Ketika Negara Gagal Melindungi Data Rakyatnya

Publik kembali dihebohkan dengan temuan masyarakat tentang kebocoran data yang berisi informasi penting seputar kependudukan. Kali ini data tersebut disinyalir bersumber dari BPJS Kesehatan – termasuk didasarkan pada sampel data yang kini sudah diperjual-belikan di pasar gelap, strukturnya identik dengan basis data kelolaan BPJS Kesehatan, terdiri dari Nama, NIK, No. Kartu, No. Telp, Email, NPWP, Gaji, dll.

Ini bukan kali pertama, sebelumnya pertengahan tahun lalu ramai diperbincangkan jutaan data kependudukan yang berasal dari Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2014. Jika merujuk pada klasifikasi data dalam Peraturan Pemerintah, maka data yang bocor tersebut masuk dalam kategori “data elektronik strategis”, level tertinggi yang bahkan peletakan servernya pun tidak boleh di luar Indonesia.

Menanggapi hal ini, BPJS Kesehatan dan pemerintah [dalam hal ini diwakili Kominfo] menyatakan sedang melakukan penelusuran dan pendalaman.

Bahaya penyalahgunaan

Jika kemudahan yang dihadirkan dari layanan digital itu bagai pisau bermata dua, ancaman penyalahgunaan data dapat menjadi salah satu ujung negatifnya. Dampaknya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Misalnya digunakan untuk pemalsuan identitas, melakukan transaksi finansial digital secara ilegal, atau dipelajari guna menemukan pola-pola tertentu untuk tujuan buruk.

Faktanya masih banyak celah di berbagai layanan digital yang saat ini banyak digunakan oleh konsumen Indonesia. Seperti kurang ketatnya sistem verifikasi dari berbagai platform – ada kejadian orang mencetak kartu identitas palsu dengan NIK dan nama yang mungkin benar untuk melewati proses e-KYC dengan swafoto KTP. Untungnya beberapa pengembang kini mulai meningkatkan sekuriti seperti dengan mengimplementasikan tanda tangan digital berbasis biometrik.

Dengan sifatnya yang strategis, jelas data itu harusnya memiliki sistem keamanan dan privasi yang tinggi. Idealnya juga menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari data-data terkait dirinya. Karena sudah terjadi, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Apa langkah represif yang harus dilakukan?

Pertanyaan ini sekarang masih cukup sulit dicari jawabannya. Berangkat dari pengalaman sebelumnya, kami tidak pernah mendengar bagaimana tindak lanjut [sanksi] pemerintah terhadap kebocoran data konsumen yang sempat mencederai beberapa layanan digital dengan pengguna masif di Indonesia, padahal di dalamnya juga terdapat berbagai data penting terkait identitas pengguna. Pasalnya memang tidak ada satu pun kewajiban hukum yang bisa dikenakan karena regulasinya belum ada.

Apa kabar UU PDP?

Kabarnya, masih belum juga selesai. Rancangan beleid yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 sempat dikatakan rampung sebelum lebaran tahun ini, nyatanya masih belum juga selesai.

Berdasarkan draf per Desember 2019, regulasi tersebut memuat 72 pasal dan 15 bab mengatur tentang definisi data pribadi, jenis, hak kepemilikan, pemrosesan, pengecualian, pengendali dan prosesor, pengiriman, lembaga berwenang yang mengatur data pribadi, dan penyelesaian sengketa. Selain itu, mengatur kerja sama internasional hingga sanksi yang dikenakan atas penyalahgunaan data pribadi.

Dari analisis kami berbincang dengan narasumber, kala itu memang masih banyak potensi celah yang masih mengancam hak privasi data pribadi – dengan harapan draf tersebut kini telah disempurnakan. Padahal jika disahkan banyak hak konsumen yang akan difasilitasi lewat aturan, misalnya pengguna boleh meminta perusahaan pengelola data untuk menghapus datanya dan tidak menggunakan lagi [termasuk untuk kepentingan komersial].

Termasuk denda dengan nominal sangat besar yang konon akan dijadikan kewajiban hukum kepada penyelenggara sistem elektronik apabila terbukti data konsumennya bocor. Diharapkan langkah ini memaksa pengembang untuk menaruh perhatian lebih kepada strategi dan langkah preventif dalam mengamankan data-data penting mereka.

Lalu dengan rentetan kasus yang terus terjadi, masihkah regulator ingin menunda-nunda pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi? Dua ratus juta lebih data kependudukan di pasar gelap harusnya menjadi sebuah tamparan keras bagi pihak-pihak terkait.

Masyarakat hanya bisa pasrah?

Sayangnya di kondisi tertentu: IYA. Apa yang bisa kita lakukan untuk memberikan perlindungan lebih kepada data BPJS Kesehatan. Bahkan, untuk aplikasi yang dikembangkan perusahaan digital, langkah-langkah yang mungkin bisa diambil baru seputar rutin mengganti kata sandi, mengaktifkan autentikasi dua faktor, atau memperhatikan kredibilitas layanan. Belum ada mekanisme formal yang dijalankan untuk permintaan penghapusan data atau sejenisnya.

