Melalui Rangkaian Program Akselerasi, Sequoia Capital Ingin Dukung Ekosistem Startup Indonesia

Sebagai salah satu pemodal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan kepada startup di Indonesia dan Asia Tenggara, Sequioa Capital memiliki strategi khusus yang diklaim bisa menjadi wadah bagi ekosistem startup. Mulai dari program akselerasi bernama Surge hingga Sequoia Spark, semua program yang dirancang menyesuaikan tahapan masing-masing startup. Dan kini telah melahirkan sejumlah startup yang berkualitas.

Kepada DailySocial.id, Managing Director Sequoia Capital Abheek Anand mengungkapkan bahwa beberapa program yang diinisiasi oleh Sequoia ditujukan untuk membantu startup yang masih dalam tahap awal hingga mereka yang sudah menyandang status unicorn hingga decacorn di India hingga Asia Tenggara.

Disinggung kategori bisnis startup seperti apa yang kemudian menjadi perhatian Sequoia saat berinvestasi, Abheek menegaskan secara khusus sekitar 80-90% mereka selama ini telah memberikan perhatian lebih kepada startup hingga perusahaan yang berbasis teknologi. Mulai dari consumer internet, financial services, B2B software. hingga industri yang sedang tren saat ini yaitu kripto dan web 3.0.

Namun demikian tidak menutup kemungkinan jika ada kategori bisnis yang memiliki potensi untuk berkembang kemudian dilirik oleh mereka. Contohnya startup aquaculture Indonesia seperti eFishery. Namun secara khusus sektor yang masih menjadi perhatian dari Sequoia hingga saat ini adalah fintech.

“Dan saya melihat masih banyak peluang dari layanan fintech untuk terus tumbuh di Indonesia. Kami juga ingin bermitra lebih banyak lagi dengan startup yang menyasar layanan fintech dan masih dalam tahap awal. Termasuk di dalamnya perusahaan yang menyasar kripto dan terkaitnya, kami tertarik untuk berinvestasi kepada mereka,” kata Abheek.

Program unggulan Surge

Salah satu program yang menjadi unggulan dari Sequoia Capital adalah, program akselerasi Surge. Melalui program ini startup yang masih dalam tahap awal, bisa mendapatkan mentoring hingga dukungan capital yang relevan. Surge menggabungkan modal awal $1 juta hingga $2 juta dengan dukungan pembangunan perusahaan, kurikulum global, dan dukungan dari komunitas mentor dan pendiri startup.

“Kami melihat program Surge menjadi langkah awal bagi startup yang masih berada dalam tahap awal. Kami ingin menjalin kemitraan dengan lebih banyak lagi startup di Indonesia,” kata Abheek.

Bagi mereka yang sudah masuk dalam program Surge dan berhasil mengantongi pendanaan, ke depannya jika memiliki potensi, Sequoia akan memberikan investasi dalam putaran pendanaan selanjutnya. Dengan demikian, program Surge menjadi pembuka bagi mereka untuk bisa mendapatkan kesempatan pendanaan lanjutan.

Startup yang awalnya merupakan lulusan program Surge dan berhasil mengantongi invetasi tahapan lanjutan dari Sequoia Capital di antaranya adalah Lummo dan Qoala.

Saat ini tercatat sudah ada 9 startup lulusan program Surge. Sementara Sequoia Capital sendiri sudah terlibat dalam 22 startup di Indonesia. Di antaranya adalah Traveloka, Gudangada, GoTo, hingga Kopi Kenangan.

Portofolio Sequoia Capital India di Indonesia

Program Sequoia Spark, Build dan The Guild

Salah satu program yang telah diluncurkan oleh Sequoia India yang mendukung usaha para perempuan adalah Sequoia Spark. Program dana hibah sebesar $100.000 beserta pendampingan ini, ingin mengajak lebih banyak perempuan di India dan kawasan Asia Tenggara untuk menjadi pengusaha.

Program ini diadakan dengan menyediakan pendampingan langsung yang mendalam kepada 15 startup yang dipimpin oleh perempuan setiap tahunnya dan modal cukup sebagai biaya awal untuk memulai usaha.

“Yang kami berikan adalah hibah bukan berupa investasi atau pembagian ekuitas. Melalui program ini kami ingin membuat proses membangun usaha bagi para perempuan lebih mudah, dengan pendampingan dari kami. Melalui program ini juga menjadi cara bagi kami untuk mencari perempuan yang cerdas dan memiliki motivasi yang besar untuk membangun usaha yang memiliki nilai” kata Abheek.

Kohort pertama dari program Sequoia Spark terdiri dari berbagai macam bidang, termasuk edtech, fintech, SaaS, dan crypto. Kohort ini menggabungkan tujuh startup dari Asia Tenggara, tujuh dari India dan satu dari Uni Emirat Arab. Dari Indonesia Sribuu berhasil mendapatkan mentoring dan pendanaan awal dari Sequoia Capital.

“Mentoring merupakan bagian dari Sequoia, kami bukan hanya bertindak sebagai mitra bisnis tapi juga bisa membantu mereka berupa mentoring melalui program yang kami tawarkan. Diharapkan bisa membantu komunitas karena semua program kami bangun berdasarkan tahapan yang ada. Mulai dari Surge untuk startup tahap awal, Spark untuk perempuan dan kami juga memiliki program bagi startup yang telah masuk dalam tahapan lanjutan seperti seri B hingga mereka yang sudah menjadi unicorn dan decacorn,” kata Abheek.

