesia, pengetatan aturan drone ini juga telah diterbitkan di negara seperti Amerika Serikat, Swedia juga Kanada.

Sejauh mana pemanfaatan drone untuk Inovasi di Indonesia

Mampu menggambarkan situasi daratan melalui pencitraan di udara, drone saat ini telah masuk ke dalam implementasi di luar militer. Pemanfaatan drone di awal kemunculannya memang banyak diterapkan untuk keperluan perangkat militer, mulai dari sistem pengintai hingga persenjataan perang. Seiring dengan hadirnya produk drone yang terjangkau, inovasinya pun turut terdongkrak, tak terkecuali oleh insan kreatif di Indonesia.

Beberapa peneliti di Indonesia mulai memanfaatkan drone untuk kebutuhan di bidang pertanian. Peneliti di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memanfaatkan drone untuk memetakan lahan dan penyebaran bibit di medan yang sulit terjangkau. Pesawat tanpa awak itu diberi nama Farm Mapper masih dalam tahap pengembangan, kisarannya mencapai Rp 700 juta jika diproduksi. Tak hanya itu, Lembaga Antariksa Nasional (LAPAN) juga tengah mengembangkan LAPAN LSU (LAPAN Surveillance UAV), beberapa universitas seperti UGM, ITB dan ITS juga memiliki produk pengembangan serupa.

Di sektor riil lain, untuk menanggulangi bencana di daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak yang ahli dalam pemanfaatan drone. Digunakan untuk menjangkau dan memetakan daerah terdampak bencana yang sulit diterjang oleh transportasi darat. Menurut Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Tri Budiarto pemanfaatan drone di sini menjadi kebutuhan krusial, karena bencana bisa terjadi kapan saja, dan membutuhkan analisis dan perancangan cepat untuk strategi penanganannya. Drone bekerja baik di sini.

Drone dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, salah satunya di bidang pertanian dan penanganan bencana / Pixabay
Drone dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, salah satunya di bidang pertanian dan penanganan bencana / Pixabay

Terakhir inovasi terkait drone yang sedang ramai dibincangkan di mana-mana ialah inisiatif komunitas Menembus Langit. Sekelompok pemuda yang bertekad membawa sebuah pesawat nirawak ke stratosfer untuk memetakan beragam citra daratan di Indonesia.

Urgensi pengaturan operasional drone tanpa membatasi inovasi

Pemanfaatan drone di Indonesia memang masih sangat terfragmentasi. Ada yang memanfaatkan untuk hiburan semata, untuk produksi film, untuk riset, hingga untuk kebutuhan penanganan bencana. Hal tersebut memungkinkan hadirnya beragam celah yang mengancam berbagai hal, mungkin dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, sehingga memungkinkan mengancam privasi hingga keamanan nasional. Dari situ aturan yang mengayomi penting untuk dibuat, yang mampu memberikan perlindungan tanpa membatasi inovasi yang sedang mulai digencarkan.

Pembatasan memang diperlukan, karena ruang udara juga menyangkut tentang keselamatan lalu lintas udara. Pelanggarannya pun harus ditindak tegas. Awareness pemerintah untuk segera menerbitkan aturan yang pas adalah upaya yang sangat baik. Mengingat pemanfaatan drone masih bisa dikondisikan. Jangan sampai belum ada regulasi yang mendampingi ketika pemanfaatan peralatan tersebut menghadirkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Di sisi lain usulan aturan juga harus melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan terkait dengan pemanfaatan drone untuk kemajuan bangsa.

Pemerintah Jajaki Sistem Crowdfunding untuk Danai UMKM Go Digital

Platform e-commerce memberikan peluang yang lebih besar untuk mengakselerasi bisnis berbasis perdagangan, akselerasinya untuk membawa bisnis ke pangsa pasar global pun dianggap lebih menjanjikan. Hal tersebut yang dipercayai Kementerian Koperasi dan UKM. Pihaknya kini tengah merancang strategi untuk membawa UKM go-digital melalui skema e-commerce. Konsepnya cukup unik, yakni dengan crowdfunding.

Bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI) sebagai pengembang platform, Kementerian akan merintis sebuah sistem crowdfunding atau urun dana milik pemerintah untuk mendanai proyek-proyek yang dikembangkan UMKM berbasis perdagangan digital. Saat ini prosesnya tengah dalam pematangan, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Braman Setyo mengaku sedang berkoordinasi dengan para peneliti di perguruan tinggi untuk efektivitas pengembangannya.

“Tujuan pendirian platform tersebut adalah untuk meminimalkan cost (bunga) yang akan muncul apabila sebuah platform crowdfunding dimiliki oleh swasta,” ujar Braman.

Inisiatif ini dilakukan bersama dengan dirilisnya paket Paket Kebijakan Ekonomi XIV yang membahas detail seputar roadmap e-commerce, termasuk pada bagian investasi. Penyiapan sistem tersebut (crowdfunding) disampaikan Braman sudah masuk pada perencanaan anggaran kementeriannya di tahun 2017. Sedangkan konsep kebijakannya akan dibahas dalam fokus grup diskusi dan akan dibicarakan dalam waktu dekat dengan pemangku kepentingan meliputi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Kemenkominfo, dan instansi terkait.

“Hal itu dilakukan mengingat sasaran dari Paket Kebijakan XIV tentang e-commerce lebih utama untuk mencarikan pembiayaan murah bagi startup capital, menciptakan iklim usaha yang mendukung dari sisi pajak, perlindungan konsumen, pendidikan, logistik, dan infrastruktur,” ungkap Braman.

Crowdfunding sedang tahap pematangan aturan oleh OJK dan BEKRAF

Skema penggalangan dana untuk bisnis UKMKM sendiri saat ini masih masuk ke dalam agenda OJK dan BEKRAF untuk mematangkan. Selama ini sistem tersebut dinilai belum memiliki kejelasan dalam hal legalitas, OJK belum memiliki aturan spesifik terkait dengan hal tersebut. Menurut OJK aturan tersebut menjadi krusial, karena taruhannya adalah perlindungan konsumen.

“Jika aturan dikeluarkan nanti kami akan diutamakan perlindungan konsumen, yaitu baik pemberi pinjaman maupun yang mendapat pinjaman,” ungkap Peneliti Eksekutif Senior dari Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis OJK Hendrikus Passagi di awal tahun saat isu regulasi crowdfunding mulai mengudara.

Bagi OJK ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sistem crowdfunding. Pertama ialah adanya hak pemberi pinjaman untuk mengakses data peminjam. Kemudian transparansi pelaku usaha dalam memberikan rincian data pribadinya. Dan yang ketiga platform harus menjembatani proses itu semua, baik dari sisi peminjam ataupun pemberi pinjaman, sehingga mudah mengetahui prosesnya.