Keadaan ini benar-benar menjadikan urgensi penegakan UU PDP makin krusial. Perlindungan hukum akan menjadi payung penting yang memberikan kenyamanan kepada masyarakat atas data-data yang mereka miliki. Karena data satu orang pun memiliki nilai yang sangat mahal dan harus dilindungi hak-hak privasinya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Belum Kantongi Izin OJK, KitaBisa Hentikan Penerimaan Donatur Baru di Saling Jaga

Setelah sebelumnya diperkenalkan kepada publik awal bulan April 2020 lalu, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh KitaBisa diminta oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) untuk dihentikan operasinya karena belum mengantongi izin dari OJK.

Seperti yang dilansir dari Detik, program ini diduga merupakan kegiatan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2014, sehingga harus mendapatkan izin usaha perasuransian dari OJK.

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun KitaBisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

Menghentikan penerimaan donatur baru

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Untuk saat ini sesuai dengan permintaan dari regulator, perwakilan KitaBisa menyebutkan bahwa mereka memutuskan untuk menghentikan penerimaan donatur baru dan menghormati himbauan OJK.

Tapi lainnya untuk donatur terdaftar tetap berjalan, karena menurut mereka pengaplikasian program Saling Jaga sudah mendapatkan izin dari Kemensos. Saat ini pihak KitaBisa masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait dan akan memberikan informasi lebih lengkap terkait layanan Saling Jaga selanjutnya minggu depan.

Application Information Will Show Up Here

Pemerintah Incar Investor Kripto Jadi Objek Pajak

Pemerintah Indonesia berencana untuk menjadikan uang kripto sebagai objek pajak karena semakin tingginya nominal transaksi di instrumen ini. Diperkirakan pajak yang bisa dikantongi negara bisa mencapai triliunan Rupiah pada 2024 mendatang.

Mengutip dari CNBC Indonesia, COO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan saat ini pengenaan pajak tengah dibahas oleh beberapa pihak dan pelaku industri, termasuk Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Disebutkan, dari usulan industri, pajak yang diusulkan kepada investor kripto adalah PPh final sebesar 0,05% alias lebih kecil dari yang dikenakan kepada investor saham di Bursa Efek Indonesia sebesar 0,1%. “Goal-nya berapa kita enggak tahu. Tapi kita melihat bahwa potensi pendapatan pemerintah dari transaksi aset kripto di 2024 angkanya mencapai triliunan,” imbuhnya.

Pemerintah melirik potensi pajak dari instrumen investasi ini karena belakangan nilai transaksi hariannya tumbuh lebih pesat daripada saham. Pada Februari kemarin, nilai transaksi dalam negeri tembus Rp70 triliun. Sementara, di BEI nilai transaksi harian pada Januari 2021 pernah tembus ke level Rp20 triliun, namun kini sejak awal April merosot di kisaran Rp9 triliun.

Untuk menaungi perdagangan aset kripto yang lebih aman, pemerintah tengah menyiapkan regulasi lengkap tentang perdagangan aset kripto. Bersamaan dengan itu, pembentukan bursa aset kripto atau dinamai Digital Future Exchange (DFX) yang ditargetkan beroperasi pada semester II tahun ini.

Saat ini ada 229 aset kripto yang diperdagangkan di pasar fisik aset kripto Indonesia dinyatakan legal. Sementara itu, terdapat 13 pedagang aset kripto yang telah mengantongi tanda terdaftar perdagangan dari Bappebti.

Mengulik Wacana Revisi Aturan P2P Lending

Empat tahun setelah OJK menerbitkan POJK 77 Tahun 2016, dinamika industri lending tumbuh begitu pesat. Tercatat per 7 Desember 2020, ada 152 perusahaan yang beroperasi, dengan 36 di antaranya sudah memperoleh izin dan sisanya masih berstatus terdaftar.

Angka ini sebenarnya menyusut dibandingkan tahun lalu yang mencapai 164 penyelenggara terdaftar dan berizin. Bergugurannya itu diketahui karena tanda daftarnya dicabut karena tidak memenuhi ketentuan atau secara sukarela mengembalikan ke OJK.

Total outstanding pinjaman per September 2020 tercatat mencapai Rp12,72 triliun. Merekahnya potensi industri ini didukung kucuran investasi yang masuk dari jajaran investor global maupun lokal. Dalam catatan Startup Report 2019 yang disusun DailySocial, fintech menjadi industri tiga besar yang paling sering mendapat investasi dalam kurun tiga tahun belakangan.

Akan tetapi, suburnya angka pemain ini selaras dengan pertumbuhan jumlah perusahaan fintech ilegal. Menurut catatan, Satgas Waspada Investasi sejak bertugas tahun 2018 sampai Oktober 2020 telah menghentikan 2.923 perusahaan, lebih besar dari jumlah perusahaan yang resmi beroperasi.

Pekerjaan rumah regulator tak hanya di situ. Dari total outstanding, persebarannya masih terpaku ke dalam Pulau Jawa dan masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Bahkan, dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

Beberapa alasan di atas akhirnya melandaskan regulator untuk merevisi POJK 77 Tahun 2016 dan rencananya akan disahkan menjelang akhir tahun ini. Dalam draft tersebut, ada tujuh poin yang ditekankan:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

Mayoritas dari poin di atas disinyalir sebagai cara OJK mengefisienkan pemain lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara secara lebih signifikan.

Tanda-tanda OJK untuk mengambil langkah ini sudah terlihat sejak Februari 2020, saat disahkannya moratorium pendaftaran untuk penyelenggara baru paling lama sampai paruh kedua tahun ini.

Alasannya, jumlah pemain saat ini sudah terlampau banyak dan kualitas industri perlu ditingkatkan lebih dulu. Di saat yang sama, regulator perlu waktu untuk memperbaiki sistem pengawasan.

