Digital Marketing Platform Shoplinks Bags 12.8 Billion Rupiah Funding

Singapore-based FMCG marketing platform Shoplinks received seed funding worth of $900 thousand or around 12.8 billion Rupiah. The funding was led by venture capital firm Cocoon Capital with participation from the Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Recently, Cocoon Capital also invested in local logistics startup TransTRACK.id. Meanwhile, the Indonesia Women Empowerment Fund, jointly managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures, has announced its debut portfolio for Titik Pintar startup earlier this year.

In an official statement, Cocoon Capital’s Managing Partner and Shoplinks’ Director Michael Blakey said, “We believe this platform can accelerate the digital transformation of retailers in Southeast Asia.”

“We are impressed with the Shoplinks team and their ability to execute. Shoplinks solves the billion dollar problem that exists between FMCG promotions and consumers in Southeast Asia. This will significantly streamline FMCG marketing spending,” he added.

Shoplinks offers digital marketing services by simplifying coupon distribution and personalizing coupons for FMCG brands and retailers. The platform seeks to optimize brand promotion activities, therefore, consumers can get attractive offers, both online and offline.

It is due to Southeast Asia’s FMCG brands are considered difficult to distribute promotional activities to buyers. According to company data, Southeast Asia’s FMCG brands spend $28 billion on promotion every year, but 70% of this total budget is considered wasted because it is not right on target and lacks personalization.

Also, the impact of the Covid-19 pandemic which resulted in the loss of potential retailer income. Sharing shops and supermarket outlets is difficult to promote because the services are yet to be digitized.

Strengthen its position in Indonesia

Furthermore, Shoplinks’ Co-founder & CEO, Teresa Condicion said that she would use this funding to strengthen its position in Indonesia before expanding to other markets in the Southeast Asia region. She also plans to add more teams and expand the partnership networks, both retail companies and stalls, which currently account for 70% of total retail spending in Indonesia.

“We want to democratize Southeast Asia’s retail technology and create a win-win solution for brands, retailers and buyers. This industry is ripe for technological evolution, especially if you look at retailers in developed countries, such as the United States and Europe, which have grown rapidly thanks to technology,” Teresa said.

In general note, Shoplinks was founded by Teresa Condicion and JD Lee. Teresa is Snapcart’s Co-founder, and has served as CEO for four years. She has a strong background of 17 years at P&G. Meanwhile, JD is a techpreneur who is also the co-founder of venture builder Pulsar Ventures.

Was founded in 2020, Shoplinks has proceed thousands of monthly shopping coupons from major FMCG partners, such as Unilever, Johnshon & Johnson, and P&G. It is said to have doubled the use of coupons every month, where these FMCG brands have doubled the profit from its investment in promotions. In addition, Shoplinks said it had contributed to the growth of buyer transactions at the TipTop supermarket chain by up to 30%.

Marketing personalization

Digital transformation in the FMCG sector is taking place although it has not been fully realized at various levels. The world’s major retail brands are starting to focus on consumer data, using analytics to make strategic decisions

In its publication on marketing personalization, the McKinsey report states that advances in technology, data and analytics will greatly enable marketers to create personalized and more ‘human’ marketing across a wide variety of channels to shopping experiences.

Despite the great opportunity, most marketers feel they are not ready to provide such a personalized experience. A McKinsey survey of senior marketing leaders found only 15% of CMOs believe their company is on the right track with personalization. They believe this strategy is proven to drive revenue by 5%-15% and marketing budget efficiency by 10%-30%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Pemasaran Digital Shoplinks Memperoleh Pendanaan 12,8 Miliar Rupiah

Platform pemasaran FMCG asal Singapura Shoplinks memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $900 ribu atau sekitar 12,8 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh perusahaan modal ventura Cocoon Capital dan partisipasi dari Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Belum lama ini, Cocoon Capital juga berinvestasi ke startup logistik lokal TransTRACK.id. Sementara untuk Indonesia Women Empowerment Fund, yang dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures, juga sudah mengumumkan portofolio perdananya pada startup Titik Pintar di awal tahun ini.

Dalam keterangan resminya, Managing Partner Cocoon Capital sekaligus Dewan Direksi Shoplinks Michael Blakey mengatakan, pihaknya meyakini platform ini dapat mengakselerasi transformasi digital pada peritel di Asia Tenggara.

“Kami terkesan dengan tim Shoplinks dan kemampuan mereka untuk mengeksekusi. Shoplinks memecahkan masalah miliaran dolar yang terjadi antara promosi FMCG dan konsumen di Asia Tenggara. Ini akan mengefisiensikan pengeluaran pemasaran FMCG secara signifikan,” tambahnya.

Shoplinks menawarkan layanan pemasaran digital dengan menyederhanakan distribusi kupon dan membuat personalisasi kupon bagi brand dan peritel FMCG. Platform tersebut berupaya mengoptimalkan kegiatan promosi brand sehingga konsumen bisa mendapatkan penawaran menarik, baik online maupun offline.

Alasannya, brand FMCG di Asia Tenggara dinilai sulit untuk mendistribusikan kegiatan promosi kepada pembeli. Menurut data perusahaan, setiap tahunnya brand FMCG di Asia Tenggara menghabiskan $28 miliar untuk promosi, tetapi 70% dari total budget ini dinilai sia-sia karena tidak tepat sasaran dan kurang personalisasi.

Ditambah dampak dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan retailer. Berbagi toko dan gerai supermarket sulit untuk melakukan promosi karena layanannya belum terdigitalisasi.

Memperkuat posisi di Indonesia

Lebih lanjut, Co-founder & CEO Shoplink Teresa Condicion mengatakan akan menggunakan pendanaan ini untuk memperkuat posisinya di Indonesia sebelum ekspansi ke pasar lain di kawasan Asia Tenggara. Pihaknya juga berencana menambah jumlah tim dan memperluas jaringan mitra, baik perusahaan ritel maupun warung yang saat ini menyumbang sebanyak 70% terhadap total pengeluaran ritel di Indonesia.

“Kami ingin mendemokratisasikan teknologi ritel di Asia Tenggara dan menciptakan win-win untuk brand, retailer, dan pembeli. Industri ini sudah matang untuk berevolusi secara teknologi, apalagi jika melihat retailer di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, telah berkembang pesat berkat teknologi,” ujar Teresa.

