Perluas Distribusi Layanan, TukangBersih Klaim Pertumbuhan Bisnis

Didirikan pada tahun 2014 lalu, platform yang menyediakan layanan tenaga kebersihan TukangBersih telah mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Kepada DailySocial, Executive Director TukangBersih Ranti Sabina mengungkapkan, Tukang Bersih merupakan perusahaan yang fokus di bidang housekeeping dan dapat di akses di aplikasi dan situs web. Layanan tersebut telah tersedia di kota-kota besar di Jawa dan Bali.

Secara khusus layanan dan model bisnis yang dihadirkan oleh TukangBersih serupa dengan platform lainnya seperti Seekmi, KliknClean, Sejasa, dan lainnya. Yang membedakan TukangBersih dengan platform lainnya adalah lebih kepada kualitas layanan housekeeping ala Hotel Bintang 5 yang dapat dinikmati pelanggan dari layanan cleaning.

“TukangBersih adalah perusahaan yang bergerak di bidang housekeeping dan merupakan salah satu sister company dari PT Indocare Pacific yang memiliki brand EcoCare. Sehingga setiap pertumbuhan dan perkembangan TukangBersih selalu didukung oleh nama besar EcoCare yang mengutamakan kualitas dan kepuasan pelanggan,” kata Sabina.

Sejak diluncurkan hingga kini TukangBersih telah memiliki ratusan jumlah mitra dengan puluhan ribu pengguna aktif. TukangBersih juga memiliki fitur daily cleaning single order dan member. Ke depannya perusahaan akan meluncurkan produk-produk jasa kebersihan dengan standar housekeeping lainnya, seperti ironing, gardening dan general cleaning.

“Strategi Bisnis kami adalah menciptakan lapangan kerja dan kesempatan bagi mereka yang memiliki potensi dan passion dibidang cleaning untuk dapat bersama-sama membangun bisnis yang berkembang dan social oriented. Strategi monetisasi yang kami terapkan adalah, selain cara konvensional (menggunakan staf) untuk produk-produk di luar platform digital, adalah bagi hasil dengan para mitra,” kata Sabina.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Serupa dengan layanan yang ditawarkan oleh startup lainnya, selama masa awal pandemi bisnis mengalami kendala. Mulai dari kurangnya jumlah pemesanan dan penyesuaian aturan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun saat ini kondisi mulai pulih kembali, dan TukangBersih meluncurkan produk-produk jasa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Mulai dari treatment disinfectant, produk new normal serta penyempurnaan jasa dengan menggunakan chemical yang mengandung disinfektan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pelanggan.

“Dalam rangka ikut berpartisipasi melawan Covid-19, TukangBersih bersama EcoCare melakukan banyak kegiatan CSR ke area pelanggan dan mitra, dengan membagikan masker serta keperluan pokok lainnya. Ke depannya kami akan meluncurkan produk-produk baru yang akan membantu masyarakat Indonesia baik pelanggan maupun mitra, serta menjaga konsistensi kualitas,” kata Sabina.

Untuk menambah channel distribusi layanan, TukangBersih juga menjalin kerja sama strategis dengan layanan e-commerce. Tujuannya untuk memperluas layanan memanfaatkan ekosistem masif yang dimiliki layanan e-commerce seperti JD.id melalui JD Life. Sementara dengan Shopee dan Akulaku saat ini masih dalam proses finalisasi.

“Prediksi kami bisnis layanan tenaga kebersihan ke depannya semakin bersinar terang. Salah satu alasannya karena kalangan milenial saat ini yang sangat membutuhkan dan menyukai layanan jasa berbasis online yang lebih mudah dan praktis. Terlebih kami melengkapi dengan teknologi sistem monitoring yang walaupun online namun terasa sangat dekat dan familiar,” kata Sabina.

Application Information Will Show Up Here

GeForce Now Hadir di iOS via Browser, Stadia dan xCloud Bakal Menyusul

Premis di balik layanan cloud gaming sebenarnya cukup simpel: dengan hanya bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil, pelanggan dapat memainkan berbagai game AAA yang dibuat untuk PC maupun console melalui bermacam perangkat, termasuk halnya smartphone dan tablet.

Namun kalau kita mampir ke situs milik tiga layanan cloud gaming terbesar yang ada sekarang – GeForce Now, Stadia, dan xCloud (Xbox Game Pass) – ternyata yang dimaksud smartphone dan tablet tidak mencakup platform iOS sama sekali. Bukan, ini bukan berarti ketiganya pro-Android, tapi justru karena kebijakan yang Apple tetapkan untuk App Store, yang pada dasarnya tidak mengizinkan eksistensi aplikasi cloud gaming.