Perlakuan sama

Mengefisienkan jumlah pelaku industri sebenarnya juga diberlakukan regulator untuk semua industri yang dinaunginya. Di industri keuangan saja, OJK mendorong seluruh industri di bawahnya untuk melakukan konsolidasi baik itu merger atau akuisisi agar memiliki daya saing sekaligus bentuk adaptasi dengan situasi ekonomi terkini.

Perintah OJK merata, yakni memberlakukan batas modal minimum yang harus dipenuhi sebelum tenggat waktu ditentukan. Di perbankan, misalnya, Indonesia memiliki sekitar 1.800 BPR berskala kecil dan 113 bank BUKU I-IV per tahun lalu.

Lewat POJK Nomor 12 tentang konsolidasi bank umum yang baru disahkan pada Maret 2020 disebutkan menjelang akhir tahun bank-bank kecil atau bank BUKU I harus memiliki modal inti minimal Rp1 triliun. Kemudian secara bertahap modal inti tersebut harus mencapai minimal Rp3 triliun pada 2022.

Bila tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, bank harus membuat kesepakatan dengan OJK tentang exit policy-nya sampai ada komitmen bersama. Adapun opsi lainnya, bank bisa turun kelas atau konversi menjadi BPR, atau self liquidation.

Pemberitaan merger dan akuisisi akhirnya mewarnai dinamika industri perbankan. Sebagai contohnya, BCA telah mengambil alih dua bank, yakni Bank Royal dan Rabobank untuk menginduk padanya (masing-masing menjadi Bank Digital BCA dan dimerger dengan BCA Syariah).

Lalu, POJK Nomor 5 Tahun 2015 tentang kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR, yang mewajibkan BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 miliar sampai 31 Desember 2019 dan sebesar Rp6 miliar sampai 31 Desember 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana menyebutkan, petugas pengawas bank OJK banyak terkuras untuk mengawasi bank-bank kecil yang jumlahnya banyak ini. Pengawasan menjadi tidak efisien dan OJK berharap bank-bank kecil ini bisa berkonsolidasi agar makin kuat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, memang sepertinya langkah OJK untuk mengefisiensikan industrinya dengan menekankan perlunya merger dan akuisisi pada industri keuangan.

“Dengan adanya kenaikan modal inti, tentu saja semakin memberatkan fintech p2p lending yang sekarang maupun pemain yang akan masuk industri karena syarat yang menurut saya pribadi cukup berat untuk sebuah bisnis rintisan,” ucapnya kepada DailySocial.

Ia berpandangan rencana revisi, khususnya mengenai poin batas modal minimum, lebih cocok untuk perusahaan p2p lending yang sudah stabil dan mendapat pendanaan dari investor, sehingga kenaikan syarat modal inti tidak memberatkan mungkin tidak memberatkan mereka.

Kurang tepat

Dalih OJK yang beralasan bahwa semakin sedikit jumlah pemain, maka akan semakin tingginya kualitas pemain fintech. Ia justru memandang dari sisi lain, bahwa kualitas dari pemain fintech bukan hanya dilihat dari pembatasan modal inti, melainkan dari hal penggunaan teknologi, persyaratan hingga batasan platform pinjaman yang diberikan.

Nailul lebih menyoroti dari sisi teknologi, sebab bisa jadi ke depannya teknologi yang digunakan perusahaan akan semakin bagus dan semakin murah. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan batasan modal inti, apabila terlalu tinggi justru menghambat persaingan usaha. “Saya yakin teknologi akan mengarah kepada semakin canggih dan semakin murah.”

Oleh karenanya, Nailul berpendapat langkah yang diambil OJK untuk efisiensi jumlah p2p lending dirasa kurang tepat karena ia berkeyakinan makin ke sini, biaya teknologi akan semakin murah dan bagus. Kondisi tersebut membuat biaya pendirian perusahaan fiintech jadi semakin murah.

“Namun karena ada pembatasan modal yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perusahaan rintisan bidang fintech kesulitan mendapatkan modal inti tersebut. Ini bisa jadi merugikan dalam hal persaingan dan konsumen akan semakin tercekik dengan bunga fintech yang saat ini relatif tinggi.”

Ia menambahkan argumennya tersebut dengan ilustrasi sederhana. Dengan perkembangan teknologi, biaya produksi untuk sebuah fintech akan semakin murah. Masyarakat bisa mendapatkan bunga dengan tarif relatif rendah. Namun karena ada peraturan OJK tentang modal inti yang tinggi, maka beban tersebut akan dibebankan ke masyarakat yang hendak meminjam. “Jadi bunganya semakin tinggi.”

Oleh karenanya, bila tetap diberlakukan, ia berharap OJK dapat memberlakukannya secara bertahap atau dibagi menjadi beberapa kelas (BUKU) seperti perbankan. Hal ini untuk mengakomodir perusahaan rintisan dan tidak menghalangi perkembangan dan inovasi teknologi.

Pandangan pemain fintech

Sumber: Modalku
Sumber: Modalku

DailySocial pun turut meminta pandangan dari dua pemain penyelenggara lending terkait kesiapan modal minimal yang tertuang dalam draft revisi POJK 77 Tahun 2016.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya berpandangan persyaratan modal dan ekuitas merupakan hal yang penting dan wajar bagi lembaga jasa keuangan. Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan suatu perusahaan dan merupakan strategi agar dapat bertahan dalam kondisi sulit.

“Untuk menjalankan kegiatan usaha dalam bidang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, tentunya penyelenggara diharapkan memiliki keuangan yang sehat dan oleh karenanya, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolak ukur yang direncanakan akan diatur ke depannya.”

Mengenai wacana kewajiban pendanaan ke luar Pulau Jawa, sepenuhnya Reynold sepakat bahwa ini adalah salah satu langkah efektif untuk mempercepat literasi keuangan yang merata. “Saat ini Modalku pun telah menjangkau UMKM di luar Pulau Jawa melalui fasilitas pinjaman untuk online seller dan akan terus memperluas jangkauan kami.”

Ia pun berharap, apabila wacana beleid tersebut disahkan, dapat diberikan waktu yang memadai agar para penyelenggara dapat memastikan penerapan ini bisa dilakukan dengan maksimal dan secara bertahap.

Modalku secara grup diklaim telah berhasil menyalurkan pembiayaan sebesar Rp18,8 triliun secara akumulasi. Perusahaan juga masuk ke segmen penjual online tanpa agunan hingga Rp250 juta dengan rata-rata nominal pinjaman skeitar Rp25 juta. Produk ini telah menyalurkan lebih dari Rp760 miliar kepada lebih dari 26 ribu pengusaha online.

COO KoinWorks Bernard Arifin juga sepakat bahwa meningkatkan modal inti bukanlah menjadi isu karena secara prinsipal sangat penting untuk dilakukan. Terlebih itu, ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan lending di Indonesia dinilai masih cukup besar, terutama karerna besarnya potensi pasar penyaluran pembiayaan untuk UKM di Indonesia itu sendiri.

“Ini jadi hal positif karena sekarang lending sudah masuk sebagai industri yang mature sehingga perlu memberlakukan prinsip kehati-hatian, transparansi, sebab awareness konsumen meningkat.”

Sejalan dengan itu, upaya perusahaan untuk memperluas kehadiran di luar Pulau Jawa bakal terus digalakkan mulai tahun depan. Pada tahun ini, KoinWorks membuka kantor perwakilan di Sumatera. Penyaluran outstanding peminjaman di KoinWorks saat ini 50% masih berpusat di Pulau Jawa dan didominasi di Jabodetabek, lalu ada Medan 15%, Bali 10%, dan Sulawesi 10%.

Saat ini outstanding penyaluran KoinWorks lebih dari Rp2,5 triliun dengan rata-rata penyaluran per bulan antara Rp200 miliar-Rp300 miliar, hampir kembali mencapai angka penyaluran sebelum pandemi berkisar Rp350 miliar. Pertumbuhan pemberi pinjaman tumbuh hingga 61% year-on-year atau sebesar 549 ribu penggguna pada akhir tahun ini.

Berkiblat ke negeri Tirai Bambu

OJK mungkin membaca betul bagaimana kondisi ekosistem p2p lending di Tiongkok yang sudah hancur lebur. Kehancurannya dimulai pada tahun lalu. Regulator Tiongkok membuat aturan ketat untuk meminimalisir praktik shadow banking yang merugikan konsumen.

Mereka menetapkan hanya perusahaan dengan modal tidak kurang dari 50 juta Yuan yang dapat beroperasi dan diwajibkan untuk transisi bisnis menjadi perusahaan pinjaman regional, dan tidak kurang dari 1 miliar Yuan untuk bertransisi menjadi pemberi pinjaman kecil yang memenuhi syarat untuk beroperasi secara nasional.

Aturan keras ini  efektif mengurangi jumlah perusahaan dari sekitar 6 ribu perusahaan di 2015, menjadi 427 pada akhir Oktober 2019. Bahkan kini jumlahnya makin menyusut menjadi enam perusahaan pada September 2020. Industri tersebut telah merugikan para investor senilai lebih dari 800 miliar Yuan ($ 115 miliar) dari platform yang gagal.

Tidak berhenti di situ, pemerintah Tiongkok akhirnya bersatu padu agar tidak mengulangi kesalahan yang berdampak sistemik. Mereka mulai menyoroti bank data dan perlindungannya yang dikumpulkan perusahaan raksasa teknologi seperti Alibaba, Tencent, Baidu, Meituan, dan lainnya dalam memberikan layanan fintech kepada para pengguna lewat platform di bawahnya.

Guo Shuqing, Chairman China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC), menuturkan industri fintech menyebabkan banyak fenomena dan masalah baru. Oleh karena itu, perlu memperhatikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini:

“Apakah [perusahaan] teknologi besar memblokir pendatang baru? Apakah mereka mengumpulkan data dengan tidak benar? Apakah mereka menolak untuk mengungkapkan informasi yang seharusnya dipublikasikan? Apakah mereka terlibat dalam perilaku yang menyesatkan pengguna dan konsumen?”

Guo bilang, perusahaan besar seperti Alibaba dan Tencent memiliki banyak anak usaha yang bergerak di bidang fintech, meski dikenal dengan produknya di bidang pembayaran elektronik. Tapi di bawah payung yang sama mereka bisa menyediakan layanan lebih dari sekadar itu.

“Beberapa teknologi besar menjalankan bisnis lintas sektor dengan aktivitas keuangan dan teknologi di bawah satu atap. Perlu untuk terus mengikuti limpahan ini… dan mengambil tindakan tepat waktu dan tepat sasaran untuk mencegah risiko sistemik baru,” katanya.

AFPI Tanggapi Rancangan Revisi Regulasi P2P Lending

OJK tengah menyiapkan revisi terhadap POJK 77/2016 untuk industri p2p lending yang tumbuh pesat semenjak aturan diterbitkan pada 2016. Ada tujuh poin yang ditekankan dalam rancangan revisi tersebut. Sebagai berikut:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

“OJK perlu membenahi penyelenggara yang telah ada. Apabila ada penambahan P2PL baru tanpa memiliki modal yang mencukup, strategi yang bagus, dan ekosistem yang mendukung, maka berpotensi hanya menambah jumlah P2PL, tetapi kontribusinya kecil dan tidak optimal,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi, dikutip dari Infobank.

OJK mengambil kebijakan baru ini untuk menyortir memaksimalkan industri p2p lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih maksimal. Saat ini tercatat ada 36 perusahaan berizin dan 177 perusahaan terdaftar. Dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

“Kontribusi industri hanya oleh beberapa pemain, yang lain penyaluran minim. Kekuatan tergantung masing-masing juga. Banyak yang belum berkembang karena masalah permodalan dan status likuiditas tergerus.”

Tanggapan AFPI

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menuturkan ada empat poin utama yang menjadi saran asosiasi terkait RPOJK ini. Di antaranya, AFPI berharap regulasi baru tidak menghambat pertumbuhan transaksi dan jumlah pemberi dana dari para penyelenggara. Selain itu, jangan sampai regulasi baru justru mempersulit investasi yang masuk ke industri.

Berikutnya, asosiasi menyarankan birokrasi yang lebih ramping agar platform yang masih dalam tahap awal tetap lincah. “Agar mereka tetap bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama di masa-masa seperti ini,” kata Sunu.

Terakhir adalah perlunya kelonggaran terhadap ketentuan batas waktu hingga periode tertentu di beberapa aspek regulasi baru. Tujuannya untuk memberikan nafas untuk pemain baru agar bisa berkembang terlebih dulu.

“Karena tidak semua pemain ada di tahapan yang sama. Ada yang sudah mapan, ada yang baru mulai, ada yang masih berkembang. Jadi ini terutama buat anggota kita yang sebenarnya bisa memenuhi aturan, tapi butuh waktu sedikit lebih lama.”

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menanggapi poin lainnya berkaitan dengan menaikkan modal inti. Menurutnya, kebijakan ini bisa membuka ruang konsolidasi (merger) antar penyelenggara. Permodalan adalah sesuatu yang penting apalagi di jasa keuangan karena modal inti berkaitan erat dengan fokus pertumbuhan.

“Kalau dengan pertumbuhan berkualitas butuh komitmen dari para shareholder untuk meningkatkan aspek permodalan ini. Pada intinya kami sepemahaman. Mungkin butuh bahan diskusi tahap-tahapan peningkatan modal tersebut karena belum semua penyelenggara dalam stage pertumbuhan yang sama,” terang Adrian.

Adrian melanjutkan, “Kami proaktif melihat apakah ada ruang konsolidasi, penggabungan dari beberapa fintech lending jadi sesuatu yang kita buka ruang tersebut dan diskusi dengan OJK.”

Terkait penyaluran lebih banyak ke sektor produktif dan ke luar Pulau Jawa, Adrian menuturkan kesempatan tersebut dapat digarap melalui kolaborasi. Asosiasi dapat menjembatani para pemain multiguna dan produktif untuk melakukan join financing.

Untuk masuk ke luar Pulau Jawa, pemain fintech dapat bekerja sama dengan institusi keuangan seperti BPR dan BPD karena paham dengan risiko dan industrinya. “Fintech lending punya teknologi dan credit scoring yang bagus, tapi bagaimanapun BPR dan BPD punya local knowledge. Mudah-mudahan tahun depan kolaborasi seperti ini akan semakin banyak,” pungkas dia.

Sunu melanjutkan seluruh masukan dari asosiasi untuk regulator sudah disampaikan secara tertulis sejak akhir November kemarin. “Proses diskusi untuk RPOJK itu sudah berjalan lama [..] Kami ingin peraturan yang tidak melekat tapi tidak menghilangkan esensi penting fintech, tidak menghimpun dana masyarakat. Butuh kelonggaran agar kita dapat bergerak lincah dalam kegiatan bisnisnya,” tutupnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Mendiskusikan Dampak RUU PDP Terhadap Bisnis Periklanan Digital di Indonesia

Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) cepat atau lambat akan disahkan oleh parlemen menjadi produk hukum tetap. Keberadaan beleid itu kian penting karena masyarakat sudah makin terhubung dengan layanan digital.

Dengan kata lain, RUU PDP menjadi satu-satunya harapan bagi masyarakat agar data yang mereka serahkan ke sejumlah platform layanan digital dapat benar-benar dilindungi. Namun aturan perlindungan data pribadi yang lebih ketat punya dampak yang berbeda ke dunia periklanan digital.

Indonesia Digital Association menangkap potensi dampak tersebut. Ketua IDA Dian Gemiano mengakui dampak yang akan dibawa oleh RUU PDP akan besar terhadap periklanan digital. Namun ia meyakini industri periklanan digital tak perlu khawatir asal dapat beradaptasi dengan cepat.

“Aturan-aturan tersebut juga akan melindungi pemilik usaha dari gangguan para pelaku data fraud yang sering merugikan pelaku usaha yang legitimate,” ujar Gemi.

