Etobee Pivot Jadi Finfleet, Sediakan “Platform Logistik” Khusus Layanan Finansial

Di Indonesia, tingkat ketimpangan antara masyarakat underbanked dan underserved dengan mereka yang sudah terfasilitasi dengan layanan finansial masih tinggi. Isu ini belum tentu bisa diselesaikan dengan kehadiran internet. Bagi masyarakat tingkat bawah, yang masih awam dengan produk keuangan, butuh agen untuk menjelaskan semua.

Di sisi lain, perusahaan jasa keuangan punya tantangan saat ekspansi di berbagai pelosok. Bagaimana proses onboarding konsumen yang efisien, namun tetap sesuai ketentuan. Peluang ini akhirnya menginspirasi Finfleet untuk hadir.

“Finfleet adalah gabungan dari startup logistik dengan layanan branchless banking. Selama ini masing-masing jual produk keuangan mereka, padahal menjualnya ini tidak mudah. Misi kami adalah edukasi konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup agen,” terang Co-Founder & CEO Finfleet Brata Rafly dalam Fintech Media Clinic by Aftech, pekan lalu.

Sebenarnya, Finfleet adalah pivot dari Etobee, startup marketplace logistik untuk pengiriman last mile. Startup ini sudah berdiri sejak 2015, pivot dan rebrand dilakukan Februari 2018. Struktur manajemen sepenuhnya berubah. Selain Brata, Donny Swandono turut bergabung sebagai Co-Founder & Presiden Direktur. Keduanya pernah berkarier bersama di Dimo.

“Untuk bersaing di logistik ini harus berani bakar duit, sementara kita ingin buat profit. Akhirnya tes market dengan buat model bisnis last mile untuk financial services, resmi mulainya di Februari 2018.”

Brata menyebut, Finfleet telah mengantongi pendanaan seri A pada awal tahun ini dari Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, dan Asian Trust Capital. Investasi yang didapat mencapai $3,5 juta (hampir Rp50 miliar).

Model bisnis Finfleet

Bahasa termudah untuk memahami Finfleet adalah agen mobile untuk Laku Pandai. Program dari OJK yang diarahkan untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan teknologi.

Finfleet menempatkan diri startup hybrid yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya, mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Agar terhubung dengan perusahaan jasa keuangan, Finfleet membangun infrastruktur layanannya yang terdiri atas platform aplikasi, API, agen, dan perangkat keras. Perusahaan memiliki agen sendiri yang sudah dilatih sebelum terjun ke lapangan.

Brata menjelaskan keagenan di Finfleet sifatnya bukan pekerja lepas, melainkan tetap. Ada gaji bulanan yang pasti mereka dapat dan tambahan komisi dari setiap pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

“Sistem kami adalah hub, jadinya setiap agen harus datang ke kantor tiap pagi untuk melihat apa saja tugas mereka pada hari itu. Ini sifatnya mengikat, beda dengan mitra pengemudi di Gojek atau Grab.”

Agen memiliki jam kerja pagi sampai sore dan menyelesaikan sejumlah tugas pada satu hari itu dari satu bank. Misalnya, bank A meminta verifikasi konsumen, maka pada mereka memasukkan tugas tersebut ke dalam sistem yang terhubung dengan aplikasi agen.

Saat sore, agen bisa mendapatkan komisi tambahan dengan menjual produk keuangan kepada calon nasabah. Namun ini baru bisa diberikan buat agen yang paham dengan produk keuangan itu sendiri.

Dia mengklaim dengan model bisnis ini, perusahaan memperoleh keuntungan bersih antara 15%-20%. Agen bisa mengantongi pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat per bulannya. Revenue Finfleet dibandingkan tahun pertama beroperasi, naik 100%.

Disebutkan, Finfleet telah bermitra dengan 12 perusahaan jasa keuangan, di antaranya DBS, HSBC, BNI, KEB Hana Bank, OCBC NISP, Bank Sinarmas, UOB, Bank Danamon, BTPN, CIMB Niaga, Ovo, dan Bank Permata. Kebanyakan adalah perusahaan asing terbatas dalam persebaran kantor cabang, namun tetap ingin bersaing dengan bank lokal.

“Risiko masuk ke daerah baru itu besar, makanya mereka lebih baik tes pasar sebelum terjun besar-besaran karena kita ini tinggal plug and play saja.”

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah bantu DBS dalam verifikasi nasabah baru untuk produk Digibank. Sebanyak 500 ribu rekening baru berhasil dibuat dalam delapan bulan, tanpa DBS harus buka cabang sama sekali. Disebutkan untuk buka satu kantor cabang, bank harus berinvestasi sampai Rp1 miliar.

Mitra lainnya datang dari perusahaan multifinance dan sejenisnya (Adira Finance, Shopintar, Alodokter, dan Clipan Finance), p2p lending (CekAja, Modalku, Investree), telekomunikasi (XL Axiata), dan e-commerce (Blibli, Sephora, Mapemall, iLotte, Laku6, dan Tamasia).

Rencana perusahaan

Brata menyebut Finfleet memiliki 600 agen yang tersebar di sekitar Jawa dan Medan. Menariknya, 60% bisnis terbesarnya ada di Jabodetabek. Ini cukup ironis, melihat kondisi masih banyak masyarakat yang malas datang ke bank, meski penetrasi kehadiran bank sudah cukup kuat.

Tahun depan, dia menargetkan Finfleet bisa hadir di kota-kota besar di seluruh Indonesia. “Awalnya kita mau make sure dulu saat ekspansi harus sudah ada potensi bisnis di sana. Tapi ke depannya kita mau langsung buka, model bisnis kita ini hub bukan platform jadi harus ada investasi yang keluar.”

Untuk dukung rencana tersebut, Finfleet akan menggalang pendanaan seri B pada tahun depan. Di luar ekspansi, perusahaan akan mengembangkan pusat data dengan teknologi AI agar dapat lebih baik memberikan rekomendasi produk keuangan kepada calon nasabah.

Bicara tentang regulasi, Finfleet sedang memroses surat tanda terdaftar dari OJK sebagai supporting fintech, mengikuti aturan sebagai IKD. Di satu sisi, perusahaan sudah mengantongi lisensi pos untuk layanan kurir dan pengiriman barang dan sertifikat ISO 27001 untuk jamin keamanan sistem IT.

Zeniora Sediakan Platform Ujian Online dan Ribuan Soal Latihan

Zeniora Education (Zeniora) mencoba peruntungannya di industri teknologi pendidikan dengan solusi platform ujian online atau computer based test. Perusahaan menggandeng sejumlah mitra untuk membentuk bank soal yang bisa digunakan para siswa sebagai persiapan menghadapi ujian, mulai dari ujian nasional hingga ujian persiapan masuk perguruan tinggi.

Selain itu Zeniora juga menyediakan platform bagi lembaga bimbingan belajar, sekolah, perusahaan, dan oraganisasi untuk bisa menyediakan ujian online sendiri. Digitalisasi dalam proses mengerjakan ujian ini menjadi fokus utama layanan perusahaan saat ini.

Grand launching Zeniora terselenggara pada September silam. Mereka sudah memiliki lebih dari 40.000 siswa SMA terdaftar yang memanfaatkan sistem Zeniora sebagai persiapan masuk ke perguruan tinggi.

“Sejauh ini lebih dari 14.000+ bank soal yang ada di Zeniora. Soal soalnya dari content creator pilihan yang merupakan guru-guru di Indonesia. Latar pendidikan minimal S1 bahkan ada yang S2. So, social impact dari Zeniora selain membantu peserta dalam mempersiapkan ujian juga membantu guru-guru untuk mendapatkan penghasilan lebih,” terang CEO Zeniora Moch Siswan Afandi.

Menurut penuturan Afandi, Zeniora memiliki dua buah solusi, pertama Zenito yang berbentuk platform latihan ujian masuk perguruan tinggi, ujian kedinasan, dan ujian-ujian lainnya yang dirancang khusus untuk siswa SMA sederajat. Kedua ada Zenbos, sebuah fitur yang disiapkan untuk membantu penggunanya mempelajari materi ujian masuk perguruan tinggi dengan metode step soluiton. 

Ia mengklaim Zeniora memiliki beberapa keunggulan khusus, seperti pembelajaran yang dipersonalisasikan untuk setiap peserta dan juga metode permainan di setiap metode pembelajarannya.

“Untuk personalisasi ini masih dalam tahap pengembangan. Singkatnya adalah peserta yang akan mempersiapkan ujian di Zeniora tidak selalu tryout satu paket full namun mereka bisa mengakses beberapa sub bab tertentu yang sesuai dengan minat atau biasa disebut dengan placement test sehingga belajarnya tiap peserta nanti bisa berbeda-beda,” imbuh Afandi.

Saat ini Zeniora mengusung model bisnis berlangganan dan juga top up. Sedangkan untuk produk platform ujian online bagi sekolah atau lembaga dihitung berlangganan per jumlah pengguna dalam platform tersebut.

“Kami berkomitmen untuk mengembangkan tools terbaik bagi peserta dalam menghadapi ujian sehingga mereka dapat mempersiapkan ujiannya [ujian masuk perguruan tinggi, ujian CPNS, ujian TOEFL, ujian IELTS, dan ujian lainnya] dengan lebih seru dan menyenangkan,” terang Afandi.

Application Information Will Show Up Here

Platform Social Commerce Woobiz Bercita-cita Tingkatkan Kualitas Hidup Perempuan Indonesia

Sebuah platform yang mengkategorikan dirinya sebagai social commerce, Woobiz, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia khususnya ibu rumah tangga agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial. Saat ini telah ada 750 mitra yang sudah bergabung dan sekitar 50-100 pengguna sudah mulai aktif berjualan.

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform yang masih dalam beta version ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand.

Dengan menjadi mitra, pengguna akan mendapatkan akses ke berbagai macam produk yang sudah dikurasi, mulai dari skincare, make-up, hijab, hingga makanan ringan. Kebanyakan produk yang ditawarkan adalah lokal, seperti Kedaung Home, Rabbani, Dear Me Beauty, Orang Tua, Kimbo, namun ada juga beberapa brand dari luar seperti Celebon, Foccalure, dan JM solution.

Dari sini, mereka bisa mulai mendistribusikan barangnya melalui social neighbourhood community. Woobiz juga memberikan komisi yang akan segera cair saat pesanan sudah diterima.

Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina menyatakan, “Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online.”

Selain itu, Woobiz juga menawarkan akses dan ruang untuk komunitas bisa berkembang, menyediakan pelatihan dalam berjualan, komunikasi, serta mengatur pendapatan.

Beberapa aksi edukasi komunitas digalakkan, seperti program roadshow Wooniversity, bertujuan untuk mendukung para perempuan Indonesia bisa saling menginspirasi. Salah satu kampanye mereka adalah #SuperwoomenMovement yang melibatkan perempuan dari seluruh penjuru Indonesia untuk berbagi cerita kesuksesan. Fokusnya saat ini masih di wilayah Jabodetabek, namun akan terus memperluas jangkauan ke daerah sekitarnya.

“Mandiri secara finansial adalah tujuan besar kami, ujung tombak kami terletak pada individu dan juga komunitas yang ingin berjuang untuk kesejahteraan dan hidup yang lebih bernilai.”

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Kedepannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point.” tambah Putri.

Gelora Tawarkan Kemudahan “Booking Venue” dan Cari Teman Olahraga

Segmen wellness kini mewarnai peta startup Indonesia, seiring meningkatnya perekonomian masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah Gelora, situs untuk booking venue olahraga. Startup ini dirilis pada Mei 2019 dan telah mengikuti Google Developer Launchpad.

Co-Founder dan COO of Gelora Abidzar Basaib menerangkan, Gelora hadir karena permasalahan yang dialami banyak orang saat ingin berolahraga, yakni mencari tempat dan jumlah teman yang cukup.

“Inisiasi awalnya dengan membentuk komunitas untuk olahraga bersama, tapi karena besarnya minat, akhirnya kita kerja sama dengan berbagai penyedia lapangan untuk buka akses booking dan mencari lebih banyak lagi teman olahraga secara online,” terangnya kepada DailySocial.

Abidzar menekankan pembeda Gelora dengan pemain sejenis terletak di fitur “Open Play”. Ini adalah fitur yang membuka jadwal aktivitas untuk siapapun yang ingin berolahraga tim, tapi sulit mendapatkan akses lapangan dan mengumpulkan teman.

Misalnya, saat mau main basket, tapi untuk sekali mainnya harus menyewa satu lapangan dengan minimal 10 orang. Bagi masyarakat urban, tentunya ini jadi kendala tersendiri, belum lagi harus mencari lapangan yang strategis.

“Penggiat olahraga bisa langsung memilih jenis olahraga yang diinginkan, sesuai dengan jarak kedekatan, tanpa perlu repot memikirkan partner untuk bermain. Di Gelora, mereka bahkan bisa bertemu dengan komunitas baru yang pastinya lebih menyenangkan.”

Dalam rangka permudah booking, Gelora mengumumkan kerja sama dengan GoTix sebagai partner ticketing channel. Gelora merilis voucher khusus Gelora+ yang sudah dilengkapi dengan beragam keunggulan dan penawaran.

“Pembeli bisa mendapat satu kali free trial, serta Gelora Pass untuk mengikuti aktivitas olahraga yang tersedia di laman situs kami.”

Model bisnis dan target Gelora

Abidzar menjelaskan saat ini Gelora telah memiliki 75 rekanan venue lapangan olahraga tersebar di Jabodetabek, seperti GBK, Arena Senayan, F7 Mini Soccer Simatupang, Buls Arena Panglima Polim, dan masih banyak lagi. Per bulannya, terdapat lebih dari 80 aktivitas olahraga yang dapat dipesan melalui situs.

Untuk jumlah booking, dia mengklaim ada pertumbuhan hingga 80% per bulannya. Kebanyakan datang dari booking untuk olahraga sepak bola, futsal, basket, dan badminton.

Model bisnis Gelora adalah pembagian komisi. Apabila ada transaksi pemesanan yang berhasil, Gelora akan mendapat bagian, meski persentasenya enggan disebutkan oleh Abidzar.

“Mayoritas rekanan kami merupakan venue olahraga yang memiliki kualitas baik dan lokasi strategis. Skema kerja sama yang kami tawarkan adalah bantu digitalisasi lapangan olahraga untuk menjangkau pasar yang lebih luas, serta pembayaran secara online.”

Ke depannya, dia menargetkan akan ekspansi menambah lebih banyak rekanan lapangan hingga ribuan fasilitas olahraga di Indonesia. “Sehingga visi kami untuk membantu 1 juta orang untuk berolahraga melalui platform Gelora setiap harinya dapat terwujud,” tutupnya.

Selain Gelora, pemain lainnya yang sudah lebih dahulu hadir dengan konsep sejenis ada beberapa. Misalnya, Fits.id, The Fit Company, ClassPass, Fibo, dan Doogether.

TapFeedback Provides Digital Platform for Customer Satisfaction Survey

It is a good thing when business gets feedback from its users. Aside from measuring customer satisfaction, the data can be used as a bridge to the next innovation. TapFeedback comes with a solution for businesses to manage feedback from users with online survey methods.

The platform was initiated by Ditto Priyawardhana, also the founder and Managing Director of CX-Go, a consulting company for market research. The idea comes from their past problems, most businesses are still using conventional ways to collect feedback.

“[…] we’ve seen a problem in some restaurants, they collect customer feedback using the physical form. We identified pain points in this process and looked for simpler and more efficient method, there you go, Tapfeedback,” he added.

Tapfeedback has some features ready to facilitate business to manage surveys, including templates for the design. There are two kinds of forms, the on-site and by-mail. The on-site form is to collect feedback with direct interaction, while the by-mail form is used to collect feedback.

In the dashboard, Tapfeedback provides report and analytics that is expected to facilitate users in collecting data from surveys.

“Users can see the survey results of each individual and directly responding to increase engagement. Tapfeedback also offer real-time analytics and report from surveys, therefore, users don’t have to input data and sort manually using Excel,” Priyawardhana said.

Launching by the end of the year, sure to be well-received

Tapfeedback is currently at the early stage. They still on private beta version. However, the founder aims to launch by the end of the year. He has plans for Indonesian people to receive this product well.

“In order to gain users, we use direct marketing strategy and through social media. Currently, we’re focusing on direct marketing to cimmunicate with restaurant owners or other service industry companies,” he said.

Despite its new model, he believes in Tapfeedback business. He expect in the next one or two year, this company can be top of mind for customer feedback platform targeting businesses and to grow into survey platform for any kind of objectives.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TapFeedback Sediakan Platform Digital untuk Survei Kepuasan Pelanggan

Bagi bisnis mendapat umpan balik dari pengguna merupakan salah satu hal yang bermanfaat. Selain bisa mengukur kadar kepuasan pengguna, data-data tersebut juga bisa menjadi pintu inovasi selanjutnya. TapFeedback hadir dengan menawarkan solusi bagi bisnis untuk mengelola umpan balik dari para penggunanya dengan metode survei online.

TapFeedback diprakarsai oleh Ditto Priyawardhana, yang juga merupakan founder dan Managing Director CX-Go, perusahaan konsultan untuk market research. Ide awal TapFeedback didapatkan dari permasalahan yang mereka temui, kebanyakan bisnis masih menggunakan cara konvensional untuk mengumpulkan umpan balik dari penggunanya.

“[…] kami melihat sebuah problem yang ada di restoran-restoran, mereka mendapatkan customer feedback dengan menggunakan formulir fisik. Kami mengidentifikasi pain points yang ada dari proses ini dan kami mencoba mencari metode yang lebih simpel dan efisien, sehingga lahirlah Tapfeedback,” terang Ditto.

Tapfeedback memiliki beberapa fitur yang disiapkan untuk memudahkan bisnis dalam pengelolaan survei, termasuk memanfaatkan template untuk dsain formulir. Ada dua format formulir yang disediakan , yakni “on-site” dan “by-mail”. Format on-site diperuntukkan bagi usaha yang mengumpulkan umpan balik pelanggan melalui interaksi secara langsung, sedangkan “by-mail” digunakan untuk survei dengan cara mengirimkan ke email pelanggan.

Di dasbor Tapfeedback juga menyediakan menu laporan dan analisis, diharapkan bisa memudahkan pengguna dalam mengumpulkan data-data yang didapat dari survei.

“Pengguna bisa melihat hasil survei tiap individual dan dapat merespons langsung untuk meningkatkan engagement. Tapfeedback menyediakan analisis dan laporan hasil survei secara real-time sehingga pengguna tidak perlu lagi repot untuk memasukkan data dan mengolah secara manual di Excel,” terang Ditto.

Meluncur akhir tahun, optimis bisa terima masyarakat

Tapfeedback saat ini masih benar-benar dalam tahap awal. Mereka masih berada dalam fase private beta. Kendati demikian, meluncurkan produknya di kuartal ke empat tahun adalah cita-cita Ditto. Ia juga sudah menyiapkan serangkaian strategi untuk bisa dapat diterima pengguna di Indonesia.

“Untuk menjangkau pengguna, strategi yang digunakan adalah direct marketing dan melalui media sosial. Saat ini kami lebih fokus pada direct marketing langsung berkomunikasi ke pemilik restoran atau perusahaan service industry lainnya,” imbuh Ditto.

Meski tergolong baru, Ditto cukup optimis dengan pengembangan TapFeedback. Ia bahkan berharap dalam satu-dua tahun mendatang perusahaannya menjadi top of mind untuk platform customer feedback bagi bisnis dan bisa berkembang menjadi platform survei yang bisa digunakan untuk tujuan apa pun.

Mengenal Verikool, Startup yang Lebih dari Sekadar “Marketplace Influencer”

Suka tidak suka keberadaan influencer media sosial sudah mengubah cukup banyak industri periklanan. Kendati begitu, masih banyak kendala yang perlu diatasi dari alternatif baru tersebut, semisal kemudahan mencari influencer, isu follower palsu, hingga efektivitas jasa influencer terhadap penjualan produk.

Masalah-masalah tersebut menjadi alasan kemunculan startup bernama Verikool. Founder & CEO Verikool Daniel Dewa menjelaskan bahwa startup yang ia dirikan itu bukan hanya sekadar marketplace influencer, tapi lebih sebagai perusahaan analitik.

“[Marketplace] sudah banyak banget. Kita tahu yang bikin seseorang memilih influencer bukan dari marketplace, mereka pakai influencer karena mereka terkenal. Jadi percuma kalau kita mengarah ke marketplace, nanti yang cari akan klien-klien kecil saja,” ujar Daniel kepada DailySocial.

Seperti yang Daniel katakan, marketplace untuk influencer memang sudah ada beberapa di Indonesia. Mereka di antaranya adalah SociaBuzz, IconReel, dan Allstars. Verikool ingin lebih dari sekadar marketplace yakni dengan menjadi perusahaan analitik yang memudahkan korporasi dan UKM beriklan melalui influencer.

Cara kerja Verikool cukup sederhana. Pada dasarnya mereka punya dua platform, endorse influencer dan analitik. Perusahaan atau UKM dapat memilih influencer yang relevan dengan kebutuhannya, melakukan pembayaran, hingga melakukan revisi.

Verikool juga dapat memberikan insight seperti follower asli dan palsu, tingkat engagement sebuah posting, berapa banyak klik ke situs perusahaan, email, chat, pola caption, dan banyak lagi. Bahkan algoritma Verikool memungkinkan melihat pose serta bahasa selebgram yang paling banyak menarik perhatian audiens. Biaya yang dikenakan bersifat flat untuk setiap transaksi sebesar Rp20.000.

Bedanya, UKM yang ingin melakukan endorse di Verikool harus bayar di muka, sementara korporasi dapat bayar setelah pemakaian jasa. Pihak influencer pun baru akan mendapatkan uangnya ketika mereka menyelesaikan tugas dari klien.

“Biasanya kalau ke agency kita bayar 5-20 persen dari harga influencer. Di kita mau harga influencer Rp1 miliar tetap aja Rp20.000,” ucap Daniel.

Sementara monetisasi dilakukan Verikool dengan cara menarik ongkos Rp100.000 per akun dari korporasi yang sudah jadi klien mereka. Dari ini saja Daniel mengaku pihaknya mendapat puluhan juta tiap bulan sehingga saat ini perusahaan sudah profit.

Sedangkan untuk pendanaan, Verikool berada di tahap pre-seed dengan total uang yang sudah dikantongi sebesar US$750.000, salah satunya dari Alpha JWC Ventures. Namun Daniel mengaku pengumpulan dana mereka hanya akan di fase seed dengan alasan sudah nyaman dengan kondisi saat ini.

“Segede-gedenya yang kita terima paling dari Alpha, kita enggak mau dari yang lain. Kita sudah fine kaya gini, sudah bagus bisa sales. Jangan sampai ada investor masuk jadi rusak,” ujar Daniel.

Saat ini sudah ada 1.700 lebih influencer di Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka, termasuk beberapa di antaranya dari Taiwan. Sementara klien mereka sudah terdiri dari 20 korporasi dan 214 UKM.

Pada November nanti mereka berencana memperluas jangkauan layanan mereka hingga ke Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Alhasil nanti perusahaan di keempat negara itu dapat memakai jasa influencer lokal saat ingin mempromosikan produknya di Indonesia. Dan sebaliknya, pengiklan dari Indonesia dapat memakai jasa influencer keempat negara tadi untuk beriklan di sana.

Di samping itu meskipun saat ini hanya mengandalkan influencer di Instagram, tak lama lagi Verikool menyediakan jasa influencer di Youtube dan Twitter.

Teknologi Qasir Bantu UMKM Mengelola Data Transaksi Secara Online

Manajemen transaksi berperan penting dalam kelancaran sebuah perusahaan. Beragam solusi dihadirkan untuk mempermudah serta mengoptimalkan pengelolaan data, salah satunya adalah Qasir.id, sebuah aplikasi kasir POS (Point of Sales) untuk membantu UMKM atau pedagang yang masih menggunakan metode konvensional.

Berdiri sejak tahun 2015, Qasir menawarkan berbagai fitur untuk UMKM yang bisa digunakan untuk mencatat penjualan, mengelola produk, mengawasi stok, dan memantau laporan transaksi. Sistem POS Qasir berbentuk aplikasi yang kemudian bisa di-install pada tablet atau ponsel, dan hingga saat ini tidak dikenakan biaya apapun alias gratis. Aplikasi ini juga sudah bisa digunakan secara offline sehingga tidak akan mengganggu operasional bisnis perusahaan.

Sampai saat ini, Qasir telah diunduh sebanyak 100.000 kali. Pihaknya mengakui dalam satu tahun, pertumbuhan pengguna bisa mencapai 20x lipat dari hanya sekitar 5000 di tahun 2018.

Selain itu, platform ini juga menyediakan layanan pesan barang yang memungkinkan pengguna memesan berbagai produk dari distributor yang sudah bekerja sama. Saat ini telah bergabung 12 partner di area Jabodetabek. Pelanggan mereka kebanyakan datang dari kalangan pengusaha toko kelontong dan F&B. Meskipun aplikasinya tidak berbayar, bukan berarti bisnis ini menjadi tidak menguntungkan.

“Dari 100.000 pengguna, 30% datang dari F&B, 30% dari toko kelontong. Selama ini telah terjadi 6.000 transaksi belanja grosir di aplikasi, dari sini saja sudah ada margin,” ungkap CEO Qasir Michael Liem.

Model bisnis ini sekilas mirip dengan Mitra Bukalapak atau Tokopedia, namun pihaknya mengakui terdapat perbedaan signifikan dari sisi pemasok. Michael mengungkapkan, alih-alih mengganti rantai pasok yang sudah ada, Qasir memilih bekerja sama dengan toko grosir tradisional serta memberdayakan mereka dengan teknologi untuk meningkatkan sistem manajemen.

“Kembali lagi ke misi utama kita untuk memberdayakan bukan hanya bisnis UMKM, namun semua yang terlibat dalam ekosistem ini,” tambahnya.

Strategi bisnis dan target ke depan

Seiring dengan ekosistem yang masih berkembang, perusahaan menyadari pentingnya edukasi pasar untuk model bisnis ini. Michael mengungkapkan empat strategi yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan. Pertama, Ia percaya jika sistem ini bisa mencatat transaksi untuk berbagai macam bisnis, maka semua bisnis di atasnya akan berhasil.

Kedua, Qasir mencoba masuk ke dalam behavior pengguna sehari-hari untuk mencatat transaksi, sekaligus sebagai validasi bisnis. Belum lama ini juga telah bekerjasama dengan Kominfo untuk menjangkau para nelayan yang berada di bagian timur Indonesia agar bisa lebih baik dalam mengelola data transaksi mereka. Hal ini berkaitan dengan validasi sekaligus memudahkan mereka dalam mendapatkan pembiayaan.

This is why we’re focusing so much on transaction recording, karena hal ini adalah kunci dari akses mereka menuju inklusi finansial,” ujar Michael.

Ketiga, berkolaborasi dengan berbagai macam katalis, seperti pemerintah, bisnis franchise dll. Hal ini sekaligus membantu penetrasi pasar, agar lebih banyak ekonomi yang bisa dijangkau.

Terakhir, sebagai ekosistem terbuka, selalu ada kemungkinan untuk integrasi fitur. “Kami percaya kalau bisa menjalani empat hal ini, dalam waktu dua tahun kami akan sampai di tempat yang kami mau.”

Distribusi produk Qasir kini telah sampai ke Jabodetabek, Malang, Yogyakarta, dan Denpasar. Rencananya tahun depan mereka akan menambah daftar ekspansi.

Dari sisi pendanaan, Qasir sudah berada di tahap seri A dan sedang merencanakan untuk menggalang seri B.

“Memasuki tahap Seri B berarti semakin ambisius. Target selanjutnya adalah untuk mencapai paling tidak 5 juta pengguna. Saat ini kami berada di 80 ribu. Karena itu harus agresif,” tutup Michael.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Startup Indonesia Terpilih dalam Surge, Program Akselerasi Milik Sequoia

Surge, program akselerator dari Sequoia India, memperkenalkan tiga startup baru asal Indonesia yang menjadi bagian dari program akselerasi mereka pada 2019 ini.

Surge kini telah menjalankan dua gelombang program akselerasi. Gelombang kedua Surge menghadirkan 20 startup asal India dan Asia Tenggara, tiga di antaranya dari Indonesia yakni Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Storie sendiri adalah platform yang berisi review produk gaya hidup untuk memberi referensi bagi konsumen. Sementara Chilibeli adalah platform social commerce yang menghubungkan petani dengan agen dalam memasarkan produknya. Sedangkan Rukita merupakan startup proptech yang membuat solusi co-living untuk milenial di perkotaan.

Gelombang sebelumnya yang diikuti 17 startup, Surge juga memilih dua startup asal Indonesia yakni Bobobox dan Qoala.

Dalam program ini Surge menggelontorkan US$1 juta hingga US$2 juta kepada masing-masing startup. Adapun pembekalan yang diberikan meliputi cara melakukan pendanaan, akses ke mentor kelas dunia, pengembangan talenta, hingga studi banding ke pusat-pusat teknologi dunia.

“Program ini membawa startup terpilih untuk belajar ke kota-kota seperti Singapura, Bengaluru, Beijing, hingga Silicon Valley,” ujar Director Surge Rajan Anandan.

Nama Sequoia Capital sebagai venture capital cukup harum di Indonesia karena sejumlah investasi besar yang ia berikan kepada startup ternama seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka. Kehadiran Surge sebagai akselerator startup berusia dini jadi taring baru Sequoia.

Namun menurut Rajan, Sequoia sudah lama aktif mendukung startup berusia dini. Adapun alasan mereka membentuk Surge adalah besarnya peluang yang tercipta dari startup baru yang kerap diikuti oleh besarnya kendala yang harus dihadapi.

“Memulai sebuah perusahaan sangat sulit, ada begitu banyak tantangan seperti fundraising, hiring, membangun fondasi perusahaan, mencari mentor yang tepat, hingga menggelar pendanaan baru. Pengumpulan dana jauh lebih berat ketika perusahaan masih berstatus seed,” imbuh Rajan.

Selesai dengan gelombang kedua, Surge mengumumkan pendaftaran program gelombang berikutnya sudah bisa diikuti. Surge tidak menargetkan jumlah startup yang akan mereka bina namun menekankan startup ideal adalah founder yang andal dan industri yang masih punya ruang cukup besar untuk dieksplorasi.

Program akselerasi Surge berlangsung selama sepekan dalam empat bulan. Sistem yang mereka gunakan pun bersifat open architecture, artinya investor lain bisa ikut dalam putaran pendaan Surge yang pertama.

Seperti dalam laporan Google & Temasek 2019, Asia Tenggara masih menjadi kawasan seksi bagi para pelaku ekonomi digital. Dalam laporan terbaru itu, ekonomi yang dimotori internet di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar dan angka itu diprediksi terus meroket hingga US$300 miliar pada 2025.

Vietnam dan Indonesia menjadi poros utama pertumbuhan tersebut dengan tingkat pertumbuhan mencapai 40 persen per tahun.

Trakteer Hadir Mudahkan Kreator Dapatkan Dukungan Finansial dari Penggemarnya

Setiap karya layak untuk diapresiasi. Hal tersebut yang membuat Miftah Mizwar, Rizki Lizuardi, dan Budi Satria Wijaya terinspirasi untuk mengembangkan Trakteer. Platform tersebut memungkinkan kreator terhubung dan mendapatkan dukungan finansial secara langsung dari para penikmat kreasinya, sebagai bentuk apresiasi.

Menurut pemaparan Miftah, berdasarkan riset internal, saat ini masih banyak kreator yang belum piawai memonetisasi karyanya – pun beberapa sudah memiliki basis penggemar yang cukup banyak. Umumnya dikarenakan terbatasnya fitur monetisasi di platform penerbit konten yang digunakan. Selain itu, ketatnya syarat yang harus dipenuhi di sebuah platform untuk bisa menarik uang dari karyanya turut menjadi sesuatu yang dikeluhkan.

Saat Trakteer dikembangkan, Miftah dan tim juga menyadari bahwa di tingkat global sudah ada platform seperti Patreon, Ko-Fi, atau Buymeacoffee. Namun kendalanya mengharuskan penggunaan kartu kredit untuk bertransaksi. Sementara penetrasi kartu kredit di Indonesia belum masif, sehingga bakal kurang optimal jika diaplikasikan untuk kreator di sini.

Untuk itu Trakteer hadir, menawarkan konsep serupa dengan sistem pembayaran yang lebih mudah bagi pengguna. Mereka bekerja sama dengan sistem pembayaran lokal, khususnya e-wallet. Dalam debutnya, penikmat karya bisa memberikan apresiasi menggunakan saldo Gopay. Dalam waktu dekat, Ovo dan Dana akan bisa digunakan.

“Trakteer berharap dapat menumbuhkan budaya saling dukung di antara kreator dan para penikmat karyanya. Dengan dukungan penuh dari para pendukungnya, seorang kreator dapat mewujudkan impian untuk hidup mandiri secara finansial dari karyanya. Semakin banyak konten kreator yang mandiri dari karyanya, akan memberikan peluang lebih besar terhadap terbukanya lapangan pekerjaan baru,” terang Miftah.

Trakteer
Tim Trakteer bersama mentornya di acara TheNextDev Telkomsel / Trakteer

Startup berbasis di Bandung ini masih menjalankan bisnis secara bootstrapping. Menariknya di fase awal saat peluncuran perdana mereka juga melakukan penggalangan dana di platformnya untuk mendapatkan dukungan, sekaligus memvalidasi penerimaan layanan di masyarakat. Saat ini atas layanan dan sarana teknologi yang diberikan, Trakteer mengenakan biaya 5% dari total donasi yang dihasilkan oleh kreator.

Sejak dirilis per 17 Agustus 2019 lalu, Trakteer sudah memiliki 2096 pengguna, terdiri dari 1614 penikmat karya dan 482 kreator dari beragam bidang; termasuk komikus, youtuber, penulis, blogger, hingga podcaster.

Selain menambah opsi pembayaran, untuk pengembangan produk tim Trakteer tengah fokus menyempurnakan platform untuk peningkatan kenyamanan kreator dalam memberikan konten eksklusif pada pendukungnya. Setelah itu mereka juga berencana untuk merilis aplikasi mobile.

Sementara untuk improvisasi bisnis ada dua hal yang tengah dalam tahap riset dan perencanaan. Pertama ialah pengembangan keanggotaan premium bagi kreator. Dan yang kedua penyediaan marketplace digital untuk kreator.

“Melalui Trakteer, kami berharap dapat turut berperan dalam meningkatkan perekonomian nasional di bidang ekonomi kreatif,” tutup Miftah.

Sebagai informasi, selain Trakteer saat ini juga ada KaryaKarsa sebagai platform lokal yang memiliki model layanan serupa, memfasilitasi kreator untuk terhubung dan mendapatkan dukungan dari para penggemarnya.