Platform Proptech Rentfix Mulai Lakukan Ekspansi ke Singapura

Rentfix hadir sebagai platform teknologi properti (proptech) sejak 2017 lalu. Tahun ini mereka mantapkan langkah untuk memperluas cakupan bisnis ke Singapura. Saat ini situs Rentfix.sg sudah dapat diakses untuk pengguna di sana. Kepada DailySocial CEO Rentfix Effendy Tanuwidjaja mengungkapkan, situs dan aplikasinya menyediakan platform digital dilengkapi dengan layanan dedicated agents untuk kategori properti residensial maupun komersial.

Hingga saat ini Rentfix mengklaim telah memiliki sekitar lebih dari 3000 pengguna dan 55 jumlah mitra penyewa maupun pembeli. Akhir tahun 2020 lalu Rentfix meluncurkan fitur “Rentfix Jual Beli”. Bisnis jual-beli ini diluncurkan karena banyaknya permintaan dari para pengguna yang ingin memiliki hunian dengan cara dan proses yang mudah.

“Masih banyak properti yang disewa di pasaran tetapi ternyata tidak ditempati dan dibiarkan kosong. Misalnya gudang sudah disewa sekian tahun tetapi kosong. Rentfix melihat peluang itu, ruang-ruang properti kosong tersebut kami transformasikan melalui platform digital,” kata Effendy.

Saat ini Rentfix belum mendapat pendanaan dari investor. Perusahaan masih berupaya untuk fokus mengoptimalkan nilai transaksi sewa dan jual-beli properti guna meningkatkan okupansi untuk terus mendapatkan hasil.

Model bisnis dan strategi monetisasi

Model bisnis yang diterapkan oleh Rentfix terdiri dari dua jenis, yakni bisnis sewa dan jual-beli properti. Untuk transaksi sewa, platform hanya mengambil sekitar 1% dari setiap transaksi yang berhasil. Kemudian untuk jual-beli mereka memberikan kemudahan dan penawaran transaksi yang menarik bagi konsumen dalam membeli properti.

“Misalnya untuk memiliki rumah, konsumen hanya perlu merogoh kocek Rp500 ribu untuk dapat mereservasi properti yang diinginkan. Model bisnis tersebut pun didukung dengan strategi monetisasi kami, yakni memberikan solusi dalam penjualan properti bagi para calon mitra,” kata Effendy.

Rentfix juga memberi penawaran strategi bisnis marketing yang terdiri dari kerja sama sebagai Mitra Reguler dan Mitra Prioritas yang diperuntukkan untuk lebih mendukung keberhasilan mitra-mitra dalam memasarkan properti sewa dan penjualan properti.

Disinggung apa yang membedakan Rentfix dengan platform serupa lainnya yang menawarkan layanan yang sama, disebutkan mereka lebih memosisikan diri sebagai layanan e-commerce properti. Tujuannya ingin menciptakan sebuah proses transaksi berbasis teknologi, sehingga seluruh proses sepenuhnya bisa dilakukan secara daring; mulai dari pemesanan, pembayaran, hingga perjanjian sewa.

“Jika ada transaksi pembelian properti yang batal pun Rentfix dapat mengembalikan dana (refundable) yang sudah dibayarkan oleh pembeli. Menariknya lagi, Rentfix memberikan layanan pasang properti secara gratis selamanya bagi masyarakat Indonesia dalam memasarkan propertinya di Rentfix. Setiap properti yang terdaftar di Rentfix dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia,” kata Effendy.

Pandemi dan bisnis Rentfix

Saat pandemi banyak pemilik properti memasarkan unitnya untuk disewakan di platform Rentfix. Salah satu alasannya adalah, properti akan tetap menjadi kebutuhan yang dicari dan diperlukan oleh masyarakat. Rentfix mencatat selama Q1 2020, adanya lonjakan permintaan dari segmen sewa pergudangan. Permintaan pergudangan di kategori komersial lebih tinggi jumlahnya dibandingkan kategori lainnya. Selama pandemi juga ada permintaan yang lebih banyak untuk sewa di tipe pergudangan seiring dengan naiknya permintaan di ritel online.

Sebaliknya penyewaan tempat tinggal dan tempat usaha di kategori residensial tercatat mengalami perlambatan permintaan. Fokus calon penyewa kebanyakan untuk mengisi kebutuhan jangka pendek. Selama kuartal pertama tersebut  setidaknya ada 500 daftar baru yang didaftarkan di platform tersebut per bulannya.

“Oleh sebab itu, di tengah situasi yang serba tak pasti seperti saat ini, digital ekonomi memiliki peran yang sangat penting. Masyarakat akan tetap mengandalkan dan membutuhkan perusahaan teknologi properti untuk berbagai keperluan tempat tinggal di situasi pandemi seperti saat ini,” kata Effendy.

Application Information Will Show Up Here

In 2021, Gojek Singapore’s Focus Remains on Driver Acquisition

After officially launched in Singapore in late 2018, Gojek is said to experience significant growth in terms of drivers and users – although they avoid revealing the precise number. This year, the local decacorn  has some plans to be launched soon, with the same goal, to continue increasing the number of its driver-partners.

Gojek representatives revealed to DailySoial that Singapore has been a strategic market for Gojek. Of all the plans, one is to launch new transportation products to provide more benefits for users and drivers, including a convenient transportation platform for companies, as well as special features for ordering taxis and large vehicles.

In the future, Gojek intends to explore new potentials to launch relevant products and services to the Singapore market, both independently developed services and in partnerships with other startups.

Previously quoted from ChannelNewsAsia, Gojek’s Co-Founder & Co-CEO, Kevin Aluwi said Gojek has a goal of making a lasting impact in Singapore for the years to come and making “strategic investments” in developing the business this year.

Since its arrival in Singapore, Gojek has focused on ride-hailing services to provide new options to users. “We are also the first vehicle booking operator in the country to offer multi-purpose features for up to three destinations,” said a Gojek representative.

In Singapore, there are existing legacy players. The latest data from DBS Group Research, as of 2019 there are three key players in the Asia Pacific, including Grab (estimated number of active drivers: 2.8 million partners and trips: 2.4 billion times), Gojek (1 million partners/1,2 billion times), and Ola Cabs (1 million partners/1 billion times).

According to data from Google, Temasek Holdings, and Bain & Company, in 2020 there was a decline in GMV for ride-hailing services in Southeast Asia, from $13 billion in 2019 to $11 billion in 2020 due to social restrictions amid the pandemic. However, it is projected to grow beyond $42 billion by 2025. Indonesia was the highest contributor in 2020 valued at $5 billion, followed by Singapore at $2 billion.

By comparison, the global ride-hailing market value according to MarketsandMarkets reached $75.39 billion in 2020 and is expected to grow to $117.34 billion by 2021.

Gojek and digital talents

Before its operational launch, Gojek had already explored Singapore for its office base, especially to accommodate the data team. The office has been official since 2017.

Although based in Singapore, Gojek’s data science office supports all targeted markets in Southeast Asia. Its function is quite important to improve the efficiency and user experience on the Gojek platform, from improvements across automatic customer service, pricing algorithms, routing tools, and allocations.

To date, Gojek has made the office a data science hub because of the talent and existing technology infrastructure. Within three years, Gojek claimed the team had increased by over three times. Currently, the team has been developing some innovations, from data analytics, data science, machine learning, and others.

“We are expanding our Singapore-based technology talent, particularly in cybersecurity and data analytics, to support the growth of our business across the region. We will continue to promote Gojek’s dynamic values ​​and culture through various channels, including social media, as well as ecosystem players such as a university – to reach, train and recruit the best talent.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Tahun 2021, Gojek Singapura Masih Fokus Memperbanyak Mitra Pengemudi

Setelah resmi hadir di Singapura akhir tahun 2018 lalu, Gojek mengklaim telah mengalami pertumbuhan signifikan dari segi jumlah mitra dan pengguna — kendati tidak mau menyebutkan kisaran angka secara eksplisit. Tahun ini ada beberapa rencana yang akan dilancarkan decacorn lokal tersebut, dengan tujuan yang sama, yakni untuk terus menambah lebih banyak lagi jumlah mitra pengemudi mereka.

Kepada DailySocial, perwakilan Gojek mengungkapkan, Singapura selama ini telah menjadi pasar yang strategis bagi Gojek. Salah satu rencana yang akan dilakukan, mereka akan meluncurkan produk transportasi baru guna memberikan lebih banyak manfaat bagi pengguna dan pengemudi, termasuk platform transportasi yang nyaman untuk perusahaan, serta fitur khusus untuk memesan taksi dan kendaraan besar.

Ke depannya Gojek juga ingin menjelajahi lebih jauh potensi baru untuk meluncurkan produk dan layanan yang relevan untuk pasar Singapura, baik layanan yang dikembangkan secara mandiri maupun dalam bentuk kemitraan dengan startup lain.

Sebelumnya dikutip dari ChannelNewsAsia, Co-Founder & Co-CEO Gojek Kevin Aluwi mengungkapkan, Gojek memiliki tujuan untuk membuat dampak yang bertahan lama di Singapura untuk tahun-tahun mendatang, dan membuat “investasi strategis” dalam mengembangkan bisnis tahun ini.

Sejak awal peluncurannya di Singapura, Gojek fokus kepada layanan ride-hailing untuk memberikan opsi baru kepada pengguna. “Kami juga operator pemesanan kendaraan pertama di negara ini yang menawarkan fitur multi-tujuan hingga tiga tujuan,” imbuh perwakilan Gojek.

