Mengenal Oval, Platform Media Sosial Khusus Perbincangan Seputar Investasi

Efek domino yang terlihat dari meningkatnya jumlah investor baru selama pandemi adalah kebutuhan meng-upgrade diri dalam mengakses konten-konten finansial. Sumber informasi tersebut dapat diperoleh dengan cara gratis dan juga berbayar. Akan tetapi, perjuangan untuk memperolehnya terpencar di berbagai sumber. Siapa sangka ternyata pengalaman berinvestasi itu ternyata sesunyi ini, terutama bagi investor pemula.

Permasalahan tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Oval, platform media sosial khusus investasi. Ide startup ini muncul dari tiga orang, yakni Ariestyo Reza (CEO), Danny Sudarsono (COO), dan Vivian Secakusuma (CSO). Ketiganya adalah rekan kerja dengan latar belakang yang saling mendukung satu sama lain di lintas industri finansial hingga berhasil meluncurkan Oval.

Ariestyo punya pengalaman kuat di bidang finansial, lewat bekerja di London Stock Exchange, VC asal Singapura, MUFG, dan lulusan London Business School. Sementara Danny pernah menjadi co-founder untuk aplikasi manajemen keuangan personal, dan Vivian sebelumnya menjabat sebagai pimpinan tertinggi di BNP Paribas.

Problem-nya sendiri kita temukan saat maraknya pertumbuhan investor sejak pandemi. Lalu, kita lihat experience berinvestasi selama ini lonely experience. Orang pasti pergi mencari komunitas yang sesuai minat mereka tapi belum ada satu wadah untuk mereka,” ucap Ariestyo kepada DailySocial.id.

Riset tentang komunitas

Mengutip dari survei yang dilakukan Tokenomy dan Indodax di 2021, ditemukan bahwa kehadiran komunitas yang berisi kelompok investor tertentu penting karena membantu mereka memahami kelancaran teknis. Sebab, nantinya dapat membentuk cara mereka mengambil keputusan investasi dan membantu adopsi teknologi baru di masa depan.

Dalam survei juga ditemukan bahwa satu dari tiap tiga responden menyatakan tidak terbiasa dengan konsep di balik blockchain. Secara rata-rata para investor Indonesia adalah bagian dari satu hingga tiga komunitas online yang berbeda (Telegram, grup Facebook) — komunitas ini digunakan untuk kampanye pemasaran terpadu dan tujuan pendidikan.

Laporan lain yang disusun oleh YouGov bertajuk The Power of Virtual Communities 2021, memperlihatkan bahwa semakin banyak orang di seluruh dunia yang menemukan makna dan rasa memiliki terutama dalam kelompok online. Dalam survei tersebut, sekitar 1.000 responden di masing-masing dari 15 negara ditanya apakah kelompok terpenting yang mereka ikuti berada di channel online, offline, atau keduanya.

Hasilnya, sebanyak 11 dari 15 negara menyatakan proporsi terbesar kelompok terpenting bagi mereka adalah channel online. Dari 11 negara tersebut, tiga negara di antaranya memegang proporsinya sebesar 50%. Mereka adalah Brazil, Maroko, dan Meksiko. Indonesia sendiri masuk dalam kelompok responden yang mayoritas memilih kanal online sebanyak 49,28%. Lalu disusul campuran (online-offline) sebanyak 32,57%, dan offline saja (18,15%).

Selanjutnya, temuan survei lain menunjukkan bahwa kelompok online yang paling banyak menghasilkan rasa memiliki terbesar adalah, berlawanan dengan intuisi, kelompok yang memiliki ikatan dengan komunitas dan kota lokal. Sebanyak 38% responden menominasikan kategori kelompok tersebut sebagai menghasilkan “cukup banyak atau banyak rasa memiliki”, sementara hanya 12% responden menominasikan kelompok global.

Hal lainnya yang cukup menarik, mereka mengungkapkan kelompok online yang diikuti memiliki seorang pemimpin yang kuat dan inklusif. Ada tiga sifat paling penting dalam diri seorang pemimpin, ialah menerima perbedaan pendapat di antara anggota, terlihat dan berkomunikasi dengan baik, dan bertindak secara etis setiap waktu.

Solusi Oval

Berdasarkan hasil temuan di atas, membentuk konsep Oval yang sangat mengedepankan unsur komunitas. Ariestyo menuturkan, Oval menyediakan platform media sosial untuk memfasilitasi pembelajaran dan berinteraksi antara investor dengan para ahli dan pemengaruh finansial (key opinion leader/KOL) terverifikasi dalam satu grup.

Selayaknya platform media sosial, Oval terbuka untuk untuk membahas semua jenis produk investasi, baik paper asset maupun physical asset, demi meningkatkan literasi dan jumlah investor di Indonesia. Terdapat 10 kelas aset yang dapat dibahas antar pengguna, mulai dari saham, reksa dana, emas, properti, FX, dan mata uang kripto.

Pengguna dapat mengunggah tulisan, menaruh link, dan saling berkomentar dengan sesama pengguna. Tersedia OvalSeleb yang merupakan ahli atau market enthusiast di bidangnya untuk menyajikan konten-konten berkualitas. OvalSeleb adalah akun-akun inspiratif yang siap membimbing investor pemula dalam memulai dan mengembangkan perjalanan investasi, sekaligus jadi teman berbagi.

Fitur lainnya yang tersedia adalah OvalGrup. Ini adalah komunitas yang dipimpin oleh ahli finansial dan KOL untuk mengedukasi dan mengajak berdiskusi para investor seputar dunia investasi. Melalui fitur ini, pengguna dapat mengakses konten eksklusif berupa artikel, diskusi, dan edukasi secara mudah dari OvalSeleb yang tidak bisa diakses di platform lain.

Untuk menjamin kualitas dan kredibilitas, OvalGrup memanfaatkan basis berlangganan. Masa berlangganan konten eksklusif dari OvalSeleb tidak bersifat mengikat dan akan diperbaharui setiap bulannya.

Akan tetapi, sebelum para ahli memiliki akun, tim Oval akan menyeleksi kredibilitas mereka di industri finansial. Jadi, bisa dipastikan mereka yang punya akun resmi di Oval sudah terbukti kiprahnya di industri, tidak sebatas tenar di platform media sosial pada umumnya saja.

Nilai tambah yang ditawarkan Oval ini pada dasarnya untuk menyatukan semua ahli finansial dan investor pemula dalam satu platform. Selama ini, untuk berkomunikasi dengan anggota/pengikut harus berpindah-pindah platform. Misalnya, memanfaatkan Telegram untuk diskusi, lalu Instagram/Twitter agar visibilitas lebih mudah ditemukan, dan memanfaatkan Zoom saat mengadakan webinar. Pengalaman tersebut begitu panjang dan tidak efisien.

“Para KOL ini bisa mengelola grup dan komunitasnya sendiri. Mereka bisa kasih info investasi yang real time, baik itu dari saham, emas atau kripto. Di sini kami menerapkan platform fee sebesar 5%-10%. Dari riset kami, interaksi di grup premium ini sebesar 50% punya e-book, kelas webinar, yang harganya mulai dari Rp25 ribu-Rp2,5 juta. Ini jadi potensi buat kami jembatani.”

Konsep yang ditawarkan Oval, menurut Ariestyo, diklaim menciptakan kategori baru dalam media sosial bahwa terdapat media sosial yang menggabungkan manajemen konten berbayar. Dengan demikian, para kreator dapat leluasa unggah konten yang berkualitas, yang secara prinsip dapat menjadi keberlanjutan. Bahkan di pasar global pun, belum ada yang sama persis seperti Oval. “Mungkin bisa dibilang kami ini Public.com x Patreon, tapi kami sesuaikan dengan segmen di Indonesia khusus investasi dan finansial.”

Ariestyo melanjutkan, “Hal unik lainnya yang kami gunakan adalah pendekatan gamification. Ada daily challenge Earn & Learn untuk pengguna ikuti dan dapat mengumpulkan OvalCoins yang dapat ditukar dengan berbagai hadiah. Ini yang akan kami kembangkan lebih lanjut karena berhasil dorong orang untuk menggunakan Oval.”

Rencana berikutnya

Sejak aplikasi Oval membuka daftar tunggu (waiting list) pada awal tahun ini selama sebulan, diklaim telah menghimpun 14 ribu orang yang mendaftar. Kemudian, aplikasi dirilis resmi pada 23 Maret 2022 berhasil menghimpun 1000 orang dalam kurun waktu tiga hari. Jumlah KOL yang bergabung mencapai puluhan yang terdiri dari perseorangan dan perusahaan.

Pencapaian tersebut akan terus digenjot perusahaan karena Oval sendiri berambisi menjadi jaringan media sosial investasi terbesar di Indonesia. Mimpi ini akan dicapai dengan melakukan penetrasi komunitas investasi yang gencar ke seluruh Indonesia dan sejauh ini masih terfragmentasi di berbagai platform untuk convert ke satu aplikasi di Oval. Langkah ini juga akan didukung dengan penggalangan pendanaan yang rencananya akan digelar segera.

Disebutkan bahwa Oval telah menerima pendanaan dengan nominal dan identitas investor yang dirahasiakan. Namun, Ariestyo menyebut ada beberapa angel investor yang menyuntik Oval pada pertengahan 2020, saat Oval masih berupa ide awal. Tim Oval sendiri kini berjumlah 30 orang. “Nantinya kami akan gunakan dananya untuk support growth Oval selama 12 bulan ke depan, rekrut talenta, dan merilis fitur baru yang masih berkisar soal media sosial,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Gotrade Secures 222 Billion Rupiah Series A Funding, Boosting Local Penetration in Southeast Asia

The investment app developer Gotrade announced funding of $15.5 million or more than 222 billion Rupiah. The series A round was led by Velocity Capital Fintech Ventures. To date, the company has raised a total fund of $22.5 million or equivalent to 322 billion Rupiah.

This round was attended by investors from various countries, such as Mitsubishi UFJ Financial Group [Japan], BeeNext [Singapore], Kibo Ventures [Spain], Picus Capital [Germany], as well as previous investors including LocalGlobe [UK], Social Leverage [US] & Raptors [USA].

The last $7 million round led by LocalGlobe took place in 2021. The funds were received after the application launched and can be used by invitation only, generating 20% ​​weekly growth.

In its first year, the company claims to have grown organically and managed to gathered more than 500,000 users from 140 countries with total transactions reaching $400 million through 5 million trades.

Founded in 2019 by Rohit Mulani, Norman Wanto, and David Grant in Singapore, Gotrade offers the convenience of trading stocks from the United States stock exchange. This app allows users to buy shares on the NYSE and current shares on the NASDAQ starting at $1.

In its operation, the company does not charge a commission on their trades. However, the company admitted that it didn’t adopt collaborative practices by monetizing order flow payments. Gotrade earns income by charging 0.50% to 1.20% in FX fees (depend on currency) when users select local currency deposits which are then converted to US dollars to get started.

Apart from that, Gotrade also has a new subscription-based initiative called Gotrade Black with premium features such as candlestick charts, analyst ratings, target prices and risk measurement for $2 per month. On its official website, it is explained that this recommendation was made by professional stock analysts from Goldman, JP Morgan, and many other world-class investment firms/institutions.

Also, part of the capital raised will be used to develop the 40-person team and launch versions of the product in various markets, starting with Southeast Asia.

The Co-founder and CEO, Rohit Mulani revealed that investing in Southeast Asia is still broken. There are more than 600 million people unable to access quality investment products at reasonable prices. He said, most of them are still subject to funds with expense ratios exceeding 5%, savings products such as gold with a 3% spread and many hidden costs across their portfolios.

“We believe we should invest more fairly, and users don’t have to resort to predatory fees,” he said.

Gotrade Indonesia

Recenly before this funding was announced, the company had just launched a special product for the Indonesian people under the name Gotrade Indonesia in collaboration with Valbury Asia Futures (Valbury) as a local partner. All trades carried out on Gotrade Indonesia are carried out under a contract between the user and Valbury. Furthermore, Gotrade products that target the global market will be referred to as Gotrade Global.

Along with the launch of Gotrade Indonesia, the company also announced Andrew Haryono, the Valbury Group’s owner, as a co-founder of the company. Valbury Group is a financial conglomerate in Indonesia that has securities, derivatives and capital management products.

“Andrew has been involved since the start of the business in 2019 and has been quite essentioal in helping us achieve our success so far. With Valbury and the launch of Gotrade Indonesia, we were able to take our partnership to a new level and everyone felt it was time to recognize him for the important role he has played in the company’s past and the role he will continue to play in the company’s future,” Rohit said.

Apart from Gotrade, several investment applications in Indonesia that have also raised funds over the past year include Pluang, Pintu, Bibit and Ajaib.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Coinbase dan Crypto.com Siapkan Kehadiran di Indonesia

Platform aset kripto Coinbase dan Crypto.com tengah menyiapkan rencananya untuk hadir di pasar Indonesia. Kedua perusahaan tengah mencari direktur eksekutif untuk memimpin ekspansi dan operasional bisnisnya di sini. Seperti tertuang di laman LinkedIn masing-masing, Crypto.com tengah mencari Country Director dan Coinbase mencari General Manager di Indonesia.

Crypto.com sudah berdiri sejak 2016, saat ini melayani sekitar 10 juta pengguna global. Sementara Coinbase sudah didirikan sejak 2012 dan telah melantai di NASDAQ, saat ini layanan mereka memiliki 89 juta pengguna dari 100 negara di dunia.

Salah satu yang menjadi tugas dari eksekutif tersebut adalah untuk memastikan platform mendapat pertumbuhan dari pengguna dan transaksi yang dibubukan. Selain itu, dalam ketentuan yang disyaratkan, mereka juga akan bertanggungjawab memastikan operasional bisnis perusahaan mendapatkan perizinan dari regulator terkait — dalam hal ini dari Bappebti.

Kendati belum resmi di Indonesia, diketahui kedua platform telah memiliki pengguna di sini. Karena pada dasarnya layanan mereka memungkinkan transaksi aset kripto yang dilakukan pengguna global.

Sejatinya Coinbase sendiri juga sudah punya relasi bisnis di Indonesia. Pada Mei 2021 lalu, perusahaan turut berpartisipasi dalam pendanaan seri A platform kripto lokal Pintu bersama sejumlah investor lainnya.

Selain menyajikan platform jual-beli aset kripto, baik Coinbase ataupun Crypto.com juga memiliki layanan lain termasuk untuk segmen bisnis. Misalnya terkait dengan DeFi, platform crypto wallet, dan lain-lain.

Peminat aset kripto terus meningkat

Peminat aset kripto terus meningkat di Indonesia. Menurut data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan per Februari 2022, ada sekitar 12,4 juta investor kripto di tanah air. Hal ini tak lain dikarenakan ekosistem wealthtech yang banyak mengakomodasi dan memudahkan kebutuhan para investor.

Sejauh ini Bappebti juga telah merilis daftar 11 platform kripto yang ada dalam pengawasannya, sebagai berikut:

Entitas Perusahaan Platform Kunjungan Web* Peringkat App**
PT Indodax Nasional Indonesia Indodax 9 juta – 12,7 juta 82
PT Crypto Indonesia Berkat Tokocrypto 1,8 juta – 2,6 juta 100
PT Zipmex Exchange Indonesia Zipmex 2,9 juta – 5 juta 137
PT Indonesia Digital Exchange Idex n/a n/a (early access)
PT Pintu Kemana Saja Pintu 810 ribu – 1 juta 60
PT Luno Indonesia LTD Luno 1,2 juta – 1,7 juta 163
PT Cipta Koin Digital Koinku n/a n/a
PT Tiga Inti Utama Triv 241 ribu – 432 ribu n/a
PT Upbit Exchange Indonesia Upbit ID 52 ribu – 90 ribu n/a
PT Rekeningku Dotcom Indonesia Rekeningku 102 ribu – 362 ribu n/a
PT Triniti Investama Berkat Bitocto 17,9 ribu – 22,7 ribu n/a

*data statistik kunjungan di Similar Web Desember 2021 – Februari 2022; ** data statistik peringkat Playstore Indonesia di Appbrain per 6 April 2022

Kehadiran Coinbase dan Crypto.com tentu akan membuat persaingan antarplatform menjadi lebih menarik diperhatikan.

Hal lain yang perlu menjadi catatan, regulator di Indonesia akan segera mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif final masing-masing sebesar 0,1 persen untuk setiap transaksi pembelian aset kripto. Aturan tersebut akan efektif berlaku pada 1 Mei 2022. Kebijakan ini dilandasi aset kripto di Indonesia diakui sebagai komoditas, bukan alat pembayaran.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Gotrade Raih Pendanaan Seri A 222 Miliar Rupiah, Tingkatkan Penetrasi Pasar di Asia Tenggara

Pengembang aplikasi investasi Gotrade mengumumkan perolehan pendanaan senilai $15,5 juta atau lebih dari 222 miliar Rupiah. Putaran seri A tersebut dipimpin Velocity Capital Fintech Ventures. Hingga saat ini, total pendanaan yang berhasil diraih perusahaan mencapai $22,5 juta atau setara 322 miliar Rupiah.

Putaran kali ini diikuti oleh investor dari berbagai negara, seperti Mitsubishi UFJ Financial Groug [Jepang], BeeNext [Singapura], Kibo Ventures [Spanyol], Picus Capital [Jerman], serta investor sebelumnya termasuk LocalGlobe [UK], Social Leverage [US] & Raptor [US].

Putaran pendanaan terakhir senilai $7 juta dipimpin oleh LocalGlobe terjadi pada tahun 2021. Pendanaan tersebut diterima setelah Gotrade diluncurkan dan hanya bisa digunakan melalui undangan (by invitation only), menghasilkan 20% pertumbuhan dari minggu ke minggu.

Di tahun pertamanya, perusahaan mengaku telah bertumbuh secara organik dan berhasil mengumpulkan lebih dari 500.000 pengguna dari 140 negara dengan total transaksi mencapai $400 juta melalui 5 juta trade.

Didirikan pada tahun 2019 oleh Rohit Mulani, Norman Wanto, dan David Grant di Singapura, Gotrade hadir menawarkan kemudahan untuk melakukan trading saham dari bursa Amerika Serikat. Aplikasi ini memungkinkan pengguna membeli saham pecahan di NYSE dan saham yang diperdagangkan di NASDAQ mulai dari $1.

Dalam beroperasi, perusahaan tidak membebankan biaya komisi pada trade mereka. Namun, timnya mengaku tidak mengadopsi praktik kolaboratif dengan memonetisasi pembayaran order flow. Gotrade mendapatkan pemasukan dengan membebankan 0,50% hingga 1,20% dalam biaya FX (tergantung mata uang) ketika pengguna memilih deposit mata uang lokal yang kemudian dikonversikan menjadi dolar AS untuk diperdagangkan.

Selain itu, Gotrade juga memiliki inisiatif baru berbasis subscription yang disebut Gotrade Black dengan fitur premium seperti grafik candlestick, peringkat analis, harga target, dan pengukuran risiko sebesar $2 per bulan. Dalam laman resminya, dijelaskan bahwa rekomendasi ini dibuat oleh analis saham profesional dari Goldman, JP Morgan, dan masih banyak lagi firma/lembaga investasi kelas dunia.

Sebagian dari modal yang diterima juga akan digunakan untuk mengembangkan timnya yang terdiri dari 40 orang dan meluncurkan versi lokal produknya di berbagai pasar, dimulai dengan Asia Tenggara.

Co-founder dan CEO Rohit Mulani mengungkapkan bahwa investasi di Asia Tenggara masih terbilang bobrok. Terdapat lebih dari 600 juta orang tidak dapat mengakses produk investasi berkualitas dengan harga yang wajar. Menurutnya, kebanyakan dari mereka masih tunduk pada reksa dana dengan rasio pengeluaran melebihi 5%, produk tabungan seperti emas dengan sebaran 3% dan banyak biaya tersembunyi di seluruh portofolio mereka.

“Kami percaya berinvestasi harusnya lebih adil, dan pengguna seharusnya tidak perlu menanggung biaya yang bersifat predatorial ini,” ujarnya.

Gotrade Indonesia

Beberapa waktu sebelum pendanaan ini diumumkan, perusahaan baru saja meluncurkan produk khusus untuk masyarakat Indonesia dengan nama Gotrade Indonesia menggandeng Valbury Asia Futures (Valbury) sebagai mitra lokal.  Semua perdagangan yang dilakukan di Gotrade Indonesia dilakukan berdasarkan kontrak antara pengguna dan Valbury. Selanjutnya produk Gotrade yang menyasar pasar global akan disebut sebagai Gotrade Global.

Bersama dengan peluncuran Gotrade Indonesia, perusahaan juga mengumumkan bahwa Andrew Haryono, pemilik Grup Valbury, sebagai salah satu pendiri perusahaan. Valbury Group adalah konglomerasi keuangan di Indonesia yang memiliki produk sekuritas, derivatif, dan manajemen modal.

“Andrew telah terlibat sejak awal bisnis pada tahun 2019 dan telah berperan penting dalam membantu kami mencapai kesuksesan kami sejauh ini. Bersama Valbury dan peluncuran Gotrade Indonesia, kami dapat membawa kemitraan kami ke tingkat yang baru dan semua orang merasa sudah waktunya untuk mengenalinya atas peran penting yang dia mainkan di masa lalu perusahaan serta peran yang akan terus dijalaninya di masa depan perusahaan,” kata Rohit.

Selain Gotrade, beberapa aplikasi investasi di Indonesia yang juga telah mengumpulkan dana selama setahun terakhir ini termasuk Pluang, Pintu, Bibit dan Ajaib.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Application Information Will Show Up Here

Gotrade Indonesia Resmi Meluncur, Gandeng Valbury Sebagai Mitra Lokal

Platform yang menawarkan kemudahan membeli saham di bursa Amerika Serikat, Gotrade, meluncurkan produk khusus untuk masyarakat Indonesia dengan nama Gotrade Indonesia.

Untuk menghadirkan layanan ini, Gotrade menggandeng Valbury Asia Futures (Valbury) sebagai mitra lokal. Valbury adalah pialang resmi yang terdaftar di Bappebti. Selanjutnya produk Gotrade yang menyasar pasar global akan disebut sebagai Gotrade Global.

Polemik soal keabsahan lisensi Gotrade di Indonesia memang sempat mencuat. Platform ini, dahulu bernama TR8 Securities, terdaftar di Labuhan, Malaysia, dan bermitra dengan Alpaca sebagai broker yang memiliki lisensi FINRA dan perlindungan SIPC di Amerika Serikat.

Secara umum memang perusahaan keuangan tidak bisa langsung menawarkan saham-saham negara asing di Indonesia. Sebagai jalan keluar, Gotrade bermitra dengan Valbury.

Meskipun produk Contract For Difference (CFD) untuk saham perusahaan Amerika Serikat lumayan umum ditawarkan perusahaan Futures, Gotrade dan Valbury berusaha menawarkan hal yang berbeda.

Gotrade akan mempublikasikan semua biaya secara transparan kepada publik. Mereka mengklaim hanya membebankan 1,20% dalam biaya FX. Proses tersebut setelah melewati pajak, pertukaran, dan biaya peraturan–tanpa menyembunyikan biaya lain. Selain itu, semua proses transaksi akan dilewatkan Kliring Berjangka Indonesia sesuai regulasi.

Semua perdagangan yang dilakukan di Gotrade Indonesia dilakukan berdasarkan kontrak antara pengguna dan Valbury. Berikutnya Valbury akan memasukkan transaksi ke Alpaca dan semua kontrak diklaim didukung oleh saham asli di Amerika Serikat. Untuk setiap lembar atau fraksi saham yang dipegang pengguna di Gotrade Indonesia, akan ada saham yang bersesuaian yang dipegang Valbury di Alpaca.

Di tahap awal, pengguna bisa bertransaksi di 50 saham perusahaan melalui Gotrade Indonesia. Ke depannya Gotrade berharap bisa memudahkan transaksi untuk semua yang saham yang sudah dikelolanya, layakanya di platform Gotrade Global.

Pendanaan awal

Gotrade didirikan tahun 2019 lalu oleh David Grant, Norman Wanto, dan Rohit Mulani. Mereka juga tengah bergabung dalam program akselerator Y Combinator [YC menjadi salah satu investor tahap awalnya]. Tahun lalu mereka telah mengumpulkan $7 juta atau setara 101 miliar Rupiah pendanaan dalam putaran awal yang dipimpin oleh LocalGlobe. Turut terlibat Social Leverage, Picus Capital, dan Raptor Group, serta angel investor yang terkait dari petinggi GoCardless, Skyscanner, Morgan Stanley, Deutsche Bank, dan Rapyd.

Di putaran tersebut, Co-Founder & CEO Gojek Kevin Aluwi turut serta menjadi angel investor. Sejumlah pemodal ventura lokal juga terlibat di dalamnya, di antaranya Amand Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Brama One Ventures. Yang terakhir adalah pemodal ventura berbasis di Surabaya yang telah berinvestasi di sejumlah startup, termasuk Ayoconnect, Halodoc, NalaGenetics, dan lain-lain.

Gotrade hadir menawarkan kemudahan untuk melakukan trading saham dari bursa Amerika Serikat. Saat ini layanan tersebut juga sudah bisa diakses oleh pengguna di Indonesia secara terbatas.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak dan Ashmore Dirikan “Buka Investasi Digital”, Jadi Induk Unit Bisnis Bidang Investasi

PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk mengumumkan telah mendirikan PT Buka Investasi Digital (BID). Ini merupakan sebuah join venture yang dilakukan bersama PT Bukalapak.com Tbk. Aksi strategis ini ditandai dengan penyetoran modal dalam bentuk lainnya (inbreg), yakni berupa pengalihan saham milik Ashmore dari PT Buka Investasi Bersama (BIB).

Sebelum mendirikan BID, Bukalapak dan Ashmore telah menjalin kerja sama strategis mengembangkan aplikasi investasi BMoney melalui pendirian BIB. Ashmore mengakuisisi 20% saham BIB dari Bukalapak. Nantinya BIB akan berada di bawah naungan BID, menjadi salah satu platform investasi dari hasil kerja sama kedua perseroan. Target layanan wealth management BID tidak hanya ke investor ritel, melainkan ke institusi juga.

Strategi penguatan bisnis ini dilakukan menyusul potensi platform investasi yang makin banyak diminati masyarakat. Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor reksa dana per Februari 2022 adalah 7,44 juta nasabah, sementara untuk saham jumlahnya 8,1 investor. Kenaikan bulanan rata-rata 3,05%. Sementara untuk aset lain, misalnya kripto, peminatnya juga tidak sedikit. Tercatat ada 12,4 juta investor di instrumen investasi tersebut.

Strategi akuisisi dan ekspansi Bukalapak

Setelah melakukan IPO pada akhir tahun 2021 lalu, Bukalapak terus melakukan langkah strategis untuk memperbesar pertumbuhan perusahaan. Salah satunya adalah memperluas tim di Korea Selatan, dengan menunjuk Kim Juhee sebagai Country Manager. Kim dan timnya bertugas membantu analisis tren dan inovasi yang dapat diadopsi perusahaan ke depannya. Langkah Bukalapak selaras dengan aksi korporasi yang sudah diumumkan sebelumnya dalam rangka memperluas bisnis di luar Mitra Bukalapak.

Baru-baru ini mereka juga telah mengakuisisi startup edtech Bolu (PT Belajar Tumbuh Berbagi) senilai $1 juta (lebih dari 14,3 miliar Rupiah). Bukalapak mengambil sepenuhnya 11.340 saham melalui PT Kolaborasi Kreasi Investa (KKI) dan PT Bina Unggul Kencana (BUK), dan telah rampung sejak 11 Januari 2022. Bolu adalah startup edtech yang sudah berdiri sejak 2018 oleh Sandi Pratama dan Deka Adrai. Bolu fokus sebagai komunitas dan tempat belajar online untuk pengembangan bisnis rumahan.

Selain Bolu, Bukalapak telah mengumumkan serangkaian aksi akusisi. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, di antaranya adalah PT Onstock Solusi Indonesia, PT Ayo Tech Indonesia, PT Kokatto Teknologi Global, Five Jack Co. Ltd dan PT Cloud Hosting Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Genjot Inklusi Belakangkan Literasi: Janjikan Untung, Malah Jadi Buntung

Saya ingat betul, awal tahun 2020 lalu memutuskan untuk membeli buku “The Intelligent Investor” karya Benjamin Graham. Buku tersebut saya beli setelah mengikuti beberapa sesi diskusi seputar investasi dan rekomendasi dari teman-teman yang saya percaya. Di balik itu, sebenarnya niatan saya mengkhatamkan buku itu tak lain untuk meyakinkan diri bahwa investasi di pasar modal dan/atau reksa dana bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengamankan aset dari inflasi.

Jujur, saya baru benar-benar mulai fokus berinvestasi di pasar modal dan reksa dana awal 2022 — dengan artian secara konsisten setiap bulan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke sana. Butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkan diri, riset, belajar, dan eksperimen terkait instrumen investasi ini.  Sebelumnya, saya cukup konvensional dalam berinvestasi.

Dengan proses yang panjang tersebut, ternyata membuat saya tergolong “ketinggalan zaman”, karena banyak teman di sekeliling sudah memulai investasi saham dan reksa dana sejak beberapa tahun belakangan. Persisnya saat wealthtech app ala Ajaib, Bibit, Pluang, dan sejenisnya beranjak populer.

Namun, dengan proses pendalaman yang cukup lama ini, setidaknya saya sudah tidak kaget ketika mendapati salah satu portofolio saham saya mendapati return minus lebih dari 30%. Karena saat membeli saham perusahaan tersebut, saya merasa sudah tahu bagaimana strategi dan arah perusahaan tersebut akan berkembang – toh saya tidak biasa membuka aplikasi investasi setiap hari, bahkan cenderung saat hendak top-up saja, setidaknya untuk masa sekarang.

Menyepelekan pemahaman

Sayangnya tidak semua orang memulai investasi dengan kesiapan – atau setidaknya pemahaman dasar mengenai instrumen yang hendak dimasuki. Alih-alih menempatkan kegiatan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan terencana, tidak sedikit yang hanya bermodal motivasi biar tidak ketinggalan jaman, istilah kekiniannya FOMO (Fear Of Missing Out). Lihat saja di forum-forum diskusi investasi, nilai saham naik-turun satu digital sudah banyak yang teriak-teriak merugi atau melaba.

Memang sebagian tujuannya trader, alias mencari keuntungan dari transaksi jual-beli, namun tetap saja tanpa pemahaman yang benar ujung-ujungnya akan merugi sendiri. Tidak usah jauh-jauh, kita saksikan pemberitaan media mainstream yang akhir-akhir ini heboh soal kasus aplikasi binary option yang ternyata terindikasi judi. Bermodal keinginan untuk kaya secara instan, akses mudah ke platform, dan grup diskusi yang dimentori influencer, orang dengan mudah mempertaruhkan aset mereka untuk sesuatu yang kurang dipahami risikonya.

Mudah termakan jargon

Faktanya, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh OJK, indeks literasi keuangan sebesar 38,03%; sementara indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Sementara terkait akses ke layanan keuangan justru telah terbuka lebar dan sudah banyak dimanfaatkan.

Lantas, apa yang memotivasi orang-orang untuk sangat berani meletakkan aset mereka ke instrumen investasi tertentu – termasuk mereka yang dirugikan karena binary option alias judi berkedok investasi? Seperti diketahui salah satu strategi pemasaran platform investasi adalah dengan menggembor-gemborkan jargon-jargon yang cukup menggugah. Misalnya dengan selalu menggoreng pernyataan kurang lebih: “investasi yang risikonya tinggi akan berbanding dengan hasil pengembalian yang tinggi, pun demikian sebaliknya.” Tidak ada salahnya, tapi kadang kurang pas pemahaman yang ditangkap.

Selain itu masih banyak jargon-jargon persuasif lain yang secara langsung memang membuat para pembacanya terdorong untuk turut andil dalam hype investasi ini. Belum lagi dibumbui dengan promo dan diskon yang banyak disuguhkan untuk pengguna awal. Dengan proses on-boarding ke platform yang memang relatif mudah, tak ayal kemudian banyak yang bergabung dengan bermodal coba-coba. Belum lagi program afiliasi berhadiah fantastis yang turut pengguna untuk mengajak orang-orang di sekitarnya bergabung. Sekali lagi, ini tidak ada salahnya, namun pemahaman mengenai risiko sering dihiraukan.

Kewajiban melakukan edukasi

Terkait kasus binary option yang baru-baru ini terjadi, salah satu strategi yang dilakukan untuk menggaet ‘korban’ adalah dengan memermak seorang ikon menjadi sosok yang sukses berjuluk “crazy rich”. Flexing tersebut ternyata berhasil menyita perhatian publik dan bikin orang bertanya-tanya bagaimana agar bisa menjadi berlimpah harta seperti mereka. Diikutilah cara-cara mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, walau pada akhirnya tidak akan pernah menang seperti mereka.

Teknik tersebut berhasil. Nyatanya sebuah grup Telegram yang dikelola salah satu sosok tersebut mampu menjaring lebih dari 220 ribu anggota aktif.

Korban-korban ini sejatinya ada karena mereka telat memahami tentang apa yang sebenarnya ditawarkan – platform investasi yang ternyata tidak sesuai dengan kaidah investasi. Ini bisa terjadi karena dua hal: (1) tidak adanya transparansi dalam penyampaian informasi; (2) tidak ada sosialisasi mengenai risiko yang mungkin bisa dialami. Proses edukasi yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga informasi yang didapat menjadi kurang berimbang.

Padahal dalam beleid yang dilahirkan untuk memayungi platform keuangan berbasis teknologi, otoritas selalu menekankan aspek edukasi sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan penyedia layanan. Ambil contoh tertuang dalam Pasal 33 POJK 77/2016, mewajibkan penyelenggara layanan fintech untuk melakukan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi berbentuk sosialisasi dan edukasi minimal 12 kali di 12 kota dan provinsi berbeda. Materi edukasi pun ditentukan, mulai dari pengelolaan keuangan, pemahaman industri, sampai dengan produk dan jasa beserta risikonya.

Tidak hanya platform investasi

Niatan ingin menjadi nasabah agar terbantu namun malah menjadi korban – ini sebenarnya tidak hanya berpotensi terjadi pada konteks platform investasi bodong saja. Bahkan bisa mencakup layanan lain yang sudah masuk koridor legal juga. Misalnya layanan payday loan dan paylater yang menjanjikan pinjaman instan; tanpa pemahaman yang benar tentang tata kelola keuangan, alih-alih membantu platform tersebut bisa saja menjadi bumerang yang justru membuat keuangan seseorang menjadi berantakan.

Inklusi keuangan telah terdongkrak naik secara signifikan, membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendapatkan penerimaan baik di tengah masyarakat. Sayangnya literasi keuangan indeksnya masih jauh di bawahnya. Analoginya seperti ini, inklusi ini seperti kemampuan menyetir mobil, sementara literasi adalah pemahaman tentang rambu-rambu. Saat banyak orang menyetir mobil namun tidak paham rambu-rambu, maka akan terjadi kekacauan di jalanan. Sayangnya jalanan yang kacau tidak hanya merugikan pengemudi tersebut, namun bisa berdampak pada pengemudi-pengemudi lain, apalagi yang masih baru.

Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kemudahan akses ke layanan finansial harus benar-benar diimbangi dengan pemahaman yang baik bagi para penggunanya. Banyak upaya yang baiknya digencarkan dalam kaitannya edukasi terus-menerus, termasuk salah satunya dengan menjadikan literasi keuangan menjadi materi wajib di bangku sekolah. Regulator juga dapat terus mendorong para pemilik platform untuk berperan lebih aktif menggencarkan berbagai kegiatan sosialisasi – terutama menyasar kalangan early adopter yang jumlahnya masih sangat banyak.

Platform Perencanaan Digital Fasilitasi Literasi dan Kemandirian Finansial

Dewasa ini, kemandirian finansial kerap menjadi perbincangan khalayak, terutama generasi muda di Indonesia.  Kemandirian finansial sendiri diartikan sebagai kondisi di mana seseorang tidak terbebani dengan hutang konsumtif serta memiliki sumber penghasilan pasif yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan sehari-hari.

Setiap orang memiliki tolok ukur berbeda dalam hal kemandirian finansial. Satu hal yang pasti, untuk mencapai tujuan tersebut, perencanaan keuangan yang baik sangat dibutuhkan. Penggunaan teknologi seperti pencatatan keuangan dan platform investasi bertujuan mempermudah orang mencapai tujuan finansial, namun tidak sedikit yang masih belum paham mengenai perencanaan keuangan yang efektif.

COO dan Co-Founder Sribuu Nadia Fadila mengungkapkan fenomena di industri fintech lima tahun ke belakang adalah fokus pada inklusi. Perusahaan fintech berlomba mengajak masyarakat menggunakan platform digital seperti uang elektronik, memperkenalkan bank online, dan mempermudah akses investasi.

“Menurut data OJK, 80% orang indonesia sudah punya akses ke perbankan. Namun, tingkat literasi keuangan masih 30%. Masih ada masalah yang bisa kita tackle ke depannya sebagai [platform] fintech. Bagaimana orang bisa menggunakan berbagai akses sesuai dengan kecerdasan finansial mereka,” ujar perempuan yang kerap disapa Dila ini.

Berangkat dari fenomena ini, Sribuu ingin memfasilitasi dan membantu mengarahkan para generasi muda untuk bisa memiliki perencanaan keuangan yang baik demi mencapai tujuan-tujuan finansial mereka, tentunya dibantu dengan pemanfaatan teknologi terkini.

Literasi seiring inklusi

Sebelum masuk ke era teknologi, masyarakat melakukan perencanaan keuangan secara manual dengan mencatat di buku. Lalu, seiring kemajuan zaman, mereka beralih menggunakan aplikasi Spreadsheet. Saat ini pengguna semakin dimudahkan dengan kehadiran platform pencatatan keuangan berbasis AI yang bisa memberi rekomendasi terpersonalisasi berdasarkan rekam jejak dan preferensi pengguna. Rekomendasi ini tak luput dari tinjauan para penasihat keuangan yang bersertifikasi.

Di samping mempermudah proses perencanaan keuangan, platform teknologi juga berkontribusi dalam meningkatkan literasi keuangan di tengah masyarakat. Sribuu, misalnya, aktif memberi edukasi terkait literasi keuangan melalui media sosial dan artikel yang ada dalam aplikasi.

Untuk jangkauan luar jaringan, perusahaan mulai dari sebuah komunitas dan ingin memperluas jangkauan. Salah satunya melalui kerja sama dengan lebih dari 30 kampus di lebih dari 10 kota dengan program kampus ambasador Sribuu.

Ketika pandemi pertama kali mencuat, banyak orang yang mulai peduli dengan kesehatan finansial mereka. Semakin banyak orang yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh terkait investasi, asuransi diiringi meningkatnya traksi pada banyak instrumen keuangan. Namun, dengan latar belakang, tanggung jawab, dan penghasilan yang berbeda pada tiap orang, tidak ada satu formula khusus yang bisa diaplikasikan untuk semua. Di sini, literasi finansial sangat dibutuhkan dalam memutuskan instrumen yang cocok untuk perencanaan keuangan yang efektif.

Siklus perencanaan keuangan

Di diskusi #SelasaStartup yang mengambil topik “Road to Financial Freedom: Mendalami Peran Teknologi Dalam Mencapai Kebebasan Finansial”, Business Development Sribuu Achmad Farhan Noor memaparkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam usaha mencapai tujuan finansial. Hal pertama yang harus ditentukan adalah target jangka waktu untuk mencapai kemandirian finansial dan berapa banyak yang dibutuhkan untuk sampai pada titik tersebut.

Setelah menetapkan tujuan, maka siklusnya dimulai dengan menentukan budget yang dibagi dalam kategori. Salah satunya adalah alokasi untuk tabungan, di sini bisa mulai melihat kalau ada instrumen investasi sesuai profil risiko yang bisa digunakan untuk bisa mencapai tujuan lebih cepat. Lalu, mulai melaksanakan pencatatan transaksi harian. Untuk kemandirian finansial, biasanya memiliki jangka waktu yang lama, maka dari itu dibutuhkan evaluasi selang beberapa waktu untuk memastikan tetap berada di jalur yang tepat.

Dalam menjalankan siklus ini, dibutuhkan komitmen yang tidak sedikit. Selain harus tekun mencatat pengeluaran, harus bisa menahan diri untuk tidak menghabiskan lebih dari budget yang sudah ditetapkan. Sebagai platform teknologi, fokusnya adalah membantu mempermudah prosesnya, juga mengingatkan, namun komitmen datang dari masing-masing individu.

Farhan menambahkan, “Rata-rata anak muda sekarang memiliki pengeluaran sekitar 10-20 persen lebih besar dari pendapatannya. Hanya sekitar 10% yang bisa membeli salah satu akses paling penting, yaitu rumah.”

Berbagai platform digital menawarkan kemudahan untuk akses layanan perbankan. Di satu sisi, hal ini memberi dampak positif dalam mendorong inklusi, namun jika tidak digunakan dengan baik juga bisa menjerumuskan. Salah satu yang jadi penghalang dalam mencapai kemandirian finansial adalah utang. “Rumus singkatnya, utang tidak boleh lebih besar dari 30% jumlah pendapatan,” ujar Dila.

Satu hal yang menarik adalah perencanaan keuangan bisa diterapkan oleh semua orang, terlepas memiliki penghasilan tetap atau tidak. Dila mengungkapkan, pengguna Sribu juga ada yang pekerja lepas (freelancer). Menurutnya, sangat penting untuk memiliki dana darurat paling tidak 6-12 bulan pengeluaran bulanan untuk kondisi yang tidak bisa diprediksi.

Proteksi sebelum investasi

Karena literasi yang masih minim, Farhan juga menyebutkan sering terjadinya miskonsepsi. Sebelum menetapkan tujuan keuangan, ada dua hal yang tidak kalah penting untuk dimiliki terlebih dahulu, yaitu asuransi dan dana darurat. Dua hal ini adalah untuk proteksi, ketika hal itu sudah terpenuhi, maka baru bisa pakai instrumen investasi.

“Banyak kondisi di mana belum ada proteksi langsung terjun investasi. Ketika ada dalam situasi genting, tanpa dana darurat, investasi terpaksa harus dicairkan,” ujarnya.

Salah satu topik yang sering muncul pada bahasan terkait perencanaan keuangan untuk generasi muda adalah eksistensi generasi sandwich. Generasi ini diartikan sebagai kondisi ketika seseorang harus memenuhi kebutuhan tidak hanya untukdiri sendiri, tetapi juga dua (atau lebih) generasi — di atas dan di bawah. Pilihannya adalah bagaimana menetapkan alokasi yang baik untuk kebutuhan maupun keinginan. Jika ada kekurangan, maka harus ada kesadaran untuk mencari pemasukan tambahan.

Terkait instrumen investasi, saat ini Sribuu sedang mengembangkan komunitas dalam mengakomodasi tujuan finansial tertentu, seiring dengan usaha edukasi dari sisi investasi. Namun integrasi dengan instrumen investasi belum tersedia dalam aplikasi.

Beberapa waktu lalu, Sribuu berhasil mengantongi pendanaan tahap awal dari Beenext dan beberapa angel investor. Pendanaan ini disebut akan fokus pada pengembangan rekomendasi keuangan yang lebih terpersonalisasi serta teknologi advisory membantu pengguna meraih tujuan-tujuan finansial.

Sejak beroperasi penuh di awal tahun 2021 lalu, Dila mengungkapkan, tantangan terbesar, selain literasi keuangan, adalah belum adanya sistem open banking yang diregulasi OJK.

Selain Sribuu, aplikasi sejenis yang juga sudah populer di Indonesia, termasuk Finansialku, Pay Ok, PINA, Finoo, Moni, Xettle, Finku, Neu (Fazz Financial Group). Sebagian dari mereka sudah mengantongi kepercayaan dari investor dalam bentuk perolehan dana segar.

“Jangan takut untuk mulai bermimpi mencapai kemandirian finansial. Pahami realita, lalu tentukan tujuan. Bangun komitmen yang kuat untuk merencanakan keuangan. Banyak yang takut ketika berbicara mengenai perencanaan keuangan. Namun, ketika sudah mengerti kondisinya, masalah keuangan jadi tidak seberat yang dipikirkan di awal. Mulai dari yang kecil, yang penting mulai dulu,” tutup Dila.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal “Saham Rakyat”, Aplikasi Jual-Beli Saham Berkonsep E-commerce

Kendati peminatnya terus bertumbuh, layanan bertajuk aplikasi investasi atau wealthtech masih menyisakan sejumlah tantangan dalam kaitannya dengan penetrasi pengguna. Salah satunya terkait edukasi, termasuk untuk pengguna di kalangan muda. Untuk memudahkan bahasa [penyampaian] hingga menyederhanakan proses yang ada, aplikasi investasi “Saham Rakyat” hadir memberikan pilihan baru.

Berawal dari platform edukasi investasi saham, kini Saham Rakyat telah bertransformasi menjadi platform belanja saham yang mengadopsi konsep layaknya e-commerce. Hingga saat ini jumlah anggota komunitas Saham Rakyat sekitar 160 ribu orang.

“Dengan demikian bagi mereka yang ingin berinvestasi saham bisa melihat dulu saham yang diinginkan, dimasukkan ke dalam keranjang. Jika memang sudah yakin dan memiliki uang, bisa langsung melalui pembelian dalam platform,” kata Founder & CEO Saham Rakyat Kevin Hendrawan kepada DailySocial.id.

Melalui PT Samuel Sekuritas Indonesia yang sudah memiliki izin dari OJK, Saham Rakyat juga didukung oleh Kaesang Pangarep, putra dari presiden Joko Widodo sebagai Brand Ambassador.

Namun demikian, minat pasar yang besar dengan layanan investasi juga membuat persaingan di sektor ini makin ketat. Saat ini sudah ada beberapa platform serupa yang bisa digunakan untuk berinvestasi di berbagai jenis instrumen, mulai Ajaib, Bareksa, Pluang, PINA, dan masih banyak lagi.

Menyasar generasi muda

Serupa dengan bisnis sekuritas pada umumnya, Saham Rakyat berfokus kepada investor ritel. Sistem monetisasinya, mereka mengenakan biaya beli 0.15% dan jual 0.25%.

Terdapat beberapa fitur unggulan yang dimiliki oleh Saham Rakyat, di antaranya adalah Fitur Jual-Beli yang berkonsep “1-click buy” dan “1-click sell”. Tersedia juga Fitur Keranjang belanja, agar pengguna bisa melakukan pembelian saham layaknya melakukan pembelian melalui layanan e-commerce.

Selain itu aplikasi juga memiliki “Grup Chat” langsung dengan analis keuangan, sehingga dapat membantu investor untuk mendapatkan informasi terkini mengenai perkembangan pasar. Dan yang terakhir Saham Rakyat memiliki fitur Community, bisa dimanfaatkan sebagai wadah belajar bagi para pengguna baru untuk lebih mengerti mengenai dunia pasar modal.

“Saham Rakyat merupakan aplikasi Belanja Saham pertama di Indonesia, diperuntukkan untuk investor awam, proses jual beli kami merupakan yang paling simple menggunakan 1 click buy dan 1 click sell. Sehingga memudahkan investor awam untuk bisa memulai investasi tanpa perlu ribet,” kata Kevin.

Sebagai platform edukasi saham, Saham Rakyat berupaya untuk memberikan informasi yang relevan terkait saham kepada anggota komunitasnya. Dengan demikian bisa memberikan awareness yang akurat seputar investasi saham dan menghindari adanya persepsi bahwa investasi saham bisa memberikan hasil lebih dan tidak memiliki risiko yang besar. Dalam hal ini Saham Rakyat memberikan pemahaman bahwa dengan berinvestasi di saham, bisa memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan deposito. Bukan menjadi wadah untuk mereka cepat kaya atau banjir keuntungan.

Tahun 2022 ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Saham Rakyat. Namun sebagai platform yang fokus hanya kepada investasi saham, mereka memiliki rencana untuk meluncurkan fitur yang lebih mempermudah pengguna untuk melakukan proses jual-beli saham dalam platform. Hal tersebut yang saat ini belum banyak dilakukan oleh platform yang menawarkan layanan serupa.  Target Saham Rakyat di tahun ini juga ingin mengenalkan lagi investasi saham sampai ke seluruh penjuru tanah air.

“Saya merasa akhirnya setelah beberapa lama generasi muda bisa melihat bahwa investasi saham bisa mereka lakukan tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Pandemi juga membantu lebih banyak orang untuk tertarik berinvestasi di saham secara online dan menjadi investor saham,” kata Kevin.

Edukasi jadi kunci

Menurut hasil survei yang dilakukan terhadap 1500 responden dalam Fintech Report 2021, layanan investasi seperti yang disuguhkan Saham Rakyat kini mendapatkan awareness dan minat yang cukup besar dari masyarakat. Menurut data OJK, hingga Desember 2021 kemarin jumlah investor ritel untuk pasar modal di Indonesia sudah mencapai 7,48 juta orang, naik 92,7% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Jelas layanan wealthtech berperan besar di sini.

Namun demikian, di tengah laju adopsi layanan yang kencang, kami meyakini bahwa edukasi literasi keuangan tetap menjadi hal yang harus diupayakan semua elemen yang terlibat di industri ini, termasuk pemilik platform — khususnya terkait dengan risiko, tidak hanya sekadar menjual jargon untung berlipat. Apalagi berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019, indeks literasi keuangan baru di angka 38,03%. Literasi ini terkait dengan pemahaman masyarakat untuk produk-produk keuangan yang digunakan.

Application Information Will Show Up Here

NOBI Announces Seed Funding of 57 Billion Rupiah Led by AC Ventures

Crypto asset management platform, NOBI (PT Encryption Technology Handal) announced seed funding of $4 million or IDR 57.1 billion. This round was led by AC Ventures, with the participation of Appworks, Skystar Capital Cakra Ventures, Global Founders Capital, and a number of angel investors.

Fresh funds will be focused on developing products, increasing the penetration and utilization of Honest Token (HNST), and strengthening the team. As is well known, NOBI aims to help investors diversify assets into cryptocurrencies and help people with limited time to manage assets with easy access.

Reached 1 trillion Rupiah crypto transactions

The startup was founded by Lawrence Samantha (CEO), Edy Senjaya (CTO), and Dionisius Evan Alam (CPO). NOBI’s main services consist of Staking, Savings and Trading Strategy, enabling users to enjoy attractive returns from Bitcoin, Ethereum and other leading crypto assets.

“This is an important milestone for us. AC Ventures and our other investors provide an unrivaled immersive experience in fintech, investing and crypto. This investment round demonstrates their trust and commitment to what we can do to make a difference to unify the crypto space and finances,” Lawrence said.

Since 2018, NOBI has managed over 1 trillion Rupiah worth of crypto assets. All independent services are claimed to grow by 15x along with a significant increase in users in the last 6 months.

“In line with the current global trends, the demand for crypto assets in Indonesia is growing rapidly. Domestic trading volume has increased by more than 10x to exceed $60 billion by 2021 through more than 11 million user accounts. NOBI provides investors with various services that allow your users to earn interest. The user-friendly and intuitive NOBI platform makes it easy to start investing in cryptocurrencies,” AC Ventures’ Founder & Managing Partner, Michael Soerijadji said.

Crypto enthusiasts are rising

According to BAPPEPTI, in its role as Indonesia’s regulator that handles crypto assets, the number of crypto investors in the country is growing 2x faster than other instruments such as stocks in 2021, reaching 11.2 million. This is impressive, as this growth occurred amidst the highly fluctuative price of crypto.

Throughout 2021, the value of crypto asset transactions in Indonesia has reached $61.4 billion or more than 859 trillion Rupiah, an increase of more than 1222% compared to the previous year.

The rapid adoption of crypto exists amidst the growing trend of wealthtech platforms. This is supposed to increase financial inclusion and literacy, encouraging people to start realizing the essential of investing.

Even though the number is quite small, some local platforms are developing applications to facilitate people to invest in crypto, for example INDODAX, Tokocrypto, Pintu, and Pluang. It is even more intriguing as the trend of other blockchain products is starting to rise, along with the growing interest in Indonesia, NFT for example, it runs on top of the blockchain technology and involves crypto assets for its transactions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here