Cuma $179, Amazfit GTR 2 dan GTS 2 Tawarkan Fitur-Fitur ala Smartwatch Premium

Dalam beberapa tahun terakhir, Huami terus membangun reputasinya sebagai produsen perangkat wearable yang bermutu sekaligus berharga terjangkau. Branding yang dipakainya, Amazfit, kerap kali muncul dalam daftar smartwatch atau fitness tracker yang direkomendasikan berkat keseimbangan antara fitur dan harga yang ditawarkan.

Prinsip yang sama kembali Huami terapkan pada duo smartwatch terbarunya, Amazfit GTR 2 dan GTS 2. Keduanya sama-sama mengusung fitur yang biasa kita jumpai pada smartwatch premium, macam layar AMOLED always-on misalnya. Sebagai perbandingan, Apple Watch SE yang baru diluncurkan harus mengorbankan fitur ini demi menekan harga jualnya.

Masih seputar layar, GTR 2 mengemas layar membulat dengan dimensi 1,39 inci, sedangkan GTS 2 punya layar mengotak yang berukuran lebih besar di angka 1,65 inci. Keduanya sama-sama cukup terang dengan tingkat kecerahan maksimum hingga 450 nit. Perihal ketahanan air, kedua smartwatch ini diklaim tahan sampai kedalaman 50 meter.

Beralih ke fitur, kedua smartwatch ini sama-sama dibekali kapabilitas yang cukup lengkap. Di samping sensor laju jantung yang bekerja secara nonstop, keduanya turut dilengkapi fitur untuk memantau kadar oksigen dalam darah alias SpO2. Mungkin Anda masih ingat, SpO2 tracking ini adalah fitur yang paling diunggulkan oleh Apple Watch Series 6.

Sleep tracking juga merupakan fitur standar pada GTR 2 dan GTS 2, demikian pula kemampuan untuk memantau tingkat stres pengguna. GPS dan GLONASS turut hadir pada kedua perangkat, sehingga kegiatan seperti berlari atau bersepeda dapat dimonitor tanpa harus mengandalkan bantuan smartphone. Secara total, ada 12 mode tracking olahraga yang tersedia.

Amazfit GTS 2 / Huami
Amazfit GTS 2 / Huami

Satu fitur unik milik kedua smartwatch ini adalah yang Huami sebut dengan istilah Personal Activity Intelligence Health Assessment System, atau biasa disingkat PAI. PAI pada dasarnya adalah skor yang dikalkulasikan berdasarkan data kesehatan yang perangkat rekam, yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk mengindikasikan seberapa banyak aktivitas fisik yang pengguna perlu lakukan setiap harinya agar tetap bugar.

Huami tidak lupa membekali GTR 2 dan GTS 2 dengan mikrofon beserta speaker, yang artinya perangkat bisa digunakan untuk menerima panggilan telepon. Penyimpanan internal sebesar 3 GB-nya juga dapat dipakai untuk menyimpan sekitar 600 lagu sehingga bisa didengarkan secara offline.

Sejauh ini mungkin kita berpikir yang berbeda dari kedua smartwatch ini hanyalah desainnya saja, tapi rupanya daya tahan baterai kedua perangkat juga punya selisih yang cukup jauh: GTR 2 hingga 14 hari pemakaian normal, sedangkan GTS 2 ‘sampai’ 7 hari saja.

Bagian terbaiknya, semua itu ditawarkan seharga $179 saja, baik untuk GTR 2 maupun GTS 2, alias selisih $100 dari banderol Apple Watch SE. Rencananya, Amazfit GTR 2 dan GTS 2 akan lebih dulu menyambangi Amerika Serikat pada awal November sebelum merambah negara-negara lain.

Sumber: Wareable.

[Review] Garmin Fenix 6S Pro Solar: Tahan Lama Berkat Tenaga Matahari

Saat ini, olah raga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada saat pandemi COVID-19. Namun, olah raga yang dilakukan tanpa adanya sebuah alat untuk memonitor kesehatan sepertinya terasa hampa. Banyak vendor yang menawarkan alat untuk memonitor kesehatan, seperti Garmin yang sangat dikenal dengan GPS-nya. Nah, kali ini Garmin menawarkan Fenix 6s Pro Solar kepada mereka yang gemar melakukan olah raga.

Satu hal yang unik dari Garmin Fenix 6s Pro Solar adalah kemampuannya untuk menerima daya dari sinar matahari. Hal ini akan membuat perangkat ini memiliki daya tahan yang lebih lama dibandingkan dengan smartwatch lainnya. Selain itu, tanpa sinar matahari pun juga jam tangan pintar ini bisa dipakai lebih dari seminggu.

Garmin Fenix 6S Pro Solar

Garmin sendiri populer karena perangkat GPS (Global Positioning System) yang mereka produksi beberapa tahun lalu. Oleh karena itu pada jam tangan pintarnya ini, Garmin juga tidak lupa untuk menyematkan GPS didalamnya. Sensor GPS yang ada juga tidak tergantung dengan konektivitas smartphone dan mampu mendeteksi lokasi dengan mandiri.

Garmin Fenix 6s Pro Solar memiliki spesifikasi seperti berikut ini

Layar Transflective memory-in-pixel
Resolusi 240 x 240
Diameter 30,4 mm, 1,2 inci
Penyimpanan internal 32 GB
Bobot 61 gram
Rating 10 ATM
Dimensi 42 x 42 x 14,2 mm
Konektivitas Bluetooth®, ANT+, Wi-Fi 2.4 GHz

Seperti jam tangan pintar yang mereka keluarkan sebelumnya, Garmin Fenix 6S Pro Solar juga memiliki beberapa feature hiburan didalamnya. Hal utama yang mereka tonjolkan adalah kemampuannya untuk mendengarkan musik. Tentunya, hal tersebut akan kita bahas pada segmen-segmen berikutnya.