Sebagai informasi, Shoplinks didirikan oleh Teresa Condicion dan JD Lee. Teresa adalah Co-founder Snapcart, dan pernah menduduki posisi CEO selama empat tahun. Ia memiliki latar belakang kuat selama 17 tahun di P&G. Sementara JD adalah techprenuer yang juga Co-founder dari venture builder Pulsar Ventures.

Sejak berdiri di 2020, Shoplinks telah memproses ribuan penggunaan kupon belanja per bulannya dari sejumlah mitra FMCG besar, seperti Unilever, Johnshon & Johnson, dan P&G. Pihaknya mengklaim telah mengantongi penggunaan kupon dua kali lipat setiap bulannya, di mana para brand FMCG ini telah melipatgandakan laba dari investasinya di promosi. Selain itu, Shoplinks menyebut telah berkontribusi terhadap pertumbuhan transaksi pembeli di jaringan supermarket TipTop hingga 30%.

Personalisasi pemasaran

Transformasi digital pada sektor FMCG tengah terjadi meski belum terealisasi sepenuhnya di berbagai level. Para brand retail besar dunia mulai fokus terhadap data konsumen, hingga memanfaatkan analitik untuk membuat keputusan strategis

Dalam publikasinya terkait personalisasi pemasaran, laporan McKinsey menyebutkan bahwa kemajuan teknologi, data, dan analitik akan sangat memungkinkan marketer untuk menciptakan pemasaran yang bersifat personal dan lebih ‘manusiawi’ di berbagai macam kanal hingga pengalaman berbelanja.

Bank Mandiri Meluncurkan Platform Kopra, Memaksimalkan Potensi Layanan “Wholesale”

Usai memperkenalkan wajah baru aplikasi mobile banking, PT Bank Mandiri Tbk (IDX: BMRI) kini meluncurkan platform digital “Kopra by Mandiri” untuk layanan wholesale. Dengan mengusung konsep Whole Digital Super Platform, perusahaan berupaya menghadirkan solusi wholesale terintegrasi dengan single access.

Dalam keterangan resminya, Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan, Bank Mandiri tengah fokus memaksimalkan potensi bisnis wholesale dan ritel dengan mentransformasikan solusinya ke digital, melakukan modernisasi channel, memperbaiki business process, dan meningkatkan kapabilitas core banking.

Ini upaya untuk menjaga momentum akselerasi digital dan mengakomodasi kebutuhan transaksi digital nasabah di segmen wholesale. “Berbeda dengan layanan digital di segmen ritel yang bersifat ‘one fit for all‘, kebutuhan wholesale terbilang lebih bervariatif dan luas. Saat ini, kebutuhan tersebut dilayani dengan multi produk/layanan yang diakses terpisah oleh nasabah wholesale,” ujar Panji.

Kopra by Mandiri dirancang sebagai Wholesale Digital Super Platform dengan menawarkan layanan komprehensif secara end-to-end sebagai pusat aktivitas informasi dan transaksi finansial bagi para pelaku bisnis. Ada tiga kategori akses yang disediakan, yaitu Kopra Portal, Kopra Host-to-Host, dan Kopra Partnership.

Adapun, Kopra Portal memberikan single access kepada nasabah untuk mengakses sejumlah layanan antara lain Mandiri Cash Management (MCM) 2.0, Mandiri Financial Supply Chain Management (MFSCM), Mandiri Global Trade (MGT), Mandiri e-FX, Mandiri Smart Account (MSA), dan Mandiri Online Custody.

Kemudian, Kopra Host-to-Host berbasis API (Application Programming Interface) menawarkan solusi terintegrasi bagi pelaku usaha di berbagai jenis dengan kompleksitas bisnis dan kebutuhan teknologi yang lebih maju. Pada kategori ini, nasabah dapat melakukan inisiasi, otorisasi, dan kontrol transaksi melalui sistem nasabah yang terhubung langsung dengan sistem bank.

Sementara Kopra Partnership menawarkan kemitraan dengan pihak eksternal yang punya kapabilitas sebagai business enabler pendukung layanan keuangan. Panji menilai konsep kemitraan ini dapat meningkatkan kemampuan bank dalam mengembangkan solusi yang tepat, efisien, dan terintegrasi. Terutama membantu pertumbuhan bisnis pelaku usaha yang didominasi segmen UMKM.

“Konsep single access memudahkan pelaku bisnis dalam menjalankan aktivitas transaksi keuangannya. Mereka dapat mengakses berbagai informasi produk, memantau funding dan lending di level entitas maupun grup usaha,” tambahnya.

Transformasi digital

Seperti diketahui, Bank Mandiri berupaya untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank. Strategi utama bank BUMN ini adalah fokus pada segmen perbankan ritel dan wholesale dengan mengembangkan platform Livin’ by Mandiri dan Kopra by Mandiri.

Dihubungi DailySocial.id beberapa waktu lalu, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi menilai tak perlu menjadi bank digital, baik itu lewat skema akuisisi bank atau rebranding anak usaha dengan identitas baru. Menurutnya, saat ini Bank Mandiri sudah memiliki permodalan besar dan ekosistem perbankan yang mapan sehingga lebih memilih fokus pada pengembangan inovasi digital.

Beberapa digitalisasi layanan yang telah dikembangkan Bank Mandiri antara lain Mandiri e-Money, Mandiri Intelligent Assistant (MITA), pembukaan rekening online, Mandiri Cash Management (MCM), Mandiri Internet Bisnis (MIB), Mandiri Global Trade, Mandiri Financial Supply Chain Management (FSCM), dan Mandiri Application Programming Interface (API).

Berdasarkan publikasi yang diterbitkan McKinsey di 2019, sektor perbankan di segmen wholesale masih berpeluang untuk dapat meningkatkan value bisnisnya, terlepas dari tren transformasi di bidang operasional dan teknologi yang telah mereka lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Salah satu yang disoroti adalah bagaimana sebagian besar fungsi operasional dan teknologi masih mencari ragam inovasi untuk menghasilkan delivery dan hasil yang cepat, mencapai efisiensi, dan memastikan tetap dapat memenuhi regulatory dan compliance yang ada. McKinsey melaporkan sejumlah perusahaan menghabiskan 25% dari pendapatan untuk operasional dan teknologi, dan ini membuat strategi menuju profitabilitas menjadi terhambat.

“Ini menjadi kebutuhan mendesak bagi perusahaan yang memiliki kekurangan pada critical scale di bisnis wholesale, dan sulit untuk memanfaatkan investasinya untuk meningkatkan automasi, mengonsolidasikan platform, dan mentransformasikannya menjadi sebuah ekosistem modern.”

Application Information Will Show Up Here

Perkuat Inisiatif Digitalisasi Dunia Pendidikan, Pintro Kolaborasi dengan Perbankan

Digitalisasi dalam dunia pendidikan menjadi sebuah persoalan serius yang perkembangannya selalu mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Terlebih dalam kondisi pandemi yang sudah memasuki tahun kedua ini, dunia pendidikan dipaksa untuk bertransformasi secara digital untuk bisa beradaptasi dengan situasi yang ada saat ini.

Tentunya membangun digitalisasi layanan pendidikan bukanlah perkara mudah, dibutuhkan kesadaran, keinginan serta komitmen yang kuat mulai dari sisi lembaga pendidikan sendiri maupun dari sisi sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Selain itu, upaya ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan sangat kompleks dalam prosesnya mulai dari proses desain, pengembangan, sosialisasi, dan implementasi sistem.

Beberapa lembaga pendidikan sudah mengambil langkah untuk menggunakan platform aplikasi dalam membantu pengelolaan pelayanan pendidikan, namun bukan berarti hal ini tanpa tantangan. Dengan menggunakan platform pihak ketiga, lembaga pendidikan harus mengikuti aturan dan sistem yang berlaku dan sering kali tidak menyediakan opsi integrasi dan personalisasi.

Pintro sebagai salah satu pemain di sektor ini menyadari kedua kendala di atas dapat menjadi kunci untuk menyukseskan transformasi digital di dunia pendidikan. Platform yang menyediakan solusi sistem tata kelola administrasi dan manajemen lembaga pendidikan berbasis SaaS ini mencoba memperkuat inisiatif dari berbagai sisi, salah satunya finansial.

Kolaborasi dengan perbankan

Pada awal bulan September 2021 lalu, Pintro resmi menggandeng Bank Mega Syariah untuk mewujudkan komitmen memberikan solusi digitalisasi pendidikan melalui program “EduBerkah”. Bukan hanya sekedar memberikan kredit pengembangan infrastruktur fisik pendidikan, bank yang pada awalnya hanya berurusan dengan sistem pembayaran diharapkan bisa memberikan subsidi biaya atas kebutuhan pengembangan transformasi digital.

Di sisi lain, segmen pasar lembaga pendidikan khususnya yang berbasis agama sangat luas di Indonesia. Pintro melihat kolaborasi dengan Bank Mega Syariah dengan fokus yang sejalan akan mempermudah proses digitalisasi serta memaksimalkan potensi yang ada.

Beragam keunggulan layanan EduBerkah ini nantinya akan diluncurkan mulai dari transaksi pendaftaran, proses pembayaran online dengan sistem multichannel yang terhubung secara otomatis ke sistem akademik, pembelajaran jarak jauh, online test, sistem penilaian, transkrip khs, hingga sistem layanan lainnya.

Program “EduBerkah” juga memberikan gratis pelatihan fitur layanan pendidikan yang akan digunakan. Dengan dukungan sistem tata kelola manajemen yang saling terintegrasi tersebut, diharapkan lembaga pendidikan dapat mengikuti laju pertumbuhan teknologi dan merasakan beragam kemudahan dalam kegiatan pendidikan sehari-hari. Layanan Eduberkah sendiri dapat diakses 24/7 dengan implementasi super mudah serta sudah terintegrasi & terautomasi.

Disebutkan juga dalam rilis bahwa nantinya kerja sama yang dibangun bukan hanya mengintegrasikan sistem pendidikan dengan sistem perbankan saja, akan tetapi diharapkan dapat mengintegrasikan juga dengan 30 unit bisnis di bawah naungan CT Corp yang bergerak di bidang retail, e-commerce dan hospitality lainnya secara nasional.

Pengembangan fitur

Di Pintro sendiri, sudah ada 2 kategori produk, yaitu Pintro Co-brand yang memungkinkan lembaga pendidikan untuk melakukan whitelabel atau kustomisasi, serta Pintro Lite dengan fitur yang lebih terbatas. Selama dua tahun beroperasi, sudah ada puluhan ribu pengguna aktif setiap hari dari 500+ Lembaga Pendidikan nasional dari setiap tingkatan pendidikan yang tersebar di berbagai kota termasuk Jabodetabek, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, dan lainnya.

Dalam wawancara terpisah, CEO Pintro, Syarif Hidayat mengungkapkan adanya sedikit perubahan dalam prioritas pengembangan fitur/produk baru menyesuaikan kondisi pendidikan saat ini. Salah satu produk yang dikembangkan sejak tahun lalu adalah LMS (Learning Management System), diikuti dengan aplikasi tes online berbasis CBT “PintroTest” yang terintegrasi dengan modul pendaftaran murid baru, kegiatan akademik, serta pembayaran.

Produk lain yang juga sudah dikembangkan adalah “PintroConference” yang bukan hanya menawarkan video conference, namun juga terintegrasi dalam proses kegiatan pembelajaran harian dan fitur PintroTest. Selain untuk meminimalisir tindak kecurangan, fitur ini juga diklaim praktis serta terintegrasi ke sistem penilaian sehingga memungkinkan mobilisasi yang cepat dan tepat.

Selain itu, Pintro juga semakin memperkuat layanan pembayaran online dengan menambah opsi pembayaran di fitur “PintroPay” dengan LinkAja dan Jenius. Dalam fitur ini juga tersedia opsi paylater berkolaborasi dengan Kredivo.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menelurkan solusi sejenis, seperti Codemi yang pada akhir tahun lalu berhasil meraih pendanaan dari init-6, perusahaan investasi yang didirikan oleh Co-Founder Bukalapak, Achmad Zaki. Selain itu juga ada HarukaEDU dan RuangKerja oleh RuangGuru.

Target ke depannya

Dalam Edeech Report 2020 yang dikeluarkan DailySocial.id, disebutkan bahwa pasar e-learning global akan mencapai $325 miliar pada tahun 2025 dari $107 Miliar pada 2015. Menurut Holon IQ, pengeluaran masyarakat terkait kecanggihan teknologi dalam pendidikan akan mencapai $12,6 miliar pada 2025, yang naik dari $1,8 miliar pada 2018.

Sebagai bagian dari visi Pintro untuk terus bisa melakukan inovasi yang berkelanjutan khususnya di sektor pendidikan, ke depannya, timnya menyatakan keinginan untuk eksplorasi di luar sistem tata kelola manajemen pendidikan. CT Corp sebagai induk Bank Mega Syariah dengan ragam layanan yang ditawarkan, diharapkan dapat mempermudah Pintro untuk mengintegrasikan layanan pendidikan di sektor e-commerce, hiburan, pariwisata/perhotelan dan lainnya.

Salah satu target yang juga disampaikan terkait fitur Edumart yang saat ini masuk dalam pembahasan untuk skema komersial dan bisnis. “Harapannya bisa segera rilis di akhir tahun ini,” ujar Syarif.

Dari sisi pendanaan, hingga saat ini Pintro masih bertahan dengan sistem bootstrap. Syarif menyampaikan bahwa ada beberapa VC dari dalam dan luar negeri yang sudah mencoba membangun relasi, namun ketika itu Pintro belum fokus ke masalah pendanaan.

“Mudah-mudahan paling cepat tahun depan setelah urusan internal produk, organisasi dan bisnisnya makin matang, kami secara paralel bisa mempersiapkan proposal investasi yang lebih baik. Fundraising sendiri dibutuhkan untuk perluasan market Pintro secara nasional,” tutup Syarif.

Application Information Will Show Up Here

Sirclo Umumkan Triawan Munaf dan Maurits Lalisang sebagai Komisaris

Startup e-commerce enabler Sirclo mengumumkan pengangkatan Triawan Munaf dan Maurits Lalisang sebagai komisaris baru. Keduanya akan terlibat dalam pengembangan kapabilitas teknologi serta upaya digitalisasi bisnis UMKM dan korporasi di perusahaan.

Dalam keterangan resminya, Founder & CEO Sirclo Brian Marshal mengatakan kedua tokoh ini memiliki pengalaman dalam mendorong kemajuan usaha dalam negeri selama lebih dari tiga dekade. Dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan bisnis besar di Indonesia, mereka berbagi visi yang sama dengan Sirclo, yaitu membantu pemilik usaha bertransisi digital ke omnichannel.

“Kami memperoleh banyak pengetahuan dari kedua figur ini untuk memperluas dampak sosial dan ekonomi dari Sirclo. Kami harap dapat menjadi perusahaan berkelanjutan yang mampu membentuk fondasi ekonomi digital Indonesia dan meningkatkan roda ekonomi nasional di masa depan,” ucap Brian.

Sekadar informasi, Triawan Munaf sejak lama dikenal sebagai tokoh nasional dan wirausahawan di industri kreatif. Sebelumnya, Triawan menduduki posisi sebagai Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Komisaris Utama PT Garuda Indonesia Tbk. Pada Februari 2020, Triawan bergabung sebagai Venture Advisor di East Ventures. Baru-baru ini ia juga ditunjuk sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Independen PT Aviasi Pariwisata Indonesia Tbk.

“Kebutuhan melakukan transformasi digital semakin tidak terelakkan bagi pebisnis di berbagai skala, terutama UMKM yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia. Saya telah melihat kontribusi Sirclo membantu UMKM sehingga saya meyakini kapabilitas yang dimiliknya dapat mengakselerasi pertumbuhan UMKM secara eksponensial,” paparnya.

Sementara itu, Maurits Lalisang juga telah memiliki rekam jejak kuat di berbagai sektor industri selama empat dekade terakhir. Maurits telah memberikan banyak terobosan selama berkarir lebih dari satu dekade sebagai CEO dan Presiden Komisaris di PT Unilever Tbk. Saat ini, ia menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Multi Bintang Indonesia Tbk, Komisaris PT ICI Paints Indonesia, Komisaris PT Deltomed Laboratories, dan Partner di Saratoga Group.

Sejak berdiri di 2013, Sirclo menawarkan layanan enablement secara end-to-end kepada pemilik usaha. Di 2021, Sirclo sudah membantu lebih dari 100.000 merek untuk berjualan online, baik dari skala pengusaha perorangan, UMKM, hingga korporasi.

Gencarkan ekspansi UMKM

Tahun ini, Sirclo menggencarkan berbagai inisiatif untuk mendongkrak pertumbuhan bisnisnya. Apalagi, Sirclo mengklaim telah menuju tahap profitabilitas dan tengah berada di momentum untuk memperbaiki unit ekonomi selama pandemi Covid-19.

Salah satunya adalah menggarap segmen UMKM untuk bertransformasi digital. Beberapa waktu lalu, Sirclo membuat program pemberdayaan para ibu berwirausaha menjadi reseller brand yang akan dikelolanya bersama Orami.

Berdasarkan data Asosiasi UMKM Indonesia, pandemi membuat kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia di 2020 melorot hingga 37,3%. Kontribusi ini turun signifikan dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang sebesar 60,3%. Maka itu, digitalisasi diyakini sebagai strategi kunci untuk menghubungkan 30 juta UMKM secara online di 2024.

Upaya ekspansi Sirclo juga semakin diperkuat dengan tambahan pendanaan sebesar $36 juta atau setara 512 miliar Rupiah pada September lalu, yang dipimpin oleh East Ventures dan Saratoga, dan disusul oleh Traveloka.

Menurut Brian Marshal, pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan kapabilitas teknologi serta digitalisasi ritel berbagai usaha di Indonesia. Ia melihat saat ini momentum belanja online di e-commerce sedang tinggi-tingginya sejak pandemi berlangsung.

Beberapa waktu lalu, Sirclo juga telah meluncurkan Sirclo Store, sebuah solusi dengan konsep omnichannel yang dapat membantu brand berjualan online di berbagai kanal sekaligus, yaitu website, marketplace, dan penjualan berbasis percakapan (chat commerce).

BRI Agro Ganti Nama Jadi Bank Raya, Incar 7 Juta Nasabah “Gig Economy”

PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) resmi berganti nama menjadi PT Bank Raya Indonesia Tbk (Bank Raya) yang disetujui lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Senin (27/9). Sebagai langkah transformasi menjadi bank digital, Bank Raya akan membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Dihubungi secara terpisah DailySocial.id, Direktur Utama Kaspar Situmorang mengatakan Bank Raya akan fokus melayani segmen pasar yang terbiasa memakai smartphone dan layanan perbankan digital untuk memaksimalkan pendapatannya (underbanked). Sementara, BRI akan fokus melayani nasabah ultra mikro (unbanked).

“Kami menargetkan nasabah sebanyak 10% atau sekitar 6-7 juta pekerja dari total proyeksi 74 juta pekerja gig dalam lima tahun ke depan. Beberapa contoh pekerja gig economy yang kami incar, misalnya agen perbankan (laku pandai), merchant e-commerce, logistik, dan merchant F&B,” ungkap Kaspar.

Saat ini, proses transformasi digital Bank Raya tengah berjalan, baik pada bisnis model baru maupun pembenahan bisnis existing. Transformasi ini akan berfokus pada tiga pilar utama, yaitu (1) mengembangkan produk digital lending dan saving secara end-to-end, (2) mendigitalkan pengembangan bisnis secara online-to-offline (O2O), dan (3) melakukan revamp dengan menata bisnis existing, mengoptimalkan efisiensi proses bisnis, serta memperkuat pengembangan SDM.

“Pengembangan produk kami akan menggunakan pendekatan customer experience berbasis B2B2C. Untuk digital saving dan digital lending, kami membuat produk yang dapat dipakai di platform partner dengan mudah dan aman. Kami harap bisa melakukan penetrasi pasar dengan biaya akuisisi pelanggan yang paling rendah dan customer lifetime value yang paling tinggi lewat produk berbasis B2B2C ini,” papar Kaspar dalam pesan singkat.

Selain menyetujui pergantian identitas baru, BRI Agro berencana menerbitkan 2.150.000.000 lembar saham dengan nilai Rp100 per saham melalui skema PMHMETD atau 9,96% dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Dana ini akan dipakai untuk memperkuat fondasi keuangan demi mengembangkan model bisnis baru, membangun infrastruktur keuangan digital bagi sektor gig economy, dan mengakselerasi proses transformasi yang sedang berjalan.

Karena fokus menata kembali portofolio bisnisnya menuju digital, BRI Agro memperkirakan kinerja keuangannya mengalami perlambatan. Perusahaan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengantisipasi hal tersebut hingga akhir 2021. Pihaknya menargetkan transisi ke digital ini dapat rampung di 2022.

Berdasarkan Laporan Tahunan 2020, BRI Agro awalnya didirikan untuk fokus melayani sektor agribisnis di Indonesia. Sebesar 50%-70% portofolio kredit BRI Agro disalurkan ke sektor on farm maupun off farm. Namun, sebagai digital attacker dari induk usaha BRI Group, perusahaan mulai melakukan transformasi digital dengan masuk ke segmen konsumer, ritel, dan ultra-mikro.

BRI Agro meluncurkan platform Pinjam Tenang (PINANG) yang merupakan pinjaman berbasis aplikasi pertama di Indonesia yang dimiliki oleh bank. Aplikasi PINANG menawarkan proses pendaftaran dan verifikasi digital, digital scoring, dan tanda tangan digital. Pada 2020, PINANG telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp70,6 miliar kepada 18.069 debitur.

Selain itu, BRI Agro juga bekerja sama dengan platform P2P Modal Rakyat untuk menyalurkan pinjaman ke segmen ultra mikro. Sinergi ini telah disepakati melalui penandatanganan MoU pada Desember 2020.

Pasar gig economy

BRI Agro kembali menambah deretan perbankan yang bertransformasi menjadi bank digital lewat rebranding. Jika beberapa bank digital baru mengincar segmen digital savvy dan kalangan milenial, BRI Agro mengambil strategi berbeda dengan masuk ke segmen gig economy.

Sektor gig economy umumnya identik dengan pekerja atau karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Pelaku gig economy juga kerap diasosiasikan sebagai  yang punya lingkungan kerja dan jam kerja yang fleksibel sehingga berpotensi dieksploitasi.

Berdasarkan data internal BRI Agro, pekerja gig economy diproyeksikan mencapai 74,81 juta di 2025 dengan memperhitungkan perkembangan shifting digital. Menurutnya, jumlah pekerja gig economy di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya, utamanya dipicu dari dampak pandemi Covid-19, yaitu sebesar 27,07% (YoY). Sementara, jumlah karyawan full time turun 8,84% (YoY).

Nama Asal Transformasi Tahun Pergantian
Bank Artos Bank Jago 2020
Bank Yudha Bhakti Bank Neo Commerce 2020
Bank Kesejahteraan Ekonomi Seabank 2021
Bank Harda Allo Bank 2021
Bank Bukopin Bank KB Bukopin 2021
Bank Net Syariah Bank Aladin Syariah 2021
BRI Agro Bank Raya 2021

Dalam konteks pekerja gig Indonesia, World Bank mengatakan bahwa pekerja gig digital kini menjadi batu loncatan besar di sektor tenaga kerja bagi kalangan anak muda. Ini menjadi satu peluang besar bagi pelaku digital, tetapi dengan catatan untuk sektor tertentu, baik dari sisi geografis maupun jenis pekerjaan.

Application Information Will Show Up Here

Bank Mandiri Siapkan Ekosistem “Super App” Livin’ by Mandiri di Q4 2021

PT Bank Mandiri Tbk (IDX:BMRI) menyiapkan sejumlah strategi dan rencana besar untuk memperkuat posisinya di segmen perbankan ritel dan wholesale. Ini menjadi strategi perusahaan untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank sebagaimana dilakukan pemain lainnya.

Salah satunya, perusahaan melakukan rebranding pada platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Wajah baru ini sebetulnya sudah dirilis beberapa waktu lalu. Namun, Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app” yang diusungnya.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan pengelolaan finansial yang lebih luas dengan identitas baru mobile banking ini. Salah satu contoh layanan keuangan yang akan hadir adalah investasi.

“Ada tiga keunggulan yang kami tawarkan, yakni pengalaman perbankan yang komprehensif seolah memiliki cabang dalam genggaman, layanan keuangan yang lengkap lewat integrasi layanan keuangan dalam satu aplikasi, dan solusi ekosistem terbuka untuk mengintegrasikannya dengan ekosistem digital favorit nasabah,” papar Darmawan.

Darmawan menilai Bank Mandiri telah diperkuat dengan permodalan yang besar dan ekosistem perbankan yang mapan. Maka itu, pihaknya merasa tidak perlu bertransformasi menjadi bank digital, dan lebih memilih untuk fokus mengembangkan inovasi digital.

Livin’ by Mandiri diperkenalkan kembali dengan identitas baru pada kuartal pertama 2021. Awalnya, platform ini bernama Mandiri Online yang meluncur ke publik sejak 2017. “Rencananya, aplikasi ini akan semakin dilengkapi berbagai fitur terkini di kuartal keempat 2021,” kata Darmawan.

Berdasarkan data kinerja semester I 2021, pertumbuhan transaksi digital Bank Mandiri berkontribusi besar terhadap perolehan margin bisnis perusahaan. Pengguna Livin’ by Mandiri tercatat tumbuh pesat menjadi 7,8 juta nasabah dengan nilai transaksi mencapai Rp728,9 triliun.

Selain ritel, Bank Mandiri juga akan meluncurkan Wholesale Digital Super Platform yang akan menjadi pusat ekosistem layanan keuangan bagi nasabah korporasi. Perusahaan enggan mengelaborasi rencana pengembangan dan target peluncurannya.

Wholesale Digital Super Platform akan hadir dalam platform berbasis website, API, maupun kemitraan dengan berbagai kategori nasabah yang mencakup ekosistem bisnis untuk berbagai layanan, seperti cash management, value chain, hingga trade.

“Sektor pasar yang dibidik oleh Mandiri API adalah mitra pebisnis berbentuk badan usaha yang membutuhkan integrasi yang mudah dan cepat dengan layanan perbankan yang lengkap dan terbaik untuk efisiensi operasional,” tambahnya.

Beberapa digitalisasi layanan yang telah dikembangkan Bank Mandiri antara lain Mandiri e-Money, Mandiri Intelligent Assistant (MITA), pembukaan rekening online, Mandiri Cash Management (MCM), Mandiri Internet Bisnis (MIB), Mandiri Global Trade, Mandiri Financial Supply Chain Management (FSCM), dan Mandiri Application Programming Interface (API).

Geliat digitalisasi perbankan

Di tengah maraknya kemunculan bank digital baru, sejumlah bank inkumben menyiapkan strategi untuk semakin memperkuat posisinya. Bagi bank konvensional, tidak lah mudah untuk bertransformasi menjadi bank digital, terlebih perusahaan yang punya legacy besar. Bukanlah hal mudah untuk menutup ratusan kantor cabang sekaligus.

Pada kasus Bank Mandiri, anak usaha BUMN ini memilih memperkuat posisinya di segmen ritel dan wholesale dengan rebranding produk digital yang sudah ada dan mengembangkan platform baru. Kendati begitu, strategi ini tentu berbeda dengan yang dilakukan BCA. Bank terbesar di Asia Tenggara ini memilih opsi akuisisi bank dan menggantinya dengan identitas baru.

Bagi bank-bank kecil, ini menjadi peluang besar kendati mereka tidak punya legacy besar sejak awal. Ambil contoh, Bank Jago dan Bank Neo Commerce sama-sama berawal dari bank kecil yang kemudian berganti identitas dengan nama baru.

Terlepas dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara bank umum dan bank digital melalui aturan baru yang tertuang dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021.

Planning Stage Subsidiaries BRI Agro
Alobank
Bank-as-a-Service Standard Chartered <> Bukalapak
Unannounced Bank Capital
Aladin Bank
Established Fully Digital Bank Jago
Bank Neo Commerce
Seabank
Subsidiary BCA Digital
Permatabank <> Moxa
Digital Unit/Online Product Digibank
Jenius
Linebank
Livin’ by Mandiri
MNC Bank
Nyala by OCBC NISP
PermataME
TMRW by UOB

Bank digital dan produknya di Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Mengutip Bisnis.com, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, regulasi baru ini diharapkan dapat memberi kepastian kepada investor yang ingin mendirikan bank digital di Indonesia.

Regulasi ini memberikan dua opsi, yakni mendirikan bank baru dan mengakuisisi bank kecil yang kemudian dikonversi menjadi bank digital. Adapun, OJK mewajibkan investor pengendali untuk menyediakan modal inti minimum sebesar Rp10 triliun untuk mendirikan bank baru.

Astra Group’s Digital Transformation Through Moxa Integrated Financial Product

For the last few years, Astra Group has started to perform digital transformation. In the manifestation, the company has three main approaches, modernizing its core business, creating new and innovative sources of income, and investing in products in the digital ecosystem.

Through several subsidiaries in the field of digital development, Astra has delivered a number of products in various service categories, including AstraPay, CariParkir, Sejalan, Movic, and SEVA. Recently, Astra Group through PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) launched a digital financial platform named Moxa.

Moxa was developed by PT Astra Kreasi Digital under Astra Financial. This platform originally designed as an integrated digital solution for all financial products belonging to the Astra Group. On this occasion, Moxa CEO Daniel Hartono shared a thorough explanation of the products to DailySocial.id.

About Moxa

Moxa or Mobile Experience by Astra Financial was launched in March 2021. However, Daniel said that Moxa development had been carefully planned long before the Covid-19 pandemic occurred. The recent launching is following the trend of people’s shifting lifestyles that triggered the digital services acceleration in Indonesia.

This trend is also reinforced by the e-Conomy SEA 2020 report by Google, Temasek, Bain & Company that said 37% of Indonesia’s  internet users are first timer. Meanwhile, 93% of digital consumers in Indonesia admit that they will continue to use digital platforms to cover their basic needs even when Covid-19 is over.

“We see that Covid-19 has driven large digital consumption in various sectors, including finance. Moreover, Astra Financial finally developed a platform to accommodate consumers’ needs that are getting dependent on digital products. One of them is through the integrated, fast, and secure product, Moxa,” he said.

Currently, Moxa connects consumers with 21 types of financial products belonging to the Astra Group, ranging from car to motorcycle financing, health insurance, life insurance, heavy equipment financing, to multipurpose loans. Moxa acts as an alternate digital channel for financial service partners. Meanwhile, financial services are fully managed by business partners.

Agile working culture

Daniel said, in formulating product and business strategies, his party applies agile methods that focus on insight-driven and combines decades of experience from the Astra Group business. In terms of products, Moxa and other Astra digital products were developed by prioritizing the Minimum Viable Product (MVP) concept and regular usability testing.

“We ensure that to formulate customer pain points, business insights, and technology-based solutions in Moxa’s every new feature or product launch. Our team always does design thinking with all product, branch, technology and business teams,” he said.

In his journey, the trust of financial service partners provided a big challenge for the company. The thing is, Moxa must be able to provide more added value compared to similar services that already exist. The Moxa team must also be able to digitize the financial processes that currently ongoing.

For example, digitizing credit applications, therefore, they can be done quickly, easily and safely in accordance with regulatory corridors. It is committed to providing digital financial services according to the Financial Services Authority (OJK) regulations.

“I think Moxa has succeeded in answering the challenge. It is proven by a good results while operating as a new player. Our application has been downloaded 3.5 million times within March-August 2021. There is still a long way to go, but we believe this number is an indicator of positive market acceptance for Moxa products,” he said.

Ecosystem and collaboration

To date, Moxa is still focused on strengthening the product ecosystem in an inclusive manner with all financial products belonging to the Astra Group. Daniel targets to grow Moxa users up to five times in the next three years.

Some of the inclusive collaborations are including Moxa’s synergy with the AstraPay digital wallet and the Maucash lending platform. In the AstraPay synergy, Moxa users can use their AstraPay balance to make transactions.

Apart from this internal synergy, Moxa plans to open its ecosystem with external parties. Daniel mentioned, his team has prepared an Open API system to facilitate strategic collaboration with external partners in the near future.

One of the latest collaborations is between Moxa and PermataBank to provide the MoxaKu Permata Savings feature in early August. Through this feature, Moxa users can open a savings account directly through the application without having to come to a branch office.

“Currently, Moxa users are dominated by consumers who apply for loans in Maucash, financing and multipurpose for motorbikes and cars, and insurance applications. We also see an increase in the MoxaKu Permata Savings product. In total, there are 300 Open API collaborations on the Moxa platform. We will continue to expand the collaboration to support digital acceleration,” Daniel said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Transformasi Digital Astra Group Lewat Platform Produk Keuangan Terintegrasi “Moxa”

Sejak beberapa tahun terakhir, Astra Group sudah mulai menjejakkan upaya untuk bertransformasi digital. Dalam mengembangkan inisiatif tersebut, perusahaan berkiblat pada tiga pendekatan utama, yaitu memodernisasi core business, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif, dan berinvestasi pada produk di ekosistem digital.

Lewat beberapa anak usaha di bidang pengembangan digital, Astra telah melahirkan sejumlah produk di berbagai kategori layanan, antara lain AstraPay, CariParkir, Sejalan, Movic, dan SEVA. Terbaru, Astra Group melalui PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) merilis platform keuangan digital, yakni Moxa.

Moxa dikembangkan oleh PT Astra Kreasi Digital yang juga berada di bawah naungan Astra Financial. Platform ini sejak awal dirancang sebagai solusi digital terintegrasi bagi seluruh produk keuangan milik Astra Group. Pada kesempatan ini, CEO Moxa Daniel Hartono berbagi paparan lebih dalam mengenai produknya kepada DailySocial.id.

Mengenal Moxa

Moxa alias Mobile Experience by Astra Financial baru meluncur pada Maret 2021. Kendati begitu, Daniel berujar bahwa pengembangan Moxa sebetulnya sudah direncanakan secara matang jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Peluncuran Moxa justru baru dilakukan menyusul tren perubahan gaya hidup masyarakat yang memicu akselerasi layanan digital di Indonesia.

Tren ini juga diperkuat oleh laporan e-Conomy SEA 2020 oleh Google, Temasek, Bain & Company yang menyebutkan sebanyak 37% pengguna internet di Indonesia adalah first time user. Sementara, 93% konsumen digital di Indonesia mengaku akan terus menggunakan platform digital untuk memenuhi kebutuhannya apabila Covid-19 usai.

“Kami melihat Covid-19 mendorong konsumsi digital yang besar di berbagai sektor, termasuk keuangan. Dari situ, Astra Financial akhirnya mengembangkan platform untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang kini semakin tergantung dengan produk digital. Salah satunya lewat Moxa yang terintegrasi, cepat, dan aman,” ujarnya.

Saat ini Moxa menghubungkan konsumen dengan 21 jenis produk finansial milik Astra Group, mulai dari pembiayaan mobil pembiayaan motor, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, pembiayaan alat berat, hingga pinjaman multiguna. Moxa berperan sebagai alternate digital channel bagi para mitra jasa keuangan. Adapun, layanan keuangan sepenuhnya dikelola oleh mitra bisnis.

Budaya kerja agile

Dalam meracik strategi produk dan bisnis, ungkap Daniel, pihaknya menerapkan metode agile yang berfokus pada insight-driven serta mengombinasikan pengalaman puluhan tahun dari bisnis Astra Group. Dari sisi produk, Moxa dan produk digital Astra lainnya dikembangkan dengan mengedepankan konsep Minimum Viable Product (MVP) dan usability testing secara reguler.

“Kami memastikan dapat merumuskan customer pain points, business insight, dan solusi berbasis teknologi di setiap peluncuran fitur atau produk baru Moxa. Tim kami selalu melakukan design thinking bersama segenap tim produk, cabang, teknologi, dan bisnis,” jelasnya.

Dalam perjalanannya, ia menilai kepercayaan dari mitra jasa keuangan memberikan tantangan besar bagi perusahaan. Pasalnya, Moxa harus dapat memberikan nilai tambah yang lebih dibandingkan layanan sejenis yang sudah ada. Tim Moxa juga harus dapat mendigitalisasi proses keuangan yang selama ini sudah berjalan.

Contohnya, digitalisasi pengajuan kredit agar dapat dilakukan secara lebih cepat, mudah, dan aman sesuai koridor regulasi. Pihaknya berkomitmen untuk menyediakan jasa keuangan digital sesuai aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya pikir Moxa berhasil menjawab tantangan tersebut. Sebagai bukti, Moxa mengantongi pencapaian baik meskipun masih tergolong pemain baru. Aplikasi kami sudah diunduh 3,5 juta kali pada periode Maret-Agustus 2021. Perjalanan masih panjang, tetapi kami yakin angka ini menjadi indikator penerimaan pasar yang baik terhadap produk Moxa,” paparnya.

Ekosistem dan kolaborasi

Saat ini, Moxa masih fokus memperkuat ekosistem produk secara inklusif dengan seluruh produk keuangan milik Astra Group. Daniel menargetkan jumlah pengguna Moxa dapat mencapai pertumbuhan hingga lima kali lipat dalam tiga tahun mendatang.

Beberapa kolaborasi inklusif yang telah dilakukan adalah sinergi Moxa dengan dompet digital AstraPay dan platform pinjaman Maucash. Pada sinergi AstraPay, pengguna Moxa dapat menggunakan saldo AstraPay untuk melakukan transaksi.

Di luar sinergi internal ini, Moxa juga berencana membuka ekosistemnya dengan pihak eksternal. Menurut Daniel, pihaknya telah menyiapkan sistem Open API sehingga mempermudah kolaborasi strategis dengan mitra eksternal di masa depan.

Salah satu kolaborasi yang baru terealiasi adalah kerja sama Moxa dengan PermataBank untuk menyediakan fitur Tabungan Permata moxaKu pada awal Agustus ini. Lewat fitur ini, pengguna Moxa dapat membuka rekening tabungan langsung lewat aplikasi tanpa perlu datang ke kantor cabang.

“Saat ini, pengguna layanan Moxa didominasi oleh konsumen yang mengajukan pinjaman di Maucash, pembiayaan dan multiguna untuk motor dan mobil, dan pengajuan asuransi. Kami juga melihat peningkatan pada produk Tabungan Permata moxaKu. Secara total, sudah ada 300 kerja sama Open API di platform Moxa. Kami akan terus memperluas kolaborasinya untuk mendukung akselerasi digital,” kata Daniel.

Application Information Will Show Up Here

Menengok Upaya OCBC NISP Digitalkan Layanan “Trade Finance”

PT OCBC NISP Tbk (IDX: NISP) resmi menghadirkan layanan Bank Garansi berbasis online yang dapat diakses melalui platform Velocity@ocbcnisp. Layanan ini memungkinkan pebisnis untuk melakukan penerbitan dan perubahan Bank Garansi tanpa perlu mendatangi kantor cabang.

Trade Finance Division Head Bank OCBC NISP Gianto Kusno mengungkapkan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan nasabah yang memiliki keterbatasan mobilitas di masa pandemi Covid-19 dengan digitaliasi layanan perbankan bagi korporasi.

Dengan akses baru ini, nasabah dapat mengakses layanan Bank Garansi yang diklaim mudah, cepat, dan aman. Selain hemat biaya dan waktu, nasabah juga tidak direpotkan dengan berbagai proses administrasi berbasis kertas (paperless).

Sebagai informasi, Bank Garansi merupakan salah satu instrumen keuangan penting yang diperlukan dalam proses kerja sama atau perjanjian bisnis, khususnya bagi pelaku usaha yang membutuhkan layanan Trade Finance.

“Sebelumnya, nasabah korporasi bisa memonitor outstanding maupun plafon fasilitas trade yang dimiliki. Kini, nasabah dapat melakukan penerbitan dan perubahan Bank Garansi tanpa perlu datang ke kantor cabang,” ujar Gianto dalam keterangan resminya.

Digitalisasi layanan trade finance

Dihubungi secara terpisah, Gianto mengungkap transformasi layanan perbankan untuk korporasi sebetulnya sudah berjalan sebelum pandemi. Kendati demikian, dengan perkembangan situasi saat ini, pihaknya memastikan akan terus mengakselerasi pengembangan kapabilitas digital agar dapat memenuhi kebutuhan nasabah korporasi.

Salah satu yang sudah terealisasi adalah aplikasi mobile Velocity@ocbcnisp yang meluncur pada April 2020. Setelahnya, perusahaan meluncurkan Velocity@ocbcnisp dalam versi web yang diklaim dirancang dengan standar keamanan tinggi untuk memberikan kebebasan bertransaksi layaknya bertransaksi di kantor cabang.

Yang akan datang, OCBC NISP akan mempersiapkan akses digital untuk fasilitas Trade Finance lainnya. Misalnya, layanan Letter of Credit (LC) dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) agar dapat diakses secara online lewat Velocity@ocbcnisp. Pihaknya menargetkan segala transaksi penerbitan, perubahan, dan pembayaran LC dan SKBDN dapat dilakukan juga di Velocity@ocbcnisp berbasis web.

“Kami melihat transformasi digital yang kami lakukan menjadi sangat relevan [di situasi saat ini], dan kami akan terus mengakselerasinya untuk mendukung nasabah kami saat terjadi pandemi,” ungkapnya.

Gianto mengaku optimistis digitalisasi ini dapat mendorong pertumbuhan layanan Trade Finance mengingat perusahaan telah melihat pertumbuhan positif. Berdasarkan data OCBC NISP, rata-rata nilai transaksi per bulan pada periode pre-Covid (sepanjang 2019) dibandingkan semester I 2021 naik 134%, sedangkan jumlah pengguna naik 22%. Kenaikan ini utamanya disumbang dari Velocity@ocbcnisp berbasis web dan mobile.

“Kami fokus untuk menyosialisasikan berbagai layanan yang dapat dimanfaatkan nasabah korporasi di Velocity@ocbcnisp, baik berbasis web maupun mobile. Kami harap semakin banyak nasabah korporasi memanfaatkan layanan ini.”

Masih banyak andalkan proses berbasis kertas

Sebagaimana dilaporkan dalam 2020 Global Trade Survey yang diterbitkan International Chamber of Commerce, kegiatan perdagangan dan pembiayaan perdagangan atau trade finance mengalami masa krisis akibat Covid-19. Sebanyak 346 responden petinggi bank di 85 negara di dunia mengungkap kekhawatiran adanya potensi penurunan transaksi trade finance.

Terkait kekhawatiran ini, sebanyak 54% responden menilai teknologi transformatif menjadi salah satu prioritas yang perlu dipertimbangkan apabila ingin menamankan pertumbuhan bisnis di masa depan. Menurut responden, teknologi digital dapat membuka peluang transformasi lebih besar di industri keuangan global yang masih identik dengan proses administrasi berbasis kertas.

2020 Global Trade Survey / International Chamber of Commerce

Mengacu pada data di lapangan, transaksi perdagangan belum banyak dilakukan sepenuhnya melalui digital. Masih banyak sektor perbankan yang mengandalkan transaksi berbasis kertas pada kegiatan perdagangan, terutama pada kegiatan verifikasi dokumen, settlement/financing, dan penerbitan.

Application Information Will Show Up Here