Pendanaan Startup Indonesia di Q2 2020 Catat 32 Transaksi, Didominasi Tahap Awal

Secara kasat mata, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak serius terhadap perekonomian di dunia, baik skala mikro ataupun makro. Berbagai sektor usaha ikut terkena imbasnya, tak terkecuali yang bernaung di ekosistem startup digital.

Kondisi tersebut memunculkan beragam hipotesis. Beberapa pengamat mengatakan, tahun ini diproyeksikan akan cukup berat bagi founder startup, khususnya yang tengah melakukan penggalangan dana alias fundraising. Ternyata statistik masih berpihak bagi para founder, setidaknya menurut data di kuartal pertama dan kedua tahun ini.

Sepanjang kuartal pertama tahun 2020 (Q1 2020) kami mencatat, setidaknya ada 20 pendanaan startup yang diumumkan dan/atau dikonfirmasi ke publik. Kami berkesimpulan, angka ini sebenarnya relatif normal jika membandingkan periode serupa di tahun 2019. Menurut catatan Startup Report 2019, terdapat 27 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik di Q1 2019. Tren pendanaannya masih sama, didominasi tahap awal dan Seri A.

Hipotesis awal menyebutkan kesepakatan ini adalah hasil yang telah dibina dari tahun sebelumnya, sehingga belum bisa menjadi patokan gambaran iklim investasi tahun 2020 secara utuh.

Iklim investasi masih kuat

Sepanjang kuartal kedua 2020 (Q2 2020 di bulan April-Juni) tahun ini, kami mencatat ada 32 transaksi pendanaan startup yang diumumkan atau dikonfirmasi ke publik. Perolehan ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, yakni 24 transaksi.

Beberapa pendanaan merupakan kelanjutan/penutupan dari putaran yang sudah dimulai dari periode waktu sebelumnya (ditandai *). Ada juga yang merupakan pembukaan round baru yang akan masih bertambah partisipasinya di waktu mendatang (ditandai **).

Berikut selengkapnya daftar pendanaan tersebut diurutkan berdasarkan waktu pengumumannya:

Startup Lanskap Tahapan Investor
InfraDigital Edtech Series A AppWorks
Cinepoint Others Seed Funding Ideosource Entertainment
Jendela360 Proptech Seed Funding Beenext, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Shipper Logistic Series A Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
Fabelio** E-commerce Series C AppWorks, Endeavor Catalyst, MDI Ventures, Aavishkaar Capital
Ula New Retail Seed Funding Sequoia India, Lightspeed India, SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor
Wallex Technologies Fintech Series A BAce Capital, SMDV, Skystar Capital
GoPlay Online Media Seed Funding ZWC Partners, Golden Gate Ventures, Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, Redbage Pacific
Gojek Ride-Hailing Series F Facebook, PayPal
Job2GO Job Marketplace Seed Funding BANSEA
Bonza Big Data Seed Funding East Ventures
Delman Big Data Seed Funding Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, Qlue
Bobobox OTA Series A Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, Kakao Investments, Sequoia Surge, Mallorca Investment
KoinWorks Fintech Debt Funding Lendable
Pintek* Fintech Pre-Series A Accion Venture Lab,  Global Founders Capital
Dekoruma E-commerce Pre-Series C InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, Skystar Ventures
Tokocrypto Others Seed Funding Binance
Kopi Kenangan New Retail Series B Sequoia India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures
KlikDaily New Retail Series A Global Founders Capital
GudangAda Logistic Series A Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
BukuKas SaaS Seed Funding Sequoia Surge, 500 Startups, Credit Saison, angel investor
Bahasa.ai* SaaS Pre-Series A East Ventures, DIVA, SMDV, Plug and Play Indonesia
Modalku Fintech Series C BRI Ventures dan sejumlah undisclosed investors
Eduka Edtech Seed Funding Init-6
Qoala Fintech Series A Centauri Fund,  Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas
KoinWorks Fintech Debt Funding Quona Capital, EV Growth, Saison Capital
Kargo Technologies Logistic Series A Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Investree** Fintech Series C Mitsubishi UFJ Financial Group, BRI Ventures, SBI Holdings, 9F Fintech Holdings Group
Webtrace SaaS Seed Funding Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
BukuWarung SaaS Seed Funding East Ventures
ProSpark Edtech Pre-Seed Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, angel investor
TaniHub* Agritech Series A Openspace Ventures, Intudo Ventures, UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital, Golden Gate Ventures

Berdasarkan tabel di atas, jika ditinjau dari tahapan investasinya, sebagian besar pendanaan yang dibukukan berada di tahap awal (12) dan tahap Seri A (9). Sementara ditinjau dari segi lanskap bisnis, cakupannya cukup beragam, terbanyak masih untuk startup fintech.

Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch
Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch

Perkembangan ekosistem startup

Menurut laporan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome, Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia di daftar emerging startup ecosystem. Data yang digunakan untuk penilaian berdasarkan empat faktor utama, yakni kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta tiap kota.

Mumbai, yang berada di peringkat pertama urutan ini, mencetak skor 10 di masing-masing faktor tersebut. Nilai yang hampir sama dicetak Jakarta, hanya metrik talenta mendapatkan skor 9.

Startup Genome juga membagi peringkat tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta menempati posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Sayangnya perkembangan startup memang masih terpusat di kota metropolitan seperti Jakarta. Ketika penilaian dilakukan dalam cakupan nasional dan mengambil rata-rata kinerja seluruh kota, peringkatnya menurun drastis. Misalnya yang divalidasi StartupBlink dalam laporan bertajuk The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report.

Tahun 2020, Indonesia menempati peringkat ke-54, turun 13 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Di Asia Tenggara, posisi ini hanya unggul dari Vietnam. Singapura berada di posisi teratas, yaitu peringkat ke-16.

Laporan ini menyoroti kontribusi sejumlah kota terhadap perkembangan ekosistem. Secara berurutan Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Semarang menjadi yang kota-kota yang paling signifikan mendorong pertumbuhan ekosistem startup.

Laporan Startup Genome: Jakarta Peringkat Kedua dalam “Emerging Startup Ecosystem”

Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “emerging startup ecosystem” menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome.

Peringkat teratas ditempati oleh Mumbai. Setelah Jakarta, ada Zurich, Helsinki, dan Guangzhou. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Startup Genome merilis daftar ekosistem kota-kota ini untuk pertama kalinya sebagai bagian dari laporan GSER dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam tiap laporannya, Startup Genome umumnya menampilkan posisi kota yang masuk dalam daftar global startup ecosystem. Nama-nama kota yang masuk dalam posisi teratas relatif masih sama. Misalnya, Silicon Valley, New York, London, Beijing, dan Boston masuk dalam urutan lima besar secara berurutan.

Startup Genome mencatat hampir dua kali lipat jumlah ekosistem yang dipelajari sejak 2019, menilai lebih dari 270 ekosistem di lebih dari 100 negara untuk peringkat 30 teratas secara global dan runner up.

Dalam menyusun peringkat, Startup Genome menggunakan metodologi yang fokus pada faktor-faktor yang lebih relevan dengan wilayah yang mulai mencapai investasi dan inovasi tingkat tinggi.

Secara keseluruhan, laporan ini menggabungkan sejumlah sumber data untuk menentukan peringkat ekosistem, termasuk data dari Crunchbase, Orb Intelligence, PitchBook, Dealroom, dan mitra lokal dari tiap wilayah.

Mereka juga mencampur data dari internal yang diambil dari wawancara bersama lebih dari 100 pakar, ditambah data dua tahun hasil survei yang mengambil lebih dari 10 ribu responden tiap tahun.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Startup Genome menggabungkan data untuk menghasilkan empat skor utama yang memeringkat kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta dari tiap kota dalam skala satu hingga 10.

Mumbai yang masuk ke peringkat pertama dari urutan ini, mencetak skor 10 pada masing-masing faktor tersebut. Sementara Jakarta, hanya talenta yang menempati skor 9 dibandingkan skor metrik lainnya yang menempati skor 10.

Bersamaan dengan peringkat ekosistem yang muncul, Startup Genome juga membagi peringkat dari tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta masuk dalam posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Pun untuk metrik pendanaan tahap awal, Jakarta menempati posisi teratas dengan sekitar $845,9 juta diinvestasikan untuk startup tahap awal berdasarkan estimasi dari 2017-2018. Posisi kedua ditempati oleh Barcelona dengan nilai investasi $472,7 juta.

Laporan Startup Genome hanya melihat ekosistem dari tiap kota yang menjadi ibu kota suatu negara. Jika merujuk pada laporan lainnya, seperti StartupBlink menyebutkan peringkat Indonesia merosot ke-54 dari tahun sebelumnya ke-41.

Jakarta masuk ke dalam urutan ke-41 dari seluruh kota di dunia yang peringkatnya merosot pula sebanyak dua peringkat. Wajar jika Jakarta masih menjadi kota terdepan dalam mendukung ekosistem startup, kota-kota lainnya masih mengejar karena butuh faktor pendukung.

Laporan lain yang disusun oleh East Ventures – Digital Competitiveness Index bisa menjadi acuan lain untuk mendorong ekosistem ekonomi digital masing-masing wilayah di Indonesia jadi lebih bersaing. Di sana juga menyebutkan Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Pendukung ekosistem

Ketika ekosistem dari kota ini berkembang, semua perusahaan tahap awal saling bersaing secara global. Maka, dibutuhkan peranan penting dari ekosistem pendukung untuk memuluskan rencana ke depan.

Seluruh informasi tersebut bisa meniru dari para pemimpin ekosistem global agar masing-masing ekosistem bisa memperkuat di mana letak kekuatan mereka. Startup Genome merekomendasikan lima hal.

Mulai dari founder teknologi untuk penggerak pertama dan awal secara global atau regional. Contoh terdekatnya adalah Silicon Valley, Boston, dan Seattle. Kedua, hub bisnis global yang menjadi penggerak bisnis dan pusat keuangan global, contohnya adalah London, New York, dan Singapura.

Ketiga, pusat talenta R&D untuk produksi teknologi, contohnya adalah Tel Aviv dan Stockholm. Keempat, pasar besar yang dilindungi, misalnya Beijing, Shanghai, dan Jakarta. Terakhir, tempat kreatif kosmopolitan yang mengedepankan keterbukaan dan kualitas hidup, seperti di Berlin dan Melbourne.

Rekomendasi lainnya

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Laporan Startup Genome dapat diarahkan untuk semua stakeholder dalam ekosistem startup, baik dari startup itu sendiri, para investor, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kondisi pandemi global tentunya menghantam perekonomian yang menjalar ke berbagai lini bisnis, termasuk startup.

Perusahaan teknologi global dengan ketersediaan banyak dana, bisa sukses untuk pivot saat pandemi, di sisi lain banyak startup lain yang sedang kesusahan. Pendanaan global dikatakan turun hingga 20% sejak Desember 2019.

Dari hasil surveinya, pada pertengahan tahun ini lebih dari 40% startup global berada dalam kondisi “zona merah” ketika berbicara soal ketersediaan dana segar. Artinya, mereka hanya ada beberapa bulan untuk bertahan hidup atau runway yang pendek.

Jika mereka tidak berhasil membalikkan kondisi, mereka terpaksa harus tutup. Begitupun untuk startup yang sudah mendapat pendanaan minimal Seri A atau ke atas, sepertiganya hanya punya runway sampai enam bulan. Kondisi untuk melakukan penggalangan pendanaan jadi jauh menantang.

Oleh karenanya, Startup Genome merekomendasikan perlunya kehadiran pemerintah untuk menginjeksi startup tersebut agar dapat beroperasi. Bahwasanya, startup diyakini dapat membantu proses pemulihan ekonomi, punya andil banyak untuk melipatgandakan nilai ekonomi di tiap industrinya, dan mampu menggiring ekonomi pasca krisis tetap kompetitif.

“Tanpa startup, teknologi, finansial, kesehatan, dan industri lainnya akan tetap stagnan. Siapa yang ingin hidup di dunia yang di mana sistem perbankan didominasi oleh beberapa pemain, sehingga bisnis dan konsumen tidak punya alternatif lain untuk mengelola uangnya,” tulis dalam laporan tersebut.

“Ketika startup berkembang dan menjadi pemain penting di industrinya, akan membawa nilai lebih dan martabat di dalam ekosistem kota di mana mereka beroperasi,” sambungnya.

Rekomendasi yang bisa diambil pemerintah, menurut Startup Genome adalah merancang pendanaan yang efektif. Pola ini sudah diterapkan di Inggris yang membuat Coronavirus Future Fund. Pendanaan ini spesifik menargetkan startup yang masih pra-revenue dan pra-profit yang mengandalkan penyertaan saham dan surat utang dari pemerintah dengan kisaran kebutuhan $150 ribu sampai $6 juta.

Atau melindungi talenta berbakat, misalnya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab yang memperpanjang visa untuk warga asing yang menetap tanpa tambahan biaya.

StartupBlink: Peringkat Indonesia Merosot di Ekosistem Startup Global 2020

Ekosistem startup di Indonesia Indonesia merosot ke-54 secara global menurut laporan termutakhir dari StartupBlink bertajuk “The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report”. Pada laporan sebelumnya, Indonesia masuk dalam urutan 50 besar, atau tepatnya ke-41.

Dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Malaysia tergolong lebih unggul (48), Thailand (50), Filipina (53), dan Vietnam (59). Singapura ada di urutan tertinggi (16) di regional ini. Padahal secara kuantitas, Indonesia termasuk memiliki startup unicorn yang banyak di kawasan ini, per tahun 2020 totalnya sudah ada 6 startup yang terkonfirmasi menyandang status tersebut.

Tidak dipaparkan penyebab mengapa peringkat Indonesia turun. Didetailkan lebih dalam, Jakarta (41) menjadi kota terdepan di Indonesia dalam mendukung ekosistem startup. Namun posisi tersebut ternyata turun dua peringkat, sekaligus masuk dalam urutan ke-13 di Asia Tenggara.

Pada urutan kedua, ditempati oleh Bandung yang turun 86 peringkat dari posisi di tahun sebelumnya menjadi 389. Menariknya, muncul kota baru untuk pertama kalinya, yakni Yogyakarta (647), Medan (960), dan Semarang (982).

“Penting juga untuk disebut, Tangerang dan Surabaya [peringkat] meroket hingga ratusan sekarang ada di peringkat 515 dan 735 secara berurutan,” sebut laporan tersebut.

Kota-kota di Pulau Bali juga disebutkan berpotensi menjadi startup hub di Indonesia. Salah satu alasannya karena tingginya populasi pengusaha asing dan nomaden digital, namun jika didukung dengan infrastruktur internet yang cepat akan memungkinkan konektivitas yang jauh lebih andal.

“Distribusi yang baik dari delapan kota peringkat tertinggi ini memberikan kemenangan besar bagi Indonesia. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan populasi dan ukuran negara, kota-kota lainnya dengan peringkat rendah perlu mempersempit kesenjangan dari ibukota Jakarta.”

Kualitas internet

Mendukung laporan StartupBlink, OpenSignal sebelumnya juga mengungkapkan temuan yang mirip. Dari laporan terakhir yang mereka publikasi, ditemukan kecepatan unduhan dan unggahan dari jaringan seluler di 44 kota besar di Indonesia mengalami pertumbuhan bagus, akan tetapi tidak merata.

Padahal, sambungan internet berkecepatan tinggi merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan cita-cita ekonomi digital yang kuat.

Terkait pertumbuhan kecepatan unduhan, Kota Sorong (Papua Barat) dan Ambon (Maluku) menduduki urutan dua teratas. Peringkat ketiga ditempati Jayapura dengan peningkatan kecepatan sebesar 85% dibandingkan kota-kota lainnya. Ketiga kota ini memperoleh kecepatan unduhan hampir dua kali lipat kecepatan rata-rata nasional yang sebesar 9,8 Mbps.

Sementara itu terkait pertumbuhan kecepatan unggahan, kota Kupang (NTT) menduduki urutan pertama. Di sana, pengguna memperoleh 70% peningkatan kecepatan unggahan rata-rata sebesar 8,3 Mbps, hampir dua kali lipat dari rata-rata kecepatan nasional sebesar 4,5 Mbps.

Untuk provinsi-provinsi di Jawa tertinggal dibandingkan provinsi di pulau lainnya jika ditinjau dari persentase pertumbuhan; kendati kalau dibandingkan dari sisi kecepatan saat ini tidak kalah. Peringkat tertinggi diraih oleh Malang (15) dan Bandung (18). Jakarta menempati posisi ke-28 dengan kecepatan unduhan rata-rata 10,2 Mbps. Namun menduduki peringkat ke-32 di daftar kecepatan unggahan, dengan kecepatan rata-rata 4,8 Mbps.

Cimahi menjadi satu-satunya kota di urutan paling bawah daftar kecepatan unggahan dengan rata-rata 4,0 Mbps dan peringkat terakhir kecepatan unduhan dengan kecepatan 1,1 Mbps.

“Dengan semakin mudahnya penyediaan pengalaman jaringan seluler untuk para pengguna di wilayah perkotaan, cukup mengejutkan ketika pengguna di sepuluh dan enam kota masing-masing tidak memperoleh peningkatan kecepatan unduhan dan unggahan di atas rata-rata nasional. Kecepatannya hanya berhasil meningkat hingga 10% di bawah rata-rata nasional.”

HootSuite mencatat kecepatan internet di Indonesia rata-rata 20,1 Mbps dengan rata-rata di global 73,6 Mbps. Laporan ini dirilis pada awal tahun ini. Sementara, dari riset lainnya dari Seasia, mencatat kecepatan internet Indonesia menduduki peringkat ke-92 dari 207 negara dengan rata-rata kecepatan 6,65 Mbps. Sementara di global rata-ratanya adalah 11,03 Mbps. Laporan ini dipaparkan pada tahun lalu.

5 Sorotan Utama Industri Startup di 2020

DSResearch baru saja menerbitkan Startup Report 2019 yang didukung Bank Mandiri dan Vidio. Ada sejumlah paparan menarik yang terkumpul dalam laporan ini, mulai dari iklim investasi hingga peluang pertumbuhan dari bisnis vertikal baru di luar e-commerce dan ride-hailing.

Laporan ini juga menyoroti persaingan ketat startup online travel agent atau OTA yang saat ini masih dikuasai oleh startup unicorn Traveloka dengan valuasi $4,5 miliar di 2019 dan Tiket.com yang dicaplok oleh Blibli.com di tahun yang sama.

Kemudian, persaingan juga masih terjadi pada sektor veteran e-commerce. Saat ini lima posisi teratas e-commerce Indonesia diduduki oleh Shopee, Lazada, Tokopedia, Blibli,com, dan JD.id.

Untuk mengetahui paparan menarik selanjutnya, simak ulasan Editor in Chief DailySocial Amir Karimuddin pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Gojek jadi “decacorn” dan potensi merger dengan Grab

Startup Report 2019 menyoroti status baru Gojek sebagai “decacorn” pertama di Indonesia, setelah menerima suntikan dana putaran seri F dari tiga perusahaan Mitsubishi. Dengan pendanaan baru ini, Gojek kini bernilai sebesar lebih dari $10 miliar.

Namun, valuasi ini juga belum tentu menjamin proyeksi profitabilitas Gojek ke depan. Apalagi jika Gojek berencana untuk menggunakan mayoritas pendanaan ini untuk mengakuisisi pasar secara eksponensial lewat strategi diskon atau promo harga.

Dalam hipotesisnya, Amir menilai Gojek belum dapat mengantongi untung meskipun startup ini sudah menjadi layanan top of mind bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, bisa jadi pendapatan yang diperoleh belum mampu menutup biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pasar.

Padahal, layanan ride-hailing di Indonesia cuma didominasi dua pemain, yakni Gojek dan Grab. Kondisi duopoli tak serta merta membuat kedua startup ini meraih untung. Contoh paling relevan adalah kasus duopoli Uber dan Grab di Singapura. Meski ujung-ujungnya merger juga, toh untungnya belum signifikan.

“Di level maturity ini, investor sudah mulai minta return ke LP, mereka harus cari cara untuk exit. Jika caranya lewat IPO, salah satu yang dikejar adalah profitabilitas. Untuk mencapainya, mungkin ya, melalui monopoli. Tidak ada persaingan, mereka bisa menentukan value yang ditargetkan,” jelasnya.

Namun, tambahnya, perlu digarisbawahi bahwa aksi monopoli belum tentu membuat pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Pelanggan dinilai tidak punya bargaining power karena tidak ada pilihan. Jika ada kelanjutan “cerita” dari situasi duopoli tersebut, Amir menilai para stakeholder perlu melihat sekop yang lebih luas, tak hanya bisnis tapi juga regulasi.

Angin segar iklim investasi startup 2019

Sorotan selanjutnya adalah iklim investasi startup di Indonesia di sepanjang 2019. Startup Report 2019 mencatat ada 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai sebesar $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini jauh lebih besar dari tahun 2017 (67 transaksi) dan 2018 (71 transaksi).

Yang menarik, jumlah transaksi pendanaan seri A naik dua kali lipat sebanyak 31 transaksi dibandingkan 2018 sebanyak 15 transaksi. Dari sisi kontribusi nilai, Gojek “memakan” lebih dari separuhnya dengan suntikan $2 miliar. Sisanya tak sampai $1 miliar dibagi ke 112 transaksi lain.

“Tahun 2019 memberikan angin segar bagi para pemain industri yang sudah mulai mature. Artinya, mulai banyak VC yang masuk ke later stage karena mereka sudah menyiapkan ‘anak VC’ lain untuk main di stage di bawahnya,” ujar Amir.

Jika dirinci dari bisnis vertikal, financial menjadi sektor terbanyak yang menerima pendanaan. Kemudian diikuti oleh layanan e-commerce, on-demand, dan SaaS.

“Meski sektor ini kurang seksi karena B2B, tapi SaaS memiliki potensi pertumbuhan yang bagus karena ada jaminan revenue lebih baik dibanding layanan yang masuk ke pasar ritel,” ucapnya.

‘Seleksi alam’ industri startup di 2020

Amir memperkirakan bakal ada sejumlah startup bakal mendulang pertumbuhan bisnis luar biasa dikarenakan pandemi COVID-19. Sebaliknya, sejumlah startup juga bakal menghadapi cobaan besar akibat wabah ini. Yang sudah pasti adalah startup di sektor online travel agent (OTA) dan turunannya.

Situasi saat ini dinilai dapat menjadi ‘seleksi alam’ bagi startup apapun. Untuk melewati krisis ini, leadership menjadi hal yang patut dimiliki oleh pemimpin startup. Mereka perlu menyikapi sejumlah hal dengan cepat.

“Kalau ada startup yang tidak bisa melihat kondisi keuangan dalam setahun ke depan, mungkin sulit bagi mereka untuk bertahan. Tapi, startup yang tetap produktif, mampu mempertahankan layanan di situasi sekarang, dan dapat beradaptasi dengan penerapan WFH bisa bertahan ke depan. Situasi ini jauh lebih sulit dibandingkan krisis ekonomi yang lain,” tuturnya.

3 sektor yang bakal curi perhatian di 2020

Lebih rinci perihal prediksi di atas, Amir memperkirakan ada tiga vertikal bisnis startup yang bakal mencuri perhatian di tahun 2020, yakni pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Pemicu terbesarnya adalah pandemi COVID-19 yang bakal mendongkrak pertumbuhan luar biasa.

Ambil contoh startup edtech Ruangguru yang bekerja sama dengan operator Telkomsel untuk menggratiskan layanannya. Startup ini panen traction karena pemerintah meliburkan sekolah dan perkuliahan.

Kemudian, startup agritech yang mencoba memberikan solusi dari hulu ke hilir. Salah satu startup yang mengakomodasi hal ini adalah TaniHub yang memiliki anak usaha TaniFund dan TaniSupply. Sektor agritech tentu menarik bagi pasar Indonesia sebagai negara agraris. Dengan situasi seperti ini, permintaan layanan e-groceries tentu akan meningkat.

Terakhir adalah healthtech. Situasi saat ini mewajibkan masyarakat Indonesia untuk menomorsatukan kesehatan. Tak heran apabila layanan healthtech yang didominasi Halodoc (67,7%) dan Alodokter (28,5%) bakal mendapatkan traction tinggi.

“Belum lagi bicara layanan turunannya, seperti insurtech. Ada banyak pemain baru yang menawarkan produk inovatif, terutama berkaitan micro insurance, tambah Amir.

Test case bagi startup edtech

Masih berkaitan dengan pandemi. Amir juga menyoroti penuh tentang bagaimana situasi ini dapat menjadi ajang pembuktian layanan edukasi online yang selama ini digencarkan oleh startup edtech seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper.

“Suka tidak suka, pandemi COVID-19 dapat menjadi jawaban apakah solusi yang diterapkan platform teknologi pendidikan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, terutama di segmen grassroot. Selain itu, inisiasi sejumlah startup untuk menggratiskan layanan turut mendorong adopsi menjadi lebih besar,” katanya.

Krisis kesehatan global ini juga dinilai dapat mengubah cara belajar-mengajar masyarakat Indonesia ke depan, di mana solusi edtech bisa jadi jawabannya. Hal ini karena selama ini Indonesia belum melihat urgensi dari adopsi edtech dan e-learning hanya menjadi ‘suplemen’ pembelajaran. 

“Dengan kondisi sekolah [dan kampus] ditutup, ini akan menjadi test case menarik apakah mereka siap untuk menjadi platform primer, tidak hanya suplemen. Kita akan lihat sepanjang tahun ini,” tutupnya.

Classifying the Centaur Startups in Indonesia

Centaur or aspiring unicorn is commonly used to call startups that have reached valuations of more than $100 million (1.4 trillion Rupiahs) and under $1 billion (14 trillion Rupiahs). One way to measure valuation is based on funding obtained from investors.

The rapid development of the Indonesian ecosystem has brought many startups to the later stage funding – series A round or above. The good implication is, many Indonesian startups have succeeded in holding the centaur degree today.

Without a specific list, according to the Temasek report, Google, and Bain & Company there are more or less 70 centaur startups in Southeast Asia. As for Indonesia, based on research conducted by DSResearch earlier this year, there are at least 27 startups, most of which have been confirmed to have valuations above US$ 100 million.

Listed below the centaur startups:

centaur startups

Vertical business analysis

In terms of business verticals, the scope is quite diverse even though it’s dominated by fintech and e-commerce. The trend is quite similar if you look at the list of existing local unicorns, 3 out of 6 players are in the e-commerce sector. Meanwhile, based on the business model a.k.a the revenue streams they relied on, the distribution is quite balanced, there are 13 startups implemented the B2C model, 10 startups in the B2B model, and the rest (4 startups) are targeting both through B2B2C.

startup centaur

In terms of B2B models, there are three fintech lending, two SaaS, and one each for the marketplace, logistics, media, and fintech payment. Although each of them offers services to businesses, some are closely related to transactional businesses at the consumer level.

The p2p lending for example, even though the funds collected from the players distributed to SMEs, their funds are still collected from individual investors. The developed platform is intended for anyone can access the capital flow and act as an investor even though (maybe) it does not provide direct profits because the interest on loans and other costs is charged to the borrowers.

It’s similar to Moka in the SaaS sector. Although the presented features are to embrace micro-businesses, applications, and road services to accommodate the needs of consumer transactions at offline merchants. Its business regulates transactions and cash flow within.

In terms of B2C, it is even clearer because it charges fees to consumers using the products or services. It’s no doubt the buy and sell based business, financial transactions or subscriptions model become the most widely developed.

Market momentum

The fundamental reason that makes successful centaur businesses is market readiness. If only the penetration run in 5 or 10 years ago, the results might not be this significant. Take Payfazz for example, as one of the startups with quite fast business acceleration.

Payfazz application allows partners (the average shop owner) to serve various virtual items sales, such as balance top-up, electricity tokens, insurance payments, money transfers and so on. According to Kemenkopukm, there are around 64 million SMEs in Indonesia with 46.27% engaged in trading, including stall owners. In terms of customer community, the services provided are familiar with daily needs. Economic value is spinning fast in related commodities.

The big pie is now being fought over by other giant digital players, such as e-commerce platforms flocking to strengthen partnership programs with kiosk – Bukalapak, Tokopedia and now Shopee.

Online shopping has become a culture that gives good impact on e-commerce in providing more specific services. For example, what HappyFresh did through the application that allows the public to get guaranteed fresh food. However, the GMV projections for this business will continue to increase to US$ 82 billion by 2025 .

It is very clear on fintech sector, at least 92 million adults in Indonesia are yet to experience financial or banking services (unbankable) will be the potential market.

The right direction

In fact, more startups have been operating for years but yet to reach the centaur valuation. This phenomenon had become a hot conversation, because of the funding gap issue. As the startups that have passed early-stage funding failed to convince later-stage investors.

Furthermore, the numbers presented in the metrics become important for investors. And those numbers will increase sharply whether the business can truly accommodated the necessary stuff for many people, no matter how sophisticated the solutions offered.

The founder intuition to execute the business in the right momentum is one of the keys to the result of 27 startups might soon catch up with their seniors, joining the unicorn line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengidentifikasi Startup-Startup “Centaur” di Indonesia

Centaur atau aspiring unicorn adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta (1,4 triliun Rupiah) dan di bawah $1 miliar (14 triliun Rupiah). Valuasi sendiri salah satunya diukur berdasarkan pendanaan yang didapat dari investor.

Perkembangan pesat ekosistem di Indonesia membawa banyak startup ke pendanaan later stage – putaran seri A atau di atasnya. Implikasi baiknya, kini banyak startup Indonesia yang berhasil menyandang gelar centaur.

Kendati tidak didaftar, menurut laporan Temasek, Google dan Bain & Company saat ini ada sekitar 70 startup centaur di Asia Tenggara. Adapun di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan DSResearch awal tahun ini, setidaknya ada 27 startup yang kebanyakan sudah dikonfirmasi memiliki valuasi di atas US$100 juta.

Berikut adalah daftar startup-startup centaur tersebut:

Startup Centaur Indonesia

Analisis vertikal bisnis

Ditinjau dari vertikal bisnis yang dilakoni, cakupannya cukup beragam kendati fintech dan e-commerce jadi yang mendominasi. Trennya masih sama jika melihat daftar unicorn lokal yang ada, 3 dari 6 pemain adalah di bidang e-commerce. Sementara itu jika ditinjau dari model bisnisnya alias kanal revenue stream yang diandalkan, pembagiannya juga cukup berimbang, sebanyak 13 startup terapkan model B2C, 10 statup di model B2B, dan sisanya (4 startup) menyasar keduanya melalui B2B2C.

Startup Centaur Indonesia

Untuk model B2B ada tiga fintech lending, dua SaaS, dan masing-masing satu untuk marketplace, logistik, media dan fintech payment. Kendati masing-masing tawarkan layanan kepada bisnis, sebenarnya beberapa bersinggungan erat dengan bisnis transaksional di level konsumer.

Di p2p lending misalnya, kendati dana yang terkumpul dari pemain di atas fokus didistribusikan untuk UKM, dana mereka tetap dihimpun dari investor perorangan. Platform dikembangkan memang bertujuan agar siapa saja dapat mengakses alur permodalan dan bertindak sebagai investor kendati (mungkin) tidak memberikan profit secara langsung, karena bunga pinjaman dan biaya lainnya dibebankan kepada peminjam.

Pun demikian Moka di sudut SaaS. Kendati fitur-fitur yang disajikan merangkul para pebisnis mikro, aplikasi dan layanan jalan untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi konsumen di merchant offline. Bisnisnya mengatur transaksi dan arus kas di dalam bisnis.

Bagi B2C makin lebih gamblang, karena mengenakan biaya dari konsumen atas produk atau layanan yang diberikan. Tak ayal bisnis berbasis jual beli, transaksi keuangan atau berlangganan jadi yang paling banyak dikembangkan.

Momentum pasar

Alasan mendasar yang membuat bisnis-bisnis centaur moncer adalah kesiapan pasar. Jika penetrasi dilakukan 5 atau 10 tahun lalu mungkin hasilnya tidak akan sepesat ini. Ambil contoh Payfazz sebagai salah satu startup yang cukup cepat akselerasi bisnisnya.

Aplikasi Payfazz memungkinkan mitra (rata-rata pemilik warung) untuk bisa melayani penjualan berbagai item virtual, seperti pulsa, token listrik, pembayaran asuransi, transfer uang dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri, menurut Kemenkopukm ada sekitar 64 juta UKM dengan 46,27% di antaranya di bidang perdagangan, termasuk di dalamnya pemilik warung. Di sudut masyarakat pelanggan, layanan-layanan yang diberikan akrab dengan kebutuhan sehari-hari. Nilai ekonomi berputar kencang dalam komoditas terkait.

Kue bisnis yang besar kini turut diperebutkan oleh pemain digital raksasa lain, seperti platform e-commerce yang berbondong-bondong kuatkan program kemitraan dengan warung – telah dijalankan Bukalapak, Tokopedia dan kini Shopee.

Belanja online yang telah menjadi kultur juga memberikan dampak baik bagi e-commerce yang memberikan layanan secara lebih spesifik. Misalnya yang disajikan HappyFresh, melalui aplikasi memungkinkan masyarakat mendapatkan bahan makanan yang dijamin segar. Namun sampai tahun 2025 proyeksi GMV untuk bisnis ini masih akan terus tinggi mencapai US$82 miliar.

Sementara bagi fintech sudah sangat jelas, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable) yang bisa dijadikan sasaran layanan.

Arah bisnis yang tepat

Faktanya lebih banyak startup yang telah beroperasi bertahun-tahun tapi belum kunjung menyentuh valuasi centaur. Fenomena ini sempat jadi perbincangan hangat, lantaran disinyalir terjadinya funding gap. Yakni gagalnya startup yang telah melewati pendanaan early-stage untuk mendapatkan kepercayaan investor later-stage.

Di fase lanjutan, angka yang tersaji di dalam metrik menjadi penting bagi investor. Dan angka-angka itu bakal meningkat tajam jika bisnis yang disajikan memang menangani hal-hal yang dibutuhkan oleh banyak orang, secanggih apapun solusi yang ditawarkan.

Intuisi founder untuk mengeksekusi bisnis dalam momentum yang tepat jadi salah satu kunci mengapa pada akhirnya 27 startup tadi mungkin dalam waktu dekat akan segera menyusul para seniornya, bergabung di jajaran unicorn.

Sinkronisasi Regulasi Muluskan Demokratisasi Teknologi

PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah resmi berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019. Beleid ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, menjelaskan pelaksanaan transaksi dari sisi pelaku usaha, konsumen hingga produk.

Banyak poin yang menarik jadi bahasan, salah satunya tertuang di pasal 15 yang intinya pelaku bisnis (dalam hal ini termasuk pedagang) wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan PSME. Padahal menurut data Asosiasi E-commerce Indonesia 95% pelaku UKM masih berjualan di media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace. Lantas, bagaimana praktik pengawasannya?

Aturannya memang baru dirancang akhir-akhir ini, sementara bisnis e-commerce mulai menggeliat tahun 2010. Sebelum melalui portal yang lebih terstruktur, model customer-to-customer (C2C) marketplace sudah berjalan melalui forum online seperti Kaskus FJB dan media sosial. Pada tahun 2005 Tokobagus didirikan dan makin populerkan mekanisme belanja online. Berbagai platform bermunculan, mulai dari Tokopedia (2009), Bukalapak (2011) dan lain-lain. Sementara aturannya serius diundangkan satu-dua tahun terakhir ini.

Masih banyak vertikal bisnis lain

Fintech juga jadi model bisnis digital yang mendapat perhatian khusus regulator di tengah kemunculan berbagai jenis aplikasi penunjang. Secara spesifik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertindak mengayomi platform berbasis pinjaman, investasi dan asuransi. Sementara Bank Indonesia (BI) lebih fokus ke platform transaksi dan pembayaran.

Tahun 2016 OJK meresmikan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menjadi payung hukum utama layanan p2p lending yang secara kuantitas jadi dominan di sektor finansial digital. Melihat kondisi pasar yang ada, tahun 2018 BI memperbarui aturan soal e-money dalam PBI Nomor 20/6/PBI/2018, memperketat kriteria perusahaan penyelenggara platform.

Sayangnya fintech tidak sebatas aplikasi pembayaran atau pinjaman online. Lantas untuk menyiasati inovasi yang terus berlanjut di sektor keuangan, sekitar tahun 2017 mulai diperkenalkan “regulatory sandbox”, yakni ruang uji coba terbatas untuk produk atau layanan yang belum terakomodasi aturan.

Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf
Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf

Beralih ke vertikal lain ride-sharing, yakni skema C2C yang mengakomodasi jasa transportasi secara online. Di awal popularitasnya sekitar tahun 2015-2016, belum ada regulasi khusus yang menaungi. Bahkan karena dinilai “mengganggu” tatanan transportasi yang sudah mapan, banyak pihak vokal menyatakan penolakan.

Apadaya, membendung inovasi teknologi adalah keniscayaan, seiring pergeseran kebiasaan masyarakat yang semakin bergantung aplikasi digital. Negosiasi pun terus dilakukan, menghasilkan berbagai kesepakatan dan kerja sama.

Pemerintah akhirnya menelurkan regulasi untuk taksi online melalui Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus. Di dalamnya mengatur batasan tarif, wilayah operasional hingga spesifikasi kendaraan yang digunakan. Bahkan untuk ojek online, pemerintah tempuh jalur diskresi. Pasalnya sepeda motor tidak termasuk dalam kategori kendaraan angkutan umum.

Apa yang disebut dengan disrupsi digital tidak berhenti di situ saja, berbagai platform baru bermunculan, menyerbu sektor-sektor penting lainnya.

Sinkronisasi regulasi

Dari perjalanan startup digital sepanjang satu dekade tersebut di atas ada dua pelajaran penting yang bisa diperhatikan. Pertama, regulasi selalu tertinggal beberapa langkah di belakang inovasi teknologi. Dan kedua, inovasi teknologi (di sektor publik) tanpa dipayungi regulasi yang tepat akan menimbulkan kegaduhan dan isu di kalangan masyarakat.

Melihat tren perkembangan sub-sektor bisnis digital yang begitu kencang, tampaknya regulasi tidak bisa berdiri secara standalone untuk mengatur kategori bisnis tertentu. Perlu adanya sinkronisasi antarlembaga pembuat aturan.

Sebagai contoh, saat mengatur tentang layanan kesehatan digital (healthtech), selain Permenkes mengenai telemedicine, perlu juga memperhatikan aturan Kominfo tentang transaksi elektronik, bahkan terkait tanda tangan digital.

Model “regulatory sandbox” mungkin  perlu diterapkan di setiap kementerian, untuk mengantisipasi lahirnya platform baru yang menghadirkan disrupsi proses bisnis tertentu. Karena pada dasarnya regulator juga membutuhkan waktu untuk mempelajari dan mengkaji mengenai beragam mekanisme baru sebelum benar-benar dibuat aturannya.

Sinkronisasi juga perlu diselenggarakan untuk mengakomodasi kebutuhan beragam pihak, dalam hal ini pelaku bisnis startup, pelaku bisnis konvensional, konsumen dan pemerintah. Langkah ekosistem membentuk asosiasi di tiap vertikal jadi upaya positif untuk membatu regulator dalam mengkaji setiap aturan yang berdampak pada bisnis terkait.

Efektivitasnya sudah terbukti, memungkinkan menyeimbangkan perspektif regulator dari sudut pandang industri. Sudah terbukti di banyak hal, misalnya Kemenkeu yang akhirnya membatalkan rencana aturan yang mewajibkan pedagang online memiliki NPWP, pasalnya menurut asosiasi e-commerce banyak yang pendapatannya masih di bawah PTKP. Pun demikian yang dilakukan AFPI untuk membantu OJK mengurus legalitas bisnis fintech lending.

Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce
Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce

Teknologi baru terus dilahirkan

Proyeksi kami, selanjutnya yang akan menjadi populer adalah startup di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengembang teknologi kecerdasan buatan. Lantas sudah siapkah aturan-aturan yang bakal menaungi bisnis tersebut saat mulai masif digunakan pengguna?

Belum lagi saat berbicara teknologi secara spesifik yang berkembang saat ini. Blockchain misalnya, mekanisme ini mulai banyak digunakan untuk kebutuhan transaksi data dan aset digital. Namun saat blockchain benar-benar diaplikasikan ke dalam proses bisnis tertentu sudah siapkah payung hukumnya?

Contoh kasusnya, di tengah peastnya startup legaltech teknologi blockchain bisa diaplikasikan untuk memindahkan dokumen legal seperti surat atau sertifikat dari satu pihak ke pihak lagi tanpa terjadi duplikasi data. Lantas bagaimana jika terjadi kegagalan sistem yang mengakibatkan kerusakan dokumen? Atau terjadi penyalahgunaan yang disebabkan karena unsur nonteknis? Adanya aturan sebenarnya untuk melindungi dan memastikan proses bisnis berjalan sebagaimana mestinya.

The best regulation is less regulation

Mengutip istilah yang dipakai Rudiantara selaku Menkominfo periode sebelumnya saat membahas regulasi untuk ekosistem startup, “the best regulation is less regulation”.

Simplifikasi regulasi memang jadi upaya penting yang harus dilakukan pemerintah. Pasalnya dengan regulasi yang rumit juga akan menghambat perkembangan bisnis. Namun regulasi tetap penting dijadikan landasan untuk memastikan industri tetap berjalan secara sehat. Jadi kesimpulannya, ekosistem membutuhkan regulasi tepat sasaran dan tepat takaran.

Tahun 2019 Startup Indonesia Bukukan Pendanaan Lebih dari 40 Triliun Rupiah, Pemodal Ventura Lokal “Exit” 14 Kali

Tampaknya bukan tidak mungkin jika Indonesia bisa menjadi digital archipelago yang memimpin industri internet di Asia Tenggara. Pertumbuhan cepat bisnis dan startup teknologi mulai memberikan dampak secara masif. Dibuktikan dengan banyak hal, termasuk kepercayaan investor untuk menanamkan modal.

Setiap tahun DailySocial menerbitkan laporan riset bertajuk “Startup Report”, mencatat dinamika dan tren pasar dalam sektor digital. Termasuk untuk tahun 2019, akan ada riset khusus yang mencatat hal-hal menarik dalam industri. Laporan terbaru direncanakan akan diluncurkan pada awal tahun 2020.

Sebagai gambaran awal, kami mencoba menyajikan beberapa temuan menarik untuk Startup Report 2019, khususnya terkait pendanaan. Dari 59 pendanaan yang diumumkan nominalnya, total yang didapat mencapai $2,8 miliar atau setara 40,2 triliun Rupiah. Sementara masih ada 44 transaksi pendanaan lain yang tidak disebutkan nominalnya ke publik.

Selain itu, ada beberapa tren menarik lainnya, berikut ulasan singkatnya:

Sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Per tanggal 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan oleh startup dan/atau investor Indonesia. Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Hal ini sesuai yang diprediksikan dalam laporan tahun lalu, bahwa fintech akan semakin menggeliat. Banyak faktor yang mendasari, pertama adalah potensi pasar. Kalangan unbankable di tanah air masih mendominasi, berasal dari kota tier satu sampai tiga. Kedua, regulasi yang semakin terbuka dengan para pelaku usaha. Ketiga, masyarakat mudah beradaptasi dengan pendekatan digital.

Riset khusus mengenai sektor fintech juga sudah diterbitkan sebelumnya melalui Fintech Report 2019.

Pendanaan untuk startup tahap awal mengucur deras

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pendanaan awal (seed funding) masih mendapatkan porsi terbesar, disusul oleh pendanaan seri A. Secara umum investasi tersebut dikucurkan oleh investor kepada startup baru yang sudah berhasil memvalidasi produknya ke pasar, hingga menghasilkan traksi. Tahun ini kategorinya cukup beragam, mulai dari startup penyedia layanan berbasis kecerdasan buatan, platform investasi, kesehatan, dan lain-lain.

Di tahap lanjut, startup Indonesia juga masih dapatkan jumlah yang cukup banyak untuk seri B ke atas ada 27 transaksi yang dibukukan. Sektor finansial dan e-commerce masing-masing mendapatkan 5 transaksi tahap lanjut. Diteruskan car marketplace dan pendidikan masing-masing 2 transaksi.

Gojek mendominasi capaian transaksi pendanaan

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pasca perolehan dari Cool Japan Fund, pendanaan seri F Gojek disebutkan telah capai $2 miliar dari target $3 miliar, dan akan ditutup per Januari 2020. Capaian ini, selain mengukuhkan perusahaan jadi lokal decacorn pertama, juga jadi nominal transaksi pendanaan terbesar yang didapatkan startup Indonesia.

Dilanjutkan Kredivo yang mendapatkan pendanaan dalam dua babak, yakni seri C dan debt funding. Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, Partners for Growth jadi beberapa investor yang terlibat.

Transaksi paling banyak di kuartal ketiga

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pada kuartal ketiga, bulan Juli-September, ada sekitar 36 transaksi pendanaan yang terjadi. Jadi yang terbanyak jika dibandingkan dengan periode waktu sebelum dan sesudahnya. Namun jika melihat dari sisi nominalnya, kuartal di awal dan akhir tahun lebih mendominasi. Di periode tersebut startup unicorn dan centaur mengumumkan perolehan pendanaan barunya.

14 exit melalui akuisisi dan IPO

Venture Capital Indonesia 2019

Tahun ini ada 14 exit yang berhasil dicatatkan oleh pemodal ventura lokal. MDI Ventures memimpin perolehan dengan 3 catatan akuisisi dan 2 IPO. Beberapa startup yang berhasil membawa investornya exit adalah Whispir, Bridestory, Jualo, FemaleDaily, dan sebagainya.


Disclosure: Data yang ditampilkan berdasarkan temuan DSResearch dari berbagai transaksi yang diumumkan ke publik per 18 Desember 2019. Ada potensi terjadi perubahan data, berupa penambahan jumlah atau nominal transaksi, pada laporan mendatang.

Memahami Istilah-istilah Teknis dalam Bisnis dan Produk Startup Digital

Melanjutkan pembahasan mengenai istilah yang sering digunakan dalam perbincangan bertema startup, kali ini DailySocial mencoba mengupas terkait kategori bisnis startup yang banyak dikembangkan di Indonesia. Juga varian teknologi yang sering dijadikan jargon dalam produk atau layanan startup digital.

Didasarkan pada sektor bisnis yang digarap, startup dikelompokkan ke dalam beberapa kategori bisnis berikut ini:

  • Agtech (Agriculture Technology); juga sering disebut agrotech, yakni sebutan bagi startup yang mengembangkan solusi di bidang pertanian. Produk untuk peternakan dan kelautan juga kerap dimasukkan ke dalam kategori ini – kendati sempat muncul istilah aquatech namun tidak begitu populer. Bentuk layanannya bermacam-macam, ada yang menawarkan sistem manajemen, pemantauan, penjualan, hingga pendanaan. Contoh startup: Aruna, Eden Farm, TaniHub, dll.
  • E-commerce; kategori pelaku usaha yang berkaitan dengan sektor niaga. Online marketplace juga bisa dimasukkan dalam kategori ini, walaupun ditinjau dari proses bisnis sering dianggap berbeda. E-commerce identik dengan B2C – brand menjual produk ke konsumen, sementara online marketplace identik dengan C2C – konsumen bertindak sebagai penjual dan pembeli. Seiring perkembangannya, platform seperti Tokopedia, Shopee dll mengakomodasi dua model tersebut.
  • Edtech (Education Technology); juga sering disebut edutech, adalah istilah untuk startup yang menggarap solusi seputar edukasi, baik untuk jenjang formal maupun non-formal. Varian layanannya meliputi materi digital, kursus online, hingga pencarian guru belajar. Contoh startup: Bensmart, Ruangguru, Zenius, dll.
  • Fintech (Financial Technology); yakni istilah untuk startup yang memberikan layanan keuangan digital. Jenis produknya mencakup pinjaman online, dompet digital, platform pembayaran, aplikasi investasi, dan urun dana. Di Indonesia setiap pemain fintech wajib terdaftar di Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan. Contoh startup: Bibit, Dana, Modalku, dll.
  • Healthtech (Health Technology); sering juga disebut medtech (medical technology) dan baru-baru ini mencuat istilah wellness, yakni produk startup yang menyasar pada layanan kesehatan dan pemenuhan gaya hidup sehat, seperti konsultasi dokter online, pembelian obat, pemesanan antrean klinik kesehatan, hingga perangkat lunak manajemen untuk institusi kesehatan. Contoh startup: Halodoc, Medigo, SehatQ, dll.
  • Insurtech (Insurance Technology); merupakan bisnis yang coba mendigitalkan manajemen produk asuransi, bentuknya berupa kanal informasi dan perbandingan produk, pemesanan layanan, hingga klaim asuransi. Contoh startup: Premiro, Qoala, Futuready, dll.
  • Legaltech (Legal Technology); beberapa sering menyebut lawtech (law technology), yakni produk startup digital yang meningkatkan akses, kemudahan, dan efisiensi penyelenggaraan jasa hukum, baik bagi masyarakat dan pemberi layanan termasuk advokat dan paralegal. Selain itu ada juga regtech (regulatory technology) sebagai segmen startup digital yang memberikan akses, meningkatkan kemudahan, dan efisiensi pelaku usaha untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Contoh startup: PrivyID, Justika, Lexar, dll.
  • Loyalty Platform; layanan startup yang memfasilitasi sistem keanggotaan untuk meningkatkan loyalitas pelanggan sebuah merek atau bisnis. Biasanya mencatat total transaksi pengguna untuk brand tertentu, lalu mengkonversinya menjadi poin yang dapat ditukarkan dengan hadiah. Contoh startup: GetPlus, Tada, Pomona dll.
  • New Retail; sering disebut juga dengan istilah online-to-offline (O2O), yakni startup yang mentransformasi ritel tradisional dengan sentuhan teknologi tanpa menghilangkan model bisnis yang sudah ada. Misalnya melengkapi toko kelontong dengan produk-produk dari e-commerce atau memfasilitasi toko ritel dengan aplikasi yang meningkatkan pengalaman belanja. Contoh: Kopi Kenangan, Warung Pintar, Wahyoo dll.
  • On-Demand; yakni startup yang mengemas jasa pemesanan suatu layanan melalui aplikasi. Misalnya layanan pemesanan dan pengantar makanan, layanan pemesanan jasa cuci baju, dan sebagainya. Contoh startup: Sejasa, Mr Jeff, Kulina, dll.
  • OTA (Online Travel Agency); yakni startup yang menyediakan produk akomodasi perjalanan melalui aplikasi, termasuk tiket perjalanan, hotel, dan pertunjukan di tempat wisata. Contoh: Airy, Tiket.com, Traveloka, dll.
  • POS (Point of Sales); yakni startup yang menyediakan produk pendukung bisnis ritel, membantu mencatat transaksi dan mengelola alur kas. Contoh: Cashlez, Moka, Qasir, dll.
  • Proptech (Property Technology); merupakan startup yang menyediakan layanan digital di seputar bisnis properti, dapat berbentuk kanal konsultasi, layanan jual beli, layanan sewa, dan lain-lain. Contoh startup: Travelio, Rumah123, 99.co, dll.
  • Ride Hailing; startup yang menyediakan aplikasi untuk pemesanan jasa transportasi. Contoh: Bonceng, Gojek, Grab, dll.

Namun demikian, kadang satu menerapkan model bisnis yang mengombinasikan beberapa kategori di atas. Contohnya yang dilakukan iGrow, mereka adalah startup pertanian (agtech) yang menyajikan layanan melalui mekanisme fintech. Atau 99.co, menyajikan layanan proptech melalui pendekatan berbasis marketplace.

Produk teknologi startup

Selain kategori bisnis, ada cukup banyak terminologi yang kini mengemuka terkait produk teknologi yang digarap startup. Berikut beberapa yang populer di Indonesia:

  • AI (Artificial Intelligence); diterjemahkan menjadi kecerdasan buatan, ialah mekanisme untuk membuat sistem komputer bekerja cerdas seperti manusia. Sistem diprogram agar mampu membuat keputusan secara mandiri dengan mempelajari pola aktivitas dan data yang terekam sebelumnya. Contoh cara kerjanya seperti ini, misalnya AI yang diterapkan pada fitur rekomendasi di aplikasi e-commerce. Program AI akan mengamati tingkah laku pengguna dalam periode tertentu, mencatat perilaku dominan dari pengguna – misalnya pengguna X lebih suka barang bermerek alih-alih mementingkan harga, sehingga ketika nantinya pengguna kembali menggunakan aplikasi dan mencari sesuatu, sistem akan merekomendasikan barang-barang terkait didasarkan pada popularitas merek, sehingga lebih sesuai dan membuat pengguna merasa terbantu. Istilah “automation” juga sering disematkan dalam produk digital, pada dasarnya itu merupakan proses dan mekanisme kerja yang dihasilkan AI.
  • AR (Augmented Reality) dan VR (Virtual Reality); istilah ini mengacu pada konten virtual, keduanya memiliki cara kerja yang berbeda. AR adalah konten virtual yang dikombinasikan dengan realitas memanfaatkan perangkat penangkap gambar (kamera). Contohnya aplikasi desain interior yang banyak beredar di Playstore atau App Store, melalui ponsel pengguna bisa menyimulasikan penempatan perabotan di rumah – perabotnya adalah objek 3D virtual, sementara tempatnya merupakan gambaran nyata dan real-time dari tangkapan kamera. Aplikasi Pokemon-Go yang sempat populer juga menggunakan pendekatan ini. Sementara VR merupakan konten yang sepenuhnya realitas virtual yang disuguhkan kepada pengguna untuk menyuguhkan sesuatu. Misalnya untuk membuat pengguna merasakan pengalaman berada di dunia permainan – sehingga membutuhkan perangkat tambahan.
  • Big data; yakni pemrosesan data dalam jumlah yang besar, biasanya dihimpun dari pemrosesan terus menerus tanpa henti, misalnya dari aktivitas pengguna di media sosial; di dalamnya termasuk kegiatan pengambilan, pemilahan, pembelajaran, penerjemahan, hingga visualisasi data. Salah satu terminologi turunan yang juga populer adalah data analytics (kegiatan analisis dari hasil pemrosesan data, biasanya setelah divisualisasikan) dan data science (ilmu yang khusus mempelajari pengelolaan data).
  • Blockchain; yakni sebuah sistem revolusioner yang menghubungkan antarjaringan komputer secara terdesentralisasi dan terdistribusi. Maksudnya seperti ini, dengan mekanisme blockchain transaksi data dapat dilakukan secara langsung – sesederhana si A dapat langsung mengirimkan sesuatu ke si B tanpa perantara. Dikatakan revolusioner karena sejauh ini memang kebanyakan sistem masih tersentralisasi. Sebagai contoh saat mengirimkan pesan melalui aplikasi, dalam proses yang lebih detail, pesan itu tidak langsung sampai ke penerima, namun harus melewati server aplikasi lalu disampaikan ke penerima, sehingga pada dasarnya pesan tersebut jadi ada beberapa salinan – di perangkat pengirim, di server aplikasi, dan di perangkat penerima. Blockchain berusaha mengubah semua itu, tidak ada lagi penerima dan tidak ada lagi duplikasi, pesan yang dikirimkan benar-benar berpindah dari pengirim ke penerima – layaknya saat orang memberikan benda fisik kepada orang lain, benda tersebut sepenuhnya berpindah.
  • Chatbot; sering disebut juga sebagai asisten virtual, yakni salah satu produk kecerdasan buatan yang diterapkan pada aplikasi pesan, memungkinkan komputer untuk memahami dan menjawab setiap pesan yang dikirimkan. Biasanya diintegrasikan dengan aplikasi bisnis yang dimiliki perusahaan pengembang, agar dapat melakukan aksi secara otomatis.
  • IoT (Internet of Things); merupakan konsep konektivitas antar perangkat melalui sambungkan internet. Contoh penerapannya seperti yang dilakukan dalam produk eFishery, mereka mengembangkan perangkat pakan ikan yang dilengkapi dengan sensor. Sensor tersebut bertugas melakukan transmisi data dan mengoperasikan perangkat. Terhubung melalui konektivitas internet, pengguna dapat memantau dan mengontrol kinerjanya melalui aplikasi khusus.
  • Machine Learning; merupakan salah satu komponen terpenting AI, yakni algoritma komputer untuk mempelajari data, mengenali pola, dan membuat model berdasarkan data historis.
  • NLP (Natural Language Processing); merupakan salah satu produk AI, bekerja dengan machine learning untuk membantu komputer untuk menganalisis, memahami, dan memperoleh makna dari bahasa manusia. Layanan chatbot memanfaatkan NLP dalam kienrjanya.
  • SaaS, PaaS, dan … as a Services lainnya; yakni jenis aplikasi atau platform berbasis internet yang dapat digunakan secara cepat dengan konfigurasi sederhana. Misalnya Software as a Services (SaaS) untuk aplikasi kasir, memungkinkan pengguna memiliki sistem manajemen toko tanpa harus mengembangkan sendiri, menginstal di perangkat secara manual, dan menyediakan server untuk penyimpanan data. Atau Infrastructure as a Services untuk sistem server, memungkinkan pengembang membuat dan mengelola server tanpa harus membeli perangkat komputer dan memasang sistem operasi secara manual. Biaya berlangganannya juga fleksibel, bergantung intensitas penggunaan.

Harap-Harap Cemas Ekosistem Industri Kreatif dan Ekonomi Digital Pasca Pengumuman Kabinet Indonesia Maju

Kemarin (23/10) Presiden Joko Widodo telah memilih dan mengumumkan daftar menteri dan pejabat untuk kabinet barunya. Kendati selama masa kampanye jargon “ekonomi digital” disampaikan, namun daftar kementerian yang diumumkan cukup mengejutkan pelaku di ekosistem startup, sebagai salah satu ujung tombak dari ekonomi digital nasional.

Ada dua hal yang cukup mengganjal, pertama dileburnya Bekraf ke dalam Kemenpar, menjadi Kemenparekraf. Peleburan menjadi istilah untuk tidak menyebutnya sebagai peniadaan. Kendati dipimpin sosok yang digadang-gadang identik muda dan kreatif, namun ini mengindikasikan turunnya prioritas untuk pengembangan industri kreatif, termasuk startup digital. Bagaimana tidak, sejauh ini peran Bekraf cukup signifikan dirasakan para pelaku industri.

Program-programnya secara spesifik menyasar kebutuhan insan kreatif, terlihat dari susunan deputi yang ada, meliputi riset, permodalan, infrastruktur, pemasaran, hak kekayaan intelektual, dan hubungan antarlembaga. Sementara idealnya dengan potensi yang ada, pariwisata memang menjadi fokus tersendiri.

Ekonomi kreatif tidak bisa dipandang sebelah mata

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Bekraf pada tahun 2016, sektor ekonomi kreatif berkontribusi pada 7,35% GDP nasional, menyumbangkan nilai lebih dari 922 triliun rupiah. Secara kontinu, angka tersebut beranjak naik hingga diproyeksikan bertumbuh 4,13% hingga akhir tahun ini. Ekonomi kreatif telah menopang hampir 17 juta pekerja, dari berbagai bidang termasuk startup digital.

Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf
Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf

Mengacu pada sumber lain, misalnya hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, tahun ini ekonomi digital Indonesia telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan meningkat tajam hingga $133 miliar di tahun 2025 mendatang. Sektor e-commerce, ride-hailing, travel, dan media menjadi pendorong utamanya. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi yang terdepan di Asia Tenggara.

Hal-hal yang disayangkan

Selain Bekraf, pengayom industri digital nasional adalah Kemkominfo. Sejauh ini, Rudiantara cukup aktif melakukan advokasi pelaku startup, dengan target ambisius melahirkan unicorn baru. Untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan berbagai upaya, termasuk mengakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai. Kini Johnny Gerald Plate terpilih menjadi Mekominfo. Nama tersebut tergolong sangat baru bagi sebagian besar pelaku industri kreatif dan digital – mungkin tidak demikian di politik. Ini menjadi poin kedua.

Langkah tangkas dibutuhkan untuk mengayomi ekosistem kreatif dan digital yang saat ini bertumbuh sangat cepat. Disrupsi yang dihadirkan sangat nyata mengubah cara-cara baru di masyarakat. Ekosistem bukan lagi di usia “early-stage”, sebaliknya sudah masuk ke “scale-up”, sehingga dibutuhkan rekam jejak yang relevan dari pemangku kebijakan yang menaunginya. Saat pengumuman menteri kemarin, Johnny didaulat presiden untuk mengurus hal berkaitan dengan keamanan siber, kedaulatan data, dan industri TIK domestik. Tugas yang sangat berat dan serius.

Hari Senin (22/10) lalu, kehadiran Nadiem Makarim ke istana cukup memberikan angin segar bagi industri. Banyak yang berharap pembentukan kementerian baru yang khusus menaungi ekonomi kreatif dan digital. Nyatanya, ia diposisikan pada Kementerian Pendidikan. Memang, SDM menjadi isu krusial yang harus direvolusi dengan pendekatan yang lebih berdampak. Namun rekam jejak Nadiem untuk menangani penyelarasan bisnis disruptif menjadi hal yang disayangkan untuk tidak dioptimalkan.

Berat untuk tidak pesimis

Startup digital telah melahirkan sektor fintech, mereka mampu memfasilitasi berbagai kalangan yang sebelumnya tidak tersentuk layanan perbankan pada produk-produk keuangan, dengan konektivitas teknologi. Startup digital telah melahirkan sektor ride-hailing dan online marketplace, membuka ribuan peluang bisnis sekaligus mentransformasi UKM melalui internet. Belum lagi berbicara soal sektor new retail, healthtech, edutech, dan lain-lain yang mulai memberikan dampak berarti bagi Indonesia.

Berat untuk memberikan pemakluman, kendati tahu bahwa ada kalkulasi politik yang harus dipertimbangkan Presiden.  Semoga ini bukan proses untuk mengorbankan industri kreatif dan digital untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih besar.