Agar bisa merambah pengguna iOS, penyedia layanan cloud gaming sejatinya cuma punya dua opsi: 1) mencantumkan satu per satu game yang ditawarkan ke App Store, yang berarti masing-masing game harus melalui prosedur review standar App Store, atau 2) menawarkan layanannya dalam bentuk web app yang dapat diakses lewat browser (Safari).

xCloud / Microsoft
xCloud / Microsoft

Ketiga layanan tadi rupanya memutuskan untuk mengambil opsi yang kedua, terlepas dari perbedaan model bisnis yang diterapkan oleh masing-masing layanan. Nvidia jadi pertama yang memulai; per 19 November 2020 kemarin, pengguna iPhone dan iPad (di negara-negara yang didukung) dapat mengakses GeForce Now dengan mengunjungi situs play.geforcenow.com di Safari.

Ini sebenarnya bukan pertama kali GeForce Now tersedia sebagai web app, sebab sebelumnya layanan ini sudah tersedia buat Chromebook dengan memanfaatkan teknologi serupa.

Kalau memang bisa diakses dari browser, lalu kenapa harus ada aplikasi terpisah? Well, web app ini bukanlah tanpa kekurangan. Kelemahan terbesarnya sejauh ini adalah tidak adanya dukungan untuk menyambungkan mouse dan keyboard dikarenakan keterbatasan framework WebRTC yang digunakan. Alhasil, sejumlah game yang dirancang secara spesifik untuk dimainkan dengan mouse dan keyboard harus dihapus dari katalog GeForce Now untuk iOS.

Menariknya, kehadiran GeForce Now di Safari ini juga berarti Fornite akan kembali hadir di iOS melalui layanan tersebut setelah resmi didepak sejak Agustus lalu. Nvidia bahkan sedang menyiapkan versi khusus agar pengguna GeForce Now dapat memainkan Fortnite di perangkat iOS tanpa bantuan controller maupun gamepad.

Controller Stadia / Unsplash
Controller Stadia / Unsplash

Dari kubu Google, mereka mengonfirmasi bahwa mereka sedang sibuk menggodok Stadia versi web app untuk dinikmati oleh para pengguna perangkat iOS. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Google berniat merilisnya beberapa minggu dari sekarang.

Beralih ke Microsoft, mereka sejauh ini belum punya pernyataan resmi terkait ketersediaan xCloud di iOS, akan tetapi di bulan Oktober lalu, Business Insider melaporkan bahwa Microsoft sudah punya niatan untuk menawarkan xCloud juga dalam wujud web app. Bahkan pendatang baru Amazon Luna pun dari jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa layanannya bakal tersedia di iOS via browser.

Luna / Amazon
Luna / Amazon

Apakah ini berarti pengguna perangkat iOS bakal mendapat pengalaman cloud gaming yang berbeda dari pengguna Android? Sepertinya begitu, sebab secara kinerja aplikasi native sering kali lebih unggul daripada web app, belum lagi soal keterbatasan-keterbatasan seperti misalnya absennya kompatibilitas mouse dan keyboard itu tadi.

Kesannya memang seperti memaksakan, akan tetapi kenyataannya memang pangsa pasar perangkat iOS cukup besar, terutama di negara-negara tempat layanan-layanan ini tersedia. Apakah seterusnya bakal seperti ini? Akankah ke depannya Apple berubah pikiran dan mengizinkan aplikasi cloud gaming di App Store? Kita lihat saja perkembangannya nanti.

Sumber: Engadget dan Nvidia.

Setelah Instagram, Sekarang Snapchat pun Juga Mencoba Meniru TikTok

Tren video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok terus bertambah populer. Saking tenarnya, Snapchat pun kini juga dibekali fitur baru yang mekanismenya begitu mirip dengan TikTok.

Fitur ini mereka namai Spotlight, dan persis seperti di TikTok, Spotlight berisikan video-video vertikal dengan durasi maksimum 60 detik. Tentu saja pengguna juga dapat menambahkan musik, sebab Snap sendiri memang sudah mengamankan lisensi dari berbagai label musik sejak Oktober lalu.

Ada beberapa hal yang sedikit membedakan Spotlight dari TikTok, utamanya terkait privasi. Pada video-video yang diunggah ke Spotlight, kita tidak akan menjumpai satu pun kolom untuk membubuhkan komentar publik, sehingga mereka yang kerap dihantui sentimen negatif warganet bisa setidaknya lebih tenang di sini.

Juga berbeda adalah bagaimana pengguna juga tetap bisa mengunggah video ke Spotlight meski status profilnya private. Berbeda dari TikTok yang mewajibkan pengguna untuk mengganti status profilnya menjadi public jika ingin videonya muncul di tab “For You”. Jadi selama pengguna memilih opsi “Spotlight” ketika hendak mengunggah video, video tersebut dipastikan bakal muncul di Spotlight.

Snap tampaknya cukup serius dalam menggagaskan Spotlight. Hal itu bisa dilihat dari kemauannya untuk membayar kreator yang kontennya viral di Spotlight. Tidak peduli berapa pun follower yang dimiliki seorang pengguna, asalkan kontennya sempat viral dan mendulang view jauh lebih banyak dari konten lain di hari tersebut, maka Snap bersedia membayar.

Snap bilang bahwa mereka sudah menyiapkan budget sebesar $1 juta untuk membayar kreator setiap harinya sampai akhir 2020. Dengan adanya insentif semacam ini, semestinya para pengguna Snapchat bakal terdorong untuk mengunggah konten Spotlight secara reguler. Sayangnya Spotlight sejauh ini baru tersedia di 11 negara saja, dan belum ada satu pun negara Asia yang termasuk.

Terlepas dari itu, Spotlight sekali lagi membuktikan bahwa keberhasilan TikTok tidak bisa dipandang sebelah mata; bahkan pencetus format Story pun sekarang mencoba meniru TikTok. Snapchat juga bukan satu-satunya yang melakukan hal itu, sebab Instagram baru-baru ini juga sudah merilis fitur serupa yang mereka namai Reels.

Sumber: The Verge dan Snap.

Bahas iPad Pro Generasi Ke-4 Vs MacBook Air M1, Pilih Mana?

Berkat sistem operasi iPadOS 14 dan aksesori Magic Keyboard mengubah tablet Apple iPad Pro generasi ke-4 menjadi ‘pengganti laptop’. Di sisi lain, kehadiran MacBook Air yang dengan chip baru Apple M1 berbasis ARM juga mendapat upgrade performa signifikan.

Di Indonesia, model dasar iPad Pro generasi ke-4 dengan penyimpanan 128GB WiFi only dibanderol Rp15.499.000 (belum termasuk Magic Keyboard). Sementara MacBook Air dengan chip M1 saat ini belum tersedia di Indonesia, tetapi di luar model dasarnya dibanderol US$999 atau sekitar Rp14 jutaan (biasanya lebih mahal di iBox).

Dengan rentang harga yang mirip sekitar Rp15-20 jutaan, tahun 2021 nanti mending pilih iPad Pro generasi ke-4 atau MacBook Air dengan chip M1? Mari cari tahu lebih banyak.

Form Factor

apple_ipad-pro-keyboard_now-available_04152020_big

Sebagai tablet, iPad Pro generasi ke-4 tentu lebih portabel. Apalagi tersedia dalam dua ukuran layar yaitu 11 inci dan 12,9 inci yang mendekati MacBook Air dengan 13,3 inci.

Saat terpasang dengan Magic Keyboard yang menempel secara magnetis dan melayang dan Apple Pencil generasi ke-2 yang juga menempel secara magnetis di atasnya, jelas dari sisi tampilan iPad Pro juga terlihat jauh lebih modern. Hamparan papan ketik berukuran penuh, lengkap dengan trackpad memberikan pengalaman mengetik dan mengoperasikan layaknya laptop dengan nyaman.

Apple_new-macbookair-wallpaper-screen_11102020_big

Sementara MacBook Air merupakan laptop tradisional, tanpa dukungan layar sentuh dan engselnya pun tidak bisa diputar 180 derajat. Meski kecantikan desain dan build quality premiumnya tak diragukan lagi, bodinya tipis dan juga cukup ringan.

Layar

apple_ipados14_widgets_062220_big

Kualitas layar Liquid Retina iPad Pro memang sangat mengesankan. Kedua versi baik itu 11 inci dan 12,9 inci sama-sama menggunakan panel IPS beresolusi tinggi dengan kepadatan piksel 264 ppi dan memiliki refresh rate 120Hz ProMotion. Layarnya ini mengusung teknologi True Tone dengan refektivitas rendah. Memiliki rentang warna luas P3, akurasi warna tinggi, dan tingkat kecerahan sampai 600 nit.

Apple_new-macbookair-gold-imovie-screen_11102020_big_carousel
Foto: Apple

Sedangkan, MacBook Air mengemas layar Retina 13,3 inci dengan resolusi 2560×1600 piksel yang juga dilengkapi teknologi True Tone yang secara otomatis menyesuaikan diri dengan cahaya di lingkungan dan tingkat kecerahan 400 nit. Walaupun spesifikasi tidak se-wah, kualitas layar MacBook Air juga sangat bagus di kelasnya.

Untuk mekanisme biometrik, iPad Pro generasi ke-4 sudah mengandalkan Face ID menggunakan kamera TrueDepth. Sementara, MacBook Air masih menggunakan sensor sidik jari alias Touch ID. Salah satu kelemahan MacBook Air ialah masih mengandalkan webcam dengan kualitas sebatas 720p saja. Sedangkan, iPad Pro kamera depannya TrueDepth 7MP dan belakangnya 12MP + 10MP.

Chipset

Foto: Apple
Foto: Apple

iPad Pro generasi ke-4 ditenagai chipset Apple A12Z Bionic, chip berbasis ARM 64-bit ini dibangun pada proses fabrikasi 7nm dan terdiri dari prosesor 8-core, GPU 8-core, dan Neural Engine 8-core. Berpadu RAM 6GB dan opsi kapasitas penyimpanan internal mulai dari 128GB, 256GB, 512GB, dan hingga paling besar 1TB.

MacBook Air generasi terbaru tak kalah menarik, karena sudah menggunakan chip M1 yang juga berarsitektur ARM atau Apple Silicon. Yang tertanam di M1 bukan hanya prosesor, melainkan termasuk GPU dan RAM sekaligus.

M1 juga sudah dibuat menggunakan proses pabrikasi 5nm, dengan total jumlah transistor yang mencapai 16 miliar. Chip ini terdiri dari prosesor 8-core, GPU 8-core, dan Neural Engine 16-core. Dukungan RAM 8GB atau 16GB, serta penyimpanan SSD 256GB hingga 2TB.

Tak hanya menawarkan performa yang lebih kencang, tetapi juga menawarkan efisiensi daya yang lebih tinggi. Fakta yang juga sangat menarik ialah semua aplikasi iPhone dan iPad kini kompatibel dengan macOS.

Verdict

Foto: Apple
Foto: Apple

Tablet yang bisa bertransofmrasi menjadi pengganti laptop, itulah iPad Pro generasi ke-4. Meski tidak benar-benar sepenuhnya dapat menggantikan laptop. Sebagai tablet, iPad Pro sangat menyenangkan saat digunakan. Dengan aksesori Magic Keyboard dan Pencil, bekerja dengan iPad Pro juga sangat nyaman.

Chipset Apple A12Z Bionic juga terbukti menyuguhkan performa yang sangat powerful. Sistem operasi iPadOS 14 dan ekosistem aplikasinya juga matang. Satu hal yang pasti, sebagai pengganti laptop batasan terbesar iPad Pro generasi ke-4 ini ialah kompatibilitas menjalankan software desktop.

Sementara, MacBook Air sekali lagi saya bilang laptop tradisional yang cantik yang ditujukan sebagai komputer untuk mengerjakan tugas sehari-hari. Di mana sampai di titik tertentu, sebetulnya iPad Pro generasi ke-4 juga bisa mengatasinya.

Bagian menarik MacBook Air yang baru ini ialah penggunaan chipset Apple M1 yang memiliki arsitektur yang sama dengan iPhone dan iPad sehingga membuatnya dapat menjalankan aplikasi iOS secara native. Saya harap kebalikannya juga, semoga iPadOS juga di masa mendatang bisa menjalankan software desktop Mac.

Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah siap melengkah maju dengan iPad Pro generasi ke-4? Atau tak mau kompromi dan memilih MacBook Air untuk penunjang kerja? Komputer Anda berikutnya mungkin bukan komputer.

Samsung Luncurkan Varian Baru Galaxy A21s dengan Storage Lebih Lega

Samsung hari ini (23/11) memperkenalkan varian baru dari Galaxy A21s. Saya bilang “varian baru” karena ponsel kelas menengah ke bawah ini sebenarnya sudah dipasarkan sejak bulan Juni lalu, dan sekarang Samsung memutuskan untuk memperbarui sejumlah bagiannya berdasarkan masukan dari para konsumen.

Menurut Irfan Rinaldi selaku Product Marketing Manager Samsung Electronics Indonesia, masukan yang paling banyak diterima adalah seputar kapasitas penyimpanan. Dijelaskan bahwa konsumen mendambakan kapasitas penyimpanan yang lebih besar, yang bisa mengakomodasi segala buah kreativitas mereka selama pandemi.

Atas dasar itulah Samsung memperkenalkan varian baru Galaxy A21s, yang kini dibekali dengan RAM 6 GB dan penyimpanan internal sebesar 128 GB (yang tentu saja dapat diekspansi lebih luas lagi dengan kartu microSD berkapasitas maksimum 512 GB). Supaya gampang dibedakan, varian baru ini mengusung warna baru (silver) sekaligus tekstur permukaan belakang yang agak berbeda.

Samsung Galaxy A21s

Selebihnya, Samsung tidak mengutak-atik jeroannya. Varian baru Galaxy A21s ini masih ditenagai chipset Exynos 850 dan baterai 5.000 mAh, lengkap beserta dukungan fast charging 15 W. Layarnya pun juga tidak berubah, masih berukuran 6,5 inci dengan resolusi 1600 x 720 pixel.

Seperti sebelumnya, varian baru Galaxy A21s ini juga masih mengunggulkan empat kamera belakang yang terdiri dari kamera utama 48 megapixel f/2.0, kamera ultra-wide 8 megapixel f/2.2, kamera macro 2 megapixel f/2.4, dan depth sensor 2 megapixel. Kamera depannya sendiri memakai sensor 13 megapixel dan lensa f/2.0.

Samsung Galaxy A21s

Menariknya, semua ini ditawarkan dalam harga yang lebih terjangkau daripada sebelumnya. Galaxy A21s varian anyar ini dibanderol Rp3.099.000, dan selama 23-25 November ini, Samsung malah juga mengadakan program flash sale dengan sejumlah penawaran menarik yang meliputi: potongan harga Rp200 ribu, plus bonus layanan Samsung Care+, casing resmi Disney, kuota IM3, dan langganan gratis YouTube Premium selama 2 bulan, dengan nilai total melebihi satu juta rupiah.

Galaxy A21s sebagai alat bantu berbisnis

Samsung Galaxy A21s

Kombinasi storage internal yang besar dan kamera yang mumpuni menjadikan Galaxy A21s sebagai ponsel yang oke untuk keperluan berbisnis. Pada kenyataannya, acara launching yang saya ikuti ini sebenarnya merupakan workshop bertemakan “Create awesome content for your business”, dan Samsung mencoba menyajikannya dari sudut pandang pengguna Galaxy A21s.

Narasumber yang dihadirkan ada dua, yakni Ian Agisti selaku Merchant Community and Engagement Lead Bukalapak, dan Berry Phann selaku pendiri sekaligus CEO Jasafotojakarta.com. Di sini saya coba rangkumkan sejumlah insight menarik dari mereka.

Dari Ian, beliau memaparkan bagaimana tren pencarian produk di Bukalapak – berlaku juga untuk e-commerce lain menurut saya – terus berganti setiap bulannya selama pandemi. Di bulan Maret misalnya, yang paling banyak dicari adalah produk-produk seperti masker dan hand sanitizer, tapi kemudian di bulan April sudah berganti menjadi produk-produk hobi macam game console, lego, dan lain sebagainya.

Namun yang lebih menarik adalah penjelasan beliau soal 5 hal pertama yang dilihat oleh konsumen dalam memilih produk yang hendak dibeli: foto produk, judul produk, harga, rating, dan label pelapak. Ya, foto ternyata adalah bagian pertama yang dilihat oleh calon konsumen sebelum mereka memutuskan untuk mempelajari lebih lanjut soal suatu produk. Kalau fotonya sudah tidak menarik, kecil kemungkinan produk yang dijual itu bakal dilihat.

Samsung Galaxy A21s

Dari situlah sejumlah tips fotografi yang diberikan Berry terdengar sangat menarik sekaligus applicable. Yang menjadi fokus Berry memang seputar fotografi makanan, tapi saya kira semestinya juga bisa diaplikasikan untuk foto produk secara umum.

Berry menjelaskan bahwa meski hanya bermodalkan smartphone seperti Galaxy A21s, foto yang dihasilkan bisa tetap memuaskan selama kita paham mengenai lighting. Pencahayaan di sini tidak harus mengandalkan set lampu yang biasa kita jumpai di studio foto, tapi bisa juga sebatas cahaya dari jendela, dibantu gorden semi transparan yang bertindak sebagai diffuser supaya bayangan produk yang difoto tampak lebih halus dan berkesan.

Satu kesalahan umum yang biasa dilakukan adalah lupa mematikan lampu ruangan, yang biasanya berujung pada terlihatnya bayangan tangan pengguna pada hasil foto (saat memotret dari atas misalnya). Idealnya, kalau sumber cahayanya berasal dari jendela, sebaiknya matikan lampu ruangan sehingga bayangan-bayangan yang tidak terduga ini tidak muncul begitu saja pada hasil akhir fotonya.

Berry turut memuji mode PRO pada Galaxy A21s yang memungkinkan pengguna untuk mengatur sejumlah parameter exposure secara manual. Secara keseluruhan, kamera Galaxy A21s memang terbukti cukup mumpuni, dan ini juga sudah pernah dibuktikan oleh rekan saya, Lukman, yang berkesempatan menguji varian lamanya secara mendalam.

Finantier Obtains Seed Funding, to Offer API service for Financial Business

Finantier is an open finance service developer startup, enabling financial companies to use an API (Application Programming Interface) connection to streamline multiple processes. In the Finantier service, there are three main features, verification of identity through data owned by users or bank data; help businesses manage raw data with machine learning; and provides features to accommodate regular payments or subscriptions.

The startup founded by Diego Rojas, Keng Low, and Edwin Kusuma, today (23/11) announced its pre-seed funding led by East Ventures with the participation of AC Ventures, Genesia Ventures, and several other investors. There is no further detail of the nominal funding obtained. The investment fund will be focused on strengthening the team and accelerating the development of their API technology, including preparing services to expand in various countries in Southeast Asia.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Finantier’s Co-Founders : Diego Rojas & Keng Low

“Open finance is a framework built on the principles of open banking that gives consumers the flexibility to access their data securely and use it optimally across multiple platforms,” ​​Finantier Co-Founder & CEO Diego Rojas said.

In Indonesia, open banking regulation is the responsibility of Bank Indonesia. Until now, the Open API standard is in its developing stage. Since last July 2020, BI has announced the release of the Open API standard, enabling collaboration between banks and fintechs to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems.

In Indonesia, there are several API service startups to accommodate various payments. One of the most comprehensive is Ayoconnect, which offers an API for transactions, payments, and even transaction data management. With a different approach, there is also an API-based open banking solution provided by Brankas, enabling developers to facilitate various transactions from user to bank.

“We are leveraging the digital footprint of consumers and businesses to provide them with safe access in Southeast Asia to customized financial services, which in turn help improve consumers’ financial well-being,” Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low added.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder & COO Edwin Kusuma outlined one of the issues that fintech players in Indonesia have often encountered. “P2P lending companies often have difficulty channeling loans to individuals and SMEs. Usually, this is due to a lack of information or because fintech companies are unable to get a complete financial picture of prospective borrowers, even though this data is needed to reduce loan risk and reduce costs.”

Finantier was founded in the middle of this year aiming to provide the infrastructure and data needed by businesses to build the next generation of financial products. Finantier enables fintech platforms and financial institutions to collaborate securely to provide consumers with flexibility, convenience and security in utilizing their financial data.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

The Importance of Education from a PhD Holder Esports Player

Every time I was invited to talk about esports in a school or university, there was always one question asked. “Which one is more important? Academic or non-academic pursuit?”

Before I give my answer at the end of this article, I want to emphasize how important that question is — considering only a few people could even reach that stage. Nowadays, most of the young people in the gaming community or even the general population underestimate the importance of education. Usually, their line is like this: “even Bill Gates, Mark Zuckerberg, or the others could be successful without an academic degree.”

That’s why I contacted Dr Yew Weng Kean. In case you didn’t know, as far as I know, he’s the only esports player with a PhD title at the time of this writing (November 2020). He is an electrical engineering PhD holder who won a gold medal in SEA Games 2019 for Hearthstone. He is living proof that gamers are not always ignorant of education. He is also the argument on how you could achieve success in academic and non-academic pursuit.


View this post on Instagram

A post shared by Syed Saddiq (@syedsaddiq)

This is my interview with him:

Hybrid (H): Hearthstone requires deeper thinking than some other fast-paced games (which requires more in reflex, eye-to-hand coordination, etc.). How do you think cognitive capabilities could be translated into better performance in those games?

Dr Yew (Y): Cognitive abilities can be applied to any competitive esports. Eg. Strategic planning can be applied in the drafting phase of MOBA games. Even during the game itself, we got to be able to think critically to outplay the opponents. This can be done when considering the item build of the hero for MOBA games or simply countering opponent’s important territories in shooting games.

H: I think education could also be a backup plan for pro players, for those who can’t play in the pro scene anymore (for any reason). What do you think about the importance of education for pro players?

Y: Regardless of the sport that you choose, may it be esports or traditional sports, I believe that education should always be a priority as it provides a solid fallback plan after the end of your esports career. Compared to before, esports is now getting some recognition from universities. Like traditional sports, there is a big opportunity in America and Europe for pro players to represent varsities in national leagues while also obtaining a fully funded sponsorship for their education. The average age of esports players is between 18-30, where they are at their prime especially for fast-paced games which require quick reflexes.

Via: Redbull
Via: Redbull

H: Practicing for the pro players requires a lot of time. What is your strategy or suggestions on time management? To manage the focus and time between education and practice?

Y: My suggestion would be, first of all, to pick only one game that you are good at. This is because you cannot expect to become pro in every game that you play. Hence, this allows you to focus well on that particular game, what are the technical skills required, what is the best strategy currently and which aspect of the game you are doing well and which aspects you can improve. You can also apply this in your education as well, where it is better to study one subject at a time and understanding which part you are doing well and which part you can improve upon. Time management is an important aspect as well to ensure that you are able to allocate some hours for study and for gaming every day but I would say the quality of those hours are even more crucial to ensure that you continue progressing in all the aspects that you are working on.

Sumber: LoL Esports Official
Via: LoL Esports Official

H: On what age should people practice to become a pro player? If we look at traditional sports, most people start practising from an early age. However, in esports, the game itself might not survive that long.

Y: Firstly, the early age should be used to develop the motor skills first, figuring out what is the player’s strengths and weakness. Some kids are able to identify their talents in their early age. For example, the youngest chess world champion at the age of 22, Magnus Carlsen was able to pick up chess at the age of 5 and compete in a tournament at the age of 8. But there are some as well who started late and was able to be successful as well. Hakeem Olajuwon, Pascal Siakam, Anthony Davis are some of the names of NBA players who picked up the sport later on in their teens but still managed to become a professional NBA player and went on to win an NBA championship. So if you know where your strength lies, you would be able to find a sport or esport that you are passionate enough to succeed in it.

Back to the first question I mentioned earlier, which one is more important? Academic or non-academic pursuit? Other questions related to this topic have been answered delicately by Dr Yew.

My answer, both of them are equally important. Students who only seek academic pursuit usually have fewer friends and less diverse experiences. Friends and diverse experiences could help to boost your chances to success — since I believe there is no sure thing in life

More friends will introduce you to more opportunities. Also, no matter how smart you are, you need other people to help you. Diverse experiences, on the other hand, could bring out your uniqueness compared to the others. I am a strong believer that richness in perspectives could make you a better and happier person.

However, education that could train our analytical thinking or cognitive abilities will work wonders combined with our social skills and richness in perspectives.

Feat Image via: Deposit Photos

Alpha JWC to Invest 29 Billion Rupiah into Culinary Startup “Mangkokku”

 

Culinary startup Mangkokku announced its seed funding worth of $2 million (nearly 29 billion Rupiah) from Alpha JWC Ventures. The fresh funds will be used for outlet expansion until next year.

For the record, Alpha JWC also invested in another culinary startup by Gibran, Goola, last year. In addition, other culinary startups that have listed in Alpha JWC’s portfolio are Kopi Kenangan, Hangry, and Lemonilo.

Mangkokku was founded last year by celebrity chef Arnold Poernomo, culinary entrepreneur Randy Kartadinata, and two children of the President of the Republic of Indonesia, Gibran Rakabuming and Kaesang Pangarep. Gibran and Kaesang serve as advisors for the day-to-day operations of the company.

Meanwhile, Arnold heads up culinary production and innovation, and Randy acts as CEO responsible for Mangkokku’s daily business and expansion. Before pioneering Mangkokku, the four founders had established at least 12 culinary companies in Indonesia and Australia, including Gioi, KOI Dessert Bart Sydney, and Markobar martabak outlets.

Mangkokku offers dishes in the form of a rice bowl or rice with side dishes served in a bowl with the taste of typical Indonesian food. There are 12 menus that are sold with prices ranging from Rp19 thousand to Rp54 thousand per portion.

Para founder Mangkokku / Mangkokku
Mangkokku Founders / Mangkokku

In an official statement, Arnold Poernomo said that his team adopted a global business perspective. He believes that to grow rapidly and sustainably, you must provide superior products at affordable prices and maintain the standard of every bowl served.

“Therefore, we operate all branches ourselves and use high-tech equipment in the main kitchen to maintain product quality and consistency,” he explained, Monday (23/11).

Randy Kartadinata added that during the pandemic, the company managed to adapt quickly to respond to changes in consumer demand, which are now moving higher. It is claimed, each Mangkokku branch can sell 400 to 600 bowls every day.

“Our big dream is to become the largest mass-market culinary group in Indonesia and build its own ecosystem consisting of various culinary brands and institutions. Not only that, we also want to be the best culinary company in terms of local and regional expansion and technical operations. That’s why we took this startup route and collaborated with Alpha JWC Ventures,” Randy continued.

Currently, Mangkokku has 22 branches in Jabodetabek and will expand to Surabaya in the near future. The company will add up to 30 store locations by the end of this year and 75 branches next year.

Also, next year they will start developing food menus outside the rice bowl concept, starting from drinks, desserts, and packaged chili sauce series. Thus, Mangkokku’s ambition as a complete culinary solution can be realized.

Alpha JWC Ventures partner Eko Kurniadi said that his team sees the culinary business as a sector that can benefit from venture funding and the use of technology. Mangkokku has performed brilliantly even during the pandemic.

“This proves that their products have been well received by the community. Our financial and business support as well as our previous experience will help Mangkokku develop into a large company faster,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Microsoft Teams Kini Tawarkan Video Chat Gratis Selama 24 Jam via Browser

Pandemi masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat, dan itu artinya Zoom masih menjadi salah satu aplikasi terlaris yang digunakan oleh seisi Bumi setiap harinya. Juga masih relevan adalah fakta bahwa sejumlah aplikasi video chat lain masih terus mencoba untuk ‘mencuri’ sebagian dari pengguna Zoom.

Salah satunya adalah Microsoft Teams, yang sekarang bisa kita pakai untuk video conference dengan 299 orang lainnya melalui aplikasi desktop maupun web app-nya. Ya, total bisa ada 300 partisipan dalam satu sesi, dan Teams sendiri bisa menampilkan sebanyak 49 orang sekaligus di satu layar, baik dalam format gallery view maupun format unik yang dinamai Together Mode.

Yang istimewa, satu sesi dengan orang sekampung itu bisa berlangsung sampai 24 jam nonstop, tidak harus berhenti dulu dan disambung lagi setelah 40 atau 60 menit seperti ketika menggunakan Zoom maupun Google Meet. Yang perlu menggunakan akun Microsoft juga cuma sang pembuat room, dan sisanya bisa bergabung secara langsung lewat browser tanpa harus mengunduh apa-apa terlebih dulu.

Kalau fasilitas yang ditawarkan terdengar familier, mungkin itu dikarenakan sebelumnya Anda sudah pernah tahu tentang Skype Meet Now, yang notabene juga merupakan produk milik Microsoft. Kendati demikian, pamor Skype mungkin sudah tidak setenar dulu, dan lagi Microsoft Teams juga sudah bisa digunakan untuk kebutuhan personal sejak bulan Juni lalu. Apakah ini termasuk kanibalisasi produk? Saya rasa tidak salah apabila Anda berpikir begitu.

Terlepas dari itu, langkah berani ini Microsoft ambil demi menyambut hari raya Thanksgiving yang akan berlangsung pada tanggal 26 November 2020, sebab di hari tersebut bisa dipastikan bakal ada banyak keluarga di negara-negara barat yang saling bertatap muka via video chat. Zoom sendiri sudah mengumumkan bahwa mereka bakal meniadakan batasan durasi 40 menit khusus di hari Thanksgiving.

Dalam kesempatan yang sama, Microsoft juga mengumumkan sejumlah fitur baru untuk aplikasi Teams di smartphone, dan salah satu yang paling menarik adalah kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan sebagai SMS, berguna saat hendak menghubungi daftar kontak yang bukan merupakan pengguna Teams. Sayangnya fitur ini untuk sementara baru tersedia di Amerika Serikat dan Kanada saja.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Alpha JWC Berinvestasi 29 Miliar Rupiah untuk Startup Kuliner “Mangkokku”

Startup kuliner Mangkokku mengumumkan pendanaan tahap awal perdananya (seed funding) sejumlah $2 juta (hampir 29 miliar Rupiah) dari Alpha JWC Ventures. Dana segar ini akan digunakan untuk menambah ekspansi gerai sampai tahun depan.

Sebagai catatan, Alpha JWC juga berinvestasi ke startup kuliner milik Gibran lainnya yakni Goola pada tahun lalu. Selain itu, startup kuliner lainnya yang masuk ke portofolio Alpha JWC, yakni Kopi Kenangan, Hangry, dan Lemonilo.

Mangkokku didirikan pada tahun lalu oleh chef selebritas Arnold Poernomo, pengusaha kuliner Randy Kartadinata, dan dua anak Presiden RI yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Gibran dan Kaesang menduduki posisi sebagai penasihat untuk operasional sehari-hari perusahaan.

Sementara, Arnold mengepalai produksi dan inovasi kuliner, dan Randy bertindak sebagai CEO yang bertanggung jawab atas ekspansi dan bisnis harian Mangkokku. Sebelum merintis Mangkokku, keempat pendiri ini sudah mendirikan setidaknya 12 perusahaan kuliner di Indonesia dan Australia, termasuk Gioi, KOI Dessert Bart Sydney, dan gerai martabak Markobar.

Mangkokku menawarkan hidangan dalam bentuk rice bowl atau nasi dengan lauk yang disajikan di dalam mangkuk dengan cita rasa makanan khas Indonesia. Ada 12 menu yang dijual dengan harga mulai dari Rp19 ribu hingga Rp54 ribu per porsi.

Para founder Mangkokku / Mangkokku
Para founder Mangkokku / Mangkokku

Dalam keterangan resmi, Arnold Poernomo menuturkan pihaknya mengadopsi cara pandang bisnis global. Ia percaya untuk berkembang dengan pesat dan berkelanjutan, harus menyediakan produk superior dengan harga terjangkau dan menjaga standar setiap mangkuk yang tersaji.

“Karena itu, kami mengoperasikan sendiri semua cabang dan menggunakan peralatan berteknologi tinggi di dapur utama untuk menjaga kualitas dan konsistensi produk,” terangnya, Senin (23/11).

Randy Kartadinata menambahkan, selama pandemi perusahaan berhasil beradaptasi dengan cepat untuk menjawab perubahan permintaan konsumen yang kini pergerakannya lebih teratas. Diklaim, setiap harinya tiap cabang Mangkokku mampu menjual 400 hingga 600 mangkuk.

“Mimpi besar kami adalah menjadi grup kuliner mass-market terbesar di Indonesia dan membangun ekosistem sendiri yang terdiri dari berbagai merek dan institusi kuliner. Tak hanya itu, kami juga ingin menjadi perusahaan kuliner terbaik dalam hal ekspansi lokal dan regional serta operasional teknis. Karena itulah kami mengambil rute startup ini dan bekerja sama dengan Alpha JWC Ventures,” sambung Randy.

Saat ini Mangkokku memiliki 22 cabang di Jabodetabek dan akan merambah ke Surabaya dalam waktu dekat. Perusahaan akan menambah lokasi gerai hingga 30 pada akhir tahun ini dan 75 cabang pada tahun mendatang.

Tak hanya itu, tahun depan mulai mengembangkan menu makanan di luar konsep rice bowl, dimulai dari minuman, makanan penutup, dan seri sambal kemasan. Dengan demikian, ambisi Mangkokku sebagai solusi kuliner komplet dapat terwujud.

Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menuturkan pihaknya melihat bisnis kuliner sebagai sektor yang dapat diuntungkan dari pendanaan ventura dan penggunaan teknologi. Mangkokku telah menunjukkan kinerja cemerlang bahkan saat pandemi.

“Hal ini membuktikan bahwa produk mereka telah diterima masyarakat dengan baik. Dukungan finansial dan bisnis serta pengalaman kami sebelumnya akan membantu Mangkokku berkembang lebih cepat menjadi perusahaan besar,” katanya.