CrediBook Launches CrediMart and CrediStore, Targeting Warung Operational Digitization Solution

The digital bookkeeping application for warung CrediBook launched two new products, CrediMart and CrediStore, to help accelerate the digitization of wholesale stall operations amidst the pandemic situation. Both of these products can be used by all CrediBook users across second and third tier cities.

CrediBook‘s Co-Founder and CEO, Gabriel Frans said, CrediMart was developed to remove obstacles in the procurement process of merchandise stocks among SMEs. In addition to the financial record issues, MSMEs such as shops and stalls have faced obstacles in procuring merchandise stocks, from the long distance to wholesale centers, the hassle of carrying groceries, and the must-cash payment method.

“As a result, shops or stalls have fairly incomplete stock of merchandise. It has the potential to reduce their sales, therefore, we present CrediMart, an online wholesale store for MSMEs can shop for stock items without having to leave the place,” Gabriel said in an official statement.

CrediMart is accessible online via its website and orders will be delivered to the customer’s location 1×24 hours after the order is placed. In running CrediMart operations, the company plays a role in collaborating with conventional wholesale stores to enter as merchants. Currently, CrediMart is available in Greater Jakarta, West Java, and Central Java, focusing on second- and third-tier cities.

Source: CrediBook

Separately contacted by DailySocial, Gabriel explained that in performing his role as sales, his team connects existing conventional wholesale stores, not with brands or product principals. Thus, wholesalers are really helped by additional income, not replacing their role.

“For example, Wholesale Damai in West Jakarta, one of our partner wholesale stores, is getting an increase in turnover of up to 50% every day due to sales from CreditMart.”

Although this solution is not new in the industry, he continued, CrediMart operates with a light-asset approach because CrediBook alone does not have its own warehouse. It provides distribution facilities for delivering goods from partner wholesale stores to shop owners who buy through CrediMart.

Another added value for shop owners is that they can enjoy the flexibility of payment methods, from cash, CoD, to the schemes for customers with good credit scoring. This solution is expected to make it easier for shop owners to manage their business cash flow, therefore, they can survive and even continue to grow.

“We are partnering with Modal Rakyat in providing this payment method [payment due]. To ensure the payment runs smoothly, we always prioritize the performance assessment and transaction history of retail MSMEs.”

Both CrediBook and CrediMart will act as digital operating systems for wholesalers. CrediBook will play a role from the bookkeeping side, while CrediMart on the sales side.

Meanwhile, CrediStore is a social commerce application that allows shop traders to sell online via social media platforms. Users can provide the name of their online store, fill in information about the products being sold, such as photos, descriptions, and prices of goods. Next, users will get a link to their online store which can be shared on various social media platforms.

“All orders will be listed into the CrediStore application dashboard, therefore, users can monitor orders in one application without having to manually open each of their social media accounts.”

For Gabriel, the company is targeting two focuses through the application. First, helping SMEs onboard in e-commerce services by having their own online store easily and for free and then inviting them to engage in social commerce. Second, after the online store was established, CrediStore helped make it easier for MSME players to manage online orders came through their online stores.

CrediStore target audience is wider as it can be used by various MSME sectors, from grocery stores, credit agents, laundry, food and beverage, to the service sector.

“We want CrediStore to be used by various types of MSMEs. The simple and practical appearance is suitable for business beginners, housewives, to experienced sellers. This product is still in its early stages, there are still many feature developments that will complement this application in the future.”

SME empowerment solution

Withouth the detail number of users, Gabriel said that CrediBook’s MSMEs user profile in the retail and wholesale segments. They come from the categories of home businesses, shops and services, and agents. The locations are in second and third tier cities, including Surabaya, Sidoarjo, Cirebon, to Medan, Makassar, and Palembang.

In addition tobusiness strengthening, the company also participated in the government’s socialization program regarding the recording and bookkeeping of the financial reporting system for MSMEs. This program is part of the implementation of Government Regulation Number 7 of 2021 concerning Ease, Protection, and Empowerment of Cooperatives and MSMEs, especially in article 87.

“We are currently preparing collaborative activities with the government to increase the number of financial literacy and adoption by MSME players. This is also part of our strategy in developing our user base,” he said.

In the realm of digital bookkeeping for MSMEs, CrediBook competes with BukuKas, BukuWarung, and many more. Beyond that, more and more companies are providing a variety of digital solutions to make it easier for MSMEs to go digital from various business aspects.

Based on data from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises, out of 64.2 million MSME units, only 19% of them have entered the digital ecosystem. The government alone targets 30 million MSME units to enter the digital ecosystem by 2024. The following are MSME solutions provided by startups.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

CrediBook Rilis CrediMart dan CrediStore, Sasar Solusi Digitalisasi Operasional Warung

Aplikasi pembukuan digital warung CrediBook merilis dua produk sekaligus 一CrediMart dan CrediStore, untuk membantu digitalisasi operasional warung grosir terakselerasi lebih cepat meski masih di tengah pandemi. Kedua produk ini dapat digunakan seluruh pengguna CrediBook yang tersebar di kota lapis dua dan tiga.

Co-Founder dan CEO CrediBook Gabriel Frans menjelaskan, CrediMart lahir untuk menghilangkan hambatan dalam proses pengadaan stok barang dagang di kalangan pelaku UMKM. Selain isu pencatatan keuangan, UMKM seperti toko dan warung juga menghadapi hambatan dalam pengadaan stok barang dagang, seperti jauhnya jarak ke pusat grosir, repot membawa barang belanjaan, dan metode pembayaran yang harus tunai.

“Akibatnya stok barang dagang di toko atau warung jadi tidak lengkap. Ini berpotensi mengurangi penjualan mereka, sehingga kami hadirkan CrediMart, toko grosir online agar UMKM bisa belanja stok barang tanpa harus meninggalkan lokasi usaha,” tutur Gabriel dalam keterangan resmi.

CrediMart dapat diakses secara online lewat situsnya dan pesanan akan diantarkan ke lokasi pemesan 1×24 jam setelah pesanan dilakukan. Dalam menjalankan operasional CrediMart, perusahaan berperan berkolaborasi dengan toko grosir konvensional untuk masuk sebagai merchant. Saat ini CrediMart tersedia di Jabodetabek, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, berfokus di kota lapis dua dan tiga.

Sumber: CrediBook

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Gabriel menjelaskan dalam melakukan perannya sebagai sales, pihaknya menghubungkan toko grosir konvensional yang sudah ada, bukan dengan brand atau prinsipal produk. Dengan demikian, para pengusaha grosir betul-betul terbantu dengan tambahan pemasukan, bukan menggantikan peran mereka.

“Contohnya Grosir Damai di Jakarta Barat, salah satu toko grosir rekanan kami, mendapatkan peningkatan omset hingga 50% setiap harinya karena adanya penjualan dari CreditMart.”

Kendati solusi ini bukan barang baru di industri, sambungnya, CrediMart beroperasi dengan pendekatan light-asset karena CrediBook sendiri tidak memiliki gudang sendiri. Pihaknya menyediakan fasilitas distribusi pengantaran barang dari toko grosir rekanan ke pemilik warung yang membeli lewat CrediMart.

Nilai tambah lainnya buat pemilik warung adalah mereka dapat menikmati fleksibilitas cara bayar, mulai dari tunai, CoD, hingga skema jatuh tempo untuk pelanggan yang memiliki riwayat pembelian baik. Solusi ini diharapkan memudahkan para pemilik warung dalam mengelola arus kas usahanya agar tetap bertahan bahkan terus tumbuh.

“Kami bekerja sama dengan Modal Rakyat dalam penyediaan cara bayar ini [bayar tempo]. Untuk memastikan pembayaran tempo berjalan dengan lancar, kami selalu memprioritaskan assessment performa dan riwayat transaksi para UMKM ritel.”

Baik CrediBook dan CrediMart akan berperan menjadi digital operating system bagi para pengusaha grosir. CrediBook akan berperan dari sisi pembukuan, sementara CrediMart dari sisi penjualan barang.

Sementara itu, untuk CrediStore adalah aplikasi social commerce yang memungkinkan pedagang warung untuk berjualan online lewat platform media sosial. Di sana pengguna dapat memberikan nama toko online-nya, mengisi informasi tentang produk yang dijual, seperti foto, deskripsi, dan harga barang. Berikutnya pengguna akan mendapat tautan toko online-nya yang dapat disebar ke berbagai platform media sosial.

“Seluruh pesanan akan masuk ke dalam dasbor aplikasi CrediStore, sehingga pengguna dapat memantau pesanan di satu aplikasi tanpa harus secara manual membuka masing-masing akun media sosialnya.”

Menurut Gabriel, ada dua fokus yang dibidik perusahaan lewat aplikasi tersebut. Pertama, membantu pelaku UMKM onboard di layanan e-commerce dengan memiliki toko online sendiri secara mudah dan gratis lalu mengajak mereka terjun dalam social commerce. Kedua, setelah toko online established, CrediStore membantu memudahkan para pelaku UMKM mengelola pesanan online yang datang ke toko online mereka.

Target pengguna CrediStore lebih luas karena dapat digunakan oleh beragam sektor UMKM, mulai dari toko kelontong, agen pulsa, laundry, makanan dan minuman, hingga sektor jasa.

“Kami ingin CrediStore dapat digunakan oleh berbagai jenis UMKM. Tampilan yang simpel dan praktis cocok digunakan bisnis pemula, ibu-ibu rumah tangga, hingga penjual berpengalaman. Produk ini masih di tahap awal, masih banyak pengembangan fitur yang akan melengkapi aplikasi ini ke depannya.”

Solusi pemberdayaan UMKM

Meski tidak disebutkan secara rinci jumlah penggunanya, Gabriel mengatakan saat ini profil pengguna CrediBook adalah UMKM di segmen ritel dan grosir. Mereka datang dari kategori usaha rumahan, toko dan jasa, dan agen. Lokasinya tersebar di kota lapis dan dua, di antaranya Surabaya, Sidoarjo, Cirebon, hingga Medan, Makassar, dan Palembang.

Selain memperkuat CrediBook dengan dua produk di atas, perusahaan ikut serta dalam program sosialisasi dari pemerintah mengenai pencatatan dan pembukuan sistem laporan keuangan bagi UMKM. Program ini adalah bagian dari pelaksanaan PP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM khususnya dalam pasal 87.

“Kami tengah menyusun kegiatan-kegiatan kolaborasi bersama pemerintah yang sifatnya dapat meningkatkan angka literasi keuangan dan adopsi oleh para pelaku UMKM. Ini juga bagian dari strategi kami dalam mengembangkan basis pengguna,” ujarnya.

Di ranah pembukuan digital untuk UMKM, CrediBook bersaing dengan BukuKas, BukuWarung, dan masih banyak lagi. Di luar itu, semakin banyak perusahaan yang menyediakan ragam solusi digital untuk permudah UMKM go digital dari berbagai aspek bisnis.

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024. Berikut solusi UMKM yang telah disediakan para startup.

Verihubs Kembangkan Solusi Verifikasi Berbasis API untuk Perusahaan Digital

Proses verifikasi menjadi komponen penting dalam setiap aktivasi atau transaksi yang terjadi secara digital. Implementasinya sendiri sangat diperlukan untuk mengukur kebenaran dan kompatibilitas satu sama lain dalam berbagai ekosistem perusahaan, termasuk dalam e-commerce, lembaga keuangan, permainan online, dan bahkan media sosial.

Salah satu pemain yang coba menyasar segmen ini adalah Verihubs, sebuah layanan berbasis API yang membantu perusahaan digital dalam proses verifikasi menggunakan sumber data lokal dan mengakses informasi keuangan dan identitas pengguna. Platform ini baru saja lulus dan berhasil meraih seed funding dari program akselerator Y Combinator.

Berawal dari isu pinjaman ilegal yang menerpa salah satu anggota keluarganya, CEO & Co-founder Verihubs, Rick Firnando yang pada saat itu bekerja pada sebuah perusahaan SaaS, mulai melihat hal ini sebagai peluang. Lalu, semasa bekerja ia juga mendapati beberapa permintaan dari perusahaan untuk solusi verifikasi. Pertemuannya dengan Williem yang ketika itu sedang mendalami ilmu AI untuk face recognition di salah satu universitas di Korea, semakin memantapkan niat Rick untuk membangun solusi verifikasi berbasis API ini.

Dalam peluncuran produknya, Rick juga mengungkapkan, “Misi kami adalah untuk membantu perusahaan layanan berbasis digital baru dan yang sudah ada (termasuk fintech) untuk memulai bisnis mereka dan transisi dari verifikasi manual ke proses yang sepenuhnya otomatis, masing-masing dengan menyediakan platform tunggal untuk semua solusi KYC, memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan autentikasi, verifikasi, dan otorisasi ke layanan klien kami dalam hitungan detik.”

Model bisnis dan target ke depan

Verihubs mulai menawarkan solusinya di tahun 2019 yang mencakup proses orientasi pelanggan, mulai dari verifikasi nomor telepon, proses KYC ujung ke ujung, deteksi penipuan, hingga menautkan akun bank. Selain itu, platform ini juga menyediakan interkoneksi antarplatform keuangan yang memungkinkan pengguna akhir dapat segera menarik dana langsung dari rekening bank pilihan melalui verifikasi instan.

Teknologi deep learning yang diterapkan diklaim dapat mengurangi risiko kesalahan dan memastikan proses berjalan mulus demi meningkatkan pengalaman pengguna. Perusahaan menggunakan lima teknologi autentikasi berbasis AI, yaitu Face Recognition, Liveness Detection, Face Search, Text Recognition, dan Telco Credit Score.

Dalam perjalanan mengembangkan solusi ini, Rick mengakui adanya tantangan ketika di masa awal mereka masih merintis bisnis. Saat itu perusahaan baru mendapat pre-seed dengan tim yang relatif sedikit, sementara talenta teknis sangat dibutuhkan untuk bisa mengembangkan sebuah platform SaaS. Namun seiring waktu, perusahaan semakin berkembang dan hingga kini timnya telah memiliki 25 anggota dengan 75% adalah tim produk dan engineer.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan. Hingga saat ini Verihubs sudah memproses lebih dari 6 juta verifikasi dan dipercaya oleh sekitar 45 perusahaan terkemuka, setengah di antaranya bergerak di bidang keuangan; seperti Payfazz, Bank Central Asia, dan Bank Commonwealth.

Untuk target dalam setahun ke depan, timnya mengaku sedang menjajaki solusi open banking untuk akses finansial. Selain itu, salah satu yang juga ada di pipeline adalah ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailan, Vietnam dan Malaysia.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan produk AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” ujarnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Program akselerator

Didirikan pada tahun 2019, Verihubs sempat terlibat dalam beberapa program akselerator. Di akhir tahun 2020, timnya menjadi salah satu partisipan dalam batch pertama dari Startup Studio Indonesia, sebuah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memfasilitasi startup digital yang sedang dalam proses mencapai tahap product-market fit.

Setelah itu, Verihubs juga ikut serta dalam Indigo Demo Day 1-2021 yang diadakan oleh Indigo Creative Nation pada 15 Juni 2021 silam, timnya berkesempatan pitching secara langsung dan disaksikan oleh Venture Capital terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari sini, mereka berhasil meraih perhatian serta pendanaan seed dari program akselerator yang berbasis di Amerika, Y Combinator.

Sebagai salah satu yang berkesempatan untuk menjalani program akselerator YC, Verihubs mengaku mendapat banyak sekali keuntungan selain pendanaan. “Bukan cuma pendanaan, tapi kita juga benar-benar diajari dari sisi produk dan komunitasnya sangat kuat. Kita jadi punya koneksi yang luas untuk bisa going global,” ujar Rick yang saat diwawancara sedang menyiapkan sesi Demo Day dan dijadwalkan lulus dari program Y Combinator di minggu ini.

Dilansir dari Crunchbase, selain Indigo Creative Nation, perusahaan yang berbasis di Indonesia ini juga turut didukung oleh beberapa angel investor untuk pre-seed termasuk dari Co-Founder Payfazz, Hendra Kwik serta Co-Founder & CEO Xfers, Tianwei Liu.

Startup Healthtech Zi.Care Umumkan Pendanaan Tahap Awal

Startup healthtech penyedia digitalisasi rumah sakit Zi.Care mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari sejumlah investor. Mereka adalah Southeast Asia Venture Capital, Iterative VC, TMI melalui Telkomsel Corporate Accelerator Program (TINC), dan Choco-Up.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk ekspansi bisnis, menambah jumlah konsumen untuk fasilitas kesehatan rumah sakit dan klinik, meningkatkan pendalaman dari Electronic Medical Record (EMR). Kemudian, upgrade teknologi untuk meningkatkan bisnis, efisiensi fasilitas kesehatan, dan menambah kerja sama dengan mitra korporat, seperti Bank BNI, Bank Syariah Indonesia, Bank Mandiri, Bank OCBC, dan Telkomsel.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (25/8), perusahaan sekaligus mengangkat sejumlah profesional bergabung sebagai dewan penasihat. Di antaranya, JS Chong (Chairman & CEO Stratez Ventures), Wiji Rahayu (mantan bankir dan pendiri PE Sentra Investa Prima), dan Budi Wiweko (Wakil Ketua Indonesia Medical Education and Research Institute/IMERI).

Co-Founder & CEO Zi.Care Jessy Abdurrahman menjelaskan, sejak perusahaannya didirikan pada empat tahun lalu, mereka berambisi untuk membantu masalah mendasar pada sistem fasilitas kesehatan Indonesia melalui digitalisasi. Mengingat saat ini sumber daya medis di Indonesia mendapat tekanan yang cukup besar, yang secara tidak langsung menimbulkan masalah pada seluruh ekosistem pelayanan kesehatan.

Ambil contoh, saat ini waktu yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, rata-rata menghabiskan waktu selama minimal 2 jam. Dari sisi efisiensi dan kemudahan, isu tersebut penting untuk diperbaiki dari sistem kesehatan di Indonesia.

“Selain itu, beberapa persoalan terkait, waktu tunggu yang lama, proses administrasi yang rumit hingga rendahnya tingkat akurasi dalam rekam medis, mencerminkan bahwa adanya permasalahan terhadap akses kesehatan di dalam negeri,” terangnya.

Maka dari itu, Zi.Care menawarkan solusi melalui Electronic Medical Record (EMR) dan Electronic Health Record (EHR) berbasis komputasi awan untuk mendigitalisasi semua sistem informasi kesehatan, meliputi administratif rumah sakit, pendukung klinis, dan manajemen klaim.

“Juga saat ini Zi.Care secara bertahap sedang melakukan pengembangan aplikasi catatan kesehatan pribadi pasien (Patient Personal Health Record) dan paspor kesehatan (Health Passport).”

Dia melanjutkan, dua produk yang sedang dikembangkan ini nantinya dapat memfasilitasi proses pengembangan kesehatan yang berfokus kepada pasien. Juga, meningkatkan sistem administrasi di rumah sakit, meningkatkan penggunaan, dan pengalaman klaim asuransi secara digital.

Chief Strategy Officer Zi.Care Jodi P. Susanto menambahkan, pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran bahwa diperlukan peningkatan kebutuhan untuk digitalisasi fasilitas kesehatan dalam proses sistem informasi kesehatan.

Pihaknya berpartisipasi aktif menggaet praktisi swasta, telemedis, rumah sakit, dan klinik untuk mendapatkan manfaat teknologi yang lebih baik dan terdepan melalui Zi.Care, untuk mengambil data medis ke tingkat berikutnya, dan memfasilitasi akses melalui pertukaran informasi kesehatan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Kami berkomitmen untuk mendukung adaptasi EMR dan digitalisasi fasilitas Kesehatan di Indonesia, sehingga pasien dapat memperoleh layanan yang lebih baik dan lebih cepat melalui platform kami. Kami akan selalu mendukung pemerintah agar tenaga medis dapat menjangkau lebih banyak pasien melalui aplikasi Sehatpedia kami, yang telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan,” kata Susanto.

Zi Care menerapkan dua model bisnis, yaitu B2B dan B2B2C untuk mendukung semua segmen terlepas dari tingkatannya. Sebagai contoh, fleksibilitas penawaran yang lebih tinggi dalam opsi penetapan harga, yang selaras dengan tujuan akhir Zi.Care, yakni membuat layanan yang dapat di akses oleh masyarakat luas.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id sebelumnya, dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS Zi.Care dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, perusahaan akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan di rumah sakit, serta pemeliharaan sistemnya.

Diklaim, perusahaan telah melayani 76 rumah sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.

Adopsi healthtech global

Semenjak pandemi, rumah sakit masih dalam mode tanggap krisis. Skala dan penularan Covid-19 membuat sistem rumah sakit global lengah, dan APAC tidak terkecuali. Tanggap darurat dan likuiditas diprioritaskan daripada strategi pembangunan jangka panjang, dan tetap menjadi agenda utama – terlepas dari penahanan yang efektif di pasar-pasar utama APAC.

Dalam laporan yang dipublikasikan L.E.K Consulting and GRG Health 2021, menyampaikan dengan pembatasan mobilitas pasien dan penghindaran risiko yang menyertai rumah sakit, telah meningkatkan penerimaan kesehatan digital bagi semua pemangku kepentingan.

“Hal ini menyebabkan percepatan adopsi solusi seperti teleconsultation, analisis gambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), dan pemantauan pasien jarak jauh. Pasien lebih menerima alternatif digital, dan pemerintah melihat manfaat dari adopsi yang lebih besar. Semakin banyak, peraturan sedang dilonggarkan dan penggantian sedang diformalkan untuk solusi kesehatan digital,” jelas partner L.E.K. Consulting Singapura Fabio La Mola.

Kekhawatiran adopsi teknologi di industri kesehatan di APAC / L.E.K Consulting

Akibatnya, sebagian besar rumah sakit di seluruh APAC sedang menjajaki dan menguji coba solusi kesehatan digital – jika belum menggunakannya. Di Singapura, angka ini mencapai 94%, sementara Australia dan China masing-masing memiliki tingkat adopsi 84% dan 89%. Jepang tertinggal dengan lebih dari 60%.

Sebagian besar adopsi teknologi adalah sarana untuk mempertahankan kualitas diagnosis dan perawatan – bahkan pada jarak dan di bawah tekanan dari volume tinggi. Ada banyak contoh yang bisa diambil, di Tiongkok misalnya, perusahaan pencitraan medis Infervision menggunakan pencitraan AI untuk mengidentifikasi pasien potensial Covid-19.

Rumah sakit di Indonesia dan India menggunakan asisten robot untuk mengantarkan makanan dan obat-obatan – meminimalkan risiko bagi petugas kesehatan, sementara alat pemantauan pasien jarak jauh dari perusahaan perawatan prediktif global Bifourmis memungkinkan praktisi untuk melacak tanda vital di antara orang-orang yang menunggu hasil tes.

Di luar perawatan pasien, rumah sakit menggunakan teknologi untuk meminimalkan kesalahan, dan menemukan aliran pendapatan baru untuk mengatasi kerugian dari pengurangan operasi elektif dan konsultasi. Banyak juga yang menggunakan saluran digital untuk terlibat dengan pemasok – saling menguntungkan di mana rumah sakit dapat memesan obat dan peralatan dengan mudah sementara perusahaan farmasi dapat memperluas distribusinya.

Application Information Will Show Up Here

RUN System IPO on IDX, Optimizing Momentum for Business Expansion and Sustainability

One of Telkom Group’s investment portfolios, PT Global Sukses Solusi Tbk (RUN System) plans to expand its business and seek funds through an initial public offering (IPO) on the Acceleration Board. This SaaS platform providing ERP solutions targets to collect IDR 49.9 billion Rupiah from its corporate actions.

The development of the company’s business in the past few years and the trust of various parties are believed to be one of the strong reasons for the IPO. With the current conditions, especially the impact of the pandemic that has changed many parts, including the urgency of digitizing business processes has urged companies to find ways to survive and thrive. On the other hand, the IPO is said to help improve the company’s performance.

RUN System’s Founder & CEO, Sony Rachmadi Purnomo said, “We’ve set an IPO as a target since the beginning in order to support business expansion and company’s sustainability. As a startup, agility really helps to grow and develop, however, it can also backfire if we don’t focus on stakeholders and corporate governance. We chose the IPO method in order to maintain the momentum for business expansion and sustainability (GCG) at the same time.”

DailySocial received an official statement that the company is to sell a maximum of 196,800,000 ordinary shares on behalf of which all are new shares and are issued from the company at a value of IDR 4 per share. The number of shares represents a maximum of 20.01% of the total issued and paid-up capital of Run System post-IPO. The share price offered to the public is between IDR 230-254 per share.

