getKupon Ingin Fasilitasi Pembelian Kupon Manfaatkan NFT dan Blockchain

Bertujuan untuk memberikan opsi baru melalui teknologi blockchain dan NFT (Non-Fungible Token), platform yang menyediakan kupon dan voucher digital bernama getKupon resmi meluncur di Indonesia. Didirikan oleh Arlinda Juwitasari, Reza Primasatya, Puja Arsana Sujana, dan Septiyan Andika, platform tersebut menawarkan NFT dalam bentuk kupon atau voucher yang dibuat merchant.

Kepada DailySocial.id, Co-founder getKupon Arlinda Juwitasari mengungkapkan, platformnya ingin menawarkan layanan dan pilihan produk yang lumayan mainstream. Mulai dari pembelian kopi di jaringan coffee shop, tatoo artist, dan masih banyak lagi.

Meskipun saat ini NFT masih banyak didominasi oleh gamers dan industri terkait lainnya, melalui getKupon mereka ingin menawarkan pilihan baru kepada pengguna baru, transaksi aman, nyaman, dan mudah memanfaatkan kripto.

Ingin mengembangkan pilihan pembayaran IDR

Untuk saat ini getKupon masih menggunakan pilihan United States Dollar Tether (USDT) untuk bisa melakukan transaksi. Proses tersebut disebutkan oleh Arlinda memang cukup menyulitkan pengguna, terutama mereka pengguna baru. Namun bulan depan mereka memiliki rencana untuk meluncurkan pilihan IDR.

Cara kerjanya pun mudah, dengan mengakses platform getKupon, pengguna bisa memilih memilih kupon dan melakukan transaksi. Proses reedem yang dilakukan pun cukup dengan melakukan scan QR Code di outlet merchant.
Dengan kupon berbentuk NFT, transaksi antara merchant dan pengguna juga lebih akurat dan cepat karena divalidasi oleh smart contract.

“Semua sudah disesuaikan dengan smart contract, nanti blockchain akan memberikan notifikasi transaksi yang berhasil dilakukan. Semua proses tersebut terbilang cepat dan mudah hanya sekitar 15 detik saja,” kata Arlinda.

Untuk memudahkan proses transaksi, pengguna juga bisa menghubungkan wallet mereka masing-masing dengan getKupon. Dalam hal ini getKupon tidak membatasi wallet jenis atau tipe apa yang bisa terintegrasi dengan platformnya. Tercatat wallet seperti Metamask dan Transwallet yang banyak digunakan oleh pengguna di getKupon.

Untuk merchant sendiri semua proses tersebut bisa memudahkan mereka, terutama jika merchant memiliki lebih dari satu outlet. Semua proses transaksi dilakukan secara terpisah, berdasarkan transaksi di masing-masing outlet. Merchant yang telah bergabung dengan getKupon saat ini adalah Kopi Oey dan Damantraz Tattoo Studio.

Saat ini juga sudah mulai banyak pemilik bisnis yang tertarik untuk menerapkan teknologi blockchain ke dalam bisnis mereka. Namun masih banyak di antara mereka yang kesulitan untuk mendapatkan akses hingga pilihan untuk melakukan integrasi teknologi tersebut ke dalam bisnis mereka.

“Ke depannya juga kita akan menambah pilihan merchant lainnya, bukan hanya F&B dan tattoo artist saja, tapi juga fesyen, ticketing platform untuk event online/offline. dan masih banyak lagi,” kata Co-founder getKupon Reza Primasatya.

Untuk pengguna yang telah melakukan pembelian kupon namun belum sempat digunakan, getKupon juga menawarkan pengembalian berupa cashback ke wallet mereka. Sehingga tidak ada kupon yang hangus seperti yang banyak terjadi dengan kupon secara konvensional.

Strategi monetisasi yang diterapkan oleh getKupon adalah revenue sharing dengan merchant dari setiap kupon yang di reedem dan cashback dari kupon yang sudah habis masa berlakunya.

Rencana penggalangan dana pre-seed

Saat ini getKupon tengah menjajaki proses penggalangan dana tahapan pre-seed. Arlinda enggan menyebutkan lebih lanjut siapa investor yang terlibat dalam putaran pendanaan kali ini. Namun jika sesuai rencana, penggalangan dana akan final pada kuartal dua tahun ini. Jika nantinya dana segar telah dikantongi, getKupon ingin mengakuisisi lebih banyak merchant, pengguna dan mengembangkan produk yang relevan untuk pengguna dan merchant.

Untuk membesarkan ekosistem yang ada, getKupon juga ingin menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan merchant, pelaku dan pemain blockchain hingga pihak terkait lainnya. Sehingga bisa tumbuh bersama menawarkan penerapan teknologi blockchain dan NFT kepada masyarakat umum.

“Edukasi kepada pengguna masih menjadi tantangan yang kami hadapi. Untuk itu kami ingin fokus untuk melakukan kegiatan ini, agar lebih banyak lagi pengguna yang memahami proses pembelian kupon memanfaatkan teknologi blockchain dan NFT di getKupon,” kata Arlinda.

Startup SaaS OrderOnline Permudah Penjual Social Commerce Kelola Bisnis

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024. Ragam solusi yang disediakan startup untuk permudah jalan masuk UMKM go digital, kini datang dari berbagai celah aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lainnya.

Kondisi tersebut tercermin dengan laporan yang diterbitkan DSInnovate bertajuk “MSME Empowerment Report 2021”, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, seperti kekurangan modal, kesalahan penghitungan/transaksi, sulit masuk ke pasar, dan lainnya.

Apa yang terjadi di atas, dirasakan betul oleh Rovan Alfarry (CEO) dan Fazlur Rahman (CTO) bagaimana kesulitannya saat merintis usaha online kecil-kecilannya. Entah itu kesulitan mengecek rekening, lupa membalas pesan konsumer yang terlalu banyak, pencatatan penjualan yang tidak rapi, dan masih banyak lagi. Mereka pun berinisiatif membangun sendiri platform yang dapat menampung seluruh keluhannya tersebut agar semakin mudah berjualan.

“Awalnya, fitur ini hanya digunakan untuk pribadi saja. Tapi saat tahu rekan kami yang juga berjualan online merasa sangat terbantu dengan tools yang kami buat, kami berpikir untuk serius mengembangkan sebagai bisnis yang menjanjikan,” ujar Rovan saat dihubungi DailySocial.id.

Pengalaman tersebut akhirnya melahirkan OrderOnline pada Juli 2018. Rovan menuturkan, visi OrderOnline adalah platform bisnis online yang membantu UMKM bertumbuh dengan menjawab setiap permasalahan yang benar-benar mereka alami secara langsung.

Solusi OrderOnline

OrderOnline membantu pebisnis dalam penjualan melalui form order, manajemen order, manajemen customer, dan manajemen tim. Tiap pengguna dapat membuat toko online sendiri berupa katalog atau landing page di website, lengkap dengan checkout page yang telah terintegrasi dengan fitur COD, e-payment, transfer antarbank, serta tersedia sistem manajemen usaha dan laporan penjualan otomatis.

Solusi yang ditawarkan ini bukanlah barang baru yang disediakan oleh startup SaaS di Indonesia. Rovan bilang, diferensiasi yang diunggulkan OrderOnline adalah pengguna dapat menggunakan checkout page dan menjadwalkan follow up pesanan via WhatsApp. “Kedua fitur ini sangat membantu social commerce atau UMKM yang berjualan di media sosial.”

Dia merinci, setelah penjual mengirimkan checkout page ini ke beragam media sosial, konsumer dapat langsung membeli di halaman tersebut tanpa repot. Kemudian, untuk melakukan follow up konsumer secara berkala dan otomatis di platform OrderOnline yang akan terkoneksi langsung ke WhatsApp. “Hal ini sudah terbukti dapat meningkatkan keberhasilan penjualan.”

Dia melanjutkan, “OrderOnline hadir untuk menyederhanakan dan memudahkan proses bisnis online dengan fitur all-in-one-nya. Tak hanya bicara mengenai penjualan, namun juga manajemen bisnis dan tim yang dapat membantu proses kerja bisnis itu sendiri setiap harinya.”

Tak hanya itu, dari sisi logistik turut menjadi perhatian OrderOnline. Terhitung, perusahaan logistik seperti SiCepat, JNE, J&T, SAP, dan Ninja Xpress telah bergabung dengan platform. Para pebisnis dapat memilih armada logistik yang dekat dengan area usahanya.

Seluruh solusi ini tersedia dalam bentuk berlangganan untuk jangka waktu per bulan atau per tahun. Ada tiga kategori yang tersedia, yakni Personal, Business, dan Enterprise dengan biaya mulai dari Rp149 ribu.

“Kami juga memiliki fitur reseller yang dapat membantu mereka membeli barang dalam jumlah yang besar hanya dengan melakukan pembelian via website. Selain itu, kami juga memiliki media edukasi khusus (e-course) di bidang bisnis yang dapat membantu para pengusaha memajukan bisnisnya dari berbagai aspek inti yang dibutuhkan.”

Rencana berikutnya

Meski tidak dirinci secara spesifik, diklaim GMV dari OrderOnline sendiri hampir menyentuh angka Rp300 miliar dengan volume order hingga 1 juta per bulannya. Profil penggunanya berasal dari para penjual di media sosial (social commerce), bukan marketplace yang tersebar di seluruh Indonesia.

Rovan mengatakan, pihaknya fokus pada segmen ini karena ada beberapa keunggulan yang tidak dimiliki marketplace dari sisi pengeluaran yang lebih minim dan tidak adanya persaingan harga. “Kami juga menyasar pebisnis pemula atau yang baru memulai usahanya dengan kemudahan dan otomatisasi bisnis yang kami tawarkan secara online dengan harapan UMKM akan mulai go digital.”

Rencana berikutnya, OrderOnline akan lini bisnis baru seperti e-course OCademy untuk kelas bisnis dan marketing, fulfillment untuk penyediaan gudang penyimpanan dan pengemasan barang, omnichannel untuk sinkronisasi stok lintas e-commerce dan marketplace, layanan ekspedisi OExpress untuk layanan pengiriman paket, hingga financing untuk pendanaan modal usaha seller. “Untuk lini-lini bisnis tersebut sebagian besar akan dimulai di tahun ini,” tutup Rovan.

Perusahaan masih sepenuhnya mengandalkan dana sendiri (bootstrapping) dalam operasional usahanya. Namun dengan skala bisnis yang semakin besar, maka tidak menutup kemungkinan OrderOnline akan menggalang pendanaan perdananya.

Masih Berkondisi “Stealth”, Honest Bank Dikabarkan Telah Bervaluasi Centaur

Masih dalam mode “stealth”, startup digitalopen banking Honest Bank dikabarkan telah mencapai valuasi sekitar $200 juta. Hal ini ditopang dengan pendanaan yang terus mengalir.

Menurut data yang disetor ke regulator, terakhir pada April 2022 ini sejumlah investor turut menambah pundi-pundi modal lebih dari $10,4 juta, di antaranya XYZ Capital, Digital Horizon, Alumni Ventures, dan sejumlah nama lainnya.

Sebelumnya, di tahap seed Honest Bank mendapatkan dukungan dalam XYZ Capital dan Village Global senilai hampir $3 juta. Kemudian dilanjutkan pendanaan seri A senilai hampir $23 juta dari Insignia, Global Founder Capital, Alpha JWC Ventures, dan beberapa lainnya. Jika ditotal dana ekuitas yang berhasil dibukukan sejauh ini hampir $37 juta.

Sementara itu, sampai saat ini produk atau layanan Honest Bank masih belum diluncurkan ke publik. Namun diketahui, perusahaan berbasis di Singapura itu memiliki misi untuk menawarkan platform keuangan yang bisa memberikan akses layanan perbankan yang adil kepada masyarakat di Asia Tenggara.

Startup ini mulai diinisiasi sejak 2019 oleh Peter Panas dan Will Ongkowidjaja. Will sendiri adalah salah satu Founding Partner dari Alpha JWC Ventures.

Indonesia jadi prioritas pasar

Awal tahun ini, Honest Bank mengakuisisi mayoritas saham (71,2%) dari PT Sahabat Finansial Keluarga (SFK). SFK adalah perusahaan pembiayaan yang dimiliki PT Bank Permata Tbk.

Berdasarkan keterbukaan di BEI, nilai akuisisi ini 241 miliar Rupiah. Disampaikan oleh Direktur Bank Permata Chalit Tayjasanant, akuisisi diharapkan bisa memperkuat lini pembiayaan konsumen dan produk keuangan inovatif SFK.

Selain terkait akuisisi SFK, sinyal rencana menjadikan Indonesia sebagai pasar debut mereka, saat ini perusahaan tengah melakukan perekrutan sejumlah posisi untuk ditempatkan di Jakarta.

Selain Indonesia, Thailand juga menjadi target awal yang sepertinya akan disinggahi Honest Bank.

Mengamati Kolaborasi Evo & Co dengan Rumput Laut Demi Kurangi Sampah Plastik

Polusi plastik adalah masalah global. Menurut riset yang banyak dikutip berbagai artikel, diperkirakan pada 2025 ada sebanyak 100 juta hingga 250 juta metrik ton sampah plastik dapat masuk ke laut setiap tahunnya. Studi lain memproyeksikan, jika tanpa perubahan pada praktik saat ini, mungkin ada lebih banyak plastik menurut beratnya daripada ikan di lautan pada 2050.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangan dalam mengelola krisis ini cukup besar. Sekitar 160 juta orang Indonesia masih belum memiliki akses ke pengumpulan sampah reguler di rumah. Indonesia National Plastic Action Partnership memperkirakan negara ini menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun – sebagian besar tidak diolah dan tidak dikelola, berakhir di saluran air dan lautan.

Negara ini menjadi pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok, sekaligus ditantang untuk mencari solusi memerangi konsumsi plastik sekali pakai yang terus meningkat. Polemik klasik ini justru menjadi potensi bisnis yang menjanjikan bagi Evoware, startup yang menawarkan alternatif plastik untuk produk kemasan dengan bahan dasar alami.

Kepulangan David Christian ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah di Kanada, menyisakan keprihatinan yang mendalam mengenai polusi dan sampah yang belum bisa terkelola dengan baik. Kondisinya begitu kontras dengan Kanada. Berawal dari situ, ia pun menyadari masalahnya selalu ada di sana, tapi tidak terlintas di benaknya.

“Itu adalah masalah. Saya menyadari bahwa saya ingin membuat sesuatu yang unik dan belum pernah ada agar dapat perhatian dari orang. Produknya harus bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” ucap David saat dihubungi DailySocial.id.

Inovasi produk Evo & Co

Setelah melakukan beberapa penelitian dimulai di 2015, ia terinspirasi untuk menciptakan gelas yang dapat dimakan untuk menggantikan gelas plastik sekali pakai. Edwin Tan turut menunjukkan ketertarikannya dengan isu tersebut dan bergabung dengan David untuk merintis Evoware. Edwin menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bisnis, keuangan, investasi, dan dampak sosial.

Produk pertama dari Evoware adalah “Ello Jello” pada bulan April 2016. Ello Jello adalah gelas yang bisa dimakan karena bahan dasar laut, teksturnya mirip dengan bentuk jeli yang lebih padat, terbuat dari rumput laut dan tanpa pengawet, pemanis buatan, gluten, atau gelatin. Bahan dasar ini ia dapatkan langsung dari petani rumput laut lokal.

Ello Jello / Evoware

Gelas ini tersedia dalam beberapa rasa yang berbeda, termasuk oranye, leci, teh hijau dan peppermint, dan dapat bertahan hingga tujuh hari ketika disimpan di lemari es. Tidak hanya gelas, ada pula packaging yang biasanya digunakan untuk kopi sachet hingga biskuit satuan. Menariknya, packaging ini dapat larut dalam air hangat.

Packaging ini bisa bertahan hingga dua tahun, dapat dimakan atau diubah menjadi pupuk karena dapat terurai dari satu hingga dua bulan. Rumput laut dipilih karena merupakan zat hemat energi dan ekonomis untuk tumbuh, tidak diperlukan pembebasan lahan atau deforestasi. Rumput laut juga bertindak sebagai salah satu penyerapan karbon alami, secara permanen mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer.

Indonesia sendiri merupakan eksportir terkemuka untuk komoditas rumput laut. Diperkirakan tiap tahun lebih dari 10 juta ton rumput laut diekspor.

Sejak itu, perusahaan telah memperluas produk dan Evoware sekarang menjadi salah satu merek di bawah Evo & Co, bersama dengan Evoworld. Evoworld menyediakan varian produk kantong plastik berbagai ukuran, berbahan dasar singkong yang dapat diurai dan dapat dikompos. Produk turunan dari bahan dasar tersebut, berupa plastik roll yang biasa digunakan untuk membungkus sayuran, styrofoam (gabus) untuk membungkus makanan. Ada juga produk yang terbuat dari tebu berwarna putih dan daun pinang berwarna cokelat.

Selanjutnya, membuat sedotan bahan kertas yang dapat hancur dalam waktu dua jam setelah dipakai dan sedotan berbahan beras yang dapat dimakan atau disimpan kembali. Evoworld juga memproduksi alat makan makan, seperti sendok garpu, pisau, sedotan yang terbuat dari bambu yang bisa dipakai lagi.

“Setelah produk pertama launch di 2016, setahun berikutnya kami launch produk kedua yang terbuat dari rumput laut seperti packaging sachet pengganti plastik. Kemudian di 2019, kami buat diferensiasi produk pengganti plastik dari bahan lainnya, seperti singkong, beras, ampas tebu, dan lainnya. Di tahun itu pula kami fokus ke bisnis, mengembangkan produk, serta mulai kampanye Rethink.”

Rethink menjalankan kampanye di seluruh dunia yang bekerja dengan pemerintah dan bisnis untuk mempromosikan kehidupan berkelanjutan.

Model bisnis

Seluruh produk yang dirilis perusahaan, kecuali Ello Jello, merupakan hasil trading (jual-beli) dengan produsen yang digaet perusahaan. “Jadi Evo & Co sediakan produk-produk pengganti plastik, orang lain yang produksi, kita yang jualkan.”

Kendati begitu, saat ini perusahaan mulai mengembangkan pusat riset dan inovasi sendiri agar lebih masif dalam berinovasi produk-produk ramah lingkungan. David sayangnya masih menutup rapat-rapat terkait hal ini.

Kontributor bisnis perusahaan terbesar datang dari penjualan produk ke luar negeri. Mayoritas skema bisnis dilakukan secara B2B dengan klien kebanyakan datang dari industri horeca. Evo & Co menyediakan opsi kostumisasi untuk klien B2B, misalnya melekatkan merek mereka ke kantong plastik atau sebagainya. Kanal B2C juga tersedia, namun sejauh ini hanya mengandalkan platform marketplace.

Diklaim, perbandingan bisnis dari dalam dan luar negeri cukup imbang 50:50. Bila dijumlah, ada Evo & Co telah mendistribusikan produknya ke lebih dari 50 negara. Adapun, negara terbesar yang banyak membeli produk Evo & Co adalah Malaysia, Australia, dan Jepang. Di ketiga negara tersebut, ada distributor besar yang siap menyuplai kebutuhan industri horeca dengan produk ramah lingkungan buatan Evo & Co.

David menyebut, pada tahun ini pihaknya akan memperluas ekspansi lebih jauh ke kawasan Eropa. “Bisnis ke luar ini baru dimulai tahun ini. Secara intensitas belum besar, tapi secara kuantitas sekali kirim jumlahnya besar. Tapi sebaliknya di Indonesia. Kami mau genjot bisnis ke Eropa karena market-nya besar, enggak cuma di Indonesia saja.”

Tidak hanya menyasar klien besar, baru-baru ini perusahaan mulai menyasar UKM untuk ikut beralih ke produk ramah lingkungan. Saat ini masih dalam tahap uji coba, ada 10 warung makan di Jakarta yang bergabung. David menceritakan, dalam mengedukasi pemilik warung makan harus melakukan banyak penyesuaian.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan pengurangan sedotan plastik. Jika konsumen tidak meminta sedotan, sebaiknya tidak diberikan. Tapi jika minta, maka diberikan sedotan dari Evo & Co yang bisa dimakan. Selanjutnya, diadakan pembinaan sampah yang dapat dipilah dan dijual untuk mendapat uang tambahan.

“Uang tambahan ini bisa digunakan untuk membeli sedotan yang harganya sudah kami subsidi semurah mungkin. Ini adalah bagian dari movement kami karena biasanya produk ramah lingkungan itu dipakai oleh usaha kelas menengah ke atas yang ada di mal-mal.”

Diklaim, sejak dua tahun belakangan, perusahaan telah berhasil mengurangi 3,96 juta sampah, 32.260 limbah sachet, 11.417 limbah cangkir, 109.843 limbah sendok garpu, dan sebagainya.

Dari seluruh inisiatifnya, Evoware juga sempat menyabet berbagai penghargaan. Di antaranya memenangkan kategori “Redesigning Sachet” di Circular Design Challenge di Malta pada 2017 –kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh The New Plastics Economy (dipimpin oleh Ellen MacArthur Foundation.) Kompetisi ini berfokus pada barang-barang plastik seperti sachet dan tutup, yang seringkali terlalu kecil atau rumit untuk didaur ulang.

Evo & Co memperoleh dana hibah sebesar $1 juta, satu-satunya perusahaan dari Asia yang berhasil menduduki posisi enam besar bersama dengan perusahaan lainnya. Selanjutnya, pada Agustus 2021, memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasikan dari ANGO Ventures, VC tahap awal yang dipimpin oleh salah satu klien ANGIN, yakni Mariko Asmara.

David menyebut, untuk mendukung seluruh rencana perusahaan dalam memerangi sampah plastik, saat ini sedang melakukan penggalangan putaran dana terbaru. Tim Evo & Co saat ini berjumlah 12 orang dan berkantor pusat di Jakarta.

Ambisi Platform Deall Sejuta Cita Bantu Perusahaan Kurasi Talenta Terbaik

“Hiring today sucks” sebuah kalimat yang dilontarkan oleh Andhika Sudarman, seorang lulusan pascasarjana di Harvard Law School, juga perwakilan Indonesia pertama dalam sejarah yang terpilih untuk memberikan pidato pada upacara wisuda di kampus ternama itu.

Data dari BPS menunjukkan dari total 206,71 juta penduduk usia kerja, terdapat lebih dari 21 juta orang atau sekitar 10% yang terdampak pandemi Covid-19. Dampaknya pun beragam, ada yang masih berstatus pekerja dengan pengurangan jam kerja, ada yang sementara dirumahkan, bahkan lebih parah, ada yang kehilangan pekerjaan secara permanen.

Sementara banyak orang yang kesulitan mencari pekerjaan di tengah pandemi. Kemendikbudristek mengungkap sebanyak 1,7 juta mahasiswa jenjang sarjana lulus setiap tahunnya. Hal ini semakin menjadi beban bagi lulusan baru yang harus menghadapi tantangan mencari pekerjaan di tengah pandemi.

“Sebagai salah satu lulusan di era pandemi, saya bisa sepenuhnya merasakan pain poins terutama dari sisi talenta baru yang bingung mau mulai dari mana, perusahaan yang cocok seperti apa, serta kegundahan lainnya,” ungkap Andhika dalam wawancara singkat bersama tim DailySocial.id.

Selain itu, ia juga melihat dari sisi perusahaan juga mengalami kesulitan untuk menemukan talenta yang tepat. “Perusahaan membuka satu lowongan pekerjaan, lalu ada ratusan orang yang melamar. Dari angka tersebut mungkin hanya 1% memiliki kualifikasi yang sesuai,” ujarnya.

Berawal dari pengalaman dan pembelajaran pasar, Andhika kemudian mengembangkan sebuah platform yang diharapkan bisa menjadi solusi untuk para talenta muda berbakat di Indonesia dan juga perusahaan yang sedang merekrut. Deall SejutaCita menawarkan layanan yang bisa membantu perusahaan merekrut 1% talenta pilihan terbaik.

Deall SejutaCita menawarkan dua fitur utama, yaitu post jobs, dalam hal ini, perusahaan hanya akan melihat talenta terbaik yang sudah dikurasi dalam platform. Kedua, talent search seperti media sosial untuk para pencari kerja yang sudah dikurasi.

Hingga saat ini, terdapat lebih dari 2,5 juta talenta yang terdaftar di platform ini. Dari jumlah ini, akan dikurasi  dan diklasifikasi menjadi empat kategori yaitu 1%, 5%, 10%, dan 25%. Untuk talenta di luar 25% masih bisa mengikuti berbagai program pengembangan yang tersedia dan dapat diikuti melalui platform.

Selain menawarkan layanan rekrutmen terkurasi, timnya juga membantu dari sisi branding perusahaan, seperti mengadakan acara dan kampanye, termasuk webinar, lokakarya, kompetisi, dan acara CSR. Saat ini platform Deall SejutaCita tengah dalam pengembangan dan akan segera meluncurkan desain aplikasi terbaru mereka.

Sempat pivot

Mulai beroperasi pada Desember 2020, Deall SejutaCita (sebelumnya SejutaCita) mengawali bisnis sebagai platform pengembangan talenta. Layanan ini bertujuan untuk mendemokratisasi informasi event anak muda mulai dari webinar, kompetisi, kelas, konferensi, beasiswa, magang, dan banyak lagi. Harapannya, anak muda bisa menemukan lebih banyak kesempatan untuk membangun CV dan mengembangkan diri melalui aplikasi ini.

“Ketika masih mahasiswa, saya punya tekad untuk sukses, tetapi bingung bagaimana cara memulai. Juga bingung dan merasa hilang akan tujuan hidup, mau jadi apa. Itulah mengapa komunitas SejutaCita dibuat, agar teman-teman bisa mendapatkan informasi dan kesempatan membangun diri, membangun CV, dan mendapatkan pekerjaan yang baik pula nanti,” sebut Andhika yang saat ini menjadi CEO Deall SejutaCita.

Seiring pertumbuhan bisnis, perusahaan mengembangkan layanan menjadi platform pencari kerja. Andhika juga mengungkapkan bahwa solusi yang mereka tawarkan adalah B2B. Deall SejutaCita saat ini fokus menargetkan perusahaan yang ingin menemukan talenta terbaik untuk bisa bekerja di perusahaan mereka.

Meskipun begitu, perusahaan tidak semata-mata mengesampingkan fitur pengembangan talenta mereka. Terdapat berbagai program pelatihan (rekaman) yang dibuat oleh mentor-mentor yang telah bekerja sama dengan Deall SejutaCita. Sudah ada 4 mentor tetap dari perusahaan ternama seperti McKinsey, Google dan L’oreal untuk berbagi pengalaman dan pengarahan dalam proses pencarian kerja.

Belum lama ini, Deall SejutaCita berhasil masuk dalam program akselerator Y Combinator cohort W22. Dalam batch ini, ada 16 startup dari Indonesia yang turut bergabung, termasuk Bananas, Sribuu, PINA, Upbanx, dan lainnya. Selain mendapat pendanaan sebesar $125,000, startup juga akan memperoleh akses untuk mengikuti lokakarya pengembangan perusahaan, kurikulum global, serta mendapatkan dukungan dari jaringan mentor Y Combinator.

“Y Combinator itu seperti Harvard untuk startup. Bukan cuma ilmu yang ditawarkan, tetapi berikut lingkungan serta jaringan luas untuk bisa mengembangkan bisnis jauh lebih besar,” ungkap Andhika.

Selama lebih dari satu tahun beroperasi, perusahaan telah bertumbuh cukup pesat. Selain total talenta terdaftar yang mencapai 2,5 juta, layanan ini juga telah digunakan oleh lebih dari 30 perusahaan termasuk Tokopedia, Kitabisa.com, Ajaib dan Bobobox. “Kita bertumbuh mulai dari 4 orang sekarang menjadi 22 orang. Saat ini kita sedang fokus untuk menggaet lebih banyak mitra perusahaan dan talenta terbaik di Indonesia,” tambah Andhika.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak platform job marketplace yang menawarkan layanan perekrutan dengan value added yang berbeda. Untuk pemain lokal juga ada beberapa platform yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan beberapa lainnya.

Selama pandemi mereka juga cukup aktif membantu perusahaan untuk melakukan digitalisasi sistem HR. Misalnya yang dilakukan Urbanhire, kini mereka tidak hanya memosisikan diri sebagai portal lowongan pekerjaan saja, tetapi HR technology dan talent solutions, berkat kemitraan strategisnya dengan Mercer.

Application Information Will Show Up Here

Utilisasi Data Bantu Chickin Efisiensikan Peternak Unggas

Meski banyak tantangan, sektor agrikultur menjadi area potensial berikutnya yang belakangan ini mulai digenjot dengan berbagai inovasi baru berbasis teknologi. Pada umumnya, dengan merangkul teknologi digital bakal berdampak pada upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi, profitabilitas, serta mengurangi risiko penyakit.

Adopsi teknologi baru harus dilakukan secara masif dan menjadi kebiasaan baru bagi para petani/peternak misalnya, jika mereka ingin tetap bertahan hidup, tetap relevan, dan kompetitif di industri yang menantang, yang mana harga input melonjak dan penyakit terus mengancam bisnis mereka. Chickin menjadi salah satu pemain agritech yang mencoba menyelesaikan isu tersebut, dimulai dari industri budidaya unggas.

Tiga orang kawan, yang terdiri dari Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh, memantapkan diri sebagai peternak unggas sebelum akhirnya merintis Chickin pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah.

“Kami memahami betul permasalahan di industri ini. Dari situ kita mencari pain point dari upstream hingga downstream. Berniat sekali untuk membantu menjaga ketahanan pangan di Indonesia yang masih mengonsumsi daging dengan indeks protein hewani terendah di Asia Tenggara dan masalah supply demand yang highly fragmented,” terang Co-founder & CEO Chickin Tubagus Syailendra.

Menurutnya, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting yang membantu mengatasi permasalahan di lapangan. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand.”

Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

“Ini jadi masalah besar. Di Indonesia potensinya besar tapi masyarakatnya tidak bisa makan dengan harga dan kualitas yang oke. Lalu masih centralize juga, di luar Pulau Jawa banyak orang belum bisa makai daging karena aksesnya sulit. Di lihat dari uniqueness, daging certified terbesar itu adalah ayam. Banyak yang jual ayam di sini dan yang terpenting banyak momentum hari raya yang membuat ayam jadi komoditas di acara tertentu mendadak tinggi.”

Solusi Chickin

Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.

Pihaknya akan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade, dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Adapun untuk perangkat IoT, untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Sebab, keberhasilan panen itu soal seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal, sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

Aplikasi Chickin membantu peternak memiliki data real-time. Diklaim, proses integrasi dari teknologi Chickin dapat meningkatkan tingkat keberhasilan panen sebesar 97% dan laba sebesar 300-400%.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Dia melanjutkan, “Sejauh ini bisa mengurangi ongkos sampai 15% atau sekitar Rp2 ribu-Rp3 ribu per satu ekor ayam. Ini potensi maksimal, tergantung seberapa baik performance-nya. Selanjutnya, listrik bisa turun 50% dari ongkos, satu ekornya Rp500 untuk unit economics-nya, kita bisa tekan Rp250 per ekor. Terakhir, antibiotic cost meski masih riset, bisa turun sekitar 50% sekitar Rp250 juga. Impact-nya besar yang bisa didapat.”

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI Logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Adapun untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, retail, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.

“Kalau IoT device sebenarnya adalah cara kami acquire suplai saja, akuisisi banyak peternak untuk jadi mitra suplai. Dan alat-alat ini kita pakai gratis tidak monetize sama sekali.”

Diklaim, solusi Chickin Fresh telah menjual lebih dari 2,1 juta kilogram ayam untuk 10 mitra industri. Sementara, untuk Chickin Smart Farm telah memproduksi lebih dari 1 juta ekor ayam, menghemat Rp1,7 miliar pakan dihemat, dan Rp397 juta listrik dihemat.

Sumber: Chickin Indonesia

Optimistis di budidaya unggas

Tubagus meyakini, ke depannya pertanian cerdas dengan penerapan kecerdasan buatan (AI) akan diterima secara masif di negara ini. Oleh karenanya, sosialisasi manfaat dari teknologi itu penting. Untuk bisa diadopsi secara luas, diklaim bahwa teknologi ini ramah pengguna dan menciptakan efisiensi yang signifikan.

Sebenarnya para peternak di Indonesia pada umumnya sudah paham dengan konsep climate control. Makanya, target pengguna solusi Chickin adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad. Selanjutnya, Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time.

Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya. “Dan yang paling penting, jika kita dapat menghasilkan hasil yang baik, akan lebih mudah untuk meyakinkan peternak untuk berinvestasi.”

Solusi Chickin sebenarnya dapat diimplementasikan tidak hanya untuk unggas, tapi juga ke hewan ternak lainnya, seperti sapi dan kambing, sebab pada intinya iklim menentukan keberhasilan panen. Inovasi tersebut sudah sukses dikerjakan oleh startup sejenis dari Israel, AgroLogic. Startup ini mengembangkan temptron, seperti Chickin, yang diaplikasikan untuk babi, sapi, dan hewan lifestock lainnya.

Hal ini menginspirasi perusahaan untuk melakukan aksi serupa. Langkah Chickin selanjutnya adalah bidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).

“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Saat ini Chickin telah merampungkan pendanaan tahap awal. Namun informasi detail lebih lanjut masih ditutup rapat-rapat.

Application Information Will Show Up Here

Getstok Dikabarkan Mendapat Pendanaan 154 Miliar Rupiah, Masih Mode “Stealth” Garap Platform B2B Commerce

Ukuran pasar B2B commerce di Indonesia telah mencapai $6,99 miliar pada tahun 2018. Dan diproyeksikan akan terus bertumbuh hingga $21,33 miliar tahun 2023 dengan CAGR 25%, demikian hasil riset Reogma. Menariknya di pasar ini kebutuhan platform digital untuk pemenuhan kebutuhan bisnis memang berkembang pesat, bahkan sampai di level UMKM.

Salah satu proposisi nilai yang ditawarkan adalah proses pengadaan yang mengikuti kebijakan perusahaan melalui e-procurement. Di beberapa model bisnis, mereka juga berhasil menyajikan proses rantai-pasok yang lebih efisien, sehingga membuat harga lebih terjangkau. Bahkan sebagian platform B2B commerce memotong proses, dengan menghubungkan langsung prinsipal dan/atau pemilik brand dengan mitra pedagang.

Melihat potensi tersebut, Getstok bersemangat hadir sebagai platform B2B commerce dengan misi mendigitalkan mitra bisnis lewat inovasi digital. Belum banyak info yang bisa dikulik termasuk segmen pasar yang disasar, pasalnya startup yang didirikan oleh Arnold Pramudita ini tengah dalam mode “Stealth”.

Arnold sendiri sebelumnya bekerja selama 7 tahun di Traveloka, terakhir menjabat VP of Product Traveloka. Ia juga sempat bekerja di perusahaan ritel P&G.

Kendati belum meluncur ke publik, Getstok dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A hingga $10,7 juta atau setara 154 miliar Rupiah, dengan East Ventures dan Traveloka sebagai investor utama. Dikatakan juga valuasi ditaksirkan telah mencapai $30 juta. Hal ini didasarkan data yang telah diinput ke regulator.

Unicorn OTA tersebut masuk ke pendanaan ini melalui Jet Tech Innovation Ventures, unit modal ventura yang dimiliki Traveloka dan berbasis di Singapura. Melalui Jet Tech, Traveloka sebelumnya juga berinvestasi ke sejumlah startup, di antaranya Member.id dan PouchNATION.

Cakupan layanan B2B commerce

Satu hal yang membuat B2B commerce unik adalah layanan e-procurement, memungkinkan bisnis merencanakan dan melakukan pengadaan sesuai dengan kebijakan yang dimiliki. Hal ini termasuk dalam pengelolaan termin pembayaran, faktur pajak, dan sebagainya. Konsep seperti ini biasanya diaplikasikan untuk menjangkau klien korporasi dan pemerintahan (B2G). Sejumlah pemain di segmen ini seperti Bhinneka dan Mbiz.

Sementara itu, untuk model pengadaan yang lebih kecil seperti bagi UMKM, prosesnya jauh lebih sederhana. Pemain seperti Ula atau Warung Pintar memanfaatkan mobile app untuk menghadirkan sebuah marketplace yang memudahkan pemilik warung untuk mendapatkan stok barang. Sistem logistik dan gudang menjadi kunci untuk distribusi yang cepat.

Application Information Will Show Up Here

Shox Is Reportedly Secures 79 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce Platform for Household

The Shox platform developer is reported to have received $5.5 million funding or equivalent to 79 billion Rupiah in the series A round. Also participated in this round Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, and a number of investors.

The data has been submitted to the regulator. DailySocial.id has tried to confirm the news regarding this investment from related parties, however,  there had been no response until this article was published.

This startup was founded by Sonat Yalcinkaya (Kaya) and Vyani. Kaya himsel previously had experience in handling e-commerce businesses for big brands such as Philips and Midea. Meanwhile, Vyani is known as the co-founder of the logistics startup Pakde, which acquired by Shipper in 2020.

In fact, Shox has been operating since 2019 and currently has tens of thousands of application users. Shox’s service focuses on users in rural areas, targeting the unbanked population.

Shox Rumahan is currently being transformed as an application to fulfill household demands– from kitchen utensils, electronic equipment, and so on. With a social commerce concept, this platform allows its users to earn additional income by entrepreneurship through the partnership/community program with the social gathering feature in the application.

Evolution from Soyaka AI

Previously, Kaya was also known as the founder of Soyaka AI – a developer of artificial intelligence-based social commerce platforms. The Soyaka site and team are currently rerouted to fully work on Shox Rumahan. Even though in terms of backend, Shox also utilizes the engine from the Soyaka platform.

Saoyaka’s AI capabilities allow Shox to offer excellent features, such as using scanned photos or images to find products; then come up with product ideas and inspiration according to existing trends.

Shox Rumahan is growing quite rapidly, to the day this article was published, they already have around 150 employees stated on LinkedIn. Some of the team is headquartered in Yogyakarta.

From an article published by Kaya in 2021, Shox is said to have gathered users in more than 5000 villages in various regions. By analyzing existing purchasing trends, their team has helped build a credit scoring system, which will then be used as capital to create a comprehensive digital banking and payments ecosystem.

It is also said with the current business model, the cost for customer acquisition is much cheaper than the general e-commerce concept. “Our CAC (customer acquisition cost) in this rural community is 10 times cheaper than existing players. And these customers stay because they see true value,” he wrote.

In terms of logistics efficiency, Shox is more focused on serving bulk purchases (usually on a per RT scale). Ordering in large quantities makes it easier for them to reduce logistics costs, around 5-10x cheaper. Although it must be taken to a location far enough from the city center. “Our current average order value (AOV) exceeds $200, which is 5 to 10 times that of other social commerce players,” Kaya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Shox Dikabarkan Terima Pendanaan 79 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce Kebutuhan Rumahan

Pengembang platform Shox dikabarkan telah mendapatkan pendanaan senilai $5,5 juta atau setara 79 miliar Rupiah di putaran seri A. Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, dan sejumlah investor berpartisipasi dalam investasi ini.

Data pendanaan telah diinputkan ke regulator. DailySocial.id juga telah mencoba meminta keterangan seputar kabar investasi tersebut ke pihak terkait, namun sampai artikel ini terbit belum mendapatkan respons.

Startup ini didirikan oleh Sonat Yalcinkaya (Kaya) dan Vyani. Kaya sendiri sebelumnya berpengalaman memegang bisnis e-commerce untuk brand besar seperti Philips dan Midea. Sementara Vyani dikenal sebagai co-founder dari startup logistik Pakde yang telah diakuisisi Shipper tahun 2020 lalu.

Sejatinya Shox sudah beroperasi sejak tahun 2019  dan saat ini sudah memiliki puluhan ribu pengguna aplikasi. Fokus layanan Shox adalah pengguna di area rural, menargetkan populasi unbankable.

Shox Rumahan saat ini menjelma sebagai aplikasi untuk pemenuhan kebutuhan rumah — mulai dari perlengkapan dapur, alat elektronik, dan sebagainya. Berkonsep social commerce, platform ini juga memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan dengan berwirausaha melalui program kemitraan/komunitas yang ada di dalamnya dengan fitur arisan yang ada di aplikasi.

Evolusi dari Soyaka AI

Sebelumnya Kaya juga diketahui sebagai founder dari startup Soyaka AI — pengembang platform social commerce berbasis kecerdasan buatan. Situs dan tim Soyaka saat ini dialihkan untuk sepenuhnya menggarap Shox Rumahan. Kendati secara backend, Shox juga memanfaatkan engine dari platform Soyaka.

Kapabilitas AI yang dimiliki Sayoka memungkinkan Shox untuk memiliki beberapa fitur unggulan, misalnya menggunakan pindaian foto atau gambar untuk menemukan produk; kemudian memunculkan ide dan inspirasi produk sesuai tren yang ada.

Shox Rumahan berkembang cukup pesat, hingga tulisan ini diterbitkan di LinkedIn mereka telah memiliki sekitar 150 pegawai. Sebagian dari tim berkantor pusat di Yogyakarta.

Dari tulisan yang diterbitkan Kaya tahun 2021 lalu, Shox dikatakan telah merangkul pengguna di lebih dari 5000 desa di berbagai daerah. Dengan menganalisis tren pembelian yang ada, tim mereka juga turut membangun sebuah sistem skoring kredit, untuk selanjutnya digunakan sebagai modal untuk menciptakan ekosistem perbankan dan pembayaran  digital yang komprehensif.

Turut dikatakan dengan model bisnis yang ada saat ini, biaya untuk akuisisi pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan konsep e-commerce pada umumnya. “CAC (customer acquisition cost) kami di komunitas pedesaan ini 10 kali lebih murah daripada pemain yang ada. Dan pelanggan ini bertahan karena mereka melihat nilai yang sebenarnya,” tulisnya.

Untuk efisiensi logistik, Shox juga lebih fokus untuk melayani pembelian borongan (biasanya dengan skala per RT). Pemesanan dalam jumlah banyak ini memudahkan mereka dalam menurunkan biaya logistik 5-10x lebih murah. Kendati harus dibawa ke lokasi yang cukup jauh dari pusat kota. “Nilai pesanan rata-rata (AOV) kami saat ini melebihi $200, yaitu 5 hingga 10 kali lipat dari pemain social commerce lainnya,” ungkap Kaya.

Application Information Will Show Up Here

Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian