Olive Pro Adalah Alat Bantu Dengar Sekaligus TWS dengan Active Noise Cancellation

Hampir semua TWS premium yang dibekali active noise cancellation (ANC) turut dilengkapi juga dengan fitur untuk membiarkan suara dari sekitar masuk ketika dibutuhkan – biasanya disebut mode ambient atau transparan. Dalam posisi seperti itu, tidak salah apabila sebuah TWS kita anggap sebagai alat bantu dengar, bukan?

Mungkin dengan berlandaskan pada gagasan semacam itulah perangkat bernama Olive Pro ini dibuat. Pengembangnya, sebuah startup asal Korea Selatan bernama Olive Union, mendeskripsikannya sebagai perangkat 2-in-1: alat bantu dengar sekaligus true wireless earphone.

Olive Pro

Dilihat sepintas, wujudnya memang tidak kelihatan seperti sebuah alat bantu dengar sedikit pun. Namun pada kenyataannya, produk ini terdaftar sebagai perangkat medis, setidaknya di Amerika Serikat. Harapannya tentu saja adalah untuk menghapuskan stigma buruk yang kerap muncul ketika melihat seseorang yang mengenakan sebuah alat bantu dengar di area publik.

Pengembangnya bilang bahwa Olive Pro memanfaatkan teknologi noise cancellation berbasis machine learning untuk mengisolasi suara-suara yang tidak diinginkan, dan di saat yang sama mengamplikasi suara-suara seperti percakapan, suara TV, musik, dan lain sebagainya. Sebagai TWS sendiri, kualitas suaranya ditunjang oleh driver tipe balanced armature.

Tentu saja berhubung ini merupakan alat bantu dengar, ia datang bersama sebuah aplikasi smartphone yang dapat digunakan untuk menyesuaikan profil suara yang dihasilkan dengan kualitas pendengaran masing-masing. Prosesnya disebut hanya memakan waktu sekitar 5 menit saja, jauh lebih praktis daripada harus berkunjung ke dokter THT.

Olive Pro

Hal lain yang tidak kalah penting adalah daya tahan baterai, terutama berhubung perangkat ini bakal digunakan hampir setiap saat, bukan cuma saat ingin mendengarkan musik saja. Dalam sekali pengisian, Olive Pro dipercaya mampu beroperasi selama sekitar 7 jam pemakaian. Layaknya TWS lain, Olive Pro juga datang bersama sebuah wireless charging case yang siap menyuplai daya sebanyak dua kali, memberikan total pemakaian selama sekitar 20 jam.

Untuk pemasarannya, Olive Pro saat ini sudah bisa dipesan melalui situs crowdfunding Indiegogo. Harga paling murah yang bisa didapat para backer adalah $199, selisih $100 dari estimasi harga ritelnya, dan sangat terjangkau untuk ukuran alat bantu dengar.

Sumber: Engadget.

Startup “Food Discovery” Tertatih-tatih Sepanjang Pandemi

Startup direktori dan review tempat makan (food discovery) ikut menjadi korban efek pandemi karena berkurangnya mobilitas masyarakat di kala waktu senggang untuk makan di luar rumah. Menurut catatan DailySocial, setidaknya tahun ini saja ada empat startup segmen ini yang gulung tikar di Indonesia.

Mereka adalah Eatsy, MariMakan, Club Alacarte, dan terakhir Zomato. Zomato baru saja membubarkan tim operasionalnya di Indonesia, meski aplikasi dan situsnya masih bisa diakses. Pemain yang tersisa, seperti Chope, Qraved, Eatigo, dan Traveloka Eats, mendiversifikasi bisnisnya ke pengiriman makanan demi menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Hanya PergiKuliner yang masih bertahan sebagai startup direktori.

Menurut Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li, sebenarnya industri F&B di Indonesia bernilai miliaran dolar karena kelas menengah yang tumbuh pesat. Ini merupakan salah satu faktor mengapa industri ini terus menarik startup teknologi yang didukung oleh modal ventura.

Namun, bisnis direktori menjadi salah satu vertikal bisnis yang harus “gigit jari” karena mereka gagal memonetisasi dan mewujudkan visinya sebagai perusahaan berkelanjutan.

“Banyak dari model awal ini fokus sebagai direktori atau listing yang berhasil memperoleh dan mempertahankan traffic yang signifikan, tapi tidak mampu menghasilkan pendapatan iklan yang signifikan. Pada akhirnya bisnis tutup atau perlu pivot,” terang Adrian kepada DailySocial.

Lebih dalam dijelaskan, startup direktori kebanyakan mengandalkan iklan sebagai model bisnis inti. Sayangnya mereka tidak dapat mencapai skala monetisasi. Permasalahan terjadi karena pendapatan iklan yang rendah dari restoran, dominasi bisnis jaringan restoran vs standalone, dan tingginya konsentrasi bisnis restoran berbasis mal.

“Covid-19 hanya mempercepat penutupan perusahaan-perusahaan tersebut pada bisnis yang non sustainable di Indonesia.”

Oleh karena itu, sambungnya, perlu ada perubahan strategi bisnis dengan menjadikan food directory sebagai fitur tambahan, bukan sebagai bisnis yang berdiri sendiri. Bisnis seperti ini dapat menjadi mesin pencetak traffic yang efektif dan berguna untuk konsumen.

“Tapi dengan catatan harus tetap menghasilkan pendapatan langsung untuk restoran. Model ini potensial untuk ini menjual kupon, pengiriman, memesan terlebih dahulu, atau pick up. Kami telah melihat ini sebagai pendorong yang kuat untuk Gojek melalui Go-Food yang pada dasarnya listing + pengiriman.”

Chope masuk ke layanan pengiriman makanan

Formula yang disampaikan Adrian cukup mencerminkan kondisi yang terjadi sekarang ini. Banyak startup foodtech yang berbondong-bondong menyediakan jasa pengiriman makanan.

Chope jadi salah satu yang terjun ke sana, meski tidak langsung. Menurut penjelasan General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty, pandemi ini membawa seluruh industri F&B dan perusahaan ke dalam posisi yang sulit. Chope sendiri fokus sebagai platform reservasi dine-in untuk konsumen yang ingin menikmati suguhan di restoran favorit.

Lockdown merupakan hambatan terbesar bagi Chope karena hal itu membuat bisnis kami benar-benar terhenti,” katanya.

 General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope
General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope

Kondisi tersebut tidak serta merta membuat Chope harus memberhentikan karyawan. Karthik memastikan tidak ada pemberhentian siapapun di tim Chope, baik di Indonesia atau di negara lain. “Kami semua mengambil pemotongan gaji dan untungnya model bisnis kami memungkinkan kami memiliki sejumlah cadangan yang tidak mengharuskan kami untuk layoff.”

Ia menceritakan, CEO perusahaan mengatakan “Don’t let a crisis go to waste!”. Jangan biarkan krisis jadi sia-sia (karena tidak melakukan apa-apa) kepada seluruh tim Chope. Oleh karena itu tim bekerja keras mengembangkan layanan baru Chope on Delivery.

Di Singapura, markas Chope, mereka bekerja sama dengan operator taksi lokal sebagai mitra pengirim makanan untuk mitra restoran Chope. Layanan ini hadir karena restoran kelas atas mengeluh karena biaya yang harus dibayarkan kepada kurir operator lokal terlalu mahal.

“Tim produk dan engineer kami bekerja non stop selama 72 jam untuk memodifikasi produk existing agar konsumen dapat memilih menu spesifik, terintegrasi dengan aplikasi taksi, dan kami mulai onboard restoran di Singapura untuk memasukkan menu mereka. Setiap pesanan akan dikirim ke taksi terdekat untuk melakukan pengiriman.”

Orang Singapura memang secara rutin memesan makanan di restoran kelas atas, sehingga cara ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Untuk itu, Chope on Delivery di Indonesia dimodifikasi. Disebutkan Chope sulit menemukan mitra dalam waktu cepat dan proses integrasi yang memakan waktu. Karthik juga tidak ingin berkompetisi langsung dengan GoFood atau GrabFood.

Chope memiliki layanan e-commerce di dalam platform-nya. Akhirnya mereka menjual voucher dari berbagai paket menu, katering, maupun reguler, yang dijual mitra restoran. Pembeli dapat mengklaim voucher tersebut dengan mengontak restoran melalui WhatsApp. Pengiriman akan dilakukan melalui GoSend atau GrabExpress.

“Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Respons konsumen terhadap layanan ini, klaim Karthik, tidak buruk dari kacamata bisnis — meski belum signifikan jika dibandingkan sebelum pandemi.

“Namun yang terpenting adalah mitra restoran kami melihat bahwa kami masih berusaha melakukan berbagai hal untuk mendukung mereka dan mereka sangat menghargai hal ini. Melalui fitur ini, kami berusaha terus relevan dengan pengguna kami, sehingga mereka tidak perlu melupakan Chope sepenuhnya selama berbulan-bulan lockdown di Indonesia.”

Di luar layanan Chope on Delivery, perusahaan juga membuat diversifikasi bisnis lainnya dengan menjual tiket hotel karena banyak mitra restoran yang berlokasi di dalam hotel. Layanan “Save now, stay & dine later” memungkinkan konsumen untuk staycation di hotel dengan harga murah kapan saja dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan hotel.

Perusahaan membuat program dining voucher yang lebih fleksibel untuk membantu mitra restoran terhindar dari pembatalan dan konsumen yang tidak jadi datang (no-show). “Cara ini efektif menurunkan angka pembatalan karena konsumen dapat mengganti tanggal kedatangan. Tidak perlu membatalkan jika ada hal darurat.”

Ke depannya, Chope ingin memperkuat teknologinya untuk membantu lebih banyak restoran yang terdampak pandemi. Mitra dapat memaksimalkan pendapatannya dengan memanfaatkan sistem manajemen reservasi meja, membangun database yang dipersonalisasi dengan sistem CRM, dan mengantarkan lebih banyak pelanggan ke restoran. Tidak hanya berbentuk visibilitas pemasaran, tetapi juga melacak dan mengirim pelanggan ke restoran.

“Dalam jangka panjang, kami akan perluas layanan ke semua kota tier 1 dan 2 di Indonesia serta dengan perkembangan pesat di industri F&B di negara lainnya.”

PergiKuliner tetap bertahan sebagai direktori

Tim PergiKuliner / PergiKuliner
Tim PergiKuliner / PergiKuliner

DailySocial juga berkesempatan untuk mewawancarai CEO PergiKuliner Oswin Liandow. Ia menceritakan saat PSBB ketat diberlakukan pada Maret kemarin, traffic PergiKuliner terus berkurang. Sebulan setelah pandemi, traffic turun hingga minus 65% atau tersisa hanya sepertiga.

Buruknya kinerja ini harus diantisipasi secara cepat dengan berinovasi. “Kami memperkirakan kapan pandemi berakhir, bagaimana perubahan behavior user saat dan setelah pandemi, apa yang bisa kami lakukan, dan akhirnya ada banyak keputusan yang kami ambil,” tuturnya.

Keputusan terberat akhirnya harus diambil pada awal April dengan efisiensi karyawan. Oswin tidak menyebut berapa banyak karyawan yang terkena dampak. “Ini adalah keputusan terberat yang pernah saya ambil selama membangun PergiKuliner. Namun dengan semua pertimbangan yang ada, kami harus mengambil langkah ini.”

Berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mitra restoran. Akhirnya PergiKuliner memutuskan membantu mereka yang membuka jasa pengiriman gratis dengan membuat laman direktori khusus dengan tagar BebasOngkir. Program ini diklaim sukses. Ada ribuan restoran ikut berpartisipasi.

Setelah PSBB mulai dilonggarkan, perusahaan membuat QR Code untuk melihat menu restoran secara online melalui situs atau aplikasi PergiKuiliner. Diklaim ada ribuan restoran yang sudah menggunakan QR Code dan jumlahnya terus bertambah setiap harinya.

Logo PergiKuliner

Saat PSBB transisi dan mulai dibukanya makan di restoran secara terbatas, traffic PergiKuliner diklaim hampir kembali normal atau 90% dari sebelum pandemi. Oswin meyakini strateginya untuk tetap berada di direktori dan review tempat makan adalah benar karena selalu dibutuhkan.

“Ke depannya kami menyiapkan beberapa proyek baru untuk meningkatkan excitement user. Salah satunya PergiKuliner Berburu Kopi yang akan launch awal Desember. Pengguna bisa mendapatkan gratis satu kopi setelah pergi ke lima coffee shop berbeda. Mereka bisa memilih dari ratusan tenant yang berpartisipasi,” tutupnya.

Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

The impact of the Covid-19 pandemic has finally brought Indonesia officially into a row of countries experiencing a recession. The Central Bureau of Statistics (BPS) recorded a growth of minus 3.49 percent Gross Domestic Product (GDP) on an annual basis (Year-on-Year/YoY).

This condition claims an alert for all the business sectors in Indonesia, considering that not a few have been affected by Covid-19. Business people, large to small, have struggled to survive this situation over the past few months.

How do fintech players run business in times of recession? See in full the interesting explanation from CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai and Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma in the following #SelasaStartup session.

Trend for consumer behavior and business impact

Pandemic triggers changes in consumer behavior in transactions. This trend applies worldwide, including in Indonesia. For OVO and Asetku, shifting from offline to online has a positive and negative impact on their business.

Based on company data, Jaygan admitted that there was a significant increase in food ordering (Grab Food) and online shopping (Tokopedia). Because of this shift, consumers tend to be promo-centric and cost-centric.

“We do see a decline, but it’s not as bad as we thought. We are trying to reach [the target] that we have corrected. Currently, we see that people are getting used to [transacting online] during the pandemic,” he said.

Meanwhile, Asetku, who plays in P2P lending, admitted that he experienced an increase in Non-Performing Loans (NPL) as a result of business difficulties during the PSBB period. As of September 2020, the company noted that the NPL of My Assets increased to 8.27% from the average NPL before the pandemic of 1% -2%.

Jimmi even saw an increase in the number of lenders rather than borrowers on his platform. According to him, this happened due to several factors, such as changes in consumer behavior in shopping, a decline in the JCI, tightening borrower criteria, and government initiatives to restructure debt.

“We see that the demand for borrowers has increased, so we have tightened the criteria. In addition, consumer loans have also increased because of the shifting behavior. Consumers often shop online,” he said.

Mitigation act

With the current situation, business players have started to secure the business and keep the runway long by mitigating both in terms of cost efficiency and re-evaluating their future strategies.

Both Jaygan and Jimmi claim to be efficient in their business by cutting unnecessary costs. In the Asetku case, his party took mitigation steps according to the government’s initiative to restructure.

However, according to Jimmi, one thing that should be underlined is to continue to observe trends in existing consumer behavior. According to him, it is important to understand this so that the company can continue to channel and maybe even increase loans to existing borrowers.

Meanwhile, Jaygan assessed the importance of understanding consumers to maintain the relevance of his services in the future. His party even evaluated a number of collaborations with several partners because they became irrelevant during a pandemic, for example with malls.

“This is all about optimizing what we spend, the difficult thing is to grow revenue lines and stay relevant to our consumers, especially when the promo period ends. That’s why we build risk mitigation, it takes time being customer centric,” he said.

Opportunities for SMEs to drive cashless

On the other hand, the pandemic is recognized as a momentum to accelerate a cashless society, especially since there are still many people in Indonesia who depend on cash. One of the most highlighted segments of MSME players is considered to be the most affected by the pandemic.

For Jaygan, this situation is an opportunity to encourage the penetration of QRIS features throughout Indonesia through the MSME segment, such as merchants in the market. According to company data, there are OVO merchant partners from this segment that are affected.

“Before the pandemic, we acquired MSMEs in Indonesia, for example with Pujasera. Because many were affected by the pandemic, we tried to convert merchants from offline to online with Tokopedia and Grab so that their business would continue,” he said. Now he sees an increasing trend of additional users outside Java who have been identified as being cash centric.

Meanwhile, as mentioned earlier, said Jimmi, his party continues to strive to accommodate loans to the MSME segment, especially for merchants selling on e-commerce platforms that are partners.

“The SMEs loan is not large, around Rp. 5-15 million. With KYC, algorithms, and mitigation measures, we are trying to accommodate their loans because this segment is untouched by banks, ”he explained.

Recession: Challenge or Opportunity?

Personally, Jaygan considered that a recession due to a prolonged pandemic has become a kind of reality check in running a business. He learned to think carefully before executing something.

According to him, this could be a good implication or not in the future.
“If there was no reality check, we would have just spent, not necessarily we could come up with new products or think about new market segments,” said Jaygan.

Meanwhile, Jimmi did not see this recession as a brutal challenge for fintech players, but a learning moment to be able to sustain a business. Moreover, he said, Indonesia was not the first to face this situation. Indonesia experienced economic crises in 1998 and 2008.

“The definition of economy is very broad, of course this situation can be an opportunity to learn because we have experienced crises before,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kerja.io Jembatani Perusahaan Rekrut Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat untuk Kerja Magang

Bertujuan untuk menjembatani kebutuhan startup dan perusahaan di Indonesia merekrut/memberikan kesempatan kerja magang kepada mahasiswa Indonesia yang studi di Amerika Serikat, Timothy Sam Wijaya kemudian mendirikan Kerja.io.

Platform resmi meluncur bulan November ini dan telah memiliki sekitar 800 pelajar dari 150 lebih universitas yang masuk dalam daftar tunggu, tersebar di Amerika Serikat. Kerja.io juga telah menjalin kerja sama strategis dengan 40 perusahaan di Indonesia mulai dari Ovo, Tokopedia, Bukalapak, sampai Payfazz.

Kepada DailySocial Timothy mengungkapkan, saat ini dirinya melihat kebanyakan di Indonesia kesempatan untuk kerja magang di perusahaan masih terbatas pada rekomendasi atau ruang lingkup kecil di antara rekanan dan orang dalam saja. Masih banyak pelajar yang kesulitan untuk mendapatkan kesempatan kerja magang di startup dan perusahaan ternama di Indonesia. Setelah melakukan beberapa uji coba, Timothy kemudian memvalidasi hipotesis tersebut dan mulai membangun Kerja.io.

“Dari semua perusahaan yang telah melakukan perbincangan dengan kami kebanyakan sangat antusias dengan peluang yang kami berikan untuk menjangkau lebih banyak talenta Indonesia yang studi di luar negeri. Dengan pendekatan yang kami lakukan yaitu memiliki eksistensi yang cukup baik di universitas terbaik yang memiliki komunitas Indonesia. Didukung dengan relasi kami dengan PERMIAS Nasional (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat), memungkinkan kami untuk memperluas jaringan dan menjangkau lebih dari 8 ribu pelajar,” kata Timothy.

Dalam waktu 24 jam sejak platform diluncurkan, pelajar Indonesia yang berasal dari Ivy League seperti UCLA, UC Berkeley, Stanford, MIT banyak yang langsung mendaftarkan diri bergabung dalam platform Kerja.io. Disinggung seperti apa model bisnis dan strategi monetisasi yang diterapkan, Timothy menegaskan saat ini platform bisa diakses secara gratis. Kerja.io belum melancarkan strategi monetisasi baik untuk pengguna maupun untuk perusahaan saat ini.

Memenuhi kebutuhan talenta digital

Kerja.io
Kerja.io hubungkan mahasiswa dengan perusahaan yang membuka lowongan magang

Makin bertambahnya jumlah startup di tanah air, tidak didukung dengan jumlah talenta digital dengan skill dan kemampuan yang dibutuhkan. Melihat peluang tersebut, diharapkan platform seperti Kerja.io bisa menjadi pilihan bagi perusahaan Indonesia untuk merekrut talenta digital segar, lulusan universitas ternama di Amerika Serikat.

Menurut Timothy, antusiasme dari para pelajar yang belajar di luar negeri saat ini untuk kerja magang di tanah air juga makin bertambah, seiring dengan makin besarnya pertumbuhan startup dan kehadiran perusahaan teknologi di Indonesia.

“Saya melihat saat ini merupakan waktu yang sangat tepat. Pandemi telah menyebabkan sebagian besar pelajar yang melanjutkan studi di Amerika Serikat untuk memikirkan kembali rencana mereka, dan kami melihat mulai banyak pelajar kembali ke tanah air setelah lulus. Namun tidak hanya karena pandemi, kebanyakan dari mereka sangat antusias dengan potensi yang ditawarkan di tanah air,” kata Timothy.

Secara khusus Kerja.io mengklaim kebanyakan pengguna di platform adalah talenta muda yang terbilang sangat tech-savvy yang kemudian banyak diincar oleh perusahaan dan startup di Indonesia.

Masih banyak target yang ingin dicapai oleh Kerja.io, selain fokus kepada pertumbuhan juga ingin menambah lebih banyak perusahaan dari berbagai industri. Kerja.io juga ingin memperkuat posisi mereka di Amerika Serikat dan memperkuat fondasi untuk bisa melakukan ekspansi ke pasar yang lainnya.

Yang kemudian ingin di garisbawahi oleh Kerja.io adalah, semua orang yang tergabung dalam tim adalah mereka mahasiswa sarjana yang masih berusia 19-21 tahun dengan pengecualian Alvin Salim yang merupakan merupakan mahasiswa Magister (Masters student).

“Kami memulai perjalanan kami dengan membantu perusahaan melakukan perekrutan talenta terbaik dan membantu pelajar mendapatkan kesempatan kerja magang impian mereka, dan kami akan terus membantu mereka. Kerja.io merupakan produk dari niat baik sekelompok mahasiswa yang ingin membantu rekan-rekan mereka,” kata Timothy.

Fortnite Kini Dilengkapi Fitur Video Chat

Fortnite yang kita kenal sekarang bukan lagi sebatas game battle royale pesaing PUBG dengan grafik yang lebih kartun. Secara perlahan Fortnite terus bergeser menjadi semacam platform sosial baru, dan puncaknya bisa kita lihat di masa pandemi ini, di mana Fortnite telah dipercaya menjadi tempat penayangan perdana trailer sebuah film blockbuster maupun panggung konser bagi sejumlah musisi ternama.

Inisiatif Epic Games baru-baru ini juga semakin memantapkan konsep Fortnite sebagai platform sosial tersebut. Mereka baru saja menghadirkan fitur video chat pada Fortnite sehingga yang bisa saling menyapa di Fortnite bukan cuma karakter virtual saja, melainkan juga orang-orang di baliknya.

Fitur video chat ini memanfaatkan layanan milik Houseparty, aplikasi video chat yang Epic akuisisi pada pertengahan tahun 2019 lalu. Jauh sebelum ini, Epic sebenarnya sudah mengintegrasikan Houseparty ke dalam Fortnite, tapi hanya dalam bentuk voice chat saja, jadi tidak heran apabila banyak yang sudah memprediksi kedatangan fitur video chat ini sejak lama.

Untuk menggunakannya, pemain Fortnite wajib mengunduh aplikasi Houseparty di perangkat Android atau iOS terlebih dulu, lalu menghubungkan akun Houseparty dengan akun Epic Games-nya. Selanjutnya, pemain tinggal mengepaskan posisi perangkat supaya wajahnya terpampang jelas di kamera.

Fortnite Houseparty video chat

Penting untuk dicatat, fitur video chat ini baru tersedia di Fortnite versi PC, PlayStation 4 atau PlayStation 5 saja. Satu chat room bisa menampung sampai 10 orang, akan tetapi yang ditampilkan di sisi kiri game Fortnite hanya empat orang yang terakhir aktif berbicara saja.

Menariknya, tanpa mengharuskan pemain memasang green screen di belakangnya, aplikasi Houseparty bisa secara otomatis meng-crop bagian wajah sekaligus mengganti latar belakangnya dengan bermacam warna. Menurut Epic, hal ini dapat terwujud berkat penggunaan aset face detection library dari Apple dan Google sendiri – mungkin inilah alasan mengapa pemain harus menggunakan aplikasi Houseparty di smartphone sebagai kameranya.

Epic sejauh ini belum bisa memastikan kapan fitur ini bakal merambah Fortnite di platform selain tiga tadi. Apakah mungkin ke depannya integrasi Houseparty semacam ini juga bakal tersedia di game multiplayer lain yang menggunakan Unreal Engine? Kita tunggu saja.

Sumber: Epic Games dan The Verge.

Apple Akan Pangkas Komisi Pengembang di App Store Sebesar 15%

Kebijakan Apple terkait tarif komisi sebesar 30% di toko aplikasi App Store atas pemasukan yang peroleh dari transaksi in-app, dianggap memberatkan bagi beberapa kalangan pengembang. Kabar baiknya, perusahaan asal Cupertino tersebut telah mengumumkan pengurangan tarif komisi di App Store terutama bagi pengembang kecil.

Lewat program bernama ‘App Store Small Business Program‘, para pengembang dengan pendapatan kurang dari US$1 juta atau Rp14 miliar per tahun akan mendapatkan potongan biaya sebanyak 15% atau setengah dari standar yang ditetapkan oleh Apple.

Program bisnis kecil App Store ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2021 dan sebagian besar pengembang aplikasi iOS seharusnya dapat mengakses program tersebut. Para pengembang akan diminta untuk apply program tersebut, Apple akan mengungkap lebih banyak informasi terkait proses dan persyaratannya pada bulan Desember.

Pengembang baru juga langsung memenuhi syarat dan nantinya bagi pengembang yang memperoleh penghasilan menembus US$1 juta di tahun 2021, mereka akan secara otomatis dihapus dari program dan dikenakan tarif komisi standar 30%. CEO Apple Tim Cook menggambarkan langkah tersebut sebagai cara untuk mendukung bisnis kecil di kondisi pandemi covid-19, yang ia gambarkan dalam sebuah pernyataan sebagai “tulang punggung ekonomi global dan jantung inovasi”.

Program baru ini pasti akan menyenangkan lebih banyak pembuat aplikasi khusus, pengembang game indie, dan anggota ekosistem iOS lainnya. Meski begitu, protes dan ketidakpuasan kebijakan komisi 30% di App Store tidak akan berhenti sampai di sini.

Belum lama beberapa pengembang yang terdiri dari Epic Games, Spotify, Deezer, Tile dan Match Group, bersatu dan membentuk kelompok bernama Coalition for App Fairness untuk melawan kebijakan App Store dan bertujuan untuk menciptakan level yang setara untuk bisnis aplikasi dan memberikan orang-orang kebebasan untuk memilih di perangkatnya.

Sumber: The Verge

Live Streaming itu Gampang, 5 Tips ini Akan Bantu Kamu untuk Memulai

Tren live streaming belum menunjukkan tanda-tanda mereda sepanjang pandemi, justru data dari Techjury menunjukkan pergerakan yang sebaliknya, di mana live streaming mengalami pertumbuhan sebesar 99% dari April 2019 hingga April 2020.

Continue reading Live Streaming itu Gampang, 5 Tips ini Akan Bantu Kamu untuk Memulai

Peluang Bisnis Aplikasi Catatan Keuangan untuk Warung

Menurut data yang dipublikasi BPS, per tahun 2018 ada sekitar 64,2 juta unit UMKM di seluruh Indonesia. Jumlah besar tersebut menjadi pangsa pasar potensial untuk digarap.

Menurut para investor, dari beberapa wawancara yang kami lakukan terhadap venture capital di Indonesia, salah satu sasaran mereka adalah startup yang mengembangkan solusi pemberdayaan UMKM – biasanya berbentuk SaaS.

Di antara varian aplikasi atau layanan yang dikembangkan untuk UMKM, salah satu yang tengah naik daun adalah solusi pencatatan keuangan bisnis. Tujuannya membantu pengusaha kecil melakukan pencatatan uang masuk dan keluar. Para pengembang sengaja menyasar kalangan pebisnis mikro-kecil, seperti pemilik warung atau toko kelontong, dengan dalih kebanyakan dari mereka masih menggunakan model pencatatan manual dengan buku – bahkan beberapa tidak melakukannya.

Hampir semua aplikasi tersebut dirilis secara gratis. Dari pantauan kami di Google Play dan dikombinasikan statistik aplikasi dari App Brain per 18 November 2020, ada beberapa aplikasi populer di sektor ini, yaitu:

Aplikasi Peringkat (kategori bisnis) Jumlah Unduhan
BukuKas 3 1 juta+
BukuWarung 6 1 juta+
Credibook 46 100 ribu+
Akuntansi UKM 84 100 ribu+
Moodah 121 10 ribu+
Lababook 184 1 ribu+
Teman bisnis 254 100 ribu+
Akuntansiku 309 1 ribu+

Secara umum, aplikasi tersebut menawarkan fitur yang hampir serupa. Pencatatan arus kas, penjualan, utang-piutang, dan pelaporan. Beberapa produk memiliki fitur penagihan utang otomatis lewat SMS atau WhatsApp.

Pemimpin pasar

Merujuk tabel di atas, ada dua aplikasi yang memiliki statistik unduhan terbesar, yakni BukuKas dan BukuWarung. Keduanya sama-sama mulai didirikan pada tahun 2019 dan tahun ini mereka aktif menggalang pendanaan baru untuk mengakselerasi bisnisnya.

Berdasarkan data terakhir, pendanaan terakhir keduanya ada di putaran Pra-Seri A. BukuKas membukukan investasi senilai 134 miliar Rupiah, sementara BukuWarung hanya menyebutkan “delapan digit dolar”.

BukuKas BukuWarung
Seed Investors Surge, 500 Startups, Credit Saison, dan angel investors East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan angel investors
Pre-Series A Investor Surge, Credit Saison, Speedinvest, S7V, January Capital, dan Cambium Grove Capital, Prasetia Dwidharma Quona Capital, East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, dan angel investors
Accelerator Surge (Sequoia) Y Combinator

Ketika kami hubungi menanyakan model bisnisnya, Founder & CEO BukuKas Krishnan Menon mengatakan, tujuan BukuKas adalah membangun solusi perangkat lunak sederhana untuk membantu UMKM melakukan digitalisasi dan membawa mereka ke ekosistem keuangan formal. Mereka memosisikan diri sebagai perusahaan perangkat lunak digitalisasi UMKM yang akan berkembang menjadi pemain fintech.

“Saat ini kami memiliki eksperimen awal yang menarik tentang monetisasi, tapi masih terlalu dini. Itu bisa dilakukan dengan banyak cara, beberapa yang sudah jelas seperti SaaS, solusi finansial, dan ada beberapa yang menarik lainnya tapi belum bisa kami bagian saat ini,” ujar Krishnan.

Lebih lanjut ia menyampaikan, “Para pedagang telah menyadari bahwa go digital sangat penting bagi bisnis mereka. Pedagang menghemat waktu 2-4 jam sehari, 20% biaya, dan meminimalisir kesalahan perhitungan manual. Kami juga memungkinkan pedagang untuk memulihkan kasbon 3x lebih cepat karena prosesnya otomatis. Juga memiliki fitur pengiriman faktur, manajemen inventaris, dan lain-lain, sehingga membuat mereka lebih terorganisir dalam menjalankan bisnis.”

Sementara itu, Co-Founder BukuWarung Chinmay Chauhan memberikan jawaban yang lebih detail. Sama-sama menitikkan masa depan bisnisnya pada fintech. Ia menjelaskan, model bisnis BukuWarung akan berkisar pada pembayaran, peminjaman, tabungan/perbankan digital, asuransi, dan layanan keuangan lainnya.

Untuk saat ini mereka memperoleh pendapatan awal dari fitur pembayaran digital yang telah diluncurkan sejak 2 bulan lalu. Meskipun demikian, karena masih berada di fase awal, BukuWarung lebih ingin fokus membangun pengalaman pembayaran terbaik. “Kami telah melihat $200 juta total payment volume (TPV) tahunan.”

Gambaran model bisnis BukuWarung / BukuWarung
Gambaran model bisnis BukuWarung / BukuWarung

Chinmay melanjutkan, “Visi BukuWarung adalah membangun infrastruktur digital untuk 60 juta UMKM di Indonesia, kami telah memulai dengan pembukuan dan pembayaran. Aplikasi BukuWarung sesederhana WhatsApp dan merchant dapat melacak semua transaksi tunai dan kredit mereka, mengelola arus kas, dan melihat keuntungan mereka. Mereka juga dapat mengirim pengingat SMS/WA gratis dan menghasilkan/mencetak faktur. Kami telah melayani hampir 2 juta pedagang sejauh ini hanya dalam setahun sejak kami mulai.”

Jalur ke fintech

Layanan-layanan tersebut memiliki misi jangka panjang untuk menjadi pemain fintech. Tujuan tersebut cukup masuk akal. Menurut data KemenkopUKM saat ini kurang lebih ada 20 juta UMKM yang masih unbankable. Faktor mendasar yang menyulitkan mereka mengakses layanan perbankan adalah pembuktian skoring kredit. Tidak ada jaminan yang bisa dianalisis, padahal umumnya bank melakukan penilaian dari pendapatan atau aset, melalui pembuktian rekening koran dan lain-lain.

BukuKas atau BukuWarung di awal debutnya memang fokus membantu pengusaha mikro untuk mencatat uang masuk dan keluar. Data tersebut menjadi aset aset penting untuk mendekatkan para pelaku usaha tersebut dengan layanan finansial, utamanya kredit. Data arus kas dapat menjadi bahan analisis yang bagus untuk keperluan skoring kredit. Dari histori data yang ada, analis dapat melihat tren pemasukan-pengeluaran guna menentukan kelayakan.

Tak heran jika banyak investor yang berani menaruh dana miliaran Rupiah di segmen ini. Mereka melihat misi jangka panjang tersebut untuk monetisasi yang lebih luas.

Perkembangan industri

Era BukaKas dan BukuWarung bisa dibilang baru mengemuka sekitar pertengahan tahun ini. Distribusi aplikasi secara gratis memiliki implikasi baik untuk pertumbuhan pengguna aplikasi terkait. Terlihat dari statistik yang disampaikan masing-masing founder.

Menggunakan matriks daily active user (DAU), dihitung dari jumlah pengguna  aktif yang melakukan aktivitas di aplikasi tiap hari, berikut ini statistik yang disampaikan Krishnan melalui laman LinkedIn pribadinya:

Statistik pengguna BukuKas dengan matriks DAU / LinkedIn, Krishnan Menon
Statistik pengguna BukuKas dengan matriks DAU / LinkedIn, Krishnan Menon

Chinmay juga merilis statistik penggunaan aplikasinya selama beberapa bulan terakhir, dengan matriks yang sama. Berikut ini capaian BukuWarung:

Statistik pengguna BukuWarung dengan matriks DAU / LinkedIn, Chinmay Chauhan
Statistik pengguna BukuWarung dengan matriks DAU / LinkedIn, Chinmay Chauhan

Tidak semua pemain bisa menyasar segmen warung ini. Sebelumnya kebanyakan layanan pencatatan keuangan UMKM menawarkan fitur premium (atau freemium) dengan kapabilitas tertentu. Di perkembangannya, ada yang mengalihkan target pasar ke bisnis menengah ke atas dan korporasi. Model freemium masih kurang cocok diaplikasikan untuk menyasar bisnis menengah ke bawah.

Selain sebagai platform standalone, layanan pencatatan keuangan sering menjadi fitur tambahan di platform lain, seperti point-of-sales. Uang masuk dan keluar secara otomatis dicatat. Syaratnya harus di-input melalui aplikasi terkait.

Masih banyak aspek yang bisa disuguhkan untuk pengusaha mikro di Indonesia. Diyakini ke depannya masih akan ada model lain bermunculan.

Sektor Layanan
SaaS Finata, Jurnal, Zahir, Paper, Accurate, dan lain-lain
Point of Sales Moka, Cashlez, Qasir, iSeller, YouTap, Pawoon, dan lain-lain
Fintech Alat Warung (Payfazz), GrabKios by Kudo
Supply Chain Wahyoo, Ula, Warung Pintar
E-commerce Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, Mitra Shopee, Mitra Blibli, dan lain-lain


Gambar Header: Depositphotos.com

Logitech G Merilis Mouse Gaming Wireless Pro X Superlight, Dibanderol Rp2.299.000

Logitech G telah mengumumkan mouse gaming wireless yang diklaim memiliki bobot paling ringan yang pernah ada, yaitu Logitech G Pro X Superlight. Berat mouse ini hanya 63 gram, hampir 25% lebih ringan dari pendahulunya (Pro Wireless).

Mouse ini dirancang oleh dan untuk gamer profesional eSports. Dengan desain mekanis yang sangat halus dan memiliki PTFE (Polytetrafluoroethylene) atau mouse feet di bagian bawah yang cukup besar dan tanpa aditif, agar gesekan menghasilkan presisi, kecepatan, dan kemampuan manuver yang tinggi.

Pro X Superlight Black & White

Lebih lanjut, Logitech G Pro X Superlight dilengkapi dengan teknologi nirkabel 2,4GHz lightspeed yang membuatnya lebih responsif untuk bermain tanpa kabel. Serta sensor Logitech G HERO 25K pada 25.600 DPI, sensor mouse level sub-mikron pertama di industri yang dapat secara akurat melacak pergerakan pada level sub-mikron – kira-kira 1/50 ketebalan rambut manusia tanpa mengorbankan tingkat akurasi.

Sensor HERO 25K menggunakan sistem manajemen daya pintar menyesuaikan frame rate berdasarkan gerakan mouse, untuk meminimalkan konsumsi daya. Bahkan pada DPI tinggi, HERO 25K bisa 10x lebih hemat daya daripada sensor Logitech G sebelumnya. Masa pakai baterai sendiri lebih lama hingga 70 jam.

Logitech G Pro X Superlight telah diuji di lapangan dan memainkan peran kunci dalam membantu tim ASTRALIS memenangkan Final ESL PRO League Season 12 dan tim G2 eSports dalam memenangkan “2020 League of Legends European Championship“.

PRO X Superlight_In-Situation2

Dengan PRO X SUPERLIGHT kami menggabungkan teknologi inovatif seperti lightspeed dan HERO 25K dengan desain yang super ringan. Diuji dan divalidasi oleh para atlet profesional eSports di seluruh dunia, Pro X Superlight adalah jawaban bagi para gamer yang mencari performa terbaik,” ujar Chris Pate, Portfolio Manager untuk Logitech G Pro Series.

Rencananya Logitech G Pro X Superlight akan mulai tersedia di Indonesia pada bulan Desember 2020 dengan harga Rp2.299.000 dan tersedia dalam dua warna yaitu hitam dan putih. Sementara versi terdahulu, yaitu Pro Wireless Mouse mengalami penurunan harga menjadi Rp1.990.000.

Gojek Rombak Manajemen Untuk Perkuat Bisnis Finansial

Kemarin (18/11), Gojek mengumumkan perubahan struktur manajemen C-level untuk perkuat dua portofolio utama perusahaan, yakni layanan di bawah Gojek dan finansial yang efektif berlaku per Januari 2020.

Co-CEO Gojek akan berbagi tugas. Kevin Aluwi akan memimpin layanan Gojek, sementara Andre Soelistyo pimpin lini pembayaran digital dan finansial. Mereka berdua tetap menjabat sebagai Co-CEO Gojek Group. Perubahan hanya terjadi di tataran operasional perusahaan, sehingga tidak berdampak terhadap struktur organisasi secara grup.

“Kami akan melanjutkan peran kami sebagai Co-CEO Gojek Group, namun masing-masing dari kami akan memiliki ruang lingkup dan tanggung jawab yang lebih spesifik ke depannya,” ujar Kevin dan Andre dalam pernyataan resmi.

Andre akan memimpin tiga unit usaha, yaitu pembayaran digital (Gopay), layanan jasa keuangan seperti PayLater, dan solusi B2B dan merchant.

Keduanya menjelaskan, dalam perkembangan dua portofolio bisnis besar di bawah Gojek Group, yaitu layanan di bawah brand Gojek dan layanan pembayaran digital & keuangan telah tumbuh semakin besar. Tiap portofolio membutuhkan keahlian dan fokus yang berbeda.

Penguatan fokus manajemen pada kedua portofolio ini dilakukan menyusul fundamental perusahaan yang semakin kuat pada tahun ini. Total GTV di dalam platform Gojek group mencapai $12 miliar naik 10% dari tahun sebelumnya. Sementara, GTV Gopay tumbuh melebihi total nilai transaksi di masa pra-pandemi.

“Oleh karena itu, kami harus mengoptimalkan tim kami untuk memaksimalkan pertumbuhan dari masing-masing bisnis besar tersebut. [..] Saat ini merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali bisnis kami dan memastikan Gojek dapat berjalan semakin optimal agar semakin sukses lagi di masa depan.”

Jajaran manajemen lainnya yang ikut bergeser adalah Hans Patuwo akan mengepalai bisnis pembayaran, sebelumnya ia menjabat sebagai COO Gojek selama hampir tiga tahun. Kemudian, Ryu Suliawan akan memimpin lini untuk solusi B2B dan merchant. Ia sebelumnya memegang posisi sebagai Head of Merchants Gojek yang juga Founder Midtrans, perusahaan payment gateway yang diakuisisi Gojek pada 2017.

Andre, Hans, dan Ryu akan mengembangkan lini pembayaran pada tahun depan, saat ini bisnis keuangan Gojek dipimpin oleh Aldi Haryopratomo sebagai CEO Gopay yang sudah menjabat selama tiga tahun. Aldi akan mundur mulai tahun depan, tidak dijelaskan ke mana ia akan berlabuh.

“Di bawah kepemimpinan Aldi, Gopay telah berkembang pesat dan telah menjadi bagian penting dari cara masyarakat Indonesia bertransaksi. Gojek akan selalu berterima kasih atas jasa dan kontribusi Aldi [..] Aldi akan terus menjadi sahabat dan penasihat yang dipercaya dan dihormati semua orang di Gojek Group,” imbuh Andre.

Aldi menambahkan, “Saya sangat bersyukur dapat bisa menjadi bagian dari perkembangan Gopay dan bersama tim yang telah membantu membangun perusahaan menjadi seperti sekarang ini. [..] Saya yakin bahwa perusahaan akan terus memberikan akses ke layanan keuangan bagi masyarakat yang paling membutuhkan.”

Application Information Will Show Up Here