Chairman Asosiasi Big Data dan AI Indonesia Rudi Rusidah menjelaskan, tujuan utama RUU PDP adalah menjaga kedaulatan data masyarakat. Rudi, yang aktif terlibat dalam pembahasan RUU PDP, menilai regulasi itu cukup penting dalam kegiatan periklanan digital untuk meminimalisasi kebocoran data atau penyalahgunaan data. Salah satu caranya adalah dengan menukar data yang bisa diidentifikasi ke pemilik data dengan kode atau nomor-nomor tertentu. Cara tersebut dinamakan pseudonymization.

“Di dalam peraturan itu nanti kalau mau sharing data atau menjual data ke orang lain datanya harus dibikin anonim,” imbuh Rudi.

Industri periklanan digital, baik lokal maupun global, memang sedang menghadapi tantangan besar sepanjang tahun ini. Di Eropa, berlakunya GDPR mengubah banyak hal dalam khususnya cara kerja industri periklanan digital.

Tekanan untuk mengamankan data pribadi di berbagai platform digital pun terus menguat. Kabar terbesar paling anyar datang dari Google yang berencana mematikan secara bertahap third party cookies di peramban Chrome dalam dua tahun ke depan.

Dalam dunia periklanan digital, third party cookies adalah alat yang dapat membantu mereka dalam menelusuri data pengguna antarsitus web yang berbeda. Dengan alat itu pemilik situs dapat melakukan re-marketing atau re-targeting dalam sebuah kampanye.

Data dari StatCounter pada September 2020 menunjukkan pangsa pasar peramban Google Chrome di Indonesia mencapai 77,5%. Hilangnya third party cookies di peramban itu jelas akan memaksa banyak pihak di industri periklanan digital mencari cara baru dalam mengelola dan memonetisasi first party data.

“Penting bagi pelaku industri digital mengerti bagaimana praktik bisnis bisa mematuhi peraturan data pribadi yang ada di industri, meskipun saat ini masih berbentuk RUU,” pungkas Gemi.

Gambar Header: Depositphotos.com

Bank Indonesia to Set Standard for Open API, Optimizing Collaboration of Banking and Fintech

Bank Indonesia set the standard for the Open Application Programming Interface (API) to facilitate collaboration between banking and fintech to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems (system to system).

BI’s Director of Payment System Policy Department, Erwin Haryono explained, there would be an agreement and a standardized code by banks and fintech when adopting the Open API standard.

“We want digital transformation in Indonesia to be more integrated. Open API allows banks and fintech to collaborate on data,” Erwin said, as quoted from Katadata.co.id.

The standard is included in the five main central bank initiatives in the blueprint of the Indonesian payment system by 2025. BI is currently refining the stages.

Once released, the application will be performed in stages considering diversity in the payment system industry in Indonesia. This stage will be performed both in terms of the players and the implementation time, considering the size and complexity of the business.

BI considers the Open API standard to improve efficiency in transaction and payment systems. In addition, it is able to increase innovation, competition, and financial inclusion, also reduce and mitigate risk.

Moreover, it is required in the industry, influenced by the rapid digitalization that accelerates the implementation of collaboration between banking and fintech. This is at least reflected in a number of banking corporate actions, which have penetrated the digital banking business model.

Rapid development

Previously, many banks considered opening technology such as API to other companies as forbidden. In fact, this allows the occurrence of moral hazard that could threaten certain aspects of consumer protection. This aspect is a guideline that is always preferred for the financial services industry in running a business.

However, with the rapid technology development, banking is starting to open up. The qualified payment system is required in advancing digital-based businesses, such as e-commerce.

Payment via bank transfers used to be quite popular, but the manual checking process turns out to be a barrier. Finally, due to the rapid development, consumers can top-up electronic money through virtual accounts or NFC in e-commerce applications, also open saving account in non-e-commerce applications.

More banks are opening API services to reach their customers when transacting in various digital applications. It includes BCA, Bank Mandiri, BRI, Bank Danamon, Bank Permata, Bank CIMB, Jenius, Digibank, and many more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Indonesia Segera Rilis Standar Open API, Permudah Kolaborasi Bank dan Fintech

Bank Indonesia segera merilis standar Open Application Programming Interface (API) untuk permudah kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem (system to system).

Direktur Departement Kebijakan Sistem Pembayaran BI Erwin Haryono menerangkan, akan ada perjanjian kerja sama dan kode etik terstandar yang dilakukan perbankan dan fintech ketika sudah mengadopsi standar Open API.

“Kami ingin transformasi digital di Indonesia lebih terintegrasi. Open API membuat bank dan fintech bisa berkolaborasi terkait data,” ujar Erwin mengutip dari Katadata.co.id.

Standar ini masuk ke dalam lima inisiatif utama bank sentral pada cetak biru sistem pembayaran Indonesia hingga 2025. Adapun saat ini tahapannya sedang disempurnakan oleh BI.

Bila sudah dirilis, penerapannya akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

BI memandang standar Open API akan meningkatkan efisiensi dalam sistem transaksi dan pembayaran. Selain itu, mampu meningkatkan inovasi dan persaingan, meningkatkan inklusi keuangan, serta mengurangi dan memitigasi risiko.

Terlebih itu, keberadaannya sangat dibutuhkan di industri, terpengaruh dari derasnya digitalisasi yang mempercepat terlaksananya kolaborasi antara perbankan dengan fintech. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam beberapa aksi korporasi perbankan, yang sudah merambah model bisnis bank digital.