In addition, the company also held an ESA (Employment Stock Allotment) Program by allocating shares of a maximum of 1% of the total number of shares offered or a maximum of 1,968,000 shares.

Run System has scheduled the initial offering period between August 20-26, 2021,
with an estimated effective date of August 31st,2021. The IPO date for Run System is targeted between September 2-6, 2021, with an allotment date of September 6th. Meanwhile, the targeted date for distribution of electronic shares is September 7th and listing on September 8th, 2021.

Acting as the implementing guarantor of PT Global Sukses Solusi TBK’s share
issuance are PT BRI Danarekse and PT Mirae Sekuritas Indonesia.

The proceeds from the Initial Public Offering after deducting share issuance costs
are to be used for working capital (74%) including financing new projects, overhead and operational costs. Around 11% will be used for market acquisition and expansion and 10% for research and development. While 5% is to be allocated for the company’s capital expenditure which includes work equipment and infrastructure.

Papan Akselerasi IPO Startup

ERP Market in Indonesia

According to a report published by Allied Market Research, the global ERP market was pegged at $39.34 billion in 2019 and is expected to reach $86.30 billion by 2027, recording a CAGR of 9.8% from 2020 to 2027.

In a recent interview with DailySocial, Sony revealed that the ERP industry market in Indonesia is quite large, with around 10-20% of new companies taking advantage of the service for their business. This makes his team more optimistic about the development of this industry in the future.

The company, which has been focused on developing ERP solutions since 2013 from upstream to downstream, offer four types of products, an ERP software Run System, an enterprise internediary platform Run Market, Run iProbe (HR enterprise solution system), and a point of sales platform iKas.

In 8 years, RUN System has served around 50 companies in various business scales from MSMEs, medium to large, which are engaged in the manufacturing, distribution, trade, and service sectors. Sony said that his team is working on the integration of ERP and the banking sector.

Runway with Telkom Group

In 2014, RUN System participated in the first batch of Indigo Incubator program held by Telkom. Seeing the big potential in this startup, Telkom promotes RUN System as one of the Distribution Partners of ERP solutions for all its customers in Indonesia.

In addition, this Yogyakarta-based startup also received support from MDI Ventures and its managed fund MDI-KB Centauri with a strong partnership with Telkom Indonesia as their go-to-market prior to the IPO.

In 2020, a subsidiary of PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), PT Metra-Net signed a Shareholder Agreement with RUNSystem. At that time, this agreement had a vision, one of which was to monetize opportunities in the online industry.

As one of its first portfolios, MDI Ventures believes that Run System is a validation of their modernized IPO thesis in comparison to other conventional VC which are much more tailored to the local stock exchange. Run System managed to grow positively on both top-line and bottom-line with profitability since day one while treating IPO as an additional funding milestone. It’s the opposite with how the usual startup dogma, where they are letting go of profit to push growth and treat IPO as one of the exit strategies.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

RUN System IPO di BEI, Manfaatkan Momentum untuk Ekspansi dan Keberlangsungan Bisnis

Salah satu portfolio investasi Telkom Group, PT Global Sukses Solusi Tbk (RUN System) berencana untuk mengembangkan bisnisnya dan mencari dana melalui penawaran umum perdana (IPO) di Papan Akselerasi. Platform SaaS penyedia solusi ERP ini menargetkan mengumpulkan Rp49,9 miliar Rupiah dari aksi korporasinya.

Perkembangan bisnis perusahaan beberapa tahun ke belakang serta kepercayaan berbagai pihak diyakini sebagai salah satu alasan kuat untuk IPO. Dengan kondisi saat ini, khususnya dampak pandemi yang mengubah banyak tatanan termasuk tingkat urgensi dari digitalisasi proses bisnis mendesak perusahaan mencari cara untuk bertahan dan berkembang. Di sisi lain, IPO disebut akan membantu meningkatkan kinerja perusahaan.

Founder & CEO RUN System Sony Rachmadi Purnomo mengungkapkan, “Sejak awal kami sudah menargetkan IPO dalam rangka menunjang ekspansi bisnis dan keberlanjutan perusahaan. Sebagai Startup, agility sangat membantu untuk tumbuh dan berkembang namun bisa menjadi bumerang jika kita tidak fokus pada stakeholder dan tata kelola perusahaan. Kami memilih cara IPO agar dapat menjaga momentum untuk ekspansi dan keberlangsungan (GCG) bisnis secara bersamaan.”

Dalam rilis yang diterima DailySocial, perusahaan disebut akan menjual sebanyak-banyaknya 196,8 juta saham biasa atas nama yang seluruhnya adalah Saham Baru dan dikeluarkan dari portepel Perseroan, dengan nilai nominal Rp4,- per lembar. Jumlah saham tersebut mewakili sebanyak-banyaknya 20,01% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh Perseroan setelah Penawaran Umum Perdana Saham. Harga saham yang ditawarkan kepada masyarakat sebesar Rp230-254 per lembar.

Selain itu, perusahaan turut mengadakan Program ESA (Employment Stock Allotment) dengan mengalokasikan saham sebanyak-banyaknya 1% dari jumlah penerbitan saham yang ditawarkan atau sebanyak-banyaknya sebesar 1.9 juta saham.

RUN System telah menjadwalkan periode penawaran awal antara 20-26 Agustus 2021, dengan perkiraan tanggal efektif 31 Agustus 2021. Tanggal IPO untuk Run System ditargetkan antara 2-6 September 2021, dengan tanggal penjatahan 6 September. Sedangkan target pendistribusian saham elektronik adalah 7 September dan listing pada 8 September 2021.

PT BRI Danarese dan PT Mirae Sekuritas Indonesia menjadi pihak yang bertindak sebagai pelaksana penjaminan saham PT Global Sukses Solusi TBK yang diterbitkan.

Dana hasil Penawaran Umum Perdana setelah dikurangi biaya emisi saham
akan digunakan sebagai modal kerja (74%) termasuk pembiayaan baru proyek, biaya overhead dan biaya operasional. Sekitar 11% akan dialokasikan untuk akuisisi dan ekspansi pasar dan sebesar 10% untuk penelitian dan pengembangan. Sementara 5% akan digunakan untuk belanja modal perusahaan yang termasuk peralatan dan infrastruktur kerja.

Papan Akselerasi IPO Startup

Pasar ERP di Indonesia

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Allied Market Research, pasar ERP global dipatok pada $39,34 miliar pada tahun 2019 dan diperkirakan mencapai $86,30 miliar pada tahun 2027, mencatat CAGR sebesar 9,8% dari tahun 2020 hingga 2027.

Dalam wawancara terakhir bersama DailySocial, Sony mengungkapkan bahwa peluang industri ERP di Indonesia masih sangat besar, dengan sekitar 10-20% perusahaan yang baru memanfaatkan layanan tersebut untuk bisnis mereka. Hal ini membuat timnya semakin optimis akan perkembangan industri ini ke depannya.

Perusahaan yang sejak tahun 2013 fokus mengembangkan solusi ERP dari hulu ke hilir ini memiliki empat jenis produk yaitu Run System yang merupakan ERP software, Run Market yaitu enterprise internediary platform, Run iProbe (HR enterprise solution system), dan iKas yaitu point of sales platform.

Dalam kurun waktu 8 tahun, RUN System telah melayani sekitar 50 perusahaan di berbagai skala bisnis mulai dari UMKM, menengah, hingga besar yang bergerak di sektor manufaktur, distribusi, perdagangan, dan jasa. Sony menyampaikan timnya tengah menggarap integrasi ERP dan sektor perbankan

Perjalanan RUN System bersama Telkom Group

Pada 2014, RUN System ikut serta dalam program Indigo Incubator batch pertama yang diadakan oleh Telkom. Melihat potensi yang ada pada startup ini, Telkom kemudian menjadikan RUN System sebagai salah satu Distribution Partner solusi ERP bagi seluruh pelanggannya di Indonesia.

Di samping itu, perusahaan rintisan asal Yogyakarta ini turut mendapat dukungan dari MDI Ventures dan dana kelolaannya MDI-KB Centauri dengan kemitraan yang kuat dengan Telkom Indonesia sebagai go-to-market mereka sebelum IPO.

Pada tahun 2020 lalu, anak perusahaan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), PT Metra-Net melakukan penandatanganan Shareholder Agreement dengan RUNSystem. Pada saat itu, kesepakatan ini memiliki visi salah satunya untuk memonetisasi peluang pada industri online.

Sebagai salah satu portfolio pertama mereka, MDI Ventures percaya bahwa Run System adalah validasi dari tesis IPO modern mereka. Run System disebut telah mencapai profitabilitas sejak hari pertama dan menjadikan IPO sebagai jalur pendanaan mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan dogma startup biasa, di mana mereka melepaskan keuntungan untuk mendorong pertumbuhan dan menganggap IPO hanya sebagai strategi exit.

Feedloop Receives Pre Series A Funding, Currently Operating a Codeless Application Development Platform

SaaS service developer for business digitization Feedloop secures pre-series A funding of an undisclosed amount. This round was led by Telkomsel Mitra Innovation (TMI) with the participation of Aksara Ventures and the previous investor, East Ventures.

Funds will be focused on accelerating the development of technology products, recruiting more human resources, and building distribution networks.

Was founded by Ahmad Rizqi Meydiarsi (CEO), Ronaldi Kurniawan Saphala (CTO), and Muhammad Aji Santika (CMO) in 2018; Feedloop provides much different services than in the early days. They first debuted with a platform that allows marketers to create interactive content such as surveys, quizzes, or digital stories to support online marketing.

While the existing SaaS has been expanded with two main products, Qore and AIXP. Qore is a no code development platform (NCDP), allowing users to develop applications without code/programming for various purposes, such as HR management, warehouse management, consumer applications, and others.

Moreover, AXIP was developed as a customer data and experience platform (CDXP), enabling users to manage digital data from various channels to improve their marketing capabilities. Including aimed at analyzing customer behavior in real-time.

“Entering its third year, Feedloop will continue its commitment to become a digital-enabler for Indonesian companies [..] The investment from TMI will help us to accelerate the realization of our great mission to create equitable digital transformation throughout Indonesia,” Rizqi said.

Potential synergy

Since its debut in May 2019 with an initial managed fund of IDR 576 billion, TMI focused on investing in various types of startups that can be synergized with the main business of the parent. Synergy is an important point that is underlined, as a corporate venture capital (CVC), they carry an important mission to help companies achieve certain goals, in this case digital transformation.

The strategic partnership with Feedloop is no exception. Along with that, Telkomsel will jointly develop a data management platform and consumer experience. Various types of customer data will be formulated to be a more targeted marketing reference and product innovation. The purpose of developing this platform is also to help other SOEs (outside the Telkomsel group) adopt digital transformation.

Feedloop is now TMI’s 13th portfolio company. Previously they have invested in Kredivo, Inspigo, EVOS Esports, TaniHub, Qlue, Tada, PrivyID, Roambee, Halodoc, SiCepat, Skor, and Sekolahmu.

“In the future, TMI will be further developed to open up various opportunities for collaboration and wider startup empowerment. We have prepared many things to realize various strategic plans in the future,” TMI’s CEO, Marlin R. Siahaan said on a media briefing (22/7).

Data and no-code platform projection

Previously there were Typedream and Cotter, no-code platforms developed by founders from Indonesia. They managed to secure seed funding from Y Combinator and some global angel investors. The service concept takes the form of a web builder and a passwordless login platform, allowing users to build their websites without programming; and create secure login access without requiring a password.

The convenience offered makes the no-code platform, or often also called low-code, growing rapidly. In the global arena, currently there are many SaaS-based platforms that offer similar capabilities for various specific needs.

No-Code Platform
Various kinds of no-code platforms in global market / Petro Inverinizzi (Stride VC) and Ben Tossell (Makerpad)

According to the findings of the Appinventiv survey, no-code services are in great demand by business people because it makes it easier for them to innovate and transform. As is known, businesses are required to agilely carry out digital transformation by going online. The manual development process can take a long time for companies just starting out, as they have to go through many stages, from planning to recruiting programming experts.

Survey on user’s reasons to use low-code platform / Appinventiv

This potential brings the market value of these services to $45.5 billion by 2025. The existing platform variants not only facilitate the specific needs of large companies, but also for MSMEs who want to increase their online presence or minimize friction in their operational activities.

No-code platform market share in the world / MarketsandMarkets


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Feedloop Dapat Pendanaan Pra-Seri A, Kini Jadi Platform Pengembangan Aplikasi Tanpa Kode

Pengembang layanan SaaS untuk digitalisasi bisnis Feedloop mendapatkan pendanaan pra-seri A dengan nilai yang tidak diumumkan. Putaran ini dipimpin oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dengan keterlibatan Aksara Ventures dan investor di tahap sebelumnya, yakni East Ventures.

Dana akan difokuskan untuk mendorong pengembangan produk teknologi, merekrut lebih banyak SDM, dan membangun jaringan distribusi.

Didirikan oleh Ahmad Rizqi Meydiarsi (CEO), Ronaldi Kurniawan Saphala (CTO), dan Muhammad Aji Santika (CMO) sejak tahun 2018; layanan yang disajikan Feedloop saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan di masa awalnya. Mereka pertama kali debut dengan platform yang memungkinkan pemasar untuk membuat konten interaktif seperti survei, kuis, atau cerita digital untuk mendukung pemasaran daring.

Sementara SaaS yang ada sekarang sudah diperluas dengan dua produk utama, yakni Qore dan AIXP. Qore sendiri merupakan no code development platform (NCDP), memungkinkan pengguna mengembangkan aplikasi tanpa kode/pemrograman untuk berbagai kepentingan, seperti pengelolaan SDM, manajemen gudang, aplikasi konsumen, dan lain-lain.

Kemudian AXIP dikembangkan sebagai sebuah customer data and experience platform (CDXP), memungkinkan pengguna untuk mengelola data digital dari berbagai kanal untuk meningkatkan kapabilitas pemasarannya. Termasuk ditujukan untuk menganalisis perilaku pelanggan secara real-time.

“Memasuki tahun ketiganya, Feedloop akan melanjutkan komitmen untuk menjadi digital-enabler bagi perusahaan-perusahaan Indonesia [..] Investasi dari TMI akan membantu kami untuk mempercepat realisasi misi besar kami untuk dapat menciptakan pemerataan transformasi digital di seluruh Indonesia,” ujar Rizqi.

Agenda sinergi

Sejak debut pada Mei 2019 membawa dana kelolaan awal 576 miliar Rupiah, TMI fokus untuk berinvestasi ke berbagai jenis startup yang dapat disinergikan dengan bisnis utama induknya. Sinergi menjadi poin penting yang digarisbawahi, sebagai corporate venture capital (CVC), mereka membawa misi penting untuk membantu perusahaan mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini transformasi digital.

Tak terkecuali kemitraan strategisnya dengan Feedloop. Bersamanya, Telkomsel akan bersama-sama mengembangkan platform pengelolaan data dan pengalaman konsumen. Berbagai jenis data pelanggan akan diracik untuk menjadi referensi pemasaran dan inovasi produk yang lebih tepat sasaran. Tujuan pengembangan platform ini juga untuk membantu BUMN lain (di luar grup Telkomsel) mengadopsi transformasi digital.

Feedloop kini jadi perusahaan portofolio ke-13 milik TMI. Sebelumnya mereka telah berinvestasi ke Kredivo, Inspigo, EVOS Esports, TaniHub, Qlue, Tada, PrivyID, Roambee, Halodoc, SiCepat, Skor, dan Sekolahmu.

“Ke depan, TMI akan semakin dikembangkan untuk membuka berbagai peluang kolaborasi dan pemberdayaan startup lebih luas lagi. Sudah ada banyak hal yang telah kami persiapkan untuk merealisasikan berbagai rencana strategis dalam beberapa waktu ke depan,” ujar CEO TMI Marlin R. Siahaan dalam sebuah kesempatan temu media (22/7).

Data dan proyeksi platform no-code

Sebelumnya ada Typedream dan Cotter, platform no-code yang dikembangkan founder asal Indonesia. Mereka berhasil membukukan pendanaan awal dari Y Combinator dan sejumlah angel investor global. Konsep layanannya berbentuk web bulider dan passwordless login platform, memungkinkan pengguna untuk membangun situs webnya tanpa pemrograman; serta membuat akses login yang aman tanpa memerlukan kata sandi.

Kemudahan yang ditawarkan membuat platform no-code, atau sering juga disebut low-code, berkembang pesat. Di kancah global, saat ini banyak sekali platform berbasis SaaS yang menawarkan kapabilitas serupa untuk berbagai kebutuhan spesifik.

No-Code Platform
Berbagai layanan no-code yang saat ini beredar di pasar global / Petro Inverinizzi (Stride VC) dan Ben Tossell (Makerpad)

Menurut temuan hasil survei Appinventiv, layanan no-code banyak diminati oleh pebisnis lantaran memudahkan langkah mereka melakukan inovasi dan transformasi. Seperti diketahui, bisnis dituntut untuk secara tangkas melakukan transformasi digital dengan go-online. Proses pengembangan manual dapat memakan waktu panjang untuk perusahaan yang baru memulai langkah tersebut, karena harus melakukan banyak tahapan, mulai perencanaan hingga perekrutan staf ahli di bidang pemrograman.

Survei mengenai alasan pengguna memakai platform low-code / Appinventiv

Potensi ini membawa nilai pasar layanan tersebut mencapai $45,5 miliar pada tahun 2025 mendatang. Varian platform yang ada tidak hanya memfasilitasi kebutuhan spesifik perusahaan besar, melainkan juga kepada UMKM yang ingin meningkatkan kehadirannya secara online atau meminimalkan friksi dalam kegiatan operasionalnya.

Proyeksi pangsa pasar platform no-code di dunia / MarketsandMarkets

Startup POS Qasir Mulai Ekspansi Regional

Startup pengembang layanan point of sales (POS), Qasir mengumumkan ekspansi regional di Asia Tenggara. Inisiatif ini diluncurkan dengan melihat akselerasi adopsi digital di Indonesia yang tengah memiliki momentum, serta pertumbuhan layanan Qasir yang telah mencapai 4x lipat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Perusahaan juga mengklaim telah mencapai product-market fit di Indonesia dan ingin membawa pencapaian ini ke ranah yang lebih luas.

Dalam keterangannya CEO Qasir Michael Liem mengungkapkan, “Kami melihat ada kesamaan karakter UMKM di Asia Tenggara dan tingkat kematangan dalam adopsi digital yang cukup tinggi. Berangkat dari perusahaan yang berambisi memiliki global footprints, Qasir akan mulai menyediakan aplikasi untuk UMKM di Asia Tenggara.”

Rencana ekspansi ini diakui telah dipersiapkan sejak lama, CTO Qasir Novan Adrian menegaskan bahwa timnya dari awal sudah memiliki target global, karena itu mereka terus berusaha saling membangun secara personal dan profesional. Dari sisi teknologi juga perusahaan telah menggunakan dan menerapkan teknologi berstandar global dalam operasional bisnisnya.

Michael turut mengungkapkan, Vietnam menjadi salah satu pasar yang menyimpan potensi besar. Belum genap satu minggu setelah resmi diluncurkan di sana, pengguna baru di negara ini hampir menembus angka 2 ribu orang. Dalam mencapai hal ini, timnya mengaku belum menggencarkan marketing apa pun, dengan kata lain hasil ini adalah organik.

Berdiri sejak tahun 2015, perusahaan penyedia jasa layanan kasir digital tersebut telah mencatat kenaikan pertumbuhan pengguna sebesar 60% dari 250 ribu menjadi 750 ribu. Michael juga mengungkapkan target perusahaan untuk bisa menjangkau lebih dari 1 juta pengguna di tahun ini, dan diharapkan 8%-nya datang dari regional.

Pandemi dan akselerasi adopsi digital

Tidak bisa dimungkiri bahwa pandemi sangat berperan dalam akeselerasi digital di negara ini. Menurut data We are Social-Hootsuite, per Januari 2021 ini jumlah pengguna internet di Indonesia naik 73,7% dari populasi Indonesia yang 274,9 juta atau menembus 202,6 juta pengguna. Momentum inilah yang tidak ingin dilewatkan oleh Qasir untuk menjangkau pasar yang lebih besar.

Ekspansi regional memiliki tantangan tersendiri untuk bisnis yang menjangkau target pasar UMKM. Selain perbedaan kultur, literasi, dan adopsi digital yang berbeda di tiap negara juga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Qasir. Namun, Michael tidak menganggap hal itu sebagai tantangan, melainkan sebuah pelajaran yang harus diikuti dalam proses mengembangkan bisnis.

Dalam mengembangkan produk POS-nya, Qasir menggunakan konsep pay as you grow atau berbayar seiring bisnis bertumbuh, artinya fitur-fitur yang disediakan bisa didapatkan secara modular. Fleksibilitas yang tinggi disebut bisa membantu bisnis menyesuaikan proses yang dibutuhkan, karena semua kembali pada kebutuhan dan skala usaha.

Terkait fitur, timnya menyebutkan secara teknologi mungkin tidak akan banyak berbeda, lebih kepada tampilannya. Namun timnya akan terus belajar dan berpatokan pada data terkait pengembangan fitur apa saja yang dibutuhkan regional. Di tahun 2020, dalam kurun waktu dari Maret ke akhir tahun, Qasir disebut telah merilis 24 fitur besar, kurang lebih 2 fitur besar setiap bulannya.

Novan turut menambahkan, “Kita memahami bahwa kondisi market tidak selalu sama, terlebih masing-masing POS punya pasarnya sendiri. Kita mencoba mengisi kekosongan dari sisi mikro, karena yang kita lihat masih belum banyak yang masuk ke segmen ini. Terkait fitur, ke depannya akan ada fitur yang kita kembangkan untuk vertikal tertentu.”

Terkait pendanaan, Michael turut menyampaikan bahwa timnya sedang dalam proses penggalangan dana dan sejauh ini berjalan lancar. Ke depannya, dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan produk serta memperluas edukasi digital terhadap UMKM di Asia Tenggara. “Kami percaya marketing yang paling baik adalah produk yang baik,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Pengembang Aplikasi Bukugaji Raih Pendanaan 69,5 Miliar Rupiah

Vara selaku pengembang SaaS untuk pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di UMKM hari ini (13/7) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai $4,8 juta atau setara 69,5 miliar Rupiah. Investasi diperoleh dari sejumlah pemodal ventura, meliputi Go-Ventures, RTP Global, Alpha JWC Ventures, Surge dari Sequoia Capital India, FEBE Ventures, dan Taurus Ventures.

Bukugaji adalah aplikasi awal yang mereka kembangkan untuk pasar Indonesia. Di dalamnya meliputi layanan digital untuk daftar kehadiran hingga sistem penggajian. Solusi ini dilatar belakangi proses pengelolaan personalia di kalangan UMKM yang sebagian besar masih manual. Perangkat lunak SDM umumnya juga berharga yang relatif mahal bagi UMKM dan juga memiliki kompleksitas yang tinggi.

Kesulitan yang muncul dari pengelolaan SDM yang sporadis dan analog ini tak jarang mempengaruhi karyawan yang umumnya tidak pernah memiliki akses untuk mendapatkan riwayat pekerjaan formal. Salah satu masalah yang sering muncul adalah sulitnya akses bagi karyawan ini mendapatkan layanan finansial dari lembaga keuangan tradisional seperti bank.

Startup ini didirikan oleh Vidush Mahansaria dan Abhinav Karale sejak November 2020. Mereka juga sempat mengikuti program akselerasi Surge kohort kelima. Selanjutnya dana yang diperoleh akan difokuskan untuk mengembangkan produk dan meningkatkan kapabilitas fitur yang dimiliki Bukugaji. Sejauh ini aplikasi tersebut diklaim sudah digunakan untuk mengelola sekitar 100 ribu staf.

Untuk berbagai skala bisnis, sejauh ini ada berbagai startup yang menggarap layanan SaaS untuk pengelolaan SDM. Di antaranya Pegaw.ai, Catapa, Synergo, KaryaOne, Mekari, dan lain sebagainya.

Masuknya Bukugaji menambah panjang pemain digital di ekosistem yang menggarap segmen UMKM. Sebelumnya cukup ramai kehadiran pengembang aplikasi pencatatan arus kas bagi pelaku bisnis kecil oleh startup seperti BukuKas, BukuWarung, dan beberapa pemain lokal lainnya.

Application Information Will Show Up Here