Unboxing

Pada paket penjualan yang saya terima, Garmin hanya memberikan sebuah kabel charger saja. Sebagai informasi, antarmuka yang ada pada kabel tersebut merupakan standar dari setiap jam tangan pintar Garmin. Bagi Anda yang sudah memiliki jam tangan pintar dari Garmin sebelumnya, tentu saja bisa menggunakan kabel tersebut pada Fenix 6S Pro Solar.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Kabel charger

Desain

Jam dengan bentuk bundar sepertinya memang sudah menjadi model standar dari Garmin. Hal tersebut pun termasuk Garmin Fenix 6S Pro Solar yang saya dapatkan dengan warna Light Gold dan strap berwarna Light Sand. Jam tangan pintar ini memiliki rangka yang terbuat dari metal, sehingga terasa sangat kokoh saat dipegang.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Strap Off

Tali jam tangan bawaan yang ada pada Garmin Fenix 6S Pro Solar terbuat dari karet sintetis. Strap ini bisa langsung diganti dengan menggunakan tali jam standar 20 mm yang banyak dijual di pasaran. Namun, Garmin memiliki standar sendiri di mana terdapat sebuah klip pada sisi kanan dan kirinya yang bisa melepaskan diri dari pin dari tali jam tangan. Hal ini tentu saja sangat mudah saat melepas dan memasangnya kembali.

Layar yang digunakan pada Garmin Fenix 6S Pro Solar berjenis transflective memory-in-pixel. Jenis layar ini memang memiliki resolusi (240×240) yang lebih rendah namun memiliki daya yang lebih kecil dibandingkan AMOLED dan IPS. Kacanya sendiri menggunakan Power Glass yang memiliki kemampuan photovoltaic, yaitu menyerap sinar matahari untuk menjadi energi. Perpaduan inilah yang membuat Fenix 6S Pro Solar memiliki daya tahan baterai yang lama.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Tombol kiri

Untuk mengisi baterainya, pengguna tinggal menancapkan kabelnya pada bagian belakang dari jam tangan pintar ini. Kabelnya sendiri memiliki konektor yang sudah menjadi standar jam dari Garmin. Hal tersebut tentu saja membuatnya lebih mudah untuk diganti saat rusak. Konektornya sendiri juga terkait dengan baik sehigga tidak mudah lepas.

Garmin Fenix 6S Pro Solar memiliki total lima buah tombol di sekitarnya. Pada bagian kiri terdapat tombol light untuk menyalakan backlight, tombol menu yang tergabung dengan tombol atas, dan tombol bawah. Pada bagian kanannya terdapat tombol OK dan tombol back. Pada bagian bawahnya terdapat beberapa sensor yang diperlukan untuk mendeteksi detak jantung dan lain sebagainya.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Tombol Kanan

Sistem operasi yang digunakan pada jam tangan pintar ini tentu saja buatan Garmin sendiri. Sayangnya pada Fenix 6S Pro Solar, menu yang dimiliki begitu banyak dan membutuhkan tombol yang berbeda untuk mengaksesnya. Pengguna pun harus bersabar untuk belajar mengoperasikannya agar lebih lancar.

Pengalaman menggunakan: Jam tangan pintar tanpa layar sentuh

Saat membuka paket penjualannya, saya berpikir bahwa Garmin Fenix 6S Pro Solar sama seperti smartwatch lainnya. Namun setelah pertama kali menyentuh layarnya, saya cukup bingung mengapa tidak ada respon sama sekali. Ternyata, Garmin Fenix 6S Pro Solar tidak memiliki fungsi layar sentuh. Maklum, pengalaman saya dengan smartwatch selama ini selalu bersama yang memiliki layar sentuh.

Sayang memang, masa pandemi seperti ini membatasi ruang gerak saya untuk mencoba menggunakan Garmin Fenix 6S Pro Solar. Hal tersebut membuat saya kesulitan mencoba mode-mode olah raga. Hal tersebut juga berpengaruh pada pemakaian baterai yang menjadi lebih irit, di mana sensor yang ada tidak bekerja dengan maksimal.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - at hand

Gelapnya langit pada dua sampai tiga minggu belakangan ini juga membuat saya kesulitan dalam menguji panel surya dari jam tangan pintar ini. Namun, Garmin menjanjikan daya tahan baterai selama 14 hari saat digunakan hanya sebagai smartwatch saja. Selama tiga hari setelah diisi ulang, baterai ada pada posisi 83%. Hal ini cukup membuktikan janji Garmin tersebut.

Saat menggunakan Fenix 6S Pro Solar, saya cukup bingung dengan menu yang ada. Saya berpikir bahwa tombol menu akan mengeluarkan segala pilihan feature yang ada pada jam tangan ini. Ternyata hampir setiap tombol memiliki menu tersendiri. Hal tersebut juga termasuk pada tombol light yang berfungsi untuk menyalakan layarnya.

Klik langsung pada tombol OK akan membuka menu untuk melakukan aktivitas olah raga. Ada beberapa profile yang bisa dipilih sesuai dengan jenis kegiatan yang akan dilakukan. Tombol atas dan bawah akan menampilkan beberapa widget yang bisa dipasang sesuai dengan keinginan. Semuanya akan menampilkan informasi secara real time.

Saat menahan tombol atas (menu), akan muncul berbagai macam menu yang lengkap. Saya bisa mengubah watch face pada menu yang satu ini sesuai dengan pilihan. Anda pun juga bisa membuat watch face sendiri pada menu yang satu ini. Selain itu, masih banyak lagi menu yang bisa diakses pada saat menahan tombol atas tersebut.

Menahan tombol light akan menampilkan menu yang berbeda lagi. Kali ini, pengguna akan disuguhkan dengan beberapa icon yang tertata secara melingkar. Pada menu ini pula saya bisa mematikan smartwatch atau melakukan restart.

Untuk terhubung ke smartphone, Garmin memiliki aplikasi yang bernama Garmin Connect. Aplikasi ini menampilkan data-data kegiatan penggunanya dengan sangat lengkap. Pengguna tinggal melakukan sinkronisasi dan semua data akan tersaji dengan jelas. Jam tangan ini juga bisa terkoneksi dengan WiFi pada jaringan 2,4 GHz melalui Garmin Connect.

Fenix 6S Pro juga mendukung beberapa aplikasi musik yang bisa langsung ditambahkan melalui Connect IQ Store. Spotify sendiri sudah terpasang pada jam tangan pintar ini. Namun, aplikasi seperti Deezer, Amazon Music, Line Music, dan lain sebagainya juga bisa ditambahkan. Semua musik nantinya akan di-download ke dalam penyimpanan internal dari Fenix 6S Pro Solar.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Connector

Untuk mendengarkan musik, pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pairing dengan headset melalui bluetooth. Saya menggunakan TWS yang dapat terhubung dengan mudah pada jam tangan pintar ini. Namun, penggunaan musik serta bluetooth membuat jam tangan ini sedikit boros.

Secara keseluruhan, jam tangan pintar ini memang ditujukan untuk mereka yang gemar berolah raga sambil mendengarkan musik. Sayang memang, saya tidak bisa menguji jam tangan ini sambil berolah raga. Setidaknya, saya cukup puas untuk bisa mencoba Garmin Fenix 6S Pro Solar ini.

Verdict

Olah raga sudah menjadi sebuah kegiatan yang tidak hanya menyehatkan, namun juga menyenangkan. Oleh karena itu, perangkat pendukung akan selalu dilirik oleh konsumen. Garmin pun menawarkan perangkat pendukung olah raga tersebut melalui jam tangan pintarnya, Fenix 6S Pro Solar.

Garmin Fenix 6S Pro Solar - Bawah

Dengan menggunakan panel surya, Garmin Fenix 6S Pro Solar bisa memiliki daya tahan yang lebih lama. Penggunaannya bisa bertahan hingga 14 hari tanpa harus terkoneksi dengan charger. Saat digunakan untuk berolah raga dengan GPS pun, jam tangan pintar ini masih bisa digunakan selama seharian.

Jam tangan pintar ini dijual oleh Garmin dengan harga yang tinggi, yaitu Rp. 13.999.000. Tentu saja harga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan para pesaing yang ada di passar Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Garmin memang membidik pangsa pasar profesional yang membutuhkan akurasi dan informasi mengenai kesehatan.

Sparks

  • Daya tahan baterai yang baik ditambah dengan tenaga surya
  • Bisa ditambahkan beberapa aplikasi
  • GPS tanpa harus tergantung dengan smartphone
  • Informasi kesehatan yang cukup lengkap baik di jam maupun pada Garmin Connect
  • Build terasa kokoh
  • Dapat dibawa 100 meter di bawah permukaan air

Slacks

  • Harganya mahal, yaitu Rp. 13.499.000
  • Tombol berlebih yang membuat bingung penggunanya
  • Tanpa layar sentuh

Burnout, Masalah Streamer dan Kreator Konten Hadapi

Pada 2019, “cara membuat channel YouTube” menjadi salah satu topik yang paling banyak dicari dalam segmen “bagaimana cara…” Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk menjadi konten kreator cukup tinggi. Dan gaming merupakan salah satu kategori yang cukup seksi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang. Di kala masyarakat diminta untuk tidak berpergian jika tidak perlu, banyak orang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain game atau menonton konten game.

Hanya saja, apakah menjadi konten kreator semudah kelihatannya? Memang, konten kreator atau streamer tidak dituntut untuk terus-menerus memberikan performa terbaik layaknya atlet esports. Namun, hal itu bukan berarti para streamer dan konten kreator tidak memiliki masalah sama sekali. Salah satu tantangan yang biasanya dihadapi oleh streamer atau kreator konten adalah stres berkepanjangan yang bisa berujung pada burnout.

 

Apa Itu Burnout dan Apa Pemicunya?

Sebelum kita bicara tentang burnout yang dialami oleh streamer dan kreator konten, mari seragamkan pengertian tentang burnout. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), burnout syndrome adalah kondisi stres kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, kesal dengan pekerjaan, dan rasa tidak puas. Pertanyaannya, memang seorang streamer game bisa mengalami burnout?

Bagi seorang gamer, dibayar untuk bermain game — dan dapat fans pula — mungkin terdengar seperti pekerjaan impian. Di awal karir sebagai streamer, seseorang mungkin saja rela untuk menghabiskan waktu berjam-jam — atau mungkin belasan jam — untuk melakukan siaran. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Performance Psychologist, Landon Gorbenko, akan ada waktu ketika seorang streamer menjadi jenuh dengan pekerjaannya. Pasalnya, tidak mudah untuk membuat konten video yang menarik setiap hari.

“Memang tidak selalu, tapi terkadang, para penonton punya ekspektasi bahwa konten sang streamer akan terus menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini akan memaksa streamer untuk memenuhi ekspektasi tersebut,” ujar Gorbenko dalam sebuah video. “Anda harus mematuhi jadwal yang sudah Anda tentukan, Anda harus terus bersikap ramah karena siaran Anda ditonton oleh banyak orang. Semua ini membuat otak Anda lelah.”

Menurut laporan Polygon, burnout di kalangan streamer Twitch dan kreator konten YouTube bukanlah masalah baru. Pada 2015, Twitch memperkenalkan kelas dan seminar untuk para caster agar mereka bisa membuat konten yang lebih baik. Tak hanya itu, kelas dan seminar tersebut juga berfungsi untuk membantu para caster mengatur waktu mereka. Sementara pada 2014, Fast Company sudah membuat artikel tentang bagaimana para kreator konten mengalami burnout karena mereka harus terus membuat konten tanpa henti.

Olga Kay, YouTuber yang populer ketika itu, mengaku bahwa dia jarang keluar dari apartemennya karena jadwalnya yang sangat padat. “Jika saya mengambil waktu lama untuk beristirahat, saya harus bekerja jauh lebih keras ketika saya kembali membuat konten,” katanya. “Saat saya ingat bahwa saya harus kembali membuat konten, hal ini membuat saya semakin stres.”

Pada 2018, sejumlah kreator konten ternama, seperti Felix “PewDiePie” Kjellberg, Ethan Klein, dan Saqib Ali Zahid alias Lirik juga pernah menceritakan tentang burnout dan masalah mental lain yang mereka hadapi. Melalui video di YouTube atau Twitter, mereka mengaku, sulit bagi mereka untuk dapat terus membuat konten ketika mereka juga mengalami berbagai masalah mental seperti gangguan kecemasan atau bahkan depresi.

“Saya merasa, konten yang saya buat tak lagi menarik. Saya tidak tahu kenapa orang-orang terus menonton konten yang saya buat,” kata Lirik ketika itu. “Saya merasa seperti ada di depan panggung tanpa tahu apa yang harus saya katakan karena saya sudah kehabisan bahan.” Dia mengaku, terus terhubung ke internet menguras energinya dan dia merasa harus beristirahat. “Saya sedang memikirkan apa yang akan saya lakukan di masa depan, mengubah kebiasaan saya, menemukan tujuan baru, dan pada akhirnya, menemukan arti hidup.”

Lirik merupakan salah satu streamer yang tidak menampilkan wajahnya. | Sumber: Win.gg
Lirik merupakan salah satu streamer yang tidak menampilkan wajahnya. | Sumber: Win.gg

Jika menulis atau menggambar adalah hobi Anda, Anda pasti familiar dengan istilah “writer’s block” atau “artist’s block“. Ketika Anda sedang jenuh dengan hobi tersebut, Anda bisa berhenti sejenak untuk menyegarkan pikiran Anda kembali. Sayangnya, bagi orang-orang yang berkutat di industri kreatif, seperti streamer, mereka tetap harus membuat konten tak peduli apakah mereka merasa jenuh atau tidak. Selain itu, seorang streamer tak bisa serta-merta berhenti melakukan siaran, karena hal ini bisa membuat mereka ditinggalkan oleh para penontonnya.

Di Medium, Lauren Hallanan, VP of Live Streaming, The Meet Group, menjelaskan bahwa, bagi sebagian besar audiens, menonton para streamer adalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, sesuatu yang dilakukan di tengah istirahat makan siang atau sebelum tidur. Dan kegiatan ini jadi rutinitas. Makanya, ketika seorang streamer tidak melakukan siaran di waktu tersebut, mereka akan beralih ke streamer lain. Berbeda dengan televisi yang memiliki channel terbatas, platform digital seperti Twitch menawarkan jutaan streamer.

Thomas Vojnyk, VP of Community and Content, The Meet Group berkata, “Konsistensi adalah kunci sukses untuk seorang streamer, tak peduli platform apa yang mereka gunakan. Namun, kami punya banyak streamer sukses yang mengambil waktu istirahat selama satu minggu tanpa peringatan apapun. Ketika mereka kembali, mereka harus membangun fanbase mereka lagi.”

Jika dibandingkan dengan kreator konten, streamer juga punya satu masalah lain. Berbeda dengan kreator konten yang masih bisa mendapatkan view dari video lama, streamer hanya bisa mendapatkan penonton ketika mereka melakukan siaran. Hal itu berarti, semakin sering dan semakin lama seorang streamer siaran, semakin baik. Hanya saja, melakukan siaran berjam-jam setiap hari, gaya hidup seperti ini akan berujung pada burnout.

Dalam sebuah video, PewDiePie mengaku sadar, semakin banyak kreator konten yang sebenarnya merasa jenuh dengan apa yang mereka lakukan. Namun, mereka tetap memaksakan diri untuk membuat konten yang diinginkan oleh para penonton mereka.

“Salah satu masalah yang dihadapi oleh YouTuber atau kreator konten adalah Anda dituntut untuk terus memberikan konten yang lebih baik,” kata PewDiePie. Dia bercerita bagaimana dia harus tetap terlihat ceria walau dia sedang memainkan game yang tidak dia sukai. “Saya rasa, ada banyak orang yang terbelenggu dengan tuntutan itu… Bahwa mereka harus terus memberikan konten yang lebih baik.” Dan tekanan untuk terus memberikan konten yang menarik bagi para penonton, hal ini bisa membuat seorang kreator konten melakukan hal-hal yang tidak etis. PewDiePie menyebutkan vlogger Logan Paul sebagai contoh.

Pada awal 2018, Logan Paul sempat diterpa kontroversi ketika dia membuat video di hutan Aokigahara, Jepang. Hutan yang terletak di kaki Gunung Fuji tersebut dikenal sebagai tempat bunuh diri. Saat tengah membuat video, Paul dan teman-temannya menemukan mayat dari seorang pria yang tak dikenal. Meski sempat terlihat terkejut, Paul dan teman-temannya juga masih sempat bercanda dan tertawa. Hal ini mengundang kemarahan para netizen.

“Saya pikir, Logan bukanlah orang jahat, “kata PewDiePie. “Menurut saya, dia hanya terpaku pada ide bahwa dia harus terus membuat video yang bisa mendapatkan banyak view. Jika Anda membuat video setiap hari, sulit untuk memastikan bahwa penonton Anda akan terus tertarik dengan konten Anda.”

 

Pentingnya Istirahat Bagi Kreator Konten dan Streamer

Para streamer dan kreator konten dituntut untuk terus dapat memberikan konten berkualitas tinggi. Hal ini membuat mereka rentan pada burnout, menurut Katrina Gay, National Director for Strategic Partnership, National Alliance on Mental Illness. Dan jika seorang streamer atau kreator konten memutuskan untuk mengacuhkan burnout yang mereka alami, mereka bisa membenci pekerjaan mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti.

“Memastikan bahwa Anda memiliki gaya hidup seimbang, hal ini sangat penting,” ujar Gay. “Anda harus sadar akan tuntutan pekerjaan Anda. Anda harus paham bahwa Anda tidak bisa mendedikasikan hidup hanya pada satu bidang. Anda harus belajar cara untuk membatasi pekerjaan, sehingga bisa fokus pada bagian lain dari hidup Anda.”

Menurut Gorbenko, salah satu cara menghindari burnout adalah merencanakan waktu istirahat. “Jika tidak merencanakan waktu istirahat, terkadang Anda akan terus bekerja, bermain, dan melakukan siaran,” ujarnya. Dia menyarankan, ketika sedang beristirahat, seorang streamer sebaiknya mencoba hobi lain selain bermain game.

“Jika seorang streamer melakukan siaran dan mereka menemukan orang-orang toxic, atau performa mereka tidak terlalu baik, hal ini akan membuat mereka sedih atau marah,” kata Gorbenko. “Jika mereka punya hobi lain, seperti memasak, hobi tersebut bisa menjadi emotional buffer. Melakukan hobi lain memungkinkan streamer untuk memulihkan diri sehingga ketika mereka memutuskan untuk kembali melakukan streaming, mereka bisa melakukannya dengan semangat.”

Seorang streamer atau kreator konten sebaiknya memiliki hobi lain selain bermain game. | Sumber: Deposit Photos
Seorang streamer atau kreator konten sebaiknya memiliki hobi lain selain bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sama seperti Gorbenko, Gay juga menyarankan, jika seorang streamer atau kreator konten mulai merasakan burnout, mereka sebaiknya fokus ke aspek lain dari kehidupan mereka. Dia mengungkap, setelah beristirahat, seorang streamer atau kreator biasanya akan kembali ingat tentang alasan yang membuat mereka pertama kali tertarik untuk membuat konten atau melakukan streaming. Dan hal ini membuat mereka kembali merasakan kepuasan yang mereka dapatkan ketika mereka memulai karir mereka.

Untuk menghindari burnout, Gay menyebutkan, seorang streamer atau kreator konten harus memiliki kesadaran diri akan batasan diri mereka. Alasannya, karena mereka sendiri yang menentukan kapan dan berapa lama mereka harus bekerja. “Tidak ada orang yang mengatur jadwal kerja Anda sebagai streamer,” kata Gay. “Anda harus bisa menemukan ritme kerja Anda sendiri. Proses untuk mengetahui hal ini memang tidak mudah, tapi sangat penting.”

 

Penutup

Bagi para gamer, menjadi streamer atau kreator konten memang pekerjaan yang menggiurkan. Bagaimana tidak. Pekerjaan seorang streamer “hanya” bermain game. Dari dana dukungan para penonton, seorang streamer bisa mendapatkan uang hingga Rp44 juta dalam sebulan. Seorang streamer juga dielu-elukan oleh para fans-nya.

Hanya saja, untuk bisa membangun fanbase, seorang streamer harus melakukan siaran secara konsisten. Ketika memulai karir sebagai streamer, seseorang mungkin saja mau dan bisa melakukan siaran hingga berjam-jam setiap hari. Namun, berapa lama seseorang akan bisa bertahan untuk memaksa dirinya bekerja dengan ritme kerja seperti itu? Pada akhirnya, dia akan mengalami kejenuhan atau bahkan burnout.

Satu-satunya cara untuk mengatasi atau mencegah burnout, adalah dengan mengambil waktu istirahat. Seorang streamer sebaiknya memberitahukan para penontonnya jika mereka hendak rehat sejenak. Untuk itu, mereka bisa membahas rencana liburan mereka ketika tengah siaran. Bisa juga, mereka memberikan informasi tentang rencana liburan mereka di profil. Dengan begitu, para penonton akan tahu bahwa sang streamer berencana untuk kembali.

Perjalanan Panjang Proses Validasi Pasar

Tantangan mendirikan startup sudah ada sejak awal, bahkan sebelum sebuah produk diciptakan. Ada tahapan bernama market validation yang harus dilewati. Tahapan ini memberikan kesempatan startup untuk mengevaluasi produk mereka, sekaligus menjadi tahapan apakah sebuah produk bisa lanjut atau tidak.

Pastikan konsumen mau membayar

Kami sempat menanyai Co-Founder Paxel, Zaldy Ilham Masita, tentang bagaimana Paxel memvalidasi pasarnya. Zaldy bercerita bahwa ide awal Paxel dimulai pada tahun 2017 untuk mencari model yang cocok untuk delivery last mile di Indonesia, terutama untuk memenuhi perkembangan industri e-commerce yang pesat.

Paxel sejak awal mencoba untuk membuat model baru untuk last mile delivery dengan model relay atau estafet dengan memanfaatkan smart locker sebagai mini sorting center pada akhir 2017, dan dengan memberikan service pick up dan flat rate. Fokus Paxel ada pada bagaimana memberikan layanan same day delivery dalam kota dan antar kota–pasar yang selama ini masih sepi pemain sehingga Paxel bisa langsung memimpin pasar tanpa ada perang harga.

“Selama dua tahun, Paxel mencoba model baru ini, ternyata memberikan SLA yang tinggi untuk same day delivery dengan biaya yang terjangkau. Bahkan same day delivery bisa ditawarkan sampai ke semua kota besar di Jawa dan Bali. Model last mile delivery dengan sistem relay, menggunakan smart locker, dan berbasis aplikasi untuk customer membutuhkan sistem dan teknologi yang sangat besar. [..] Sebagian besar investasi dilakukan di [sektor] teknologi dengan 4 IT center yang dibangun di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Chennai dengan [sebanyak] 60+ engineer,” terang Zaldy.

Zaldy melanjutkan, selama tiga tahun terakhir banyak hal yang ia dan tim pelajari. Salah satunya same day delivery service antar kota membuka pasar baru untuk market last mile delivery yang sebelumnya belum pernah ada, yakni pengiriman makanan, produk perisable antar kota, dan juga frozen food. Market baru ini ternyata bisa mendorong UMKM di daerah untuk meluaskan pasarnya ke kota-kota lain.

Bagi Zaldy dan tim Paxel, melakukan market validation perlu mempertimbangkan banyak hal, termasuk inovasi model bisnis untuk tidak mudah ditiru pemain yang sudah besar atau pemain baru.

“[Memastikan] konsumen memang butuh service tersebut dan bersedia untuk membayar. Kadang-kadang model bisnis sangat innovative dan sangat bagus tapi konsumen masih tidak mau memakai kalau bayar. Roadmap yang jelas untuk masuk ke segmen pasar yg lain yg lebih besar dengan tetap fokus pada core competency sehingga bisa memberikan service all-in pada konsumen,” imbuh Zaldy.

Sejauh ini layanan same day delivery Paxel diklaim meroket hingga 250 persen. Dengan jumlah pengguna mencapai 1 juta, Paxel sudah memiliki lebih dari 50 mitra untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Ciptakan kesan

Perjalanan panjang menemukan pasar dan produk yang sesuai juga dialami  Flip. Salah satu perusahaan teknologi finansial yang inovasinya cukup penting bagi banyak orang dengan memangkas biaya transfer antar bank.

Flip berawal dari keresahan Rafi Putra Arriyan (Ari), Ginanjar Ibnu Solikhin, dan Luqman Sungkar tentang biaya transfer bank yang cukup besar. Untuk sekali transfer antar bank biayanya setara dengan sepiring nasi dan telur.

Layanan pertama Flip dibuat menggunakan formulir Google Form dan domain sendiri. Pengguna yang ingin melakukan transfer bank harus mengisi formulir tersebut lalu para founder akan melakukan transfer manual melalui internet banking. Tak disangka, Flip mendapatkan popularitas di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia. Kala itu ada 30 permintaan transfer per harinya. Kewalahan, akhirnya mereka merekrut tim operasional sendiri. Kisah tersebut adalah validasi pertama market dan produk dari Flip.

Ada beberapa hal yang kemudian dipelajari Flip pada tahap tersebut. Salah satunya, banyak ragu menggunakan Flip saat pertama kali mencoba, tapi setelah mendapatkan pengalaman pertama mereka pengguna tersebut kembali menggunakannya. First impression.

“Pertama-tama sebaiknya mulai memvalidasi market dari sesuatu yang benar-benar kita rasakan permasalahannya. Setelah melakukan validasi masalah, baru masuk lagi ke tahap validasi solusi. Setiap validasi yang dilakukan sebaiknya dengan effort yang sedikit dan waktu yang cepat. Semakin cepat kita melakukan validasi, semakin cepat juga kita mendapatkan wawasan untuk membangun solusi yang kita inginkan,” jelas CEO Flip Rafi Putra Arriyan.

Saat ini Flip sudah memiliki aplikasi sendiri. Jumlah bank yang bekerja sama dengan Flip juga terus bertambah. Demikian pula fiturnya. Sekarang mereka juga menghadirkan solusi transfer hemat biaya untuk korporasi melalui BigFlip.

Sesuaikan dengan kebutuhan pasar

Cerita perjuangan menemukan market validation yang tepat juga dialami oleh Netflix, perusahaan teknologi yang sekarang menjadi fenomena. Sebelum menemukan bentuk terbaik sebagai layanan streaming video on demand Netflix memiliki sejarah yang panjang. Salah satunya sebagai layanan penjualan CD/DVD secara online.

Permasalahan kemudian mulai muncul, seperti risiko kerusakan ketika pengiriman CD/DVD dan semacamnya. Dari sana Netflix mulai melakukan penyewaan film berbasis online. Cerita lainnya mengenai bagaimana Netflix dimulai disampaikan Reed Hastings, salah satu pendiri Netfilix pada gelaran MWC Barcelona 2017 silam.

Dalam sebuah sesi presentasi Hastings menjelaskan, mereka memulai bisnis pengiriman DVD ke pelanggan pada tahun 1997, kemudian memperkenalkan layanan streaming pada 2007. Tiga tahun berselang, jumlah pengguna layanan streaming melebihi jumlah pelanggan DVD mereka.

Perubahan model bisnis yang dilakukan Netflix sejalan dengan adopsi kebiasaan pengguna dan teknologi yang semakin maju saat itu. Dengan mempertahankan budaya terus beradaptasi, Netflix saat ini tak hanya sebagai perusahaan penyedia layanan streaming film tetapi juga memproduksi film dan serialnya sendiri. Netflix adalah bukti bahwa bisnis harus dinamis dan tetap rajin untuk melihat peluang-peluang yang ada di pasar.

Di Indonesia misalnya, Netflix melakukan kolaborasi kreatif dengan insan film di Indonesia dengan memproduksi dan mempublikasikan film karya dalam negeri.

Bukan pekerjaan instan

Berdasarkan pengalaman Paxel, Flip, dan Netflix, ide harus divalidasi dulu berdasarkan keresahan atau permasalahan yang nyata. Kemudian mereka terjun ke lapangan untuk mengukur seberapa besar masalah tersebut dan solusi apa yang dibutuhkan.

Memvalidasi pasar juga bukan pekerjaan yang bisa selesai dengan segera. Dalam keberlangsungan bisnis, proses validasi pasar harus terus dilakukan–menggali potensi inovasi baru dan, yang paling penting, mencari sumber pendapatan baru.

Facebook Mulai Cicipi Bidang Cloud Gaming

Saya yakin sebagian besar dari kita masih ingat zaman kita membuka Facebook hanya untuk memainkan FarmVille lebih dari satu dekade silam. Sekarang, FarmVille sedang bersiap untuk pensiun, dan Facebook juga sudah mengalihkan komitmennya ke teknologi HTML5 sebagai fondasi atas platform Instant Games mereka.

Sebagus-bagusnya HTML5, kapabilitasnya jelas kalah dibanding aplikasi native. Itulah mengapa katalog Facebook Instant Games kebanyakan berisi permainan yang bahkan lebih sederhana daripada game mobile. Namun tidak selamanya harus seperti itu, sebab Facebook sudah menyiapkan alternatif lain dalam wujud cloud gaming.

Sebelum Anda salah tangkap, perlu ditekankan bahwa ini bukan layanan pesaing Google Stadia, Microsoft xCloud, atau Amazon Luna. Ketimbang jadi layanan terpisah, cloud gaming justru menjadi salah satu fitur Facebook Gaming, dan duduk bersebelahan dengan Instant Games itu tadi.

Dari perspektif sederhana, Facebook melihat cloud gaming ini sebagai cara untuk menyuguhkan permainan yang mustahil dapat terwujud menggunakan HTML5 dan segala keterbatasannya. Game seperti Asphalt 9: Legends, Mobile Legends: Adventure, WWE SuperCard, dan Dirt Bike Unchained adalah sebagian contohnya.

Ya, semua game tersebut memang merupakan game free-to-play yang sudah bisa kita mainkan sekarang juga di smartphone atau tablet, tapi sekarang kita juga bisa memainkannya lewat aplikasi Facebook Gaming di Android, maupun di browser komputer dengan mengunjungi fb.gg/play.

Facebook cloud gaming

Oke, mungkin bukan kita semua, melainkan saudara atau kerabat kita yang tinggal di Amerika Serikat, mengingat fitur cloud gaming ini memang masih berstatus beta dan baru tersedia di sana saja. Di luar AS, tautan tadi bakal membawa Anda ke koleksi Facebook Instant Games seperti biasa.

Facebook menekankan bahwa mereka tidak punya maksud menerapkan model bisnis seperti layanan cloud gaming pada umumnya. Semua cloud game yang Facebook tawarkan dapat dimainkan secara cuma-cuma, meski memang ada konten in-app purchase seperti yang bisa kita jumpai pada permainan yang sama di smartphone.

Kendati demikian, bukan tidak mungkin ke depannya Facebook bakal menawarkan game premium pada katalog cloud gaming-nya, apalagi mengingat Facebook memang sempat mengakuisisi sebuah layanan cloud gaming bernama PlayGiga menjelang akhir tahun 2019 kemarin. Namun untuk sekarang, fokus mereka hanya terbatas untuk permainan free-to-play saja.

Belum diketahui kapan fitur cloud gaming ini bakal menyambangi pengguna Facebook di negara lain. Facebook juga belum bisa bicara banyak soal ketersediaannya di platform iOS, sebab Apple memang menerapkan kebijakan yang luar biasa ketat.

Sumber: Facebook.

JD.id Sematkan Teknologi AR untuk Produk Kecantikan

Industri kecantikan menjadi salah satu pasar yang paling menarik dieksplorasi, apalagi jika disinergikan dengan perkembangan teknologi. Melihat potensi tersebut, platform e-commerce JD.id meluncurkan fitur “AR Make-up Try-On” memanfaatkan teknologi augmented reality (AR) yang memungkinkan para pelanggan mencoba berbagai produk make-up dari berbagai macam brand secara virtual di dalam aplikasi mobile.

Dalam melancarkan idenya, JD.id menggandeng sejumlah brand kosmetik dan kecantikan ternama di Indonesia, termasuk Wardah, Emina, Make Over, Maybelline, Loreal, Nacific Cosmetic, I’m Meme, Somethinc, Pixy, Safi, dan Marina Glow Ready.

“Melalui fitur ‘AR Make-up Try-On’, kami berupaya untuk memudahkan proses belanja para pelanggan serta menawarkan pengalaman yang baru dalam membeli produk make-up secara online di JD.id,” kata Head of Beauty Retail JD.id Liana Heryono.

Meningkatnya minat masyarakat untuk berbelanja online saat pandemi, juga menjadi pendorong JD.id merilis teknologi AR ini. Tanpa harus datang ke toko, pengalaman pengguna yang lebih baik bisa didapatkan.

JD.id mencatat di masa pandemi pihaknya mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Mereka mengklaim nilai penjualan mengalami kenaikan hingga 40%.

Telah diterapkan di Tiongkok

Meskipun baru resmi meluncur di Indonesia tahun ini, teknologi AR sudah hadir di Tiongkok sejak tahun 2018, tempat induk perusahaan JD.id beroperasi, untuk meningkatkan pengalaman pengguna saat membeli produk kecantikan. Di blog JD disebutkan, Fitur “AR Styling Station” JD memungkinkan pengguna secara virtual mencoba berbagai produk, termasuk lipstik, blush, lensa kontak berwarna, dan pensil alis.

AR Styling Station diluncurkan sebagai bagian upaya JD menciptakan fungsi belanja mutakhir dan dipersonalisasi bagi konsumen yang melek digital.

Beautytech di Indonesia

Di artikel DailySocial sebelumnya disebutkan, industri kecantikan yang mengedepankan teknologi atau beautytech, diprediksi bakal menjadi primadona di pasar ekonomi digital Indonesia. Platform seperti Sociolla telah melakukan ekspansi ke Vietnam setelah mengantongi penggalangan dana senilai $58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) pada bulan Juli lalu. Platform yang mengusung konsep direct-to-consumer seperti Base dan Callista makin agresif memproduksi dan menjual produk kecantikan mereka.

Menurut Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Application Information Will Show Up Here

Shure MV7 Adalah Mikrofon untuk Podcaster dengan Sambungan USB dan XLR Sekaligus

Seperti halnya YouTuber, gear yang dimiliki seorang podcaster tentu akan berkembang seiring berjalannya waktu dan bertumbuhnya channel. Dari yang awalnya cuma mengandalkan mikrofon bawaan headset, lalu naik pangkat ke mikrofon USB, hingga akhirnya memiliki setup profesional dengan mikrofon XLR sebagai tonggak utamanya.

Alternatifnya, podcaster juga bisa memilih ‘jalur aman’ dengan membeli mikrofon jenis hybrid yang menawarkan dua jenis konektor sekaligus: USB dan XLR. Dengan begitu, mereka bebas menyambungkannya ke PC via USB, atau ke mixer via XLR ketika sudah tiba saatnya bagi mereka untuk naik ke level produksi yang lebih tinggi lagi.

Mikrofon yang masuk di kategori hybrid ini ada banyak sebenarnya, seperti Blue Yeti Pro misalnya, akan tetapi yang terbaru datang dari dedengkot mikrofon itu sendiri, Shure. Pabrikan asal Amerika Serikat itu baru saja memperkenalkan Shure MV7, mic pertamanya yang dilengkapi konektor USB sekaligus XLR.

Secara fisik, MV7 jauh lebih mirip seperti mikrofon legendaris Shure SM7B ketimbang Shure MV51 yang sepenuhnya mengandalkan konektor USB. Dimensinya cukup ringkas untuk dipakai dalam konteks rumahan, tapi ia juga siap digantungkan di atas saat berada di dalam sebuah studio rekaman profesional, terutama mengingat ia juga dilengkapi sambungan XLR.

MV7 mengandalkan pickup pattern jenis cardioid yang memang sangat cocok untuk keperluan podcasting karena hanya akan menangkap suara sesuai arah ia dihadapkan. Terdapat jack 3,5 mm untuk menyambungkan headphone sehingga pengguna dapat memonitor suaranya, dan MV7 turut dilengkapi panel sentuh untuk mengontrol gain maupun volume headphone yang terhubung.

Berhubung MV7 merupakan mikrofon USB, tentu saja ia turut hadir bersama sebuah aplikasi pendamping di PC (ShurePlus MOTIV) supaya pengguna dapat melakukan pengaturan secara lebih merinci. Di saat yang sama, kehadiran sejumlah preset tentu akan memudahkan pengguna yang masih masuk tahap pemula, dan perangkat turut dibekali fitur Auto Level Mode sehingga hasil rekaman tetap terdengar konsisten meski pengguna mungkin banyak bergerak.

Saat ini Shure MV7 sudah dipasarkan dengan harga $250, jauh lebih murah daripada SM7B yang dibanderol $400, dan hanya terpaut $50 dari MV51 yang USB-only. Kebetulan harganya juga sangat bersaing dengan produk serupa yang ada di pasaran, alias sama persis dengan harga Blue Yeti Pro tadi.

Sumber: Adorama.

Cara Berjualan Online di BukaLapak Versi Mobile Android dan Desktop

Marketplace seperti Tokopedia dan BukaLapak, hadir untuk memudahkan para pelaku bisnis berbagai skala dalam menawarkan barang fisik dan digitalnya ke pasar yang lebih luas.

Continue reading Cara Berjualan Online di BukaLapak Versi Mobile Android dan Desktop

[Panduan Pemula] Cara Install WordPress via Softaculous

Panduan pemula kali ini akan membahas cara install WordPress menggunakan tool Softaculous. Ini adalah tahapan penting saat Anda sedang mengerjakan project web atau blog sederhana, dan WordPress jadi CMS pilihan Anda.

Continue reading [Panduan Pemula] Cara Install WordPress via Softaculous

LG Tambahkan Active Noise Cancellation ke TWS Anti-Bakterinya

Pada bulan Juni kemarin, LG mengungkap Tone Free HBS-FN6, pesaing AirPods yang cukup unik karena dibekali dengan teknologi anti-bakteri. Idenya adalah, setiap kali TWS disimpan di dalam charging case-nya, cahaya ultraviolet akan membunuh 99,9% bakteri E. coli maupun S. aureus yang bersarang di eartip silikonnya.

Tahun belum berganti, LG sudah merilis versi yang lebih sempurna lagi, yakni Tone Free HBS-FN7. Dilihat sepintas, fisiknya nyaris identik dengan yang LG luncurkan di bulan Juni, sebab memang yang baru adalah penambahan active noise cancellation (ANC) supaya perangkat mampu mengeliminasi suara dari luar secara lebih baik lagi.

Fitur ANC ini diwujudkan dengan memanfaatkan tiga mikrofon di masing-masing earpiece – dua di luar dan satu di dalam – yang secara aktif akan memonitor gelombang suara dari segala arah. Dikombinasikan dengan isolasi suara pasif yang berasal dari eartip silikonnya, semestinya tidak akan ada lagi suara dari sekitar yang tembus sampai ke dalam.

Untuk kualitas suaranya sendiri LG masih memercayakan tuning dari Meridian Audio. Kalau kurang sreg dengan karakter suara aslinya, tentu saja pengguna dapat melakukan pengaturan equalizer pada aplikasi pendampingnya di smartphone, atau memilih satu dari empat preset yang tersedia.

Teknologi sanitasi berbasis cahaya ultraviolet tadi masih menjadi andalan di sini. Satu hal yang baru adalah keberadaan indikator LED pada charging case milik Tone Free FN7, sehingga pengguna dapat memantau sisa baterai maupun status sterilisasinya dengan lebih mudah.

Bicara soal baterai, Tone Free FN7 diyakini sanggup beroperasi hingga 5 jam nonstop, atau 15 jam jika dipadukan bersama charging case-nya. Kalau fitur ANC-nya dimatikan, daya tahan baterainya bisa diperpanjang menjadi 7 jam, atau 21 jam bersama charging case. Dukungan fast charging pun turut tersedia; pengisian selama 5 menit sudah bisa menenagai perangkat selama 1 jam.

Berbeda dari sebelumnya, LG Tone Free FN7 kabarnya akan dijual di sejumlah negara di Amerika, Eropa dan Asia mulai kuartal keempat tahun ini juga. Harganya belum ditentukan, akan tetapi di Korea Selatan ia dihargai 219.000 won, atau kurang lebih setara Rp2,85 juta.

Sumber: What Hi-Fi dan LG.