Perkembangan pesat

Dulu banyak perbankan menganggap membuka teknologi seperti API ke perusahaan lain adalah tindakan yang haram. Pasalnya, ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini adalah pedoman yang selalu diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Namun, lambat laun seiring perkembangan teknologi yang pesat perlahan-lahan perbankan mulai membuka diri. Pasalnya sistem pembayaran yang mumpuni itu sangat dibutuhkan dalam memajukan bisnis berbasis digital, salah satunya adalah pemain e-commerce.

Pembayaran dengan bank transfer dulu cukup terkenal, namun menjadi hambatan karena proses pengecekannya harus dilakukan secara manual. Akhirnya sekarang perkembangan makin pesat, bahkan konsumen bisa top-up saldo uang elektronik, melalui virtual account atau NFC di dalam aplikasi e-commerce, bahkan buka tabungan di bukan aplikasi e-commerce.

Semakin banyak perbankan yang membuka layanan API untuk menjangkau para nasabahnya saat bertransaksi di beragam aplikasi digital. Di antaranya, ada BCA, Bank Mandiri, BRI, Bank Danamon, Bank Permata, Bank CIMB, Jenius, Digibank, dan masih banyak lagi.

Menelaah Draf Aturan Tata Kelola PSE Lingkup Privat

Draf peraturan Menkominfo tentang tata kelola penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat sudah diselesaikan. Beleid yang terdiri dari 9 bab dan 34 pasal tersebut secara spesifik mengatur detail teknis pengelolaan data dan sistem elektronik yang bersentuhan dengan pengguna di Indonesia. Sekaligus merinci secara lebih teknis aturan di PP No. 71 Tahun 2019 tentang PSE yang sebelumnya diterbitkan.

Penyusunan aturan ini cukup dikebut, pasca Presiden Joko Widodo menyampaikan di acara Indonesia Digital Economy Summit 2020 oleh Microsoft Indonesia, untuk memuluskan rencana investasi perusahaan teknologi asing dalam pengembangan pusat data di Indonesia. Kabarnya saat ini rancangan aturan tengah bersiap dilimpahkan ke Menkopolhukam untuk ditinjau.

Cakupan aturan

Aturan ini mengakomodasi informasi elektronik, dokumen elektronik, dan sistem elektronik sebagai objek. Sementara subjeknya adalah penyelenggara sistem elektronik di tingkat perorangan, badan usaha dan masyarakat – baik melakukan transaksi elektronik untuk keperluan sendiri maupun orang lain.

Dalam draf per 10 Maret 2020, tepatnya di pasal 3, disampaikan bahwa setiap pelaku PSE lingkup privat wajib melakukan pendaftaran untuk dapat diawasi pemerintah. Mereka ada orang/usaha di bidang penawaran/perdagangan barang dan jasa, layanan transaksi keuangan, pengirim materi atau muatan digital berbayar, pengembang layanan komunikasi, layanan mesin pencari dan platform yang memproses data pribadi.

Pendaftaran dilakukan melalui online single submission, dengan syarat utama memberikan detail pengoperasian sistem, memastikan keamanan informasi dan komitmen perlindungan data pribadi. Dalam informasi pengoperasian sistem yang harus disetor meliputi nama sistem, sektor, situs web, domain dan IP server, model bisnis, fungsi sistem, data pribadi yang diproses dan lokasi hosting. Selain itu usaha yang melakukan pendaftaran juga wajib menyertakan informasi mengenai badan hukum, NPWP dan NIK penanggung jawab.

Untuk PSE lingkup privat asing diatur dalam pasal 5, menyiratkan prasyarat informasi yang sama dengan di atas, dilengkapi identitas perusahaan asing tersebut dan dokumen pendukung berbahasa Indonesia. Kementerian akan menentukan, apakah perusahaan terkait diizinkan atau tidak.

Mekanisme aturan

Setiap pendaftaran akan diverifikasi oleh Kementerian, untuk selanjutnya akan diterbitkan tanda terdaftar sebagai PSE lingkup privat. “Lisensi” terdaftar tersebut akan berlaku selama 5 tahun sejak tanggal diterbitkan dan wajib diperpanjang secara berkelanjutan, jika pelaku usaha terkait masih melakukan operasional di Indonesia.

Informasi dan data elektronik yang terkandung juga harus dipastikan tidak melanggar ketentuan undang-undang, termasuk bersifat meresahkan masyarakat. Di pasal 14 juga ditegaskan, untuk platform berbasis user-generated content harus memiliki tata kelola mengenai informasi atau data yang dihimpun, mengingat sistem seperti itu konten sepenuhnya dibuat dan dikelola pengguna. Tata kelola dimaksudkan menegaskan kembali hak dan kewajiban pengguna, termasuk ketentuan pertanggungjawaban pemilik platform jika terjadi isu. Setiap sistem harus memiliki saranan dan layanan penyelesaian pengaduan.

Peran penyedia konektivitas internet (ISP) juga turut ditegaskan, termasuk dalam kaitannya dengan kerja sama melakukan pemutusan akses (blokir) jika diperlukan.

