Aino Indonesia Bahas Potensi Produk MaaS, IPO, dan Ekspansi Regional

Setelah di spin-off dari Gamatechno menjadi entitas sendiri, Aino (PT Aino Indonesia) mengklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Fokusnya sebagai perusahaan yang mengembangkan Mobility as a Service (MaaS). Salah satu proyek strategis di sektor transportasi yang tengah dijalankan adalah melalui kerja sama dengan PT JakLingko Indonesia (JakLingko).

Dalam konsorsium tersebut [JakLingko], yang juga didukung Grab dan PT Jatelindo Perkasa Abadi Indonesia, akan menyatukan kekuatan perusahaan teknologi, perusahaan swasta, dan pemerintah dalam mewujudkan sistem transportasi pintar. Tujuannya untuk meningkatkan kecepatan, kemudahan, keamanan, dan keandalan transportasi umum.

“Dalam waktu 8 tahun ke depan kami akan fokus mengembangkan teknologi untuk memperkuat ekosistem menghadirkan teknologi dan layanan yang relevan untuk membangun platform JakLingko,” kata Direktur Utama PT Aino Indonesia Hastono Bayu Trisnanto.

Ke depannya diharapkan akan tercipta sebuah platform terpusat yang menyasar sektor transportasi. Sehingga semua layanan dan produk bisa terintegrasi untuk mendukung dan memperkuat ekosistem transportasi di Indonesia. Untuk tahap awal, proyek ini akan fokus kepada wilayah Jabodetabek dulu.

“Kita menyediakan teknologi yang membantu masyarakat dan pemerintah memberikan pelayanan yang optimal dengan MaaS. Dengan demikian nantinya melalui data insight bisa diketahui pergerakan perjalanan masyarakat umum, untuk bisa menentukan tarif yang sesuai bagi masing-masing pengguna,” kata Bayu.

Untuk memperkuat ekosistem yang ada, Aino juga membuka kesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan perusahaan terkait hingga startup. Harapannya nanti dalam satu platform bisa dinikmati berbagai macam layanan dan fasilitas, terintegrasi dengan multi moda transportasi yang ada, termasuk di antaranya termasuk MRTJ, TransJakarta, LRT (Jakpro), KCI, dan Railink.

Inovasi bisnis Aino Indonesia

Salah satu produk andalan Aino berbentuk platform payment gateway. Namun mereka memiliki fokus spesifik ke sektor transportasi saja. Hal tersebut yang membedakan mereka dengan platform lainnya seperti Doku, Midtrans, hingga Xendit yang fokusnya kebanyakan ke layanan e-commerce dan ritel.

Menurut Bayu perbedaan fokus bisnis tersebut yang mampu menciptakan pertumbuhan positif di Aino Indonesia.

Selain itu, Aino Indonesia juga telah memiliki sejumlah lini produk, di antaranya adalah Airis E-ticketing System, Aino Loyalty, Mobile Point of Sales, dan Touchless Parking System.

Ada pula beberapa produk aplikasi yang kemudian dikembangkan. Salah satunya adalah platform “PesenYuk!” yang fokus kepada pemesanan dan pembelian makan dan minuman. Awalnya produk ini diaplikasikan di tempat wisata agar para pengunjung tidak perlu antre saat ingin membeli makan dan minuman. Ke depannya, platform ini juga bisa digunakan oleh pengguna transportasi umum.

Teknologi lainnya yang juga sudah dikembangkan adalah Touchless Parking System. Masih fokus kepada beberapa lokasi khusus seperti bandara dan Stadion Utama Gelora Bung Karno, dengan konsep Tap in Tap Go, memudahkan pengunjung untuk melakukan pembayaran secara otomatis.

Bersama mitra strategis yaitu Pemprov DKI, juga telah dikembangkan teknologi ini di beberapa titik lokasi di mana Park & Ride berada. Park & Ride merupakan sistem penyediaan lahan parkir di lokasi strategis sehingga pengendara bisa memarkirkan kendaraan dan melanjutkan perjalanan dengan transportasi umum.

Rencana ekspansi ke Vietnam dan IPO

Direksi Aino Indonesia (Syafri Yuzal – COO, Hastono Bayu – CEO)

Dilihat dari potensi yang ada, Aino memiliki rencana untuk ekspansi secara regional, dimulai dari Vietnam. Mengincar industri transportasi di sana, integrasi multi-moda dinilai ideal untuk mereka garap. Untuk melancarkan rencana mereka melakukan ekspansi ke Vietnam dan mengembangkan layanan yang serupa dengan yang mereka lakukan di tanah air, Aino juga berencana untuk melakukan IPO tahun 2023 mendatang.

“Ada strategic alignment yang masih on-going hingga saat ini yang sedang kita susun, agar target ekspansi bisa berjalan selaras. Termasuk di antaranya kolaboratif ekosistem, kita sedang mencari beberapa angle agar bisa menjaga jaringan dan layanan Aino Indonesia,” kata Bayu.

Pada bulan April 2019 lalu Aino telah menyelesaikan pendanaan venture round dari perusahaan asal Jepang bernama TIS. Nilai pendanaan yang didapat mencapai $4 juta (setara dengan 57 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut akan difokuskan untuk pengembangan produk dan ekspansi bisnis.

Sementara itu baru-baru ini perusahaan juga telah merampungkan penggalangan dana tahapan Pra-Seri B. Investor yang terlibat dalam putaran pendanaan tersebut di antaranya adalah dari investor sebelumnya yaitu TIS bersama dengan Nippon Koei. Sebelumnya Aino Indonesia juga telah didukung oleh NTT Data dan Indogen Capital.

Hubungan Baik Gojek dan Transportasi Publik

Saat ini Gojek menjadi salah satu aplikasi yang cukup lengkap menyediakan beberapa layanan. Mulai dari transportasi, makanan, hingga layanan keuangan. Selain berusaha menjadi aplikasi super, Gojek tak melupakan awal berjalannya sebagai aplikasi transportasi. Di bidang transportasi Gojek tengah berusaha menjadi pelengkap transportasi publik.

Head of Product for Transport Gojek Vikrama Dhiman menegaskan, pihaknya selalu berusaha menghadirkan solusi komprehensif yang mewujudkan integrasi transportasi berbagai moda yang memudahkan sekaligus menjadi bagian dari transportasi publik.

“Data kami menyatakan bahwa jumlah perjalanan dengan Gojek (first-mile-last-mile) ke pusat transportasi publik juga menghemat waktu perjalanan hingga 40% pada jam-jam sibuk. Data internal kami juga menyatakan 1 dari 2 pelanggan Gojek pernah menggunakan layanan Gojek dari atau menuju hub transportasi,” terang Vikrama.

Vikrama juga menjelaskan bahwa pengguna GoRide dan GoCar untuk mencapai stasiun MRT pada Desember 2019 meningkat hampir 7 kali lipat sejak layanan kereta cepat tersebut pertama kali diluncurkan. Sebelas lokasi stasiun KRL Commuter Line dan Kereta Jarak Jauh juga disebut menjadi titik berangkat dan tujuan paling sering pengguna GoRide di wilayah Jabodetabek.

“Fitur dan layanan GoRide Instan mampu memangkas waktu tunggu pengguna hingga 40% di berbagai titik hubung transportasi publik seperti Stasiun MRT, KRL, dan Transjakarta,” imbuh Vikrama.

Untuk meningkatkan integrasi dengan transportasi berbagai moda Gojek juga sudah menghadirkan GoTransit. Sebuah layanan yang ditujukan untuk membantu pengguna untuk merencanakan dan memantau perjalanan dari/ke berbagai titik hub transportasi publik, lengkap dengan rekomendasi rute transportasi publik.

“Nantinya, layanan GoTransit ini akan memungkinkan pemesanan maupun pembelian tiket transportasi multimoda. Perjalanan yang lebih terhubung kami percayai bisa membuat masyarakat lebih banyak menggunakan transportasi publik,” lanjut Vikrama.

Prediksi masa depan transportasi di Indonesia

Vikrama lebih jauh memprediksi bahwa masa depan transportasi di Indonesia akan banyak mengadopsi teknologi kendaraan elektrik, autonomous vehicles, stasiun pengisian baterai, dan pembenahan infrastruktur umum di seluruh kota. Sambil menunggu ke arah sana, Gojek berharap bisa terus berkolaborasi dengan pemerintah dengan membantu masyarakat terhubung dengan transportasi publik seperti yang sudah mereka lakukan di 4 stasiun terpadu: Juanda, Tanah Abang, Pasar Senen, dan Sudirman.

Pihak Gojek juga menjelaskan bahwa mereka sangat peduli terhadap lingkungan dengan mempromosikan penggunaan transportasi umum dan kendaraan listrik. Salah satu bentuk kepedulian tersebut adalah inovasi berupa fitur (GoGreener) dalam aplikasi yang memungkinkan konsumen Gojek menyerap jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari dan mengonversinya dengan penanaman pohon.

“Inovasi ini menjadikan Gojek sebagai penyedia layanan ride-hailing pertama di Indonesia dan dunia yang mengembangkan inovasi carbon offset secara B2C. Upaya gotong royong ini diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk berperan aktif dalam melestarikan lingkungan hidup,” tutup Vikrama.

Application Information Will Show Up Here

Manuver Blue Bird Hadapi Pandemi Lewat Akselerasi Digital

Ketika Gojek dan platform on-demand lainnya beroperasi secara komersial, sejumlah penyedia jasa transportasi konvensional sempat berteriak. Gojek dinilai telah mendisrupsi bisnis transportasi yang sudah ada. Kehadiran layanan seperti ini bahkan sempat memunculkan perseteruan antara penyedia transportasi konvensional vs on-demand.

Selang beberapa tahun kemudian, situasinya berkebalikan. Penyedia jasa transportasi konvensional maupun on-demand kini saling merangkul untuk me-leverage peluang baru lewat teknologi.

Konteks di atas turut terjadi pada operator taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang pada akhirnya berkolaborasi dengan Gojek di 2016. Korporasi semakin melihat esensi digitalisasi terhadap keberlangsungan bisnis. 

Lalu bagaimana manuver Blue Bird menghadapi perkembangan digital, terutama di masa pandemi? Simak selengkapnya lewat wawancara DailySocial dengan Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto.

Transformasi digital Blue Bird

Bicara transformasi digital, Blue Bird dinilai perlu mengambil langkah baru dengan posisinya sebagai operator taksi terbesar di Indonesia. Apalagi, teknologi telah mengubah bagaimana pasar berperilaku.

Sejak 2015 hingga 2019, Blue Bird mencatatkan penurunan pada kinerja keuangannya. Puncak penurunan ini mulai terlihat pada pendapatan Blue Bird di periode 2015-2017, di mana saat itu popularitas layanan transportasi on-demand tengah meroket di sejumlah kota besar Indonesia.

Penurunan kinerja Blue Bird dalam 4 tahun terakhir

Yang tidak banyak diketahui, Blue Bird sebetulnya sudah lebih dulu mengembangkan aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird sekitar 2011/2012. Dapat dikatakan aplikasi ini sudah jauh lebih dulu meluncur sebelum Gojek.

Menurut Andeka Putra, mantan Chief Information Officer Blue Bird di wawancara terdahulu, My Blue Bird kurang dipromosikan dengan baik sehingga popularitasnya belum dapat mengejar transportasi on-demand.

Kini, Paul Soegianto mengomandoi transformasi digital yang gencar dilakukan sejak tahun lalu oleh divisi Strategic Transformation Office (STO) untuk mengelola strategi, portofolio, dan transformasi digital perusahaan. Sebelumnya, transformasi digital dieksekusi divisi Business Transformation Office (BTO).

Paul mengungkap ada sejumlah inisiatif baru untuk mengakselerasi bisnisnya. Sebagai perusahaan berbasis aset, ia menilai Blue Bird perlu melakukan diferensiasi dengan kompetitor. Per akhir 2019, Blue Bird memiliki 20.633 unit armada taksi reguler, 883 unit taksi eksekutif, 6.231 unit limosin dan mobil sewaan, dan 601 unit bus.

Fokus utamanya adalah menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) di mana perusahaan menggunakan tiga pendekatan utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Pendekatan pertama, multichannel, adalah memperluas akses layanan transportasi Blue Bird di lebih dari satu channel. Sebelumnya, layanan ini sudah tersedia di Gojek dan Traveloka. “Kami akan perbanyak channel ini, akan ada akhir September ini,” ungkapnya di sesi virtual meet dengan DailySocial.

Saat ini My Blue Bird menjadi platform utama perusahaan dalam pemesanan taksi. Menurut Paul, aplikasi tersebut akan hadir dengan sejumlah pembaruan pada Desember mendatang.

Blue Bird juga melakukan diferensiasi layanan di luar jasa transportasi, yakni sewa mobil dan bus, serta logistik. Paul juga menargetkan layanan tersebut juga dapat dipesan melalui multiplatform.

“Terkait mobility partnership, kami juga akan umumkan kolaborasi dengan salah satu perusahaan besar di Indonesia untuk layanan multimoda. Ini berkaitan ke multiproduct/service tadi,” ungkap Paul.

Terakhir adalah multipayment. Opsi pembayaran beragam dinilai menjadi salah satu kunci utama di era inklusivitas layanan. Apalagi masuknya Gojek sebagai pemegang saham minoritas Blue Bird akan memungkinkan integrasi GoPay ke layanan My Blue Bird.

“Semua layanan Blue Bird menerima jenis pembayaran nontunai, termasuk platform digital. Bahkan sejak empat bulan terakhir, kami sudah roll out Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke 12.000 armada Blue Bird dan sudah selesai,” tambahnya.

Tak kalah penting, lanjut Paul, perusahaan juga berupaya mendigitalisasi semua armada taksi selama sebulan terakhir. Paul mengungkap bahwa kini setiap armada dilengkapi front panel yang dapat mengukur sensor di dalam taksi, melakukan tracking akurat dengan GPS, dan safety management.

“Kami mendukung ujung tombak (pengemudi) dengan teknologi, seperti IoT dan AI. Sekarang kami lagi moving semuanya ke cloud based. Sistem dan jaringan juga kami revamp supaya baru semua di akhir tahun ini. Ini semua untuk meyakinkan konsumen bahwa kami dapat memenuhi good factor layanan kami,” paparnya.

Masuk ke layanan logistik

Pandemi Covid-19 sangat memukul sektor transportasi di dunia. Dampaknya turut dirasakan Blue Bird akibat kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan kegiatan kerja dan sekolah di rumah.

Berdasarkan kinerja di kuartal II 2020, Blue Bird mengalami penurunan signifikan pada total pendapatan dan laba. Pandemi membuat kontribusi pendapatan dari jasa taksi Blue Bird turun 43 persen menjadi Rp865 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu Rp1,5 triliun.

Dampak pandemi terhadap kinerja Blue Bird
Sumber: Laporan Keuangan Kuartal II (2019-2020) / Diolah kembali oleh DailySocial

Blue Bird melakukan manuver dengan masuk ke layanan logistik sejak Maret lalu. Perusahaan memperkenalkan program COD (Chat-Order-Delivery) Blue Bird yang dapat dipesan melalui WhatsApp. Layanan ini tersedia untuk kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, dan Palembang.

Program COD ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah layanan baru, BirdKirim. Pelanggan dapat mengantar barang atau dokumen yang tarifnya disesuaikan dengan jarak kirim. Layanan yang tersedia di aplikasi My Bluebird ini diperkenalkan pada Juni lalu.

“Sekarang kami tinggal tunggu [pengembangan] untuk layanan logistik grosir, jadi dapat dipesan via aplikasi juga. Bagi kami, layanan logistik untuk korporasi sangat menarik. Sudah banyak perusahaan besar yang memindahkan layanan logistiknya ke kami. Ada [platform] e-commerce B2B yang pengiriman logistiknya sudah pakai jasa Blue Bird, hanya saja belum bisa kami umumkan,” jelasnya.

Selain itu, Paul mengungkap bahwa pihaknya berencana mengumumkan kolaborasi dengan salah satu startup logistik yang sudah berjalan sejak Maret lalu. Lewat upaya kolaborasi ini, perusahaan memproyeksikan pertumbuhan bagus dari layanan logistik.

Menentukan “Make-or-buy decision”

Bicara tentang pengembangan inovasi, baik sendiri maupun kolaborasi ini, tentu dibutuhkan komitmen solid dari top level. Dalam prosesnya, Paul menegaskan pentingnya menerapkan strategi “make-or-buy decision“.

Menurutnya, model ini belum diterapkan dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Di Blue Bird sendiri, Paul mengaku terus mengamati kapabilitas perusahaan untuk memahami perlunya pengembangan sendiri, pengelolaan sendiri, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga.

Sebetulnya model ini sudah tak asing bagi korporasi. Umumnya, strategi membeli lewat akuisisi sering dipilih karena lebih efisien secara waktu dan sumber daya. Dan konsep ini dinilai lebih cepat untuk men-deliver layanan di pasar. Namun, mengembangkan sendiri juga tidak ada salahnya selama ada modal dan sumber daya yang cukup dan mumpuni.

Di konteks ini, saham minoritas Blue Bird bahkan telah diakuisisi Gojek senilai $30 juta atau sekitar Rp411 miliar) pada Februari 2020.

Sampai saat ini belum diketahui rencana besar apa di balik pembelian saham Blue Bird oleh Gojek. Yang pasti, Blue Bird saat ini tengah menyiapkan sinergi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Paul sendiri menolak berkomentar terkait rencana selanjutnya dari akuisisi tersebut.

“Beberapa hal yang bukan kompetensi Blue Bird pasti akan kami beli. Artinya, skema beli ini untuk long term partnership. Sebentar lagi, Blue Bird akan ada tanda tangan kontrak besar terkait hal ini,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

What Happens If Gojek to Merge with Grab

The rumor of potential merger between the two Southeast Asia’s giant on-demand players Grab and Gojek backs on air. After The Ken (paywall) and Tech InAsia (paywall), now The Information (paywall) also informed the “first talk” of the issue.

It was said that the management of the two companies had met over the past two years and had intensified in recent months, including news of a meeting between Grab’s President Ming Maa with Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo.

Furthermore, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

The basic question is why. Aren’t they both want to win the Southeast Asian market? The answer is clear. The key to domination is a monopoly and this is not one unique case.

“Burn Money” and profitable plans

In the last 4-5 years, the battle between players in this industry has been characterized by the “burning money” strategy for the sake of a very fast market acquisition. Despite having a very large market in Southeast Asia, both have not yet reached the point of a profitable business. With investor funds wearing down, by 2020 promos have been decreased, both companies have to “change the game”. They must reach the level of profitability and satisfy the investors.

Uber has made it in China, Russia, and Southeast Asia. The sense of being unable to compete created a win-win solution through acquisition – with significant value of shareholder as one condition. Didi in China was formed as a result of the merger of two big local players.

The rule of monopoly is to create one winner. As for the investors that back the company.

Monopolize Southeast Asian market has been quite delish
Monopolizing Southeast Asian market has been quite delish

Monopolizing the Southeast Asian market, the potential merger between Gojek and Grab has been quite delish. Both have dominated the on-demand transportation market, food delivery, and online payments (GoPay and Ovo). The value may be greater than the two companies combined (more than $ 20 billion).

Imagine if both of them monopolized the market. There is no longer a price war. There is only one cost that must be paid by consumers and it will not be cheap in order to achieve economic value. There are not many choices left (except taxis, but Blue Bird and Gojek have just agreed on a strategic alliance).

Competition is good for consumers, but not for the players in it. What happens if the position is reversed. No more competition?

A concrete case is when Didi acquired the Uber business in China in 2016. After the acquisition, Didi controlled 90% of the market. In 2018, a complaint often comes from the driver’s partner as their incentive declining.

On the other hand, consumers find it difficult to quickly get a vehicle and it comes with a higher price. The survey in 2017 stated that 81.7% of respondents believed that it was more difficult to get a vehicle than the previous year (when Uber was still operating), while 86.6% considered the price more expensive.

The challenges

There are three main challenges. First, is about ego. As fellow leading players, it’s not easy to combine both companies in one direction. There must be one dominant party. Solving this issue will be a crucial key.

The second is regulatory issues. Market monopoly in Indonesia is listed in the KPPU domain. Usually, this issue is not likely to escape the KPPU examination, but reflecting from other countries’ experience and other cases, as for example Grab acquisition of Uber business in Southeast Asian countries, it all leads to fines. There are no more severe sanctions than this.

The last challenge is on the stakeholders. This is related to driver-partners and consumers. The risk to occurs when there is no longer a competition is a decreasing number of driver-partners (imagine there is only one company on the road) and the service costs in line with the economic unit (read: more expensive as without subsidies).

The bigger question is not about whether Grab and Gojek can merge. The must-asked question is, are we ready to have our various needs of services monopolized by just one company. What would your answer be?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

Analyzing Gojek’s Decision to Acquire Minority Ownership of Blue Bird

In the recent regulatory filing on February 14th, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) announced the operator’s holding company has sold 4.3% stock worth of $30 million (411 billion Rupiah) to the undisclosed buyer. Bloomberg named Gojek as a buyer, according to the rumor spread since the end of last year.

The public must be questioning the reason behind Gojek’s interest in Indonesian largest taxi company stocks. Based on our observation, there are certain points of concern when Gojek, in collaboration with Blue Bird trying to dominate the on-demand transportation services market in Indonesia.

Alliance and Innovation

The enemy of my enemy is my friend. Dealing with Grab and the large sum cash poured by its investors, including electric car development, the adage sounds legit as Gojek took (and tie) Blue Bird to join forces in “winning” the Indonesian market.

Grab has quite rapid innovation in Indonesia within the last year by initiating Greenline taxi and introducing the electric fleet with Hyundai — as one of its investors.

Rather than individually “battling”, the two ally and innovate. Blue Bird has a diversified broad product line, including BYD and Tesla electric cars, however, lacks of assignments on digital innovation.

In addition, Gojek has the most rapid innovation, including the payment channel, though a lack of diversification in transportation products. They are very dependent on the driver’s partner vehicles.

Digital transformation of Blue Bird

As a publicly listed company, it is literally visible that Blue Bird’s market capitalization and profits have not improved since its peak in early 2015 (before the high-penetration of on-demand services in Indonesia).

BIRD stock exchange in the last 5 years
BIRD stock exchange in the last 5 years

The current value of Blue Bird’s share then is at Rp 12,100. As of this writing 5 years later, the number has shrunk to Rp 2,400, it shows the company’s market capitalization to only one fifth.

Officially introduced as (minority) owner, Gojek should put technology transfer, such as a mapping system, PoI (Point of Interest) determination, and ways of communicating between drivers and passengers as its current focus.

This collaboration should be the green light, especially for public investors, that Blue Bird can afford to be sustainable and relevant. Unlike other taxi companies that flunked in a storm of on-demand services with heavy cash to burn.

Will this become a new trend?

We’ll have to wait and see, for the results of a broader partnership between the two companies this year. Gojek’s focus on pursuing revenues and profits has met its match with Blue Bird Corporation.

It is too early to speculate the angle of this collaboration, or whether synergy like this will become a new trend between technology startups and conventional companies.

The thing is, Gojek has been one step ahead in pulling Blue Bird, as a taxi company with the best brand value, from the pool of tempting competitors. It is not impossible that we will see GoSilverBird or GoBlueBirdElectric options in the near future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Alasan Gojek Ambil Saham Minoritas Blue Bird

Di keterbukaan tanggal 14 Februari lalu, PT Blue Bird Tbk (Blue Bird) mengakui bahwa keluarga pengendali perusahaan telah menjual 4,3% saham senilai sekitar $30 juta (411 miliar Rupiah) ke pembeli yang tidak disebutkan namanya. Bloomberg menyebutkan pembelinya adalah Gojek yang rumornya sudah berseliweran sejak akhir tahun lalu.

Publik tentu bertanya-tanya kenapa Gojek sangat meminati saham perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini. Menurut hemat kami, ada beberapa poin yang menjadi perhatian tentang ketika Gojek menggandeng Blue Bird dalam usahanya bersama-sama mendominasi pasar layanan transportasi on-demand di Indonesia.

Aliansi dan inovasi

The enemy of my enemy is my friend. Menghadapi Grab yang memiliki pendanaan besar dari investor-investornya, termasuk pengembangan mobil listrik, adagium tersebut terasa logis ketika Gojek menggandeng (dan mengikat) Blue Bird untuk bersama-sama “memenangkan” pasar Indonesia.

Inovasi Grab dalam setahun terakhir ini di Indonesia termasuk pesat dengan menginisiasi lini taksi Greenline dan menghadirkan lini mobil listrik bersama Hyundai–sebagai salah satu investornya.

Ketimbang sendiri-sendiri “berperang”, keduanya beraliansi dan berinovasi. Blue Bird memiliki diversifikasi lini produk yang luas, termasuk mobil listrik BYD dan Tesla, di berbagai kota besar Indonesia tapi memiliki PR besar soal inovasi digital.

Di sisi lain, Gojek termasuk dalam jajaran startup yang paling cepat inovasinya, termasuk lini pembayaran, tapi memiliki kekurangan diversifikasi lini produk transportasi. Mereka sangat bergantung pada kendaraan mitra pengemudi.

Transformasi digital untuk Blue Bird

Sebagai sebuah perusahaan terbuka, sesungguhnya sangat terlihat bahwa kapitalisasi pasar Blue Bird dan profitnya tidak kunjung membaik sejak puncaknya di awal 2015 (sebelum booming layanan on-demand masuk Indonesia).

Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir
Pergerakan nilai saham BIRD dalam 5 tahun terakhir

Kala itu nilai per lembar saham Blue Bird mencapai angka Rp12.100. Per tulisan ini dibuat 5 tahun kemudian, angkanya menyusut menjadi Rp2400-an, artinya kapitalisasi pasar perusahaan hanya tinggal seperlimanya.

Dengan secara resmi menjadi pemilik (minoritas), transfer teknologi, misalnya sistem pemetaan, penentuan PoI (Point of Interest), dan cara berkomunikasi pengemudi dan penumpang seharusnya menjadi agenda Gojek.

Diharapkan kolaborasi ini bisa menjadi sinyal positif, terutama bagi investor publik, bahwa Blue Bird dapat terus bertahan dan relevan. Tidak seperti perusahaan taksi lainnya yang luluh lantah di antara badai layanan on-demand dengan suntikan dana jor-joran.

Apakah bakal menjadi tren?

Kita harus wait and see melihat hasil kemitraan yang lebih luas antar kedua perusahaan tahun ini. Fokus Gojek yang mulai mengejar pendapatan dan keuntungan semakin pas disandingkan dengan korporasi seperti Blue Bird.

Masih terlalu prematur untuk berspekulasi tentang arah kolaborasi keduanya, atau apakah sinergi seperti ini bakal menjadi tren baru antara startup teknologi dan perusahaan konvensional.

Yang jelas Gojek telah satu langkah di depan dalam membentengi Blue Bird, sebagai perusahaan taksi dengan brand value terbaik, dari godaan kompetitor-kompetitornya. Bukan tidak mungkin kita akan melihat pilihan GoSilverBird atau GoBlueBirdElektrik dalam waktu ke dekat.

Grab Expands GrabWheels to Universitas Indonesia

Grab expands the electric scooter GrabWheels coverage to the Engineer Faculty of Universitas Indonesia. This is the following step of the strategic partnership between Grab and UI in May 2019 at the UI Works accelerator program.

Grab Indonesia’s President, Ridzki Kramadibrata said, UI’s Engineer Faculty becomes the second place for GrabWheels business after The Breeze, BSD. He expects this mode can be used by lecturers, students, and all UI’s academic communities daily.

In addition, with a strong background in engineering, students and lecturers can give advice, in terms of technology and user experience for better GrabWheels.

“Feedback is very important to us for GrabWheels can keep expanding to other locations,” he said on Wed (7/17).

UI’s Dean of Engineer Faculty, Hendri D.S. Budiono added, based on area, Engineer Faculty is the second largest in UI that’s quite necessary for mobility vehicles in daily activity. The road infrastructure is getting better for the electric scooter around campus area.

In fact, GrabWheels shared the same vision with the faculty in developing IT-based environment. He also expects this collaboration can build-up student’s research and innovation spirit to bring this country on top through technology.

Grab is currently providing 45 units for GrabWheels to use around UI’s Engineer Faculty area. The cost hasn’t been set, it’s free. Only, there will be market education for security behavior through direct message in GrabWheels app.

Users are required to use the helmet for a safety standard. During the trial, Grab provides a special team to help the users for technical issues.

Ridzki said their team is to add up more units, based on demand. Furthermore, GrabWheels is to be available in all over UI. It is soon to be launched in Grab’s main app.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gofleet Mulai Beroperasi, Solusi Bagi Mitra Go-Car yang Tak Punya Mobil

Solusi mobilitas Gofleet yang diusung Gojek dan PT Astra International Tbk (Astra) efektif beroperasi mulai hari ini. Gofleet menargetkan melepas 1000 mobil ke para pengemudi Go-Car hingga akhir tahun ini.

Peresmian operasional Gofleet ini dihelat di ajang GIIAS, BSD, Kamis, (18/7), siang. Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim dan Presiden Direktur Astra Prijono Sugiarto turut menghadiri acara tersebut.

Presiden Direktur Gofleet Meliza M. Rusli menuturkan, produk mereka ini ditujukan bagi mitra pengemudi Go-Car. Meliza mengklaim layanan ini akan mempermudah akses masyarakat yang tak memiliki mobil namun ingin bergabung dengan Go-Car.

“Solusi mobilitas buat mitra driver yang tergabung dalam Go-Car. Kami memberikan kendaraan kepada semua mitra kami,” ujar Meliza.

Konsumen dalam bisnis patungan Gojek dan Astra ini adalah para pengemudi Go-Car. Untuk memperoleh mobil dari Gofleet ini, mitra pengemudi Go-Car membayar biaya komitmen sebesar Rp1,5 juta saat baru bergabung. Setelahnya, mereka membayar biaya berlangganan sebesar Rp1.180.000 setiap pekan.

Direktur Gofleet Pandu Adi Laras menerangkan, keikutsertaan mitra pengemudi dalam layanan ini dapat terus berlanjut selama mereka membayar biaya berlangganan yang akan ditagih secara harian.

“Kalau dia mau melanjutkan berlangganannya, baru dia bayar lagi,” ucap Pandu.

Konsepnya mirip dengan skema pengemudi dan perusahaan taksi. Dengan biaya tersebut, Gofleet menjamin fasilitas perawatan mobil, servis kendaraan, asuransi, hingga pemasangan layar LED untuk ruang beriklan di dalam mobil.

“Dan yang terpenting adalah mereka bisa dapat akses untuk tambahan pendapatan karena kan kendaraan yang mereka bawa sekarang sudah ada LED-nya, dari monetisasinya mereka dapat uang,” imbuh Pandu.

Saat ini hanya ada dua tipe mobil yang disediakan Gofleet, yakni Avanza dan Xenia. Mereka menargetkan ada 1000 mobil yang terserap lewat layanan tersebut.

Gofleet ini merupakan hasil kerja sama antara Astra dan Gojek lewat perusahaan joint venture mereka, yakni PT Solusi Mobilitas Bangsa. Perusahaan patungan itu resmi dibentuk pada Maret 2019, ketika Astra kembali menyuntikkan investasi sebesar US$100 juta atau setara Rp1,4 triliun. Total investasi dari Astra untuk Gojek mencapai US$250 juta atau Rp3,5 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Grab Dukung Taksi Pelat Kuning Berbasis Teknologi “GreenLine Taxi”

Grab mulai memperkenalkan layanan teranyar “GreenLine Taxi Powered by Grab”, yang merupakan taksi konvensional pelat kuning dan sudah dibekali dengan teknologi Grab. Taksi ini sudah bisa ditemui di Plaza Semanggi Jakarta yang memang terafiliasi dengan Grup Lippo.

President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata, di sela-sela peluncuran GrabWheels di Universitas Indonesia, mengonfirmasi kehadiran GreenLine Taxi ini adalah hasil kolaborasi dengan penyedia jasa transportasi yang segera masuk ke dalam ekosistem Grab. Secara resmi, layanan tersebut diperkenalkan pada 5 Juli 2019.

“Grab ini sebagai mitra teknologi untuk taksi GreenLine. Walaupun pelat kuning, tidak masalah karena mereka sudah dukung teknologi terdepan. Kami permudah transaksinya jadi cashless, bisa beli snack bayarnya juga non tunai,” terangnya, Rabu (17/7).

GreenLine Taxi adalah brand dari perusahaan taksi PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI). Dalam sebuah tayangan yang diunggah di YouTube, taksi ini sudah dilengkapi dengan boks berisi snack yang bisa dibeli dan dibayar secara cashless lewat Ovo dan tablet berisi tayangan hiburan dari Hooq atau streaming YouTube.

Menariknya, selayaknya taksi konvensional pada umumnya, penumpang bisa memesannya dari pinggir jalan atau lewat aplikasi Grab. Apabila pesan secara offline, sistem pembayarannya berdasarkan argometer. Pembayarannya bisa dengan Ovo dengan scan barcode.

Setiap kendaraan dilengkapi juga dengan kamera keamanan demi meminimalisir potensi kejahatan yang mungkin terjadi. Mitra pengemudi yang bergabung ditawarkan sejumlah insentif, seperti bonus reward, asuransi anak, beasiswa pendidikan, dan berkesempatan memiliki kendaraan jadi milik pribadi.

Ridzki menyebutkan GreenLine sudah melakukan debut di beberapa lokasi, salah satunya di Plaza Semanggi Jakarta. Pengguna bisa menemukan logo GreenLine dengan mudah di halaman parkir mall tersebut.

Application Information Will Show Up Here