Khusus untuk startup yang akan mulai menggalang dana tahapan seri B, Sequoia Capital memiliki program bernama Sequoia Build. Melalui program ini, startup bisa mendapatkan kesempatan untuk mengelola bisnis lebih besar lagi, dengan memahami pentingnya mengejar growth, menciptakan kultur perusahaan hingga membangun strategi.

“Salah satu tantangan bagi startup yang berada dalam tahapan Seri B adalah, bagaimana mereka menciptakan kultur perusahaan yang baik, membangun strategi dan mempertimbangkan unit ekonomi versus growth,” kata Abheek.

Untuk startup hingga perusahaan teknologi yang sudah menyandang status unicorn hingga decacorn, Sequoia Capital juga memiliki program khusus bernama The The Guild. Melalui program ini mereka akan didampingi untuk memikirkan growth dan bagaimana perusahaan terus bisa tumbuh.

“Sesuai dengan filosofi Sequoia Capital, yaitu bukan hanya memberikan pendanaan tetapi kami juga membantu perusahaan terus tumbuh untuk jangka panjang,” tutup Abheek.

Grupin Social Commerce Startup Receives 42 Billion Rupiah Funding Led by Surge

The social commerce platform “Grupin” announced seed funding of $3 million or equivalent to 42 billion Rupiah. This round was led by Surge from Sequoia Capital India. Also participated in this round, Skystar Capital and East Ventures. Grupin is part of the sixth cohort of the Surge accelerator program.

Grupin was founded by Kevin Sandjaja and Ricky Christie in January 2021. Kevin himself was previously known as Pegipegi’s CEO.

As other existing social commerce applications, Grupin offers a community-based shopping experience to consumers in collective concept, aiming to get better price offers. They provide daily products, such as basic necessities, kitchen utensils, baby products, and electronics. Currently, this service is only available for the Greater Jakarta and Bandung areas.

“With the rise of e-commerce, especially since the pandemic, consumer wants a different shopping experience that still provides certain offline experience, not only competitive prices, but also social interaction. At Grupin, we offer this shopping experience, which is very attractive to customers in Indonesia, because it is related to the ‘gotong royong’ value, as we working together to achieve a common goal,” Grupin’s Co-Founder, Kevin Sandjaja said.

He continued, “Not only do we provide customers with greater value, but also enable producers, MSMEs, as well as farmers to reach new consumers. Through this funding, we plan to strengthen our team and expand our network of cooperation with producers, both local and global.”

How Groupin works

In order to use the service, user can download the app and signed up to select the items. Then, users will be asked to invite friends to join the group by sharing a special link. Once the group meets the certain number, the product can be purchased and will be sent to each member’s address.

Each offer has different conditions for group members. Grupin also provides offering features based on location, browsing behavior, purchasing preferences and purchasing power.

“In addition, customers can share the best deals and products with their friends and family within the app, providing a unique shopping that has a different social experience compared to some other e-commerce platforms,” he said

Collective buying business model

Grupin is not the first player using the e-commerce business model with the collective buying concept. Previously, other startups had similar features, including Kitabeli. KitaBeli has recently secured a series A funding worth more than $10 million supported by Go-Ventures, East Ventures, and a number of other investors.

This business model is considered to be suitable for the Indonesian market, especially targeting the tier-2 and 3 areas. This collective shopping model can also attract consumers who are yet to be familiar with online shopping. In addition, the strong community network among neighbors in the regions is considered suitable for collective purchases like this – let alone being able to get a more affordable price.

This is one of several business models that can be applied to social commerce. Another model is a partnership, allowing micro entrepreneurs [individuals] to have a selling business without having to gain large capital for stock. Some startups in this segment are Evermos and RateS.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Social Commerce Grupin Dapat Pendanaan 42 Miliar Rupiah Dipimpin Surge

Startup pengembang platform social commerce “Grupin” mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta atau setara 42 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Turut terlibat juga Skystar Capital dan East Ventures. Grupin merupakan bagian dari kohort keenam dari program akselerator Surge.

Grupin didirikan oleh Kevin Sandjaja dan Ricky Christie pada bulan Januari 2021. Kevin sendiri sebelumnya dikenal sebagai CEO Pegipegi.

Layaknya aplikasi social commerce yang sudah ada, Grupin menawarkan pengalaman belanja berbasis komunitas kepada konsumen secara kolektif, tujuannya untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. Barang yang disediakan seputar kebutuhan sehari-hari seperti sembako, perlengkapan dapur, produk bayi, sampai elektronik. Untuk saat ini layanan tersebut baru tersedia untuk area Jabodetabek dan Bandung.

“Dengan menjamurnya e-commerce, terutama sejak awal pandemi, konsumen menginginkan pengalaman berbelanja yang berbeda, namun juga memiliki aspek yang mereka temukan secara offline, yaitu pengalaman yang bukan hanya memberikan produk dengan harga kompetitif, namun juga memiliki interaksi sosial. Di Grupin, kami menawarkan pengalaman belanja tersebut, yang sangat menarik bagi pelanggan di Indonesia, karena memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai gotong royong, yaitu bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama,” ujar Co-Founder Grupin Kevin Sandjaja.

Ia melanjutkan, “Kami tidak hanya memberikan nilai yang lebih besar kepada pelanggan untuk uang mereka, tetapi juga memungkinkan produsen, UMKM, dan juga petani untuk menjangkau konsumen baru. Dengan pendanaan ini, kami berencana untuk memperkuat tim kami dan memperluas jaringan kerja sama dengan produsen baik di dalam maupun di luar Indonesia.”

Cara kerja Grupin

Untuk menggunakan layanan ini, setelah mengunduh aplikasi dan mendaftarkan diri di dalamnya, pengguna dapat memilih barang yang dibutuhkan. Kemudian, pengguna diminta untuk mengajak teman untuk bergabung di grup dengan cara membagikan tautan khusus. Setelah grup tersebut memenuhi syarat minimal jumlah orang, produk tersebut dapat dibeli dan akan dikirim ke alamat rumah masing-masing anggota.

Setiap penawaran barang memiliki ketentuan jumlah anggota grup yang berbeda-beda. Grupin juga menyediakan fitur penawaran yang selalu disesuaikan berdasarkan lokasi, perilaku penelusuran, preferensi pembelian, dan daya beli.

“Selain itu, pelanggan dapat berbagi penawaran dan produk terbaik dengan teman dan keluarga mereka di dalam aplikasi itu sendiri, memberikan pengalaman berbelanja yang unik yang memiliki nuansa aspek sosial yang berbeda dari apa ditawarkan oleh beberapa platform e-commerce lainnya,” imbuhnya.

Model bisnis pembelian kolektif

Grupin bukan yang pertama memainkan model bisnis e-commerce dengan konsep pembelian kolektif. Sebelumnya startup lainnya juga sudah memiliki fitur serupa, sebut saja Kitabeli. Terakhir KitaBeli sudah merampungkan pendanaan seri A senilai lebih dari $10 juta didukung Go-Ventures, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Model bisnis ini diyakini cocok dengan pasar Indonesia, khususnya untuk menyasar pengguna di daerah tier-2 dan 3. Model belanja kolektif ini turut dapat menjaring kalangan konsumen yang belum familiar untuk melakukan belanja secara online. Selain itu, kuatnya jaringan komunitas antartetangga di daerah-daerah dinilai cocok untuk pembelian kolektif seperti ini – apalagi bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau.

Ini adalah satu dari beberapa model bisnis yang dapat diaplikasikan social commerce. Model lain adalah kemitraan, memungkinkan pengusaha mikro [individual] untuk memiliki usaha jualan tanpa harus memiliki modal besar untuk stok barang. Beberapa startup yang bermain di ranah ini adalah Evermos dan RateS.

Application Information Will Show Up Here

Astro Announces Series A Funding Worth of 387 Billion Rupiah

An online grocery start-up with the quick-commerce concept, Astro, announced $27 million Series A funding or equivalent to 387 billion Rupiah. The round was led by Accel and Sequoia Capital India. Some previous-funding venture capitalists were also invoved, including AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, and Goodwater Capital.

Some angel investors backed this company, including founders and senior executives from Traveloka, Ajaib, Meesho, OYO, Swiggy, and Udaan. Astro will immediately use the funds to expand its reach in Indonesia. In addition, it will be channeled to increase human resources up to 3 times by the end of 2022.

“Astro adheres to the mission to improve the quality of life of people in Indonesia by providing convenience shopping for daily needs. Our Astronauts [partners] are ready to deliver groceries and essentials within 15 minutes, therefore, you can spend time, energy and money on other things,” Astro’s Co-Founder & CEO, Vincent Tjendra said.

Since its launching in September 2021, Astro has established 15+ hubs throughout Jakarta with 1,500+ product SKUs, from food, vegetables, meat, and other daily necessities. The Astro app has been downloaded by hundreds of thousands of people on the Google Playstore. This hub is an important infrastructure for Astro, because their quick-commerce concept guarantees a maximum delivery process of 15 minutes after the order is completed — even for product returns if it doesn’t match.

Competition for the leading online grocery

Previously, in an interview with DailySocial.id, Vincent said, the quick commerce business model provides its own competitive advantages for Astro, including offering convenience and speed through instant delivery, a 24 hours online store with a wide variety of products to meet customer’s needs.

Astro uses the existence of ‘dark stores’ as distribution centers placed at various points to allow instant delivery services. Astro utilizes an in-house logistics fleet to accommodate all orders. The flat shipping cost per order is IDR 15 thousand with  the minimum transaction of IDR 50 thousand.

According to the data, the current retail sector in Indonesia for foodstuffs has a fairly low penetration, which is around 0.4% compared to the penetration of e-commerce that reaches 10%. However, the pandemic is widely seen as an opportunity for online grocery to build the market. According to the research, this sector is projected to grow at $6 billion in 2025.

In Indonesia alone, some players also provide similar services, here are the top list of leading applications on Google Play in the shopping category (as of 02 February 2022). This rating fluctuates, indicating the growth rate of downloads and usage of related apps.

App Rank Download
Klikindomaret 11 1 million+
Segari 23 100 thousand+
Sayurbox 26 1 million+
Pasarnow 30 100 thousand+
Titipku 40 100 thousand+
KitaBeli 42 100 thousand+
TaniHub 52 500 thousand+
LOTTEmart 92 50 thousand+
MyYOGYA 99 100 thousand+

Apart from the standalone grocery services, a number of local tech giants are getting serious to penetrate this segment. For example, Blibli with the BlibliMart. Also, the company has recently took a corporate action by acquiring a majority stake in the Ranch Market company – which is planned to be integrated to strengthen the online grocery line.

Other startups also gain significant support from investors, considering the market is still very “green” to work on. Earlier this year, KedaiSayur has received fresh funding from its parent company Triputra Group. A number of ex-Tanihubs also launched JaPang late this year to provide grocery services that focus on serving markets outside Java.

Meanwhile, last year, apart from Astro, a number of other startups received funding from investors, including Segari (Series A), Dropezy (Series A), Pasarnow (Series A), Segari (Series A), Titipku (Pre-Series A), HappyFresh (Series A). Series D), and Sayurbox (Series B).

“There are several things cannot be separate from e-commerce, one of which is that consumers always want faster delivery, more diverse choices, and appropriate pricing. The quick-commerce model answers all of these needs. With the rapid growth of the market in Indonesia, especially in the online groceries category, this certainly opens up a big market opportunity and deserves to be explored […],” Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Astro Umumkan Pendanaan Seri A 387 Miliar Rupiah

Startup online grocery berkonsep quick-commerce Astro mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $27 juta atau setara 387 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Accel dan Sequoia Capital India. Turut tergabung para pemodal ventura yang terlibat di investasi sebelumnya, termasuk AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, dan Goodwater Capital.

Sejumlah angel investor juga mendukung pendanaan ini, di antaranya founder dan eksekutif senior dari Traveloka, Ajaib, Meesho, OYO, Swiggy, dan Udaan. Dana segara akan dimanfaatkan Astro untuk memperluas jangkauan di Indonesia. Selain itu juga akan digunakan untuk meningkatkan SDM hingga 3x lipat hingga akhir tahun 2022 mendatang.

“Astro berpegang pada misi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Indonesia dengan memberikan kenyamanan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Astronauts [sebutan untuk mitra] kami siap mengirimkan bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam waktu 15 menit sehingga Anda dapat menghabiskan waktu, energi, dan uang untuk menjalani hal-hal lainnya,” Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra.

Sejak diluncurkan pada September 2021, , Astro telah mendirikan 15+ hub di seluruh Jakarta dengan 1.500+ SKU produk, mulai dari makanan, sayur, daging, dan kebutuhan harian lainnya. Aplikasi Astro sendiri telah diunduh oleh ratusan ribu orang di Google Playstore. Hub ini menjadi infrastruktur penting bagi Astro, pasalnya konsep quick-commerce mereka menjanjikan proses pengantaran maksimal 15 menit setelah pesanan selesai — pun untuk pengembalian produk jika tidak sesuai.

Berlomba menjadi online grocery terdepan

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Vincent mengatakan, model bisnis quick commerce memberikan keunggulan kompetitif tersendiri untuk Astro, antara lain menawarkan kenyamanan dan kecepatan melalui pengiriman instan, toko online yang buka selama 24 jam setiap hari, hingga variasi produk yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Astro memakai memanfaatkan keberadaan ‘dark stores’ sebagai pusat distribusi yang diletakkan di berbagai titik untuk menikmati layanan instan pesan-antar. Astro memanfaatkan armada logistik in-house untuk mengakomodasi seluruh pesanan. Ongkos kirim yang ditetapkan per pesanan adalah Rp15 ribu dan minimal transaksi adalah Rp50 ribu.

Menurut data yang disampaikan, saat ini di Indonesia sektor ritel untuk bahan makanan memiliki penetrasi yang cukup rendah, yakni sekitar 0,4% dibanding dengan penetrasi e-commerce yang menapai 10%. Namun demikian, kondisi pandemi banyak dilihat sebagai kesempatan bagi online grocery untuk membentuk pasar. Menurut riset, sektor ini diproyeksi akan bertumbuh dengan nilai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Di Indonesia sendiri sejumlah pemain juga turut memberikan layanan serupa, berikut ini beberapa di antaranya yang aplikasinya menduduki peringkat teratas di Google Play pada kategori belanja (per 02 Februari 2022). Peringkat ini fluktuatif, menunjukkan tingkat growth dari unduhan dan penggunaan aplikasi terkait.

Aplikasi Peringkat Jumlah Unduhan
Klikindomaret 11 1 juta+
Segari 23 100 ribu+
Sayurbox 26 1 juta+
Pasarnow 30 100 ribu+
Titipku 40 100 ribu+
KitaBeli 42 100 ribu+
TaniHub 52 500 ribu+
LOTTEmart 92 50 ribu+
MyYOGYA 99 100 ribu+

Di luar aplikasi yang secara standalone menghadirkan layanan grocery, sebenarnya sejumlah raksasa teknologi lokal juga mulai serius di sana. Misalnya yang dilakukan Blibli dengan menghadirkan BlibliMart. Tidak hanya itu, belum lama ini mereka melakukan aksi korporasi dengan mengakuisisi saham mayoritas perusahaan Ranch Market – yang rencananya akan diintegrasikan untuk menguatkan lini online grocery mereka.

Startup lain juga terus mendapatkan dukungan signifikan dari investor, mengingat pasar yang masih sangat “hijau” untuk digarap. Awal tahun ini KedaiSayur baru mendapatkan pendanaan segar dari induk perusahaannya Triputra Group. Sejumlah ex-Tanihub juga akhir tahun meluncurkan JaPang untuk menghadirkan layanan grocery yang fokus melayani pasar di luar Jawa.

Sementara tahun lalu, selain Astro, sejumlah startup lain menerima pendanaan dari investor, yakni Segari (Seri A), Dropezy (Seri A), Pasarnow (Seri A), Segari (Seri A), Titipku (Pra-Seri A), HappyFresh (Seri D), dan Sayurbox (Seri B).

“Ada beberapa hal yang tak terbantahkan dalam e-commerce, salah satunya bahwa konsumen selalu menginginkan pengiriman yang lebih cepat, pilihan yang lebih beragam, dan penetapan harga yang sesuai. Model quick-commerce menjawab semua kebutuhan tersebut. Dengan pesatnya pertumbuhan pasar di Indonesia, terutama di kategori online groceries, hal ini tentunya membuka peluang pasar yang besar dan layak dieksplorasi […],” jelas VP Sequoia India Aakash Kapoor.

Application Information Will Show Up Here

BukuKas Secures 1.1 Trillion Rupiah Series C Funding; to Rebrand into Lummo

The bookeeping app developer for MSMEs, BukuKas, announced Series C funding of $80 million (over 1.1 trilllion Rupiah). Tiger Global and Sequoia Capital India have led this round, followed by CapitalG, an investment arm of Google’s parent company. Alphabet Inc, and several angel investors, including Santiago Sosa (Nuvemshop) and Maximilian Bittner (Lazada); also the previous investors, including Hedosophia.

BukuKas’ total investment since two years of operation is estimated to exceed $150 million. The company’s valuation is projected to reach $500 million. Since the series B round announced in May 2021, BukuKas has listed as a centaur.

Rebranding into Lummo

On the occassion, the company also announced the rebranding into Lummo. The TOKKO under BukuKas, was also rebranded into LummoSHOP.

Lummo is taken from the Latin “lumen” which means “light”. This name is said in line with the company’s ambition to be a light for entrepreneurs and brand owners, and make it easier for those with various potentials to build businesses through business-to-customer liaison software (D2C SaaS) services.

Lummo’s Co-founder & CEO, Krishnan Menon said, this rebranding signifies the company’s serious ambition to become a top-of-mind solution for MSMEs. The previous name, BukuKas, was considered less aspirational for the company’s ambitions to reach more MSME business segments.

“We have built a lot of SaaS targeting many merchant segments, considering our users come from various business levels. Thus, our role is to highlight all needs of merchants and brands, previously many apps only focused on consumers. We believe Lummo will grow bigger than BukuKas and TOKKO,” he said in a virtual press conference today (19/1).

Regarding the investment funds, Lummo’s Co-founder & COO, Lorenzo Peracchione said to use it for expanding product offerings in order to serve more MSME entrepreneurs and brands. This strategy can certainly be achieved with more digital talent. Not only that, the company is starting to target expansion into the ASEAN market, which has the same problems as Indonesia.

“ASEAN has great potential and similar needs to Indonesia. However, Indonesia is still our main market, there are still many MSMEs have yet to be explored,” Peracchione said.

LummoSHOP

Lummo was first launched in December 2019 as BukuKas, a bookkeeping app for MSMEs aiming to empower and support more MSMEs towards digitization. Furthermore, in November 2020, the company launched TOKKO, an online store  enabler that allows businesses to build direct relationships with customers.

Amidst the high demand of online business competition, MSMEs gain benefits to manage its business better by utilizing the technological solutions by TOKKO, therefore, TOKKO’s (now LummoSHOP) Gross Merchandise Value (GMV) grows up to 11 times from December 2020 to December 2021.

In order to strengthen commitment in driving regional MSMEs digitization, the company also presents TOKKO Semesta, a community program for MSMEs by providing assistance, mentorship, and online business training with a personalization approach that adapts to the needs of MSME business scale online and offline.

The evolution of LummoSHOP strengthens the company’s advantage in technological innovation solutions that connect businesses directly with customers such as chat commerce, catalog integration, custom domains, multi-platform store management, personalization features for business branding, and various other exciting innovations.

The multi-platform store management feature in LummoSHOP makes it easier for MSMEs to manage customer orders from several shopping platforms at once and put LummoSHOP as the center of their online business operations. The service also helps MSMEs to create an official store website, therefore, they can build a brand and unique identity for their online business.

With LummoSHOP’s D2C approach, MSMEs can take advantage of technology solutions such as accessing purchase history, customer base management, and other important analytics to build and develop a strong customer base, without any hindrance from third parties.

After rebranding into LummoSHOP, the company will intensify efforts to support business through a D2C online trading approach, and enable local Indonesian entrepreneurs to manage and develop their business independently and optimally in order to be more competitive.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

BukuKas Tutup Pendanaan Seri C 1,1 Triliun Rupiah; “Rebranding” Menjadi Lummo

BukuKas, startup pengembang aplikasi pencatatan keuangan untuk UMKM, mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $80 juta (lebih dari 1,1 triliun Rupiah). Tiger Global dan Sequoia Capital India menjadi pemimpin dalam putaran ini, turut diikuti oleh CapitalG selaku arm investing dari induk Google Alphabet Inc, dan sejumlah angel investor, seperti Santiago Sosa (Nuvemshop) dan Maximilian Bittner (Lazada); serta investor sebelumnya seperti Hedosophia.

Total capaian investasi yang berhasil diperoleh BukuKas sejak dua tahun berdiri ditaksir lebih dari $150 juta. Diproyeksikan valuasi perusahaan dapat mencapai $500 juta. Sejak putaran seri B yang diumumkan pada Mei 2021, BukuKas telah mencapai status centaur.

Rebranding jadi Lummo

Dalam kesempatan tersebut, perusahaan sekaligus mengumumkan perubahan merek menjadi Lummo. TOKKO yang berada di bawah BukuKas, juga ikut di-rebranding menjadi LummoSHOP.

Lummo diambil dari bahasa latin “lumen” yang berarti “cahaya”. Pemilihan nama ini sejalan dengan ambisi perusahaan untuk menjadi penerang bagi para pengusaha dan pemilik merek, dan memudahkan mereka dengan berbagai potensi untuk membangun bisnis melalui layanan perangkat lunak penghubung bisnis dengan pelanggannya (D2C SaaS).

Co-founder & CEO Lummo Krishnan Menon menjelaskan, perubahan nama ini menandakan ambisi yang serius dari perusahaan untuk menjadi top of mind sebagai solusi untuk UMKM. Nama sebelumnya, BukuKas, dianggap kurang mengaspirasi ambisi perusahaan yang ingin menjangkau lebih banyak segmen bisnis UMKM.

“Kami banyak membangun SaaS yang menyasar ke banyak segmen merchant, mengingat pengguna kami datang dari berbagai level usaha. Sehingga, peran kami adalah menyoroti semua kebutuhan merchant dan brands, sebelumnya banyak aplikasi yang hanya memfokuskan ke konsumer. Kita percaya Lummo akan jadi nama yang lebih besar dari BukuKas dan TOKKO,” ucapnya dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (19/1).

Terkait penggunaan dana investasi, Co-founder & COO Lummo Lorenzo Peracchione menuturkan akan dipakai untuk memperluas penawaran produk agar dapat melayani lebih banyak pengusaha UMKM dan brand. Strategi tersebut tentunya dapat dicapai dengan diperlukannya merekrut lebih banyak talenta digital. Tak hanya itu, perusahaan mulai mengincar ekspansi ke pasar ASEAN yang memiliki permasalahan yang sama dengan Indonesia.

“Di ASEAN ada potensi yang besar dan punya kebutuhan yang sama dengan Indonesia. Tapi, kami masih menjadikan Indonesia sebagai pasar utama, masih banyak UMKM yang belum tergarap,” ujar Peracchione.

LummoSHOP

Lummo diluncurkan pertama kali di Desember 2019 dengan nama BukuKas, yaitu aplikasi pembukuan untuk UMKM yang memiliki misi memberdayakan dan mendukung lebih banyak UMKM menuju digitalisasi. Kemudian pada November 2020, perusahaan berekspansi meluncurkan TOKKO, layanan pembuat toko online yang memungkinkan pelaku usaha membangun relasi langsung dengan pelanggan.

Di tengah tingginya persaingan bisnis online, UMKM merasakan manfaat yang besar untuk mengelola bisnisnya lebih baik dengan memanfaatkan solusi teknologi yang dihadirkan TOKKO, sehingga Gross Merchandise Value (GMV) di TOKKO (sekarang menjadi LummoSHOP) tumbuh hingga 11 kali lipat dari Desember 2020 sampai dengan Desember 2021.

Untuk memperkuat komitmen mendorong digitalisasi UMKM daerah, perusahaan juga menghadirkan TOKKO Semesta yaitu sebuah program komunitas bagi UMKM dengan memberikan pendampingan, mentorship, dan pelatihan bisnis online dengan pendekatan personalisasi yang menyesuaikan dengan kebutuhan skala bisnis UMKM secara online maupun offline.

Evolusi LummoSHOP memperkuat keunggulan perusahaan dalam solusi inovasi teknologi yang menghubungkan bisnis langsung dengan pelanggan seperti chat commerce, integrasi katalog, custom domain, manajemen toko multi platform, fitur personalisasi untuk branding bisnis, dan beragam inovasi menarik lainnya.

Fitur manajemen toko multi-platform yang ada di LummoSHOP memudahkan UMKM untuk mengelola semua pesanan pelanggan mereka dari beberapa platform belanja sekaligus dan menjadikan LummoSHOP pusat pengelolaan operasional bisnis online mereka. Layanan tersebut juga membantu UMKM untuk membuat situs web resmi tokonya sehingga mereka dapat membangun merek dan identitas unik bisnis online-nya.

Dengan pendekatan D2C yang dimiliki LummoSHOP, UMKM dapat memanfaatkan solusi teknologi seperti mengakses riwayat pembelian, pengelolaan basis pelanggan, serta analitik lainnya yang penting untuk membangun dan mengembangkan basis pelanggan yang kuat, tanpa adanya halangan dari pihak ketiga.

Setelah rebranding ke LummoSHOP, perusahaan akan meningkatkan upayanya dalam mendukung kesuksesan pelaku usaha melalui pendekatan perdagangan online D2C, serta menjadikan pengusaha lokal Indonesia bisa mengelola dan mengembangkan bisnis mereka secara lebih mandiri dan optimal agar lebih siap bersaing.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Moladin Reportedly Secured Series A Funding, Listed as Centaur with 3.3 Trilllion Rupiah Valuation

Moladin reportedly secured series A funding worth of $42 million or equivalent to 601.5 billion Rupiah. Based on regulators’ data, Sequoia Capital India and Northstar Group are leading this round. Also participated some previous investors, including East Ventures and Global Founder Capital. With the additional fresh funds, the company’s valuation is said to reach $231 million or equivalent to 3.3 trillion Rupiah.

In fact, this fundraising has been rumored since mid 2021. Moladin officially announced the latest round in January 2020.

Was founded in 2017, Molaldin is led by Jovin Hoon and Mario Tanamas. The platform aims to cater the purchasing of new and used motorcycles. To date, they are shifting focus to the used cars business. In fact, the “Motor” (Bike) menu is already vanished.

Moladin’s penetration brough a new crowd to the car marketplace competition, which recently taken the public’s attention. It is known that the two neighbor platforms Carro and Carsome have reached the unicorn status – both have a fairly strong business base in Indonesia. Prior to this, there is also BeliMobilGue which was rebranded into OLX Autos.

Potential market

In the first half of 2021, OLX Autos confirmed the business transactions on its platform had surpassed $1 billion globally. The company alone has started operating since January 2020. According to the company research, the positive trend for used car industry remains after the Covid-19 pandemic hits the country. Even during the pandemic, the general demand for used car products still increase by 15-20%.

It is likewise to the data compiled by Carro. Until Q3 2021, they observe an 11x increase in transactions. For its business units in Indonesia, 45.87% of transactions are proceed online with most users come from Greater Jakarta.

To date, used car sales services are centralized in the offline business. Moladin, Carro and other services are trying to democratize the process. Not only listing, the infrastructure also provide financing. The business model applied is comprehensive through C2B2C – buying cars from users, then selling them either to dealers using an auction system or directly to consumers through the website.

Moladin’s journey

Since its  launching, Moladin has been backed with seed funding from East Ventures and some other investors. The initial service is two-wheeler sales for users in the Jabodetabek, Banten, Bandung, Yogyakarta, Solo, and Semarang areas. Then, the $1.2 funding was focused on regional expansion and strengthening business partnerships with dealers and leasing companies in various regions.

Back then, until mid-2018, the motorcycle business still found very attractive traction. Moladin claims to experience sales growth of 20-30% per month with a total transaction value of more than $1 million.

In 2019, Moladin also claimed to have succeeded in doubling the GMV from the previous year. They managed to add 8000 used motorcycle listings in its system, including 8 times growth in app usage. Moladin also introduced new products such as auto mortgage loans to facilitate users with options to buy motorcycle.

In early January 2020, East Ventures led another funding for Moladin in the pre-series A round. Funding is to be focused on strengthening business and expansion to fixed its position in the industry.

Until in 2021, Moladin started to shift from motorcycle to used cars. We had sent inquiries about business developments and funding confirmation, however, Moladin is yet to accept interviews from the media in the near future.

It will be interesting to wait for Moladin’s next strategy with this new business model. Moreover, the company will directly compete with such powerful players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dikabarkan Dapat Pendanaan Seri A, Moladin Capai Tonggak “Centaur” dengan Valuasi 3,3 Triliun Rupiah

Moladin dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $42 juta atau setara 601,5 miliar Rupiah. Menurut data yang diinputkan ke regulator, Sequoia Capital India dan Northstar Group terlibat memimpin pendanaan ini. Diikuti sejumlah investor sebelumnya termasuk East Ventures dan Global Founder Capital. Dengan dana segar yang didapat, diklaim valuasi perusahaan telah mencapai $231 juta atau setara 3,3 triliun Rupiah.

Kabar soal penggalangan dana ini sebenarnya sudah terendus sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Adapun putaran terakhir secara resmi diumumkan Moladin pada Januari 2020 dalam pra-seri A.

Didirikan sejak 2017, Molaldin dinakhodai oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas. Awalnya platform tersebut didirikan untuk menjembatani kebutuhan pembelian motor baru da bekas. Hanya saja kini mereka sudah mengalihkan fokus ke jual-beli mobil bekas. Bahkan sudah tidak ada menu “Motor” lagi di situs mereka.

Masuknya Moladin ke bisnis ini semakin menambah peta persaingan car marketplace yang beberapa waktu terakhir menyita perhatian publik. Diketahui sebelumnya dua platform dari negeri tetangga Carro dan Carsome telah mencapai tonggak unicorn – keduanya juga memiliki basis bisnis yang cukup kuat di Indonesia. Sebelumnya juga ada BeliMobilGue yang kini menjadi OLX Autos.

Pasar yang besar

Pada paruh pertama 2021, OLX Autos menyampaikan capaian transaksi mobil bekas di platformnya telah melampaui $1 miliar secara global. OLX Autos sendiri mulai beroperasi sejak Januari 2020. Menurut riset yang dilakukan perusahaan, dampak Covid-19 juga masih memberikan tren positif pada industri jual-beli mobil bekas di Indonesia. Bahkan selama pandemi, permintaan secara umum untuk produk mobil bekas masih bisa naik 15-20%.

Pun demikian data yang disampaikan Carro. Sampai Q3 2021, mereka mendapati peningkatan transaksi 11x lipat. Untuk unit bisnisnya di Indonesia, 45,87% transaksi dilakukan secara online dengan pengguna dari Jabodetabek menjadi penyumbang utama penjualan.

Selama ini layanan penjualan mobil bekas memang masih tersentralisasi pada bisnis offline. Layanan Moladin, Carro, dan lainnya mencoba mendemokratisasi proses tersebut. Tidak hanya menyediakan layanan listing, infrastruktur mereka juga meliputi pembiayaan. Model bisnis yang diterapkan juga menyeluruh melalui C2B2C – membeli mobil dari pengguna, lalu menjualnya baik ke diler dengan sistem lelang maupun secara langsung ke konsumen melalui situs.

Perjalanan Moladin

Sejak meluncur, Moladin mendapatkan dukungan pendanaan awal dari East Ventures dan sejumlah investor lainnya. Layanan awal mereka pembelian motor untuk pengguna yang tinggal di area Jabodetabek, Banten, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Pendanaan $1,2 yang kala itu didapat juga difokuskan untuk perluasan wilayah dan memperkuat aspek kemitraan bisnis dengan diler dan perusahaan leasing di berbagai daerah.

Kala itu, sampai pertengahan 2018, bisnis penjualan motor masih mendapati traksi yang sangat menarik. Moladin mengklaim mengalami pertumbuhan penjualan 20-30% per bulannya dengan total nilai transaksi lebih dari $1 juta.

Di tahun 2019, Moladin juga menyampaikan berhasil menggandakan GMV dari tahun sebelumnya. Mereka berhasil menambahkan 8000 listing sepeda motor bekas di sistem mereka, termasuk 8 kali lipat pertumbuhan penggunaan aplikasi. Moladin juga memperkenalkan produk baru seperti auto mortgage loan untuk memudahkan pengguna yang membutuhkan pilihan dalam mendapatkan sepeda motor mereka.

Lalu pada awal Januari 2020 East Ventures kembali memimpin pendanaan untuk Moladin di putaran pra-seri A. Pendanaan masih difokuskan untuk memperkuat posisinya di industri dengan penguatan bisnis dan ekspansi.

Sampai pada akhirnya di tahun 20121, Moladin mulai beralih dari produk motor ke mobil bekas. Kami sempat mengirimkan inquiry untuk menanyakan soal perkembangan bisnis dan konfirmasi pendanaan, namun demikian pihak Moladin untuk waktu dekat ini masih belum bersedia menerima wawancara dari media.

Menjadi menarik untuk ditunggu rancangan strategi berikutnya Moladin dengan model bisnis baru yang ditekuni. Terlebih ia langsung akan berhadapan dengan pemain-pemain yang notabenenya sudah memiliki power yang besar.

Application Information Will Show Up Here

eFishery Obtains 1.2 Trillion Rupiah Fresh Funding, to Expand Throughout Asia

Aquatech startup eFishery announced a series C funding of $90 million (over 1.2 trillion Rupiah) led by Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, with the participation of previous investors, including Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, and Wavemaker Partners.

The fresh money is said to be the largest amount for the aquaculture technology startup. The company plans to use the funds to improve platform’s tech and services. In addition, to enhance eFishey’s digital products in order to become the largest digital “cooperative” for fish and shrimp cultivators. eFishery also plans regional expansion, targeting the top 10 aquaculture -friendly countries, including India and China.

SoftBank Investment Advisers’ Director, Anna Lo said, “Indonesia is one of the largest fish production rate in the world and its aquaculture sector plays an important role in producing food for the world’s growing population. eFishery is pioneering technology adoption for local fish and shrimp farmers with a complete end-to-end platform, supporting them to increase productivity across the supply chain from technology, food supply, production, and direct sales.

“We are pleased to partner with eFishery and support them to provide reliable and sustainable fishery food products to Indonesia and other regions,” Lo said in an official statement, (1/11).

Sequoia India’s VP, Aakash Kapoor added, “With a $20 billion market and a complex and fragmented supply chain, aquatech becomes one of the biggest and most attractive opportunities in Indonesia. That is what makes working with eFishery, as the market leader in this sector, interesting.”

Based in Bandung, eFishery is revolutionizing the traditional fish and shrimp farming industry and providing solutions specifically designed to increase fish and shrimp aquaculture. eFishery offers an integrated end-to-end platform and provides fish and shrimp farmers access to (i) technology, (ii) feed, (iii) financing, and (iv) markets.

eFishery innovation

Was founded in 2013, thousands of smart feeders have been used and more than 30,000 farmers have been served from 24 provinces in Indonesia. Through pandemic peak, eFishery increased the coverage by 10 times since December 2020, and advanced the sales of feed and aquaculture harvests.

eFishery has a series of innovations, including eFarm and eFisheryKu. eFarm is an online platform that provides complete and easy-to-understand information about shrimp farming operations for cultivators, while eFisheryKu is an integrated platform, enabling fish farmers to purchase various aquaculture products, including fish feed, at competitive prices. Farmers can also apply for capital through eFund, which connects fish farmers directly with financial institutions.

eFund’s main feature is Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), a paylater service that provides productive loan to cultivators for aquaculture production needs with a maturity payment system. The whole process is run through the eFisheryKu app. To date, more than 7,000 cultivators have been supported with the total approved loans exceeding 400 billion rupiah.

eFishery’s Co-founder & CEO, Gibran Huzaifah, said that the company focuses on presenting solutions to increase farmer productivity. Through the latest technologies, he and his team streamline fish and shrimp farming businesses, creating the more effective, efficient and sustainable industry. For example, eFishery’s downstream technology, eFeeder, is able to speed up the harvest cycle and increase production capacity by up to 26%.

“We are also connecting cultivators directly with buyers through our downstream technology, eFresh, thereby increasing their marketability. It is resulting in the reduction of operational costs and farmers’ increasing income up to 45 percent,” he said.

Since the latest funding, eFishery has tripled its workforce, with a total of more than 900 people. Although the head office is located in Bandung, more than half of the employees work remotely because of the policy that allows employees to work from anywhere (Work From Anywhere/WFA).

“We will use the funding to aggressively recruit the team, especially talents in engineering and product development. We are targeting 1,000 new employees this year, not only to create an impact in the Indonesian aquaculture industry, but on a larger scale, to conquer the global aquaculture supply.”

Through its technology-based solutions, eFishery modernizes cultivation techniques for better aquaculture harvest. eFishery has ambitions to acquire one million cultivators within the next 3-5 years.

“The most important thing is, we always remember our vision to feed the global community through aquaculture, because aquaculture products held the most efficient and highly nutritious source of animal protein. By 2050, there will be 10 billion people to feed, and we are ready to prepare this sector to be able to feed the world,” Gibran said.

Aquatech startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is forecasted to reach a market growth in 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% within 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are several startups have started targeting similar segments. For example, Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has successfully secured funding from East Ventures, AC Ventures, and SMDV in 2020.

Another startup engaged in a more specific sector is Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, the company managed to secure a seed round from 500 Startups worth of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here