Mencerna beleid

Melihat subyek-subyek yang disebut dalam pasal-pasal awal, maka aturan tersebut dimaksudkan untuk pelaku digital, yakni siapa saja yang mengembangkan layanan berbasis aplikasi, situs web atau sejenisnya yang digunakan oleh masyarakat umum. Secara khusus disebut mesin pencari, user-generated content di dalamnya termasuk media sosial, layanan konten berbayar alias OTT bahkan layanan komputasi awan di pasal 17.

Kewajiban menyertakan badan usaha, NPWP dan NIK sebenarnya juga menjadi indikasi baik – memaksa setiap pemain asing untuk memiliki kehadiran di sini. Kendati belum dirinci secara detail perihal perpajakan atau melaporkan pendapatan. Di sisi lain, aturan ini memang menjadi angin segar bagi para pelaku bisnis teknologi untuk secara legal memantapkan bisnis di tanah air.

Dalam sebuah kesempatan Menkominfo memang menyampaikan, bahwa Permen ini dibuat sesederhana mungkin untuk muluskan investasi perusahaan teknologi global yang ingin membangun pusat data di Indonesia. Seperti diketahui Microsoft, Google, Amazon, Alibaba dan lain-lain berencana melakukan hal tersebut.

Sejak PP 71/2019 disahkan, beberapa kalangan di industri memang cukup khawatir. Sebagai pengingat, berikut beberapa poin yang ada dalam beleid tersebut:

  • PSTE dibagi menjadi dua yakni publik dan privat.
  • PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
  • PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
  • Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
  • PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.

Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Misalnya Asosiasi Cloud Computing Indonesia yang menilai bagian tersebut berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data, karena justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ujar Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto.

Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.

Introducing “Equity Crowdfunding” Platform in Indonesia

The concept of offering stock through crowdfunding or known as equity crowdfunding (ECF) began to emerge in Indonesia. Some new platforms are adopting the concept. There are three startups officially acquired license form OJK per December 2019, namely Santara, Bizhare, and CrowdDana.

Simply put, the ECF platform presents to help business or projects to raise a fund with the crowdfunding mechanism. Then, those who participated (investors) will receive shares with adjusted percentage.

It’s similar to an investment, the ones who “plant” their money into a business or project will eventually receive the outcome. Obviously, with various amounts based on different risks.

The FSA has already issued regulations regarding the ECF as stated in POJK Number 37 of 2018 concerning Crowdfunding Services through Information Technology-Based Stock Offering. It regulates platforms, investors, and the amount of money raised from crowdfunding.

Further details on the ECF platform in Indonesia

Of the three services which officially obtained OJK license (per December 2019), two of them come with the same concept, namely Santara and Bizhare. Both are creating opportunities for SMEs to offer their shares through platforms and raise funds. Looking for a different market, CrowdDana allows offering shares/investments in property assets to be more affordable.

Santara‘s CEO, Avesena Reza claims that they currently have the largest distribution of funds, investor base, and publishers. However, he did not reveal the exact number. In fact, Santara’s optimism is visible through their plans in 2020.

Starting from building portfolio management, strengthening risk management, network distribution, and adding technology into the execution plans to-do-list.

“We’ve made various improvements in terms of technology, such as user experience, easy access, integration with Dukcapil, collaboration with other technology players. We also plan to implement blockchain technology later this year, as a back-office recording mechanism for all digital assets,” Reza explained.

A similar statement comes from Bizhare‘s Founder & CEO, Heinrich Vincent. He said they already had 35 thousand investors from 34 provinces throughout Indonesia by 2020. The distributed fund has reached Rp27 billion, with total dividends to investors reaching Rp1.5 billion per January 2020.

“Our plan in 2020 is to help more SMEs in Indonesia gain more benefits and rapid expansion, by improving our analysis system while conducting education and utilizing digital technology to assist them. In addition, we will also launch a secondary market feature for investors, to be able to sell their shares, as well as other surprises that we will inform soon,” Vincent added.

Meanwhile, CrowdDana announced two boarding projects successfully funded earlier this year. The value reached Rp14.6 billion and it is likely to increase by now. In their latest interview with DailySocial, they mentioned there will be a new vertical, namely the food and service business.

“From the public and franchise business owners’ responses, the demand is huge. On the investor side, investing in a restaurant or service business is also easier to understand, compared to property. From the publisher [franchise owner] side, they are to expand the business but have no access to financial funding,” CrowdDana’s Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer, Stevanus Iskandar Halim said.

The possibility for the ECF industry is getting wide open since some companies have entered the processing stage for a license. One of which is Likuid, an ECF platform that offers stock offering services for creative projects.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Appreciated regulations and education on progress

The regulation issued by FSA is very appreciated by Reza and Vincent. Both agreed on the current beleid is enough to protect the industry, either for investors, platforms, or businesses. However, it still requires coordination to keep the regulation relevant to the current situation in the field.

“To date, the equity crowdfunding regulation in Indonesia is enough to keep all parties fulfilled, from the Providers, Issuers, or Investors. Although there are still some things to improve, especially in terms of adjustment to players on field,” Vincent said.

Meanwhile, Reza said, “In terms of principle, the issuance of POJK 37 is a quite a good step to legitimize that the ECF platform activities are licensed by the regulator or the FSA, not a bulging investment. The regulation that is yet to have its complexity related to the implementation of the ECF is a potential that should be optimized for the organizing platform to innovate / breakthrough in existing business processes.”

Currently, the challenge has been on public education and business owners. In terms of the public, there is an urgency to socialize there are other investment options besides gold, mutual funds, or shares on the stock exchange called equity crowdfunding. Including understanding the existing regulations and risks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian