Ralali dan Futuready Sasar Pasar Asuransi B2B untuk UMKM

Ralali resmi mengumumkan kerja samanya dengan Futuready pada Selasa ini. Lewat kerja sama tersebut, Ralali dan Futuready mematok target 1 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebagai nasabah asuransi B2B, hingga akhir tahun depan.

“Itu target akhir. Target awalnya 10.000-20.000 dari jumlah UMKM yang ada sudah bisa merasakan asuransi tersebut, tapi tetap target akhirnya 1 juta,” ujar SVP of Financial Business Ralali, Alvin Aulia Akbar.

Penyediaan produk asuransi untuk UMKM menjadi fokus Ralali dalam kerja sama ini. Pertama-tama hal ini tak lepas dari jumlah pengusaha UMKM yang berkisar 60 juta lebih. Sebagian kecil atau tepatnya 8 persen dari jumlah itu belum memanfaatkan layanan digital.

Alvin melanjutkan dalam produk ini UMKM mana pun bisa bergabung dengan membeli produk asuransi mulai dari harga Rp5.000 per bulan. Namun dari sekian banyak UMKM yang ada, mereka mengaku masih berfokus ke UMKM seperti warung, restoran, kafe, hingga toko elektronik.

“Dua segmen ini yang paling potensial di Indonesia, paling tidak ada 5 juta untuk kedua segmen ini,” imbuhnya.

Selain jenis-jenis usaha tersebut COO Ralali Alexander Lukman mengatakan pihaknya juga mempersilakan bagi para pelaku UMKM yang beroperasi mengandalkan gerobak. Dengan asuransi dari Futuready ini, Alex meyakini UMKM dapat terlindungi dari risiko-risiko tak terduga seperti huru-hara, banjir, hingga pemadaman listrik.

“Mungkin tidak semuanya, tapi setidaknya sekitar 70-80 persen bisa ter-cover,” ungkap Alex.

Ada sejumlah faktor yang membuat Ralali dan Futuready yakin produk asuransi mereka dapat dilirik oleh pelaku UMKM. Selain harga yang terjangkau, mereka mengandalkan Big Agent milik Ralali.

Big Agent yang merupakan agen lepas dengan sistem komisi yang melaksanakan tugas promosi, akuisisi, dan survei pasar. Sebanyak 300.000 agen yang biasanya terdiri dari mahasiswa, karyawan, hingga pengemudi ojek online, di seluruh Indonesia inilah yang nantinya memberi pengertian kepada pemilik UMKM untuk melindungi usahanya yang mayoritas merupakan single-income business.

“Mungkin sudah ada rumah toko yang bisa diasuransi. Tapi ini gerobak dan saya kira ini belum ada sebelumnya padahal kita tahu sendiri banyak sekali gerobak UMKM di Indonesia. Makanya untuk aksesibilitas kita mengandalkan Big Agent,” aku Head of Corporate Business Futuready, Gretel Griselda.

Setidaknya ada tiga jenis asuransi yang ditawarkan oleh Ralali dan Futuready ini. Mereka adalah Asuransi Fire yang ditujukan pemilik properti usaha bergerak seperti gerobak, Asuransi Pendidikan untuk melindungi pendidikan anak pemilik usaha, dan Asuransi Perlindungan Bisnis yang dapat membantu pemilik bisnis tetappunya pemasukan meski usaha sedang tidak beroperasi.

Rencana Tahun Depan

Produk asuransi baru ini memantapkan upaya Ralali membangun ekosistem pengembangan bisnis UMKM di platform mereka yang terdiri dari pembayaran, pinjaman, investasi, dan asuransi.

Alex tak menutup kemungkinan tahun depan akan ada perluasan keempat hal tadi dengan menyediakan infrastruktur logistik B2B di platform mereka. Hal ini memungkinkan bagi mereka dengan kembali menggandeng sejumlah penyedia jasa logistik pihak ketiga maupun pengiriman kargo bisnis.

Di samping itu, Ralali juga membuka kemungkinan membuka layanan gudang di platform mereka. Caranya dengan menggandeng mitra startup yang sudah bermain di sektor tersebut

“Saat ini kami sudah ekspansi di 35 kota, per akhir tahun ini akan di 55 kota. Di sana kami akan bangun fulfilment center. Lagi-lagi ini kan industri 4.0, ngakunya punya gudang tapi bukan punya kita. Kita kerja sama dengan mitra di kota tersebut agar bisa melayani lebih cepat dan lebih murah,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

After the Positive Trend, Shopee Managed to Outrun Tokopedia’s Active Users in Indonesia

Shopee’s wild growth in the local and regional e-commerce competition map is still ongoing. One of the indicators displayed at the iPrice report for the Q3 2019 that shows Shopee’s monthly active user (MAU) has outrun Tokopedia’s number.

The map of Southeast Asia’s e-commerce of Q3 2019 published by iPrice with App Annie and SimilarWeb examines the latest trend of the e-commerce industry in six Southeast Asia’s countries, namely Indonesia, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapore, and the Philippines.

The report highlighted some main issues. First, Shopee and Lazada still compete for the #1 platform in Southeast Asia. Next, local players are still top of mind in Indonesia. Then, Shopee’s big energy has resulted in taking Tokopedia’s throne in Indonesia in terms of the monthly active user (MAU).

Shopee vs Tokopedia

An epic battle of Shopee and Tokopedia as the number one e-commerce platform in Indonesia is clearly visible in the recent periods. However, Shopee managed this time to outrun Tokopedia’s monthly active users for a mobile app. This is a first for Shopee because Tokopedia has won the matrix in the last two quarters.

The report revealed some programs, such as cashback, free delivery, brand ambassador, and special date discount for the last three months has proven Shopee’s market acquisition strategy works well.

Tokopedia, not only outrun by Shopee but also Lazada comes first for the most downloaded application. However, Tokopedia still listed on top of the most accessed app on mobile web or desktop.

Powerful in regional

Shopee’s positive trend in Indonesia runs identically in the regional market. The only thing blocking Shopee is its closest rival, Lazada.

The iPrice report stated Shopee as the leading platform in two countries, Indonesia and Vietnam, while Lazada is stronger in four other countries. Even so, iPrice found out Shopee’s regional MAU number is bigger than Lazada. This is not surprising since Indonesia and Vietnam are projected as the biggest e-commerce market in Southeast Asia.

Local player stays the sweetheart

Shopee’s fast move might be unstoppable as number one in Indonesia, but local consumers still prefer local e-commerce.

Based on the website traffic, iPrice noted 61% of Indonesia’s e-commerce market is still for local players, with the leading platforms, such as Tokopedia and Bukalapak.

Specifically to Bukalapak, the disappearance of its application in Google Play some times ago is merely has an impact. The iPrice report found Bukalapak is still in the third position in the MAU category and the most accessed application.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Legaltech Lexar Bantu Pendiri Bisnis Urus Berbagai Perizinan

Aspek legal sering jadi permasalahan serius yang dihadapi pengusaha ketika hendak memulai bisnis, termasuk bagi startup. Hal tersebut yang melatarbelakangi lahirnya Lexar sebagai startup yang bergerak di bidang hukum (legaltech). Didirikan oleh Ivan Lalamentik, visi utamanya menjadi penyedia solusi legal terpadu.

Lexar mulai beroperasi pada 2015 lalu dengan nama awal Startup Legal Clinic dan berganti nama seperti sekarang per April 2018. Keseriusan Lexar menatap bisnisnya seiring dengan keinginan pemerintah untuk mempermudah laju bisnis di Indonesia. Saat ini layanan Lexar dapat diakses melalui platform berbasis web.

Target utamanya kalangan UKM atau startup tahap awal yang masih awam mengenai hukum. Salah satu layanan utama mereka adalah pendirian perseroan terbatas (PT) secara online.

Ivan mengatakan, pada dasarnya Lexar merupakan service provider, bukan marketplace. Dalam hal pendirian PT ini, mereka akan bekerja dengan mitra yang sudah terkurasi. Kecuali tanda tangan dokumen, pengerjaan dokumen, hingga pengurusan ke badan-badan pemerintah terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pajak semua dilakukan oleh Lexar tanpa bertatap muka dengan pelanggannya.

Ivan mengklaim Lexar dapat mengerjakan pendirian PT dengan durasi satu hingga dua pekan. Ketika waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan PT pada waktu lampau yang bisa mencapai 2-3 bulan, Ivan menyebut tak sedikit pelanggan mereka yang terkejut akan cepatnya layanan legaltech mereka.

“Bahkan pernah rekor kita mengerjakan ini cuma 4 hari,” imbuh Ivan yang juga berperan sebagai Managing Director Lexar.

“Target kita memang ease of doing business. Kita support banget pemerintah punya plan.”

Pemerintah memang berambisi mengerek level kemudahan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2016 silam yang menargetkan Indonesia menempati peringkat 40 dalam kemudahan berbisnis (EODB) pada 2020.

Kenyataannya, harapan Jokowi itu belum terkabul. Laporan Bank Dunia tahun ini menunjukkan kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat 73 dengan skor 69,6. Meskipun skor tersebut naik sedikit dibanding laporan tahun lalu, peringkat Indonesia dalam laporan ini tak bergerak. Kita pun masih tertinggal oleh negara-negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Model bisnis

Lexar memiliki tiga model bisnis yang terdiri dari transaction-based, subscription-based, dan referral. Layanan berdasarkan transaksi ini termasuk salah satu di antaranya pendirian PT tadi.

Lexar membanderol mulai dari Rp9 juta untuk bantuan legal pendirian PT. Layanan lainnya seperti pendirian PT PMA mulai dari Rp5 juta, pengurusan administrasi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Rp3 juta, perlindungan HAKI mulai dari Rp2,5 juta, hingga pengurusan Kartu Izin Tinggal Terbatas Sementara (KITAS) untuk warga negara asing dengan harga Rp13 juta.

Sementara untuk layanan hukum berbasis langganan menurut Ivan lebih ditujukan kepada usaha yang mengalami pertumbuhan cepat sehingga butuh bantuan legal yang memadai.

“Jadi biasanya habis mereka berdiri kita bantuin setup infrastruktur legal mereka sampai akhirnya mereka bisa hire dan lempar ke orang yang akan di-hire nanti, itu model subscription,” lanjut Ivan.

Terakhir, model referral menghubungkan kebutuhan pelanggan dengan penyedia jasa lain yang diperantarai oleh Lexar. Umumnya layanan yang dibutuhkan masih berkaitan dengan pendirian PT semisal mencari kantor virtual atau pembuatan rekening perusahaan. Dari jasanya ini, Lexar akan mendapat imbalan dari transaksi yang terjadi.

Pendanaan

Model bisnis demikian menandakan sejak awal Lexar fokus mencari profit ketimbang membesarkan valuasi perusahaan. Ini sebabnya selama 4 tahun beroperasi status pendanaan Lexar masih bootstrap. Tim mereka pun tergolong ramping.

Kendati begitu, Ivan memastikan Lexar segera menggelar pengumpulan dana untuk seed funding pada bulan depan setelah satu setengah tahun berkiprah sebagai legaltech. Ia mengupayakan investor mereka nanti akan diikuti oleh venture capital, angel investor, firma hukum, ataupun individu yang punya pengaruh dalam industri legal.

“Tapi kita enggak jual ide karena kita sudah ada traksi, sudah ada revenue, sudah ada barang yang sudah jadi,” tegasnya.

Tren Positif Shopee Berlanjut, Kini Salip Jumlah Pengguna Aktif Tokopedia di Indonesia

Tren perkasa Shopee dalam peta persaingan e-commerce di ranah lokal maupun regional masih berlangsung. Salah satu indikatornya tampak dari laporan iPrice periode Q3 2019 yang menunjukkan jumlah pengguna aktif bulanan Shopee berhasil menyalip Tokopedia.

Peta e-commerce Asia Tenggara Q3 2019 yang dirilis iPrice bersama App Annie dan SimilarWeb mengulas kondisi terkini industri e-commerce di enam negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Laporan ini menggarisbawahi sejumlah temuan utama. Pertama adalah Shopee dan Lazada masih berkompetisi untuk menjadi nomor wahid di Asia Tenggara. Berikutnya pemain lokal masih menjadi raja di Indonesia. Terakhir adalah keperkasaan Shopee yang berhasil menyingkirkan Tokopedia di Indonesia dalam hal pengunjung aktif bulanan terbanyak.

Shopee vs Tokopedia

Persaingan keras antara Shopee dan Tokopedia sebagai platform e-commerce nomor satu di Indonesia terus terlihat dalam beberapa periode terakhir. Bedanya, kali ini Shopee berhasil melampaui pencapaian jumlah pengguna aktif bulanan Tokopedia untuk aplikasi mobile. Ini adalah yang kali pertama bagi Shopee, karena di dua kuartal sebelumnya metrik ini selalu “dimenangkan” Tokopedia.

Laporan tersebut menyebut program cashback, gratis ongkos kirim, pemilihan brand ambassador, dan diskon tanggal unik selama periode tiga bulan ke belakang membuktikan strategi Shopee mengakuisisi pasar mereka berjalan baik.

Selain ditikung Shopee, Tokopedia juga disalip Lazada di metrik aplikasi yang paling banyak diunduh. Meski begitu, Tokopedia masih tercatat sebagai yang nomor satu ketika diakses melalui mobile web atau desktop.

Digdaya di regional

Tren positif Shopee di Indonesia juga berjalan identik di pasar regional. Satu-satunya yang menyaingi laju Shopee di kawasan adalah rival terdekatnya, Lazada.

Laporan iPrice mencatat Shopee unggul di dua negara yakni Indonesia dan Vietnam, sedangkan Lazada lebih kuat di empat negara lainnya. Kendati begitu, iPrice mendapati pengguna aktif bulanan Shopee secara regional masih lebih besar dari Lazada. Hal ini tak mengherankan karena Indonesia dan Vietnam diproyeksikan sebagai pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara.

Pemain lokal masih favorit

Laju Shopee memang hampir tak terbendung sebagai yang nomor satu di Indonesia, namun platform e-commerce lokal masih jadi pilihan utama konsumen dalam negeri.

Berdasarkan trafik situs web, iPrice mencatat 61 persen pasar e-commerce Indonesia masih dipegang oleh pemain lokal, dengan pemain utama seperti Tokopedia dan Bukalapak.

Khusus untuk Bukalapak, hilangnya aplikasi mereka di Google Play beberapa waktu lalu disebut tak berpengaruh banyak. Laporan iPrice mendapati Bukalapak masih menempati peringkat ketiga untuk pengguna aktif terbanyak dan peringkat ketiga untuk situs web paling sering dikunjungi.

Penguatan Logistik Jadi Strategi JD.ID di Tengah Persaingan Ketat Bisnis E-commerce

Logistik menjadi komponen penting dalam pengembangan bisnis e-commerce. Demikian pula bagi JD.ID, komitmen perusahaan untuk perkuat jaringan logistiknya diutarakan langsung oleh President International JD.com Soon Sze Meng dan Presiden & CEO JD.ID Zhang Li kala peresmian kantor baru di Bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, pertengahan November lalu.

Meng mengatakan industri e-commerce di Indonesia masih punya banyak kesempatan untuk terus tumbuh. Satu hal yang ia tekankan mengenai adalah tingginya permintaan produk asli dengan pengiriman cepat.

“Prioritas saat ini adalah mengupayakan same day delivery di seluruh Jabodetabek,” ucap Meng kepada Dailysocial.

Layanan same day delivery yang dimaksud memungkinkan sebuah pesanan dikirim ke pelanggan pada hari yang sama jika pemesanan dilakukan sebelum pukul 10.00 WIB. Meng menyebut layanan ini yang membedakan mereka dengan pemain lain di lanskap e-commerce tanah air. “Saya rasa hal ini cukup mengubah peta kompetisi di sini,” lanjut Meng.

Zhang Li mengklaim 85% pesanan di Jabodetabek telah memakai same day delivery. Angka tersebut turut menjadi pendorong mereka untuk memperkuat infrastruktur dan teknologi logistik karena saat ini dapat layanan unggulan mereka itu bergantung pada jarak lokasi gudang dan merchant terhadap tujuan pengiriman.

Patut diketahui sebelumnya, JD.ID saat ini memiliki 11 gudang yang tersebar di Medan, Jakarta, Semarang, Pontianak, Surabaya, dan Makassar. Keenam gudang  inilah yang memungkinkan distribusi lebih dari 10 juta SKU dari 23 jenis kategori produk. Optimasi dan penambahan infrastruktur logistik yang sudah ada ini yang menjadi prioritas pengembangan ke depan.

“Kami tentu punya rencana menambah fasilitas logistik di tahun depan, namun untuk jumlahnya belum bisa disebutkan,” ucap Li.

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa jangkauan memang masih menjadi fokus JD.ID. Luasnya wilayah dan bentang geografis kepulauan adalah pekerjaan rumah yang ingin mereka lampaui. Sebelumnya perlu diingat juga pada awal tahun ini JD.ID telah menguji coba pengantaran via drone untuk daerah-daerah terpencil.

Di Tiongkok mereka sudah kembangkan sub-bisnis JD Logistics, dengan ketersediaan gudang mencapai 650 unit di seluruh Tiongkok. Maka tak mengejutkan ketika mereka dapat menyelesaikan 90 persen pesanan JD.com di hari yang sama.

“Butuh waktu untuk mengangkat efisiensi pengiriman dan kami masih punya waktu. Jangan lupa juga kami terbilang masih muda dibanding para pemain lain di Indonesia,” pungkas Meng.

Berdasarkan riset iPrice, JD.ID masih menempati peringkat 6 di bawah Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Blibli. Pemeringkatan oleh iPrice ini dihitung dari rata-rata pengunjung situs web pada per Oktober 2019.

Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Startup Regtech dan Legaltech Terus Berbenah, Setelah Nyaris Mati Suri Dua Tahun

Indonesian Regtech and Legaltech Association (IRLA) merupakan wadah bagi perusahaan berbasis teknologi yang bergerak di bidang hukum. Namun dua tahun sejak berdiri, asosiasi ini relatif belum menuai dampak signifikan. Beranjak dari sana, IRLA berniat melakukan pembenahan untuk mempercepat laju industri di sektor terkait.

Kepada DailySocial, Wakil Ketua IRLA Ivan Lalamentik mengakui, selama hampir dua tahun ini asosiasi cenderung pasif. Kegiatan yang mereka lakukan sejauh ini pun masih sebatas sosialisasi mengenai keberadaan mereka kepada lembaga-lembaga pemerintahan. Menurutnya salah satu sebabnya adalah para anggota yang masih disibukkan dengan bisnis masing-masing.

“Jadi kalau ditanya program yang sudah ada dan impact-nya, saya bisa bilang memang belum [banyak],” ujar Ivan saat ditemui di kantornya.

Menengok kembali visi dan misinya, IRLA mengedepankan pemanfaatan teknologi para anggotanya untuk urusan legal dan regulasi agar meningkatkan kesadaran publik akan kepatuhan hukum. Peran para anggota ini menjadi penting dalam pengembangan inovasi di bidang ini. Semakin banyak pelaku, semakin besar pula kemungkinan inovasi di bidang regtech dan legaltech.

Namun jumlah bukan menjadi perhatian utama dalam iklim bisnis ini. Ivan yang juga Founder & CEO startup legaltech Lexar menilai, jumlah pemain yang terjun di bidang ini belum menghasilkan inovasi yang cukup beragam untuk memecahkan sejumlah masalah di bidang hukum yang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan di Amerika Serikat ada legaltech yang sanggup membantu publik mengurus surat tilang atau menangani kasus perlindungan konsumen.

“Inovasi seperti itu yang sebenarnya banyak banget dari kebutuhan masyarakat tapi belum diakomodasi oleh pemain yang sudah ada,” imbuh Ivan.

Saat ini tercatat ada 10 startup yang sudah bernaung di bawah payung IRLA. Mereka adalah Privy.id, Indexa, Dentons HPRP, eCLIS.id, hukumonline.com, Legal Go, Justika, Kontrak Hukum, Lexar, dan PopLegal. Riset dari ASEAN LegalTech menunjukkan jumlah startup Indonesia yang bergerak di bidang hukum ada di angka 21 unit. Secara garis besar mereka bergerak di koridor legaltech dan regtech dengan fokus di antaranya tanda tangan digital, marketplace konsultasi hukum, pembuatan kontrak hukum, dan banyak lagi.

Kepengurusan baru

Guna mendorong iklim yang lebih matang untuk pelaku startup teknologi di bidang hukum, IRLA mulai berbenah. Mereka membentuk kepengurusan baru dengan perencanaan anyar yang lebih progresif.

Selain melanjutkan sosialisasi ke sejumlah pihak, Ivan menuturkan IRLA berbagai kegiatan lain. Salah satunya adalah menggelar hackathon yang digelar sejak akhir bulan ini hingga pertengahan Desember nanti.

Ivan berharap dampak yang dapat IRLA berikan dapat signifikan di dalam industri. Ia memandang Asosiasi Fintech Indonesia sebagai contoh tepat sebagai patokan pertumbuhan IRLA di masa depan. Dengan masalah-masalah hukum yang masih bertebaran dan ruang inovasi teknologi yang beragam, Ivan yakin masa depan bisnis legaltech dan regtech di Indonesia masih cerah.

“Kalau bisa anggotanya bertambah karena pentingnya asosiasi di early stage ini kan bukan cuma government relations tapi juga nurturing orang-orang yang mau masuk di industri ini biar tahu business opportunity yang bisa dikembangkan seperti apa,” pungkas Ivan.

Kewirausahaan dengan Dampak Sosial-Ekonomi Jadi Fokus Endeavor di Scale Up Asia 2019

Kewirausahaan dengan dampak sosial-ekonomi yang signifikan menjadi fokus Endeavor Indonesia dalam ajang “Scale Up Asia 2019: Turning Point”. Chairman of The Board Endeavor Indonesia Harun Hajadi mengatakan, pihaknya mendapati 45 high-impact entrepreneur yang dipilih dari dua ribu unit usaha di seluruh Indonesia.

“Melalui kegiatan Scale Up Asia 2019, Endeavor Indonesia berharap agar semangat high-impact entrepreneurship dapat tersebar lebih luas di Indonesia, sekaligus menjadi sarana pendukung dalam pertumbuhan ekosistem wirausaha,” ujar Harun.

Menurut Harun, 45 pengusaha tadi adalah pimpinan dari 37 perusahaan. Ia menyebut usaha mereka semua telah menyumbang 10 ribu lapangan kerja secara langsung. Penciptaan lapangan kerja ini adalah contoh utama dampak ekonomi-sosial kewirausahaan yang baik.

Sementara itu Kepala Deputi Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hari Sungkari, menambahkan high-impact entrepreneur banyak diperlukan guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Ia mengatakan ekonomi digital punya potensi sebesar US$130 miliar atau Rp1.832 triliun pada 2025. Dengan potensi sebesar itu, wirausaha sektor ekonomi digital diharapkan menjadi ujung tombak ekonomi nasional.

“Melalui rangkaian acara Scale Up Asia 2019, para wiraswasta tidak hanya berkesempatan untuk berkonsultasi langsung mengenai masalah terkait bisnis yang mereka hadapi, tapi juga memiliki wadah untuk membahas isu dan tantangan terkait dunia usaha secara lebih komprehensif,” imbuh Hari.

Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadhi menambahkan, ajang yang dihelat oleh Endeavor Indonesia ini membantu dirinya mengakses jejaring internasional. “Selain itu, kesempatan ini juga membuka luas koneksi menuju pihak-pihak potensial yang bisa diajak bekerja sama untuk mengembangkan bisnis, serta membuka kesempatan lainnya yang semula belum terbayangkan. Diri dan perusahaan pun secara otomatis menjadi teraktualisasi.”

Endeavor sendiri merupakan gerakan kewirausahaan global. Di Indonesia, Endeavor telah beroperasi selama tujuh tahun dan mendukung 45 pengusaha tadi, salah satunya adalah Founder & CEO Bukalapak Ahmad Zaky.

Dalam ajang Scale-Up Asia 2019 ini, Endeavor menggelar rangkaian acara yang terdiri dari Pitch Up Competition, Scale Up Connect, dan Scale Up Clinic. Seperti namanya, Pitch Up Competition ini menyeleksi tiga startup terbaik dari 100 peserta. Mereka yang terpilih adalah Piniship (platform logistik untuk UKM), Mospaze (marketplace e-logistik dan gudang on-demand), serta Zendmoney (penyedia jasa multi-currency account yang memudahkan  konsumen dalam pembayaran).

Sementara Scale Up Connect merupakan wadah bagi para pengusaha untuk berjejaring mengenai ekosistem wirausaha di Indonesia yang diikuti oleh 50 pengusaha internasional. Terakhir, Scale Up Clinic merupakan kegiatan mentoring yang pada lima hal yakni: strategi pertumbuhan, pengumpulan dana, sumber daya manusia, marketing & sales, dan operasional.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Scale Up Asia

Peluang Startup Agritech Selesaikan Isu Manajemen Produk Pertanian

Sektor pertanian selalu menjadi perhatian besar di Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim dirinya sebagai agraris. Kemunculan startup agritech relatif berhasil mengubah lanskap pertanian meskipun di dalamnya masih terdapat banyak sekali masalah belum terpecahkan.

Dalam #SelasaStartup minggu ketiga November 2019, menghadirkan VP of Product TaniHub Zakka Fauzan Muhammad. Ia mengemukakan seluk-beluk peluang dan tantangan agritech dari sudut pandang manajemen produk (product management).

Tantangan dan kesempatan

Sayur dan buah adalah sumber pangan penting yang menjadi salah satu komoditas utama TaniHub. Salah satu masalah besar menurut Zakka untuk komoditas ini adalah hasil panen dengan kualitas terbaik dari petani lokal masih terbilang sedikit. Diperkirakan hasil panen petani lokal yang memiliki grade A hanya sekitar 10-20%, grade B sekitar 20%, grade C sekitar 30-40%, dan sisanya grade D ke bawah.

“Petani kita ada kecenderungan lebih suka panennya dibeli semua dengan harga murah padahal grade A itu harganya bisa dua kali atau tiga kali lipat dari grade C,” ujar Zakka.

Salah satu penyebab kecilnya hasil panen berkualitas itu terkait pengairan dan pemupukan yang tidak merata. Zakka mengakui teknologi pertanian di sini masih jauh dari mapan sehingga ada kemungkinan pengairan dan pemupukan lahan pertanian tidak merata karena sifatnya yang masih manual.

Tantangan berikutnya, menurut Zakka, adalah memperkirakan angka permintaan konsumen dan hasil panen di sisi lain. Mencari titik temu antara supply dan demand ini adalah pekerjaan besar.

“Ini tantangan untuk product development. Caranya kita bisa lihat data beberapa tahun ke belakang agar bisa meminimalkan demand yang tidak terpenuhi dan supply yang berlebih,” ucapnya.

Zakka menambahkan tantangan lain yang tak kalah sulit adalah menghitung waktu pembusukan hasil panen. Faktor ini bisa berpengaruh besar terhadap distribusi.

Di sisi lain, mereka punya kesempatan mencari tahu waktu pembusukan paling akurat. Jika berhasil mereka bisa menentukan waktu penyimpanan dan pengiriman paling akurat agar produk yang dikirim tak akan lebih dari usia matangnya.

“Belum ada teknologi untuk mengukur kecepatan matang buah atau sayur,” pungkas Zakka.

Menurutnya, TaniHub saat ini memiliki sejumlah aplikasi dengan tujuan penggunaan berbeda. Aplikasi pertama untuk konsumen, yang kedua untuk petani, ketiga untuk tim internal, manajemen gudang, dan terakhir TaniFund.

TaniHub kini diklaim sudah merangkul sekitar 35 ribu petani dengan 800 SKU. Mayoritas produk yang mereka hasilkan antara lain buah, sayur, ikan, ayam, dan beras.

Tribelio Hadir sebagai Platform Pemasaran Berbasis Komunitas

Menyederhanakan kanal pemasaran dan menjangkau pelanggan yang kemungkinan besar menyukai suatu produk jadi ide utama Founder & CEO Tribelio Denny Santoso. Baginya kedua pertanyaan di atas dapat terjawab dengan membangun komunitas yang mana dia wujudkan melalui Tribelio.

Denny meluncurkan Tribelio sejak September tahun ini. Platform ini ia buat dengan tujuan mempermudah pengusaha membangun komunitas yang dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak penjualan produk mereka.

“Indonesia memasuki era di mana semua semakin mudah mendapatkan dan menjual produk, bahkan yang tak punya produk bisa berjualan. Lalu bagaimana caranya di era produk ini untuk naik level? Dengan membangun komunitas,” tutur Denny kepada Dailysocial.

Secara sederhana, Tribelio ini merupakan platform yang memungkinkan pemilik produk (atau dalam istilah di Tribelio adalah “Chief”) berinteraksi dengan anggota  yang pernah membeli produk itu atau sekiranya tertarik dengan produk tersebut.

Cara kerja Tribelio seperti gabungan Facebook Group atau aplikasi messaging dengan email marketing, serta landing page. Denny meyakini penggabungan fungsi itu ke dalam satu aplikasi dapat memudahkan interaksi dari Chief ke anggotanya sehingga dapat mengukir rasa percaya dan kesetiaan pelanggan terhadap produk yang dimiliki.

Mindset-nya sederhana bahwa jualan itu butuh komunitas. Anggaplah ada orang yang belanja di marketplace kita, tapi kita tidak bisa follow up, tidak ada data mereka ketika kita ingin memberitahu produk baru kita ke mereka. Jadi ngapain bikin iklan baru ketika orang yang sudah kenal produk kita akan beli,” imbuh Denny.

Untuk mengaksesnya, Tribelio memasang biaya berlangganan sebesar Rp855.000 per bulan. Chief bisa membayar lebih hingga Rp2,6 juta untuk paket berlangganan selama empat bulan dan seminar online & offline bersama Denny. Sebagai informasi, Denny yang memang sudah dikenal sebagai praktisi pemasaran memasang biaya sekitar Rp13 juta hingga Rp80 juta untuk kelas seminarnya.

Dua bulan lebih beroperasi, Tribelio memperkenalkan diri ke publik pada awal November ini. Selama dua bulan itu, Denny mengklaim Tribelio sudah memiliki lebih dari 24.000 anggota dengan 600 Chief. Ia menargetkan platform ini bisa meraih 1 juta pengguna hingga akhir tahun depan.

Sebagai tambahan, Tribelio memberikan iming-iming dua level sebesar 30% dan 5% dari biaya berlangganan apabila seorang Chief berhasil mengajak orang lain bergabung menjadi Chief.

Dengan target besar 1 juta pengguna di akhir tahun depan, Tribelio membutuhkan dana untuk scale up. Mengklaim sudah profit miliaran Rupiah, Denny tetap siap menyambut investor yang ingin melakukan pendanaan. Ia pun mengaku saat ini sudah ada sejumlah pihak yang sudah tertarik memberi pendanaan meski masih jauh dari kata sepakat.

“Kita terbuka untuk pendanaan tapi saat ini masih bootstrap,” pungkas Denny.

Inovator Teknologi Terkemuka (Sayangnya) Tidak Pernah Benar-benar dari Nol

Kisah para pengusaha sukses yang berjuang dari bawah adalah pengantar motivasi esensial bagi mereka yang ingin menempuh jalan serupa. Determinasi untuk tidak menyerah dengan keadaan merupakan resep utama dalam tiap kisah tersebut. Namun dalam technopreneurship, situasinya berbeda. Seringkali mereka yang mengecap sukses di bidang ini memiliki modal yang lebih dari sekadar semangat pantang menyerah.

Perjalanan Steve Jobs misalnya seringkali jadi contoh ideal bagi kebanyakan technopreneurship tentang bagaimana determinasi kuat akan membuahkan hasil. Besar di keluarga kelas menengah di California, Amerika Serikat, Jobs akhirnya berhasil mendirikan Apple. Meskipun banyak masalah yang harus ia hadapi setelahnya, Jobs tetap dikenal sebagai seseorang yang dikagumi di bidangnya.

Kisah Steve Jobs ini jamak ditemui di rak-rak kewirausahaan toko buku atau artikel-artikel di internet. Ganti namanya dengan Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, atau bahkan Nadiem Makarim, khalayak dapat menemukan kisah epik serupa. Namun tak banyak yang tahu bahwa kesuksesan mereka tadi tak berdiri sendiri karena usaha mereka. Ada faktor lain yang tak kalah besar pengaruhnya seperti latar belakang keluarga.

Privilese

Kita dapat memulai dari Nadiem sebagai pendiri Gojek. Nadiem adalah anak dari pengacara terkemuka Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri yang merupakan putri dari perintis kemerdekaan Hamid Algadri. Dari keluarga ayahnya, Nadiem memiliki paman bernama Zacky Anwar Makarim yang berkarier di militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sedangkan dari pihak ibu ia punya paman Maher Algadri, seorang pengusaha dari Kodel Group.

Pendidikan cemerlang Nadiem di Universitas Harvard mengikuti jejak langkah ayahnya. Di kampus itu pula ia bertemu dengan Anthony Tan dan Tan Hooi Ling yang kemudian mendirikan Grab dan menjadi rivalnya dalam berbisnis. Sama seperti Nadiem, Tan pun punya privilese yang melekat sejak lahir.

Terima atau tidak, status Nadiem yang lahir dan besar dengan sendok perak di meja makan memungkinkannya merengkuh pendidikan tinggi hingga berhenti dari pekerjaannya untuk mendirikan Gojek. Dalam kalimat lebih sederhana: seseorang dapat lebih leluasa menjadi kreatif ketika mereka memiliki jaring pengaman sehingga lebih berani mengambil risiko.

Peneliti asal Perancis Francoise Bastie, Sylvie Cieply, dan Pascal Cussy mengatakan ada dua modal berbeda untuk menjadi pengusaha seperti Nadiem atau Anthony yakni modal sosial dan finansial. Modal sosial lebih menitikberatkan kepada latar belakang kewirausahaan jaringan. Sementara modal finansial condong dimanfaatkan untuk merebut atau melanjutkan kesuksesan.

“Cara mereka menyikapi risiko menjelaskan mengapa orang-orang yang memiliki jaringan kewirausahaan cenderung membangun startup baru,” tulis para peneliti itu.

Jalan terjal

Lalu pertanyaannya, apakah mereka yang berasal dari keluarga sederhana, tanpa privilese lebih seperti yang dimiliki oleh Nadiem atau Anthony, dapat menembus manisnya bisnis teknologi? Jawabannya tentu bisa namun dengan kemungkinan yang kecil.

Hasil studi Smeru Institute yang dimuat dalam laporan Asian Development Bank Institute (ADBI) pada September 2019 menyimpulkan 87% anak-anak yang berumur 8-17 tahun pada 2000, lahir dan besar di keluarga miskin, memiliki pendapatan yang lebih rendah ketika dewasa dibanding mereka yang tidak miskin saat anak-anak.

Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, dan Asep Suryahadi sebagai penyusun laporan menyoroti tujuh mendiator yang dapat menjelaskan hubungan kemiskinan pada anak-anak dengan pendapatan mereka saat dewasa kelak. Dalam mediator pertama laporan ini menemukan, meski anak-anak dari keluarga miskin berpendidikan dan punya kemampuan matematika yang sama dengan anak yang tak miskin, pendapatannya tetap lebih rendah. Setelahnya mereka turut menghitung tingkat stres, koneksi dalam mendapatkan pekerjaan, dan kesehatan. Mediator tersebut mendapati bahwa anak-anak dari keluarga miskin ternyata tetap memperoleh pemasukan pas-pasan saat dewasa.

“Jadi apa? Ini yang kami tidak dapat pastikan. Bisa mindset. Bisa koneksi di sekolah. [Menurut] McKnight (2015): tetap ada unexplained additional advantage dgn hidup di keluarga non-miskin. Dampaknya: pendapatan lebih besar pada saat dewasa. Perlu studi lebih lanjut,” ujar Daniel lewat akun Twitter pribadinya.

Cerita Ricky Yean, CEO startup PRX, mungkin dapat mewakili temuan studi tersebut. Ricky adalah pria kelahiran Taiwan dan kini mengadu nasib di Silicon Valley. Sang ayah membawa Ricky hijrah ke AS untuk mencari peruntungan. Sebagai imigran, Ricky yang masih remaja melakukan bermacam pekerjaan sampingan untuk menyokong hidup keluarga.

Mengenyam pendidikan selama di AS pun jadi kesulitan tersendiri buat Ricky. Ia gagal mencerna materi di SMA tempatnya belajar meski sudah membaca berulang kali sehingga cuma punya tiga jam untuk tidur. Ricky juga terpaksa menarik uang yang seharusnya dipakai untuk membayar segala macam tagihan untuk mengikuti kelas persiapan ke universitas.

Singkat cerita, Ricky akhirnya diterima di Universitas Stanford. Namun sepanjang kuliahnya di sana, jerat kemiskinan masih menyelimuti Ricky. Ada perbedaan akses terhadap pendidikan yang berkualitas di sekolah sebelumnya antara Ricky dan teman-teman di kampusnya. Ia juga harus berjibaku mencari uang untuk sekadar mengimbangi kehidupan sosial teman-temannya.

Bagi Ricky, lahir dari keluarga miskin dapat berpengaruh ke banyak hal di kehidupan dewasa. Ia menyebut dalam konteks industrinya, para pendiri startup yang lahir dari keluarga miskin cenderung kurang percaya diri dibanding mereka yang punya privilese.

“Sekarang bayangkan berjalan memasuki kantor VC bersaing dengan anak seperti itu. Dia begitu yakin akan mengubah dunia dan itu akan ia perlihatkan dalam presentasinya. Kalian tidak bisa mengarang kepercayaan diri semacam itu di tempat,” tulis Ricky.

Meski saat ini sudah berada di jalan yang lebih baik lewat startup yang ia rintis, Ricky belum sepenuhnya lepas dari efek kemiskinan yang ia derita di masa mudanya. Untuk mempekerjakan orang baru saja ia mengaku butuh waktu lama sampai berakhir membuat keputusan.

“Aku juga sadar bedanya memiliki sumber daya bawaan. Aku tidak punya ‘uang teman dan keluarga’. Justru aku mengirim uang bulanan ke ayah dari pendapatan yang tak seberapa dari startup yang aku dirikan,” imbuhnya.

Privilese dalam industri teknologi itu nyata. Mereka yang lahir dari keluarga berpunya punya modal awal yang lebih baik ketimbang para pendiri startup macam Ricky Yean. Mendirikan startup itu mahal dan mereka yang punya kekayaan dari keluarganya akan melangkah lebih cepat ketimbang mereka yang tidak.