J&T Express Is Reportedly Secured 35,6 Trillion Rupiah Funding and Now a Decacorn

J&T Express logistics startup is reported to secur $2.5 billion funding or equivalent to 35.6 trillion Rupiah with a valuation of $20 billion (around Rp.285 trillion), an now officially a “decacorn”. This round is part of J&T’s plan to go public on the Hong Kong Exchange in the first quarter of 2022.

Based on Reuters, this round was backed by a number of major investors, including Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, and Sequoia Capital China. In addition, Chinese gaming and internet giant Tencent Holdings, as well as SIG China and Susquehanna International Group.

“This fundraising is in line with J&T’s expansion steps into China and Latin America, in addition to the IPO plan on the Hong Kong stock exchange,” some undisclosed sources said.

In a general note, J&T Express plans to raise $1 billion fund ahead of the IPO. In fact, CB Insights reported that J&T had achieved unicorn status with a $7.8 billion valuation in April.

The source revealed that J&T appointed Bank of America (BAC.N), China International Capital Corp., and Morgan Stanley (MS.N) to help with the IPO plan.

Regarding the news, a number of investors involved declined to comment to Reuters, including Tencent and China’s Sequioa.

Logistics market competition

For the record, J&T Express was founded in 2015 by Jet Lee and Tony Chen, top executives from Oppo mobile phone company, and has expanded its business to a number of countries in Southeast Asia. Aside from Indonesia, J&T is available in Malaysia, Vietnam, the Philippines, and Thailand.

The founders used their previous experience to build a massive logistics network throughout Southeast Asia which is accelerating thanks to the popularity of e-commerce services.

In 2020, J&T entered the Chinese market and competed with leading rivals in logistics, including S.F. Holding, ZTO Express, as well as the Alibaba backed logistics network, JD.com.

In Indonesia, J&T is in tight competition with a number of logistics startups, including SiCepat and Ninja Xpress, both of which take advantage of the e-commerce trend to accelerate their business. J&T’s CEO, Robin Lo said at the time, logistics services from the e-commerce business contributed 50% to the company’s revenue in 2017.

E-commerce is driving the digital economy in Indonesia, which continues to grow. Based on the e-Conomy SEA 2021 research released by Google, Temasek, and Bain & Company, the e-commerce sector is still driving the digital economy with 52% or $53 billion growth.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

J&T Express Dilaporkan Memperoleh Pendanaan 35,6 Triliun Rupiah, Capai Tonggak “Decacorn”

Startup logistik J&T Express dilaporkan telah memperoleh putaran pendanaan sebesar $2,5 miliar atau setara 35,6 triliun Rupiah dengan valuasi mencapai $20 miliar (sekitar Rp285 triliun), alias sudah menyandang gelar “decacorn”. Penggalangan dana ini merupakan bagian dari rencana J&T melantai di Bursa Hong Kong pada kuartal pertama 2022.

Berdasarkan laporan Reuters, pendanaan tersebut disokong oleh sejumlah investor utama, antara lain Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, dan Sequoia Capital China. Selain itu, perusahaan game dan internet raksasa Tiongkok, Tencent Holdings, serta SIG China dan Susquehanna International Group juga ikut berpartisipasi.

“Penggalangan dana ini dilakukan sejalan dengan langkah ekspansi J&T ke Tiongkok dan Amerika Latin, selain rencana terdaftar di bursa Hong Kong,” ungkap sejumlah sumber yang dirahasiakan ini.

Sebagaimana diketahui, J&T Express berencana mengumpulkan dana sebesar $1 miliar menjelang IPO. Bahkan, CB Insights melaporkan J&T telah menyandang status unicorn valuasi $7,8 miliar pada April lalu.

Sumber tersebut mengungkap bahwa J&T menunjuk Bank of America (BAC.N), China International Capital Corp, dan Morgan Stanley (MS.N) untuk memuluskan rencana IPO ini.

Terkait pemberitaan tersebut, sejumlah investor terlibat menolak berkomentar kepada Reuters, termasuk Tencent dan Sequioa China.

Persaingan pasar logistik

Sekadar informasi, J&T Express didirikan di 2015 oleh Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, dan telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Para founder tersebut menggunakan pengalaman mereka terdahulu untuk membangun jaringan logistik besar-besaran di seluruh Asia Tenggara yang tengah terakselerasi berkat popularitas layanan e-commerce.

Di 2020, J&T masuk ke pasar Tiongkok dan bersaing dengan rival terkemuka di bidang logistik, termasuk S.F. Holding, ZTO Express, serta jaringan logistik raksasa yang dimiliki Alibaba Group dan JD.com.

Sementara di Indonesia, J&T juga bersaing ketat dengan sejumlah startup logistik, termasuk SiCepat dan Ninja Xpress, yang sama-sama memanfaatkan tren e-commerce untuk mengakselerasi bisnisnya. Menurut CEO J&T Robin Lo kala itu, jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.

E-commerce merupakan motor ekonomi digital di Indonesia yang terus bertumbuh hingga saat ini. Berdasarkan riset e-Conomy SEA 2021 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company, sektor e-commerce masih menjadi penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 52% atau $53 miliar.

Application Information Will Show Up Here

SaladStop! Dapat Pendanaan Seri B dari Temasek, East Ventures, dan Lainnya; Memvalidasi Ketangguhan “Cloud Kitchen”

Startup pengembang food chain yang fokus pada makanan sehat, SaladStop! Group, mengumumkan penutupan pendanaan seri B senilai SGD12 juta atau setara 125,7 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Temasek, dengan keterlibatan East Ventures, Vulcan Capital, K3 Ventures, dan DSG Consumer Partners.

Saat ini layanannya sudah digunakan 3,5 juta orang per tahun oleh pengguna di Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, layanan SaladStop! baru bisa dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Surabaya. Mereka juga telah mengoperasikan beberapa merek, termasuk Heybo, Wooshi, dan GoodFoodPeople dengan 69 gerai di seluruh negara basis operasionalnya.

Sesuai namanya, menu yang disuguhkan berupa salad, memadukan bahan segar nabati dan hewani. Selain itu ada beberapa menu lain juga seperti Wraps, Protein Bowl, dan makanan Korea. Menariknya, melalui situs yang disuguhkan untuk pemesanan, kita bisa menyusun makanan kita sendiri dengan memilih bahan dasar, sayuran, topping, sampai dressing-nya.  Setiap makanan yang dipesan akan dihitung kandungan nutrisinya.

“Misi kami untuk membentuk masa depan makanan di Asia dan memastikan bahwa makanan sehat itu nyaman dan dapat diakses oleh semua orang. Pandemi menunjukkan ketahanan bisnis kami di semua pasar dan mempercepat penetrasi online. Dipicu oleh teknologi inovatif, jaringan cloud kitchen, dan generasi baru merek makanan sehat  kami sangat senang dapat bermitra dengan investor strategis untuk meningkatkan skala bisnis,” ujar Co-Founder & CEO SaladStop! Adrien Desbaillets.

Manfaatkan cloud kitchen

Dalam menjajakan produknya, SaladStop! memanfaatkan konsep cloud kitchen. Ini dipilih agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi, terlebih didukung dengan teknologi yang mereka kembangkan. Di proses distribusi, mereka juga memanfaatkan ekosistem food delivery di masing-masing negara tujuannya. Seperti di Indonesia, mereka bermitra dengan GoFood dan Grab Food untuk pemesanan dan pengantaran makanan.

Selain itu, di Indonesia SaladStop! turut menggandeng operator cloud kitchen untuk membantu mereka memproduksi makanan untuk pelanggan. KitaKitchen menjadi platform yang mereka gandeng saat ini. Sebenarnya banyak opsi yang bisa digunakan juga, DailySocial.id mencatat setidaknya ada 15 operator yang kini terus memantapkan bisnis.

No Nama Operator Tahun berdiri Lokasi Minimum kontrak Ukuran dapur Harga sewa (mulai dari) Mitra brand
1 GrabKitchen 2018 45 outlet 1 tahun 10-20 m2 Bagi hasil Geprek Bensu, Reddog, The Good Habit Express
2 Dapur Bersama GoFood 2019 27 outlet 1 tahun 14-25 m2 Bagi hasil FamilyMart, Banzai, I am Geprek Bensu
3 Everplate 2019 9 outlet 1 tahun 6-17 m2 Biaya tetap, 6 juta/bln 2080 Burger, The Moo, Bakso Gembul
4 Yummy Kitchen 2019 40 outlet 6 bulan 5-10 m2 Bagi hasil, 7 juta/bln Dailybox, KyoChon, Se’i Sapi Lamalera
5 Kita Kitchen 2020 3 outlet 6 bulan 6-17 m2 Biaya tetap, 5 juta/bln Burgreens, Thai Alley, Yoshinoya, SaladStop
6 Telepot 2020 1 outlet 6 bulan 7-19 m2 Bagi hasil, 6 juta/bln Yuks Bowl, Kaka Bakes, CWIMS
7 Hangry 2020 40 outlet N/A N/A N/A Own brand
8 Popitsnack N/A 1 outlet N/A N/A N/A Segara Market, Tehna
9 Tabula 2020 53 outlet N/A N/A N/A Mujigae, Palava, Fondre
10 Eden Kitchen 2020 1 outlet N/A N/A Biaya tetap, 5 juta/bln Oppa Corn Dog, Unicorn Burger
11 Foodstory 2021 2 outlet N/A N/A N/A Ayam Sunda Empire, Nasi Goreng TikTok, Chick Pok!
12 Lookalkitchen 2021 50 outlet N/A N/A N/A Dapoer Bang Jali by Denny Cagur
13 DishServe 2021 100 outlet N/A N/A Komisi Phago, Daipan
14 Eatsii 2021 N/A N/A N/A N/A Nasi Goreng Endoy, Simply Fry
15 Boga Kitchen 2020 16 outlet N/A N/A N/A Own brand

Dengan mereduksi beban di sisi operasional, brand pengembang produk makanan memang cenderung bisa lebih gesit dalam melakukan inovasi produk dan ekspansi. Sebaran penyelenggara cloud kitchen yang terus meluas juga menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain untuk memperluas pangsa pasarnya di tengah pergeseran kebiasaan pelanggan pascapandemi. Ini terbukti, sepanjang pandemi, lebih dari 50% penjualan SaladStop! dihasilkan secara online.

“Untuk mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami berencana untuk memperdalam akar kami di pasar yang ada, sementara juga memperluas jejak di negara-negara baru yang dipilih. Kami telah membangun infrastruktur yang luas di seluruh wilayah selama beberapa tahun terakhir dan akan terus memanfaatkan kemampuan teknologi dan model operasi cloud kitchen eksklusif kami untuk mempercepat pertumbuhan kami di pasar negara berkembang,” imbuh Chief Growth Officer of SaladStop! Frantz Braha.

Konsep bisnis serupa di Indonesia

Hangry, Foodstory, Legit Group, dan beberapa pemain lokal lain sebenarnya juga telah mengadopsi model bisnis yang serupa, yakni “multi-brand cloud kitchen”. Melalui gerai-gerai mini yang tersebar di berbagai kota, bahkan sebagian tidak menyediakan opsi dine-in, mereka menghadirkan beberapa brand makanan sekaligus ke dalam satu opsi pemesanan. Contohnya Hangry!, dalam kedainya mereka memberikan beberapa opsi makanan mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo.

Dari sisi pengguna model multi-brand ini juga menghadirkan keuntungan tersendiri. Dalam satu kali pemesanan, mereka bisa memperoleh varian item makanan dari merek yang berbeda — termasuk menghemat ongkos kirim.

Penerimaan pasar yang apik ternyata turut membuka mata pemodal ventura untuk turut menggarap lini industri ini. East Ventures berinvestasi ke Legit Group, sementara Alpha JWC Ventures juga turut mendukung Hangry! sejak debut awalnya.

Model bisnis yang dijalankan saat ini seperti bisa menjadi “template” untuk pengusaha kuliner generasi selanjutnya. Selain memungkinkan mereka bisa bergerak lincah untuk memperluas area bisnis, penerimaan pasar juga menjadi aspek penting yang kini mulai terbentuk. Di sisi lain infrastruktur yang mengakomodasi bisnis tersebut juga terus diperdalam. Sebut saja, untuk layanan pemesanan kini tidak hanya terpaku ke duo Grab-Gojek, platform lain seperti Shopee dan Traveloka mulai meningkatkan kualitas layanan food delivery mereka.

Tantangannya justru bagaimana ini pengusaha makanan menciptakan brand yang relevan dengan pangsa pasar di Indonesia – demi menghadirkan produk makanan berkualitas dengan biaya terjangkau. Toh di sisi operasional banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan untuk diprioritaskan ke produk.

Tokopedia Umumkan Investasi dari Google dan Temasek

Melalui akun media sosial miliknya, Co-Founder & CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengumumkan Temasek dan Google kini telah masuk di jajaran pemegang saham perusahaan. Kabar tersebut sebenarnya sudah berhembus sejak bulan lalu, namun kala itu perusahaan masih enggan berkomentar.

Sumber Bloomberg mengatakan, investasi baru ini berada di kisaran $350 juta atau setara 5 triliun Rupiah. Pendanaan ini membawa valuasi perusahaan ke  $7,5 miliar. Dana tersebut akan difokuskan untuk melancarkan agenda ekspansi bisnis pasca-Covid-19. Disampaikan William, misi perusahaan adalah mengakselerasi transformasi digital dan melakukan pemerataan ekonomi melalui teknologi di Indonesia.

Sebelumnya Nikkei Asia Review mengatakan Tokopedia telah mengajukan dokumen ke Kemenkumham, dengan Google memiliki 1,6% kepemilikan, sementara Temasek melalui perusahaan afiliasinya, Anderson Investments, memegang 3,3% saham perusahaan. Angka ini bisa berubah karena belum mencerminkan total investasi di putaran pendanaan kali ini.

Sebelum putaran ini, terakhir Tokopedia mengumumkan perolehan pendanaan senilai $1,1 miliar pada akhir 2018, dipimpin SoftBank Vision Fund dan Alibaba Group. Softbank melalui beberapa pendanaannya diperkirakan, sebelum putaran pendanaan terakhir, memiliki 38,3% saham perusahaan, sementara Alibaba sekitar 25,19%.

Kolaborasi dengan Google

Informasi dari sumber terpercaya, kepada DailySocial menyebutkan, pasca pendanaan ini Tokopedia dan Google sepakat menjalin kemitraan strategis untuk penguatan adopsi layanan komputasi awan. Sumber kami mengatakan, mereka menyusun sebuah joint venture untuk menawarkan produk komputasi awan Google ke merchant Tokopedia yang ingin meningkatkan skala bisnisnya.

Belum dibeberkan secara detail layanan apakah itu, namun jika melihat lini produk yang dipasarkan Google di Indonesia, layanan tersebut bisa berupa Google Cloud untuk solusi hosting dan analisis data, Google Workplace (dahulu G Suites) untuk produktivitas, dan teknologi pemasaran atau iklan digital Google Ads (dahulu AdWords).

Lanskap E-commerce makin menarik

Menurut laporan terbaru e-Conomy SEA 2020, bisnis e-commerce di Indonesia diprediksikan mencapai GMV $32 miliar tahun ini. Laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) mencapai 54% dari tahun 2019. Angka ini diprediksi mencapai $83 miliar pada tahun 2025 mendatang seiring dengan peningkatan penetrasi internet dan infrastruktur.

Hingga Q3 2020, peringkat tiga besar teratas layanan e-commerce Indonesia, berdasarkan jumlah kunjungan, masih diduduki Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

Sebelumnya Microsoft telah mengumumkan investasinya ke Bukalapak. Kendati tidak diinfokan detail mengenai nilai dan kesepakatan pendanaan, diperkirakan nilainya mencapai $100 juta atau sekitar 1,4 triliun Rupiah. Selain mengaplikasikan layanan komputasi awan Microsoft Azure di internal Bukalapak, agenda lainnya kedua perusahaan akan bersama-sama meningkatkan kompetensi digital mitra UKM yang berjualan di online marketplace tersebut.

Di lini produk komputasi awan, Google dan Microsoft (dan AWS) memang bersaing ketat sebagai penyedia global. Masuknya investor Amerika Serikat dengan nilai pendanaan yang besar mengindikasikan bahwa ekonomi digital Indonesia makin menarik untuk digarap melalui “pendekatan lokal”, termasuk menggandeng startup lokal.

Application Information Will Show Up Here

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Sociolla Bags 841 Billion Rupiah Fresh Funding

Social Bella, the brand owner of the beauty e-commerce service Sociolla, announced US$ 58 million (more than 841 billion Rupiah) funding from global investors, including three previous investors, Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. This round happened amid crisis in the overall business environment due to the Covid-19 pandemic.

Funding is to be used to improve technology infrastructure. Investor support is aligned with the company’s target to bring its position in unlocking growth potential with a sustainable business model and comprehensive ecosystem.

Previously, the three investors participated in the Series D round in September 2019 for $ 40 million. Also in that round was EV Growth.

Social Bella’s Co-Founder and President Christopher Madiam said the pandemic was a challenge for the entire global business. However, he claimed the company was able to adapt quickly to serve the needs of consumers.

As seen from a significant increase in organic traffic on the platform during quarantine and recorded the highest shopping basket rate online. Although, it is not followed by detailed numbers.

“We are proud that both existing and new investors see the extraordinary potential of our ecosystem and strongly support our business plan,” he said in an official statement, Monday (6/7).

Jungle Ventures’ Managing Partner, David Gowdey added, his investment in Social Bella was the company’s important milestone in Indonesia. Social Bella is the first beauty company that presents a holistic ecosystem.

“This additional investment will strengthen our partnership with Social Bella and enable Jungle Ventures to expand regional cooperation,” said Gowdey.

Lilla by Sociolla

Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid explained, with strong support from the technological aspect of daily routine, the company wanted to provide a better shopping experience for its consumers.

“We recently launched a new line of business, Lilla by Sociolla, designed for moms with the best product curation for children and themselves. We see an increasing need for quality products in this consumer segment and we are trying to provide the best,” he said.

Besides Lilla, Social Bella has continued to expand its services since it’s debut in 2015. First, SOCO, an online consumer review platform for beauty and personal care products. Second, Beauty Journal, which is an online beauty and lifestyle media with O2O marketing services from upstream to downstream.

Third, Sociolla, beauty e-commerce with six offline stores and an omnichannel concept. Finally, Brand Development, a business unit that offers end-to-end distributor services for beauty and personal care brands to leading international manufacturers.

All of these business units is believed can reach around 30 million users this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Kantongi Pendanaan Baru Senilai 841 Miliar Rupiah

Social Bella, pemilik brand dari layanan e-commerce kecantikan Sociolla, mengumumkan pendanaan senilai US$58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) dari investor global, termasuk tiga investor sebelumnya, yakni Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Investasi ini didapatkan di tengah turbulensi dalam lingkungan bisnis secara keseluruhan karena pandemi Covid-19.

Disebutkan, pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan infrastruktur teknologi. Dukungan investor selaras dengan target perusahaan untuk membawa posisinya dalam membuka potensi pertumbuhan dengan model bisnis yang berkelanjutan dan ekosistem yang komprehensif.

Sebelumnya, ketiga investor ini berpartisipasi dalam putaran Seri D pada September 2019 sebesar $40 juta. Dalam putaran itu diikuti pula oleh EV Growth.

Co-Founder dan Presiden Social Bella Christopher Madiam mengatakan, pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi keseluruhan bisnis secara global. Namun dia mengklaim, pihaknya mampu beradaptasi dengan cepat untuk melayani kebutuhan konsumen.

Terlihat dari peningkatan organic traffic secara signifikan pada platform selama periode karantina dan mencatat rekor ukuran keranjang belanja tertinggi secara online. Kendati, klaim tersebut tidak disertai angka oleh Christopher.

“Kami bangga bahwa baik investor yang ada maupun yang baru melihat potensi luar biasa dari ekosistem kami dan sangat mendukung rencana bisnis kami,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (6/7).

Managing Partner Jungle Ventures David Gowdey menambahkan, investasinya di Social Bella merupakan tonggak penting bagi kiprah perusahaan di Indonesia. Social Bella merupakan perusahaan kecantikan yang menyajikan ekosistem holistik yang belum pernah ada sebelumnya.

“Investasi tambahan ini akan memperkuat kemitraan kami dengan Social Bella dan memungkinkan Jungle Ventures untuk memperluas kerja sama secara regional,” ujar Gowdey.

Lilla by Sociolla

Co-Founder dan CEO Social Bella John Rasyid menerangkan, dengan dukungan yang kuat dari aspek teknologi dalam rutinitas sehari-hari, perusahaan ingin memberikan pengalaman berbelanja lebih baik untuk konsumennya.

“Baru-baru ini kami meluncurkan lini bisnis baru, Lilla by Sociolla yang dikhususkan untuk ibu-ibu mencari kurasi produk terbaik bagi anak-anak dan diri mereka sendiri. Kami melihat ada peningkatan kebutuhan akan produk berkualitas pada segmen konsumen ini dan kami berusaha memberikan yang terbaik,” kata dia.

Selain Lilla, Social Bella terus memperluas layanannya sejak pertama kali dirilis pada 2015. Pertama, adalah SOCO, platform online ulasan konsumen untuk produk kecantikan dan perawatan diri. Kedua, Beauty Journal, yakni media online kecantikan dan gaya hidup dengan layanan pemasaran O2O dari hulu ke hilir.

Ketiga, Sociolla, situs e-commerce kecantikan yang kini memiliki enam toko offline dengan konsep omnichannel. Terakhir, Brand Development, unit bisnis yang menawarkan layanan distributor end-to-end untuk merek kecantikan dan perawatan diri untuk produsen internasional terkemuka.

Diyakini seluruh unit bisnis ini dapat menjangkau sekitar 30 juta pengguna pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

EV Growth Bukukan 3,4 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Pertamanya

EV Growth, perusahaan modal ventura hasil joint-venture East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, hari ini (30/12) mengumumkan telah membukukan $250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Angka ini melebihi nominal yang ditargetkan sebelumnya, yakni $150 juta. Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia turut terlibat dalam putaran ini sebagai LP (Limited Partner).

Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rete of return pendanaan berkisar 36%.

Sejak didirikan pada Maret 2018, pemodal ventura berbasis di Singapura tersebut sudah mengucurkan dana investasinya ke beberapa startup, termasuk pendanaan seri C Ruangguru, seri D Sociolla, seri B Warung Pintar, dan sebagainya.

“Pengalaman operasi perusahaan kami, kecepatan transaksi, pengetahuan lokal dan jaringan regional telah membantu kami mendapatkan beberapa penawaran terbaik di wilayah ini. Kami berencana untuk menggelontorkan $325 juta untuk startup Asia Tenggara yang menggabungkan pendanaan aktif untuk tahap perusahaan awal dan perusahaan fase pertumbuhan,” ujar Willson Cuaca, selaku Managing Partner EV Growth sekaligus Co-Founder East Ventures.

Selain Willson, EV Growth turut dinakhodai oleh Roderick Purwana dari SMDV, dan Shinichiro Hori dari Yahoo! Japan Capital. Tidak hanya di Indonesia, fokusnya menyasar startup di seluruh Asia Tenggara.

The Digital Service has Transformed Nation’s Behavior in SEA

Google-Temasek report titled “e-Conomy SEA 2019” placed e-commerce and online travel as the biggest participant in the regional digital economy. In 2019, each gives $38 billion and $34 billion, to increase at $153 billion and $78 billion by 2025.

Previously in 2018, the same report placed the online travel sector on top, e-commerce presents a new experience that creates rapid growth. The players’ effort to promote also have a significant impact – online shopping festival such as 9.9, Singles Day, 12.12  always welcomed to all businesses.

Google Trends data showed e-commerce promotion has constantly increased per year. With various strategy, starts from influencer and gamification feature to acquire users to connect with the platform. A machine learning technology has also affected the increase of product offerings to all consumers.

layanan digital1

The logistics expand also has an impact on the rising e-commerce. In order to pamper its users, some even provide fast delivery – less than 24hr after the finished order. All the attempts, from the promotion to logistics, has changed the basic behavior for online shopping. Prior to this, e-commerce mostly served those who want to make a “big” purchase, such as a smartphone or TV, but daily goods are now available.

Over 5 million orders are processed by e-commerce per day worth $15-$20 on average.

Food delivery becomes the hype

In 2015, the ride-hailing sector is worth $3 billion, by this year at $13 billion, projected to reach $40 billion by 2025. Four years ago, the industry is only about alternative transportation. To date, it has further expanded to provide more services. A significant example is food delivery, such as Go-Food or GrabFood – later might be financial services.

layanan digital2

The food delivery service has been highlighted since 2018 as it affected much on consumer’s behavior. People from all classes are fond of the service, using effectivity as justification amid traffic congestion and weather condition. In the metropolitan area, the service is in high demand.

There are lots of reasons, besides promotion and marketing effort from the decacorns, accessibility to the food industry is expanding. The delivery service offered various menus from restaurants to small stalls. In terms of business, the platform brings a lot of benefits. Some have been using it to build a better connection to the users through rewards and loyalty programs.

Entertainment channel is still on

Since 2015, there are at least 100 million new internet users in Southeast Asia. Applications from video, music, and game are channels with the highest demand – through smartphones. The value has reached $14.2 billion this year and to multiple a few times by 2025. Most users prefer free content, even if it means to watch some ads.

A new trend captured, that short-time video, such as Bigo Live and Tik Tok has fascinated the market. A supported app like lip-sync has produced viral content adored by groups of people. In addition, online gaming is boosting up. One of the popular games is Free Fire under Garena that acquires 450 million users with 50 million active users.

Budget hotel supporting the travel industry

This sector has been matured enough in Southeast Asia’s digital economy. Tourism becomes the main factor. As a market, the urge of the middle class to travel – have a significant effect on the online travel industry. Alternative services arose, budget hotel platforms for example, such as OYO and RedDoorz.

An aggregator platform like Tiket.com, Traveloka, and Booking.com is planning for a better maneuver. Partnership with other digital players is getting increased, with ride-hailing for example. Not only as a travel ticket provider, but the online travel agency is also getting ready with “experience” channel for users who want to take a full trip. Various features are now accessible in one platform, ticket to the amusement park and various shows.

Service integration

Another note to mind is service integration from the platform to improve user experience. Take the Hooq partnership with Grab to provide streaming video last year as an example. Another one is Gojek’s latest maneuver to present kumparan news on its platform. The integration has extended various services on each platform.

layanan digital4

Take a note on ride-hailing and e-commerce as the most ambitious ones. Various digital services are being integrated into apps. Acquisitions and investment become the solution for some startups to improve the entire capability on its platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian