Neurosensum Soroti Meningkatnya Popularitas Penggunaan ShopeePay

Neurosensum merilis laporan terbaru terkait adopsi uang elektronik selama periode November 2020 hingga Januari 2021. Laporan ini diikuti oleh 1.000 responden dengan rentang usia 19-45 tahun dan kelas ekonomi ABC di delapan kota (Jabodetabek, Jawa non-Jabodetabek, dan luar Pulau Jawa).

Managing Director Neurosensum Indonesia Mahesh Agarwal mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa dampak luar biasa terhadap adopsi uang elektronik di Indonesia dalam setahun terakhir. Ia mengungkap, adopsi uang elektronik hanya 2% (lebih dari 5 tahun lalu), lalu meningkat menjadi 10% (3-5 tahun yang lalu), dan naik signifikan menjadi 45% (1-3 tahun lalu).

“Menariknya, pandemi mendongkrak adopsi dompet digital hingga 44% dalam kurun waktu kurang dari setahun. New adopter berkontribusi besar terhadap penggunaan e-wallet selama pandemi,” ungkap Agarwal.

Selain itu, dampak luar biasa juga terlihat pada aktivitas belanja online ketika uang elektronik menjadi opsi pembayaran terbanyak digunakan (88%), diikuti transfer bank (72%), dan Cash on Delivery (47%) selama pandemi.

Lebih lanjut disoroti bahwa ShopeePay, yang baru hadir belakangan, mulai menggeser dominasi sejumlah pemain existing.

ShopeePay kuasai pasar tiga bulan terakhir

Berdasarkan survei, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi kedua dan selanjutnya diikuti OVO (62%), DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

ShopeePay juga mendominasi transaksi di sejumlah kategori produk/jasa, antara lain make up (60%), skincare (58%), personal care (50%), dan perlengkapan rumah tangga (47%). Sementara, OVO unggul pada transaksi untuk kategori pembayaran tagihan (25%) dan elektronik (20%).

Category Make up Skincare Sports &

Outdoor

Household

Equipment

Bill Payment Electronics Personal

Care

ShopeePay 60% 58% 32% 47% 23% 37% 50%
OVO 13% 17% 18% 17% 25% 20% 16%
DANA 10% 9% 13% 13% 23% 14% 11%
GoPay 6% 6% 8% 7% 13% 7% 9%
LinkAJa 2% 3% 2% 3% 9% 4% 3%
Don’t buy the product 9% 8% 27% 13% 7% 19% 11%

Sumber: Neurosensum Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Responden juga menilai ShopeePay paling mudah digunakan berbelanja online dengan persentase 54% dengan posisi kedua diisi oleh OVO (20%). Uniknya, DANA berada di posisi ketiga (14%), di atas GoPay (9%) dan Link Aja (4%).

Research Manager Neurosensum Indonesia Tika Widyaningtyas menilai ada sejumlah faktor yang mendorong posisi ShopeePay saat ini. Menurutnya, ShopeePay sangat digemari karena kemudahannya untuk bertransaksi online. Jika dibandingkan pemain lain, ShopeePay sudah terintegrasi di Shopee. Artinya, pengguna tidak perlu bolak-balik mengganti aplikasi

“Shopee gencar menawarkan banyak promosi ShopeePay. Kami sadar semua pemain dompet digital juga melakukan hal yang sama, tetapi promosi ShopeePay lebih banyak terserap konsumen. Tidak cuma banyak, tetapi persyaratan pada promosinya juga tidak terlalu sulit. Misalnya, transaksi minimal masih terjangkau konsumen,” ujar Tika.

Hal ini juga terlihat dari temuan survei di mana ShopeePay unggul dengan persentase 41% sebagai uang elektronik yang memberikan promosi offline dan online serta persyaratan promosi yang memuaskan. Peringkat selanjutnya adalah OVO (25%), GoPay (16%), DANA (14%), dan LinkAja (4%).

Sea Group Rekrut Tim di Indonesia untuk Dorong Kehadiran Bank Digital

Di awal bulan Desember lalu, Sea Group, perusahaan induk Shopee, diberi lisensi perbankan digital penuh di Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel, dalam sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka lebar jalan industri keuangan di negara tersebut.

Selain Singapura, Indonesia — ekonomi terbesar di Asia Tenggara — juga menjadi pasar seksi bagi fintech dan bank digital. KrASIA menemukan bahwa Sea Group kemungkinan besar mengakuisisi pemberi pinjaman lokal di negara tersebut untuk membangun bisnis perbankannya sendiri. Menurut situs karier Shopee (sudah ditutup ketika diakses saat ini), perusahaan saat ini tengah merekrut tim lokal untuk ditempatkan di “SeaMoney Bank” di Jakarta dan Bandung, yang mencakup peran manajemen talenta, pajak, dan manajemen pendanaan.

Ketika disinggung mengenai hal ini, Sea Group menolak berkomentar. Perusahaan juga tidak berkomentar tentang peningkatan perekrutan di Jakarta dan Bandung. Laman karir tersebut menunjukkan bahwa tim baru akan ditempatkan di “SeaMoney – Bank BKE (bagian dari Sea Group), berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat”. Artinya, perusahaan yang dimaksud bisa jadi adalah Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang berkantor pusat di Menteng.

Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dan hampir 95% sahamnya dimiliki perusahaan bernama Danadipa Artha Indonesia. Informasi publik mengenai pemegang saham memang masih minim, namun salah satu direktur Danadipa Artha Indonesia bernama Intan Apriadi juga menjabat sebagai komisaris di Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn-nya. Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Maka dari itu, besar kemungkinan Sea memiliki hubungan langsung ke Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.

Menurut seorang analis yang mengetahui hal tersebut, perkembangan perbankan digital di Indonesia berbeda dengan di Singapura. “Di Singapura, pemain fintech baru akan mengajukan izin pembukaan bank, sementara di Indonesia, calon bank digital mengakuisisi bank lokal yang sudah memiliki izin,” ujarnya.

Bank digital menjadi sektor yang makin dilirik

Saat ini belum jelas produk apa yang akan ditawarkan oleh bank digital Sea di Indonesia. Situs karier Shopee hanya menyebutkan bahwa SeaMoney “memungkinkan dan mendorong inovasi dengan menyediakan berbagai macam produk dan layanan keuangan untuk individu dan UKM di seluruh wilayah”.

Analis yang berdiskusi dengan KrASIA mengatakan bahwa bank baru tersebut kemungkinan akan menawarkan pinjaman untuk penjual di ekosistem Shopee. “Untuk perusahaan teknologi seperti Shopee dan Gojek, saya berharap layanan perbankan dapat membantu masyarakat yang sudah berada di dalam ekosistem,” ucapnya. “Misalnya, pengemudi Gojek mencari kredit mobil atau motor, atau bahkan kredit perumahan. Begitu pula bank Sea kemungkinan besar akan menawarkan produk untuk penjual Shopee ke depannya.”

Ketika sektor fintech semakin matang, perbankan digital akan menjadi sektor yang sangat menarik perhatian di Indonesia. Perusahaan teknologi lain sudah memposisikan diri mereka di pasar. Gojek baru-baru ini berinvestasi di Bank Jago melalui unit pembayaran dan layanan keuangannya, yang memiliki sekitar 22% pemberi pinjaman. Pada 2019, perusahaan fintech Akulaku mengakuisisi Bank Yudha Bhakti, yang berganti nama menjadi Bank Neo Commerce tahun lalu.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Perluas Cakupan Pasar, Xendit Gencarkan Pengembangan Fitur Baru

Pergeseran perilaku masyarakat ke arah digital mendorong Xendit, startup fintech yang menyediakan infrastruktur pembayaran asal Indonesia, untuk menambah saluran pembayaran digital menggandeng ShopeePay.

Integrasi ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak merchant rekanan Xendit dari berbagai lini bisnis serta para pelanggan setianya untuk mengakselerasi adopsi pembayaran digital.

“Dengan bertambahnya saluran pembayaran yang bisa kami sediakan untuk merchant saat ini. Kami harap ini bisa melengkapi ekosistem pembayaran serta membantu ShopeePay berkembang, juga mitra merchant kami ke depannya,” ujar Mikiko Steven Head of Customer Solutions Xendit.

Di masa pandemi ini, tren belanja masyarakat sudah mulai beradaptasi dengan marketplace daring serta pembayaran secara digital. Dari data Xendit sendiri mencatat kenaikan signifikan pada jumlah transaksi secara digital di bulan April-September 2020 sekitar 3x lipat.

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Head of Strategic Merchant Acquisition ShopeePay Eka Nilam Dari turut menyampaikan, “Dengan adanya kolaborasi strategis antara ShopeePay dan Xendit, kami berharap bisa membuka peluang yang lebih besar lagi baik untuk kedua belah pihak, juga para mitra usaha untuk semakin mendorong inklusi keuangan melalui pembayaran digital.”

Para pelaku digital yang saat ini berada di bawah naungan Xendit memiliki kesempatan untuk menjangkau lebih luas lagi para pengguna ShopeePay di tengah situasi yang sulit. Saat ini, lebih dari 100 merchant Xendit sudah mulai terintegrasi dengan kanal ShopeePay dan menambah use case baru ke dalam ShopeePay termasuk IT, Saas, Travel & Hotel Booking Platform, Education, Beauty, NPO dan Donation platform.

Kembangkan inisiatif baru

Belum lama ini, Xendit juga telah meresmikan kehadirannya di pasar Filipina. Peluncuran yang dilakukan secara virtual pada tanggal 4 Desember 2020 tersebut diharapkan bisa mendorong peningkatan transaksi digital bisnis di Filipina melalui pembangunan infrastruktur digital, juga mengukuhkan Xendit sebagai payment gateway terbaik di Asia Tenggara.

Sejak beroperasi di tahun 2017, Xendit telah memproses US$1,5M transaksi, setara dengan 20 triliun per tahunnya. Selain fitur pembayaran utama, Xendit turut mengembangkan layanan tambahan untuk pemenuhan pajak serta penyediaan modal tambahan bagi merchant melalui XenTax dan XenCapital.

XenTax merupakan produk yang dibuat oleh Xendit untuk menyederhanakan proses klien dalam mengelola pajak, sehingga mereka dapat fokus pada bisnis mereka dan mendorong pertumbuhan. Untuk menyediakan layanan ini, Xendit terkoneksi dengan salah satu Bank Persepsi dan PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan) yang telah berizin dan resmi bermitra dengan DJP.

Untuk XenCapital, Xendit bekerja secara eksklusif dengan mitra yang memiliki lisensi dari OJK di MultiFinance untuk menyediakan modal bagi produk pinjamannya. Limit untuk setiap merchant yang mengajukan produk ini akan berbeda tergantung pada review penilaian kredit dari tim evaluasi. Semua produk Xendit tersedia untuk merchant yang sudah terdaftar dan terintegrasi.

“Rangkaian layanan Xendit dirancang untuk membuat pembayaran menjadi sederhana, aman, dan mudah bagi pelanggan sekaligus memungkinkan bisnis tumbuh secara eksponensial. Sebagai platform yang berakar kuat di Asia Tenggara, kami terus mendengarkan untuk lebih mengenali kebutuhan dan keinginan spesifik dari setiap bisnis di pasar,” ujar Moses Lo, CEO & Founder Xendit Group pada kesempatan berbeda.

Saat ini Xendit sudah memiliki total tim lebih dari 300 orang yang berkantor pusat di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. “Tujuan kami adalah untuk lebih agresif dalam menemukan solusi serta apa yang dapat kami bantu sementara sebagian besar dunia berpikir untuk menyerah,” tambahnya.

Survei Ipsos Soroti Tingkat Kepuasan Pengguna Terhadap Layanan Dompet Digital di E-commerce

ShopeePay, uang elektronik milik Shopee, disebut sebagai e-wallet dengan penetrasi terbesar selama tiga bulan terakhir. Sebuah survei menyebutkan bahwa ShopeePay memiliki pengguna dengan tingkat kepuasan tertinggi.

Survei berjudul “Kepuasan, Persepsi, dan Loyalitas Pengguna Dompet Digital di Indonesia” ini dilakukan oleh Ipsos in Indonesia. Dalam survei ini, Ipsos mengukur beberapa hal mengenai penggunaan dompet elektronik di Indonesia mulai dari penetrasi, frekuensi penggunaan, kepuasan, serta pengalaman pengguna.

Ipsos melakukan survei secara daring sejak 16 Oktober sampai 23 Oktober 2020. Sampel yang mereka gunakan mencapai seribu responden dari seluruh Indonesia dengan batasan menggunakan layanan dompet elektronik dan belanja di e-commerce dalam dua tahun terakhir.

Managing Director Ipsos in Indonesia Soeprapto Tan mengatakan, pihaknya melihat ada peningkatan penggunaan dompet elektronik secara signifikan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Peningkatan itu makin tinggi ketika pandemi Covid-19 melanda sehingga mengharuskan banyak orang beralih ke pembayaran non-tunai agar terhindar dari penularan virus. Ia menyebut setidaknya 44% penduduk Indonesia lebih sering memakai dompet elektronik selama pandemi.

“Berdasarkan hal tersebut, Ipsos in Indonesia berinisiatif untuk mengadakan survei lebih lanjut, untuk mengetahui merek dompet digital apa yang memiliki kepuasan, loyalitas, dan persepsi pengguna yang paling unggul,” jelas Soeprapto.

ShopeePay mendominasi

Survei Ipsos menemukan lima besar layanan e-wallet di Indonesia, yakni GoPay, Ovo, Dana, LinkAja, dan ShopeePay. Meski belum terlalu lama muncul, survei mendapati ShopeePay justru mendominasi di setiap aspek penggunaan dompet elektronik. Associate Project Director Ipsos in Indonesia Indah Tanip menjelaskan, dari aspek kepuasan terhadap merek e-wallet. ShopeePay menempati peringkat satu untuk kepuasan ini dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Menurut Indah ada beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan pengguna ShopeePay lebih tinggi dari yang lain. Sejumlah faktor itu di antaranya adalah layanan yang mudah digunakan, mudah top up, waktu top up real time, dan banyaknya tawaran promosi saat menggunakannya.

“Terakhir ShopeePay ini selain bisa digunakan di toko online, mulai digunakan di banyak toko offline,” imbuh Indah.

Ipsos juga menyoroti aspek loyalitas pengguna dalam penggunaan dompet elektronik ini. Ipsos mengukur kesetiaan pelanggan ini memakai Net Promotor Score (NPS) guna memahami bagaimana loyalitas pengguna terhadap suatu merek dompet elektronik.

Country Service Line Leader Customer Experience, Channel Performance, and Observer Ipsos in Indonesia Andi Sukma, menjelaskan NPS ini bisa mengukur reaksi pengguna atas penggunaan layanan. Semakin puas dan setia pengguna, semakin besar kemungkinan mereka merekomendasikan produk tersebut ke orang lain. Sebaliknya, jika produk itu tidak memuaskan pengguna dan menimbulkan sentimen negatif, kecil kemungkinan produk itu akan direkomendasikan.

“Bayangkan ini terjadi di seorang yang tergolong influencer,” ucap Andi.

Dalam aspek ini, ShopeePay lagi-lagi unggul dibanding yang lain. Skor NPS ShopeePay berada di angka +42% dari 598 responden, Ovo +34% dari 684 responden, Gopay +28% dari 580 responden. Dana dan LinkAja menyusul di belakang.

“Semua pengguna sebenarnya setia dengan layanannya masing-masing. Akan tetapi ShopeePay punya skor NPS paling setia,” ujar Indah menambahkan.

Berkat pertumbuhan pesat Shopee

Melejitnya kepopuleran ShopeePay tentu saja tak lepas dari performa Shopee sebagai e-commerce. Bertahun-tahun bersaing ketat dengan pemain besar lain seperti Tokopedia dan Bukalapak, Shopee saat ini berhasil mengungguli kompetitornya itu.

Indah menjelaskan bahwa hal itu pula yang berhasil mengangkat ShopeePay dalam waktu singkat. Shopee memperoleh lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia di akhir 2018. Layanan itu baru benar-benar optimal berjalan sepanjang tahun lalu.

Menurut Indah Shopee berhasil menggaet banyak pengguna karena bertebarnya harga promo yang hanya bisa digunakan dengan pembayaran ShopeePay. Contoh paling umum adalah gratis ongkir dengan ShopeePay. Selain itu Shopee juga dianggap cukup agresif dalam menggaet merchant offline agar memakai dompet elektronik mereka.

“Hal itu bisa meningkatkan trial rate, dari yang cuma coba-coba lalu malah ketagihan. Itu juga yang membuat mereka menjadi promoter,” terang Indah.

Survei Ipsos ini juga menyimpulkan bahwa ShopeePay adalah merek dompet elektronik dengan penetrasi penggunaan tertinggi selama tiga bulan terakhir dan paling sering digunakan pada Oktober lalu.

Application Information Will Show Up Here

Permudah Gamers, Codashop Perbanyak Opsi Pembayaran Digital

Situs layanan pembelian item dan voucher game Codashop terus menyempurnakan layanannya lewat integrasi dengan beragam sistem pembayaran. Komitmen tersebut dibarengi dengan kelengkapan produk game dan non-game yang dapat dibeli.

Kepada DailySocial, Senior Marketing Manager Codashop Yolenta Winda menjelaskan, dalam enam tahun operasionalnya di Indonesia, Codashop kini menyediakan metode pembayaran mencakup potong pulsa (direct carrier billing/DCB) dan gerai offline (Alfamart, Indomaret, dan agen TrueMoney).

Namun demikian, pertumbuhan terpesat yang saat ini paling banyak dipilih konsumen adalah dompet digital. Oleh karenanya, perusahaan gencar terhubung dengan pemain yang ada saat ini, mulai dari Gopay, Ovo, Dana, LinkAja, Doku, ShopeePay, hingga Kredivo. Sayangnya, ia tidak menyertakan lebih lanjut dengan angka pendukungnya untuk melihat perbandingannya dari waktu ke waktu.

E-wallet merupakan pembayaran yang paling banyak dipilih oleh user belakangan ini, selain pembayaran melalui potong pulsa karena e-wallet dengan mudah membantu konsumen untuk melakukan pembayaran tanpa kartu kredit atau orang-orang yang tidak memiliki rekening bank,” ucapnya.

Sementara, aplikasi game yang paling banyak diburu konsumen adalah Diamonds Mobile Legends, UC PUBG, Diamonds Free Fire, Valorant Points, dan beberapa game terkenal lainnya seperti Hago, Topfun, dan masih banyak lagi.

Salah satu integrasi teranyar yang baru diumumkan perusahaan adalah bersama ShopeePay. Dalam keterangan resmi, Marketing Manager ShopeePay Indonesia Cindy Candiawan menyebutkan diterapkannya PSBB sejak lima bulan lalu, berpengaruh positif terhadap tren bermain game online.

“Seiring berkembangnya industri game online di Indonesia, ShopeePay juga ingin turut berpartisipasi dalam menciptakan ekosistem pembayaran yang mudah dan aman bagi para pengguna,” terang Cindy.

Pemain seperti Codashop sejatinya semakin banyak seiring semakin tumbuhnya para online gamers yang kini tidak hanya dinikmati oleh para amatir saja, namun juga para profesional yang menjadikannya sebagai mata pencarian utama. Diestimasi jumlah online gamers ini mencapai 60 juta orang untuk Indonesia saja.

Nama-nama pemain lainnya yang bisa dimanfaatkan para konsumen gamers adalah UniPlay, Dunia Games, Garuda Voucher Indonesia, UniPin, JuraganCash, UPoint.ID. Bahkan ada pula Itemku dengan bisnis sejenis, tapi dengan model bisnis yang sedikit berbeda karena menggunakan konsep marketplace C2C.

Tidak hanya itu, gurihnya bisnis top up kredit game ini turut dilirik oleh pemain marketplace, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee; hingga Gojek yang juga menyediakan opsi tersebut di dalam aplikasinya.

Menurut Yolenta, meski persaingannya ketat, tidak menyurutkan perusahaan untuk terus berinovasi. Kendati ia belum bersedia membeberkannya, ia menyatakan beberapa inovasi tersebut akan dipusatkan pada kenyamanan konsumen dalam melakukan transaksi, mendapatkan promosi, dan kelengkapan produk yang dimiliki Codashop untuk konsumennya.

Salah satu keunggulan Codashop daripada pemain lainnya adalah kemudahan opsi pembayaran virtual dengan banyak pilihan metode, dengan biaya lebih rendah. Terlebih itu, konsumen tidak perlu registrasi atau log in untuk bertransaksi. Kredit game akan otomatis ditambahkan ke akun game konsumen secara instan.

“Kami juga menawarkan berbagai promosi agar konsumen mendapatkan keuntungan lebih, seperti promosi cashback, diskon, atau memberikan hadiah yang menarik,” pungkasnya.

Selain Indonesia, Codashop sudah hadir secara global di 30 negara, tersebar di Afrika, Amerika, Asia, hingga Rusia, dan Mongolia.

Application Information Will Show Up Here

Survei MarkPlus: ShopeePay Ungguli Pangsa Pasar Dompet Digital Selama Pandemi

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Survei yang digelar ini khusus menyoroti penggunaan dompet digital dalam tiga bulan terakhir dan diikuti oleh 502 responden yang mewakili kota-kota besar dengan penetrasi smartphone tertinggi di Indonesia.

Head of Hight Tech, Property & Consumer Goods Industry MarkPlus, Inc. Rhesa Dwi Prabowo menerangkan, latar belakang survei dibuat karena laporan dari Bank Indonesia yang mencatat kenaikan transaksi digital atau uang elektronik semenjak pemberlakuan PSBB mencapai 64,48% dan volume transaksi tumbuh 37,35% secara tahunan.

Industri ini dianggap memiliki potensi besar untuk tumbuh, terlebih dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggunakan sistem pembayaran non-tunai ketika berbelanja online selama pandemi. Selain mengurangi risiko penularan, transaksi non-tunai dianggap memiliki banyak keunggulan, seperti transaksi yang lebih efisien dan efektif.

“Kami melihat adanya kecenderungan peningkatan transaksi secara digital karena masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhannya secara online. Berangkat dari situ, kami ingin melihat merek mana yang memiliki pangsa pasar jumlah atau volume transaksi tertinggi dalam tiga bulan terakhir,” katanya saat konferensi pers secara virtual, Rabu (2/9).

Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Lebih jauh diterangkan, ShopeePay menjadi pilihan responden sebagai aplikasi yang paling sering digunakan di masa pandemi dengan rata-rata penggunaan sebanyak 7 kali tiap bulan. Berikutnya, Dana (6,4 kali), Ovo (6,2 kali), Gopay (6,1 kali), dan LinkAja (5,7 kali).

Tingginya penetrasi dompet digital, beriringan dengan kepercayaan para pengguna saat bertransaksi. Hal ini tercermin dari nilai transaksi per bulan yang dialokasikan ke dalam merek-merek dompet digital tersebut. ShopeePay kembali menempati urutan pertama dengan total nominal transaksi per bulan sekitar Rp149 ribu, unggul dibandingkan LinkAja, Dana, dan Ovo di sekitar Rp134 ribu, dan Gopay sekitar Rp109 ribu.

Nilai transaksi tersebut menurut para responden digunakan untuk membayar beragam kebutuhan. Untuk ShopeePay, responden menjawab untuk belanja online (97%), mengisi pulsa (67%), dan membayar tagihan utilitas (47%).

Adapun untuk responden yang memilih Gopay, menjawab saldo digunakan untuk membayar ojek/taksi online (68%), mengisi pulsa (56%), dan membayar makanan di tempat makan fisik (52%). Sedangkan untuk Ovo, digunakan untuk mengisi pulsa (59%), belanja online (57%), dan membayar ojek/taksi online (49%).

Terkait persepsi responden mengenai e-wallet masa kini, juga didominasi dengan ShopeePay sebagai pilihan terbanyak untuk pertanyaan tentang pertumbuhan terpesat (33%), menawarkan promo paling banyak (38%), dan mempermudah urusan belanja online (53%). Terkecuali, pertanyaan tentang e-wallet yang paling terpercaya, responden terbanyak memilih Ovo dan Gopay (masing-masing 25%).

Pergeseran konsumsi ke digital

Dalam paparan tersebut, turut mengundang Ekonom Indef Bhima Yudhistira dan Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga. Bhima menjelaskan banyak hal yang bisa disimpulkan dari temuan MarkPlus. Salah satunya adalah positioning mereka di masing-masing segmen.

Misalnya dari Gopay yang unggul di transportasi online dan Ovo yang unggul di pembelian pulsa. Sementara itu, keunggulan ShopeePay dalam masa pandemi ini menandakan adanya perubahan gaya hidup masyarakat. Didukung pula oleh kelengkapan fitur yang disediakan oleh Shopee untuk bertransaksi di dalam aplikasinya.

“Beberapa hari lalu penambahan kasus positif tembus di angka 3 ribu. Ini menandakan akan semakin banyak orang untuk hijrah bergeser dari offline ke online. Di samping itu, kemudahan Shopee sebagai one stop service untuk belanja dan membayar utilitas menjadi yang dibutuhkan konsumen,” terangnya.

Secara industri, dampak positif dengan pesatnya transaksi lewat uang elektronik pada akhirnya akan membuat biaya transaksi turun karena semakin efisien. Hal lain yang turut berdampak adalah dari sisi kesehatan, orang tidak perlu keluar rumah untuk belanja dan membayar sesuatu.

“Sebelumnya aplikasi ini 50:50 untuk transaksi transportasi dan non-transportasi. Transportasi sekarang menurun karena PSBB, penghasilan driver pun menurun, tapi sekarang transaksi lari ke pembelian makanan, berdampak juga ke e-commerce. Berarti sekarang primadonanya bergeser.”

Sebelumnya, ShopeePay meresmikan kehadirannya di Indonesia pada 25 Agustus kemarin, meski secara entitas sudah berdiri sejak 2015. Dalam peresmian tersebut perusahaan sesumbar terkait pencapaiannya saat ini sebagai pemain nomor 1 dengan pertumbuhan terpesat.

Dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan transaksi offline naik 6 kali lipat sejalan dengan ekspansi perusahaan merangkul pedagang online dan offline, serta terintegrasi dengan QRIS. Pencapaian lainnya, perusahaan mencatatkan kenaikan transaksi lebih dari 8 kali lipat di luar jabodatek untuk kurun waktu yang sama.

Fitur transfer antar pengguna (p2p) ShopeePay meningkat 5 kali lipat dan sebanyak 45% pesanan di Shopee Indonesia dibayar dengan menggunakan ShopeePay.

Mungkin Sekarang Momentum ShopeePay

Shopee semakin rajin sesumbar beragam pencapaian uang elektroniknya ShopeePay kepada publik. Mulai dari bertambahnya kemitraan dengan OttoPay, KFC, McDonald’s, JNE, dan telah terhubung dengan 3,7 juta merchant QRIS di seluruh Indonesia.

Berdasarkan data perusahaan, 80% dari jumlah total pembelian menggunakan pembayaran digital, didominasi kelompok usia 18-34 tahun. Pengguna ShopeePay sendiri mayoritas diminati oleh kaum laki-laki yang pertumbuhannya selama setahun terakhir naik 35% dibandingkan pertumbuhan pengguna perempuan. Mereka tersebar di kota-kota seputaran Jakarta, Banten, dan Jawa Timur.

Ditinjau dari segi fitur, cakupan ShopeePay tergolong masih umum. Mulai dari isi saldo dari transfer bank/minimarket, transfer dana antarpengguna, tarik saldo ke rekening bank, dan scan QR untuk pembayaran di merchant offline. Fitur dasar yang pasti ada di semua pemain uang elektronik.

Poin paling menonjol di sini adalah kekuatan dari bisnis e-commerce untuk menarik aktivitas transaksi ShopeePay. Baik Shopee dan Tokopedia saling salip menyalip menduduki posisi teratas sebagai platform marketplace di Indonesia.

Dari temuan iPrice per kuartal kedua kemarin, Shopee menempati posisi pertama untuk aspek kunjungan bulanan dan ranking di AppStore dan PlayStore. Situs dan aplikasi Shopee dikunjungi oleh 93,4 juta kali, sementara Tokopedia 86 juta kali. Apa yang dicapai keduanya belum ada separuh dari pencapaian pemain lainnya seperti Bukalapak, Lazaada, dan Blibli.

Komponen uang elektronik menjadi aspek penting untuk mendorong transaksi di dalam platform, berkat didukung kemudahan dan gratis ongkos kirim yang terus konsisten sejak awal mereka beroperasi. Beban pemasaran ini dijalankan untuk mewujudkan strategi perusahaan menangkap peluang pertumbuhan pasar, walau dibayar dengan rapor merah di laporan keuangan perusahaan.

Dalam laporan keuangan Sea Group pada tahun lalu, transaksi GMV di Shopee tercatat $17,6 miliar, namun kerugian induk justru melebar. Kerugian grup meningkat dari $961 juta menjadi $1,46 juta. Penyebabnya adalah kenaikan total biaya penjualan dan pemasaran naik 37,5% menjadi $969,5 juta, bisnis e-commerce naik 27% dan hiburan 59%.

Shopee mengulang strategi gratis ongkos kirimnya tersebut untuk pengguna yang bertransaksi apabila menggunakan ShopeePay dan ShopeePayLater.

Merchant offline ShopeePay / Shopee
Merchant offline ShopeePay / Shopee

Terus perluas lini fintech

Di bawah badan hukum PT Airpay International Indonesia, selaku pemegang lisensi uang elektronik ShopeePay, manuver Shopee terus berlanjut memperkenalkan ShopeePayLater untuk pinjaman berbasis konsumsi. Produk ini dikelola oleh PT Lentera Dana Nusantara (LDN) yang berlisensi sebagai p2p lending.

Data yang diakses per kemarin (4/8), diungkapkan LDN telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp1,31 triliun secara akumulatif sejak berdiri di 2018. Pada tahun ini saja, total pinjaman tersalurkan sebesar Rp364 miliar. Peminjamnya mencapai 1,27 juta orang dan 850 ribu diantaranya adalah peminjam aktif. TKB90-nya adalah 94,34%.

Kenaikannya cukup drastis dibandingkan per 18 November 2019 sebesar Rp88,3 miliar. Untuk peminjamnya mencapai 102.971 orang, dengan 81.423 orang adalah peminjam aktif.

Merasa sukses dengan pencapaian tersebut, Shopee perluas brand uang elektroniknya tersebut untuk menyediakan pinjaman tunai (cash loan) bernama ShopeePinjam yang mulai diperkenalkan pada tahun ini. DailySocial menghubungi tim Shopee untuk meminta komentarnya tapi sampai berita ini diturunkan belum ada respons yang diberikan.

Bila menelusuri lebih jauh, Shopee memperluas cakupan mitra fintech sebagai source of fund. Sekarang untuk ShopeePayLater juga disediakan dari LDN, juga PT Commerce Finance, sebuah perusahaan pembiayaan lokal yang menyebut dirinya terafiliasi oleh Shopee Indonesia dari laman LinkedIn-nya.

Untuk produk ShopeePinjam, sumber dana pinjaman akan berasal dari LDN. Awalnya produk ini diperuntukkan buat para merchant online yang membutuhkan modal usaha, sekarang diperluas untuk konsumen individu pada tahun ini.

Limit yang bakal diterima tiap individu akan berbeda, tergantung profil risiko masing-masing. Ada yang Rp1,2 juta atau Rp5 juta. Untuk mengaktifkan fitur ini, peminjam cukup memasukkan nomor telepon untuk dikirimkan kode verifikasi melalui SMS. Kemudian mengisi dua kontak darurat dan memverfikasi wajah secara online.

Begitu data sudah dimasukkan, akan ada notifikasi pengajuan aktiviasi sedang diproses. Bila disetujui, peminjam akan menerima pesan pop up. Jika ingin mencairkan dana, peminjam dapat mengajukan nominal dana sesuai kebutuhan mereka dan tenor pinjamannya. Nanti dana akan ditransfer ke rekening yang digunakan. Tidak ada bunga yang ditetapkan, melainkan biaya penanganan sampai 3% per transaksi.

Fitur teranyar ini baru bisa dinikmati oleh pengguna terpilih Shopee. Besar kemungkinannya, mereka yang dapat mengajukan punya catatan kredit yang baik, dalam artian tidak pernah menunggak pinjaman ShopeePayLater.

Momentum Shopee memperluas lini fintech-nya sejalan dengan posisinya sebagai pemimpin pasar di Indonesia. Dengan mendorong kebiasaan baru menggunakan metode pembayaran dari mereka sendiri, diharapkan dapat meningkatkan loyalitas konsumen.

Pasalnya melekatkan uang elektronik ke platform e-commerce menjadi barang penting yang harus ada. Bila melihat dari kondisi pemain saat ini, tidak ada yang tidak terhubung dengan uang elektronik.

Terlebih itu, perjalanan ShopeePay sepertinya belum berakhir di sini. Mereka belum menjadi aplikasi tersendiri. Ini bisa menjadi keuntungan sekaligus kerugian. Selain simpel tidak perlu unduh aplikasi tambahan, perusahaan perlu memikirkan pengalaman konsumen saat menggunakannya apakah responsif dan intuitif atau tidak.

Ketika kenyamanan itu ada, ShopeePay otomatis bisa mengejar ketertinggalannya.

Brand ShopeePay juga belum memiliki porsi besar di kalangan masyarakat, salah satunya divalidasi dalam riset DSResearch “Fintech Report”. Pada tahun lalu, aplikasi uang elektronik yang paling banyak digunakan responden adalah Gopay (83,3%), Ovo (81.4%), Dana (68,2%), dan LinkAja (53%). Berikutnya diikuti oleh Doku, Jenius, Paytren, iSaku, Sakuku, dan Uangku.

Application Information Will Show Up Here

Potensi Startup “Unicorn” Menelurkan Anak Perusahaan dengan Valuasi Tinggi

GoPay dikabarkan telah menyandang gelar “unicorn”. Hal ini didorong filing baru perusahaan yang pertama kali dirilis DealStreetAsia yang menyebutkan valuasi pre-money setidaknya mencapai $4 miliar. Sumber kami memastikan bahwa ada porsi pendanaan Seri F Gojek (termasuk dari Facebook dan PayPal) yang masuk secara langsung ke GoPay.

Menurut filing tersebut Gojek dikabarkan masih memiliki sekitar 70-an% saham GoPay, sementara sisanya sudah dimiliki pihak eksternal. Pihak GoPay sendiri kepada DailySocial menyatakan tidak mengomentari rumor di pasar.

Sebelumnya, platform video on-demand GoPlay, anak perusahaan Gojek yang lain, juga telah mendapatkan pendanaan secara independen.

Tak hanya Gojek

Startup unicorn lokal lain juga mengelola anak perusahaan untuk memperluas ekosistem bisnisnya. Traveloka gesit menggarap bisnis finansial sejak awal tahun 2019 lalu. Pesatnya pertumbuhan produk paylater mendorong perusahaan merencanakan berbagai skema baru, termasuk mengoperasikan perusahaan multifinance sendiri sebagai mitra lender, yakni PT Caturnusa Sejahtera Finance.

Caturnusa adalah rebranding dari PT Malacca Trust Finance, perusahaan finansial besutan PT Batavia Prosperindo Finance Tbk yang dijual ke PT Hermes Global Ventures. Hermes Global diketahui memiliki afiliasi dengan Traveloka.

Strategi tersebut memang terbukti sukses sebelum pandemi melanda. Berbekal statistik transaksi yang ada, Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan percaya diri untuk membawa unit finansial perusahaan menjadi unicorn di tahun 2020. Sayangnya Covid-19 memberikan tekanan bisnis yang sangat besar di segmen travel, sehingga banyak penyesuaian yang harus dilakukan perusahaan di sektor ini, termasuk Traveloka.

Startup unicorn lain, Shopee (kendati tidak sepenuhnya berbasis di Indonesia), juga menempuh metode serupa. Demi mempermudah konsumen bertransaksi, Shopee mengembangkan produk ShopeePay dan ShopeePayLater.

Unit finansial jadi kunci

Jika melihat ulasan di atas, bisa ditarik benang merah bahwa unit finansial menjadi perhatian penting masing-masing perusahaan. Unit tersebut menopang transaksi ke layanan utama dengan nominal yang sangat besar. Para perusahaan cenderung mulai memilih pengelolaan arus kas dilakukan sendiri – melalui anak usahanya, alih-alih membiarkan transaksi terlalu banyak melewati platform di luar ekosistem.

Keberhasilan Ovo menjadi startup unicorn melegitimasi bahwa bisnis pembayaran digital memiliki peluang besar di Indonesia – Ovo sendiri dipilih untuk mendukung transaksi di Grab dan Tokopedia (dan sejumlah aplikasi lain).

Menurut Fintech Report 2019, empat besat platform pembayaran digital terpopuler diduduki oleh Ovo, GoPay, Dana, dan LinkAja. Sementara paylater banyak digunakan di Ovo, Gojek, Traveloka, dan Shopee.

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank

Dana di Shopeepay tidak hanya bisa digunakan untuk membayar belanja yang dipesan di Shopee atau tagihan bulanan, tapi juga bisa ditarik ke rekening bank lokal jika dirasa perlu.

Tapi, untuk melakukannya Anda butuh proses yang sedikit lebih lama dibandingkan Ovo ataupun GoPay.

Agar bisa melakukan penarikan dana shopeepay, sebelumnya Anda harus melakukan registrasi atau verifikasi identitas diri akun shopeepay. Dalam proses verifikasi, Anda akan diminta untuk mengisi rekening bank dan data diri dalam form yang sudah disediakan, bersama dengan foto KTP dan foto selfie Anda. Aktivasinya bisa Anda baca di tutorial ini.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Pribadi

  • Pertama, buka aplikasi Shopee dan masuk ke akun Shopee Anda.
  • Tap bagian menu shopeepay di bagian beranda, dan Anda akan melihat jumlah saldo Anda.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (1)

  • Tab pada bagian “Penarikan” di bawah saldo Anda.
  • Jika belum menambahkan rekening bank, Anda wajib menambahkannya terlebih dahulu.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (2)

  • Tap Tambah Rekening Bank.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (9)

  • Isikan nama bank, nomor rekening dan juga nama, kota dan cabang.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (3)

  • Setelah rekening bank ditambahkan, Anda belum bisa langsung menransfer uang. Anda harus menunggu proses verifikasi yang memakan waktu cukup lama. Di kasus ini, saya menunggu 1 jam.
  • Setelah verifikasi selesai, ulangi step pertama kemudian lengkapi kolom pengisian rekening tujuan dan nominal saldo yang akan Anda cairkan.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (5)

  • Jika Anda ingin mentransfer semua saldo, cukup pilih “Tarik Saldo Saat Ini”.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (6)

  • Selanjutnya tab “Konfirmasi”. Anda akan melihat detail dari kolom pengisian tadi, cek dengan teliti apakah semua sudah benar, kemudian tab “Konfirmasi” sekali lagi.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (7)

  • Terakhir masukkan PIN shopeepay Anda dan pilih “Ok”.

Cara Transfer Dana dari Shopeepay ke Rekening Bank (8)

Proses pencarian dana ke rekening bank dipengaruhi banyak hal, salah satunya jam kerja. Jika dilakukan di hari kerja, pengalaman saya hanya butuh waktu beberapa puluh menit saja. Sedangkan jika dilakukan di hari kerja, tentu prosesnya akan lebih lama.