Di Singapura sendiri sudah ada beberapa pemain legasi. Data terbaru yang kami dapatkan dari DBS Group Research, per tahun 2019 ada tiga pemain kunci di Asia Pasifik yakni Grab (estimasi jumlah pengemudi aktif: 2,8 juta mitra dan perjalanan: 2,4 miliar kali), Gojek (1 juta mitra/1,2 miliar kali), dan Ola Cabs (1 juta mitra/1 miliar kali).

Kemudian menurut data dari Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company, tahun 2020 sempat terjadi penurunan GMV untuk layanan ride-hailing di Asia Tenggara, dari $13 miliar di tahun 2019 menjadi $11 miliar di 2020 akibat adanya pembatasan sosial di tengah pandemi. Namun diproyeksikan tahun 2025 akan bertumbuh melampaui $42 miliar. Indonesia menjadi penyumbang nilai tertinggi di tahun 2020 dengan $5 miliar, disusul Singapura $2 miliar.

Sebagai perbandingan, nilai pasar ride-hailing secara worldwide menurut MarketsandMarkets mencapai $75,39 miliar di tahun 2020, dan diperkirakan akan tumbuh jadi $117,34 miliar di tahun 2021.

Gojek dan talenta digital

Sebelum resmi dijadikan sebagai pangsa pasar baru, Gojek sudah terlebih dulu menjajaki Singapura untuk basis kantor mereka, khususnya untuk mengakomodasi tim data. Kantor tersebut sudah diresmikan sejak tahun 2017.

Meskipun berbasis di Singapura, namun kantor data science Gojek mendukung semua pasar yang disasar di Asia Tenggara. Fungsinya pun menjadi penting dalam meningkatkan efisiensi dan pengalaman pengguna di platform Gojek, mulai dari mendorong peningkatan di seluruh layanan otomatis pelanggan, algoritma harga, alat perutean, dan alokasi.

Hingga saat ini kantor tersebut telah dimanfaatkan oleh Gojek sebagai data science hub karena talenta dan infrastruktur teknologi yang ada. Dalam waktu tiga tahun, Gojek mengklaim tim telah berkembang lebih dari tiga kali lipat jumlahnya. Saat ini terdapat beberapa bidang yang kemudian dikembangkan, mulai dari data analytics, data science, machine learning dan lainnya.

“Kami memperluas talenta teknologi kami yang berbasis di Singapura, terutama di bidang keamanan siber dan analitik data, untuk mendukung pertumbuhan bisnis kami di seluruh wilayah. Kami akan terus mengedepankan nilai dan budaya dinamis Gojek melalui berbagai kanal, termasuk media sosial, serta pemain ekosistem seperti universitas – untuk menjangkau, melatih, dan merekrut talenta terbaik.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Series A Funding Secured, Bot MD to Arrive in Indonesia in Q2 2021

Singapore-based startup Bot MD has secured $5 million in Series A funding. Its service focuses on the health sector, presenting a chatbot-based application equipped with Natural Language Processing (NLP) technology. Post funding news, the company plans to expand to other countries such as the Philippines, Malaysia, India, and Indonesia.

Bot MD’s Co-Founder & CEO, Dorothea Koh revealed to DailySocial that the platform focuses on providing a user experience that modernizes clinical workflows, without having to adopt a completely new hospital system or change the existing workflows.

“The Bot MD A.I. chatbot is made using NLP technology developed independently. We have trained the AI to understand various medical terminology and capable to understand various hospital contents, therefore, they can provide answers quickly,” Koh said.

Given the large demand from large hospitals and health care organizations during the pandemic, this fresh fund will also help accelerate the company’s growth in the Asia Pacific through partnerships with hospitals, public and private clinics.

This funding round was led by Monk’s Hill Ventures. Also participated investors in the new and previous round, including SeaX, XA Network, and SGInnovate, as well as healthcare industry veterans Yoh-Chie Lu and Jean-Luc Butel, and Steve Blank.

“Unlike other SaaS company players, the team’s extensive experience in the healthcare industry has provided them with deeper insight into the real pain points of doctors and hospitals, allowing them to create highly intuitive products for doctors to use without any training required,” Monk’s Hill Ventures Partner Michele Daoud said.

In Indonesia, there are lots of chatbot platform has been developed by local startups. There are also several players focused on the health sector, including Prixa, which is a business unit of Kata.ai and DokterSiaga.

Targeting Indonesian market

By prioritizing AI technology, Bot MD currently has been trained by more than 13 thousand doctors who have used the platform. This chat engine can also be used to support chat/messaging apps for consumers including WhatsApp, to help doctors provide care to patients.

As one of the countries with a large population and number of chat/messaging app users in Southeast Asia, Indonesia has become an ideal country for Bot MD to explore. According to the plan, the company aims to launch in Indonesia around the second quarter of this year.

Currently, Bot MD is still in the process of teaching bots to understand Indonesian. In addition, the recruitment of local teams ranging from engineers, clinical pharmacists, nurses, and sales teams to be stationed in Jakarta is still ongoing.

Regarding products or services that are relevant and needed by the market in Indonesia, Koh emphasized that they have two main products that might be very suitable for Indonesia. First is the MD Hospital Bot which is used by doctors and clinical staff to search for hospital-specific content. This ranges from their hospital call list schedule to drug information and clinical guidelines, patient health reports, and scans, prescribing medications, ordering and scheduling Radiology, and Lab examinations.

Another product to be launched in Indonesia is Bot MD Care, which is a WhatsApp-based clinical monitoring platform for doctors to monitor patients with diabetes, hypertension, and chronic kidney disease.

“We believe Bot MD Hospital and Bot MD Care are very relevant to the Indonesian market due to quite a large number of patients and the low ratio of doctors to patients, therefore, your doctor is a very busy person. Besides, the prevalence of chronic diseases such as diabetes and hypertension in the population. Indonesia is improving. With Bot MD, doctors can help streamline clinical workflows and seek information in order to save time and focus on serving patients better,” Koh said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Pendanaan Seri A, Bot MD Siap Meluncur di Indonesia Q2 2021

Startup asal Singapura Bot MD telah mengantongi pendanaan seri A dengan nilai $5 juta. Fokus layanan mereka di bidang kesehatan, menghadirkan aplikasi berbasis chatbot yang dibekali teknologi Natural Language Processing (NLP). Pasca-pendanaan, perusahaan berencana melakukan ekspansi ke negara lainnya seperti Filipina, Malaysia, India, dan Indonesia.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Bot MD Dorothea Koh mengungkapkan, platform yang mereka kembangkan fokus memberikan pengalaman pengguna yang memodernisasi alur kerja klinis, tanpa perlu mengadopsi sistem rumah sakit yang sama sekali baru atau mengubah alur kerja yang sudah ada.

“Bot MD A.I. chatbot dibuat dengan teknologi NLP  yang dikembangkan secara mandiri. Kami telah melatih AI untuk memahami berbagai terminologi medis dan juga mampu memahami berbagai macam konten rumah sakit, sehingga dapat memberikan jawaban dengan cepat,” ujar Dorothea.

Melihat besarnya permintaan dari rumah sakit besar dan organisasi perawatan kesehatan selama pandemi, dana segar ini nantinya juga akan untuk membantu mempercepat pertumbuhan perusahaan di Asia Pasifik melalui kemitraan dengan rumah sakit, klinik umum dan swasta.

Putaran pendanaan kali ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Turut terlibat investor baru dan sebelumnya yang pernah masuk dalam putaran investasi termasuk di antaranya SeaX, XA Network, dan SGInnovate, juga veteran industri perawatan kesehatan Yoh-Chie Lu dan Jean-Luc Butel, serta Steve Blank.

“Tidak seperti pemain perusahaan SaaS lainnya, pengalaman tim yang luas di industri perawatan kesehatan telah memberi mereka wawasan yang lebih dalam tentang real pain points dari dokter dan rumah sakit, yang memungkinkan mereka membuat produk yang sangat intuitif untuk digunakan dokter tanpa pelatihan apa pun yang diperlukan,” kata Partner Monk’s Hill Ventures Michele Daoud.

Di Indonesia sendiri platform chatbot cukup banyak dikembangkan startup lokal. Untuk yang fokus di bidang kesehatan juga sudah ada beberapa pemain, dua di antaranya Prixa yang merupakan unit usaha Kata.ai dan DokterSiaga.

Targetkan pasar Indonesia

Dengan mengedepankan teknologi AI, saat ini Bot MD telah dilatih oleh lebih dari 13 ribu dokter yang telah menggunakan platform tersebut. Mesin obrolan (chat engine) ini juga dapat digunakan untuk mendukung platform chat/messaging app untuk konsumen seperti WhatsApp, untuk membantu dokter memberikan perawatan kepada pasien.

Sebagai salah satu negara yang memiliki populasi besar dan jumlah pengguna chat/messaging app di Asia Tenggara, Indonesia kemudian menjadi negara yang ideal untuk dijajaki oleh Bot MD. Berdasarkan rencana yang dimiliki, perusahaan akan mulai meluncur di Indonesia sekitar kuartal kedua tahun ini.

Saat ini Bot MD masih dalam proses mengajarkan bot untuk memahami bahasa Indonesia. Selain itu perekrutan tim lokal mulai dari engineer, apoteker klinik, perawat dan juga tim penjualan yang akan ditempatkan di Jakarta juga masih terus dilakukan.

Disinggung produk atau layanan apa yang menjadi relevan dan dibutuhkan oleh pasar di Indonesia, Dorothea menegaskan mereka memiliki dua produk utama yang diklaim sangat sesuai untuk Indonesia. Yang pertama adalah Bot MD Hospital yang digunakan oleh dokter dan staf klinis untuk mencari konten khusus rumah sakit. Ini berkisar dari jadwal daftar panggilan rumah sakit mereka, hingga informasi obat dan pedoman klinis, laporan dan pemindaian kesehatan pasien, meresepkan obat, memesan dan menjadwalkan pemeriksaan Radiologi dan Lab.

Produk lain yang nantinya akan diluncurkan di Indonesia adalah Bot MD Care, yang merupakan platform pemantauan klinis berbasis WhatsApp bagi para dokter untuk memantau pasien diabetes, hipertensi, dan penyakit ginjal kronis.

“Kami percaya Bot MD Hospital dan Bot MD Care sangat relevan dengan pasar Indonesia karena jumlah pasien yang cukup besar dan rasio dokter terhadap pasien yang rendah, sehingga dokter Anda adalah orang yang sangat sibuk. Selain itu, prevalensi penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi pada penduduk Indonesia semakin meningkat. Dengan Bot MD, dokter dapat membantu merampingkan alur kerja klinis dan mencari informasi sehingga mereka dapat menghemat waktu dan fokus untuk melayani pasien dengan lebih baik,” kata Dorothea.

Application Information Will Show Up Here

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech Pembelajaran Bahasa Mandarin “LingoAce” Bidik 200 Ribu Pengguna di Indonesia

Startup edtech khusus belajar bahasa Mandarin LingoAce meresmikan kehadirannya di Indonesia pada hari ini, Rabu (18/11). Indonesia dan Thailand adalah dua negara yang diincar perusahaan asal Singapura ini, pasca mengantongi pendanaan Seri A+ senilai $6 juta dipimpin Sequoia India.

Dalam konferensi pers secara virtual, Founder & CEO LingoAce Hugh Yao menerangkan Indonesia adalah pasar yang strategis buat perkembangan LingoAce karena populasinya, pertumbuhan penetrasi internet yang menjanjikan, dan digadang-gadang sebagai negara dengan ekonomi digital yang paling potensial di ASEAN.

Ia dan tim juga melakukan riset mendalam sebelum benar-benar terjun ke negara ini. Makanya, perusahaan sangat menjunjung tinggi konsep lokalisasi agar LingoAce dapat diterima dengan baik.

“Kami sangat mengedepankan lokalisasi, dalam lima bulan kami mempersiapkan tim dan membuat situs dalam bahasa Indonesia. Pencapaiannya sangat memuaskan, kami berhasil mendapat 2 ribu pengguna,” terangnya.

Seperti diketahui, bahasa Mandarin adalah termasuk bahasa yang penting karena memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia. Dalam suatu riset bahkan disebutkan belajar bahasa Mandarin juga berpengaruh kreativitas otak. Oleh karena itu, LingoAce menyasar pengguna dari kalangan usia 4-15 karena di sanalah masa emas seorang anak, yang mana belajar bahasa akan jauh lebih mudah bisa dicerna.

“Di atas umur 15 tahun, anak punya lebih banyak kegiatan sehingga mudah terdistraksi. Kami ingin mengajarkan bahasa Mandarin dan bisa dikuasai seumur hidup dengan cara yang personalisasi dan interaktif,” tambah Marketing Director LingoAce Indonesia Nirwanto Honsono.

LingoAce menyediakan platform belajar bahasa Mandarin untuk anak usia 4-15 tahun. Pengguna akan diajarkan oleh tutor native speaker yang tersertifikasi dan sudah lolos seleksi dalam mengajarkan bahasa Mandarin untuk anak dan remaja. Tutor ini berasal dari luar negeri, ada yang datang dari Singapura dan Tiongkok.

Tutor tersebut menyesuaikan proses pembelajaran untuk setiap individu, termasuk kecepatan dan gaya belajar setiap murid, dengan memperhatikan latar belakang budayanya. Proses belajar yang personalisasi ini membantu murid untuk belajar lebih cepat dan efektif. Durasi per kelas adalah 55 menit dan jadwal kelas lebih fleksibel.

Secara global, LingoAce telah digunakan oleh 100 ribu pelajar dan 2 ribu tutor yang tersebar di 80 negara, dan telah berhasil menyelesaikan 200 ribu kelas sejak pertama kali berdiri di 2017. Di Indonesia, LingoAce telah digunakan oleh 2 ribu pengguna, yang domisilinya masih terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Ambisi di Indonesia

Nirwanto melanjutkan, pihaknya akan perbesar tim lokal agar dapat melayani kebutuhan pengguna di Indonesia. Dari pendanaan yang diperoleh perusahaan, banyak dialokasikan untuk merekrut lebih banyak karyawan. Dalam pipeline, pada tahun depan rencananya akan memiliki lebih dari 200 karyawan dari saat ini 25 orang. Tim tersebut akan ditempatkan untuk layanan pelanggan, operasional, dan pemasaran.

“Rencana kami adalah merekrut orang-orang yang punya pengalaman di bidang edukasi karena dalam operasional, kami tidak hanya berjualan saja. Kami ingin memantau perkembangan anak, apakah mereka on track atau tidak karena kami menawarkan pelayanan.”

Pada tahun yang sama, juga ditargetkan perusahaan dapat menggaet 50 ribu pengguna. Target yang lebih ambisius dipasang pada tahun berikutnya, perusahaan akan merekrut 500 karyawan, memiliki 200 ribu pengguna, dan menjadi pilihan utama untuk belajar bahasa Mandarin secara personal.

Di Indonesia, bahasa Inggris lebih populer daripada Mandarin, maka dari itu LingoAce sedang dalam persiapan untuk menghadirkan layanan tersebut. Nirwanto menargetkan pada tahun depan, belajar bahasa Inggris sudah tersedia dan digunakan pelajar.

Saat ini, perusahaan melakukan strategi akses kelas gratis untuk menarik 100 ribu pengguna baru dengan fasilitas keanggotaan selama setahun. Dengan program tersebut, pengguna dapat mengakses kelas-kelas Mandarin online tertentu sepuasnya.

Hugh menjelaskan di negara lain, perusahaan sudah mencatatkan pendapatan yang positif lewat strategi monetisasinya. “Ada tuition fee yang dibayarkan orang tua kepada kami, tapi ada juga kelas gratis yang bisa diakses untuk mendukung orang tua yang ingin mencoba untuk anaknya. Strategi ini imbang untuk memberikan dampak yang positif ke depannya,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

RealVantage Mulai Kenalkan Platform “Co-Investing” Real Estat di Indonesia

RealVantage, platform co-investing real estat atau properti berbasis di Singapura berniat matangkan bisnisnya di Indonesia. Realisasinya mereka telah tunjuk Dr Teddy Tjandra sebagai Country Managing Director Indonesia. Kantor representatif pun didirikan untuk menunjang aktivitas pengembangan bisnis, pemasaran, dan operasional.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Teddy untuk mengetahui lebih detail mengenai apa yang tengah mereka persiapkan di pasar Indonesia. Teddy sebelumnya dikenal sebagai founder platform edtech Sukawu. Sukawu sendiri masih beroperasi sampai saat ini sebagai proyek sosial.

Teddy Tjandra
Country Managing Director Indonesia RealVantage, Dr Teddy Tjandra

Model bisnis

Mengawali perbincangan, Teddy banyak menjelaskan tentang model bisnis RealVantage. Ia mengumpamakan perusahaannya tersebut layaknya sebuah Private Equity, hanya saja berinvestasi pada real estat seperti gedung, hotel, bangunan komersial atau residensial yang menghasilkan pendapatan sewa. RealVantage juga memungkinkan investor individu untuk turut andil dalam pengembangan proyek properti.

Sejauh ini, proyek properti yang ditawarkan berada di Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Tapi hadirnya Teddy dan tim tidak menutup kemungkinan untuk mengeksplorasi peluang kerja sama dengan pengembang real estat di Indonesia.

“Biasanya kalau investasi di properti kita sebagai investor pada umumnya beli satu unit apartemen [keseluruhan]. Tapi kalau unit tersebut bentuknya gedung atau hotel, maka nilainya sudah tidak terjangkau untuk perorangan. RealVantage menjembatani kesenjangan tersebut, dengan mencarikan properti yang bernilai, dengan biaya akuisisi rendah, dan menghasilkan pemasukan reguler; untuk dipaketkan pada kalangan investor individu dengan modal investasi yang cukup rendah dan terjangkau, misalkan minimal SGD10 ribu atau sekitar 100 juta Rupiah per unit saham,” terang Teddy.

Kalangan individu yang dimaksud adalah High Networth Individual (HNW) atau Accredited Investor (AI) yaitu Investor Terakredisasi yang mempunyai nilai asset yang besar. Sesuai regulasi di Singapura, biasanya kalangan tersebut setidaknya memiliki satu dari tiga kriteria berikut: (1) memiliki pemasukan SGD300 ribu per tahun, (2) memiliki net financial asset minimal SGD1 juta, atau (3) memiliki net personal asset termasuk properti dan sebagainya minimal SGD2 juta.

Kriteria tersebut yang juga turut membedakan konsep co-investing RealVantage dengan model equity crowdfunding. Di Indonesia, platform seperti CrowdDana tawarkan model equity crowdfunding agar masyarakat luas dapat gotong-royong membiayai sebuah properti — namun dengan nilai investasi dan proyek yang jauh lebih kecil.

“Konsepnya hampir mirip [dengan equity crowdfunding], investor akan menjadi shareholder. Hanya saja untuk co-investing, setiap peluang investasi real estate yang ditawarkan oleh RealVantage akan dibuatkan sebuah Special Purpose Vehicle (SPV) yang berbentuk persoraan terbatas dan terdaftar di otoritas Singapura dan semua dana dikumpulkan dalam escrow bank account di Singapura. RealVantage akan mengelola dana serta aset properti yang telah diakuisisi bersama partner lokal yang ditunjuk,” ujar Teddy.

Teddy turut menjelaskan, properti dipilih karena menjanjikan imbal hasil yang lebih baik dibandingkan instrumen investasi lainnya, khususnya jika berbicara long-term investment. “RealVantage juga memungkinkan investor melakukan diversifikasi portofolio atau portfolio diversification dengan jenis aset yang bersifat secured dan berbasis properti. Jadi kalau dia punya 3 miliar Rupiah, bisa diinvestasikan ke beberapa proyek properti dengan return yang menarik dibanding deposito atau term deposit. Kami akan bantu lakukan end-to-end process mulai dari due diligencefinancial projection sampai manajemen aset dengan mekanisme teknologi [berbasis AI] sehingga membuat semua prosesnya transparan dan mulus,” ujarnya.

Setiap investor individu yang terlibat, namanya tercatat di pusat registrasi Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA) yang dapat diakses secara publik. Proses pencatatan dan pengelolaan dokumen untuk setiap investor dieksekusi secara digital, sehingga memungkinkan diakses dari mana pun – termasuk proses transaksinya dari transfer dana sampai dengan laporan untuk investor. Investor juga akan mendapatkan pembaruan informasi terkait perkembangan aset dan investasinya minimal setiap 3 bulan sekali, termasuk mendapatkan bagi hasil deviden dalam rentang waktu yang sama.

“RealVantage mengakuisisi satu building penuh, kemudian membuat atau meningkatkan value added di dalamnya. Imbal hasil yang didapat biasanya maksimal di rentang 3-5 tahun. Keuntungannya juga bisa didapat dari biaya rental yang rata-rata ada kenaikan 3-5% setiap tahunnya dan kenaikan price appreciation dari properti tersebut. Investor juga bisa exit dengan dijualkan propertinya setelah masa investasi berakhir” imbuh Teddy.

Perkembangannya di Indonesia

Di Jakarta, Teddy memimpin tim business development dan marketing. Untuk saat ini, setiap referral yang berhasil dikonversi akan ditujukan langsung (transaksinya) ke tim di Singapura. Target utamanya tahun ini adalah membangun operasional dan membuka pasar di Indonesia.

“Dalam beberapa bulan, kami bakal mengeksplorasi lebih dalam bisnis properti di Indonesia. Ke depan, kami juga berharap untuk mendapatkan lisensi OJK untuk mengoperasikan model bisnis di Indonesia [..] Kami juga terus mengembangkan kemitraan strategis dengan rekanan di bidang properti, termasuk dari sisi investor potensial,” ujar Teddy.

Gambar Header: Depositphotos.com

Startup “Credit Scoring” CredoLab Umumkan Pendanaan Seri A Senilai 103 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform credit scoring atau penilaian kredit CredoLab mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri A senilai $7 juta atau setara 103 miliar Rupiah. Investasi terbaru ini dipimpin oleh GBG, perusahaan yang dikenal dengan solusi data intelijen untuk pengelolaan identitas pengguna platform digital.

Access Venture Capital turut terlibat dalam pendanaan, juga Walden International yang merupakan investor sebelumnya. Awal tahun lalu perusahaan juga baru kumpulkan dana pra-seri A senilai $3,1 juta.

Dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis di Asia Timur, serta melakukan ekspansi ke Amerika Latin dan Afrika.

CredoLab berasal dari Singapura, saat ini mereka juga sudah memiliki basis operasional di Indonesia. Pihaknya juga sudah tercatat OJK sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) sejak Desember 2019.

Dalam wawancaranya bersama DailySocial, Chief Product Officer CredoLab Michele Tucci mengungkapkan, platformnya bekerja dengan membaca data di smartphone untuk menghasilkan skor perilaku pengguna. Selanjutnya data tersebut diolah untuk memperkirakan kemungkinan gagal bayar. Metadata di perangkat diakses secara anonim, dengan tetap menjamin privasi.

Saat ini layanan credit scoring CredoLab dimanfaatkan oleh berbagai institusi, baik perbankan, pemain fintech, e-commerce, dan bisnis teknologi lainnya. Model bisnisnya adalah pay-per-use atau bayar.

Bisnis credit scoring di Indonesia

Di Indonesia, tidak hanya CredoLab yang tawarkan solusi credit scoring. Menurut data OJK yang dipublikasikan per Juli 2020, setidaknya ada 13 pemain yang saat ini beroperasi di Indonesia, sebagai berikut:

Platform credit scoring tercatat di OJK
Platform credit scoring tercatat di OJK

Seiring peningkatan jumlah penyedia layanan pinjaman digital, platform credit scoring makin laris digunakan. Pendekatan sebelumnya yang banyak dilakukan perbankan, yakni melalui analis kredit (dengan petugas khusus), memiliki beberapa isu saat diterapkan di fintech. Di antaranya membutuhkan proses lama dan histori data tidak selalu ada (terlebih saat melayani nasabah underbanked dan unbanked).

Layanan penilaian kredit terkini memanfaatkan data-data yang terbentuk dari aktivitas pengguna bersama perangkatnya, termasuk data transaksi yang dilakukan dengan berbagai aplikasi (seperti e-commerce, ride hailing, e-wallet, dll), hingga aktivitas di media sosial. Proses analisisnya sangat terbantu teknologi seperti big data, machine learning, dan AI.

Metodologinya pun terus berkembang, misalnya yang dilakukan Pefindo bersama XL Axiata dalam produk IdTelcoScore, mereka merilis produk penilaian alternatif memanfaatkan nomor seluler pengguna XL Axiata untuk menganalisis kelayakan kredit debitur. Data telekomunikasi seluler dinilai dapat menjadi salah satu data alternatif yang penting karena tumbuh signifikan dan jumlahnya masif.

Sebelum platform penilaian kredit berkembang seperti sekarang, banyak startup fintech yang lakukan pendekatan semi-manual. Misalnya beberapa pemain meminta pengguna mengunggah beberapa dokumen identitas atau mengharuskan mereka menghubungkan akun e-commerce ke platform penilaian kredit – untuk melihat transaksi yang telah dilakukan. Beberapa lainnya meminta pengguna mengunggah dokumen agunan seperti bukti pembayaran tagihan.

MDI Ventures Plants Another Seed for “E-commerce Enabler” Anchanto

MDI Ventures is involved in another investment for the e-commerce enabler Anchanto worth of USD12 million or equivalent with 178 billion Rupiah. Previously, the Telkom CVC had announced the lead and opening of series C funding for the Singapore based startup in mid-2018, pouring USD4 million in total.

The fresh money is actually still at the same stage, apart from MDI, Asendia also involved in this round. Asendia’s CEO, Marc Pontet and MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja will join Anchanto’s management.

To date, Anchanto has managed to raise SGD16.6 million or equivalent to 180 billion Rupiah in its series C; while the funding round is still rolling. Previously, Transcosmos Japan and Luxasia had also poured investment for Anchanto.

The additional capital raised will be used to strengthen R&D, also to launch new products and building data platforms. Expansion into new markets is also listed on the agenda.

In general note, Anchanto provides SaaS-based products to facilitate businesses in managing e-commerce operations. It includes warehouse and inventory management systems. The company currently operates in Singapore, India, Malaysia, the Philippines, Australia, South Korea, and Indonesia.

Based on internal data, the company has supported around 12 thousand businesses until the end of 2019, processing GMV of up to USD2.71 billion.

In Indonesia, there are some similar services developed by startups and regions. Some of those are Sirclo, Jet Commerce, aCommerce, Perpule, IDMarco, and others.

Already gain profit

Vaibhav Dabhade selaku CEO dan Founder Anchanto / Anchanto
Anchanto’s CEO and Founder Vaibhav Dabhade / Anchanto

Anchanto’s Founder & CEO, Vaibhav Dabhade said that his company has now reached a profit point. This revenue was recorded from subscription services and gross margins that were considered high. The company is said to run quite efficiently because it does not buy inventory or operate a store/warehouse.

“Gaining profitability in the current difficult times is an extraordinary performance. I feel this is a significant achievement because we have managed to gather in the midst of the Covid-19 crisis. We are an efficient company,” he said.

Aside from that, Asendia’s involvement as a “cross-border” logistics company for e-commerce in Europe is also expected to be the opening door for Anchanto’s expansion into the European market.

“We are happy that Asendia can invest in Anchanto’s vision. Asendia’s services in Singapore have used Anchanto’s Wareo and SelluSeller platforms [..] We also see Asendia’s investment as our gateway to the European market,” Vaibhav said.

The cooperation model to be promoted is quite similar to its core commitment to MDI. Earlier, it is said that there was a possibility that the Anchanto service would be further integrated with DELON (Online Logistics Depo), a logistics fulfillment service offered by Telkom and POS Indonesia. In fact, DELON does run on Anchanto’s warehouse management platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian